Anda di halaman 1dari 95

Bagai Angka 8,Tak kan

Berakhir

Memoar Smantig 93
BAGIAN PERTAMA
Terima Kasih Era
Cerita Era (Dari buku harianku, Teratai)
Ku Mengejar Anugerah
Cerita Era
(Dari buku harianku, Teratai)

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Pagar teralis punya kisah sendiri
Derit malasnya di pagi hari
Derap kaki remaja melangkahinya.

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Gerbang piket punya episode sendiri
Meja tua di sudut sana
Catatan kelam salah warna kaos kaki

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Papan tulis punya sejarah sendiri
Kapur tulis yang patah
Dan vignyet yang belum sempurna

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Meja paling belakang punya pesan sendiri
Ukiran nama tak terbaca
Tentang cinta yang tak berjawab

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Kantin sekolah punya transaksi
Tentang janji terucapkan
Senyum malu-malu remaja putri

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Sehelai pita rambut di sudut kelas
Punya kesan tentang cita-cita
Yang mengambang di langit-langit
Seperti pernah kau ceritakan, Era...
Bola basket di tengah lapangan
Memantulkan angan-angan
Yang belum tercapai

Seperti pernah kau ceritakan, Era...


Banyak yang tak tertuangkan
Dalam baris baitmu sebagai buku harian

(Yos Cekgu)
Ku Mengejar Anugerah

Kehidupan adalah anugerah. Anugerah harus selalu disyukuri.


Anugerah bisa saja berbentuk kebaikan yang kita sukai. Namun
terkadang juga sesuatu yang menyakitkan. Hingga kita
membencinya. Sepanjang perjalanan hidup ini, aku mencoba
menyadari. Semua anugerah adalah kebaikan.

Bilamana anugerah itu dalam bentuk keindahan, kebahagiaan,


kesenangan yang ku suka dan inginkan, aku tersenyum, bahkan
tertawa riang. Manakala bentuk anugerah yang ku dapatkan
membuatku bersedih, hingga menangis, ku anggap itu
kesalahan.

Ternyata, tidak begitu hakikatnya. Banyak pengajaran yang


diberikan suatu anugerah pada diriku. Anugerah yang tak
kusukai ternyata kadang adalah hal terbaik yang aku dapatkan
dalam kehidupan.

Suatu ketika...dulu, ada satu keinginan ku yang tak dapat


kan seperti harapanku. Aku menginginkan sesuatu, namun
keadaan pada saat itu membuatkan melepaskan mimpi itu. Walau
kecewa ku coba untuk menjalani kehidupan dengan seada yang
termampu. Aku memilih arif dengan keadaan. Ternyata, hal itu
adalah merupakan anugerah yang indah yang sampai kini
kunikmati dalam kehidupan ini.

Ternyata ada sesuatu yang tidak kita ketahui, rencana Sang


Pemberi Anugerah. Ia telah merancang seluruh perjalanan
hidup ini untuk suatu tujuan yang indah. Sang Pemberi
Anugerah yang tak pernah meminta balasan. Terus memberi.
Terus mengasihi. Terus...dan...terus...
Aku yakin kini, bahwa Engkau telah menempatkan aku sesuai
kebutuhanku, ditempatku. Betapapun usahaku untuk berpindah,
tanpa Tangan-Mu, tak akan pernah berpindah. Biarkan aku hidup
bermanfaat, bagi ku, dia, mereka dan semua. Kebahagiaan
tertinggi adalah Rida-Mu.

Terimakasih ku pada-Mu, Pemberi anugerah. Ku nikmati segala


apa yang Engkau beri. Bimbing terus aku dalam segala
kekuranganku dalam menikmati anugerah-Mu. Tetapkan hatiku
untuk selalu melangkah di jalan-Mu. Kucuri aku dengan segala
anugerah pilihan-Mu. (Rosmidar Iyes)
BAGIAN KEDUA
Sekuel Dua Puluh Lima tahun
telah berlalu
Memory Bukitlawang (BIO’4 The Untold Stories)
25Th Bersudah
SOS3, Kelas Buangan Tapi Menentukan
Memory Bukitlawang
(BIO’4 The Untold Stories)

Medan Juni 1993,


Berawal dari pesta perpisahan sekolah yang tak direstui,
Bio’4 yang terkenal dengan slogan SEBITETHRA-nya itu
berencana mengadakan perpisahan kelas ke Bukitlawang. Apa
itu SEBITETHRA? Sebitethra itu singkatan dari Se = Sensasi,
Bi = Biologi, Tethra = Empat (istilah dalam ilmu kimia).
Maksa, ya?

Tak perlulah bertanya mengapa harus ke habitat koloni teori


evolusi Darwin itu. Semua hasil kesepakatan bersama. Tempat
kemping untuk perpisahan kelas Bio’4 adalah Bukitlawang.
Walaupun pada masa itu jika dikatakan mau ke Bukitlawang
maka ada idiom, “Mau nyamain mukak,ya?” But, the show must
go on.

Di hari yang ditentukan, sebuah bus sudah nangkring di dekat


kantor pos di jalan Bilal. Di dinding luarnya tertera tulisan
Sinabung Jaya. Bus itulah yang akan membawa cerita ini
bergulir.

Satu per satu personil Bio’4 mulai bermunculan. Cewek-cowok


masing-masing dengan beban tas ransel di pundak. Satu per
satu bangku mulai terisi. Sebagian cowok memilih menantang
angin di atap bus. Sebagian berdiri di dekat pintu. Cewek-
cewek ribut bercengkrama. Ya. Ini perjalanan bersama mereka
untuk yang terakhir di masa-masa SMA. Sebentar lagi tempat
itu akan ditinggalkan mengejar cita-cita...SMA 3.

Roda-roda mulai bergulir. Lewar kaca jendela yang


menyelusupkan angin, cerita pun mengalir.
Untold story #1
Nazar

“Bisa jadi masuk Sos kita, Tut,” seorang siswi berkaca mata
dengan rambut lurus potongan bob, nyerocos pada temannya.
Tuty yang diajak bicara terus mengunyah bakwan. Keduanya
sedang nongkrong di kantin.

“Biar masuk Bio kita nazar aja pake jilbab,” Tuty menjawab
serius.

Menjelang kenaikan kelas, siswa-siswi diberi selembar kertas


untuk menentukan jurusan di kelas dua. Keduanya memilih
jurusan Bahasa pada pilihan pertama dan jurusan Biologi pada
pilihan kedua. Alasannya simpel aja. Keduanya sama-sama
tidak suka pelajaran Ekonomi. Lantas kenapa pilihan kedua
Biologi? Sepele...Keduanya sama-sama gak sukak pelajaran
Fisika dan Kimia. Ada-ada aja.

Tapi ketika jurusan hampir ditentukan, beredar kabar jurusan


Bahasa tidak dibuka tahun ini. Jangan-jangan peminatnya cuma
dua cewek itu. Wah! Di kelas, ketua sedang membagikan kertas
jurusan. Kedua siswi tadi menunggu dengan tak sabar. Nama
keduanya berada hampir diurutan terakhir. R dan T. Keduanya
sepakat membuka kertas bersamaan. Dengan perjanjian jika
terpisah, minta pindah jurusan. Biar bisa sama terus. Kan
sejak masuk di kelas satu selalu semeja.

“Tugiman!”
Cowok antik itu maju ke depan.

“Yess... fisik!” sampai lompat dia kesenangan. Tangannya


diacungkan ke udara.
Satu nama lagi.
“Tuty Hidayati!”

Panas dingin keduanya menatap kertas di tangan masing-


masing. Kemudian... di sanalah bertengger manis 2 A2 4.
“Horeee!” Keduanya jingkrak-jingkrak kegirangan.
Ffiuhh...selamat dari pelajaran Ekonomi.

Untold story #2
Jepitan Kala Guru Matematika

Kelas riuh oleh suara siswa. Beberapa masih malu-malu karena


baru saling kenal. Walaupun sudah setahun bersama, tetapi
berasal dari kelas berbeda di tahun pertama. Ini kelas 2 A2
4 atau Bio 4. Sekarang pergantian jam pelajaran. Pelajaran
berikutnya Matematika.

Detak-detak sepatu berhenti di depan pintu. Puluhan pasang


mata sekarang melihatnya. Seorang wanita tambun separuh baya
penuh gaya berdiri di depan kelas. Sekilas mirip penyanyi
dangdut lawas, Elvie Sukaesih. Ada tahi lalat di dagunya.
Tatapannya menebarkan horor. Artinya jangan main-main sama
beliau. Tapi cara mengerenyutkan bibirnya malah bikin gemes.
Beliaulah guru matematika di kelas dua. Bu Mawar namanya.
Merekah pesonanya. Tapi tunggu waktu belajar tiba.

Setelah mengucapkan salam, beliau menulis di papan tulis.


Beberapa contoh soal matematika dijabarkan tuntas. Wajahnya
tak pernah membelakangi siswa. Lirikan matanya menyapu
seantero ruangan. Jangan coba-coba tidak perhatian. Tiba-
tiba...
“Mengerti?” sambil berdiri tegak.
Para siswa spontan menjawab, “Mengerti, Buuu....”
“Bagus. Kerjakan soal nomor 1-5 di halaman 3,” beliau turun
dari tangga papan tulis dan mulai mengabsen. Berkeliling
mengamati hasil kerja siswa, ketika tiba di barisan siswa...

“Ini bukan kurva tapi gunung anak TK,” tangannya bergerilya


memutar di pinggang seseorang. Yang dicubit menggelinjang
antara perih dan geli. Baru tau jepitan kala guru matematika.

Itu belum seberapa. Horor sesungguhnya dimulai ketika jam


pelajaran berakhir.

“Untuk pe er, kalian kerjakan halaman tujuh nomor satu sampai


dengan dua puluh. Besok sebelum bel pertama harus sudah ada
di meja saya,” belum habis gema suaranya, beliau sudah
melenggang pergi.

Keesokan harinya, bergegas siswa-siswi berlomba dengan


dentang bel pertama. Bu Mawar sudah duduk di meja kerjanya.
Meletakkan buku pe er pun seperti meletakkan permata di
singgasana.

Untold story #3
Ha Ha Ha

Itu bukan tertawa. Itu nama guru Biologi di kelas dua.


“Nama saya Hajjah Herawati Hassan,” ujarnya dengan suara
serak-serak basah, “Kalau mau menyebut singkatan nama saya
harus tertawa, Ha Ha Ha,” lanjutnya melucu.
Tapi tak ada yang berani tertawa.
Untold story #4
Nenek Moyang Kau di Bawah Sini

Guru Sejarah seorang lelaki tinggi berambut kelabu. Cara


bicaranya rame...sukanya duduk di atas meja...guru. Ketika
belajar, beliau lebih suka membahas sejarah sekolah.

“Kau jangan bandal-bandal. Nanti tak senang nenek moyang kau


yang di bawah sini bisa bahaya kau,” ujarnya pada siswa.

“Haaa..., kau jangan mentel-mentel apalagi menjerit-jerit


kau di sekolah. Nanti marah nenek moyang kau di bawah sini
bisa merot mulut kau tu,” ujarnya pula pada siswi.

Usut punya usut ternyata bangunan SMA 3 ini bekas tanah


pekuburan. Hiiiihhhh...bikin serem aja.

Untold story #5
Sorry Noumi

Naomi menangis sesenggukan di mejanya. Eka, teman semejanya,


berusaha menenangkannya. Sementara seorang siswi berkaca
mata merepet bersungut-sungut.

“Kau pulak, orang kerja kelompok tak pernah datang,” si


Kacamata nyolot.
“Tapi kelen pun kalok kutanya gak mau jawab,” balas Noumi
tersedan.
“Yaudahlah, nanti kau masuk kelompok kami aja,” Eka
menengahi.
Itu sekelumit kisah suka duka mengerjakan tugas kelompok.
Sorry Noumi. Tak ada guna bertengkar apalagi kita berteman.
Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Untold story #6
(Serial Tanjung Onta)
Untung Tak Masuk Jurang

Turun dari kereta api jurusan Medan-Siantar, 7 Adventurer


Bio 4, naik bis tujuan Tanjung Onta. Mau kemping. Tapi tak
ada kendaraan ke sana. Terpaksa mereka tempuh dengan jalan
kaki.

“Serius kau tau jalannya, Gen?” tanya Mega.


Ita melotot ke Agen. Yenni gelisah. Dewi pasrah. Hendri,
yang ditanya, nyengir.

“Tenang aja. Aku tau jalan pintas. Kita lurus aja.”

Bertujuh mereka melewati semak belukar. Sesekali bertemu


dengan petani yang baru pulang dari ladang. Adul dan Hendro
kelelahan menyandang tas ekstra. Yang membawa jalan santai-
santai saja.

“Pak, ke Tanjung Onta masih jauh, ya?” Mega nekat nanya


seorang Bapak.
“O, uda dekat,kira-kira dua kilo lagi,” jawab si Bapak dengan
logat Bataknya. Maksudnya kira-kira dua kilometer lagi.
Beberapa lama kemudian.

“Hah!”
Jurang terbentang di depan mata.
Mega sama Ita merepet. Adul sama Hendro garuk-garuk kepala.
Yenni hampir menangis. Dewi nenangin Yenni. Agen
cengengesan.

Mereka berputar arah.


“Mungkin duapuluh kilo sama Bapak tu dua kilo,” Mega masih
merepet.

Sesampai di Tanjung Onta, beberapa kelompok sudah mau pulang.

Malamnya beberapa cowok dari tenda sebelah coba-coba mencari


perhatian Mega si hidung mancung. Waktu mereka bersikap
kurang ajar, Hendri pasang badan. Terjadilah adegan Hendri
vs Siantar Men, kayak di film-film gitu.

Di dalam tenda mereka berdesak-desakan bertujuh. Lho?


Hendri ngotot minta gabung satu tenda sama cewek. Pasalnya...

“Ada peri danau di situ. Gabung aja kita,” alasannya. Teman-


teman curiga itu cuma modus biar gabung satu tenda sama
cewek.

Yenni baru pertama ikut kemping. Pengalaman pertama jalan


jauuuuhhh....karena kesasar trus malamnya tidur himpit-
himpitan di tenda beralas terpal, Yenni jadi menghayalkan
tempat tidur empuk plus bantal guling di rumahnya.
Dia nyeletuk,“ gininya kemping?”
Suaranya yang memang pelan dan manja-manja gimanaaa...gitu
ditambah ekspresi wajahnya bikin teman-temannya terbahak-
bahak. Hehehe...Dasar Yenni.

Susah tidur karena berhimpit-himpitan, akhirnya mereka main


tebak-tebakan. Yang kalah harus makan sambel merah yang
dibawa Mega. Sambel itu disiapkan dari rumah. Pedasnya
nauzdubillah. Maklum Mega orang Minang.
“Mules perutku,” Hendri yang palimg banyak makan sambel
karena sering salah menebak. Sementara Mega cari lokasi
karena diare. Itu namanya senjata makan tuan.

Untold story #8
Jemuran B* di Tanjung Onta

Paginya, keempat bidadari itu berenang di sungai.

“Meg, b* ku dah basah semua,” bisik Ita.


“Akupun bawak ganti satu udah basah jugak,” balas Dewi.
“Yodah, kita cuci aja trus dijemur di atas batu sana,” usul
Mega.
“Jadi kita mandi gak pake b*?” celetuk Yenni.
Ketiga temannya melotot ke arahnya.

Tak jauh dari sana, ada Jaka Sembung...satu, dua,


tiga....tiga Jaka Sembung
“Yang dua warna tu punya Mega,” Adul buka suara.
“Bukan... Yenni tu,” balas Hendri Agen.
“Jangan ribut kelen, tengok ukurannya,” tak mau kalah Hendro.
Ntah ngapain mereka ngintipin jemuran b*.

Sementara waktu berenang, tanpa sengaja Yenni menendang dada


Mega.
“Aduuuhhh...senap dadaku,” Mega merintih sambil memegangi
dadanya. Yenni salting.

“Mau aku kusuk,“ tawar Hendri.


“Apa! Bagus aku senaplah daripada kau kusuk, Gen. Bisa
dikutuk mamakku jadi batu nanti aku,” biar sambil kesakitan
Mega masih bisa ngerep.
Iseng betul si Hendri... oalah gen...gen.

Untold Story #9
Ludah Kharismatik

Ada hobby unik duo personil Bio 4, Bembeng n Zubel. Saling


meludah. Jorok, kan? Hueekkss...

Mana saling meludah di dalam kelas lagi. Hiiiihhh....Kalau


keduanya lagi kumat bener-bener kayak orang gadoh. Eksperi
Bembeng yang gak beda marah sama senyum, eksperesi Zubel
yang kerap bersungut-sungut. Perang pun dimulai.

Yang jago ngerep di kelas juga mulai. Ngerepet maksudnya.

Jadi bayangin aja lagi dengarin lagu rap era 90-an dari Balck
Skin, Cewe Matre dengan tempo lebih cepat.
Zubel meludah ke Bembeng. Bembeng balas meludah ke Zubel.
Cipratannya kemana-mana. Cewek-cewek menyingkir jijik. Ita
meledak kayak kompor gas. Mega merepet panjang-pendek.
Cowok-cowok terbahak-bahak kesenangan.

Daahhh...tarik napas dulu. Kok bisa meludah jadi hobby, ya?


Aneh...hihihihi

Untold Story #10


Din, Ada Tante?

Nanang, Gopal, Gio, dan Boyke, empat cowok dari barisan


legend Bio 4, bertandang ke rumah Dina. Mengendarai hardtop
legendaris Boyke, waktunya sengaja distel pas dekat jam makan
siang. Nanang sama Gopal duduk di belakang, Gio jadi
navigator, hehehe... Alasan jenguk Dina sakit kerumut,
dengan asumsi ditawari makan siang sama Mama Dina yang baik
itu, modus hahaha.

Sesampai di rumah Dina di jalan Mustafa, suasana sepiiii...


Memang sepi, secara Dina kan anak tunggal. Sodaranya cuma
kucing kecil yang pinter pup ke kamar mandi itu.

“Yok, panggillah Dinanya,” kata Gopal.


“Lah, kok aku. Nanang aja, kan dia ketua kelas,” Gio ngeles.
“Boyke aja,” elak Nanang.
“Aku kan yang nyetir,” Boyke berkelit.

Sedang berembug soal siapa yang mengetuk duluan, pintu


terbuka. Muncul wajah lembut seorang Ibu. Nanang menyenggol
bahu Gio yang paling dekat ke pintu.
Gio refleks nanya, “Din, ada Tante?”
Ketiga temannya serentak bilang, “Yok, tebalek ngomongnya!”
Gio bengong. Teman-temannya tersedak menahan tawa.

Untold Story #11


Afitson Mr. Gerund

Mr. Gerund julukan anak-anak Bio 4 untuk guru Bahasa Inggris.


Beliau seorang perjaka tua dengan dandanan khas pemuda jadul
plus sepatu pansus berhak kotak. Karena keseriusan mendidik
murid-muridnya menjadikan beliau sering berselisih dengan
siswa, terutama yang cowok.
Sekali waktu dia memergoki beberapa siswa Bio 4 merokok di
bawah tangga.

“Kelas bekhapa kalian?” tanya beliau. Mr. Gerund tak bisa


melafalkan huruf r dengan benar.
“Bio 3, Pak,” jawab Gopal sambil mengedipkan mata pada
Gilbert.

Hari itu beberapa siswa Bio 3 jadi korban dimarahi Mr.


Gerund. Iseng betul, ya?

Suatu kali Gopal ditempeleng gegara gak siap pe er. Dan


banyak lagi kasus yang lain. Beberapa siswa yang duduk di
barisan legend mulai atur rencana jahat.

Siang itu Mr. Gerund masuk kelas Bio 4. Setelah menjelaskan


beliau duduk sambal mengabsen siswa. Beberapa lama beliau
merasa ada yang aneh. Tapi masih didiamkan saja. Lama
kelamaan makin menjadi. Terasa panas di bangku yang
didudukinya. Akhirnya tak tahan dia bangkit dan memeriksa.
Bau afitson menyeruak. Ada yang iseng menaruh afitson di
kursi guru.

Mr. Gerund marah. Kelas ditinggalkan. Dina disuruh mencatat


di papan tulis setiap pelajaran Bahasa Inggris.
Waktu istirahat, Ratna lupa dengan peristiwa itu. Tanpa sadar
dia duduk di kursi guru. Dia korban kedua afitson buat Mr.
Gerund.
Dulu kejadian ini lucu dan jadi tawa kepuasan...tapi sekarang
kok jahat kali kami dulu, ya?
Sorry, Mr, Gerund.

Untold Story #12


Combi Legendaris Rudy

Selain hardtop Boyke, cowok-cowok Bio 4 juga punya VW Combi


milik Rudy. Bentuknya yang kayak ambulans bisa memuat banyak
penumpang. Sekali waktu mereka kehabisan rokok waktu jalan-
jalan ke Mencirim.

“Belik rokok di warung itu aja.”


“Sini biar awak yang turun,” Gopal nyela.
Pintu combi dibuka selebar-lebarnya. Gopal turun mau beli
rokok.

“Kurang ajar!” suara menggelegar dari kede tukang rokok


disusul makian lain.
Yang di combi ngajak cabut. Gopal masuk ke combi. Uwak-uwak
kede rokok masih merepet.

Ternyata selain kehabisan rokok, Rudy, Gopal, Reza dan yang


lainnya juga kehabisan pakaian. Semua yang di combi Cuma
pakek sempak. Malah si Gopal turun mau belik rokok pakek
sempak aja. Pantes naik spaneng uwak tu.

Untold Story #13


Mama Dia Baik Banget

Rumah Purnomo Wayank jadi markas favorit bagi Geng Legend


Bio 4. Masakan Mama Wayank enak, itu yang jadi alasan. Tapi
bukan itu alasan paling utama. Disamping bisa makan gratis.
Mereka juga sambil melirik adik perempuannya.

Gopal, Reza, Gio, Rudy, dan yang lain tak bosan-bosannya


cari alasan untuk bisa numpang tidur di rumah Wayank. Tilam
Wayank pernah kebakaran gegara Reza merokok di kamar tapi
malah ketiduran. Sampai-sampai abang Wayank pernah menakut-
nakuti mereka. Dikatakan rumah itu ada hantunya.
Malamnya Gopal sesak pipis. Tapi tak satupun temannya mau
menemani ke kamar mandi. Mereka malah berimpitan karena
takut. Saking tak mampu menahan sesak pipis, Gopal pipis di
tempat tidur. setelahnya dia pindah ke tempat lain. Paginya
Gio heran tempat tidurnya kok bisa basah. Kelakuan
hahahaha...

Untold Story #14


Guru Tak Masuk, Kelas Hiruk-Pikuk

Dina berkutat di papan tulis. Sambil sesekali melihat buku


di tangannya, salinan di papan tulis kian penuh. Sementara
teman-temannya menyalin dengan santai. Yeaahhh...tak ada
guru ini.
Anak-anak lelaki ada yang menyalin kayak Hambali dan Muchni,
sebagian mengobrol di bangku belakang. Malah Gilbert sama
Rudy dengan antengnya nangkring di atas meja.

Rose si Genit itu mulai ngoceh mengganggu Hendri, sesekali


Mega si Bawel menimpali. Itu rutinitas mereka kalo guru gak
masuk dan disuruh nyatet. Saat Dina bete di papan tulis,
lihatlah tingkah keduanya.

Rose: Hendri nanti kita pulang bareng, ya. Lewat rel aja
biar jauh.
Mega: Jangan mau Gen. Nanti pulang samaku aja naik becak.
Rose: Ih, Mega jangan ganggulah, kan aku duluan.
Mega: Enak aja. Samaku aja ya, Gen.

Yang digangguin cuma senyum-senyum salting sambil nulis di


buku. Entah nyatet, entah corat-coret buku. Duo Lenny-Yenni,
si putih kurus tinggi tenang aja tanpa suara. Maini
bersenandung halus karena itu hobbynya. Tiba-tiba...
“Diamlah kelen! Ribut kali.” Disusul repetan panjang-pendek.
Bukaaann...Itu bukan guru yang tetiba masuk. Itulah teriakan
wonder woman Bio 4, Ita Laxari. Kalo udah dia yang merepet,
Mega si Bawel mah lewaaattt...

Untold Story #15


Alay 93

Pulang sekolah, Mega, Ita, Imay, Dewi dan Lenni berkumpul di


rumah Yenni. Bukan mau belajar bersama. Di kamar Yenni,
mereka berganti kostum yang sudah disiapkan dari rumah
masing-masing. Dengan menumpang sudaco, mereka cusss ke Deli
Plaza. Mau ngapain? Liat aja.

Sesampai di Deli Plaza masuk dari pintu samping, ketemu toko


kaset. Disediakan tape dengan head set segede gaban untuk
nyobain kaset, masing-masing ambil posisi setelah mengambil
kaset yang disukai, dan kasetnya gak pernah satu. Minimal
enam per orang.

Kaset diputar, musik berdentang keras, kepalanya bergoyang-


goyang. Tapi tak seirama, kan musiknya beda-beda. Tergantung
kaset yang dipilih. Setelah puas, kasetnya dikembalikan ke
rak masing-masing. Hihihi...

Keluar dari toko kaset, masuk toko baju. Coba sana, coba
sini. Gantungin lagi ke rak masing-masing.

Sekarang masuk toko sepatu. Cobain lagi macem-macem model.


Kembaliin lagi ke rak sepatunya.
Sudah haus dan lapar masuk Daimaru. Ambil makanan kecil dan
minuman, bayar di kasir. Yang ini beli ya qiqiqiq...

Sudah selesai? Belum.


Kan masih ada Thamrin Plaza. Lanjut Medan Mall. Kalau penjaga
toko liat cctv, pasti mereka tau siapa pelanggan paling aktif
di tokonya. Aktif nyobain, gak pernah beli. Halah... Tepok
jedat

Untold story #16


Biar Jangan Dibacanya

Pak Hutasoit, Guru Biologi, jalan terseok-seok saat memasuki


kelas. Kelihatan lemah sambil menenteng beberapa buku tebal.
Tapi beliau suka memberi kejutan. Seperti siang ini, begitu
melintasi ambang pintu beliau bersabda, “Ambil selembar
kertas, kita ulangan.”

Kontan seisi kelas kalang-kabut. Belum lagi kebiasaan beliau


mengacak tempat duduk. Siswa berpasangan dengan siswi.
Duduknya pun berselang-seling. Ini menyulitkan distribusi
contekan, kan?

“Bagilah jawabannya, Rose,” bisik Reza. Dia kebagian duduk


semeja dengan cewek centil tapi pelit contekan itu. Dan dia
dicueki.

Sementara Hendro sedang berusaha menyontek pada Dame. Dari


posisinya yang berseberangan, Hendro melihat jawaban Dame
cukup panjang. Mencuri kelengahan Pak Hutasoit yang
terkantuk-kantuk di meja guru, dia mulai menyalin. Setelah
beberapa saat.
“Me’, ini udah betul jawabannya?” bisik Hendro.
“Gak tau,” balas berbisik Dame.
“Jadi kok panjang kali tulisannya?” Hendro hampir kelepasan
suara.
“Biar nggak dibacanya,” jawab Dame kalem.
Biarpun begitu, jawaban tetap mereka bagi pada Adul, Gopal,
Nanang, Gio, Boyke, Gilbert, Rudy dan seluruh geng bangku
belakang.

Untold Story #17


Ratna Sari Dewi, si Ratu Matematika

Tak ada yang lebih unik dari perpaduan sifat Ratna. Suaranya
pelan, bawaannya kalem, wajahnya imut manis dengan rambut
ikal sebahu. Di kelas tak pernah ber ulah. Tapi kalau sudah
masuk pelajaran matematika dia menjelma jadi maestro yang
mahir meliuk-liukkan rumus-rumus seperti musisi memainkan
nada. Dan Ratna mengerjakannya dengan santai.

Seusai pelajaran matematika, beberapa teman akan merubung ke


meja Ratna. Mereka ingin mendengar penjelasan tentang
pelajaran yang baru lalu. Ratna dengan fasih menjelaskan
pada teman-temannya. Malah lebih fasih daripada guru
matematika. Teman-temannya mengangguk setelah selesai
mendengar penjelasan Ratna. Tapi begitu mereka meninggalkan
mejanya, mereka sudah lupa.

Dan besok-besok mereka bertanya lagi. Ratna menjelaskan


lagi. Dan mereka lupa lagi. Akhirnya setiap ada pe er
matematika, buku Ratna jadi rebutan. Itulah Ratna Sari Dewi
si jenius matematika dari kelas Bio 4.
Untold Story #18
Mamanya Gaul Juga

Aku penasaran dengan Trisna Safariandi. Kenapa panggilannya


Aboy?

Bulan Ramadan tahun terakhir di SMA3, warga muslim kelas Bio


4 mengadakan acara berbuka bersama di rumah Trisna. Bada
Maghrib mereka mulai berdatangan. Beberapa teman cewek malah
sudah datang sebelum ashar membantu Mama Trisna menyediakan
hidangan berbuka.

Walaupun suasana puasa, tak urung serbuan warga Bio 4 yang


hiperaktif kalau dikumpulkan, membuat rumah Trisna hiruk-
pikuk. Lihatlah ada yang bergerombol di halaman. Ada yang
menyerbu ayunan besi hingga berderit-derit.

Dari dalam rumah terdengar suara merdu seorang perempuan.


“Aboy, bawa ke depan makanannya.”
Tak lama seorang perempuan cantik berpakaian rapi di awal
usia empat puluhan, muncul membawa serta hidangan-hidangan
lezat di tangannya.

Ternyata nama Aboy itu bukan hanya julukan teman-teman. Tapi


mamanya juga ikut gaul menyebut anaknya begitu.

Untold Story #19


Puisi Ilmiah Tuty Hidayati

Beberapa pelajaran kadang bikin bosan dan mengantuk. Jangan


tanya sebabnya. Pelajaran Kimia, Fisika, Bahasa Inggris...
Banyak betul!
Sialnya pelajaran itu sering hadir di jam-jam terakhir.

Siang itu guru kimia tengah menjelaskan rumus-rumus kimia di


papan tulis. Tuty mencoret-coret bukunya seolah-olah sedang
mencatat pelajaran. Beberapa saat kemudian dia menyodorkan
bukunya ke sebelah.

“Coba kau baca,” katanya pada teman semejanya.


Temannya membaca perlahan. Setelah beberapa saat...

“Apa ini,” bertanya temannya.


“Puisi,” jawab Tuty yakin.
“Ini puisi,” temannya penasaran.
“Iyaaa... Inilah namanya puisi ilmiah, kau aja gak tau.”
Di lembar terakhir buku Tuty tertulis “Kamuflase” karya Tuty
Hidayati.

Kamu seperti kadal


Bisa merayap kemana-mana

Kamu seperti bunglon


Bisa menempel dimana-mana

Tapi...
Kamu juga seperti cicak
Ekornya bisa lepas kapan saja

Untold Story #20


Buku Tebakan Warna

“Ayo, siapa yang pasang tebakan hari ini,” Bembeng seperti


moderator seminar tingkat tinggi memotori teman-temannya.
Sementara Johnson sudah stand by dengan sebuah buku.
Nanang, Gopal, Adul, Gilbert, Rudy, Hendro dan lainnya
merubung. Mereka bergerombol di bangku barisan paling
belakang. Cuma Heri (Khairudin) yang duduk di sudut. Cowok
satu itu memang tak pernah banyak omong.
“Aku pasang Rose warna-warni kayak biasa,” seseorang buka
suara.
“Aku pasang Mega warna item,” yang lain menimpali.
“Yenni pink,” satu suara lagi.
Mereka riuh pasang taruhan. Masih banyak lagi tebakan-
tebakan yang masuk. Bembeng kian semangat seperti bandar
judi kim.

Satu persatu cewek yang namanya disebut mulai bermunculan.


Kelompok di barisan bangku paling belakang kian riuh
cekikikan. Ternyata mereka tebak-tebakan warna bra.

Memang gak ada yang lebih jail dari geng legend Bio 4. Geng
yang duduknya paling belakang.

Kisah-kisah perjalana itu belum usai. Masih banyak lagi yang


tak terceritakan, tapi perjalanan kian dekat ke tujuan.

Angin masih menerobos dari jendela Bus Sinabung Jaya yang


terbuka. Pemandangan di sepanjang jalan kian menarik. Di
bawah sana sungai mengalir deras. Beberapa orang ber arung
jeram dengan ban bekas. Sekarang mereka tiba di Bukitlawang.

Untuk sampai ke lokasi kemping harus melewati anak tangga


sempit dan panjaaaaannnggg... Setelah mendaki undakan-
undakan anak tangga, mereka tiba di lokasi kemping. Tenda
didirikan. Beberapa langsung berenang. Sebagian berfoto-foto
ria menyimpan moment untuk jadi kenang-kenangan. Dina dan
Lenni pulang hari itu juga. Mereka tak mendapat izin untuk
menginap.

Waktu malam tiba, kelompok cewek buat acara renungan suci.


Atas usul seseorang dibuatlah ritual mencurahkan perasaan
selama bersama di Bio 4. Acara yang mengundang bahaya karena
ada yang hampir kesurupan. Kelompok cowok punya acara
sendiri. Tapi waktu para cewek saling berpelukan, mereka
nimbrung juga. Modus biar bisa peluk-peluk cewek dengan
alasan perpisahan. Dasar!

Keesokan paginya...

Hendro dan Purnomo Wayank bercelana pendek kembali dari


sungai. Handuk masih tersampir di pundak mereka.

“Kok gak jadi mandi kelen?” tanya Mega sambil mengaduk mie
instan di panci.
“Kek mana awak mau mandi, ita bolak-balek lewat,” sungut
Wayank.
Hendro menjelepok di dekat Mega, tak sabar nunggu indomie.

Ita yang baru kelar repetannya gegara gak ada yang bantuin
masak, jadi naik spaneng. Meledaklah teriakan nini peletnya.

“Kapan pulak aku bolak-balek nengok kelen mandi. Ko pikir


aku gak ada kerjaan,” Dengan ekspresi hidung dan bibirnya
bergerak-gerak ngalahin Buk Mawar.

Sementara anak-anak lain terbahak-bahak kegelian. Usut punya


usut ternyata ada ritual pagi di sungai yang mengharuskan
seseorang harus berhati-hati jika ingin mandi. Sebaiknya
mandi agak di tengah. Kalau di pinggir-pinggir... Ada ita
bolak-balek lewat. Sempat-sempatnya mereka membangkitkan
energi wonder woman Ita.

Belum Berakhir

Acara perpisahan telah usai. Bukitlawang telah pun


ditinggalkan. Masing-masing personil Bio 4 telah kembali ke
tempat asalnya. Di suatu tempat, Eka memilih mengurung diri
di kamarnya daripada bingung menjelaskan bau jaket pada
ibunya. Masih terdengar gerutuan ibunya mengatakan jaketnya
bau ‘jantan’. Entah tertukar dengan Gopal atau Gilbert, dia
tak tau.

Mereka pulang sendiri-sendiri. Untuk menoleh ke belakang


mereka tidak berani lagi. Pun melangkah ke depan masih
gamang. Ibarat turun dari puncak gunung dengan seutas tali.
Pegangan telah tiba di ujung tali, namun pijakan kaki masih
menggantung. Ingin melepaskan tali masih sangsi dengan tanah
yang akan menyambut di dasar. Tapi tali harus dilepas. Pelan-
pelan pijakan kaki itu tiba di tanah berpasir. Ternyata tanah
yang dipijak masih goyah. Namun kaki harus terus melangkah.

Tali tempat bergantung itu adalah SMAN 3. Tanah tempat


berpijak itu adalah masa depan.

Hingga bertahun-tahun kemudian....

25 tahun telah berlalu

Hari itu, Selasa, 19 Juni 2018. Lihatlah! Langit yang


menaungi masih langit 25 tahun yang lalu. Bumi yang dipijak
masih bumi 25 tahun yang lalu. Matahari yang bersinar masih
matahari 25 tahun yang lalu. Kaki-kaki yang dulu melangkah
dengan jiwa remaja kini telah dewasa. Tubuh-tubuh yang dulu
berbalut seragam putih abu-abu kini mencoba menyeragamkan
lagi kostumnya. Pijakan kaki yang gamang itu, kini mulai
menemukan keteguhannya.
Hari itu, mereka bertemu dalam reuni. Menjalin pertemanan
dan persahabatan selama hayat dikandung badan. Cerita-cerita
lalu yang lucu, sedih, haru dan bikin malu. Coba diurai dan
jadi tertawaan. (Yos Cekgu)
25Th Bersudah

Ketika daun-daun akasia berguguran di halaman sekolah,


Kawan!
Aku dengar desir rambut remaja putri berkejaran
Seusai jam pelajaran

Ketika burung-burung menjeritkan kicau di ranting-ranting


pepohonan, Kawan!
Aku dengar celoteh mereka saat istirahat
Di teras dan kantin sekolah

Ketika kecipak air bergema di rerumputan basah, Kawan!


Aku dengar derap-derap kaki di lapangan basket
Diiringi sorak sorai di tepi lapangan

Ketika lagu nostalgia mengalun lembut, Kawan!


Aku lihat senyum malu-malu sepasang remaja
Di sudut halaman sekolah

Ketika peluit kereta melengking di tengah malam


Akupun larut dalam kenangan-kenangan
Saat duapuluh lima tahun silam
Putih abu-abu jadi seragam

Ketika aku tersadar, Kawan!


Duapuluh lima tahun t’lah usai

(Yos Cekgu)
SOS3, Kelas Buangan Tapi Menentukan

Aku dan kurang lebih 36 sahabatku bukan dengan sangat


terpaksa memilih jurusan sosial (SOS) saat naik ke kelas dua
di SMAN 3 Medan. Aku pribadi, dan kuyakini semua sahabatku
itu memilih dengan pilihan yang sudah diperhitungkan dengan
tepat, bijak dan santun. Tentu pilihan itu atas restu
orangtua, terutama Emak.

Mengapa restu Emak, jika kita dalami kepribadian para


sahabatku itu diduga kuat dan diyakini semua memiliki
karakteristik nyaris sama. Pertama, Emak. Orang yang paling
ditakuti dalam makna positif. Apapun yang dikatakan oleh
Emak dengan rasa ikhlas pasti akan dilakukan. Nah kecirian
ini, dapat aku yakini juga bahwa semua sahabatku di SOS3
yang lebih 36 orang itu masih tetap takut dengan Emak. Karena
usia kami saat ini telah melampui ukuran sepatu maka selain
Emak ada lagi yang kami takuti, siapa dia. Dia adalah anak
perempuan kami.

Kedua, Kesantaian. Otak kami mungkin terkluster dalam dua


bidang. Dua bidang ini timbangannya jauh lebih besar seni
daripada sains. Semua penghuni kelas kami SOS3 memiliki punya
seni. Aku mengatakannya bahwa SOS3 merupakan Galeri Seni
Berjalan. Apakah itu seni tari, suara, lukis, atur duit,
gaya, diplomasi, pokoknya seni. Dan kami punya semua potensi
itu, maka tak salah dan menjadi pilihan yang sangat tepat
kami berada di SOS3.

Ketiga, Produksi Kerusuhan. Memang agak aneh jika ada kata


produksi. Jangan aneh dulu. Kalau kita melongoh ke belakang.
Rata-rata produksi kerusuhan yang terjadi di SMAN 3 Medan
saat itu diinisiasi SOS. Apakah SOS1, 2 atau 3. Kalaulah
saat itu ada meme-memean, aku yakin SOS adalah juara dan
bakal direkrut oleh berbagai kepentingan.

Mau gak meluangkan waktu sekejap melihat film asal India


berjudul Hichki yang ditayang pada 2018. Kalau melihat film
itu, maka kelas yang dinakhodai Rani Mukerji adalah gambaran
kelas kita dulu di SOS. Kelas yang dibuang sayang, kelas
yang tak diharapkan kelahirannya. Kelas bermerek obat
pembersih lantai, Kelas keonaran dan sumber teriakan-
teriakan. Pokoknya yang namanya SOS dipastikan kelas
terasing dan buruk perangai.

Kita adalah siswa yang menantang dan nakal. Memang ada yang
nampak ada yang tidak. Tetapi api dalam sekam itu nyata, ada
jiwa-jiwa penolakan dan berusaha menjemput jati diri dengan
memilih jurusan SOS sebagai petunjuk masa depan. Berikut
rentetan nama terutama di kelasku SOS3, nama yang aku ulas
mendekati kondisi saat itu, jika ada perubahan itu merupakan
proses menjemput masa tua yang kian melelah.

Andi Suwondo, pemuda yang memiliki keunikan tersendiri.


Bawaannya yang melambai membuat kita bisa salah sangka dan
boleh juga salah duga. Kecil ramping, tinggi badan ideal
dengan berat badan. Tak suka marah, semua dilakukan dengan
santai dan selalu lempar senyum.

Amsaluddin, mirip dengan Andi Suwondo, namun ada sedikit


perbedaan terutama pada warna kulit. Putra Melayu Deli ini
jagonya menari serampang dua belas. Sehat-sehat ya Cok.

Chairul Fahmi Siregar, asik dengan dunianya sendiri. Tak


bisa juga dikatakan masa bodoh dengan sekeliling. Ia
menghindar dari keributan, lebih menyenangi tertawa dan
canda-canda ringan pada orang tertentu.

Harry Pandapotan Daulay, lelaki ini sebenarnya memilki bakat


dan seni yang cukup tinggi. Semua hal yang akan ia kenakan
selalu diukur dengan standar selera dalam prespektif seni.
Pemikirannya terbilang di luar kotak dan berani tampil beda,
lagi-lagi semua berlandaskan seni. Tak suka marah, kalau
marah berbentuk diam atau bibirnya tambah merah merekah.
Kapan kita raoun-raoun lagi naik Sepultura Lay?

Herry Kesuma, jika dalam film Twilight ada tokoh bernama


Edward Cullen, nah pemuda ini mungkin memiliki kemiripan.
Kepribadiannya sulit ditakar. Lempar senyum lalu sedikit
bicara selebihnya tidur. Jangan takar ilmunya, walau tidur
tetapi kuping menyala baik. Orang lain belajar mati-matian
dapat 6, dia tidur dapat 9. Untung aku yang sebangku tak
ketularan penyakit tidurnya.

Hasfandi, Kalau dilihat dari penampilannya ia adalah anak


yang baik budi. Memang sih agak hitam, namun punya karakter
senang berteman dengan siapapun, semua dipanggilnya wak.
Aktif, walau anak pindahan tapi keyakinannya tinggi bahwa
semua anak saat itu adalah temannya. Iya sih, sebelumnya
mantan sekolah SMP sebelah. Fan, jangan suka merajuk lagi.

Hendra Saut Pasaribu, bali tak bali dengan Tumpal, Hendra


ini orang yang tak kalah unik. Semua hal yang ia sampaikan
sepertinya sangat serius. Keseriusan yang dibawanya bukan
hanya melalui ucapan, bahkan ia mampu mengemasnya agar orang
lain manjadi yakin, tak kalah hebat dengan politisi.
Keseriusan pembicaraan yang ia bawa lebih diperkuat dengan
gimmick kek orangtua. Padahal apa yang ia bicarakan adalah
hal yang biasa saja, namun ia mampu untuk membuat hal biasa
itu menjadi luar biasa. Hebatkan, inilah Hendra pemain
karakter masyur di SOS3.

Hendri Ilyas Marpaung, Aku nyerah untuk mengurai pria yang


satu ini. Dingin salju mungkin lebih dingin dia. Kita tak
tahu kapan ia bisa tertawa, senyum dan marah. Intinya sulit
dijejaki. Hendri, apa kabar kau sekarang.

Hengki, dikelasku memang agak banyak yang berkulit agak


keruh. Termasuk dia ini. Tipologinya mirip dengan
Amsaluddin. Mungkin karena berasal dari kelas yang sama di
1-10. Rame-rame hijrah ke SOS3, keren sih. Tak usah kuatir
kau Heng, tetap kita berbhineka kok.

Iin Indahwati, kalau ingat gadis mungil bulat ini maka


pemikiranku mengembara. Setiap bulan puasa aku pasti ingat
dia. Bukan karena apa-apa, sebabnya biasa di bulan puasa ia
lah yang paling rajin untuk mensuarakan berbuka puasa bersama
di rumahnya. Aku gak tahu sih, apa misi dibalik kebiasaan
ini. In, ketemu aku nonton lagi kita ya.

Indra Susianti, jangan gagal fokus kalau melihatnya saat


itu. Bermodel poni Dora the Explorer menambah kesan sentimen
negatif atas dirinya akan muncul. Kaos kaki semata kaki tak
lewat dan gayanya yang unik menambah catatan pria akan
memandang negatif padanya. Tapi aku tidak, mengapa?
Sederhana, pelajari lalu pahami dan simpulkan. Ncus (nama
ini aku kasi pada 2011), adalah wanita yang menjauh dari
kerumunan, menghindar dari union SMAN3 Medan. Bukan maksud
hati tak mau bergaul, ia lebih menyenangi membangun komunitas
baru yang selanjutnya akan ia padukan dengan komunitas
dasarnya di SOS3. Apa yang ia lakukan terbukti sekarang, ia
masuk dalam salah satu daftar nama penggerak di komunitas
alumni SMAN 3 Medan. Tak banyak orang tahu, bagaimana ia
berjuang dalam perningkatan ekonomi. Berani dan nekad, pas
dengan namanya yang berunsur Susi baginya hidup mesti berani
untuk berubah, hitam atau putih. Ncus, semangat ya.

Jamaluddin Budiman, suka menyendiri. Sebenarnya ia cukup


menawan. Apalagi dengan kulit warna muka yang cerah. Kalau
melihatnya, orang akan menebak bahwa ia ahli ibadah. Memang,
ada sepesifikasi tersendiri tentang keyakinan. Aku saja tak
berani berdebat dengannya. Lebih baik menghindar saja, itu
jauh lebih baik.

Jose Rizal Tatarang, Penyandang juara karate ini terbilang


cukup unik. Kepalan keras tangannya seolah lemas disaat
melihat nada-nada dan syair. Aku juga tak menyangka,
kepiwaiannya bermain gitar berkolaborasi dengan Harry Daulay
dengan syairnya mampu menghipnotis seluruh para sahabat.
Hebat, kalian berhasil membuat banjir airmata. Masih ingat
aku itu, melodi Kangen nya Dewa 19 dipetik Jose dan syair
Awan-Awan Putih di kidung Harry Daulay. Cocok dua orang ini
performance saat kita ketemu suatu saat nanti. Sukses ya
Bang Jos.

Josephine Pakpahan, agresif dan berani. Suara lantang kalau


tak suka dengan seuatu. Kasihan teman sebangkunya yang harus
menabung sabar super banyak. Masih di Mapilindo atau dah
pindah Phin?

Jumber Pangaribuan, kalau kita berkaca dan bersisir maka aku


pastikan nama ini akan melintas. Pemuda ini mungkin fanatik
dengan Elvis Presley. Celana kita saat itu bermodel chinos,
dia tidak. Lebih memilih cutbray dari pada chinos, agak boros
dengan ludah, karena rambut mesti terus dicolok biar cocok.

Kholiza Lubis, boleh dikatakan dia mencari sekutu yang pas.


Maka itu dia rela pindah ke SMAN 3 Medan. Sekilas dipandang
ia anak yang sangat patuh dan anak rumahan. Siapa sangka, ia
termasuk salah satu pembentuk Gank 3 Perempuan Serangkai
yang beranggotakan Nani Stones dan Nurlaila. Akan terkejut
jika kita ke rumahnya, ternyata dia takut kali sama emaknya,
tapi emaknya adalah orangtua gaul. Justru kalau mau kumpul
bakar ikan, rumahnya terbuka untuk itu tapi pas malam Minggu.

Lasma Karolina Dasalak, aku menyebutnya Penyanyi Gagal


Rekaman. Suaranya bagus, hanya saja waktu dan kondisi tak
berpihak padanya, saat itu tenologi tidak mendukung. Semua
serba manual untuk dapat masuk dapur rekaman.

Marissa Agustina, ada barbie yang berambut pirang dengan


badan yang ramping dan mungil. Nah, Marrisa ini mirip dengan
barbie. Anak pindahan dan mencari sekutu juga. Tampang yang
lugu, ternyata menyukai pergaulan dan keramaian. Pendiam iya
kalau di kelas, kalau di rumahnya berubah menjadi agak bawel.
Rissa, dimana kamu mungil?

Martumpal Sitanggang, jangan bicara rapi sama dia, apalagi


bicara necis dan busana branded. Baginya yang penting ketutup
aurat selesai perkara. Tak ada itu pakai kaus kaki, setrika
baju dan lainnya. Terpenting baginya adalah Peagio Vesva nya
hidup saat diengkol. Sengaja mungkin ia tak mau untuk
mencemerlangkan pakain putihnya dengan bersih, mungkin
menghindari penglihatan dari kejauhan agar tak seperti dodol
Tebing Tinggi. Energi kepemudaan dan organisasinya sangat
tinggi, berbagai organisasi ia lakoni mungkin hingga saat
ini. Maka tak heran jika ia gemar memanggil seseorang dengan
panggilan Ketua. Seni berorganisasi, ini mungkin yang
mengilhaminya untuk memilih SOS saat itu.

Merita Sitanggang, percaya dirinya sangat kuat. Semua dia


pukul rata dan komunikatif. Tak banyak mungkin sahabatnya
yang tahu bahwa ia seperti anti kelas, sifatnya demokrasi
dan filantropi membuatnya mampu diterima dipelbagai kalangan
saat itu. Sehat ya Mer…salam buat keluarga.

Moudy Fitria Respati Ritonga, kalau yang satu ini aku tau
persis. Ada karekter kesamaanku dengan dia. Mirip walau tak
sama. Tentu, karena memiliki perangai yang punya kemiripan
maka dipastikan disetiap pertemuanku dengannya terjadi
pertentangan tapi positif. Lasak, kek ulat nangka. Kemana-
mana bergaul. Masuk kelas sana-masuk kelas sini. Pokoknya
tak pernah diam. Entah ngidam apa emaknya dulu. Ups, teringat
emaknya. Kaget Tak menyangka pokoknya, emaknya itu ramah
baik dan loyal akan makanan terutama kue-kue. Ada jiwa
negosiator, diplomat membuat kita agak heran mengapa ia
kuliah jurusan ekonomi. Kalau menebak-nebak, mungkin dia
yang gaul suka keramaian memilih jurusan itu. Nah USU itu
paling top adalah Fakultas Ekonomi dengan extravaganzanya.
Seni, negosiator, diplomat ia gabung menjadi satu, inilah
Moudy saat ini. Moudy, dah waktunya naik haji.

Muhammad Ikhsan, cukup bermisteri dengan lelaki yang satu


ini. Awalnya agak kurang soor juga aku sama dia. Ku coba
juga akhirnya, kutekal dan telentang. Apa yang terjadi,
melawan dia. Nah di sinilah baru nampak warna ini pria.
Biasa, kalau rambut melintir biasanya orang yang punya jiwa
tangguh dan keras kepala. Ada mentikonya juga dia ini. Suatu
ketika duet dia dan Harry Kesuma mencoba untuk memecah suara
agar wisata ke Bukit Lawang gagal total. 86 ya Nces.

Muhammad Juliansyah Siregar, tau gak kalau malam duduk


sendiri pasti mendengar suara jangkrik atau satwa malam
lainnya. Tak perlu capek menunggu malam. Duduk dekatnya,
maka suara-suara itu bisa didengar di siang hari. Putra tokoh
budaya Mandailing Natal ini adalah anak yang sangat cerdas.
Darah seni yang mengalir dari orangtuanya itu deras dalam
dirinya. Hanya saja, seninya kurang terarah dengan baik dan
akhirnya disusupi dengan seni lain.

Muhammad Syafii, aku menyebutnya dengan Manusia Filsafat.


Semua urusan akan dia ukur dengan mantiq alias logika
berfikir. Menyenangi tantangan dalam bisnis berjenjang dan
senang dengan dunia dagang. Namun ibadah tak pernah lekang.
Boleh orang lain bermalam minggu sebelum mahrib, ia lebih
memilih ke masjid dan setelahnya baru berjalan. Saat Ramadan
tiba, ia lebih memilih menyelesaikan Salat Isya, Tarawih dan
Witir di masjid daripada harus ngerumpi dan bercanda dengan
sahabatnya yang lain. Tak keliru, jika ia menjadi ketua kelas
di SOS3.

Muhammad Thoriq Rivai Hutasuhut, bongsor kribo dan cadel.


Salah satu sahabatku yang pernah aku lepok mukanya.
Setelahnya aku menyesal. Tak menyangka, dibalik gayanya yang
biasa tersimpan bakat seni musik yang sangat tinggi. Berbagai
koleksi lagu-lagu aliran hard rock, metal, happy metal hingga
trash ia miliki di rumah lengkap dengan aksesorisnya.
Ternyata ia gemar dan mahir menggunakan alat musik gitar.

Novika Prihandini, setali tiga uang, duduk sama rendah dan


berdiri sama tinggi atau berat sama dipikul ringan sama
dijinjing. Kek nya pribahasa itu tepat baginya dan Marissa
Agustina, karena mereka sebangku. Unyu-unyu, cuma Novi,
menyenangi fashion. Bakat di seni fashionnya lumayan besar.

Nani, jika di Pulau Jawa punya Sukmawati, maka SOS3 punya


Nani. Sejak SD aku bersama, SMP aku terpisah dan bergabung
kembali saat di SMA. Tak banyak bicara, punya tujuan hidup
yang sangat jelas. Ia butuh orang-rang yang senada dan
seirama dengannya. Bersama Khaliza Lubis dan Nurlaila
membentuk Gank 3 Perempuan Serangkai. Simbol yang diusung
membuat kita kaget, tengkorak bergaris keras dan memiliki
irisan berornamen salah satu kelompok musik cadas Sepultura.
Tanguh dan pantang menyerah, membuatnya harus menyingkirkan
kata gagal dalam hidup. Lancar ya Stone.

Neneng Yanti Susanti, hanya satu wanita yang berhijab di


kelasku dulu. Busana yang dipakainya adalah busana yang
sesuai syariah dari kaki hingga kepala. Kami di kelas bukan
orang yang dongok dalam ilmu eksak, namun dengan memilih SOS
justru kolaborasi eksak dan seni terpadu dengan baik. Mojang
Sunda ini adalah sang juara bertahan pada kompetisi Musabaqah
Tilawatil Quran tingkat kelas SMAN 3 Medan. Kombinasi lagu
Bayyati dan Hijazi membuatnya tak terkalahkan dalam lagu
membaca Alquran saat itu.

Nurlaila Sitompul, Ia bersama Nani dan Khaliza Lubis memiliki


kemiripan, dan membuat mereka bersepakat membetuk Gank 3
Perempuan Serangkai.

Pintauli Simanjuntak, walau sepintas lalu diperhatikan rute


perjalananya adalah rumah-sekolah, mungkin perkiraan itu
keliru. Bertubuh ramping dan agak kesal dengan teman
sebangkunya bukan halangan bagi kita untuk tak dapat
mendengar kidung kecil sariosanya. Walau ditarik dengan
suara yang kecil, namun kelihatan energi sariosanya kuat.
Andaikata dikencangi sedikit saja, aku yakin orang akan
takjub mendengarnya.

Rahmawati, celak Makkah adalah bagian dari penghias dirinya


untuk tampak cantik. Dia cerdas dan sangat bijak. Kalau boleh
aku akui bahwa, kita akan kalah bijaksananya dengan dia.
Seni mengatur nafsu yang boleh aku katakan matang. Aku berani
taruhan, tak akan ada diantara kita yang bisa mengimbangi
seni kebijakannya itu. Semoga Allah Swt memberikan derajat
yang tinggi baginya, keluarganya dan bagi keturunnannya
kelak.

Ridwan, penukil nama malaikat penjaga surga ini sejuk kalau


dilihat. Asumsi bisa bermacam, tetapi apakah kita tahu bahwa
dibalik kesejukan mukanya tersimpan keahlian dalam baja dan
besi. Jika kita menganggap baja dan besi itu keras, maka
baginya besi dan baja itu lunak.

Rohayati, bahasa Inggrisnya sangat bagus. Itu dari dulu,


maka tak keliru ia memilih Fakultas Sastra USU untuk
memperdalam English celebratenya. Bukan berarti ia tak
pandai dalam matematika, fisika kimia dll, justru dia dari
kelas 1 sd kelas 3 pinginnya duduk yang paling depan. Namun,
bukan itu yang iya cari, ia mencari sebuah karakter dalam
proses mendalami sebagai seorang ibu. Ibu yang tampil untuk
membesarkan anaknya nanti dengan keilmuan yang ia miliki.
Akhirnya ia tercapai dengan itu. Ia, Rahmawati dan Sri
Muryanti membuat sebuah kelompok dengan nama Tiara. Kerenkan
namanya, Tiara. Tiara adalah hiasan kepala bertatahkan
mutiara yang dipakai para ratu. Yat, salam buat ibu, bilang
aku kangen masakannya.
Sri Rahayu, mungkin cewek yang satu ini aku tak dapat
cakapkan dengan banyak. Hanya satu yang bisa aku sampaikan
bahwa ia tomboi.

Sri Muryanti, haduh kalau ingat Sri, aku juga ingat nasi
urab. Nasi urab yang kerap aku makan setiap hari ulang
tahunnya. Enak dan lezak sekali. Ia baik dengan semua orang.
Melihat orang dengan warna putih. Ini yang menjadi hal
dominan atas dirinya. Seni berprasangka baik. Dia sama dengan
ketiga teman kepompongnya Rahmawati dan Rohayati.

Sofia Hanum, kalau pandai mengeceknya alahmak duit pun


langsung tunai dikasi. Hehehe…Sofia Hanu, waduh aku kalau
melihatnya membawa motor, jutru aku yang takut. Ngebut euy,
hingga ia dijuluki wanita pembalap. Ah ada saja ya, tapi
iya. Sofi itu memiliki jiwa pembisnis yang kuat, walau sudah
lama tak bertemu dengannya aku yakin ia melakoni jiwa
bisnisnya itu.

Syahrial Prawiranegara, paling kecil dan paling tua. Apabila


guru melakukan pendataan tentu dia adalah orang yang tak
terdata. Acapkali guru menghitung jumlah siswa di SOS3
mengapa kurang satu orang. Rial, itu nama panggilannya yang
khas. Anaknya memiliki watak dalam seni akting. Ia dapat
bersuara lebih dari satu model dan mampu meniru gerakan
seorang bintang film layar lebar. Ada kesamaan dengan Dadong,
ia menyenangi film dan lagu-lagu Hindustan.

Wahyu Effendi, pemuda ini tergolong pendiam. Ia tak banyak


berbicara, kalaupun berbicara ia lebih memilih berbicara
tepat pada waktunya. Kalau kita masih mencari seni apa yang
akan membawa kita untuk mengarungi kerasnya dunia ini, maka
ia telah memilih seni itu. Bahkan seni itu telah ia lakoni
sejak masih kecil, distributor ikan laut. Sangat sayang
sekali ia dengan kakek neneknya. Orangnya suka berderma, dan
tak pernah mengeluh walau sepatah katapun. Wahyu, dimana kau
saat ini.

Yance Marlon Pandapotan, untuk yang satu ini adalah


multitalenta. Jadi kalau aku tuliskan tentang dia maka semua
yang aku tulis dari a sami z atas nama sahabatnya di SMAN 3
Medan, pasti namanya tersebut mesra. Persis kek bunglon ya.
Ini dia, Yance yang asik.

Yayuk Setyowati, wanita tertinggi dan terbesar di kelasku


saat itu. Bukan tinggi dan besar yang tidak proporsional,
tetapi sebaliknya cukup proporsional. Kalau dilihat sekilas,
akan terlihat aroma keangkuhan, kesombongan dalam dirinya.
Salah besar, jika kita asumsikan seperti itu. Tapi tak salah
juga, karena kita tak mengenalnya. Ia adalah perempuan yang
punya ketegasan dalam memilih. Tak ada cerita memilih dengan
takaran lonjong atau gepeng. Baginya takaran memilih adalah
bulat. Ia komitmen dengan pilihan itu yang membuatnya
bahagia. Seni memilih, mungkin ini yang menjadi
kehandalannya.

Yulies Kurniati Nasution, pencari sekutu juga. Tapi mungkin


lebih dominan ke jarak tempuh. Beda jarak tempuh SMAN 8 dan
SMAN 3 Medan dari rumahnya. Ia memilih SMA 3 karena loncat
saja bisa sampai, saking dekatnya. Cewek ini punya gaya cukup
menarik, kalau ketawa itu beda banget. Kalau cewek lain
tertawa tersipu atau tutup mulut, ia malah terbalik,
tertawanya meledak kalau melihat yang lucu. Tawanya seperi
memproduksi zat penunda ketuaan, jikalau nanti bertemu 10
tahun mendatang, ia akan tampak terlihat lebih muda lima
tahun dari sahabat yang seusia dengannya. Bornas, murah
rezeki ya.

Zulfahmi, tegas dan mirip dengan wahyu. Hanya berbeda paras.


Jika wahyu berambut ikal dan berkulit sawo matang, maka Zul
berambut lurus dan berkulit kecoklatan. Menyenangi ilmu
sosial terutama Tata Negara, tak ada yang akan mampu
menandingi nilai Tata Negara nya baik di kelas SOS1, 2 dan
3. Aku sangat yakin, nilainya yang paling tertinggi soal
ilmu itu, setiap ujian kalau tak 10 ya 9 lah nilainya. Karena
ia dekat duduknya denganku maka kecipratan nilai juga aku,
semula 6 menjadi 8. (Affan Rangkuti)
BAGIAN KETIGA
Ada Elegi dan Cinta di Bumi
Smantig

Antara Dia, Rini, dan Wahyu(Didedikasikan untuk Wahyu


Efendi and alm. Rahayu Ponco Rini)
Ku Kejar Dia Sampai BT BS Medika
Aku Puas: Puisi Cintaku Akhirnya Tuntas (27 Tahun Sudah)
Kado Sebuah Keyakinan
Antara Dia, Rini, dan Wahyu
(Didedikasikan untuk Wahyu Efendi and alm. Rahayu Ponco Rini)

Suatu sore di penghujung Agustus 1990. Siswa-siswi sedang


bersiap-siap untuk Salat Ashar. Musala yang kebetulan tepat
di belakang kelas 1-8 ramai. Tiba-tiba Rini muncul di jendela
yang hanya dibatasi teralis. Wajahnya meringis kesakitan
sambil memegangi dadanya. Napasnya sesak. Dia menggapai-
gapai hendak memanggil seseorang.

“Tolong ambilkan inhalerku,” katanya pelan.

Seorang gadis berambut sebahu cepat-cepat berdiri dan


mengambil inhaler dari tas Rini. Dewi memberi isyarat tanda
jijik pada gadis itu. Memang tak ada teman yang mau menyentuh
barang-barang Rini. Apalagi saputangan yang selalu dibawanya
kemana-mana. Seluruh kelas terkesan menghindar. Bahkan Rini
duduk sendiri di meja paling depan di dekat pintu. Tak ada
yang mau semeja dengannya. Itu disebabkan dia menderita asma
yang parah.

“Makasih, ya,” ujarnya setelah bisa bernapas normal. Gadis


Berambut Sebahu hanya tersenyum.

Rini sebenarnya gadis yang baik. Dia pintar dan kritis.


Beberapa kali penjelasan guru ditanggapinya dengan bernas.
Dia orang yang tak pernah puas begitu saja dengan apa yang
dijelaskan guru padanya. Terkadang teman-temannya merasa
sebal jika harus mendengarkan dia berdebat dengan guru. Sebab
itu bisa berlangsung hingga jam pelajaran usai. Padahal
begitu bel berdentang, semuanya ingin cepat-cepat menghambur
keluar. Jadi tertahan gegara Rini masih asik berdebat.
Ketika istirahat tiba, Rini dengan santai berjalan dari
kantin sambil membawa jajanan. Bahkan dia tak segan sambil
mengunyah tahu isi atau bakwan sambil berjalan. Makanan itu
dibawanya ke dalam kelas. Tak lupa ditawarkan pada teman-
temannya. Tapi tentu saja tak satu pun yang mau menerima.
Semua tau alasannya.

Untuk pelajaran keterampilan, di kelas satu diberi tiga


pilihan. Tata Boga dan Tata Busana jadi favorit para cewek.
Sedangkan cowok seluruhnya memilih keterampilan Elektro.
Rinilah satu-satunya siswi yang memilih keterampilan
elektro. Jadilah dia satu-satunya Hawa di kelas yang seluruh
penghuninya kaum Adam.

Suatu hari ia berdiri di dekat meja Gadis Berambut Sebahu


itu.
“Hai,” sapanya, tersenyum simpul malu-malu, “aku mau tanya,”
katanya lagi.
“Tanya apa, Rin?”
“E..eh, nggak jadilah,” katanya lagi masih malu-malu. Rini
duduk sambil celingukan salah tingkah. Seperti takut ada
yang memergoki tingkahnya.

“Tanya ajalah, kok malu-malu,” Gadis Berambut Sebahu


menyemangati.
“Itu...ee...kau pacaran, ya sama Wahyu?” sambil terkikik
pelan dia menutup wajahnya.
Gadis Berambut Sebahu memandanginya sambil tersenyum.
Temannya itu sedang jatuh cinta.
“Nggak. Kami Cuma temenan aja, kok,” jelasnya.
“Betulan?” bola matanya menyala mendengar jawaban itu.
“Iya.”
Kemudian Rini berlalu.
***

Suatu siang di aula sekolah. Rini dan Wahyu sedang mengobrol


berdua. Rini mengajaknya bicara empat mata untuk
mengungkapkan perasaannya.
“Tapi aku suka sama dia. Malah kami udah sering jalan,” cowok
hitam manis yang pendiam itu mencoba menjelaskan.
“Aku sudah tanya, katanya kamu cuma berteman,” Rini masih
penasaran.

Karena tak kunjung puas dengan jawaban Wahyu, Rini mengajak


klarifikasi. Wataknya yang selalu tak puas jika belum tuntas
dan jelas, muncul bahkan untuk urusan cinta.

***

Suatu siang yang panas di teras kelas ada keributan antar


siswa. Karena sebuah kesalahpahaman, Wahyu, sang ketua kelas
hampir dikeroyok siswa-siswa dari kelas lain. Beberapa siswa
mencoba melerai. Para siswi menyingkir ketakutan. Tapi
lihatlah yang berdiri paling depan. Rini dengan berani pasang
badan memebela ketua kelasnya. Siswa kelas lain memilih
mundur. Mungkin mereka takut dengan kemarahan Rini yang
betubuh bongsor atau segan harus berlawan dengan perempuan.
Perkelahian hari itu urung terjadi.

***

Wahyu, pemuda berkulit coklat dengan rambut cepak itu sangat


pendiam. Kalau ada keributan atau keonaran di kelas atau
dimanapun, pasti bukan dia pemicunya. Wahyu orang yang
cenderung akan mengalah jika ada perdebatan. Sebagai ketua
kelas, belum pernah dia berkata keras. Malah kalau teman-
temannya bandel, dia yang dimarahi guru.

Dia sering mengobrol berdua dengan Gadis Berambut Sebahu.


Lebih sering gadis itu yang berceloteh sendiri karena Wahyu
lebih banyak jadi pendengar. Wahyu suka bila gadis itu
tersenyum dan bercanda. Kadang-kadang mereka ke kantin
berdua. Bahkan pulangpun sering bersama walaupun hanya
sampai gerbang sekolah. Karena Wahyu akan menunggu Bus Budi
sedangkan gadis itu berjalan kaki ke rumahnya.

***

“Nanti sepulang sekolah kita ketemuan bertiga, ya,” ajak


Rini.
“Mau ngapain?” tanya Gadis Berambut Sebahu.
“Ada yang mau diomongin,” jawab Rini misterius.
“Wahyunya udah tau?”
“Tadi udah kubilangin,” jawabnya sambil berlalu.

Sore itu halaman sekolah hampir kosong. Hanya tinggal


beberapa siswa. Daun-daun Akasia berguguran terbawa angin
bulan September. Di teras 1-8, seorang pemuda dan dua gadis
tengah berbincang serius.

“Kok jadi kelen yang mengobrol,” jerit Rini tiba-tiba. Dia


merasa diabaikan. “Ini kan masalah aku! Tentang perasaan
aku.”

Tapi persoalan hati tak sesederhana itu. Sore itu ketiganya


menemukan permasalahan cinta yang rumit. Seperti permainan
petak umpet. Dicari kesana ternyata dia sembunyi di sini.
Merepotkan!
“Sudahlah, kita bertiga berteman saja,” Gadis Berambut
Sebahu menengahi.
Matahari kian jatuh di Ufuk Barat.
“Nanti diam-diam kelen pacaran,” Rini masih penasaran.
“Nggak kan, Yu?”
“Ya.” Wahyu menjawab pasti sambil tersenyum tulus.
“Kalau begitu kita janji sahabat selamanya. Ayo toast!” Rini
mengulurkan tangannya. Sore itu ketiganya pulang dengan
membawa beragam pikiran di benak masing-masing.

***

Suatu sore di penghujung 1991.


“Hai,” sapa satu suara.
Gadis berhijab itu menoleh dan mendapati sebuah senyum ramah.
“Belum pulang?” tanya Wahyu.
“Ini mau pulang,” jawab Gadis Berambut Sebahu yang kini
berhijab.
“Rini sudah meninggal dunia,” ucap Wahyu lirih.
“Hhm...aku udah dengar.”

Kabar itu sudah menyeruak sejak beberapa waktu lalu. Saat


kenaikan kelas, Rini pindah ke pulau Jawa mengikuti
keluarganya. Baru beberapa bulan dia dikabarkan telah wafat
karena penyakit yang dieritanya.

Mereka berdiri bersisian di teras tingkat dua. Suara burung-


burung dari sangkar di dekat laboratorium bahasa melengking
terbawa angin. Di kejauhan awan putih berarak jauh di
cakrawala.

“Apa boleh kita lanjutkan cerita di kelas satu?” pemuda itu


bertanya sambil menoleh pada gadis di sebelahnya.
Gadis itu terdiam beberapa lama.
“Janji persahabatan kita tetap berlaku walupun teman kita
telah tiada. Memang kamu tega mengkhianatinya?” Gadis itu
berkata lirih.

“Kalau begitu tetap bersahabat selamanya?” tanya Wahyu.


“Sahabat selamanya,” jawab gadis itu sambil tersenyum.

Matahari kian tenggelam di Ufuk Barat. Sinar kuning


keemasannya berpendaran di sela dedaunan pohon di halaman
sekolah. Wahyu melompat ke Bus Budi yang akan membawanya
pulang. Gadis itu melangkah pelan menyusuri jalan menuju
rumahnya. Sementara di suatu tempat di pulau Jawa, sebuah
gundukan tanah merah yang masih basah menjadi tempat
pembaringan teman mereka untuk selama-lamanya.

Selamat jalan, Rini. Bahagialah di alam sana. (Yos Cekgu)


Ku Kejar Dia Sampai BT BS Medika

Berawal dari ide sahabatku Haji Mahmudi untuk membuat memoar


alumni 93. Aku pun mencoba menggoreskan kata di halaman ini.
Mohon maaf apabila ada nama tokoh dan nama tempat yang
kebetulan sama mungkin itu hanya kebetulan saja.

Masa SMA adalah masa masa yang paling indah dim ana pada
masa itu kita mencari jati diri yang sebenarnya seperti bait
lagu yang di nyanyikan Obbie Mesakh.

Dalam cerita ini sang siswa SMA adalah sebut saja Lokot
(bukan nama sebenarnya)sedangkan sang siswinya sebut saja
Markonah (bukan nama sebenarnya),hehehe...udah kayak cerita
Lae Togar Metro 24.

SMA Negeri 3 Medan merupakan salah satu SMA favorit di Kota


Medan. Dengan berbekal Nem yang lumayan dan cukup cukup makan
si Lokot memberanikan diri memasuki SMA 3 medan tersebut.

Alhamdulillah, si Lokot pun di terima. Di Hari pertama masuk


sekolah ia menggunakan seragam putih abu abu Tetrek 2020
yang merupakan ciri khas warna seragam sekolah itu.
Dengan langkah tegap maju jalan, Lokot memasuki ruang kelas
nya. Dia selaksa Rano Karno dalam film Gita Cinta di SMA
cuit...cuit...

Dilalah, celingak celinguk pandangan si Lokot terpusat ke


orang wanita yang berparas cantik. Rambutnya hitam panjang
sebahu bak mayang terurai. Kulitnya alahmak bersih kuning
langsat.
Hari demi hari terus berjalan, sejalan dengan degup jantung
Lokot mau copot bila berpapasan dengan Markonah. Persis kayak
iklan parfum tahun 90-an pandangan pertama selalu menggoda
selanjut nya terserah Anda. Maih ingatkan?

Sudahlah hari lewat terus, sudahlah jantung kencang kali


lajunya, pun begitu tetap saja si Lokot Tak berani mengungkap
isi hatinya. Lama kali lah si Lokot ini, dahlah Kot tembak
aja. Tak dapat orangnya lihat atap rumahnya pun jadilah, itu
istilah Anak Melayu saking parno nya ia mengungkap bunga-
bunga yang tumbuh dalam hatinya. Apakah ini yang dinamakan
Cidaha? Cinta dalam hati. Hmm... hanya Tito soemarsono lah
yang tau di dalam bait lagu untuk nya.

Berlanjut di tahun kedua, semasa berada di Smantig. Hari


itu, pertama pembagian jurusan. Eh...ketemu lagi si Lokot
dengan pujaan hatinya Markonah. Ak disangka mereka mereka
ternyata satu kelas lagi. Gejala alam bersyair nih
sepertinya.

Pun begitu, tetap juga si Lokot tak berani mengungkap isi


hati nya. Halah...halah...Kot..kot, bacol kali ko pun. Hanya
pandang-memandang dari bangkulah yan ia berani, itu pun curi-
curi.

Ituh sih IDL kau Kot, bukan Intermediate density lipoprotein


ya, tapi Itu Sih Derita Lu. Jikalau pada masa itu sudah ada
acara talk show katakan cinta mungkin Lokot mendaftar.
Walau begitu, tetap lah berlanjut cinta dalam hati mu Kot
seperti yang di lantun kan Stevie wonder in I just call to
say I love you, sabar ya. Hancur minah...uwaha uwaha pinjam
ketawa si Charli anak bio itu.

Hari-hari pun berlalu dengan berjalannya waktu. Tak tersa


akhirnya masuk tahun ke tiga di Smantig.
Perasaan hati Lokot ingin terus bertemu dengan pujaan
hatinya. Maklum lah ia ini tak lah terlalu pintar dan tak
lah terlalu bodoh, tapi malas.

Kek Kucing ia. Diam-diam si Lokot mencari tTau apa yang di


lakukan Markonah setelah pulang sekolah. Oh, ternyata pujaan
hatinya mengikuti BT BS Medika yang berdiri sejak 10 Sept
1979 di bawah pengawasan Dr Reinhart Silalahi. Makjang, hafal
kau ya Kot.

Apa lah daya waktu jaman itu tak ada Android jarak rumah pun
berjauhan komunikasi belum secanggih saat ini. Hanya waktu
sekolah lah yang membuat Lokot giat untuk sekolah sambil
menyelam minum Milo Kepal...eh enggak ding minum es lengkong
aja lah. Biar hemat, saku cuma 1.000 rupiah, di situ lah
uang jajan dan di situ lah ongkos pulang pergi.

Akhirnya si Lokot diam-diam mengikut-ikut di BT BS Medika


agar bisa melihat rambut Markonah yang mayang berurai,
seindah iklan shampoo sun silk, amboi cantek kali lah kau.

Dan Tara, maka panjang lah waktu si Lokot untuk bisa bertemu
dengan Markonah.
Di saat hari bimbingan, ada-ada aja tingkah si Lokot agar
menarik hati sang pujaan hati. Cantek manislah laksana gadis
sampul majalah mode tahun 1991 pokoknya.

Lokot dan Markonah semangkin sering bertemu. Mungkin di


situlah keberanian si Lokot mengungkapkan isi hatinya kepada
pujaan hatinya. Happy ending nya penulis tidak mengetahui
selanjutnya seperti apa. Entahnya jadinya orangtu becewek
entahnya tidak.
Setelah tamat SMA, Lokot melanjutkan pendidikannya di Kota
Kembang sedangkan Markonah tetap melanjutkan studinya di
salah satu universitas negeri favorit. Sejak saat itu dengar
kabar burung dan bebek mereka jarang berkomunikasi lagi.
(Wak Doley)
Aku Puas: Puisi Cintaku Akhirnya Tuntas
(27 Tahun Sudah)

Jutaan syair mungkin sudah ada tentang cinta, tapi tak akan
membuat orang merasa basi untuk membicatakannya. Tetap saja
cinta bertengger pada papan atas peradaban manusia.

Cinta...hmmm, lima huruf yang digabung menjadi satu. Mudah


diucapkan pada diri sendiri dan dituliskan, serasa berat
untuk disampaikan pada orang lain. Begitulah kira-kira kata
para pujangga tentang apa itu cinta. Persis sama atas apa
yang aku rasa. Ku putuskan untuk membuat puisi sebagai luapan
dan bergeloranya aku saat itu. Puisi yang kutulis hampir 27
tahun lalu.

Hari itu,
Dihari pertama ku masuk di SMA 3
Kau menyapaku
Menyapa seorang dara
Kau dan aku sama
Pertama berseragam putih abu-abu

Matamu berbinar menatapku


Senyum manis menghias bibirmu
Rambut lebat ala Lupus
Saat itu kau bagai menyentuhku
Dan berkata Hai? Kita jumpa lagi
Seakan kau menggandeng tanganku
Lalu berbisik lembut ditelingaku
Mengatakan, "Ayo cinta mari ikut denganku"

Aku gugup
Tanpa tau harus berbuat apa
Membalas senyummu kah?
Melambaikan tangan kah?_
Sekedar membalas binaran matamu kah?
Atau mengangguk dan mengengam jemarimu

Tapi
Matamu itu
Senyum mu itu
Rambutmu itu
Walau hanya sepersekian detik
Mampu membuat aku mematung_

Aku hanya bisa terdiam


Tak tahu mau berbuat apa
Tak mampu berkata apa
Hanya mematung yang aku bisa
Aku berdesir
Aku bergelora
Aku berdegup
Tapi aku malu menyimbolkan itu semua kepadamu

(Bersambung)

Peristiwa indah itu berlalu begitu saja. Karena aku mungkin


terlalu malu dan menutupinya dengan mentegarkan diri di depan
ratusan anak berseragam abu-abu yang lain yang sedang bersiap
melaksanakan upacara bendera.

Waktu terus berjalan tanpa pernah aku berani untuk mengulang


kisah yang sangat langka itu, padahal aku sangat ingin. Boleh
dikatakan itu baru kali pertama rasa itu hadir. Mungkin
cerita itu terkalahkan dengan doktrin manis Crhrisye.
Doktrin manisnya mengatakan "Kita masih anak sekolah satu
SMA. Belom tepat waktu begitu begini".

Tak punya nyali untuk mengatakan sesuatu indah adalah indah,


sesuatu yang bahagia adalah bahagia, sesuatu rasa yang sulit
diucap kata. Akhirnya hanya aktivitas kaku dan rutin datang
ke sekolah, lalu upacara bendera, absen, mendengarkan guru,
ketawa-ketiwi bareng genk (istilah zaman now), mengerjakan
pe er yang seabrek banyaknya dll. Padahal ada satu zat yang
memberontak menuntut haknya untuk segera dikeluarkan,
disatukan dan dikomunikasikan. Tapi lagi-lagi aku dan
kuyakin juga kamu tak mampu dan berani mengungkap rasa itu.
Kita kalah dengan kata malu. Padahal kita saat itu begitu
dekat.

Kutup puisi itu hari ini, puisi yang belum tuntas aku
tuliskan sejak 27 tahun lalu.

Wahai Arjunaku
Apakah masih ada kah secuil kisah itu dihatimu?
Akan kah senyum mu akan mengampiri ku lagi?
Hmmm...ntahlah
Pastinya aku tak lupa akanmu

(Me - si Hitam Manis)


Kado Sebuah Keyakinan

Diamini Malaikat Pagi itu, disaat lonceng besi tua bertuah


dan berkarat itu belum melantunkan suara cetarnya yang khas
“klenteng teng teng teng”, pertanda seluruh remaja pria dan
wanita yang lagi mekar-mekarnya mencari jati diri harus masuk
ke ruangan untuk mendapat pedoman hidup.

Tersapu sudut pandang, seorang wanita remaja berdiri tegak


menatap lapangan yang berada persis di depannya. Entah apa
yang saat itu dipikirkannya, hanya dia lah yang tahu.

Sosoknya sedang semampai, terlihat elok bersahaja. Ditambah


rambut sepundak lurus ikal bergelombang pirang. Sepintas
terlihat seperti wanita belasteran Belanda. Tapi, saat lebih
fokus diperhatikan lebih mendekati keturunan Sunda. Mungkin,
itu hanya pandangan yang punya kemungkinan salah yang besar.

Ternyata, wanita muda ini tak berdiri sendir. Berjarak 50


hasta dari tempatnya berdiri, tampak terlihat seorang pria
seperti melucuti sosok wanita itu. Ia perhatikan dari ujung
kaki sampai kepala. Tak sadar, bahwa apa yang sedang pria
itu lakukan diperhatikan oleh seorang pria lainnya. Pria
yang memang tercatat agak sering membuat keonaran di sekolah
dimana mereka menimba ilmu sebagai pedoman dan jalan hidup
dunia.

Perlahan, ia mendekati si pria yang sepertinya tersirep api


keanggunan yang merebak dan ditangkap mata dan hati.

"Sudahlah, katakan saja kau cinta padanya. Kutengok hampir


setiap pagi kau curi pandang kepadanya. Lama-lama tingkah
kau bisa dibaca dan ketawaki Ikan Mas Koki yang ada di depan
kelasmu ini" kata teman pria itu saat menghampiri untuk
mengingatkan.

Pria gempal, bertubuh sedang berkulit cukup hitam itu tak


lantas menjawab ingatan temannya. Sedikit merapikan bajunya
yang tersetrika dengan sangat rapi itu akhirnya berkata.

"Memang, mudah menganjurkan untuk mengatakan kata cinta.


Asal kau tahu, leher kering dan aliran darah berhenti
ditambah jantung berdegup kencang. Ah, sepertinya aku tak
mampu mengatakannya," kata pria bertubuh sedang gempal ini
pada temannya.

Dengan percaya diri, sayup kudengar ia mengatakan. "Aku


percaya, suatu saat ini dia akan menjadi istriku," katanya.

Adakalanya kalimat yang terucap bagi sebagian orang adalah


kalimat tanpa arti. Namun disaat kalimat disampaikam dengan
daya harap dan memohon, kalimat itu akan menjadi kalimat
sakti yang menjadi kenyataan.

Sepuluh tahun lebih setelah kami lulus SMA, aku pun


memperoleh kabar burung dan bebek bahwa temanku yang gempal
dan berkulit cukup hitam itu akhirnya memperistri si Pirang.
Si pirang, gadis yang ia cintai telah menjadi miliknya. Tak
sia-sia ia bergumam pada saat itu. Boleh jadi, di saat ia
bergumam dengan keyakinan yang kuat bertepatan dengan
malaikat melintas menuju musala sekolah. Kebetulan, kelasnya
berada persis dilorong menuju musala. Dan malaikat pun
mengamini gumaman itu. (Affan Rangkuti)
BAGIAN KEEMPAT
Marahmu Sayangmu
Kotak Kapur Bertulis Amal
Guru pun Kenak Tokoh
Pegukor Bukan Pelakor
Gara-gara Tetrex 2020
Dari Jendela Deretan Bangku Belakang
Kotak Kapur Bertulis Amal

Entah siapa yang membuat ini menjadi seperti tradisi memang


perlu dilakukan identifikasi, pengumpulan bahan keterangan,
dan gelar perkara untuk dinaikkan predikatnya dari
penyelidikan menjadi penyidikan. Ah, jangan terlalu jauh
berfikirnya. Iya, jika saat peserta didik saat itu ada yang
menyamar menjadi polisi, jaksa, anggota Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau wartawan. Saat itu, tak ada para
penegak hukum, pemerhati, media masa apalagi lembaga anti
rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat itu yang ada hanya pria wanita 16 tahunan yang sedang
meluapkan kemerdekaannya, kebebasan berekspresinya di
lembaga pendidikan putih abu-abu. Hanya tiga orang yang
mereka takuti. Kepala sekolah, Ketua Bimbingan Penyuluhan
dan Wali Kelas. Dapat dipastikan, hampir semua pria wanita
ini berdoa agar ketiga orang ini tak masuk, bahkan paling
ekstrim mendoakan agar ketiganya senantiasa dihinggapi sakit
yang menyerang setiap hari Sabtu.

Sabtu adalah hari paling digemakan sebagai hari kemerdekaan.


Kemerdekaan yang paling ditunggu, sebab hari itulah luapan
kebebasan itu mencapai puncaknya. Kebebasan bermalam minggu
pastinya.

Tersebutlah beberapa pria muda yang dicap sebagai anak


brandalan dan urakan. Mungkin tak ada satu orang pun
menyenangi koalisi mereka ini. Koalisi yang mempertemukan
persamaan sifat dan kesamaan lainnya. Sama-sama mau enak
namun tak mau memakai uang sendiri. Strategi pun disusun
untuk menghindar dari tuduhan sebagai tukang kompas.
"Wak, besok Sabtu nih. Kalau balik ke rumah sore nanti kita
diketawai pintu," kata Menying pada seorang mitranya.

Menying, adalah murid yang duduk di kelas 1-10. Kelas


terbagus diantar kelas lainnya di SMAN 3 Medan. Mengapa
tidak, letak kelas itu bersebelahan dengan kebun binatang.
Walau pun tak semasyur Kebun Binatang di Kampung Baru,
setidaknya kebun binatang di sebelah kelas itu berisikan
satu burung hidup tergolong Pipit, sebuah Patung Bangau, ada
juga serangga seperti kecoa, nyamuk dan semut. Wajarlah jika
disebut kebun binatang, apalagi seluruh sisinya dipagari
kawat kasa berplat besi.

"Ya udah, kita ngombe ajalah. Nanti aku hubungi yang lain.
Oh ya, duit cemana," tanya Mamud pada Menying.

Sedikit mengerenyutkan dahi dan hampir memperburuk


tampangnya yang hitam ia pun berkata, "Gampang Mud, kita
bilang saja siapa kek yang sakit. Ya sumbangan sosial lah.
Pasti anak-anak yakin dan mau ngasih itu."

"Jitu jugak ide kau ya. Rambut sama otak klop kriting ikal.
Cocok lah kau punya kaca mata setebal pantat botol Nying.
Aku setuju. Ntar kita siapkan kotak kapur tulis buat masuki
uang sumbangan. Aku pancing cepek ya, biar gak kek ecek-
ecek," tambahku untuk memperkuat idenya.

Cling, ide baru, setan pun melakukan dukungan moralnya.


Bisikannya bagi angin sepoi-sepoi becek menginduksi pikiran
untuk mencari, menemukan kotak kapur tulis. Kotak kapur
berukuran kisaran 20 sentimeter bujursangkar dengan warna
kombinasi hijau putih pun ditemukan.
Perkara yang mudah menemukan kotak yang berisi kapur ajaib
itu. Pasti ada disetiap kelas, termasuk kelasku di 1-9. Kelas
yang berdampingan akrab dengan 1-10. Kelas yang nantinya
memproduksi manusia-manusia yang saat ini menjadi manusia
yang nyaris di luar dugaan.

"Npapai kau Mud," tegur Badak sesaat Mamud memasuki kelasnya


dan mencari kotak kapur.

"Ah, pas kali kau ada Badak. Kita ngombe siang ini di Kantin
Mami ya. Masalah duit selo aja kau. Kotak ini akan
menghasilkan duit," kata Mamud sembari menunjukkan kotak
yang ia dapat.

Mungkin merasa tak yakin, membuat mata Badak semakin


bertambah melotot. "Dah pesong kau, orang aneh. Kotak kok
bisa menghasilkan duit. Pesong kau Mud," ejeknya.

Mamud pun menjelaskan niat baiknya yang sangat peduli dengan


teman kepada Badak. "Gini, kebetulan hari ini Silaban sakit.
Nah, di kotak ini nanti kita tulis Sumbangan untuk Silaban
Sakit. Terus sebelum kita datangi teman lainnya, maka kita
isi dulu kotak ini. Kau punya cepek gak? Isikan nanti ya.
Sebelumnya coba kau tulis yang kubilang tadi dan tempelkan
di samping kotak itu," pinta Mamud.

"Oke, paten itu. Dah nyambung otakku sekarang. Tapi kan


duitnya untuk ngombe. Kalau tau Silaban nanti diadukannya
pulak sama guru," Badak kuatir.

Mamud pun menjelaskan dengan terang benderang bahwa duit itu


nanti separuh untuk ngombe. Separuh lagi untuk Silaban.
"Kalau saat ngombe nanti kurang ya kita pakai lagi saja
sisanya. Nanti urusan Silaban ya gampanglah. Kita buat lagi
saja," jelasnya pada Badak.

Kotak kapur bertulis pesan sosial amal itu pun beredar. Duit
yang didapat pun cukup untuk menyambut kebebasan di hari
Sabtu siang Menying, Mamud, Badak and the gank. Mungkin,
sejak saat itu lah, tradisi kotak kapur menjadi budaya yang
melekat dengan berbagai pola, model dan pesan amal sosialnya,
dari kotak kapur, dan kotak-kotak lainnya. (Affan Rangkuti)
Guru pun Kenak Tokoh

Hari itu tidak seperti biasanya, cuaca sangat bersahabat,


tetapi badan ini tetap merasakan gerah. Gak tau kenapa? Apa
karena telah berulang kali ke kantin sekolah? Bisa jadi,
karena kelasku berada di lantai dua salah satu SMA terfavorit
di Kota Medan, SMA Negeri 3. Hari itu, untuk pelajaran
pertama ibu guru hanya memberikan tugas mencatat, karena
beliau sedang ada rapat guru di dinas pendidikan untuk
persiapan ujian semester (sorry, saya lupa itu untuk semester
ganjil ato genap).

Kelarrrr...mata pelajaran yang harusnya dua jam hanya


diselesaikan dalam 15 menit mencatat. “Fantastis” bisa jadi
rekor terbaru nich. Seisi kelas mulai gelisah, gimana kalo
mata pelajaran berikutnya kita majukan saja karena mata
pelajarannya hanya satu jam? usul seorang teman. “Yesss bole
juga tuch,” sahut yang lain. Bersepakat, maka diutuslah sang
penjaga kelas (ketua kelas) untuk menghadap ke guru piket.
Guna memajukan pelajaran berikutnya, Kesenian.

Tenggg, negosiasi berjalan baik, ”Hari ini Bapak hanya


meminta kalian untuk menggambar suasana ruang kelas ini,”
perintah Guru piket. Lanjutnya lagi, “Bapak masih ada kelas
di lokal lain. Jadi tolong kelen jangan ribut dan ketua kelas
tolong jaga suasana lokal kelen tetap kondusif.”

Sekedar info saja, guru piket andai dilihat sekilas mirip


rekan kami, Bang Benu Suhelvin. Gak sampe 20 menit tuch
gambar yang ditugaskan guru uda dikumpulkan.

Okeyyy...next.... Kembali utusan pun dikirim kembali ke guru


piket paska tugas sudah dikumpulkan. “Untuk memajukan
pelajaran berikutnya, kelen tunggu 15 menit kalo gak datang
Bapak tu, kelen bole pulang,” kata guru piket. Dengan
keriangan luar biasa utusan kelas sigap menjawab, “Siaappp
Bu.”

Tiba tiba, anak kelasku berteriak menyambut kedatanganku


yang membawa kabar gembira, “Wooiiiii... Anak Darmawangsa
ngajak tanding bola di lampu dua, mau gak kelen?” serunya.

“Siiaapp, jam berapa. Teman yang lain mau ikut gak?” tanyaku.
“Jam empatan lah…Siippp, yang lain juga siap,” jawabnya
yakin.

Jam dinding saat itu menunjuk angka 15:15 WIB. Menurut hisab
matematika ala SOS1 jam 15:20 WIB, harus uda keluar kelas
biar tidak terlambat tanding bolanya. Hasratpun seakan padam
manakala dari kejahuan terlihat Pak Guru mata pelajaran
Matematika berjalan pasti menuju tangga. “Wooii Bapak tuch
datang, Wadowwww…bisa batal tanding bolanya nich,” ujar
salah satu teman disaat kami sudah siap untuk berangkat.
Sudah tak perlu letoi kata seorang teman, “Bapak tu naik
dari tangga sebelah kiri, kita wooii cepat lewat tangga
sebelah kanan. Itu tangga keramat, tangga penuh dosa dan
najis tralala,” lalu satu lokal kami pun mencuri waktu alias
cabut untuk bermain dan menjadi penonton tanding bola.

Tanpa komando, kami pun bergegas berlari ke sayap kanan.


Dari kejuhan persisnya dari lapangan volley kami melihat ke
kelas. Teterlihat pak guru melambaikan tangannya ke kami,
isyarat memanggil untuk kembali masuk kelas. Lambaiannya tak
dihiraukan, terlihat bibirnya bergerak dan dapat kami dengar
sayup memanggil, “Woooiiiiii...naik kelen...belajar kita.”
Ajakan suci itu, ajakan yang akan menentukan masa depan kami
nantinya mau menjadi apa, serta merta kami jawab dengan
senyum simpul dan agak mengejek, “Da da...terima kasih Pak.
Maaf ya Pak…Kami tinggalkan.” (Soslogein93)
Pegukor Bukan Pelakor

Guru, mendengar kata ini maka kita ingat sosok Ki Hadjar


Dewantara. Walau tak pernah bersua dengannya, kita dapat
merasakan bahwa ia adalah guru yang bijaksana. Saking
familiarnya dengan si Aki, kita pun ingat petuahnya Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani, di depan memberi teladan, di tengah memberi
semangat, dan di belakang memberi dorongan.

Tetapi namanya guru adalah manusia yang penuh kekurangan.


Butuh penutup kekurangan dengan merangkul murid sebagai
anak, bukan anak sebagai murid. Aku yakin, bangsa ini akan
mempu memproduksi penerus-penerus yang mengedepankan
kebapakan atau keibuan, bukan tangan besi yang bermuka seram
seperti Betoro Kolo, hiiiiiiii …takut.

Alkisah pada era 1990-an di SMAN 3 Medan, murid yang gemar


dengan matematika dapat dihitung dengan jari. Pelajaran itu
identik dengan penyiksaan batin. Penyiksaan yang lebih kejam
dari penyiksaan lahir. Saat itu belum ada metode senyum
ramah, apalagi kalimat penyemangat seperti saat ini I love
You Math, Matematika Itu Mudah, Cinta Bukan Matematika Tapi
Matematika Butuh Cinta, dll.

Kek setan datang bagi murid saat itu, disaat seorang guru
matematika memasuki ruangan untuk mengajar ilmu langka ini.
Bagi murid saat itu, guru matematika biasanya judes dan
killer. Sikap yang menurut aku adalah sifat yang mematikan
hormon yang akan merambat naik ke otak. Cerdas tidak,
berpotensi jadi paok ya.
Patut aku bersyukur, ternyata tidak semua hal yang menakutkan
tentang guru matematika adalah benar. Kali pertama aku di
Kelas 1-1 kedatangan seorang guru angka itu. Pendekar
kalkulator yang terlihat berwajah teduh dan kebapakan.
Ahai…aku salah selama ini. Tak selamanya matematika akan
dibawa seorang pengajar yang menakutkan baik tampang maupun
metode mengajarnya.

Adalah Lahmuddin Lubis, guru matematika ku di 1-1. Ia lah


guru terfavorit yang akan aku bilang pabila ada yang
bertanya. Selain berwajah teduh, cara ngajarnya enak dan
mudah dicerna. Pokoknya aku tergila-gila lah sama Pak Lubis
ini, sorry ya bukan pelakor tapi pegukor. Ini hanya ungkapan
rasa senang, ternyata ada seorang guru kalkulator seperti
ini di dunia yang aku atau mungkin seluruh temanku di 1-1
temukan.

Sayang kebahagian itu tak lama kami nikmati, karena ia harus


pindah ke sekolah lain. Tidak ada guru yang sebaik beliau
menurutku, guru yang benar benar dapat dijadikan contoh
teladan bagi murid-muridnya. Cuma ngajar beberapa bulan saja
di kelas kami, pun begitu sangat berkesan dan membekas sampai
sekarang.

Ketakutan kembali melanda kami-kami yang alergi dengan ilmu


angka-angka ini. Ilmu yang membuat keringat keluar tidak
pada saat yang tepat. Kegelisahan membatin karena guru
pengganti Pak Lahmuddin besar kemungkinan seperti Beroto
Kolo. Ada secercah doa aku panjatkan agar si guru pindah
kembali ke SMAN 3 untuk mengajar. Tahu apa yang terjadi, doa
pun terkabulkan. Walau terkabul hanya sebagian saja, namun
membuat kami berenam seperti mendapatkan es ganepo dan gulali
pink.
Bagamana tak senang dan riang, Pak Lubis datang kembali ke
SMAN 3 walau belakangan kami tahu bukan untuk mengajar. Suara
sepeda motor terdengar khas, karena area parkir berada di
samping kelas 1-1, kelas yang dapat memantau lalu lalang
orang dan kendaraan di luar sekolah. Seperti team cheerleader
kami seolah menari-nari kegirangan dan kesetanan sebab team
kesebelasan bola yang kami dukung mampu mencetak gool ke
kubu lawan. Kontan aja aku dan enam orang temanku, salah
satunya Mak Ros langsung berhambur keluar kelas untuk bertemu
dan bermengkek dengan beliau. Padahal, disaat kami
berhamburan keluar, proses ajar mengajar pelajaran masih
berlangsung dan kebetulan pulak matematika.

Ah biarin sajalah, emang kupikirin, bantenya lah situ. Kami


pun nyelonong boy gitu aja tanpa permisi sama bu guru yang
lagi mengajar. Eforia kali ya kayak mo nemui idola. Karena
begitu sayangnya kepada Pak Lahmudin maka kami seperti itu.

Walaupun tak berselfie ria karena waktu itu tak ada pulak
gadget kek sekarang. Tapi kami puas bersilaturrahim dengan
beliau. Tiba masuk ke kelas kembali, kami disambut bu guru
angka yang sedang mengajar dengan mukak kusut lagi masam,
kek mau diterkam dan digraoknya saja kami saat itu. Syukurnya
kami gak disetrapnya. Halah...ya sudahlah, hingga akhirnya
kami mesti menerima kenyataan suka tak suka bu guru itu mesti
kami terima dengan lapang dada walau ecek-ecek, soal ngerti
atau gak belakangan yang penting lulus pelajarannya titik.
(Meirdiana Ardiningsih)
Gara-gara Tetrex 2020

Jadi siswa baru di SMA 3 itu sesuatu. Sesuatu yang


membanggakan. Pengalaman tak terlupakan. Tapi juga bisa jadi
sesuatu karena dipermalukan.

Bagaimana tidak bangga, setelah berjuang sehubungan pindah


rayon (karena aku berasal dari daerah), serta berbagai hal
administrasi, akhirnya diterima. Bagaimana tak terlupakan,
dari sekian siswa yang berasal dari daerah, aku berhasil
masuk ke sekolah itu. Padahal Nem haruslah di atas 40. Dan
bagaimana tidak dipermalukan jika kejadian seperti ini
menimpamu tepat di hari pertama masuk sekolah.

Pagi itu, Senin di pertengahan bulan Juli, halaman SMA3 hiruk


pikuk dengan celoteh siswa-siswi baru yang berkumpul di
lapangan. Aba-aba seorang guru lewat pengeras suara seolah
tenggelam ditelan dengung suara ratusan siswa yang baru saja
menanggalkan seragam SMP itu.

Kami dibariskan berdasarkan urutan kelas yang sudah


ditentukan. Aku berada di barisan kelas 1-8. Secara spontan
ketua kelas dipilih saat itu juga. Ketua kelas kami bernama
Wahyu Efendi. Orangnya hitam manis dan sabar. Lihatlah,
menghadapi anak-anak yang masih sibuk bertukar pengalaman
dengan teman-teman ini, dia masih bisa tersenyum.

Aku belum punya banyak kenalan. Hanya beberapa orang


sebarisan yang namanya pun masih belum kuingat benar. Satu-
satunya kenalan yang masih terus menempel seorang cewek
ceriwis yang tak henti-hentinya cari kenalan. Namanya
Mardewiati. Dia juga dari luar kota Medan. Tepatnya kota
Binjai. Walaupun sama-sama dari daerah, tapi dia orangnya
supel dan ramah. Sebentar saja dia sudah mendapat banyak
kenalan.

“Seluruhnya siaaapp...Grak!”

Aba-aba lewat microfon terdengar lagi. Tapi sebentar saja


siswa-siswa bandel itu sudah ribut lagi. Mungkin di beberapa
tempat ada yang masih mencari barisannya. Entahlah. Aku
merasa seperti tenggelam dalam lautan manusia.

“Ros, kita di depan aja,” ajak Dewi.

Kamipun mengambil tempat di barisan paling depan.


Sementara merapikan barisan, seorang guru memperhatikan
kerapian siswa. Beberapa yang belum sesuai peraturan
mendapat peringatan. Tiba-tiba...

“Hei, kamu!” serunya sambil menunjuk ke arah barisan kami.

Kami celingukan mencari orang yang dimaksud. Aku juga ikut-


ikutan melihat ke arah belakang. Kira-kira siapa yang
barisannya belum rapi hingga kena teguran.

“Kamu! Kok malah liat ke belakang,” katanya lagi sambil tetap


berdiri di podium.

Hingga kusadari ternyata telunjuknya mengarah padaku.


Sekarang aku merasa tatapan mata seluruh sekolah terarah
padaku. Seolah-olah aku menciut jadi liliput karena malu.
Ada apa ini, pikirku. Padahal aku sudah berbaris dengan rapi.

“Kau anak sekolah mana?” bertanya beliau dari podium.


Kumisnya yang tebal bergerak-gerak. Rambutnya yang hampir
kelabu berkibar-kibar ditiup angin. Sebenarnya bapak guru
yang belum kutahu namanya itu ganteng dan gagah. Tapi bagiku
kali ini dia menakutkan.

“Anak SMA 3, Pak,” jawabku pelan.


“Apa!” ulangnya menggelegar.

Ya ampun...apa salahku...kok kayaknya beliau murka betul ya.

“Anak SMA 3, Pak!” ulangku lebih keras.


“SMA 3 mana kau? Anak SMA 3 roknya bukan begitu,” tudingnya.
Telunjuknya mengarah ke rok yang kupakai.

Seketika aku menunduk dan menyadari warna rok ku berbeda


dengan siswi-siswi lainnya. Sama-sama abu-abu tapi rok ku
berwarna lebih cerah.

“Bahan rok siswi SMA 3 itu Tetrex 2020,” gelegar beliau dari
atas podium, “kamu baris di belakang!”

Pelan-pelan aku beranjak ke barisan belakang dengan perasaan


malu. (Yos Cekgu)
Dari Jendela Deretan Bangku Belakang

Duduk di bangku deretan belakang


Di dalam kelas penuh dengan obrolan
S'lalu mengacau laju kenangan

Syair lagu Dari Jendela Kelas Satu milik Iwan Fals itu
membawa kisah ini terbawa.

Begabung di SMA 3 pada tahun ke dua tak membuatku tertinggal


dalam samudera pergaulan bersama genk leged smantig. Watak
explorerku justru kian terasah di sekolah ini. Dari genk
bawah tangga sampai genk warung opa, itu daerah jajahanku
semua. Aku si Gopal. Inilah beberapa petualanganku selama di
SMA 3.

Bersama Mahdi dan Mahmud, aku pernah magang di gerai


hamburger. Kala itu serbuan fast food ala amerika itu tengah
melanda Kota Medan. Gerai yang terletak di Glugur itu milik
Noval, sepupu Mahdi. Beralasan ingin menambah uang jajan,
kami malah cari kesempatan makan burger gratis, modus kau Pal.
Dan malamnya tenggen pakek upah dagang burger. Tapi uniknya,
Mahdi masih nyempatin belajar walaupun lagi mabok.

Aku punya sebuah kamera merek Fuji. Suatu hari, karena


kehabisan modal kongkow, Mahdi memaksa menjualnya. Padahal
itu milik ortu ku. Demi persahabatan dan kebersamaan, aku
pun menjualnya. Keesokan harinya kami dijeglek sama mamakku.
Si Mahdi direpetin habis-habisan karena idenya dari dia.
Malu kali dia direpetin di depan ortu si Noval.

Duo cewek suatu sore datang menjemput ke rumahku. Santi


Bidari dan Tuty Hidayati. Mereka naik Astrea Prima hitam
yang masih kinclong. Setelah menghubungi Reza Pahlevi, kami
sepakat jjs ke Brastagi. Reza berboncengan dengan Tuty naik
astrea star warna merah. Aku membonceng Santi dengan kereta
barunya. Santi yang tomboi enak saja merangkul pinggangku
dari belakang. Sementara aku gemetaran, dia santai aja di
boncengan. Waktu melewati tikungan, tiba-tiba ada yang
menegurku.

"Dek, kawannya ketinggalan tu," katanya.


Waktu menoleh ke belakang ternyata Santi udah gak ada. Saking
groginya, tak sadar kawan jatuh dari boncengan. Sementara
Tuty dan Reza bak Galih dan Ratna terus melaju di depan.
Hahaha...

Walaupun aku luwes dalam kejailan dan keisengan, tapi tak


begitu dalam urusan makhluk bernama cewek. Aku jomlo. Biarpun
menurut beberapa teman cewek aku ini gasteng. Malah ada yang
bilang aku mirip Donnie Wahlberg NKOTB Air laut kali... Gak
aci angek, ya... Itu kata cewek-cewek itu, bukan kataku ya.

Satu hari aku mendapat pesan cinta dari seseorang. Dia teman
sekelasku. Orangnya cantik, tapi pendiam dan tak banyak ulah.
Aku merasa bingung. Itu pertama kali aku dapat pesan cinta.
Yang menyampaikan cewek paling centil di kelasku. Cara
menyampaikan pesannya unik. Cewek centil yang jarang
menyapaku itu ngajak bicara empat mata.

Kami duduk berdua di depan laboratorium kimia. Bicara serius


kayak orang lagi kencan. Gayanya sok dewasa. Padahal biasanya
kan pecicilan. Malah aku yang grogi. Karena tak tau cara
menjawab pesan itu, kubilang aja aku udah punya pacar. Eh,
dia nggak percaya. Akhirnya pada suatu acara, kuperkenalkan
dia dengan seorang cewek yang aku pun lupa entah siapa. Aku
tak tau apa yang dikatakannya pada gadis pengirim pesan cinta
itu. Tapi itula satu-satunya pesan cinta yang pernah kuterima
semasa di Smantig, kasihan.

Suatu hari di dalam kelas, guru fisika sedang menjelaskan


tentang gaya magnet. Beliau guru wanita yang sudah berumur
tetapi belum menikah. Suaranya serak tetapi lantang. Seisi
kelas mati-matian menahan kantuk. Pelajaran fisika benar-
benar memengaruhi fisik pelajar.

Salomo susah payah menahan kepalanya tetap tegak. Kacamata


tebalnya tak mampu menutupi kelopak matanya yang tinggal
lima watt. Ketika Ibu Guru memeragakan gaya magnet, mata
sebagian siswa mulai terbuka. Santi Bidari yang duduk paling
depan tersenyum-senyum simpul. Genk barisan bangku belakang
nyengir lebar.

Ibu Guru menjelaskan sambil memaju-mundurkan tangannya


menggambarkan gaya magnet. Tubuhnya juga bergerak sambil
berkata, "masuk.... keluar... masuk.. ". Setidaknya itu yang
tertangkap pikiran siswa. Bikin ngeres pikiran. Seusai
menjelaskan, beliau memerintahkan Dame mengerjakan soal di
papan tulis. Karena salah, Dame dimarahin.

Dari belakang, aku nyeletuk, "Cium aja, Me."


Kontan penghapus melayang ke kepalaku. Untung aku ngelak.
Kemudian penghapus kukembalikan pada Ibu Guru sambil bilang,
"Gak kenak, Buk." Kurang ajar betul.
Tanpa basa-basi, aku ditendang keluar kelas. Aku berkunjung
ke rumah beliau untuk meminta maaf. Tak lupa kubawa sebotol
Markisa Cap Pohon Pinang dan sekaleng biskuit Khong Guan.
Tapi oleh-oleh tak diterima dan maaf tetap tak diberi. Di
akhir tahun pelajaran, angka 5 dengan manis nangkring di
raportku untuk pelajaran fisika. Itulah masa labil, masa
manis yang suatu ketika akan disesali mengapa dulu kok gak...

Dari jendela kelas yang tak ada kacanya


Tembus pandang ke kantin bertalu rindu
Datang mengetuk pintu hatiku.
(Gopal)
BAGIAN KELIMA
Kau Akan Selalu Ada (Sahabat)
Terimakasih Son, Salam Hormat Buat Ibu
Wisata Kuliner Bermodal 1.000 Rupiah
C’Cewe Tangguh? Pasti Dia
Is, Anak Bio Nembak Tukang Becak
Terimakasih Son, Salam Hormat Buat Ibu

Sebenarnya ada rasa malu di saat aku menuliskan kisah ini.


Namun, kisah ini sangat memiliki arti penting dalam
perjalanan hidup, dan bagaimana sebenarnya memperlakukan
seorang yang biasa kita sebut sahabat.

Tidak seperti yang lain, aku terlahir dari keluarga yang


terbilang cukup sederhana. Bentukan kemandirian berlaku
dalam kitab silabus yang diberlakukan orangtua. Suka tak
suka, aku harus memainkan peran untuk memperoleh sejumlah
uang saku. Karena seni patung sesuatu yang aku sukai,
akhirnya aku pun membangun usaha pot bunga. Dari bahan
mentah, pengecatan dan penjualan aku lakukan sendiri. Tentu,
pembuatan dan penjualan aku lakukan apabila tidak ada
aktivitas sekolah umum dan madrasah. Dua hari dalam seminggu,
Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya.

Tak ada yang mengetahui apa yang aku lakukan, hanya seorang
teman yang kebetulan tinggal dekat dengan rumah lah yang
mengetahui. Itu pun karena ia disaat bulan-bulan pertama
masuk SMAN 3 Medan datang ke rumah untuk pergi sekolah
bersama. Ya, sedikit memutar pikiran aku mengingat namanya
kalau tidak salah Ganda, orangnya kecil dan bermarga yang
tinggal di Jalan Gereja.

Cerita ini bukan tentang Ganda. Ini berkisah tentang seorang


yang dapat aku katakana sahabat yang tak akan pernah aku
lupa walau esok lusa tubuh ini diselimut kain kafan. Bukan
bermaksud menafikan sahabat yang lain, oh tidak. Seorang ini
bagiku sangat mengerti aku dan sangat pandai memperlakukan
sahabatnya.
“Pot bunga...pot bunga...pot bunga,” Teriakku sambal
mengayuh becak melintas di permukiman pegawai kereta api di
bilangan Brayan Bengkel.

“Pot bunga...bang...!!!,” panggil seseorang kepadaku.

Disaat aku berbalik, aku melihat seorang pemuda yang sangat


aku kenal sekali siapa dia. Wajahnya memancarkan keramahan,
berambut ikal, sangat mudah senyum, bersih berperawakan agak
tinggi dengan postur tubuh yang seimbang. Pokoknya pemuda
ini jauh dari sorot pandang angkuh, sombong dan hal buruk
lainnya. Ia adalah temanku di kelas 1-9. Penampilannya rapi,
lengkap dengan jam tangan bermerek Seiko mungkin, bertalikan
stainless steel.

“Wah..ternyata kau. Masuk dulu ke rumah lah, kita duduk dan


minum,” katanya mengajaku masuk ke rumahnya. Sembari masuk
ke dalam rumah ia pun memanggil orangtuanya,
“Mak...mak...mak. Sini mak, ini ada kawanku datang.”

Seorang wanita paruh baya keluar dengan senyum yang sangat


bersahabat,”Masuk nak…masuk. Teman Jhonson ya?” tanyanya
padaku. Aku pun mengangguk mengiyakan. “Sebentar ya, Ibu
buatkan minum dulu,” ucapnya berlalu.

Apa yang terbesit dalam pikiranku saat itu adalah, bahwa


keluarga ini adalah keluarga yang ramah dan memperlakukan
orang dengan baik.

“Son, aku malu. Aku mau jualan kok malah disuruh masuk dan
dikasi minum pulak lagi,” Kataku pada Jhonson
“Sudah tak apa-apa, santai saja. Aku memang mau membeli pot
bunga. Namun tak menyangka bahwa penjulnya adalah kau. Kita
sekelas, kita berteman, sudah menjadi kewajiban aku untuk
melayani kepada teman yang aku kenal. Jadi, kau minum dulu,
kita cakap-cakap, sekalian kau istirahat. Apalagi hari ini
sangat terik,” ungkapnya.

Diusia 16 tahun saat itu, baru pertama aku berkomunikasi


dengan seorang sepantaranku dengan pembicaraan yang aku
nilai cukup dewasa dan bijak.

Kami pun berbicara, tak lama kemudian ibunya datang


mengantarkan minuman dan makanan ringan. Ibunya tak lantas
pergi, ia bergabung bersama kami dan berbicara.

Pertanyaan standar akan menjadi hal pembuka dalam


pembicaraan. Hal yang biasa. Namun ada sesuatu yang sangat
luar biasa dalam pembicaraan itu. Ibunya mengatakan begini,
“Nak...saya melihat kamu ini anak yang tangguh, ulet dan
punya jati diri dan kemauan. Ibu yakin kamu akan memperoleh
hal yang baik. Hal baik yang tak pernah samasekali kamu
impikan tetapi ia datang kepadamu suatu saat nanti.” Sambil
berdiri dan berlalu ia pun sempat mengelus kepalaku, sebagai
tanda kasih sayang orangtua kepada anaknya.

“Son, baik kali Ibu kau. Kek anaknya aku dibuatnya,” kataku
kepada Jhonson. Ia tak menjawab hanya melontarkan senyum
saja kepadaku. “Lain kali kalau kau jualan lewat sini harus
mampir ya. Panggil saja, kalau aku ada dirumah pasti aku
dengar. Oh ya...aku beli pot bunga kau tiga. Berapa
harganya?” tanya nya kepadaku. “Murah, satunya 2.500
rupiah,” Jawabku.
Lama berlalu kisah itu, hingga belasan tahun berlalu. Hingga
suatu ketika aku dipertemukan dalam media sosial facebook
dikisaran tahun 2008. Aku berkomunikasi dengannya melalui
media sosial itu. Ia mengenalku dan aku pun mengenalnya
langsung. Pertama yang aku tulikan dalam kalimat pembuka di
media sosial itu adalah, “Son, apa kabar Ibu,” kataku. Ia
menjawab, “Baik Mud, sehat dan kami telah pindah ke daerah
Helvetia Raya,” Jawabnya. Selanjutnya akhirnya kami
berkomunikasi tentang hal lainnya. Setelah 2008 tak ada
komunikasi lagi, mungkin karena kesibukan masing-masing.
Terakhir aku memperoleh kabar bahwa ia telah memperoleh
pangkat Kolonel di kesatuannya dan saat ini bertugas di
wilayah Medan. Salam buat ibu ya Son, sampaikan salam
hormatku padanya yang telah mendoakan aku. (Affan Rangkuti)
Wisata Kuliner Bermodal 1.000 Rupiah

Siapa bilang uang sebesar 1.000 rupiah itu besar. Ya besar,


jika uang itu diberikan pada tahun 1950-an. Cukup besar jika
menjadi uang saku anak sekolah pada tahun 1980-an. Terbilang
lumayan lah jika diberikan kepada siswa pada tahun 1990-an.
Mengapa lumayan, tolak ukurnya sederhana. Harga premium saat
itu sebesar 750 rupiah per liter, sangat murah jika
dibandingkan harga saat ini. Dollar Amerika saja saat itu
masih dibandrol 2.000 – 2.500 rupiah per dollar.

Patut disyukuri, semasa sekolah di SMA 3 Medan sepertinya


Malaikat Mikail senantiasa mengawal kemana kaki melangkah.
Tak ada sesuatu yang sangat sedih untuk diceritakan. Aku nya
saja yang mungkin tak tahu diuntung bahwa kondisi saat itu
sangat berpihak kepadaku. Tak ada kesedihan, duka, lara
apalagi tangisan bombay. Hari-hari penuh semangat dan
mengalir tanpa beban dan berjalan apa adanya.

Tahu semur 100 rupiah, tempe semur 100 rupiah. Teh manis
dingin 250 rupiah, Indomie rebus pakai telur 750 rupiah.
Uang 1.000 rupiah cukup untuk segelas teh manis dingin dengan
santapan indomie rebus bertelur di Kantin Mami. Kantin
kenangan yang letaknya persis di depan gerbang sekolah SMAN
3 Medan. Kantin tempat berkumpulnya orang-orang yang dapat
dikatakan anti disiplin, muak, sebel dengan segala macam
aturan sekolah dan pe er sekolah yang hampir setiap hari
diberikan guru.

Aku sih santai saja, bagaimana tidak. Buku tulis hanya satu,
di sananalah semua pelajaran sekolah aku torehkan. Tak heran
jika nilai pelajaranku memang hancur lebur, bukan karena aku
bodoh. Aku hanya tak begitu suka dengan klaster dalam
pelajaran. Boleh jadi ini merupakan bibit dalam pemikiran
vokal dan kritisiku yang bakal tumbuh dan berkembang
dikemudian hari nantinya.

Daripada keringat dingin di tangan, muka cemas, ah pokoknya


tak sedaplah dirasa apalagi dipandang orang lain. Aku tak
suka pula hal seperti itu, kalau pe er pelajaran sekolah tak
siap aku kerjakan ya tak usah dipaksakan. Elok aku ke Kantin
Mami karena diskor, daripada rebutan dan capek mencontek
dengan teman, apalagi harus selesai sebelum lonceng
berbunyi. Tak suka aku menyelesaikan tugas seperti kek
dikejar hantu.

Nah disinilah cerita itu bermula. Sebelumnya, aku sampaikan


ucapan terimakasihku yang selalu aku panjatkan melalui doa-
doa kepada sahabatku yang satu ini, Zulfahmi.

Lebih baik aku ke Kantin Mami atau kantin belakang sekolah


yang tempatnya dekat dengan tolilet siswa daripada terpaksa
mengerjakan pe er Matematika. Akhirnya, doa itu pun terkabul
dan tunai. Aku pun di usir guru Matematika. Wajah guru yang
satu ini terbilang cantik masih muda lagi, namun serasa agak
sadis hingga kecantikannya tertutup dengan kejudesannya.
Mungkin di rumah pun budaya judesnya dilakoni, sayang sih
sebenarnya. Padahal cantik loh, apalagi kalau ia mau
berbudaya senyum manis.

Saat diusir dari kelas, aku tak mengantongi uang saku. Waduh,
cemana mau jajan di kantin. “Manalah pulak Bang Kumis Regar
sama Teh Lina mau memberikan aku hutang,” Kataku dalam hati.
Seperti kontak batin dan berbicara di Alam Astral, sahabatku
yang duduk di belakangku menyapaku. “Mud, ini ada 1.000, kau
ambil saja. Buat jajan,” Zulfahmi memberikan aku uang.
Alahmakjang, “Pucuk Dicinta Ulampun Tiba”. Begitulah kata
pepatah Melayu Proto. Aku yang diusir karena tak mengerjakan
pe er Matematika, aku yang akan bengong nantinya dalam masa
pengusiran itu akhirnya dapat solusi cerdas. Alam memang
sangat berpihak kepadaku, dengan uang 1.000 rupiah itu aku
bisa berwisata kuliner mungil di kantin dekat toilet sekolah.
Dan tak harus merengek pada Bang Regar dan Teh Lina agar
diberikan makanan gratis. Oh ya, lupa. Bang Regar dan
istrinya ini suatu ketika menjadi kerabatku. Karena ternyata
ia dan istrinya merupakan anak buah mertuaku pada saat
menjabat Kepala Sekolah SMAN 3 era 1980-an.

Begitulah, hingga 1.000 rupiah yang kali pertama diberikan


sahabatku itu bukan kali terakhir. Ia sangat tahu kapan aku
ada uang jajan, kapan aku bokek. Dengan senyumnya yang khas
dan dingin ia dengan riang memberikan 1.000 rupiah kepadaku.
Jika ia membaca tulisan ini, aku yakin dia akan tertawa dan
tersenyum ikhlas. Terimakasih Zul, Pak Jaksa yang sangat
baik hati. (Affan Rangkuti)
C’Cewe Tangguh? Pasti Dia

Facebook memang jejaring sosial luar biasa. Setidaknya aku


menganggap begitu. Berawal dari iseng-iseng buat akun
facebook, aku menemukan kembali seorang sahabat lama.
Ingatkan dengan cewek ceriwis yang jadi teman pertamaku di
smantig? Kalo nggak bilang aja. Biar kuceritain lagi.

Sebagai pendatang dari daerah, aku tak punya satupun kenalan


di smantig. Pada awal masuk sekolah benar-benar kayak rusa
masuk kampong.

Di sekitarku semua bersenda gurau dengan teman-teman semasa


SMP yang sama-sama mendaftar sebagai siswa baru di smantig.
Aku berdiri di pojokan, entah sebelah mana, menyesali kenapa
gak daftar SMA di kampungku aja.

Di tengah keriuhan itu, seorang siswi kurus, kecil, berkulit


eksotis, rambut ikalnya dikuncir kuda, menyeruak. Dia
menyapa kesana-kemari. Tapi semuanya sibuk dengan cerita
bersama teman-teman lama masing-masing. Dia agak terabaikan.
Tapi terus saja dia nimbrung.

Tiba-tiba dia sudah ada di depanku.


“Hai!” sapanya. Tersenyum penuh dengan seluruh ekspresi
wajah dan mata.
“Hai,” jawabku kikuk.

Kami berkenalan. Namanya Mardewiati. Unik, sepanjang umurku


waktu itu dan hingga bertahun-tahun kemudian belum ada kawan
dengan nama Mardewiati. Awalnya kukira dia orang Batak. Dia
berasal dari Binjai. Orangnya ramah. Suka bicara. Ada-ada
saja yang ditanyakan. Berdua kami berkeliling di lapangan
sekolah. Sepanjang hari itu dia menyebut namaku secara
lengkap. Membuat aku agak risih. Kan bisa panggil nama depan
aja.

Ternyata kami berada di kelas yang sama 1-8. Kami berbaris


berdampingan di barisan depan. Mungkin karena sama-sama
pendatang dari daerah, anak-anak Medan itu sengaja
menyodorkan kami biar kelihatan.

Seiring waktu, aku makin jarang berkumpul sama Dewi. Dewi


yang supel sering bergaul sana-sini cari kenalan-kenalan
baru, sementara aku hanya bergaul dengan teman-teman sekelas
saja. Tapi dia sudah tidak memanggil nama lengkapku lagi.
Dia memanggilku Yos.

Di kelas dua kami berpisah kelas. Dia Bio 3, aku di Bio 4.


Tapi uniknya kami malah sering ketemu di luar sekolah.
Dewi pernah bercerita, dia sudah yatim sejak kecil. Ibunya
masih di Binjai. Di Medan, Dewi tinggal dengan abangnya di
Titipapan. Sikap Dewi yang keras, membuatnya pernah
berselisih paham dengan kakak iparnya. Karena itu Dewi
memilih keluar dari rumah abangnya dan kost di Glugur.

Kadang-kadang aku main ke rumah kostnya di Glugur, sesekali


dia yang ke tempat kost ku di Jalan Lampu. Kami sering
curhat-curhatan.

“Aku putuskan dia, Yos,” katanya suatu kali, “Jijik aku ingat
dengus napasnya,” tambahnya.
Dia bercerita tentang seorang cowok yang naksir sama dia
tapi ternyata cuma mau grepe-grepe aja. Huh! Kata-kata dan
ekspresi wajahnya ketika bercerita tak pernah kulupa. Tapi
yang penting, aku tau Dewi itu tipe orang yang berterus
terang. Gak sukak langsung bilang aja.

Setamat SMA, kami pernah satu asrama. Di tempat ini, aku


justru jarang bergaul sama Dewi. Jarang ketemu malahan. Tapi
aku tau dia mengikuti olah raga beladiri.

Ketika apel malam, tak ada teman yang berani berbaris di


dekatnya. Dewi akan berdiri di barisan paling belakang.
Dengan baju tanpa lengan, celana pendek, tangan bersedekap,
wajah sengaja distel ekspresi tegang, Ibu Asrama pun segan
mengabsennya.Sampai-sampai ada yang menuduh dia...Ah,
sudahlah! Yang aku tau itu hanya tameng untuk memproteksi
dirinya sendiri. Sampai-sampai penampilannya seperti laki-
laki. Namun dia tetap ramah dan peduli. Beberapa kali ketemu
alumni SMA 3 di rumah sakit, dia tetap mengabariku.

Hingga berpuluh tahun kemudian, ketika aku mulai aktif di


media sosial facebook. Iseng-iseng aku memasukkan SMA Negeri
3 Medan di kronologi, muncul nama Mardewiati C’Cewe Tangguh
sebagai orang yang mungkin dikenal. C’Cewe Tangguh dengan
nama Mardewiati? Hmmm... Kayaknya familiar...

Fp nya waktu itu seorang ibu lagi nurunin belanjaan dari


mobil bersama anak-anaknya. Aku tak mengenali wajahnya. Tapi
aku yakin perpaduan nama itu pasti dia. Kukirim pertemanan.
Setelah direspon. Sungguh tak kuduga. Temanku yang kecil,
kurus, berkulit eksotis dengan rambut dikuncir kuda itu sudah
jadi pengusaha sukses di Tanah Abang.

Membaca timeline fb nya (terus terang aja sering aku


stalking, hihihi...), aku menilai dia seorang yang ambisius.
Segala hal dijadikan bisnis, dari dagang pakaian di Tanah
Abang sampai dagang apartemen mewah. Sekali waktu dia mau
nelpon. Waktu itu bulan Ramadhan sekitar pukul dua malam.
Aku menolak takut mengganggu keluargaku yang masih tidur.
Kan sahur masih lama. Trus dia chat di fb.

“Kalo anak-anak aku udah sahur tadi. Sekarang tidur lagi


biar puas tidurnya,” Nah, lho? Aku pun berjanji akan
menelponnnya di lain waktu.

Ketika aku sedang ada waktu luang, aku ingat janjiku untuk
menelpon Dewi. Waktu itu sekitar pukul sebelas siang.
Beberapa kali telpon berdering tapi tak diangkat. Waktu
akhirnya diangkat, aku mendengar suara Dewi lagi berbicara
serius dengan seseorang. Tak lama dia menjawabku.

“Halo!”
“Wik, ini aku. Yos!” jelasku.
“Ooo... Yos, nanti aku telpon lagi, ya. Ini lagi rapat sama
orang Prudential,” katanya.

Baru aku mengerti kenapa dia nelpon malam-malam. Rupanya


kalau siang dia sibuk dengan bisnisnya. Bahkan dia pernah
jadi sopir pribadi ibu-ibu kompleks saat malam seusai dagang
di Tanah Abang. Ceritanya ibu-ibu kompleks yang gak bisa
nyetir butuh sopir, jadilah Dewi menawarkan diri.

Sekarang dia punya julukan baru “Dewi Lasak”. Entah darimana


pula itu dia dapatkan. (Yos Cekgu)
Is, Anak Bio Nembak Tukang Becak

Siapa yang tidak mengenal Becak Medan. Siapa juga yang tidak
pernah menggunakannya sebagai salah satu transportasi umum.
Rata-rata penduduk Kota Medan pasti pernah menggunakan
transportasi lawas yang satu ini. Transportasi roda tiga
yang kini semakin tertinggal karena tergilas arus
globalisasi dan modernisasi sistem angkutan masal.

Becak sendiri mengalami tiga dekade perkembangan pada sudut


teknologi. Teknologi pertama saya menyebutnya Tarik Becak
(Tarbet) Dengkul (sebelum 1960-an). Teknologi dimana tenaga
manusia yang sekaligus sebagai pengendara untuk menggerakkan
poros yang terhubung dengan tiga rodanya agar dapat bergerak
dan berjalan.

Teknologi kedua menyebutnya Tarbet Cempreng Ice Smoke (1960-


1980-an). Teknologi yang sudah menggunakan tenaga mesin dua
tak. Cara menghidupkannya pun terbilang unik. Dikayuh dahulu
dengan cepat agar mesin hidup dan dapat berjalan. Bunyi mesin
yang khas berisik dan mengeluarkan asap tebal dari
knalpotnya.

Teknologi ketiga saya menyebutnya Tarbet Dit Dit (1990-an sd


sekarang). Teknologi yang sudah menggunakan tenaga mesin
empat tak dengan teknologi starter. Cukup dengan
menggerakkan kunci ke on dan tekan tombol start atau kick
start. Suara mesin tidak berisik dan tanpa asap. Hanya saja
rata-rata kepemilikan kendaraan ini diperoleh dengan kredit.

Mungkin hanya satu hal yang tidak berubah dalam perkembangan


Becak Medan ini. Penampakan becak yang cenderung jauh dari
artistik. Apalagi tak jarang didapati menjelang elected,
jangan heran jika penampakan Becak Medan berfungsi sebagai
Above The Line.

Transportasi umum lawas ini kelihatannya semakin hari


semakin tertinggal dan besar kemungkinan juga akan
ditinggalkan penumpang. Kehadiran transportasi daring akan
lebih diminati. Karena lebih gampang, mudah, nyaman dan
murah. Ini sepenggal tulisan si Mahmud di halaman media
sosialnya, bukan tulisan awak ya. Perlu awak copi paste
cerita itu karena berkaitan dengan cerita yang hendak awak
tulis biar jadinya agak banyak.

Sebenarnya awak tak bisa mendeskripsikan panjang panjang


kisah ini. Tapi untuk meramaikan sajanya ini cerita, biar
adalah pinomat satu tulisan awak di sini.

Saat kami kelas dua di Smantig. Kami yang bersahabat kental


lengket kek kak gelasan layang-layang memanggil becak
dayung. Tujuan kami biasa, mau berkombur di rumah Rauf. Jarak
tempuh Budi Kemasyarakat ke Setia Jadi Krakatau cukup jauh,
kisaran 5 kilometer.
Naik becak ke rumah Rauf? Berempat aku, Rauf, Mahdi dan
Yudha. Awalnya kami tak sukak pulak membayang-bayangkan.
Yang sudah jelas saja malas kita perhatikan, apalagi
membayangkan.

Tapi apa hendak dikata, akhirnya awak pun membayangkan juga.


Cemana tidak, becak dayung dinaiki empat orang dengan jarak
tempuh 5 kilometer. Muat gak, kapan sampeknya, kuat gak abang
becaknya, pecah gak bannya nanti, baleng gak lingkarnya.
Lalu ongkosnya berapa?
Akhirnya daripada capek membayangkan, awakpun dengan yang
lainnya naik, becak pun penuh. Karena “dapur orangtu besar-
besar” akhirnya awak kebagian duduk di belakang. Mahdi duduk
di depan dekat tiang becak, Rauf duduk entah sama siapa.
Bepangkulah, mau cemana lagi.

Abang becakpun mengayuh dengan pelan karena penuh muatan.


Semula dari Smantig tak ada problem. Nah, saat tiba di
tanjakan rel dekat SMP 9 tak kuat dia mengayuh. Hingga
haruslah pulak kami turun untuk membantu meringankan.
Pingsan pulak abang becaktu nanti, atau paling tidak tekincit
kalau tak dibantu dorong agar bisa melewati rel kereta api.

Akhirnya, mendekati 15 meter sebelum sampai rumah Rauf, Mahdi


pun buka calak. Tiba-tiba disaat becak masih sedang berjalan,
ia melompat turun dan lari sekencang kencangnya masuk ke
dalam rumah Rauf. Itulah ya, akhirnya awak pun latah dan
ikut turun dan lari.

Belatah masal, semua pun turun dan lari. Aku dah sak juga
nih, pasti ada niatan jahat, apalagi kalau tak menembak.
Halah...halah...kasihan, tukang becak pun ditembak. Jahat
kali kami ya.

Alhasil, melihat itu si Abang Becak pun bingung. Kok lari


semua, siapa yang bayar ongkos nya. Akhirnya si Abang Becak
turun, dari becak. Lalu datang dan melapor kepada pemilik
rumah Rauf alias emaknya. Ya, mau tak mau Emak Rauf lah yang
bayar ongkosnya. Kami pun tertawa terpingkal, mau sum-suman
lagi tak ada duit. Ujung-ujungnya Emak Rauf lah yang bayar.
Modus,uwahahahaha...uwahahahaha...uwahahahaha.(Charlipatria
Suska)
BAGIAN KEENAM
Ini Kata Terbaikmu
Testimoni Sahabat
Testimoni Sahabat

"Tak ada yang mengatakan tidak, semua akan mengatakan ya


bahwa masa SMA adalah situasi yang paling menyenangkan,
bahkan sebagian orang mengatakan masa itu adalah masa
transisi antara khayal dan kenyataan. Buku yang sedang Anda
baca saat ini adalah sketsa yang tak akan pernah mengalami
perubahan yang berarti, karena saya yakin disaat Anda
membacanya ada satu energi yang membawa Anda larut dan merasa
bahwa Anda sebenarnya masih muda, walau setelahnya Anda akan
kembali menjadi seseorang yang sebenarnya tidak muda lagi.
Walau hanya sesaat, senyum kegembiraan itu hadir namun ada
rasa puas yang sulit dimaknai dengan kata-kata," Affan
Rangkuti, 1-9 dan Sos-3.

***

"Buku ini potret kebahagiaan mendasar saat manapak alas


fondamental darimana kita berasal dan kemana kita menyebar,"
Andi Suwondo, 1-10 dan Sos-3.

***

"Buku ini mengingatkan akan kita kenangan indah maupun pahit


masa SMA yang tak terlupakan masa remaja yang masih menggebu-
gebu untuk mencapai cita dan cinta," Meirdiana Ardiningsih,
1-1 dan Bio-1.

***

"Senyum tawa selalu hadir setiap hari, walaupun pikiran


mengembara ke ruang rumus yg penuh misteri. Buku ini
menggambar kepolosan, ketulusan, kejahilan dan keakraban
masa remaja yang mengingatnya membuat kita kembali ke ruang
waktu tersebut," Badrul Anwar, 1-5 dan Fis-3.

Anda mungkin juga menyukai