Anda di halaman 1dari 68

BAGIAN IKM-IKK PROPOSAL

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2016


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU


DENGAN MULTIDRUG-RESISTENT (TB-MDR)
DI RS LABUANG BAJI MAKASSAR TAHUN 2015

OLEH:

Aznul Hatima
C111 11 256

PEMBIMBING:

Dr. dr. Andi Alfian Zainuddin, M.KM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITREAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN
ILMU KEDOKTERAAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui untuk dibacakan pada seminar hasil di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dengan
judul:

“KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN MULTIDRUG-


RESISTENT (TB-MDR) DI RS LABUANG BAJI MAKASSAR TAHUN 2015”

Hari / Tanggal : Jumat / 29 Juli 2016

Pukul : 09. 00 WITA

Tempat : Ruang Seminar PB. 622 IKM & IKK FK Unhas

Makassar, 27 Juli 2016

Mengetahui,

Pembimbing,

Dr.dr. Andi Alfian Zainuddin, M.KM

ii
PANITIA SIDANG UJIAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

Skripsi dengan judul “KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU


DENGAN MULTIDRUG-RESISTENT (TB-MDR) DI RS LABUANG BAJI MAKASSAR
TAHUN 2015” telah diperiksa, disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar pada:

Hari / Tanggal : Senin/ 1 Agustus 2016

Pukul : 10. 00 WITA

Tempat : Ruang Seminar PB. 622 IKM & IKK FK Unhas

Ketua Tim Penguji

Dr.dr.Andi Alfian Zainuddin, M.KM

Tim Anggota Penguji

Dr.dr. Andi Armyn Nurdin, Msc dr. Sultan Buraena,MS,Sp.OK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN

ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2016

Telah disetujui untuk Dicetak dan Diperbanyak

Judul Skripsi

“KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN MULTIDRUG-


RESISTENT (TB-MDR) DI RS LABUANG BAJI MAKASSAR TAHUN 2015”

Makassar , 29 Juli 2016

Pembimbing

Dr.dr. Andi Alfian Zainuddin, M.KM


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulisan panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi dengan judul “Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Dengan
Multidrug-Resistant (TB-MDR) Di RS Labuang Baji Makassar Tahun 2015”
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan skripsi


ini, yang hanya berkat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak,
maka skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Dalam kesempatan ini
penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Dr.dr. Andi Alfian
Zainuddin, M.KM selaku pembimbing. Atas segala nasihat dan bantuan yang
telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian
ini, pelaksanaan penelitian sampai penulisan skripsi ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Rekam RS Labuang


Baji Makassar, Kepala bagian dan staf pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, teman-teman sesama mahasiswa yang telah memberikan doa, dorongan
semangat dan informasi-informasi yang sangat berharga, serta semua pihak yang
tidak sempat disebutkan satu-persatu, namun bantuannya begitu besar maknanya.

Penulis menyadari tulisan ini tidak luput dari salah dan khilaf, karena itu
saran, kritik, dan masukan dari pembaca adalah sesuatu yang senantiasa penulis
harapkan demi kemajuan bersama. Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat.

Makassar, Juli 2016

Penulis
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Skripsi, Juli 2016
ABSTRAK
Aznul Hatima (C11111256)
Dr.dr. Andi Alfian Zainuddin, M.KM
“Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Multidrug-Resistant (TB-
MDR) Di RS Labuang Baji Makassar Tahun 2015”

Latar Belakang : Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis


menular dengan etiologi Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar
menyerang paru. Resistensi ganda (multidrug-resistant) adalah Mycobacterium
tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisisn dan INH dengan atau
tanpa OAT lainnya.
Metode :Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi pasien TB-MDR
dari pasien yang mengikuti uji sensitivitas OAT dan karakteristik pasien TB-MDR
di RS Labuang Baji Makassar Tahun 2015. Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional dengan menggunakan data sekunder. Variabel yang diteliti
yaitu multidrug-resistant sebagai variabel dependen dan variabel independen yaitu
umur, jenis kelamin, status pembiayaan, gejala utama, hasil foto toraks, riwayat
merokok, penyakit penyerta. Unit sampel adalah semua pasien yang mengikuti uji
sensitivitas OAT dengan hasil multidrug-resistan. Metode pengambilan sampel
adalah total sampling. Pengolahan data menggunakan program Microsoft exel
2007 . Penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, dan naskah.
Hasil:Dari penelitian didapatkan hasil bahwa pola resistensi terbanyak yaitu
resistensi terhadap rifampisin+isoniazid (43%) dan resistensi terhadap
rifampisin+isoniazid+etambutol (28%). Berdasarkan keadaan demografis
didapatkan bahwa pasien TB-MDR lebih banyak berjenis kelamin laki-laki
(51,4%) dan banyak mengenai kelompok umur 45-64 tahun (48,6%) dengan status
pembiayaan terbanyak BPJS (84,7%). Berdasarkan penetuan diagnostik, sebagian
besar pasien TB-MDR datang berobat dengan gejala utama batuk lama (87,5%),
hasil foto toraks sebagian besar mendukung diagnosis suatu penyakit TB paru
(95,8%). Berdasarkan perjalanan penyakit, pasien TB-MDR banyak ditemukan
pada pasien yang memiliki riwayat merokok (55,6) dan memiliki penyakit
penyerta selain tuberkulosis (12,5%).
Kesimpulan : Temuan penelitian ini menunjukkan karakteristik penderita TB
Paru MDR yang paling banyak pada laki-laki, pada usia 45-64 tahun. Temuan ini
diharapkan dapat digunakan untuk upaya pencegahan, diagnosis dini, dan
pengobatan segera, sehingga tingkat keparahannya dapat diminimalkan.
Kata Kunci : tb paru MDR, karakteristik
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN………….…………………………………….……..…… i

KATA PENGANTAR………….………………………………………………….…. . ii

DAFTAR ISI………….……………………………………………………………….. iv

ABSTRAK………….……………………………………………………………….. viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………….……………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah………….…………………………………………7
1.3 Tujuan Penelitian………….…………………………………………..8
1.4 Manfaat Penelitian………….………………………………………………9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi …………………….…………………………………...10
2.1.2 Etiologi …………………………………………………………10
2.1.3 Penularan ……..……………………………………………….11
2.1.4 Epidemologi……………………………………………………12
2.1.5 Patofisiologi..…………………………………………………...13
2.1.6 Diagnosis……………………………………………………….15
2.1.7 Klasifikasi dan Tipe Pasien……………………………………19
2.1.8 Pengobatan ……………………………………………………22
2.2 Tuberkulosis dengan Multidrud Resistant (MDR)
2.2.1 Defenisi ………………………..……………………………….25
2.2.2 Kategori…………………………………………………………26
2.2.3 Patogenesis Resistensi Obat……………………………………26
2.2.4 Diagnosis……………………………………………………….28
2.2.5 Penatalaksanaan ………………………………………………28

KERANGKA TEORI...................................................................................................31

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep………….………………………………………….…34

3.2 Definisi Operasional Variabel dan Kriteria Objektif…………….………36

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian………….………………………………………………40

4.2 Waktu dan tempat penelitian………….………………………………….40

4.3 Populasi dan Sampel………….…………………………………………..40

4.4 Kriteria Sampel………….………………………………………….……41

4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian………….………………………….41

4.6 Manajemen Penelitian………….…………………………………..……41

4.7 Etika Penelitian………….………………………………………………42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………...…………………43

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan………….…………………………………………………..55

6.2 Saran ………….……………………………………………............55

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..……………57

LAMPIRAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama

menjadi masalah kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini telah

dideklarasikan sebagai Global Health Emergency oleh World Health

Organization (WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO 2014, insidens

kasus TB di dunia telah mencapai 8,6-9,4 juta atau 126 kasus dalam 100.000

populasi, prevalensi mencapai 11 juta populasi atau 159 kasus dalam 100.000, dan

angka kematian mencapai 1,5 juta dengan kasus TB disertai HIV postif berkisar

360.000 dan kasus TB HIV negatif berkisar 1,1 juta kematian, juga termasuk 510

ribu perempuan dan 80 ribu anak-anak, sekitar 210 ribu kematian akibat

multidrug-resitant.(1)

Berbagai upaya telah dilakukan dan tidak sedikit biaya yang telah

dikeluarkan untuk menangani kasus TB yang terjadi di dunia. Jumlah kasus

insiden Tuberkulosis jatuh perlahan pada tingkat rata-rata 1.5% per tahun 2000-

2013 dan 0.6% antara tahun 2012-2013. Persebaran kasus TB di dunia memang

tidak merata dan justru 82% dari total kasus TB global terdapat pada negara-

negara berkembang Sekitar 56% dari seluruh kasus tersebut terdapat pada negara-

negara di Asia, 29% di Afrika, 8% pada negara-negara Mediterania Timur, 4% di

Eropa, dan 3% di Amerika. WHO telah menetapkan 22 negara yang dianggap

sebagai high-burden countries dalam permasalahan TB untuk mendapatkan

perhatian yang lebih intensif dalam hal penanggulangannya. Indonesia adalah


salah satu negara yang termasuk di dalamnya. Dua puluh dua negara high-burden

countries. Pemetaannya dapat dilihat pada gambar 1.1(1)

Sumber: Global Tuberculosis Report 2014-WHO

Grafik 1.1 Kasus Tuberkulosis di 22 Negara High-Burden Countries

(HBCs)

Sumber : Kaiser Family Foundation,http:/kff.org.globaldata/based on


WHO: Global Tuberculosis Report 2014
Berdasarkan tingkat insiden TB di setiap negara tahun 2010 dan 2011,

Indonesia menduduki peringkat ke-4 setelah India, Cina, dan Afrika Selatan.
Sementera berdasarkan laporan tahun 2013, tiga negara dari empat negara tersebut

yakni India, Cina, dan Indonesia secara berurutan masih masuk dalam lima besar

negara dengan kasus TB baru terbanyak. Afrika Selatan, yang tahun 2010 dan

2011 menduduki peringkat ke-3, tidak lagi masuk dalam daftar lima besar negara

dengan kasus TB terbanyak di dunia pada tahun 2013. Indonesia turun

menduduki peringkat ke-5 setelah Nigeria pada peringkat ke-4. (1)(2)(3)

Peningkatan jumlah kasus TB di Indonesia pada tahun 2013 adalah hal

yang harus menjadi perhatian penting untuk dapat diturunkan pada tahun-tahun

berikutnya. Indonesia dituntut membuktikan komitmen`nya dalam mengatasi

masalah ini. Hal ini sejalan dengang tujuan ke-6 dari millenium development goals

yang telah ditandatangani Indonesia bersama 188 negara lainnya pada September

2000 yakni memerangi HIV/AIDS,malaria, dan penyakit menular lainnya

termasuk TB. Untuk mewujudkannya di tahun 2015, maka ada 3 indikator penting

yang perlu diperhatikan yaitu prevalensi tuberkulosis, angka kematian penderita

tuberkulosis dengan berbagai sebab selama pengobatan OAT, angka

penemuanpenderita tuberkulosis baru dengan BTA positif, dan angka kesembuhan

penderita tuberkulosis. (1),(2),(4)

Menurut Leavell, terdapat lima tahapan dalam pencegahan penyakit

menular, yaitu promosi kesehatan, proteksi khusus, diagnosis dini dan pengobatan

yang cepat, pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi. Berkaitan dengan upaya

penurunan angka kasus baru TB di Indonesia, maka tahapan diagnosis dini dan

pengobatan yang cepat, sangat penting untuk memutuskan rantai penularan dari

penderita ke orang yang sehat.(5)


Di Indonesia, dari laporan kasus tuberkulosis tahun 2011, angka insidens

sebesar 189 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990

sebesar 343 per 100.000 penduduk, angka prevalensi menurun 423 per 100.000

penduduk dibandingkan dengan tahun 1990 sebesar 289 per 100.000 penduduk.

Begitupun dengan angka mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari

separuhnya sebesar 27 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar

51 per 100.000 penduduk.(6)

Selama ini, upaya yang ditempuh dalam hal pengobatan penderita TB di

Indonesia adalah dengan pemberian obat anti-tuberkulosis (OAT) lini-1. Pada

tahun 2006, angka keberhasilan pengobatan mencapai 91% tapi keberhasilan

pengobatan ulangan hanya mencapai 77% dan tidak semua kasus TB

mendapatkan pengobatan seperti yang diharapkan sebab angka case detection rate

Indonesia hanya 51% pada tahun yang sama. Permasalahan ini diperberat dengan

fakta bahwa Indonesia dan dunia telah dihadapkan pada permasalahan bar dalam

pengobatan TB yakni TB dengan multidrug-resistent (TB-MDR).(7)

Hasil survei secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap

M. Tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol

di berbagai negara. Pada survei WHO dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di

81 negara, ternyata angka TB-MDR lebih tinggi dari yang diperkirakan. Sepuluh

negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Belarus, Bulgaria,

Estonia, Georgia, Kazakhstan, Latvia, Lithuania, Republik Moldova, Rusia and

Ukraina. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus TB-MDR baru per tahun. OAT

yang resisten terhadap kuman tuberkulosis akan semakin banyak, saat ini 79%
dari TB-MDR adalah “super strain” yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat

anti-tuberkulosis (OAT).(8)

Resisten ganda ( multidrugs resistent tuberculosis/ TB-MDR) merupakan

masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun

2003 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2%

pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan

lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. (8)

Tabel 1.1 Kasus Tuberkulosis dengan Multidrugs-resistant di di negara yang


termsuk high-burden countries dan Global Tahun 2013(1)

Sumber: Global Tuberculosis Report WHO 2014


Di negara berkembang prevalensi TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.

Pola TB-MDR di Indonesia khususnya RS Persahabatan tahun 1995-997 adalah

resistensi primer 4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. Penelitian

aditama mendapatkan resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder

15,61%. Hal ini patut diwaspadai karena prevalensinya cenderung menunjukkan

peningkatan. Penelitian di RS Persahabatan pada tahun 1998 melaporkan proporsi

kesembuhan penderita TB-MDR sebesar 72% menggunakan panduan OAT yang

masih sensitif ditambah ofloksasin. (8)

Grafik 1.2 Penemuan Kasus TB RR/TB MDR, Indonesia 2009-2014


Sumber:Tuberkulosis 2015.Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan

RI(9)

TB RR adalah TB yang resisten terhadap OAT Rifampisisn dengan atau

tanpa resistensi terhadap OAT jneis lainnya. Grafik 1.2 memperlihatkan kasus TB

RR/TB di Indonesia cenderung meningkat sejak 2009 sampai 2014. Ada beberapa

faktor penyebab kasus TB RR/TB MDR terus meningkat, antara lain fasilitas

pelayanan pengobatan TB belum merata di 34 provinsi belum tersedianya dan

belum meratanya Rumah Sakit rujukan TB MDR dan Rumah Sakit satelit yang

melayani rujukan kasus TB MDR, serta belum semua Rumah sakit mempunyai
program Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) yang bagus. Dari

sisi pasien, kasus TB RR/TB MDR terjadi karena rendahnya kepatuhan minum

obat yang sering disebabkan adanya efek samping.(11)

Di Sulawesi Selatan, jumlah pasien baru tuberkulosis dengan BTA positif

yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk pada tahun 2011 sebesar

110 kasus dengan angka kesembuhan sebesar 87,3% dan angka keberhasilan

pengobatan sebesar 88,9%.(6)

Khusus untuk wilayah kota Makassar belum banyak laporan resmi

mengenai kasus TB-MDR, oleh karena itu peneliti mengambil topik penelitian

kasus TB-MDR di Makassar, tepatnya di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo

Makassar yang merupakan rumah sakit rujukan tipe A di kawasan Indonesia

Bagian Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dibuat

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik pasien

TB-MDR di RS Labuang Baji Makassar pada periode Januari 2015 - Desember

2015?”
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik

pasien tuberkulosis paru dengan multidrug-resistent (TB-MDR) di Rumah

Sakit Labuang Baji Makassar pada periode Januari 2015 – Desember 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB-MDR berdasarkan

karakteristik demografi yaitu jenis kelamin, umur, dan pembiayaan

kesehatan.

2. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB-MDR berdasarkan kriteria

diagnostik yaitu keluhan utama, hasil foto toraks, hasil pewarnaan tahan

asam (BTA).

3. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB-MDR berdasarkan perjalanan

penyakit yaitu riwayat merokok, dan penyakit penyerta

(komorbid/komplikasi).

4. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB-MDR berdasarkan panduan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang didapatkan.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi para

praktisi kesehatan mengenai kasus tuberkulosis paru dengan multidrug-

resistent (TB-MDR), sehingga timbul kepedulian untuk bekerja sama dalam

memutuskan permasalahan tuberkulosis paru yang semakin pelik dari tahun

ke tahun.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang berwenang untuk digunakan

sebagai dasar pertimbangan dan memutuskan dalam mengambil

kebijakan-kebijakan kesehatan dalam menanggulangi penyakit menular,

khususnya tuberkulosis.

2. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi

peneliti dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya dan

terkait tentang penyakit tuberkulosis pada khususnya.

3. Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

penelitian mengenai penyakit tuberkulosis, khususnya pada pasien TB-

MDR.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan

oleh basil aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain

seperti Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis

biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula menyerang susunan saraf pusat,

sistem limfatik, sistem genitourinaria, tulang, persendian, dan kulit.Tuberkulosis

merupakan penyebab kematian yang utama di dunia kaibat penyakit infeksi

bakteri. Penyakit ini menyerang 1,7 juta orang/tahun yang sebanding dengan

sepertiga populasi dunia.(11)

1.1.2 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit udara disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis)

Gambar 2.1 Mycobacterium Tuberculosis


Sumber: Core Curriculum on Tuberculosis.(12)

10
M.tuberculosis dan tujuh spesies mikrobakteri terkait sangat erat (

M.bovis, M. africanum, M. microti, M. caprae, M. pinnipedii, M. Canetti

dan M.mungi) Kebanyakan spesies tersebut dikenal sebagai M. tuberculosis

kompleks., tetapi tidak semua, spesies ini telah ditemukan

menyebabkan penyakit pada manusia. Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus

tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis M. tuberculosis organisme juga

disebut basil tuberkel.(12)

Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil ramping lurus yang

berukuran antar 0,2-0,4 x 2-10 um dan termasuk gram positif. Pada medium

kultur, bakteri ini berbentuk kokus dan filamen (lembaran). Identifikasi terhadap

bakteri ini dapat dilakukan melaui pewarnaan tahan asam metode Ziehl-Neelsen

(ZN) maupun Tanzil, yang tampak sebagai basil berwarna merah di bawah

mikroskop. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dpat

bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelapdan lembab. Dalam jaringan

tubuh, kuman ini dapat dormant (tetidur lama selama beberapa tahun).(11)

2.1.3 Penularan

Faktor resiko timbulnya tuberkulosis aktif meliputi penurunan imunitas

baik akibat penyakit ataupun usia. Orang muda dan orang tua yang terutama

sensitif terhadap penyakit menular. Malnutrisi, penggunaan obat, kondisi tempat

tinggal, pemaparan yang terus-menerus seperti pada pekerja kesehatan, alkaholik,

infeksi HIV. (11)

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Penyakit TB

biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri pada waktu batuk

atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet


(percikan dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam

saluran pernapasan. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Kemungkinan seseorang

terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut. Satu percikan droplet mengandung tidak lebih dari 3

basil kuman, saat batuknya umumnya mengandung sekitar 3000 droplet, berbicara

selama 5 menit menghasilkan 3000 droplet, sementara 3000 droplet dapat

dihasilkan selama 1 menit bernyanyi. Bersin juga dapat menyebabkan droplet ke

ind4idu hingga jarak 10 kaki. (11)

2.1.4 Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia,

terutama di kawasan Asia dan Afrika. Sekitar 56% dari seluruh kasus global

tersebut terdapat pada negara-negara di Asia, 29% di Afrika, dan sisanya yang

dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara lainnya.(1)

Secara global, pada tahun 2013 tercatat 8,7 juta kasus baru tuberkulosis,

dengan prevalensi 12 juta, dan angka kematian berkisar 1.1 juta pada kasus

tuberkulosis dengan HIV negatif dan 360 ribu pada kasus tuberkulosis paru

dengan HIV positif, kematian ini juga termasuk 510 ribu perempuan dan 80 ribu

anak-anak. Ada sekitar 210 ribu kematian akibat multidrug-resitant. Sementara

itu, dari tahun 2013 Indonesia masih menduduki peringkat ke-5 penyumbang

kasus tuberkulosis di dunia dan termasuk ke dalam 22 high-burden countries

dalam penanggulangan tuberkulosis. Berikut ini kedudukan Indonesia dalam

beban tuberkulosis yang ditanggung di antara 22 negara lainnya tahun 2013.(1)


Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country di

wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk

deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009,

terdapat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobat dan lebih dari

169.213 diantaranya terdeteksi BTA.(9)

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru

(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB

dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus TB-MDR

setiap tahunnya. (9)

Dengan angka nasionl proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di

bawah 2% maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di layanan

kesehatan pada umumnya masih rendah. Namun demikian sebagian besar data

berasal dari Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selam

lebih dari 5 tahuterakhir. (9)

2.1.5 Patogenesis

Infeksi primer (Tuberkulosis Primer) terjadi saat seseorang terpapar

pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana.(11)

Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara

pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran

limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hillus paru, ini

disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai


pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat

dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi

positif. (11)

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan

besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya

tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun

demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau

dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan

perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan

menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan

mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. (11)

Tuberkulosis pasca primer (postprimaryTB) yaitu tuberkulosis pasca

primer tuberkulosis biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah

infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV

atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah

kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Ind4idu

yang terinfeksi TB namun tidak sakit TB, tidak infeksius dalam artian mereka

tidak akan menularkn ke orang lain. Biasanya orang ini memiliki gambaran foto

toraks yang normal. Infeksi TB tidak dianggap sebagai kasus TB. (11)

Sekitar 10% individu yang terinfeksi berkembang menjadi penyakit

tuberkulosis pada waktu tertentu dalam hidupnya. Resiko ini lebih tinggi pada

individu dengan penyakit defisiensi imunseperti HIV/AIDS, pengguna obat-

obatan terlarang, dan usia lanjut. Faktor lainnya seperti kurang gizi, kemiskinan,
individu alkaholik, juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit

tuberkulosis.(13)

Selain itu kebiasaan merokok ternyata meningkatkan kejadian infeksi TB

pada peroko aktif 3,8 kali sedangkan pada perokok pasif 2,5 kali. Hal ini terjadi

karena asap rokok akan mempengaruhi makrofag, sehingga menurunkan respon

terhadap antigen, mengeluarkan sintesis elastase, dan menurunkan produksi

antiprotease, sehingga meningkatkan resiko untuk mendapatkan infeksi pada

sistem pernapasan termasuk infeksi M. Tuberculosis. (13)(22)

2.1.6 Diagnosis

2.1.6.1 Anamnesis

Keluhan utama yang dialami pasien tuberkulosis paru adalah batuk

berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas,

nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam

hari tanpa kegiatan fisik, dan demam subfebris lebih dari satu bulan.(9)

Gejala-gejala di atas dapat juga ditemukan pada penyakit paru selain

tuberkulosis, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-

lain. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka

setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut di

atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien tuberkulosis dan perlu

dilakukan pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung. (9)

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam (subfebris) , badan

kurus atau berat badan menurun, konjungtiva anemis, dan kulit pucat. Pada
tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan

retraksi otot-otot interkostal.(9)(14)

Selain itu dapat ditemukan perkusi yang redup dan suara napas bronkial

yang menandakan infiltrat yang luas. Dan juga akan ditemukan suara napas

tambahan ronki basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh

penebalan pleura, maka suara napasnya menjadi vesikuler yang lemah. Bila

terdapat kavitas cukup besar, maka perkusi memberikan suara hipersonor atau

timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.(9)(14)

Dalam penampilan klinis, tuberkulosis paru sering asimptomatik dan

penyakit paru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dan foto toraks

atau uji tuberkulin yang positif. (14)

2.1.6.3 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto toraks merupakan media yang penting untuk diagnosis

dan evaluasi tuberkulosis. Akan tetapi, tidak dibenarkan mendiagnosis

tuberkulosis hanya denga foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada tuberkulosis paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis.(9)(14)

Foto toraks penderita tuberkulosis dapat memberikan gambaran berupa

kompleks ghon yang membentuk nodul perifer bersama dengan kelenjar limfe

hillus yang mengalami kalsifikasi. Infiltrasi multinodular pada segmen apikal

posterior lobus atas dan segmen superior lobus atas dan segmen superior lobus

bawah merupakan lesi yang paling khas pada tuberkulosis paru.(9)(14)


2.1.6.4 Pemeriksaan Laboratorium

1. Tes tuberkulin yang paling sering digunakan adalah tes Mantoux yakni

dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Der4at4e)

intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength). (14)

2. Pada pemeriksaan darah saat tuberkulossi baru mulai (aktif) ditemukan

jumlah leukosit sedikit meningkat, limfosit di bawah normal, dan laju

endap darah (LED) meningkat. (14)

3. Pada pemeriksaan sputum, kriteria sputum BTA (basil tahan asam) positif

adalah apabila ditemukan sekurang-kurangnya 3 basil tahan asam pada

satu sediaan. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3 spesimen sputum

dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu(SPS). Diagnosis TB paru

pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).

Pada program tuberkulosis nasional dari kementrian kesehatan RI,

penemuan BTA melalui pemeriksaan sputum mikroskopis merupakan

diagnosis utama.(9)(14)

4. Pemeriksaan biakan (kultur) sangat berperan dalam mengidentifikasi

M.Tuberculosis pada penanggulangan penyakit tuberkulosis khususnya

untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap

OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan

identifikasi kuman, serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan

dalam beberapa situasi, yaitu:

a. Pasien TB yang masuk tipe pasien kronis

b. Pasien TB ekstra paru dan pasien TB anak

c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda


5. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mendeteksi DNA bakteri

tuberkulosis dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi bakteri yang

tidak tumbuh pada sediaan biakan.(14)

Secara singkat, alur diagnosis TB paru dapat digambarkan pada gambar

dibawah ini. Pada alur diagnosis ini, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud

suspek TB paru adalah seseorang dengan batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih

disertai dengan atau tanpa gejala lain. Dan antibiotik non OAT adalah antibiotik

spektrum luas yang tidak memiliki efek anti tuberkulosis.

Skema 2.1 Alur diagnosis TB paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti:

hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resisten Obat)(10)


2.1.7 Klasifikasi dan Tipe Pasien Pada Penyakit Tuberkulosis

2.1.7.1 Klasifikasi Tubekulosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan

‘defenisi kasus’ . Menurut Sudoyo (2007) dan Poeloengan (2010) klasifikasi

tuberkulosis, yaitu: (14)(15)

a) Lokasi atau organ tubuh yang sakit:

1. Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.

Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain

paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

b) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) :

1. BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

tuberkulosis positif

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak

ada perbaikan setelah pemberian antibiotik OAT.


2. BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru BTA positif.

Kriteria diagnostik tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi:

a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

c) Tingkat keparahan: ringan dan berat

d) Pembagian berdasarkan patologis: tuberkulosis primer dan tuberkulosis post-

primer

e) Pembagian berdasarkan aktivitas radiologis tuberkulosis paru: aktif, non-

aktif, dan bentuk aktif yang mulai menyembuh

f) Pembagian berdasarkan radiologis (luas lesi): tuberkulosis minimal,

moderately advanced tuberkulosis(tuberkulosis sedang) dan far advanced

tuberkulosis (tuberkulosis berat)

g) Pembagian berdasarkan klinis, radiologis, dan mikrobiologis: tuberkulosis

paru, bekas tuberkulosis paru, dan tuberkulosis paru tersangka.

h) Pembagian berdasarkan aspek kesehatan masyarakat (menurut American

Thoracic Society tahun 1974): kategori 0 (tidak pernah terpajan dan tidak

terinfeksi, riwayat kontak (-), tes tuberkulin (-)); Kategori I (terpajan

tuberkulosis tapi tidak terbukti terinfeksi, riwayat kontak (+), tes tuberkulin

(-); kategori II (terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit, tes tuberkulin (+),

radiologis dan sputum (+)); kategori 3 (terinfeksi tuberkulosis dan sakit)


i) Pembagian berdasarkan terapi (menurut WHO1991): Kategori I (kasus baru

dengan sputum (+), kasus baru BTA (-) tetapi kelainan paru luas, dan

tuberkulosis ekstra paru berat); Kategori II (kasus kambuh, kasus gagal

dengan sputum BTA (+)); Kategori 3 (kasus BTA (-) dengan kelainan paru

tidak luas, kasus tuberkulosis ekstra paru selain yang disebut dalam kategori

I); kategori 4 (kasus tuberkulosis kronik).\

2.1.7.2 Tipe Pasien Penyakit Tuberkulosis

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe pasien menurut Poeloengan (2010), yaitu: (15)(16)

a. Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)

c. Kasus Putus Berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif

d. Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register

tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penuluran dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).(9)(17)

Tabel 2.1 Jenis dan sifat obat anti tuberkulosis (OAT) dan dosis yang
direkomendasikan sesuai dengan berat badan

Sumber:Treatment of Tuberculosis Guidline, 4th ed-WHO

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan, dan
OAT tidak dapat digunakan secara tunggal (monoterapi) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Pada tahanp intensif (awal) pasien mendapat obat setaiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular

menjadi tidak menular dalam kurung waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB

BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan

pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih

lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.(9)

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis di Indonesia. (WHO.2010)

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif,

pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ekstra

paru.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya, yakni pasien yang kambuh, pasien gagal OAT, dan pasien

dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

4. Kategori Anak: 2HRZ/4HR.

Efek Samping OAT

Efek samping OAT dapat dilihat pada kedua tabel berikut ini: (13)

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Rifampisin Semua OAT diminum


Tidak nafsu makan, mual,
malam sebelum tidur
sakit perut
Pirasinamid Beri Aspirin
Nyeri Sendi
INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
Kesemutan s/d rasa terbakar
100 mg per hari
dikaki
Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa,
Warna kemerahan pada air
tapi perlu penjelasan kepada
seni (urine)
pasien
Tabel 2.3 Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis Ikuti petunjuk


obat penatalaksanaan dibawah
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan Keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir Hentikan semua OAT sampai
semua OAT ikterus menghilang
Bingung dan muntah-muntah Hampir Hentikan semua OAT, segera
(permulaan ikterus karena semua OAT lakukan fungsi tes hati
obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol

Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

2.2 Tuberkulosis dengan Multidrug Resistant(MDR)

2.2.1 Definisi

TB-MDR adalah keadaan penyakit tuberkulosis yang bakteri

penyebabnya telah menjadi resisten sekurang-kurangnya terhadap dua jenis OAT

yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampisin.(18) Ada beberapa penyebab

terjadinya resistensi terhadap OAT termasuk jenis MDR-TB yaitu:

a. Penggunaan obat yang tidak adekuat,

b. Pemberian obat yang tidak teratur,

c. Evaluasi dan cakupan yang tidak adekuat,

d. Penyediaan obat yang tidak reguler,

e. Program yang belum berjalan serta kurangnya tata organisasi di

program.(18)
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi: (8)

1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat

pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1

bulan.

2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah

ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.

3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat

pengobatan OAT minimal 1 bulan.

2.2.2 Kategori TB-MDR

Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB: (11)

1. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT

2. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi

isoniazid dan rifampisin.

3. Multidrug-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampisin.

4. Extensive drug-resistance (XDR): TB-MDR ditambah kekebalan terhadap

salah satu obat golongan fluorokuinolo, dan sedikitnya salah satu dari

OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisisn, dan amikasin).

2.2.3 Patogenesis Resistensi Obat

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi

ganda digambarkan pada gambar 2. Basil mengalami mutasi resistensi terhadap

satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi

yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja
(monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya saja yang sensitif

terhadap basil tersebut (monoterapi indirek). Selanjutnya resistensi sekunder

(dapatan) terjadi.(19)

Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi

obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan

resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi

tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi

HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi

yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat

yang primer dan sekunder diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang

tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer, seperti

halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat

meneyebarkan penyakit resistensi obat didalam komunitas. (19)

Koloni M.Tuberculosis

Mutasi Alamiah

Mutan Resisten

Strain resisten akibat terapi yang tidak


adekuat

Resisten Obat TB

Sekunder (Multipel) Infeksi HIV


Kontrol infeksi
Transmisi secara droplet yang tidak
adekuat
Resisten Obat TB Diagnostik yang
terlambat
Primer (Multipel)

Resisten Obat TB Primer yang

Lebih banyak (multipel)


Skema 2.2 Tiga Tahap Penyebaran Dan Perkembangan TB-MDR (20)

2.2.4 Diagnosis TB MDR

1. Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaaan

2. Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat

M.Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH maka

dapat ditegakkkan diagnosis TB-MDR (11)

2.2.5 Penatalaksanaan TB-MDR

Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang spesialis

ahli dibidangnya. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada penatalaksanaan

TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik, pemberian obat, dan kepatuhan.

Dengan pemilihan panduan obat yang tepat maka diharapkan separuh penderita

TB resistensi ganda akan sembuh dan bisa kemungkinan terjadinya komplikasi

dan kematian. Untuk dapat menyusun panduan yang tepat bagi setiap penderita

diperlukan beberapa informasi mengenai hasil tes resistensi kuman tuberkulosis,

riwayat pengobatan dan pola resistensi di lingkungan masyarakat penderita

menetap. (19)

Bila data resistensi baru tidak ada maka data resistensi lama dapat

dipakai apabila belum ada OAT yang dapat dipakai setelah tes resistensi tersebut

memang terbukti terdiri dari paduan obat yang masif sensitif. Bila tidak didapat

tiga obat yang sensitif maka OAT yang dipilih adalah yang belum pernah dipakai

penderita dan menurut data resistensi dimana penderita bertempat tinggal jarang

yang resisten. (19)


Pengobatan berbasis rumah sakit dianjurkan setidaknya hingga konversi

sputum, kemudian setelah keluar rumah sakit, program DOT dijalankan terutama

pada kasus resistensi didapat dan sebelumnya terbukti tidak patuh. Konsep DOTS

(Directly Observed Treatment Short Course) merupakan salah satu upaya penting

dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menanggulangi masalah

tuberkulosis khususnya resistensi ganda ini. Program DOTS-plus untuk TB

resistensi ganda memerlukan modifikasi pada lima komponen strategi DOTS.

Dalam pengawasan hasil terapi, harus dipahami bahwa perbaikan terjadi lebih

lambat bila dibandingkan tanpa TB resistensi ganda, namun pada beberapa serial

kasus didapatkan kultur sputum konversi setelah 2-3 bulan terapi. (19)

Tabel 2.4 Perbandingan Antara Prinsip Strategi DOTS dasar dengan

DOTS-plus(19)

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus

Komitmen administratif dan Komitmen administratif dan politik


politik (pemerintah) (pemerintah) yang lebih lama
Diagnosis dengan kualitas baik Diagnosis yang akurat dengan
menggunakan pemeriksaan pemeriksaan kultur dan uji resistensi
sputum mikroskopis obat yang terjamin
Pengobatan yang Pengobatan yang berkesinambungan
berkesinambungan terhadap obat terhadap obat lini pertama dan kedua,
lini pertama untuk pasien rawat pemberian obat lini kedua dilakukan
jalan dibawah pengawasan yang ketat
Pengawasan obat secara langsung Pengawasan obat secara langsung
(Directly Observed Therapy) (Directly Observed Therapy)
Pencatatan yang sistematik dan Sistem pelaporan dan perekaman data
bertanggungjawab yang memungkinkan untuk
pencatatan dan evaluasi terhadap
hasil akhir

*DOTS-plus merupakan komponen yang utuh dari program kontrol


tuberkulosis nasional yang telah ada yang diimplementasikan melalui
program infrastruktur.

Ketika hendak memulai terapi, yang perlu diingat adalah jangan pernah

menambahkan satu jenis obat yang sudah gagal karena hal ini terjadi resistensi

obat. Minimal 3 obat, dan yang lebih dianjurkan 4 sampai 6 obat diberikan pada

kasus TB resistensi yang belum pernah digunakan sebelumnya dan akt4itas obat

secara in vitro terjamin.

Reegimen obat berdasarkan bukti medis pada penderita TB resistensi

ganda belum ada yang pasti. Pemberian OAT telah disebeutkan menurut panduan

internasional yang didasarkan pada studi-studi yang dijalankan.

Tabel 2.5 Pengobatan TB Resiten Obat: Rekomendasi WHO(19)

Obat Fase Fase Inisial Fase Fase

Resisten Inisial Lanjutan Lanjutan

Durasi OAT Durasi OAT

(Bulan) (Bulan)

H+S 3 R+Z+E 6 R+E

H+E+S 2 R+Z+Amk+Pth, 6 R + Pth

diikuti

1 R+Z+Pth

H+R±S 3-6 Z+E+Ptk+Amk+Fq 18 E+Pth+Fqn

H+R+Z 3-6 Pth+Amk+Fqn+Cy 18 Pth+Fqn+C


+E+S c+Pas yc

H:Isoniazid ; R:Rifampisin : Z:Pirazinamide : E: Etambutol


S:Streptomycin ; Pth: Protionamide/ethionamide ; Pas: Paminosalicyclic acid ;
Amk: Amikacin ; FQN: Fluoroquinolon ; Cyc:Cycloserine
*pilihan terapi untuk resitensi obat yang diketahui. Jika diasumsikan resistensi
banyak obat (gagal pengobatan setelah terapi jangka pendek dan dengan
pengawasan langsung), terapi 3 bulan dengan aminoglikosida, prothionamide,
pyrazinamide, dan fluroquinolon diikuti 18 bulan dengan prothionamide dan
fluroquinolone.

2.3 Kerangka Teori

Pasien TB-MDR dapat diketahui dari hasil pemeriksaan kultur yang

dilanjutkan dengan pemeriksaan uji sensit4itas OAT. Secara lebih jelas,

keterkaitan beberapa variabel dengan teori yang ada dipaparkan sebagai berikut.

1. Demografis

a. Jenis Kelamin

World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi TB paru

2,3 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan terutama

pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih

sering melakukan akt4itas sosial. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan Holmes dkk, prevalensi TB paru antara laki-laki dan

perempuan sama hingga umur remaja tetapi setelah remaja prevalensi

laki-laki lebih tinggi dari perempuan.(20)

b. Umur

Berdasarkan penelitian di RS Persahabatan Jakarta, umur penderita

paru termuda adalah 15 tahun sedangkan paling tua 83 tahun, dan

masih didominasi kelompok umur dibawah 45 tahun. Di negara

berkembang sebagian besar penderita TB berumur dibawah 50 tahun


sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada kelompok

umur dibawah 50 tahun, tetapi masih tinggi pada kelompok yang lebih

tua. Data ini mirip data WHO yang menunjukkan bahwa kasus TB di

negara sedang berkembang banyak terdapat pada umur produktif yakni

15-29 tahun.(20)

c. Status Sosial

Pekerjaan yang berkaitan dengan kemampuan ekonomi dan status

sosial memungkinkan seseorang dapat memeriksa kesehatan pada

pusat pelayanan kesehatan untuk memperoleh pengobatan yang

dibutuhkan.(18)

2. Penentuan diagnosis

Sesuai dengan pemaparan sebelumnya mengenai diagnosis, maka hal-hal

yang paling sering berkaitan dengan penentuan diagnosis TB adalah

keluhan utama, foto toraks, dan pemeriksaan BTA.(21)

3. Perjalanan penyakit

a. Status gizi

Status gizi kurang dapat meningkatkan resiko terkena TB. Akan tetapi

sesuatu penelitian melaporkan bahwa berat badan tidak berpengaruh

terhadap resiko untuk menjadi TB-MDR.(18)

b. Riwayat kekambuhan penyakit TB paru

c. Adanya riwayat pernah menderita TB paru kemudian didiagnosis

kembali dengan TB paru meningkatkan resiko terjadinya multidrug-

resistant pada pasien TB paru. (18)


d. Riwayat Merokok

Beberapa penelitian telah mengemukakan bahwa hubungan positif

antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis. Kebiasaan

merokok ternyata meningkatkan kejadian infeksi TB, insidensi, dan

angka kematian akibat TB. Risiko terjadinya TB pada perokok aktif 3,8

kali sedangkan pada perokok pasif 2,5 kali. Hal ini dapat terjadi karena

rokok akan mempengaruhi makrofag, sehingga menurunkan respon

terhadap antigen, mengeluarkan sintesis elastase dan menurunkan

produksi antiprotease, sehingga meningkatkan risiko untuk

mendapatkan infeksi pada sistem pernapasan termasuk TB.(3)

e. Penyakit penyerta

Beberpa penyakit dapat ada pada saat yang sama dengan penyakit TB,

baik sebagai faktor risiko, faktor yang berdiri sendiri tapi berhubungan

dengan OAT yang akan diberikan, maupun komplikasi akibat penyakit

TB yang diderita. Penyakit yang dapat meningkatkan kerentanan

menderita TB antara lain : penyakit imunodefisiensi seperti HIV/AIDS,

diabetes mellitus, malnutrisi, asma, dan penyakit paru obstruksi kronik

(PPOK). Penyakit yang berhubungan dengan OAT yang akan diberikan

yaitu penyakit hati dan ginjal. Sementara penyakit yang merupakan

komplikasi dari TB antara lain: anemia, pleuritis, efusi pleura,

empiema, laryngitis, TB usus, TB miliar, sindrom obstruksi pasca

tuberkulosis (SPOT), fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,

karsinoma paru, dan sindrom gagal napas dewasa (ARDS).(3)


f. Riwayat pengobatan

Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, berdasarkan riwayat terapi,

maka terdapat beberapa tipe penderita yaitu: baru, kambuh (relaps),

putus berobat (default), gagal (failure), kronik, dan dalam massa

pengobatan.(13)
BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Pada setiap populasi, tiap indvidu anggota tersebut memiliki karakteristik

yang berbeda-beda untuk setiap penyakit tertentu. Berdasarkan tinjauan pustaka,

terdapat berbagai macam faktor yang dapat berkaitan dengan kejadian mult drug-

resistant pada pasien TB paru seperti : umur, jenis kelamin, pekerjaan, status

pembiayaan, pendidikan, riwayat merokok, riwayat kekambuhan penyakit TB

paru, penentuan diagnosis (gejala utama, foto toraks, pemeriksaan BTA,

pemeriksaan darah rutin, dan mantoux tes), riwayat kontak, penyakit penyerta,

efek samping OAT, riwayat terapi, dan keadaan akhir pasien.

Diantara berbagai faktor tersebut, maka variabel independen pada pasien TB

paru dengan mult drug-resistent (TB-MDR) yang akan diteliti dibatasi pada jenis

kelamin, umur, status pembiayaan, gejala utama, hasil pemeriksaan BTA,

pemeriksaan foto toraks riwayat kekambuhan penyakit TB paru, riwayat

merokok, penyakit penyerta, dan riwayat terapi. Penentuan variabel ini

didasarkan pada ketersediaan data dari rekam medik pasien, dengan tetap

mengingat kepentingan keterkaitan variabel tersebut dengan kasus TB-MDR.

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan diatas, maka disusunlah

pola variabel sebagai berikut :

36
Skema 3.1 Kerangka Konsep

Demografi
Jenis Kelamin (1)

Umur (2)

Status Pembiayaan (3)

Diagnostik

Gejala Utama (4)

Tuberculosis
Foto Toraks (5) Multidrugs
Resistant
(TB-MDR)

Perjalanan Penyakit

Riwayat Merokok (6)

Penyakit Penyerta (7)

Keterangan :

Variabel Dependen Variabel Independen Variabel Independen


3.3 Definisi Operasional

3.3.1 Tuberkulosis dengan Multidrug-Resistant (TB-MDR)

a. Definisi : Kasus TB yang hasil uji sensitvitas OAT menunjukkan resistensi

terhadap sekurang-kurangnya isoniazid (H) dan rifampicin (R).

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan memperhatikan dan mencatat data yang tertera pada

catatan hasil uji sensitifitas OAT untuk menentukan pasien TB-MDR dari

laboratorium mikrobiologi RS Labuang Baji Makassar.

d. Skala ukur : nominal

e. Hasil ukur akan didapatkan pasien TB-MDR dengan pola resistensi :

1. R dan H

2. R, H, dan S

3. R, H, dan E

4. R, H, E, dan S

3.3.2 Variabel Independen

3.3.2.1 Jenis Kelamin

a. Definisi : perbedaan seksual yang terdiri dari laki-laki dan perempuan

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan mencatat variabel jenis kelamin sesuai dengan yang

tercatum pada rekam medik

d. Skala ukur : nominal

e. Hasil ukur :

1. Laki-laki

2. Perempuan
3.3.2.2 Umur

a. Defenisi : lamanya seseorang hidup mulai saat pertama dilahirkan sampai

usianya pada saat masuk rumah sakit untuk pertama kali yang dinyatakan

dalam satuan tahun.

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan mencatat variabel umur sesuai dengan yang tercantum

pada rekam medik

d. Skala ukur : ordinal

e. Hasil ukur :

1. 0-11 tahun

2. 12-25 tahun

3. 26-45 tahun

4. 46-65 tahun

5. >65 tahun

3.3.2.3 Status Pembiayaan

a. Definisi : sesuai dengan program pelayanan kesehatan yang digunakan

untuk berobat ke rumah sakit.

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan mencatat variabel status pembiayaan berdasarkan

program pelayanan kesehatan yang digunakan sesuai dengan yang

tercantum pada rekam medik.

d. Skala ukur : nominal


e. Hasil ukur :

1. BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial)

2. Asuransi Kesehatan Komersial

3. Umum

3.3.2.4 Gejala Utama

a. Definisi : gejala yang pertama kali membawa pasien ke rumah sakit.

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan mencatat variabel gejala utama sesuai dengan yang

tercantum pada rekam medik.

d. Skala ukur : nominal

e. Hasil ukur :

1. Batuk lama

2. Batuk darah

3. Sesak napas

4. Nyeri dada

5. Lemas

6. Demam

7. Lain-lain (disebutkan)

3.3.2.5 Riwayat Merokok

a. Definisi : kebiasaan merokok sebelum masuk rumah sakit

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan mencatat variabel riwayat merokok sesuai dengan

tercantum pada rekam medik.


d. Skala ukur : nominal

e. Hasil ukur :

1. Merokok

2. Tidak Merokok

3.3.2.6 Penyakit Penyerta

a. Definisi : sesuai dengan kondisi penyakit lain yang memperberat yang

menyertai pasien yang tertera pada rekam medik.

b. Alat ukur : kuesioner yang diisi oleh peneliti

c. Cara ukur : dengan menggolongkan, lalu mencatat variabel penyakit

penyerta sesuai dengan yang tercantum pada rekam medik.

d. Skala ukur : nominal

e. Hasil ukur :

1. Ada, yaitu bila pasien mengalami salah satu dari penyakit yang dapat

meningkatkan kerentanan menderita TB antara lain: penyakit

imunodefisiensi seperti HIV/AIDS, diabetes melitus, malnutrisi, asma,

dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau penyakit yang

berhubungan dengan OAT yang akan diberikan yaitu penyakit hati dan

ginjal, atau penyakit yang merupakan komplikasi dari TB antara lain :

anemia, pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus, TB

miliar, sindrom obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT), fibrosis paru,

korpulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas

dewasa (ARDS)

2. Tidak ada
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan menggunakan

desain penelitian deskriptif, yang mana pengukuran variabel dilakukan pada saat

tertentu yang sama untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru MDR di RS

Labuang Baji Makassar melalui penggunaan rekam medik sebagai data penelitian.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini diadakan pada tanggal 27 Juni - 10 Juli 2016.

4.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di Bagian Rekam Medik dan Laboratorium RS

Labuang Baji Makassar.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah:

 Populasi target : Pasien TB Paru-MDR di wilayah Makassar

 Populasi Terjangkau : Pasien TB Paru-MDR di RS Labuang Baji terhitung

sejak bulan Januari - Desember 2015.

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian 44


ini adalah pasien TB paru dengan hasil

pemeriksaan uji sensitivitas yang menunjukkan multidrug-resistant (MDR) di RS

Labuang Baji terhitung sejak bulan Januari - Desember 2015.


4.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total

sampling yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel.

4.3.4 Kriteria Seleksi

a. Kriteria Inklusi

 Memiliki rekam medik.

b. Kriteria Eksklusi

Terdapat data yang tidak lengkap dari salah satu data berikut :

 Hasil Pemeriksaan kultur

 Riwayat Pengobatan

 Hasil Pemeriksaan Sputum

 Hasil Pemeriksaan Foto Toraks

4.4 Jenis Data dan Instrumen Penelitian

4.4.1 Jenis Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh

melalui rekam medik subjek penelitian.

4.4.2 Data Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data dan instrumen penelitian yang dipergunakan dalam

penelitian ini terdiri dari lembar kuesioner yang dengan tabel-tabel tertentu untuk

merekam atau mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik.

4.5 Manajemen Penelitian

4.5.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak

pemerintah dan RS Labuang Baji. Kemudian nomor rekam medik pasien TB-
MDR dalam periode yang telah ditentukan dikumpulkan dari Laboratorium untuk

memperoleh rekam medik pasien tersebut di bagian Rekam Medik RS Labuang

Baji. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam

kuisioner yang telah disediakan.

4.5.2 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan dilakukan setelah pencatatan data rekam medik yang

dibutuhkan ke dalam kuesioner dengan menggunakan program komputer untuk

memperoleh hasil statistik deskriptif yang diharapkan.

4.5.3 Penyajian Data

Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram

untuk menggambarkan proporsi pasien TB-MDR dari pasien TB yang

mendapatkan uji sensitivitas OAT dan karakteristik pasien TB MDR di RS

Labuang Baji Periode Januari - Desember 2015.

4.6 Etika Penelitian

Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak

pemerintah setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan

penelitian.

2. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada

rekam medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa

dirugikan atas penelitian yang dilakukan.

3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada

semua pihak yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang

telah disebutkan sebelumnya.


BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Lokasi Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang baji,


Makassar yang terletak di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar
tepatnya di Jalan Dr.Ratulangi No. 81 Makassar. Rumah Sakit ini juga menjadi
rumah sakit Tipe B dan juga sebagai pusat rujukan region gerbang Selatan,
mencakup Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, termasuk
untuk masyarakat yang berdomisili di sisi selatan Kota Makassar. Dikeluarkannya
Perda Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 yang
merubah status dari RSUD non pendidikan menjadi BP RSUD Labuang Baji yang
berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Sulawesi
Selatan, namun sebelumnya RSUD Labuang Baji telah Terakreditasidengan 5
(lima) bidang pelayanan Kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008 dengan merubah struktur
organisasi RSUD Labuang Baji dari bentuk badan menjadi Rumah Sakit Umum.

5.2 Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan di RS Labuang Baji Makassar, bertempat di

bagian rekam medik. Pengumpulan data dimulai pada tanggal 27 Juni sampai 8

Juli 2016. Proses pengumpulan data dilakukan dengan melihat data sekunder

rekam medik pasien TB paru dengan hasil uji sensitivitas OAT menunjukkan

multidrug-resitant (MDR) yang teregistrasi tahun 2015.

Data yang diperoleh tercatat sebanyak 815 pasien TB menjalani

pemeriksaan uji sensitivitas OAT pada periode yang telah disebutkan, dan dari
hasil pemeriksaan 78 pasien TB paru di antaranya menunjukkan multidrug-

resistant (MDR) yang merupakan subjek penelitian. Dari jumlah pasien 178

orang yang menunjukkan diagnosis multidrug-resistant (MDR), hanya 72 pasien

yang memiliki rekam medik yang memenuhi kriteria.

5.2.1 Proporsi Uji Sensitivitas OAT dan Pasien TB-MDR

Pasien TB-MDR tersebut memiliki pola resistensi tertentu seperti yang

tampak pada tabel 5.1. Tanpa membedakan jenis resistensi primer maupun

sekunder, yang mana resistensi primer adalah resistensi yang terjadi pada pasien

yang mengkonsumsi OAT ≤ 1 bulan dan sebaliknya resistensi sekunder adalah

resistensi yang terjadi pada pasien yang mengkonsumsi OAT > 1 bulan, pola

resistensi terbanyak pada TB-MDR adalah yaitu rifampisin (R), isoniasid (H),

ditambah dengan etambutol (E) dan streptomisin (S).

Tabel 5.1 Pola Resistensi TB-MDR Tahun 2015

JUMLAH
Pola Resistensi
Jumlah (n) Presentase (%)

R dan H 31 43

R, H, dan E 20 28

R, H, dan S 13 18

R, H, E, dan S 8 11

TOTAL 72 100,0

Sumber : Bagian Rekam Medik RS Labuang Baji Makassar Tahun 2015


Persentase (%)
R H E S

Resisten 100 100 38,9 29,2

Sensitif 0 0 61,1 70,8

TOTAL 100 100 100 100

5.2.2 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Keadaan Demografis

Karakteristik yang diperoleh dari kuesioner yaitu jenis kelamin, umur,

dan status pembiayaan. Adapun distribusinya dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Keadaan Demografi

Sub Grup Jumlah (n) Presentase (%)


37 51,4
Jenis Kelamin Laki – laki
35 48,6
Perempuan
0 0,0
Umur 0-11 Tahun
8 11,1
12-25 Tahun

26-45 Tahun 37 51,4

46-65 Tahun 24 33,3

>65 Tahun 3 4,2


61 84,7
Status Pembiayaan BPJS
Asuransi Kesehatan 0 0
Komersial
11 15,3
Umum
TOTAL 72 100,0
Dari Tabel 5.2 tersebut, pasien TB-MDR yang berjenis kelamin laki-laki

yaitu 37 kasus ( 51,4%) lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 35 kasus

(48,6 %). Sebagian besar pasien TB-MDR berada pada kelompok umur 25 – 45

tahun yaitu 37 kasus (51,4 %). Sementara itu, berdasarkan status pembiayaan

yang tertera pada rekam medik tentang cara pembayaran pelayanan kesehatan

BPJS yaitu 61 kasus (8,7%).

5.2.3 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Penentuan Diagnostik

Karakteristik yang diperoleh dari kuesioner yaitu penentuan diagnostik

yaitu keluhan utama dan hasil foto toraks. Adapun distribusinya dapat dilihat

pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Penentuan Diagnostik

Jumlah (n) Presentase


Sub Grup
(%)
Keluhan Utama Batuk Lama 63 87,5

Lemas 6 8,3

Sesak Napas 3 4,2


Hasil Foto 69 95,8
Mendukung Diagnosis TB
Toraks
Tidak Mendukung 3 4,2
Diagnosis TB
TOTAL 72 100,0

Dari Tabel 5.3 tersebut, keluhan utama yang paling banyak pada saat

pasien TB-MDR datang berobat adalah batuk lama yaitu 63 kasus (87,5 %),

kemudian lemas yaitu 6 kasus (8,3%), dan sesak nafas yaitu 3 kasus (4,2%).
Sebagian besar hasil foto toraks pasien mendukung suatu diagnostik TB yaitu 69

kasus (95,8 %).

5.2.4 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Perjalanan Penyakit

Karakteristik yang diperoleh dari kuesioner yaitu perjalanan penyakit

yaitu riwayat merokok dan penyakit penyerta (komorbid/komplikasi). Adapun

distribusinya dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Pasien TB-MDR berdasarkan Perjalanan Penyakit

Jumlah (n) Presentase (%)


Sub Grup
40 55,6
Riwayat Merokok Merokok
32 44,4
Tidak Merokok
9 12,5
Penyakit Penyerta Ada
63 87,5
Tidak Ada
TOTAL 72 100,0

NO PENYAKIT JUMLAH
1. DM TIPE 2 6
2. PPOK 3

Dari Tabel 5.4 tersebut, sebagian besar pasien TB-MDR dengan riwayat

merokok yaitu 40 kasus (55,6%). Sebagian besar pasien tidak memiliki penyakit

penyerta yaitu 63 kasus (87,5%).


BAB 6

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya diperoleh dari hasil

pengolahan data kuesioner penelitian dari 72 rekam medik pasien TB paru

dengan hasil uji sensitivitas OAT menunjukkan multidrug-resistant (MDR) yang

teregistrasi di RS Labuang Baji Makassar pada tahun 2015 dan dari data sekunder

lainnya mengenai TB.

6.1 Proporsi Pasien TB MDR terhadap Uji Sensitivitas OAT

Pola Resistensi yang didapatkan dalam pemeriksaan uji sensitivitas OAT

ini sangat berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya di tempat lain. Pada penelitian ini, pola resistensi yang terbanyak

adalah kelompok yang resitensi R, H (43%) dan R, H, E (28%) Hal yang relatif

sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Munir dkk di RS

Persahabatan Jakarta mendapatkan pola resistensi terbanyak adalah kelompok

yang resistensi terhadap R dan H (50,5%), dan kelompok yang resistensi terhadap

keempat jenis OAT hanya 5,9%.11 Penelitian lain yang dilakukan oleh Granich

dkk di California mendapatkan pola resistensi yang terbanyak adalah kelompok

yang resistensi terhadap H, R, dan salah satu obat injeksi termasuk streptomisin

(S) sebanyak 252 sampel (62%).23 Dari perbandingan beberapa penelitian

tersebut, gambaran yang berbeda dari pola resistensi TB-MDR di RS Labuang

Baji masih belum dipastikan penyebabnya.


6.2 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan keadaan Demografis

6.2.1 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian yang tercatat sebagai pasien

TB-MDR sedikit lebih banyak pada laki-laki yakni 37 orang (51,4%)

dibandingkan dengan perempuan yakni 35 orang (48,6%). Sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Munir dkk di RSUP Persahabatan Jakarta dengan jumlah

pasien yang terdiagnosis TB-MDR adalah 53 orang (52,5%) laki-laki dan 48

orang (47,5%) perempuan.24 Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh

Granich dkk di California juga didapatkan laki-laki 241 orang (59%) dan

perempuan 166 orang (41%).23 Penelitian lain yang mendapatkan hasil yang

berbeda adalah penelitian Jen Suo dkk dari Taiwan yang mana perempuan lebih

banyak dibandingkan laki-laki dengan rasio 7(36%) : 11(64%).26

Dari survey epidemiologi yang dilakukan diberbagai negara, 95% dari

laporan berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penderita TB

adalah laki-laki. World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi TB

paru 2,3 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan terutama pada

negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan

aktivitas sosial. Sedangkan untuk kejadian TB-MDR, perbedaan angka kejadian

berdasarkan jenis kelamin sering dikaitkan dengan adanya perbedaan akses ke

pusat pelayanan kesehatan dan faktor resiko penularan. Pada dasarnya, laki-laki

lebih mudah pergi ke pusat pelayan kesehatan untuk memperoleh pengobatan,

akan tetapi keberhasilan pengobatan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan

dengan laki-laki. Selain itu, interaksi sosial laki-laki juga lebih sering sehingga
resiko penularan penyakit pada laki-laki cenderung lebih tinggi. Kedua hal ini

kemudian membuat kejadian TB-MDR cenderung terjadi pada laki-laki.

Akan tetapi, secara keseluruhan, data yang dihimpun dari beberapa

negara diperoleh kejadian TB-MDR lebih banyak pada laki-laki dengan proporsi

58% . Namun odd ratio yang diperoleh adalah 1,1 yang menunjukkan tidak ada

hubungan bermakna antara TB-MDR dan jenis kelamin.3

6.2.2 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan kelompok umur, pasien TB-MDR paling banyak terdapat

pada kelompok umur 26-45 tahun dengan 37 orang (51,4%), disusul oleh

kelompok umur 46-45 tahun dengan 24 orang (33,3 %). Hasil ini menunjukkan

bahwa pasien TB-MDR banyak yang berada pada umur-umur produktif.

Penelitian lain yang dilakukan Munir dkk melaporkan kelompok umur terbanyak

pasien TB-MDR adalah pada umur 25-34 tahun.11

Hal ini menunjukkan bahwa penyakit TB-MDR merupakan suatu

ancaman bagi perekonomian keluarga, dan juga bagi lingkungan masyarakat

dimana penderita ini sering berinteraksi secara sosial sebab mobilisasi kelompok

umur produktif yang tinggi sehingga mudah menularkan penyakit yang

dideritanya.

6.2.3 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Status Pembiayaan

Berdasarkan status sosial yang dinilai dari cara pembayaran pelayanan

kesehatan, maka kebanyakan pasien TB-MDR adalah mereka yang berstatus BPJS

61 orang (84,7 %) yang merupakan kelompok dengan status sosio-ekonomi


rendah. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Basrah dkk dan

Frieden dkk menyatakan bahwa pasien dengan status sosial atau pendapatan atau

pendidikan rendah ternyata tidak berhubungan secara bermakna dengan terjadinya

kejadian TB-MDR.11

Kemampuan ekonomi dan status sosial memungkinkan seseorang dapat

memeriksakan kesehatannya pada pusat pelayanan kesehatan untuk memperoleh

pengobatan yang dibutuhkan. Dalam menghadapi penyakit TB, kelompok sosio-

ekonimi rendah tampaknya mengalami permasalahan dalam menjalani pengobatan

TB secara tuntas, hal ini yang kemudian meningkatkan risiko kejadian TB-MDR.

Meskipun kelompok ini dapat mengusahakan pengobatan dengan bantuan

pemerintah, fokus utama kehidupannya belum cukup terarah pada aspek

kesehatan.

6.3 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Penetuan Diagnostik

6.3.1 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Keluhan Utama

Sebagian besar pasien TB-MDR datang berobat dengan keluhan utama

batuk lama (87,5 %), kemudian lemas (8,3 %), dan sesak nafas (4,2%). Keluahan

utama tersebut merupakan keluhan yang khas dalam mencurigai seseorang

menderita penyakit TB. Dari hasil penelitian tersebut, tampak bahwa tidak ada

perbedaan yang terlalu mencolok antara gejala klinis TB paru pada umumnya

dengan TB paru yang MDR.


6.3.2 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Hasil Foto Toraks

Hasil foto toraks pasien TB-MDR sebagian besar mendukung diagnosis

suatu penyakit TB paru yaitu 69 (95,8%). Hal ini menunjukkan bahwa

penegakkan diagnosis TB juga merujuk pada hasil foto toraks. Ekspertise foto

toraks yang ada tidak menginformasikan luas lesi yang ada secara eksplisit untuk

menggambarkan keadaan pasien TB-MDR secara umum.

6.4 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Perjalanan Penyakit

6.4.1 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Riwayat Merokok

Berdasarkan riwayat merokok, hampir semua pasien TB-MDR yang

memiliki riwayat merokok adalah yang berjenis kelamin laki-laki, dengan

proporsi 55,6 %. Penelitian yang pernah dilakukan Kalappan dan Gopi

menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara kebiasaan merokok dengan

kejadian TB. Yach menyatakan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan kejadian

infeksi TB, insidensi, dan angka kematian TB. Penelitian Alceide mendapatkan

risiko terjadi TB pada perokok aktif 3,8 kali sedangkan pada perokok pasif 2,5

kali.26

Dari hasil penelitian TB-MDR di RS Labuang Baji Makassar, tampak

bahwa angka kejadian TB yang lebih tinggi pada laki-laki juga berhubungan

dengan faktor risiko merokok yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. Rokok

dapat mempengaruhi makrofag yaitu menurunkan respon terhadap antigen,

mengeluarkan sintesis elastase dan menurunkan produksi antiprotease, sehingga

meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi termasuk TB.


6.4.2 Karakteristik Pasien TB-MDR berdasarkan Penyakit Penyerta

Sebagian besar pasien TB-MDR tidak memiliki penyakit penyerta

(87,5%). Hal ini bias dikarenakan adanya data penyakit pasien yang tercatat.

Diabetes Melitus merupakan penyakit komorbid pada pasien TB-MDR, sesuai

dengan penelitian Bashar dkk yang menyatakan bahwa penyakit diabetes mellitus

merupakan faktor risiko terjadinya TB-MDR. Keadaan tersebut kemungkinan

karena penekanan sistem imun pada diabetes mellitus sehingga mempengaruhi

reaktivasi dan perkembangan.26


BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai proporsi dan karakteristik pasien

TB-MDR di RS Labuang Baji Tahun 2015, maka diperoleh kesimpulan sebagai

berikut.

1. Pola resistensi OAT TB MDR yang terbanyak R, H yaitu 43 %.

2. Berdasarkan keadaan demografis, sebagian besar pasien TB-MDR berjenis

kelamin laki-laki (51,4%), berada pada kelompok umur 25-45 tahun

(51,4%), dan status pembiayaan sebagai pasien BPJS (84,7%).

3. Berdasarkan penetuan diagnostik, sebagian besar pasien TB-MDR datang

erobat dengan gejala utama batuk lama (87,5 %), hasil foto toraks

mendukung diagnosis TB (95,8%).

4. Berdasarkan perjalanan penyakit, sebagian besar pasien TB-MDR dengan

riwayat merokok (55,6 %), dan yang memiliki penyakit penyerta (87,5%).

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka saran-

saran yang diajukan adalah sebgai berikut.

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara beberapa

variabel dalam karakteristik pasien TB-MDR untuk dapat memastikan

hubungan kausal atau faktor untuk TB-MDR.


2. Diperlukan upaya yang maksimal dalam meningkatkan deteksi dini penderita

TB-MDR melalui peningkatan cakupan uji sensitivitas OAT terhadap kasus

TB, baik kasus baru maupun kasus yang telah mendapatkan OAT. Hal ini

sangat penting dalam menekan angka penularan TB-MDR yang lebih sulit

untuk diobati, serta menekan angka kematian TB melalui pemberian terapi

yang tepat dan cepat sesuai dengan obat anti-tuberkulosis yang masih sensitif.

3. Laboratorium-laboratorium mikrobiologi yang ada di Indonesia sebaiknya

berupaya untuk semakin meningkatkan mutu hasil pemeriksaan kultur dan

sensitivitas obatnya agar dapat tersertifikasi internasional sehingga hasil yang

diperoleh tidak diragukan keakuratannya.


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2014. Global Tuberculosis Report. [cited: 14 September 2015].

Available from:

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf?

ua=1

2. WHO, 2011. Global Tuberculosis Control WHO Report. [Cited 14

September 2012]: Available From:

www.whqlibdoc.who.int/publication/global/2011/9789241564380_eng.pdf

3. WHO, 2010. Global Tuberculosis Control WHO Report. [Cited 14

September 2012]: Available From:

www.who.int/TB/publication/global_report/2010

4. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010.

Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, Jakarta.

Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia.Hal. 93-

110

5. Leavell HR, 1953. The Basic Unity of Pr4ate Practice and Public Health :

American Journal of Public Health, Vol. 43, No.12,p.1501-6

6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,

Kementerian Kesehatan RI, 2012. Laporan Situasi Terkini Perkembangan

Tuberkulosis di Indonesia Tahun 2011.

7. WHO, 2009. Status of impact measurement in HBCs at the end of 2008. In:

Global tuberculosis control: epidemiology, strategy, financing: WHO report

2009, Switzerland: WHO Press.P.20-21


8. Soepandi, Priyanti Z, 2009. Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi

terjadinya TB-MDR. [Cited 14 September 2015]. Available From:

URL:http;//library.ac.id/download/DepartemenPulmonologi&IlmuKedokter

anRespirasiFKUI-RSPersahabatan/Jakarta

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Nasinal

Pengendalian Tuberkulosis, Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI

10. Stop TB Working Group on DOTS-Plus for MDR-TB Strategic Plan 2006-

2015.2004

11. Werdhani,Retno Asti. 2009. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

12. CDC, 2011. Reported Tuberculosis in the United States : Atlanta, GA: U.S.

Departement of Health and Human Services, CDC [Cited 14 September

2015]. Available From: http://www.cdc.gov/TB/

13. Rajagopalan, s. Et al, 2003. Tuberculosis. In: William RH (ed). Principle of

Geriatric Medicine & Gerontology Fifth Edition. New York: The McGraw-

Hill Companies. Page: 1099-1105

14. Amin, Z. Dkk, 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, AW (ed). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Jakarta: FK UI. Hal. 988-1000

15. Poeloengan, M. dkk. Bahaya dan Penanganan Tuberkulosis. [Cited 16

September 2015]. Available From:

http://www.scrib.com/26152267/Lokakarya-Nasional-Penyakit-Zoonosis.

16. Rachmawati, T, 2006. Pengaruh Dukungan Sosial dan Pengetahuan

Tentang Penyakit Tuberkulosis Terhadap Motivasi untuk Sembuh Penderita


Tuberkulosis Yang Berobat di Puskesmas. [Cited 16 September 2015].

Available From: http://www.jurnal.pdii.lipi.go.id

17. WHO, 2010. Treatment of Tuberculosis Guidlines, 4th ed. Switzerland:

WHO

18. Munir, SM. Dkk, 2010. Penanganan Pasien Tuberkulosis Paru dengan

Multidrug-Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUD Persahabatan. J

Respir Indo. Vol. 30, No.2;. Hal. 92-104

19. Syahrini, Heny, 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Medan:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan, Fakultas

Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

20. Masniari L, Aditama TY, Wiyono Wh, Hupudio H, 2015. Penilaian Hasil

Pengobatan TB Paru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi serta Alasan

Putus Berobat di RS Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. Vol. 25. No. 1,

Hal.9-22

21. Gedurnas (Gerakan Terpadu Penanggulangan TB Nasional), 2004.

Epidemiologi TBC di Indonesia. [Cited 17 September 2015]. Available

From: www.TBcindonesia.or.id

22. Palomino Jc, et al, 2007. Tuberculosis : From Basic Science to Patient

Care. 1st Ed.

23. Granich RM, Oh P, Lewis B, Porco TC, Flood J. Multidrug Resistance

among Persons With Tuberculosis in California 1994-2003. JAMA.

Vol.293; 2005, p.22

24. Massi NM. 2010. Peran Laboratorium Mikrobiologi dalam Diagnosis Dini

dan Akurat Penyakit Tuberkulosis. Makassar: Universitas Hasanuddin


25. Suo J, Yu MC, Lee CN, Chiang CY, Lin TP. Treatment of multidrug

resistanant tuberculosis in Taiwan. Chemotherapy. Vol.42; 1996,p.20-3

26. Masniari L, Aditama TY, Wiyono Wh, Hupudio H, 2015. Penilaian Hasil

Pengobatan TB Paru dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi serta Alasan

Putus Berobat di RS Persahabatan Jakarta. J Respir Indo. Vol. 25. No. 1,

Hal.9-22

Anda mungkin juga menyukai