Oleh
MULIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
UCAPAN TERIMA KASIH
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dekan
selaku Ketua Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4
2.1. Biologi Molekuler Keganasan Sel Limfoid. .................................... 4
2.2. Antigen dan Imunogenitas Tumor ................................................... 5
2.3. Multiple Myeloma ........................................................................... 7
2.4. Respon Imun terhadap Tumor ......................................................... 17
2.5. Immunotherapy ................................................................................ 19
SIMPULAN .................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 33
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Mekanisme terbentuknya TSTA dan TATA ........................................ 6
2.2 Asal mula multiple myeloma ................................................................ 8
2.3 Imunoglobulin rantai λ pada multiple myeloma .................................. 9
2.4 Bence Jones Protein ............................................................................. 10
2.5 Sel plasma normal ................................................................................ 11
2.6 A. Plasmacytoma pada soft tissue; B. Aspirasi sumsum tulang
multiple myeloma, sel-sel plasma dan plasmablas menggantikan
jaringan hematopoesis normal.............................................................. 11
2.7 Protein M pada immunoelectrophoresis............................................... 12
2.8 Lesi osteolitik pada os humerus dekstra .............................................. 14
2.9 Mekanisme tumor menghindari sistem imun ....................................... 18
2.10 Vaksin dari sel dendritik yang diberi antigen tumor ............................ 23
2.11 Vaksin dari sel dendritik yang telah ditransfeksi DNA ....................... 24
2.12 Immunotherapy dengan costimulator................................................... 25
2.13 Vaksinasi dengan sel tumor yang mengekspresikan GM-CSF ............ 26
2.14 Immunotherapy dengan Adoptive Cell Therapy .................................. 29
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T ........................................ 7
2.2 Beberapa penyakit yang berkaitan dengan monoklonal
imunoglobulin ...................................................................................... 8
2.3 Gejala klinis dan patofisiologi multiple myeloma ................................ 13
2.4 Klasifikasi multiple myeloma ............................................................... 16
2.5 Antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan tumor ......... 20
iv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
v
MM : Multiple Myeloma
NK : Natural Killer
PSA : Prostate Specific Antigen
RNA : Ribose Nucleic Acid
SD : Sel Dendritik
TAA : Tumor Associated Antigen
TATA : Tumor-Associated Transplantation Antigen
Tc : T cytotoxic
TGF-β : Transforming Growth Factor β
Th : T helper
TIL : Tumor-infiltrating lymphocytes
TNF : Tumor Necrosis Factor
TSA : Tumor Specific Antigen
TSTA : Tumor-Specific Transplantation Antigen
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sosialnya, manusia berinteraksi satu sama lain dan juga
lingkungannya.
seperti virus, jamur dan parasit. Agen tersebut dapat mangakibatkan kerusakan
patologis dan akhirnya membunuh hospes bila tidak tertangani dengan baik
Normalnya, tiap individu memiliki sistem imun untuk melawan agen infeksi.
Respon imun merupakan tanggapan sistem imun terhadap agen asing atau antigen.
Proses ini terjadi bila telah terjadi pengenalan antigen oleh sel-sel limfosit (Wahab
Bila respons imun baik, maka agen infeksi dapat dilawan dan tubuh tetap
sehat. Namun kadang terjadi penyimpangan dan gangguan sistem tersebut, seperti
adalah 1,6:1, dan usia median sekitar 65 tahun. Prevalen pada orang kulit hitam 2
kali lebih besar daripada orang kulit putih. Penyebabnya tidak diketahui,
1
walaupun faktor kromosomal dan genetik, radiasi dan kimia diperkirakan menjadi
anemia dan infeksi berulang. Penyakit ini bersifat progresif dan fatal, tapi akhir-
akhir ini usia hidup penderita meningkat sampai lebih dari 5 tahun dengan
pengobatan yang tepat. Respons terhadap terapi maupun prognosis berkaitan erat
dengan lineage dan stadium diferensiasi sel. Untuk itu, penyakit ini perlu
Diagnosis pasti ditemukan dari adanya M-protein, lytic bone lesions, light-
chain proteinuria, atau excessive marrow plasma cells (Berenson, 2008). Penyakit
mengeradikasi tumor primer, metastasis dan residu yang tertinggal setelah terapi
terhadap sel normal host merupakan hasil immunotherapy ideal yang diharapkan
Sekarang ini, penelitian mengenai peran sistem imun dalam melawan tumor
diagnosis dan mengobati kanker. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan tentang
2
peran sistem imun sebagai immunotherapy dalam mencegah pertumbuhan tumor
tumor lebih lanjut dan dalam menentukan jenis pengobatan (Kresno, 2003).
Karena itu, dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai peran
1.2 Tujuan
myeloma.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kelainan genetik dalam sel. Pertumbuhan sel diatur oleh protoonkogen (growth
Normalnya, sebagian besar onkogen dan gen supresor mengatur siklus sel
berproliferasi aktif. Proliferasi yang berlebihan ini dicegah oleh gen supresor
(Kresno, 2003a).
(Kresno, 2003a).
juga berubah. Oleh karena itu sering dianggap asing atau imunogenik oleh tubuh.
Sebenarnya sistem imun dapat mengenal dan menghancurkan sel-sel tersebut dan
4
disebut dengan immune surveillance (Kresno, 2003a; Subowo, 2009).
sistem imun sebagai antigen asing (Subowo, 2009). Proteksi sistem imun terhadap
timbulnya tumor disebut dengan imunitas tumor. Imunitas sejati terjadi hanya
Rengganis, 2009).
Antigen ini digunakan sebagai sasaran sistem imun untuk dihancurkan secara
spesifik. Menurut gambaran ekspresinya pada sel tumor dan sel normal, antigen
tersebut dapat dibagi menjadi: tumor specific antigen (TSA) dan tumor associated
antigen (TAA). Respon imun terhadap TSA dapat menghancurkan sel tumor tanpa
merusak sel yang sehat. Berikut termasuk dalam TSA: protein yang diproduksi
akibat mutasi satu atau lebih gen dan protein dalam tumor yang diinduksi virus.
Terdapat 2 jenis antigen tumor, yaitu: TSTA dan TATA. Antigen pertama
diakibatkan oleh mutasi sel tumor yang menghasilkan protein sel yang berubah.
yang diikat MHC-I dan mengiduksi CTL yang bersifat tumor spesifik
5
Sementara, TATA tidak spesifik bagi tumor dan dapat merupakan protein
yang diekspresikan pada sel normal saat fetus dan tidak menimbulkan respons
imun. Normalnya, tidak diekspresikan pada dewasa. Antigen yang tidak spesifik
Beberapa antigen yang termasuk dalam TAA, antara lain: oncofetal antigen,
6
Tabel 2.1 Antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T (Abbas, Lichtman and
Pillai, 2007b)
Sel limfoid dapat menjadi malignan pada tiap fase maturasi dan membentuk
klon yang terdiri dari sel-sel dalam stadium tertentu yang mengalami hambatan
diferensiasi lebih lanjut (maturation arrest). Jika klon berproliferasi maka akan
terbentuk kelompok sel monoklonal. Sel ini merupakan tanda keganasan yang
menunjukan fenotip sama dengan sel sejenis yang serupa (Kresno, 2000).
7
Tabel 2.2 Beberapa penyakit yang berkaitan dengan monoklonal
imunoglobulin (Henry, 2001).
Sel B matur atau sel plasma ganas seperti pada multiple myeloma mempunyai
ciri-ciri yang sama dengan sel B pada stadium diferensiasi yang sudah lanjut. Sel
plasma normal maupun sel myeloma termasuk dalam sel B stadium diferensiasi
Gambar 2.2 Asal mula multiple myeloma (Peakman and Vergani, 2006).
8
imunoglobulin dengan struktur dan sifat yang identik dalam hal susunan H dan L-
chain, spesifisitas, kecepatan migrasi serta sifat lain. Imunoglobulin ini disebut
juga sebagai M-protein atau paraprotein yang umumnya tersusun dari satu kelas
H-chain (baik rantai gama, alfa, mu, delta ataupun epsilon) dan satu jenis L-chain,
(Rose, 2002; Kresno, 2003a). Jenis M-protein tersebut adalah IgG (37% penderita
myeloma) dan IgA (27%), kadang-kadang terdapat IgD pada 1,5% kasus dan IgE
sebesar 0,1% (Baratawijaya, 2009). Baik pada penderita yang menghasilkan IgG
maupun IgA, sebanyak 40% memiliki Bence Jones proteinuria sebagai hasil
adanya monoclonal κ atau λ light chain bebas dalam urin. Hal ini merupakan
9
Gambar 2.4 Bence Jones Protein (Cruse, 1999)
akibat radiasi, infeksi virus, stimulasi antigen berulang kali, dan genetik. Gejala
klinik tergantung dari ada tidaknya organ yang menunjukkan kelainan sekunder,
misalnya kelainan faal ginjal, saraf, jantung, gangguan hemostasis dan lain-lain
(Kresno, 2000). Gejalanya dapat berupa: amiloidosis, nyeri tulang dan penekanan
saraf akibat lesi osteolitik, anemia, infeksi (akibat netropenia), perdarahan, gagal
(CBC) dengan platelets, pengecatan darah perifer, ESR, BUN, kreatinin, kalsium,
asam urat dan laktat dehidrogenase (LDH), elektroforesis protein serum dan urin,
biopsi sumsum tulang, khas terdapat sel myeloma (sel plasma abnormal), biasanya
terdapat 5-10% sel myeloma sedangkan bila jumlahnya lebih dari 15%,
kemungkinan multiple myeloma sangat besar (Kresno, 2000). Sel myeloma adalah
10
sel plasma abnormal dengan inti besar, bizarre, ukuran bervariasi dan sering ada
Gambar 2.5 Sel plasma normal (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007a)
Dari analisis yang dilakukan oleh Peinert dan kawan-kawan pada 81 sampel
sumsum tulang, menunjukkan adanya ekspresi sedang antigen LeY pada sel
plasma penderita myeloma sebanyak 52% kasus (Peinert et al, 2010). Normalnya
didapatkan: IgG (59%), IgA (23%), IgD (1%), hanya light chain (16%) dan tanpa
11
M-protein (1%). Pada multiple myeloma tipe IgA, spike sering terdapat pada
dengan 2 kriteria major atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Terdapat 3
kriteria major, yaitu: minimal ditemukan 10% sel plasma dalam sumsum tulang,
lesi osteolitik atau osteoporosis serta adanya protein-M dalam serum atau urin.
12
Selain kriteria major juga ada kriteria minor, yaitu: anemia, hiperkalsemia,
13
Gambar 2.8 Lesi osteolitik pada os humerus dekstra (Beutler, 2001).
tingkat penyakit. Durie dan Salmon membuat kriteria klasifikasi tingkat penyakit
b. Kadar Hb > 10 g/dl, kalsium serum 12 mg/dl dan IgG < 5 g/dl
atau IgA < 3 g/dl dalam serum atau rantai ringan dalam urine < 4
g/24 jam.
14
b. Kadar Hb < 8,5 g/dl, kalsium serum > 12 mg/dl, dan IgG > 7 g/dl
atau IgA > 5 g/dl atau light chain dalam urin > 12 g/24 jam.
yaitu:
stadium IA dan kadar β2-microglobulin < 0,004 g/dl (< 4 µg/ml) memiliki harapan
serum > 0,004 g/dl (> 4 µg/ml) adalah 12 bulan sedangkan stadium IIIB hanya 5
15
Tabel 2.4 Klasifikasi multiple myeloma (Braunwald, 2003)
Baratawijaya dan Rengganis, 2009). Hasil kedua terapi yang pertama tidak
16
memuaskan. Oleh karena itu sekarang dikembangkan cara ketiga, yaitu terapi
respon imun, baik humoral maupun selular. Pada imunitas humoral, sel tumor
sebagian besar dilakukan in vitro dan hanya terdapat sedikit bukti bagi sistem
imun humoral dalam melawan tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b).
respon sel T. Mekanisme utama pada sistem ini adalah penghancuran sel tumor
oleh CD8+ atau CTLs. Sel CD8+ yang berespons spesifik terhadap antigen tumor
Sementara peran sel Th CD4+ masih belum jelas. Sel ini mungkin berperan
perkembangan CTL yang efektif. Sel Th yang spesifik terhadap antigen tumor
dapat mensekresikan cytokines (TNF dan IFN-γ). Hasil sekresi tersebut kemudian
akan meningkatkan tumor cell MHC-I expression dan sensitivitas sel tumor untuk
17
dilisiskan oleh CTLs. Makrofag juga diaktifkan oleh IFN-γ untuk membunuh sel
Umumnya tumor tumbuh ketika sistem imun sedang lemah (Male et al, 2006).
Berarti pada tumor terdapat mekanisme untuk menghindarkan diri dari imunitas
spesifik dan non spesifik. Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain: sel tumor
tidak mempunyai sel B7 (CD 80) dan CD 86 yang berfungsi sebagai kostimulator,
(TGF-β) yang bersifat imunosupresif dan musin yang menyamarkan antigen serta
kehilangan ekspresi antigen yang memicu respons imun (Abbas, Lichtman and
Gambar 2.9 Mekanisme tumor menghindari sistem imun (Nairn and Helbert,
2007)
18
2.5 Immunotherapy
mensupresi respons imun (Abbas and Licthman, 2006). Terapi tersebut dapat
cara ini antara lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit
immunotherapy aktif dan imunisasi dengan antigen virus serta ACT (Baratawijaya
Salah satu mAb yang banyak digunakan dalam onkologi adalah anti-CD 20.
Proses ini terjadi melalui apoptosis atau aktivasi komplemen, ADCC atau
19
langsung ke tempat tumor. Namun anti ini juga merusak sel-sel yang normal. Bila
dilabel dengan bahan radioaktif dapat pula digunakan untuk mengetahui luas
lisis sel dan menghambat pertumbuhan sel-sel primer dan ganas melalui berbagai
cytotoxicity. Akhir-akhir ini, telah diketahui bahwa CD52 diekspresikan pada sel
MM dengan kadar yang bervariasi. Ikatan silang antara reseptor CD52 dengan
20
dipresentasikan pada sel-sel dendritik sehingga dapat menginduksi respons imun
pemilihan penderita yang memiliki respons imun cukup untuk melawan antigen.
Dapat pula dikombinasi dengan immunotherapy yang lain, seperti: G-CSF atau
CTL (CTL-Ps) dapat diaktifkan. Bila signal kostimulator tidak ada, maka CTL-Ps
tidak akan berproliferasi menjadi sel efektor CTL. Adanya gen yang menyandi
signal untuk mengaktivasi sel T (Peinert et al, 2010). Reseptor ini terdiri dari
signaling yang dibentuk oleh CD28 dan CD3-zeta (Westwood et al, 2005). Telah
diketahui adanya transduksi sel T yang berasal dari darah perifer yang
al, 2005; Peinert et al, 2010). Secara in vivo, aktivitas gene modified T cells
Akibatnya akan memperpanjang usia penderita. Karena itu, leY antigen pada sel-
21
sel kanker dapat menjadi sasaran efektif bagi sel T yang mengekspresikan reseptor
chimeric baik secara in vitro maupun in vivo pada tikus (Peinert et al, 2010).
akan dapat mencegah proses selular. Sementara bila bersama dengan radioisotop
akan membantu membunuh DNA dan melepas partikel dengan energi yang tinggi.
Cara tersebut kurang berhasil karena memerlukan dosis yang tinggi dan toksik
sitokin yang dapat digunakan sebagai tumor ialah: IFN-α, IFN-β, IFN-γ, IL-2, IL-
4, IL-6, IL-12, GM-CSF dan TNF. Walaupun demikian, terapi dengan cara ini
jarang dilakukan karena sangat sulit untuk mengetahui letak intervensinya dengan
dendritik tikus yang dibiakkan dengan GM-CSF dan fragmen tumor dapat
mengaktifkan sel Th dan CTL spesifik untuk antigen tumor. Beberapa ajuvan
merupakan salah satu tipe antigen presenting cell, yang diambil dari penderita.
Sel-sel tersebut ditambahkan antigen atau ditransfeksikan dengan viral vector. Sel
22
yang telah aktif (memiliki respons anti tumor spesifik) kemudian dikembalikan ke
tubuh pasien. Dalam tubuh penderita, sel ini akan mempresentasikan antigen pada
effector lymphocytes (CD4+ T cells, CD8+ T cells, dan sel-sel dendritik yang
khusus serta sel B). Hal ini akan menginisiasi repons cytotoxic melawan antigen
dan apa pun yang mempresentasikan antigen ini sehingga dapat digunakan dalam
merupakan target sistem imun (Overes, 2009). Vaksin sel dendritik ini telah
(Gasparetto, 2004)
Gambar 2.10 Vaksin dari sel dendritik yang diberi antigen tumor (Abbas,
CTL dengan lebih baik karena memfagositosis antigen lebih efektif. Sel dendritik
ditransfeksi dengan RNA tumor dapat menginduksi ekspansi sel T tumor spesifik.
Cara lain adalah dengan menggunakan monosit CD4+ yang menghasilkan SD atas
23
Telah dikembangkan teknologi yang melibatkan transfeksi DC dengan tumor
yang berasal dari RNA. Transfeksi ini mampu menimbulkan aktivitas anti tumor
yang sesuai. Telah ditemukan bahwa DC yang aktif dapat menimbulkan CTLS in
mengandung sel T CD4+ dan CD8+ (Wen, 2002). Cytotoxicity terhadap sel target
adalah MHC 1 dan sedikit MHC 2 serta tergantung terutama pada perforin-
mediated pathway. CTLs terutama mensekresi IF-γ dan TNF α pada stimulasi
tumor cell lysate-primed CTLs hanya membunuh sel myeloma, bukan autologous
(Wen, 2002).
Gambar 2.11 Vaksin dari sel dendritik yang telah ditransfeksi DNA (Abbas,
Lichtman and Pillai, 2007b)
24
Antigen tumor yang dipresentasikan pada sel T tanpa dibantu oleh molekul
NK akan diaktifkan langsung oleh IL-2, namun IL-2 mempunyai efek samping
yang berat, misalnya: kebocoran kapiler, edem dan hipotensi. Selain itu, dapat
Terapi juga dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi antigen virus. Hal
tersebut didasarkan karena beberapa jenis tumor disebabkan pula oleh virus
onkogenik. Vaksinasi sudah dapat dilakukan pada Burkitt lymphoma dan kanker
cervix. Vaksinasi tersebut bertujuan untuk memacu sel Tc efektor sehingga dapat
25
Gambar 2.13 Vaksinasi dengan sel tumor yang mengekspresikan GM-CSF
(Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)
respons Id-specific humoral dan sel T pada beberapa penderita bahkan setelah
Protein Id yang disekresi sel plasma myeloma, spesifik untuk tumor tapi
Berbagai TAA yang telah diidentifikasi dalam sel myeloma dapat menjadi
target yang selektif bagi sistem imun (Houet and Veelken, 2006; Rosenblatt and
Avigan, 2008). Keuntungan cara ini adalah dapat mempresentasikan antigen yang
spesifik dan potensial terhadap sel efektor. Disfungsi sel efektor dan peningkatan
26
Imunisasi stem cell donor dengan antigen myeloma dapat meningkatkan efek
dan hasil allogeneic stem cell transplantation. Immunotherapy aktif sedang diteliti
terhadap clonal immunoglobulin myeloma memicu sistem imun pada tikus (Houet
anti inflamasi, dan anti proliferasi. Berdasarkan data in vitro, terlihat bahwa efek
anti proliferasi dan downregulation cytokine adalah anti MM yang paling penting.
sel T dan NK itu sangat unik dan penting dalam menciptakan aktivitas imun anti
dikenal sebagai C-4047), memiliki efek anti tumor yang sinergistik dengan
rituximab pada human lymphoma yang berat dengan imunodefisiensi. Pada tikus
NK pada lokasi tumor. Peningkatan ini dimediasi melalui stimulasi sel dendritik
27
monocyte chemotactic protein-1, TNF-α dan IF-γ serta mungkin memperbanyak
tumor melambat pada hewan coba dengan MM. Pada beberapa penelitian, respons
cytotoxic untuk melawan kanker. Sel T yang telah memiliki reaktivitas alami pada
sel kanker dibuat lebih efektif secara in vitro dan kemudian ditransfer ke dalam
tubuh penderita. Misalnya, sel T yang secara alami memiliki reaktivitas pada
(TIL) dapat dibuat lebih efektif secara invitro menggunakan konsentrasi IL-2 yang
tinggi, anti-CD3 dan allo-reactive feeders. Sel tersebut dapat ditransfer kembali
Kurang lebih 6-12 bulan sejak sel-sel ditransfers in vivo dan menetap dalam
darah perifer penderita, kadang-kadang mencapai kadar 75% dari semua sel T
28
Gambar 2.14 Immunotherapy dengan Adoptive Cell Therapy (Abbas, Lichtman
and Pillai, 2007b)
29
SIMPULAN
sistem imun sehingga dapat dihancurkan secara spesifik. Antigen tumor dapat
dibagi menjadi: tumor specific antigen (TSA) dan tumor associated antigen
(TAA).
Kondisi ini diduga akibat radiasi, infeksi virus, stimulasi antigen berulang
kali, dan genetik. Gejala klinik tergantung dari ada tidaknya organ yang
lengkap (CBC) dengan platelets, pengecatan darah perifer, ESR, BUN, kreatinin,
kalsium, asam urat dan laktat dehidrogenase (LDH), elektroforesis protein serum
sedang antigen LeY pada sel plasma penderita myeloma sebanyak 52% kasus.
30
Prognosis penyakit ini sangat ditentukan oleh tingkat penyakit dan kadar β2-
selular. Pada respon pertama, sel tumor dapat dihancurkan secara langsung,
dengan bantuan komplemen maupun melalui sel efektor ADCC. Sedangkan pada
lebih banyak dibuat berdasarkan respon sel T. Mekanisme utama sistem ini adalah
karena adanya mekanisme tumor untuk menghindarkan diri dari sistem imun.
lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit menyebabkan resistensi
pada bakteri
31
Pada MM, yang menjadi pilihan terapi antara lain: alemtuzumab (CamPath-
1H), reseptor sel chimeric T yang akan mengenali antigen LeY dan mengaktivasi
sel T, interferon, vaksin dengan sel dendritik baik matur maupun imatur,
multiple myeloma.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Nairn, R., Helbert, M. 2007. Immunology for Medical Students. 2nd. Ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier. p. 279-87.
Henry, JB. 2001. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods.
12th. Ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. p. 887-91.
Houet, L., Veelken, H. 2006. Active immunotherapy of multiple myeloma. Eur J
Cancer, Jul;42(11):1653-60.
Khattar, M., Chen, W., Stepkowski, SM. 2009. Expanding and converting
regulatory T cells: a horizon for immunotherapy. Archivum Immunologiae et
Therapiae Experimentalis, 57(3):199.
Kresno, SB. 2002. Keganasan Sistem Imun. In: Kresno, SB. Imunologi: Diagnosis
dan Prosedur Laboratorium. 3th. Ed. Jakarta: FKUI. p. 141-54.
Kresno, SB. 2003a. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th. Ed.
Jakarta: FKUI. p. 208-65.
Kresno, SB. 2003b. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th. Ed.
Jakarta: FKUI. p. 407-11
Male, D., et al. 2006. Immunology. 7th. Ed. Canada: Elsevier. p. 401-19.
Masihi, KN. 2001. Fighting infection using immunomodulatory agents. Expert
Opinion on Biological Therapy, July;1(4): 641-653.
Motohashi, S., Nakayama, T. 2009. Natural killer T cell-mediated immunotherapy
for malignant diseases. Frontiers in Bioscience,1:108–116.
Nagura, E. 2007. Prognositic Factor in Multiple Myeloma. Nippon Rinsho,
Dec;65(12):2351-6.
Overes, IM. 2009. Efficient Activation of LRH-1-specific CD8+ T-cell Responses
From Transplanted Leukemia Patients by Stimulation With P2X5 mRNA-
electroporated Dendritic Cells. Journal of Immunotherapy, 32(6):539.
Peakman, M., Vergani, D. 2006. Basic Clinical Immunology. 6th. Ed.
Philadelphia: Churchill Livingston. p. 294-7.
Peinert, S., et al. 2010. Gene-modified T cell as immunotherapy for multiple
myeloma and acute myeloid leukemia expressing the Lewis Y antigen. Gene
Therapy, March.
34
Quach, H., et al. 2010. Mechanism of action of immunomodulatory drugs
(IMiDS)in multiple myeloma. Leukemia, Jan;24(1):22-32.
Reddy, N., et al. 2008. Immunomodulatory drugs stimulate natural killer-cell
function, alter cytokine production by dendritic cells, and inhibit
angiogenesis enhancing the anti-tumour activity of rituximab in vivo. Br J
Haematol, Jan;140(1):36-45.
Rose, NR., et al. 2002. Manual of Clinical Laboratory Immunology. 6th. Ed.
Washington: ASM Press. p. 66-94.
Rosenblatt, J., Avigan, D. 2008. Cellular Immunotherapy for Multiple Myeloma.
Best Pract Res Clin Haematol, Sep;21(3):559-77.
Subowo. 2009. Imunobiologi. 2nd. Ed. Jakarta: Sagung Seto. p. 272-85.
Wahab, AS., Julia, M. 2002. Sistem Imun. In: Wahab, AS., Julia, M. Sistem Imun,
Imunisasi, & Penyakit Imun. 1st. Ed. Jakarta: Penerbit Widya Medika. p. 1-
37.
Wen, YJ., et al. 2002. Tumor lysate-specific cytotoxic T lymphocytes in multiple
myeloma: promising effector cells for immunotherapy. Blood,
May;99(9):3280-5.
Westwood, JA., et al. 2005. Adoptive transfer of T cell modified with a
humanized chimeric receptor gene inhibits growth of Lewis-Y-expressing
tumors in mice. Proc Natl Acad Sci U S A, Dec;102(52):19051-6.
Yi, Q., et al. 2002. Optimizing Dendritic Cell-Based Immunotherapy in Multiple
Myeloma. British Journal of Haematology, 117: 297-305
35