Berakhir
Memoar Smantig 93
BAGIAN PERTAMA
Terima Kasih Era
Cerita Era (Dari buku harianku, Teratai)
Ku Mengejar Anugerah
Cerita Era
(Dari buku harianku, Teratai)
(Yos Cekgu)
Ku Mengejar Anugerah
“Bisa jadi masuk Sos kita, Tut,” seorang siswi berkaca mata
dengan rambut lurus potongan bob, nyerocos pada temannya.
Tuty yang diajak bicara terus mengunyah bakwan. Keduanya
sedang nongkrong di kantin.
“Biar masuk Bio kita nazar aja pake jilbab,” Tuty menjawab
serius.
“Tugiman!”
Cowok antik itu maju ke depan.
Untold story #2
Jepitan Kala Guru Matematika
Untold story #3
Ha Ha Ha
Untold story #5
Sorry Noumi
“Hah!”
Jurang terbentang di depan mata.
Mega sama Ita merepet. Adul sama Hendro garuk-garuk kepala.
Yenni hampir menangis. Dewi nenangin Yenni. Agen
cengengesan.
Untold story #8
Jemuran B* di Tanjung Onta
Untold Story #9
Ludah Kharismatik
Jadi bayangin aja lagi dengarin lagu rap era 90-an dari Balck
Skin, Cewe Matre dengan tempo lebih cepat.
Zubel meludah ke Bembeng. Bembeng balas meludah ke Zubel.
Cipratannya kemana-mana. Cewek-cewek menyingkir jijik. Ita
meledak kayak kompor gas. Mega merepet panjang-pendek.
Cowok-cowok terbahak-bahak kesenangan.
Rose: Hendri nanti kita pulang bareng, ya. Lewat rel aja
biar jauh.
Mega: Jangan mau Gen. Nanti pulang samaku aja naik becak.
Rose: Ih, Mega jangan ganggulah, kan aku duluan.
Mega: Enak aja. Samaku aja ya, Gen.
Keluar dari toko kaset, masuk toko baju. Coba sana, coba
sini. Gantungin lagi ke rak masing-masing.
Tak ada yang lebih unik dari perpaduan sifat Ratna. Suaranya
pelan, bawaannya kalem, wajahnya imut manis dengan rambut
ikal sebahu. Di kelas tak pernah ber ulah. Tapi kalau sudah
masuk pelajaran matematika dia menjelma jadi maestro yang
mahir meliuk-liukkan rumus-rumus seperti musisi memainkan
nada. Dan Ratna mengerjakannya dengan santai.
Tapi...
Kamu juga seperti cicak
Ekornya bisa lepas kapan saja
Memang gak ada yang lebih jail dari geng legend Bio 4. Geng
yang duduknya paling belakang.
Keesokan paginya...
“Kok gak jadi mandi kelen?” tanya Mega sambil mengaduk mie
instan di panci.
“Kek mana awak mau mandi, ita bolak-balek lewat,” sungut
Wayank.
Hendro menjelepok di dekat Mega, tak sabar nunggu indomie.
Ita yang baru kelar repetannya gegara gak ada yang bantuin
masak, jadi naik spaneng. Meledaklah teriakan nini peletnya.
Belum Berakhir
(Yos Cekgu)
SOS3, Kelas Buangan Tapi Menentukan
Kita adalah siswa yang menantang dan nakal. Memang ada yang
nampak ada yang tidak. Tetapi api dalam sekam itu nyata, ada
jiwa-jiwa penolakan dan berusaha menjemput jati diri dengan
memilih jurusan SOS sebagai petunjuk masa depan. Berikut
rentetan nama terutama di kelasku SOS3, nama yang aku ulas
mendekati kondisi saat itu, jika ada perubahan itu merupakan
proses menjemput masa tua yang kian melelah.
Moudy Fitria Respati Ritonga, kalau yang satu ini aku tau
persis. Ada karekter kesamaanku dengan dia. Mirip walau tak
sama. Tentu, karena memiliki perangai yang punya kemiripan
maka dipastikan disetiap pertemuanku dengannya terjadi
pertentangan tapi positif. Lasak, kek ulat nangka. Kemana-
mana bergaul. Masuk kelas sana-masuk kelas sini. Pokoknya
tak pernah diam. Entah ngidam apa emaknya dulu. Ups, teringat
emaknya. Kaget Tak menyangka pokoknya, emaknya itu ramah
baik dan loyal akan makanan terutama kue-kue. Ada jiwa
negosiator, diplomat membuat kita agak heran mengapa ia
kuliah jurusan ekonomi. Kalau menebak-nebak, mungkin dia
yang gaul suka keramaian memilih jurusan itu. Nah USU itu
paling top adalah Fakultas Ekonomi dengan extravaganzanya.
Seni, negosiator, diplomat ia gabung menjadi satu, inilah
Moudy saat ini. Moudy, dah waktunya naik haji.
Sri Muryanti, haduh kalau ingat Sri, aku juga ingat nasi
urab. Nasi urab yang kerap aku makan setiap hari ulang
tahunnya. Enak dan lezak sekali. Ia baik dengan semua orang.
Melihat orang dengan warna putih. Ini yang menjadi hal
dominan atas dirinya. Seni berprasangka baik. Dia sama dengan
ketiga teman kepompongnya Rahmawati dan Rohayati.
***
***
***
***
Masa SMA adalah masa masa yang paling indah dim ana pada
masa itu kita mencari jati diri yang sebenarnya seperti bait
lagu yang di nyanyikan Obbie Mesakh.
Dalam cerita ini sang siswa SMA adalah sebut saja Lokot
(bukan nama sebenarnya)sedangkan sang siswinya sebut saja
Markonah (bukan nama sebenarnya),hehehe...udah kayak cerita
Lae Togar Metro 24.
Apa lah daya waktu jaman itu tak ada Android jarak rumah pun
berjauhan komunikasi belum secanggih saat ini. Hanya waktu
sekolah lah yang membuat Lokot giat untuk sekolah sambil
menyelam minum Milo Kepal...eh enggak ding minum es lengkong
aja lah. Biar hemat, saku cuma 1.000 rupiah, di situ lah
uang jajan dan di situ lah ongkos pulang pergi.
Dan Tara, maka panjang lah waktu si Lokot untuk bisa bertemu
dengan Markonah.
Di saat hari bimbingan, ada-ada aja tingkah si Lokot agar
menarik hati sang pujaan hati. Cantek manislah laksana gadis
sampul majalah mode tahun 1991 pokoknya.
Jutaan syair mungkin sudah ada tentang cinta, tapi tak akan
membuat orang merasa basi untuk membicatakannya. Tetap saja
cinta bertengger pada papan atas peradaban manusia.
Hari itu,
Dihari pertama ku masuk di SMA 3
Kau menyapaku
Menyapa seorang dara
Kau dan aku sama
Pertama berseragam putih abu-abu
Aku gugup
Tanpa tau harus berbuat apa
Membalas senyummu kah?
Melambaikan tangan kah?_
Sekedar membalas binaran matamu kah?
Atau mengangguk dan mengengam jemarimu
Tapi
Matamu itu
Senyum mu itu
Rambutmu itu
Walau hanya sepersekian detik
Mampu membuat aku mematung_
(Bersambung)
Kutup puisi itu hari ini, puisi yang belum tuntas aku
tuliskan sejak 27 tahun lalu.
Wahai Arjunaku
Apakah masih ada kah secuil kisah itu dihatimu?
Akan kah senyum mu akan mengampiri ku lagi?
Hmmm...ntahlah
Pastinya aku tak lupa akanmu
Saat itu yang ada hanya pria wanita 16 tahunan yang sedang
meluapkan kemerdekaannya, kebebasan berekspresinya di
lembaga pendidikan putih abu-abu. Hanya tiga orang yang
mereka takuti. Kepala sekolah, Ketua Bimbingan Penyuluhan
dan Wali Kelas. Dapat dipastikan, hampir semua pria wanita
ini berdoa agar ketiga orang ini tak masuk, bahkan paling
ekstrim mendoakan agar ketiganya senantiasa dihinggapi sakit
yang menyerang setiap hari Sabtu.
"Ya udah, kita ngombe ajalah. Nanti aku hubungi yang lain.
Oh ya, duit cemana," tanya Mamud pada Menying.
"Jitu jugak ide kau ya. Rambut sama otak klop kriting ikal.
Cocok lah kau punya kaca mata setebal pantat botol Nying.
Aku setuju. Ntar kita siapkan kotak kapur tulis buat masuki
uang sumbangan. Aku pancing cepek ya, biar gak kek ecek-
ecek," tambahku untuk memperkuat idenya.
"Ah, pas kali kau ada Badak. Kita ngombe siang ini di Kantin
Mami ya. Masalah duit selo aja kau. Kotak ini akan
menghasilkan duit," kata Mamud sembari menunjukkan kotak
yang ia dapat.
Kotak kapur bertulis pesan sosial amal itu pun beredar. Duit
yang didapat pun cukup untuk menyambut kebebasan di hari
Sabtu siang Menying, Mamud, Badak and the gank. Mungkin,
sejak saat itu lah, tradisi kotak kapur menjadi budaya yang
melekat dengan berbagai pola, model dan pesan amal sosialnya,
dari kotak kapur, dan kotak-kotak lainnya. (Affan Rangkuti)
Guru pun Kenak Tokoh
“Siiaapp, jam berapa. Teman yang lain mau ikut gak?” tanyaku.
“Jam empatan lah…Siippp, yang lain juga siap,” jawabnya
yakin.
Jam dinding saat itu menunjuk angka 15:15 WIB. Menurut hisab
matematika ala SOS1 jam 15:20 WIB, harus uda keluar kelas
biar tidak terlambat tanding bolanya. Hasratpun seakan padam
manakala dari kejahuan terlihat Pak Guru mata pelajaran
Matematika berjalan pasti menuju tangga. “Wooii Bapak tuch
datang, Wadowwww…bisa batal tanding bolanya nich,” ujar
salah satu teman disaat kami sudah siap untuk berangkat.
Sudah tak perlu letoi kata seorang teman, “Bapak tu naik
dari tangga sebelah kiri, kita wooii cepat lewat tangga
sebelah kanan. Itu tangga keramat, tangga penuh dosa dan
najis tralala,” lalu satu lokal kami pun mencuri waktu alias
cabut untuk bermain dan menjadi penonton tanding bola.
Kek setan datang bagi murid saat itu, disaat seorang guru
matematika memasuki ruangan untuk mengajar ilmu langka ini.
Bagi murid saat itu, guru matematika biasanya judes dan
killer. Sikap yang menurut aku adalah sifat yang mematikan
hormon yang akan merambat naik ke otak. Cerdas tidak,
berpotensi jadi paok ya.
Patut aku bersyukur, ternyata tidak semua hal yang menakutkan
tentang guru matematika adalah benar. Kali pertama aku di
Kelas 1-1 kedatangan seorang guru angka itu. Pendekar
kalkulator yang terlihat berwajah teduh dan kebapakan.
Ahai…aku salah selama ini. Tak selamanya matematika akan
dibawa seorang pengajar yang menakutkan baik tampang maupun
metode mengajarnya.
Walaupun tak berselfie ria karena waktu itu tak ada pulak
gadget kek sekarang. Tapi kami puas bersilaturrahim dengan
beliau. Tiba masuk ke kelas kembali, kami disambut bu guru
angka yang sedang mengajar dengan mukak kusut lagi masam,
kek mau diterkam dan digraoknya saja kami saat itu. Syukurnya
kami gak disetrapnya. Halah...ya sudahlah, hingga akhirnya
kami mesti menerima kenyataan suka tak suka bu guru itu mesti
kami terima dengan lapang dada walau ecek-ecek, soal ngerti
atau gak belakangan yang penting lulus pelajarannya titik.
(Meirdiana Ardiningsih)
Gara-gara Tetrex 2020
“Seluruhnya siaaapp...Grak!”
“Bahan rok siswi SMA 3 itu Tetrex 2020,” gelegar beliau dari
atas podium, “kamu baris di belakang!”
Syair lagu Dari Jendela Kelas Satu milik Iwan Fals itu
membawa kisah ini terbawa.
Satu hari aku mendapat pesan cinta dari seseorang. Dia teman
sekelasku. Orangnya cantik, tapi pendiam dan tak banyak ulah.
Aku merasa bingung. Itu pertama kali aku dapat pesan cinta.
Yang menyampaikan cewek paling centil di kelasku. Cara
menyampaikan pesannya unik. Cewek centil yang jarang
menyapaku itu ngajak bicara empat mata.
Tak ada yang mengetahui apa yang aku lakukan, hanya seorang
teman yang kebetulan tinggal dekat dengan rumah lah yang
mengetahui. Itu pun karena ia disaat bulan-bulan pertama
masuk SMAN 3 Medan datang ke rumah untuk pergi sekolah
bersama. Ya, sedikit memutar pikiran aku mengingat namanya
kalau tidak salah Ganda, orangnya kecil dan bermarga yang
tinggal di Jalan Gereja.
“Son, aku malu. Aku mau jualan kok malah disuruh masuk dan
dikasi minum pulak lagi,” Kataku pada Jhonson
“Sudah tak apa-apa, santai saja. Aku memang mau membeli pot
bunga. Namun tak menyangka bahwa penjulnya adalah kau. Kita
sekelas, kita berteman, sudah menjadi kewajiban aku untuk
melayani kepada teman yang aku kenal. Jadi, kau minum dulu,
kita cakap-cakap, sekalian kau istirahat. Apalagi hari ini
sangat terik,” ungkapnya.
“Son, baik kali Ibu kau. Kek anaknya aku dibuatnya,” kataku
kepada Jhonson. Ia tak menjawab hanya melontarkan senyum
saja kepadaku. “Lain kali kalau kau jualan lewat sini harus
mampir ya. Panggil saja, kalau aku ada dirumah pasti aku
dengar. Oh ya...aku beli pot bunga kau tiga. Berapa
harganya?” tanya nya kepadaku. “Murah, satunya 2.500
rupiah,” Jawabku.
Lama berlalu kisah itu, hingga belasan tahun berlalu. Hingga
suatu ketika aku dipertemukan dalam media sosial facebook
dikisaran tahun 2008. Aku berkomunikasi dengannya melalui
media sosial itu. Ia mengenalku dan aku pun mengenalnya
langsung. Pertama yang aku tulikan dalam kalimat pembuka di
media sosial itu adalah, “Son, apa kabar Ibu,” kataku. Ia
menjawab, “Baik Mud, sehat dan kami telah pindah ke daerah
Helvetia Raya,” Jawabnya. Selanjutnya akhirnya kami
berkomunikasi tentang hal lainnya. Setelah 2008 tak ada
komunikasi lagi, mungkin karena kesibukan masing-masing.
Terakhir aku memperoleh kabar bahwa ia telah memperoleh
pangkat Kolonel di kesatuannya dan saat ini bertugas di
wilayah Medan. Salam buat ibu ya Son, sampaikan salam
hormatku padanya yang telah mendoakan aku. (Affan Rangkuti)
Wisata Kuliner Bermodal 1.000 Rupiah
Tahu semur 100 rupiah, tempe semur 100 rupiah. Teh manis
dingin 250 rupiah, Indomie rebus pakai telur 750 rupiah.
Uang 1.000 rupiah cukup untuk segelas teh manis dingin dengan
santapan indomie rebus bertelur di Kantin Mami. Kantin
kenangan yang letaknya persis di depan gerbang sekolah SMAN
3 Medan. Kantin tempat berkumpulnya orang-orang yang dapat
dikatakan anti disiplin, muak, sebel dengan segala macam
aturan sekolah dan pe er sekolah yang hampir setiap hari
diberikan guru.
Aku sih santai saja, bagaimana tidak. Buku tulis hanya satu,
di sananalah semua pelajaran sekolah aku torehkan. Tak heran
jika nilai pelajaranku memang hancur lebur, bukan karena aku
bodoh. Aku hanya tak begitu suka dengan klaster dalam
pelajaran. Boleh jadi ini merupakan bibit dalam pemikiran
vokal dan kritisiku yang bakal tumbuh dan berkembang
dikemudian hari nantinya.
Saat diusir dari kelas, aku tak mengantongi uang saku. Waduh,
cemana mau jajan di kantin. “Manalah pulak Bang Kumis Regar
sama Teh Lina mau memberikan aku hutang,” Kataku dalam hati.
Seperti kontak batin dan berbicara di Alam Astral, sahabatku
yang duduk di belakangku menyapaku. “Mud, ini ada 1.000, kau
ambil saja. Buat jajan,” Zulfahmi memberikan aku uang.
Alahmakjang, “Pucuk Dicinta Ulampun Tiba”. Begitulah kata
pepatah Melayu Proto. Aku yang diusir karena tak mengerjakan
pe er Matematika, aku yang akan bengong nantinya dalam masa
pengusiran itu akhirnya dapat solusi cerdas. Alam memang
sangat berpihak kepadaku, dengan uang 1.000 rupiah itu aku
bisa berwisata kuliner mungil di kantin dekat toilet sekolah.
Dan tak harus merengek pada Bang Regar dan Teh Lina agar
diberikan makanan gratis. Oh ya, lupa. Bang Regar dan
istrinya ini suatu ketika menjadi kerabatku. Karena ternyata
ia dan istrinya merupakan anak buah mertuaku pada saat
menjabat Kepala Sekolah SMAN 3 era 1980-an.
“Aku putuskan dia, Yos,” katanya suatu kali, “Jijik aku ingat
dengus napasnya,” tambahnya.
Dia bercerita tentang seorang cowok yang naksir sama dia
tapi ternyata cuma mau grepe-grepe aja. Huh! Kata-kata dan
ekspresi wajahnya ketika bercerita tak pernah kulupa. Tapi
yang penting, aku tau Dewi itu tipe orang yang berterus
terang. Gak sukak langsung bilang aja.
Ketika aku sedang ada waktu luang, aku ingat janjiku untuk
menelpon Dewi. Waktu itu sekitar pukul sebelas siang.
Beberapa kali telpon berdering tapi tak diangkat. Waktu
akhirnya diangkat, aku mendengar suara Dewi lagi berbicara
serius dengan seseorang. Tak lama dia menjawabku.
“Halo!”
“Wik, ini aku. Yos!” jelasku.
“Ooo... Yos, nanti aku telpon lagi, ya. Ini lagi rapat sama
orang Prudential,” katanya.
Siapa yang tidak mengenal Becak Medan. Siapa juga yang tidak
pernah menggunakannya sebagai salah satu transportasi umum.
Rata-rata penduduk Kota Medan pasti pernah menggunakan
transportasi lawas yang satu ini. Transportasi roda tiga
yang kini semakin tertinggal karena tergilas arus
globalisasi dan modernisasi sistem angkutan masal.
Belatah masal, semua pun turun dan lari. Aku dah sak juga
nih, pasti ada niatan jahat, apalagi kalau tak menembak.
Halah...halah...kasihan, tukang becak pun ditembak. Jahat
kali kami ya.
***
***
***