Anda di halaman 1dari 12

Muhammad Nuzul Dzikri

www.muhammadnuzuldzikri.com

ILMU DAN ADAB

Ketika kita ingin belajar adab, salah satu kitab yang


direkomendasi untuk dikaji adalah kitab yang
berjudulkan “Tadzkirotus Saami’ wal Mutakallim”, dan
sebelum mempelajari kitabnya, ada baiknya kita
mengenal lebih dekat siapa penulisnya.

Sang penulis adalah seorang ulama yang bernama


Muhammad bin Ibrahim bin Sa'dillah bin Jama’ah. Atau
yang dikenal baik di antara kalangan penuntut ilmu
sebagai Ibnu Jama’ah. Beliau ialah salah satu ulama
madzhab Syafi’i yang terlahir pada tahun 639H dan
meninggal pada tahun 733H. (Thabaqatus Syafi'iyyatul
Kubra; 9/139-140)

Sang penulis buku adalah ulama yang bergelar Syaikhul


Islam. Adapun gelar Syaikhul Islam karena beliau
menguasai berbagai disiplin ilmu agama sehingga
menjadi banyak menjadi rujukan penuntut ilmu. Dan tak
tanggung, salah satu ulama yang memberikan gelar
Syaikhul Islam adalah sang penulis buku tafsir mahsyur,
Al-Imam Ibnu Katsir. Sebagai mana yang terdapat pada
kitab Al-Bidayah wan Nihayah; 14/188.

Di antara murid Ibnu Jama’ah yang terkenal adalah Al-


Imam Adz-Dzahabi, penulis Siyar A’laamin Nubalaa’,
yang memberikan testimoni mengenai gurunya:

“Sosok yang punya peran, andil yang sangat baik dalam


berbagai macam ilmu Keislaman, disamping itu beliau
rajin ibadah.” (Mu'jamus Syuyukhul Kabir; 2/130)

Beliau menjadi Qadhi (hakim agama syariat Islam) dan


berkhutbah di tiga tempat yang prestisius, yakni:  Al-
Quds, Damaskus, dan Mesir; (Thabaqotus Syafi'iyyatul
Kubra; 9/140)

Pada kesempatan lain Al-Imam As-Subki memberikan


pengakuan mengenai sang penulis, yakni:

“Beliau pakar hadits dan di waktu yang sama beliau


adalah pakar fiqih, dan akalnya cerdasnya luar biasa.”
(Thabaqatus syafi'iyyatul Kubra; 9/139)

Kenapa kita perlu menjelaskan hal ini? Jawabnya ialah


karena kita harus memastikan bahwa referensi yang kita
pelajari adalah referensi yang benar, serta ditulis oleh
ulama papan atas dunia.
Ditambah; kualitas fatwa-fatwa Ibnu Jama’ah pun diakui
oleh para ulama, di antaranya Imam An-Nawawi -
rahimahullah- pernah berkomentar positif terhadap
fatwa beliau. (Annujumuz Zahirah; 9/298)

Diantara ulama yang merekomendasikan buku ini


adalah:

1. Syeikh 'Ubaidullah Ar-Rohmani Al-Mubarakfuri:


“Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu, dia menela’ah
buku “Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim”. (Mir'atul
Mafatih; 1/201)

2. Syeikh Bakr Abu Zaid dalam Hilyatu Thoolabil ‘Ilmi;


139

Dan Semenjak dulu sampai detik ini, ulama-ulama besar


mengkaji buku ini, diantaranya adalah Syeikh Shalih Al
‘Usaimi (salah satu ulama besar pada hari ini)”_

Mengkaji ilmu agama membutuhkan kurikulum agar


mendapatkan perbaikan. Tentu saja kurikulum yang
dibutuhkan adalah kurikulum yang sudah terbukti
sukses memperbaiki aqidah, ibadah serta akhlak jutaan
manusia. Sehingga layak untuk dikedepankan. Serta
merta salah satu kurikulum tersebut adalah buku
Tadzkirotus Saami’ wal Mutakallim.
Dalam awal buku Tadzkirotus Saami’ wal Mutakallim,
pada bagian Muqaddimah Al-Imam Ibnu Jama’ah -
rahimahullah- membuka dengan sebuah kalimat;

“Bismillahirrahmaanirrahiim
Dan dengan-Nyalah aku diberi taufik untuk menulis dan
menyelesaikan buku ini.”

Inilah kultur para ulama, senantiasa ketika mereka


menulis buku, kalimat yang bermulai adalah dengan
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Kenapa demikian?

1. Mengikuti Allah Subhanahu wa Ta’ala & Metode


Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai setiap surat dalam
Al Qur’an senantiasa dengan kalimat
“bismillahirrahmaanirrahiim.” (terkecuali pada surat At-
Taubah). Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam ketika berkorespondensi
surat.

Demikiannya dapatlah hal ini menjadi teladan; betapa


luarbiasanya semangat para ulama dalam mengikuti
dan mengamalkan apa yang Allah dan Nabi
Shallallahu’alaihi wa Sallam terapkan.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan:
“Kalau anda bisa untuk tidak menggaruk kepala anda
kecuali dengan hadits, maka lakukanlah.” (Al Jaami’ li
Akhlaaqir Roowi, no. 174)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ali


Imron ayat 31:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,


ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS: Ali Imron: 31)

Ini adalah konsep dasar para ulama, berittiba’ kepada


Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam.

2. Tawakkal & Isti’anah Kepada Allah Subhanahu wa


Ta’ala
Mengawali segala sesuatu dengan kalimat
“Bismillahirrahmaanirrahiim” adalah sebagai
perwujudan tawakkal dan isti’anah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Demikiannya kultur para ulama,
mereka pun benar-benar ketergantungan dengan
pertolongan Allah Jalla Jalaluhu.

Ucapan kalimat ‘Bismillah’ adalah simbol permintaan


hamba kepada Allah. Karena terdapat dua makna dari
sebuah konsonan “bi” (??) pada kalimat
“bismillahirrahmaanirrahim,” sebagaimana yang
dijelaskan para ulama.

Makna pertama adalah isti’anah, yaitu permintaan


tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan makna
kedua adalah tabarruk, yaitu meminta keberkahan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Tafsir alfatihah lil
'Utsaimin; 4)

Jadi ketika Ibnu Jama’ah menulis


“bismillahirrahmaanirrahiim”, maka artinya:

“Aku meminta pertolongan dan keberkahan hanya kepada


ALLAH dalam penulisan buku ini dengan menyebut nama-
Nya Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Dan tak ubahnya ketika kita hendak makan dan


mengucapkan ‘bismillah,’ artinya kita meminta tolong
kepada Allah agar makan kita lancar. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang
dikeluarkan Ibnu Hibban dan Ibnu Baz menyatakan
hasan lighairihi:

“Setiap hal atau kegiatan positif yang tidak dimulai


dengan ‘bismillah’, maka terputus dari keberkahan.” (HR.
Al-Khatib dalam Al-Jami’, dari jalur Ar-Rahawai dalam Al-
Arba’in, Dihasankan Imam Nawawi & Syaikh bin Baz)

Prinsip para ulama kita adalah bertawakkal dan


meminta pertolongan, keberkahan kepada Allah. Dan
inilah atmosfir dunia ilmu. Kalau kita ingin menuntut
ilmu dan aktif di dunia kajian, prinsip inilah yang harus
dimiliki; yakni selalu bertawakkal dan meminta
pertolongan kepada Allah.

Banyak yang dapat diteladankan dari para ulama


terdahulu dalam mengedepankan sikap bergantung dan
meminta pertolongan hanya kepada ALLAH, beberapa
sikap mereka yang terwujudkan adalah sebagai berikut:

1. Dari Cara Mereka Memberikan Judul untuk Buku-


bukunya
Tidak sedikit para ulama menamai buku mereka dengan
prinsip tawakkal, salah satu contohnya ialah Ibnu Hajar
dan Ibnu Rojab yang memberi nama kitabnya “Fathul
Baari”, dari tinjauan Bahasa, Fathu bermakna
‘pembukaaan’ dan Al-Baari adalah salah satu nama
ALLAH. Sehingga makna Fathul Baari adalah: 

“saya tidak bisa mensyarah Shahih Bukhari kecuali dibuka


(diberi taufiq) oleh ALLAH”
Serupa tak sama, contoh lainnya adalah Al-Imam
Syaukani yang menulis buku yang diberi judul “Fathul
Qadiir”. Dimana Al-Qodiir merupakan juga salah satu
nama ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.

2. Dari Cara Mereka Tak Lepas dari Istikharah


Di antara mereka ada yang melakukan istikharah
sebelum mencantumkan satu buah hadits, contohnya
seperti Imam Bukhari, dimana dirinya telah
mencantumkan ribuan hadits dalam satu bukunya dan
tak membuatnya lepas dari istikharah setiap kali
mencantumkannya. Artinya, Imam Bukhari istikharah
ribuan kali banyaknya sejumlah hadits yang
dicantumkannya, dan ini hanya untuk satu buah
bukunya. Inilah sikap yang mengedepankan meminta
pandangan dan tuntunan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

3. Dari Cara Mereka Ketika Lupa, Lalu Teringat


Kekhilafan & Segera Mohon Ampun Kepada Allah
Para ulama terdahulu, mereka senantiasa mengingat
kekhilafan mereka kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala
dan langsung memohon ampun kepada ALLAH
Subhanahu wa Ta’ala ketika mengalami lupa. Salah satu
contohnya, yang terjadi pada Imam Abu Hanifah tatkala
berhadapan dengan masalah yang hendak dijawabnya
namun beliau lupa, sehingga beliau mengatakan di
hadapan murid-muridnya: 

“Ini pasti karena dosa yang saya perbuat.”

Lalu beliau beristighfar dan seringkali dalam shalatnya


dirinya meminta pertolongan kepada ALLAH Subhanahu
wa Ta’ala. (Aljawahirul Madhiyyah fi Thabaqatul
Hanafiyyah; 2/487)

Hal ini dikarenakan oleh pemahaman yang mereka


yakini dari firman ALLAH Subhanahu wa Ta’ala:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan


sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu' (QS: Al Baqarah: 45)

4. Dari Cara Mereka Menghadapi Perbedaan Pendapat


& Masalah Khilafiyyah
Contoh ketika para ulama menghadapi masalah-
masalah khilaf, maka mereka berdoa kepada Allah,
diantara doanya:

“Ihdiini limakhtulifaa fiihi minal haqqi bi idznik”

“Ya Allah, berilah petunjuk yang benar dariMu dalam


masalah yang diperselisihkan (oleh manusia).” (Syarah
Alwashiyyatul Sugra: 228)

Dari hal inilah kita dapat mengambil pembelajaran,


seyogyanya kita jangan mengandalkan otak kita,
melainkan senantiasa andalkan taufiq dari ALLAH
Subhanahu wa Ta’ala. Karena otak, kecerdasan dan
pengalaman adalah makhluk. Dan bagaimana mungkin
seseorang yang beriman malah lebih mengedepankan
makhluk dibanding Sang Khaliq?! (lihat penjelasan Imam
Az Zarnuji salah seorang ulama Hanafi dalam kitab
Ta'limul Muta'allim; 107)

Itu yang dilakukan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa


Sallam, dari sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia
berkata:

“Bila kedatangan masalah, Nabi Shallallahu alaihi wa


sallam mengerjakan shalat.” (HR. Ahmad)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya


akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-
orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina" (QS: Al Ghafir: 60)

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dapatlah kita tarik pembelajaran
bahwa ilmu adalah soal bagaimana kita ketergantungan
kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena inilah yang
membedakan orang berilmu dengan orang awam. 

Dan inilah ikon dalam dunia ilmu; orang yang benar-


benar dalam ilmunya, sedikit-sedikit meminta kepada
Allah. Itulah makna dari perbuatan orang-orang beriman
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam surat
Ali Imron ayat 191:

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri


atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka. (QS: Ali Imron: 191)
Kenapa Allah sebutkan berdiri, duduk, berbaring? Ulama
mengatakan:

“Karena secara umum, kondisi manusia kalau tidak berdiri


maka duduk dan berbaring.”

Kita ini lemah, butuh pertolongan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan kepada kita dalam


surat Ath Tholaq ayat 3:

“…Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah


niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS:
Ath Tholaq: 3)

Wallahu’alam bishawab.
=====================
InsyaAllah bersambung kembali pada kajian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai