Anda di halaman 1dari 42

IMMUNOTHERAPY PADA MULTIPLE MYELOMA

Oleh
MULIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara

nugraha-Nya/karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. I G. A. Widianti, M. Biomed.,

selaku Ketua Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah

memberikan kesempatan untuk membuat tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga

sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.

Denpasar, Desember 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4
2.1. Biologi Molekuler Keganasan Sel Limfoid. .................................... 4
2.2. Antigen dan Imunogenitas Tumor ................................................... 5
2.3. Multiple Myeloma ........................................................................... 7
2.4. Respon Imun terhadap Tumor ......................................................... 17
2.5. Immunotherapy ................................................................................ 19
SIMPULAN .................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 33

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1 Mekanisme terbentuknya TSTA dan TATA ........................................ 6
2.2 Asal mula multiple myeloma ................................................................ 8
2.3 Imunoglobulin rantai λ pada multiple myeloma .................................. 9
2.4 Bence Jones Protein ............................................................................. 10
2.5 Sel plasma normal ................................................................................ 11
2.6 A. Plasmacytoma pada soft tissue; B. Aspirasi sumsum tulang
multiple myeloma, sel-sel plasma dan plasmablas menggantikan
jaringan hematopoesis normal.............................................................. 11
2.7 Protein M pada immunoelectrophoresis............................................... 12
2.8 Lesi osteolitik pada os humerus dekstra .............................................. 14
2.9 Mekanisme tumor menghindari sistem imun ....................................... 18
2.10 Vaksin dari sel dendritik yang diberi antigen tumor ............................ 23
2.11 Vaksin dari sel dendritik yang telah ditransfeksi DNA ....................... 24
2.12 Immunotherapy dengan costimulator................................................... 25
2.13 Vaksinasi dengan sel tumor yang mengekspresikan GM-CSF ............ 26
2.14 Immunotherapy dengan Adoptive Cell Therapy .................................. 29

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
2.1 Antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T ........................................ 7
2.2 Beberapa penyakit yang berkaitan dengan monoklonal
imunoglobulin ...................................................................................... 8
2.3 Gejala klinis dan patofisiologi multiple myeloma ................................ 13
2.4 Klasifikasi multiple myeloma ............................................................... 16
2.5 Antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan tumor ......... 20

iv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ACT : Adoptive Cell Therapy


ADCC : Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotoxicity
AFP : Alpha Feto Protein
APC : Antigen Presenting Cell
CD : Cluster of Differentiation
CD4+ : Cluster of Differentiation 4+
CD8+ : Cluster of Differentiation 8+
CpG : Synthetic Cytosine Phosphate-Guanosine
CTL : Cytotoxic T lymphocyte
CTL-Ps : Cytotoxic T Lymphocyte Precursors
DC : Dendritic Cell
DNA : Deoxyribonucleic Acid
Fc : Fragment crystallizable
G-CSF : Granolocyte Colony Stimulating Factor
G-CSF : Granulocyte-Colony Stimulating Factor
GM-CSF : Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor
Id : Idiotypic portion
IFN : Interferon
IFN-α : Interferon alpha
IFN-β : Interferon beta
IFN-γ : Interferron gamma
IL-12 : Interleukin-12
IL-2 : Interleukin-2
IL-4 : Interleukin-4
IMiDS : Immunomodulatory Drugs
KLH : Keyhole Limpet Haemocyanin
LeY : Lewis Y antigen
mAb : Antibodi monoklonal
MHC : Major Histocompatibility Complex
MM RNA : Multiple Myeloma Ribose Nucleic Acid

v
MM : Multiple Myeloma
NK : Natural Killer
PSA : Prostate Specific Antigen
RNA : Ribose Nucleic Acid
SD : Sel Dendritik
TAA : Tumor Associated Antigen
TATA : Tumor-Associated Transplantation Antigen
Tc : T cytotoxic
TGF-β : Transforming Growth Factor β
Th : T helper
TIL : Tumor-infiltrating lymphocytes
TNF : Tumor Necrosis Factor
TSA : Tumor Specific Antigen
TSTA : Tumor-Specific Transplantation Antigen

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk hidup, tidak dapat hidup sendiri. Melainkan

memerlukan mahluk lain dalam hidupnya sehingga dikatakan mahluk sosial.

Dalam kehidupan sosialnya, manusia berinteraksi satu sama lain dan juga

lingkungannya.

Sayangnya, lingkungan banyak mengandung bermacam-macam agen infeksi

seperti virus, jamur dan parasit. Agen tersebut dapat mangakibatkan kerusakan

patologis dan akhirnya membunuh hospes bila tidak tertangani dengan baik

Wahab dan Julia, 2002).

Normalnya, tiap individu memiliki sistem imun untuk melawan agen infeksi.

Respon imun merupakan tanggapan sistem imun terhadap agen asing atau antigen.

Proses ini terjadi bila telah terjadi pengenalan antigen oleh sel-sel limfosit (Wahab

dan Julia, 2002).

Bila respons imun baik, maka agen infeksi dapat dilawan dan tubuh tetap

sehat. Namun kadang terjadi penyimpangan dan gangguan sistem tersebut, seperti

misalnya pada penyakit-penyakit alergi, autoimun dan kanker.

Demikian pula pada multiple myeloma, terjadi proliferasi abnormal sel

plasma ganas. Kanker tersebut menghasilkan monoclonal immunoglobulin dan

menginvasi dan menghancurkan jaringan tulang sekitar (Berenson, 2008).

Insiden multiple myeloma adalah 2 to 4/100,000. Ratio laki : perempuan

adalah 1,6:1, dan usia median sekitar 65 tahun. Prevalen pada orang kulit hitam 2

kali lebih besar daripada orang kulit putih. Penyebabnya tidak diketahui,

1
walaupun faktor kromosomal dan genetik, radiasi dan kimia diperkirakan menjadi

penyebabnya (Berenson, 2008).

Manifestasinya meliputi: nyeri tulang, insufisiensi ginjal, hiperkalsemia,

anemia dan infeksi berulang. Penyakit ini bersifat progresif dan fatal, tapi akhir-

akhir ini usia hidup penderita meningkat sampai lebih dari 5 tahun dengan

pengobatan yang tepat. Respons terhadap terapi maupun prognosis berkaitan erat

dengan lineage dan stadium diferensiasi sel. Untuk itu, penyakit ini perlu

didiagnosis dengan pasti (Kresno, 2003).

Diagnosis pasti ditemukan dari adanya M-protein, lytic bone lesions, light-

chain proteinuria, atau excessive marrow plasma cells (Berenson, 2008). Penyakit

ini dapat diobati dengan pemberian terapi spesifik, suportif maupun

immunotherapy. Namun kedua cara yang pertama seringkali mengalami

kegagalan sehingga sekarang dikembangkan immunotherapy. Cara tersebut

menggunakan cara-cara imunologis dalam mengontrol tumor sehingga dapat

mengeradikasi tumor primer, metastasis dan residu yang tertinggal setelah terapi

spesifik (konvensional). Eradikasi spesifik tumor dengan kerusakan minimal

terhadap sel normal host merupakan hasil immunotherapy ideal yang diharapkan

terjadi (Kresno, 2003).

Sekarang ini, penelitian mengenai peran sistem imun dalam melawan tumor

ganas mencakup: pengetahuan tentang respons imun spesifik terhadap tumor,

antigen permukaan tumor yang menginduksi respons imun, mekanisme efektor

melawan tumor dan pendekatan imunologik untuk mendeteksi serta menentukan

diagnosis dan mengobati kanker. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan tentang

2
peran sistem imun sebagai immunotherapy dalam mencegah pertumbuhan tumor

spontan, meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi

terhadap sisa sel ganas dan kekambuhan tumor, menghambat perkembangan

tumor lebih lanjut dan dalam menentukan jenis pengobatan (Kresno, 2003).

Karena itu, dalam tulisan ini penulis akan membahas mengenai peran

immunotherapy dalam mengobati multiple myeloma.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui lebih banyak tentang multiple myeloma.

2. Untuk mengetahui peran immunotherapy dalam pengobatan multiple

myeloma.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Molekuler Keganasan Sel Limfoid

Keganasan, termasuk keganasan sel limfoid terjadi karena akumulasi

kelainan genetik dalam sel. Pertumbuhan sel diatur oleh protoonkogen (growth

promoting oncogenes) dan tumor suppressor gene. Kedua gen tersebut

memproduksi protein yang akan meningkatkan dan menekan pertumbuhan sel

sesuai kebutuhan (Kresno, 2003a).

Normalnya, sebagian besar onkogen dan gen supresor mengatur siklus sel

secara langsung. Aktivasi onkogen berlebihan terjadi melalui perubahan struktur

gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi faktor-faktor

yang mengontrol ekspresi gen yang bersangkutan. Akibatnya, sel-sel akan

berproliferasi aktif. Proliferasi yang berlebihan ini dicegah oleh gen supresor

(Kresno, 2003a).

Bila gen supresor mengalami mutasi, maka akan mengakibatkan supresi

pertumbuhan sel menghilang. Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan

hilangnya kontrol pertumbuhan sehingga sel bertransformasi menjadi ganas

(Kresno, 2003a).

Sel kanker akan menunjukkan perubahan ekspresi berbagai molekul

permukaan, gangguan transkripsi dan translasi sehingga protein yang dihasilkan

juga berubah. Oleh karena itu sering dianggap asing atau imunogenik oleh tubuh.

Sebenarnya sistem imun dapat mengenal dan menghancurkan sel-sel tersebut dan

4
disebut dengan immune surveillance (Kresno, 2003a; Subowo, 2009).

Pertumbuhan, proteksi maupun penolakan tumor dipengaruhi oleh komponen dan

mekanisme efektor sistem imun serta imunogenitas tumor (Kresno, 2003a).

2.2 Antigen dan Imunogenitas Tumor

Kanker mengekspresikan berbagai jenis molekul yang kemudian dikenali oleh

sistem imun sebagai antigen asing (Subowo, 2009). Proteksi sistem imun terhadap

timbulnya tumor disebut dengan imunitas tumor. Imunitas sejati terjadi hanya

pada tumor yang mengekspresikan antigen imunogenik (Baratawijaya dan

Rengganis, 2009).

Antigen ini digunakan sebagai sasaran sistem imun untuk dihancurkan secara

spesifik. Menurut gambaran ekspresinya pada sel tumor dan sel normal, antigen

tersebut dapat dibagi menjadi: tumor specific antigen (TSA) dan tumor associated

antigen (TAA). Respon imun terhadap TSA dapat menghancurkan sel tumor tanpa

merusak sel yang sehat. Berikut termasuk dalam TSA: protein yang diproduksi

akibat mutasi satu atau lebih gen dan protein dalam tumor yang diinduksi virus.

Namun, keuntungan TSA belum jelas (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Terdapat 2 jenis antigen tumor, yaitu: TSTA dan TATA. Antigen pertama

diakibatkan oleh mutasi sel tumor yang menghasilkan protein sel yang berubah.

Pembentukan protein tersebut terjadi di dalam sitosol dan menghasilkan peptida

yang diikat MHC-I dan mengiduksi CTL yang bersifat tumor spesifik

(Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

5
Sementara, TATA tidak spesifik bagi tumor dan dapat merupakan protein

yang diekspresikan pada sel normal saat fetus dan tidak menimbulkan respons

imun. Normalnya, tidak diekspresikan pada dewasa. Antigen yang tidak spesifik

tumor, disebut juga dengan TAA (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Gambar 2.1 Mekanisme terbentuknya TSTA dan TATA (Baratawijaya dan


Rengganis, 2009)

Beberapa antigen yang termasuk dalam TAA, antara lain: oncofetal antigen,

tissue-specific differentiation antigen (melanoma differentiation antigen gp 100,

PSA, carcinoembryonic antigen, AFP) (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

6
Tabel 2.1 Antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T (Abbas, Lichtman and
Pillai, 2007b)

2.3 Multiple myeloma

Multiple myeloma merupakan proliferasi abnormal sel plasma ganas. Kanker

ini menghasilkan monoclonal immunoglobulin yang menginvasi dan

menghancurkan jaringan tulang sekitar (Berenson, 2008).

Sel limfoid dapat menjadi malignan pada tiap fase maturasi dan membentuk

klon yang terdiri dari sel-sel dalam stadium tertentu yang mengalami hambatan

diferensiasi lebih lanjut (maturation arrest). Jika klon berproliferasi maka akan

terbentuk kelompok sel monoklonal. Sel ini merupakan tanda keganasan yang

menunjukan fenotip sama dengan sel sejenis yang serupa (Kresno, 2000).

7
Tabel 2.2 Beberapa penyakit yang berkaitan dengan monoklonal
imunoglobulin (Henry, 2001).

Sel B matur atau sel plasma ganas seperti pada multiple myeloma mempunyai

ciri-ciri yang sama dengan sel B pada stadium diferensiasi yang sudah lanjut. Sel

plasma normal maupun sel myeloma termasuk dalam sel B stadium diferensiasi

terminal (Kresno, 2000).

Gambar 2.2 Asal mula multiple myeloma (Peakman and Vergani, 2006).

Proliferasi sel B secara monoklonal akan menghasilkan sel dengan pola

rearrangement gen yang sama. Selanjutnya sel tersebut memproduksi

8
imunoglobulin dengan struktur dan sifat yang identik dalam hal susunan H dan L-

chain, spesifisitas, kecepatan migrasi serta sifat lain. Imunoglobulin ini disebut

juga sebagai M-protein atau paraprotein yang umumnya tersusun dari satu kelas

H-chain (baik rantai gama, alfa, mu, delta ataupun epsilon) dan satu jenis L-chain,

yaitu kappa dan lambda. Akibatnya terbentuk imunoglobulin yang homogen

(Rose, 2002; Kresno, 2003a). Jenis M-protein tersebut adalah IgG (37% penderita

myeloma) dan IgA (27%), kadang-kadang terdapat IgD pada 1,5% kasus dan IgE

sebesar 0,1% (Baratawijaya, 2009). Baik pada penderita yang menghasilkan IgG

maupun IgA, sebanyak 40% memiliki Bence Jones proteinuria sebagai hasil

sekresi sel plasma pada 15 – 20% penderita. Proteinuri tersebut menunjukan

adanya monoclonal κ atau λ light chain bebas dalam urin. Hal ini merupakan

diagnosis pasti multiple myeloma (Berenson, 2008).

Gambar 2.3 Imunoglobulin rantai λ pada multiple myeloma (Cruse, 1999)

9
Gambar 2.4 Bence Jones Protein (Cruse, 1999)

Penyebab terjadinya multiple myeloma belum diketahui dengan pasti, diduga

akibat radiasi, infeksi virus, stimulasi antigen berulang kali, dan genetik. Gejala

klinik tergantung dari ada tidaknya organ yang menunjukkan kelainan sekunder,

misalnya kelainan faal ginjal, saraf, jantung, gangguan hemostasis dan lain-lain

(Kresno, 2000). Gejalanya dapat berupa: amiloidosis, nyeri tulang dan penekanan

saraf akibat lesi osteolitik, anemia, infeksi (akibat netropenia), perdarahan, gagal

ginjal, sindrom hiperviskositas, parestesia atau paraplegia. Kadang pada penderita

tidak tampak adanya gejala (Bakta, 2007).

Diagnosis dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan: darah lengkap

(CBC) dengan platelets, pengecatan darah perifer, ESR, BUN, kreatinin, kalsium,

asam urat dan laktat dehidrogenase (LDH), elektroforesis protein serum dan urin,

x-rays (skeletal survey), pemeriksaan sumsum tulang (Handojo, 2003). Pada

biopsi sumsum tulang, khas terdapat sel myeloma (sel plasma abnormal), biasanya

terdapat 5-10% sel myeloma sedangkan bila jumlahnya lebih dari 15%,

kemungkinan multiple myeloma sangat besar (Kresno, 2000). Sel myeloma adalah

10
sel plasma abnormal dengan inti besar, bizarre, ukuran bervariasi dan sering ada

bentukan multinukleus (Bakta, 2007).

Gambar 2.5 Sel plasma normal (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007a)

Gambar 2.6 A. Plasmacytoma pada soft tissue; B. Aspirasi sumsum tulang


multiple myeloma, sel-sel plasma dan plasmablas menggantikan jaringan
hematopoesis normal (Bernadette and Rodak, 2002)

Dari analisis yang dilakukan oleh Peinert dan kawan-kawan pada 81 sampel

sumsum tulang, menunjukkan adanya ekspresi sedang antigen LeY pada sel

plasma penderita myeloma sebanyak 52% kasus (Peinert et al, 2010). Normalnya

sel T tidak dapat mengenali antigen ini (Westwood et al, 2005).

Pada elektroforesis protein didapatkan paraprotein (M-protein) yang

membentuk spike pada daerah gamma. Melalui immunoelektrophoresis

didapatkan: IgG (59%), IgA (23%), IgD (1%), hanya light chain (16%) dan tanpa

11
M-protein (1%). Pada multiple myeloma tipe IgA, spike sering terdapat pada

daerah globulin beta (Bakta, 2007).

Gambar 2.7 Protein M pada immunoelectrophoresis (Kresno, 2003b)

Berdasarkan pemeriksaan di atas, diagnosis penyakit ini juga ditegakkan

dengan 2 kriteria major atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Terdapat 3

kriteria major, yaitu: minimal ditemukan 10% sel plasma dalam sumsum tulang,

lesi osteolitik atau osteoporosis serta adanya protein-M dalam serum atau urin.

Walaupun tidak terdapat osteolitik, diagnosis dapat pula ditegakkan bila

peningkatan persentase sel plasma diikuti peningkatan progresif protein-M atau

terjadi plasmositoma ekstramedular (Kresno, 2000).

12
Selain kriteria major juga ada kriteria minor, yaitu: anemia, hiperkalsemia,

oostegangguan fungsi ginjal yang dinyatakan dengan peningkatan kadar kreatinin

dan karnofsky performance 70%. Terkadang tidak dijumpai adanya protein-M.

Keadaan ini termasuk kasus nonsekretorik karena itu diperlukan penentuan

monoklonalitas sel plasma dengan mengidentifikasi sIg, khususnya rantai-L

monoklonal (Kresno, 2000).

Tabel 2.3 Gejala klinis dan patofisiologi multiple myeloma (Braunwald,


2003)

13
Gambar 2.8 Lesi osteolitik pada os humerus dekstra (Beutler, 2001).

Prognosis penyakit ini sangat bervariasi, sebagian besar ditentukan oleh

tingkat penyakit. Durie dan Salmon membuat kriteria klasifikasi tingkat penyakit

sebagai berikut (Bakta, 2007):

1 Stadium I, bila memenuhi seluruh kriteria berikut:

a. Foto rongent normal atau osteolitik soliter.

b. Kadar Hb > 10 g/dl, kalsium serum 12 mg/dl dan IgG < 5 g/dl

atau IgA < 3 g/dl dalam serum atau rantai ringan dalam urine < 4

g/24 jam.

2 Stadium II, bila tidak memenuhi kriteria stadium I atau III.

3 Stadium III, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut:

a. Ditemukan lesi osteolitik luas dengan foto rontgen.

14
b. Kadar Hb < 8,5 g/dl, kalsium serum > 12 mg/dl, dan IgG > 7 g/dl

atau IgA > 5 g/dl atau light chain dalam urin > 12 g/24 jam.

Klasifikasi tadi memiliki subklasifikasi berdasarkan kadar serum kreatinin,

yaitu:

A: bila serum kreatinin < 2 mg/dl

B: bila serum kreatinin > 2 mg/dl

Selain berdasarkan klasifikasi di atas, prognosis ditentukan pula oleh kadar

β2-microglobulin serum (Braunwald, 2003; Nagura, 2007). Penderita dengan

stadium IA dan kadar β2-microglobulin < 0,004 g/dl (< 4 µg/ml) memiliki harapan

hidup 43 bulan. Harapan hidup pada stadium II dengan kadar β2-microglobulin

serum > 0,004 g/dl (> 4 µg/ml) adalah 12 bulan sedangkan stadium IIIB hanya 5

bulan (Braunwald, 2003; Bakta, 2007).

15
Tabel 2.4 Klasifikasi multiple myeloma (Braunwald, 2003)

Pengobatan untuk penyakit tersebut, yaitu dengan: terapi spesifik, suportif

dan dengan imunomodulator atau immunotherapy (seperti interferon). Terapi

spesifik bertujuan untuk membunuh sel myeloma, yaitu dengan regimen

melphalan dan prednison, VAD untuk penderita yang akan melakukan

transplantasi sumsum tulang. Pengobatan suportif ditujukan untuk mengatasi

gejala atau komplikasi yang timbul. Penderita stadium I tidak memerlukan

pengobatan karena kemoterapi akan memperpendek masa hidup (Bakta, 2007;

Baratawijaya dan Rengganis, 2009). Hasil kedua terapi yang pertama tidak

16
memuaskan. Oleh karena itu sekarang dikembangkan cara ketiga, yaitu terapi

dengan mempergunakan sistem imun.

2.4 Respon Imun terhadap Tumor

Seperti yang telah disebutkan di atas, antigen tumor dapat menimbulkan

respon imun, baik humoral maupun selular. Pada imunitas humoral, sel tumor

dapat dihancurkan secara langsung, dengan bantuan komplemen maupun melalui

sel efektor ADCC. Cara yang terakhir dilakukan dengan menggunakan Fc

receptor-bearing macrophage atau sel NK sebagai mediator dalam

menghancurkan tumor. Kemampuan antibodi untuk mengeliminasi sel tumor

sebagian besar dilakukan in vitro dan hanya terdapat sedikit bukti bagi sistem

imun humoral dalam melawan tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b).

Sedangkan pada imunitas seluler, sel T memegang peranan penting dalam

melindungi sel. Sekarang ini, immunotherapy lebih banyak dibuat berdasarkan

respon sel T. Mekanisme utama pada sistem ini adalah penghancuran sel tumor

oleh CD8+ atau CTLs. Sel CD8+ yang berespons spesifik terhadap antigen tumor

memerlukan cross-presentation antigen tumor oleh APC, seperti sel dendritik.

Sementara peran sel Th CD4+ masih belum jelas. Sel ini mungkin berperan

sebagai anti-tumor immune repons dengan menyediakan cytokines bagi

perkembangan CTL yang efektif. Sel Th yang spesifik terhadap antigen tumor

dapat mensekresikan cytokines (TNF dan IFN-γ). Hasil sekresi tersebut kemudian

akan meningkatkan tumor cell MHC-I expression dan sensitivitas sel tumor untuk

17
dilisiskan oleh CTLs. Makrofag juga diaktifkan oleh IFN-γ untuk membunuh sel

tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b).

Umumnya tumor tumbuh ketika sistem imun sedang lemah (Male et al, 2006).

Berarti pada tumor terdapat mekanisme untuk menghindarkan diri dari imunitas

spesifik dan non spesifik. Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain: sel tumor

tidak mempunyai sel B7 (CD 80) dan CD 86 yang berfungsi sebagai kostimulator,

tidak mengekspresikan MHC-I, memacu apoptosis sel Tc, menghasilkan sitokin

(TGF-β) yang bersifat imunosupresif dan musin yang menyamarkan antigen serta

kehilangan ekspresi antigen yang memicu respons imun (Abbas, Lichtman and

Pillai, 2007b; Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Gambar 2.9 Mekanisme tumor menghindari sistem imun (Nairn and Helbert,
2007)

18
2.5 Immunotherapy

Immunotherapy adalah pengobatan dengan menginduksi, mempertinggi atau

mensupresi respons imun (Abbas and Licthman, 2006). Terapi tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi active dan suppressive immunotherapies. Klasifikasi

pertama bertujuan mendatangkan atau memperkuat respon imun. Sedangkan yang

kedua bertujuan mereduksi, mensupresi secara langsung terhadap respons imun,

seperti misalnya pada kasus autoimun atau alergi (Masihi, 2001).

Zat aktif immunotherapy disebut dengan immunomodulators. Beberapa agen

yang termasuk dalam immunomodulators adalah cytokines, granulocyte colony-

stimulating factor (G-CSF), interferons, imiquimod, fraksi membran selular dari

mikroorganisme bakterial, IL-12, bermacam-macam chemokine, synthetic cytosine

phosphate-guanosine (CpG), oligodeoxynucleotides dan glucans. Keuntungan

cara ini antara lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit

menyebabkan resistensi pada bakteri (Masihi, 2001).

Berikut termasuk dalam Immunotherapy, yaitu: antibodi monoklonal,

manipulasi signal kostimulator untuk meningkatkan imunitas, imunotoksin,

sitokin, peningkatan aktivitas APC, vaksinasi dengan sel dendritik,

immunotherapy aktif dan imunisasi dengan antigen virus serta ACT (Baratawijaya

dan Rengganis, 2009).

Penggunaan antibodi monoklonal (mAb) termasuk pasif immunotherapy.

Salah satu mAb yang banyak digunakan dalam onkologi adalah anti-CD 20.

Proses ini terjadi melalui apoptosis atau aktivasi komplemen, ADCC atau

fagositosis. Anti-CD20 ini juga telah dikonjugasikan dengan bahan radioaktif

19
langsung ke tempat tumor. Namun anti ini juga merusak sel-sel yang normal. Bila

dilabel dengan bahan radioaktif dapat pula digunakan untuk mengetahui luas

metastasis limfoma dalam tubuh (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Tabel 2.5 Antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan tumor


(Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Hanya sedikit sel-sel myeloma yang mengekspresikan CD20 (rituximab).

Sedangkan terapi antibodi lain yang potensial terhadap MM adalah alemtuzumab

(CamPath-1H). Antibodi tersebut melawan protein permukaan sel CD52 yang

umumnya diekspresikan pada limfosit T dan B. Alemtuzumab mengakibatkan

lisis sel dan menghambat pertumbuhan sel-sel primer dan ganas melalui berbagai

mekanisme termasuk fiksasi complement dan antibody dependent cell mediated

cytotoxicity. Akhir-akhir ini, telah diketahui bahwa CD52 diekspresikan pada sel

MM dengan kadar yang bervariasi. Ikatan silang antara reseptor CD52 dengan

alemtuzumab dapat menginduksi hambatan pertumbuhan dan efek apoptosis sel-

sel myeloma secara langsung (Gasparetto, 2004).

Monoklonal immunoglobulin (M-protein) yang disekresikan oleh sel

myeloma memiliki antigenic determinant yang khas. Antigen ini dapat

20
dipresentasikan pada sel-sel dendritik sehingga dapat menginduksi respons imun

spesifik pada penderita multiple myeloma. Namun, perlu dipertimbangkan

pemilihan penderita yang memiliki respons imun cukup untuk melawan antigen.

Dapat pula dikombinasi dengan immunotherapy yang lain, seperti: G-CSF atau

vaksin keyhole limpet haemocyanin (KLH) (Yi et al, 2002).

Signal kostimulator dapat meningkatkan imunitas tumor sehingga prekursor

CTL (CTL-Ps) dapat diaktifkan. Bila signal kostimulator tidak ada, maka CTL-Ps

tidak akan berproliferasi menjadi sel efektor CTL. Adanya gen yang menyandi

ligand B7 menyebabkan CTL-Ps berdiferensiasi menjadi CTL efektor

(Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Peinert dan kawan-kawan telah mengembangkan suatu vektor retrovirus yang

dapat mengkode reseptor sel chimeric T. Reseptor tersebut akan mengenali

antigen LeY dalam MHC-independent manner dan mengirimkan costimulatory

signal untuk mengaktivasi sel T (Peinert et al, 2010). Reseptor ini terdiri dari

rantai tunggal antibodi anti-Le(Y) yang dihubungkan dengan daerah cytoplasmic

signaling yang dibentuk oleh CD28 dan CD3-zeta (Westwood et al, 2005). Telah

diketahui adanya transduksi sel T yang berasal dari darah perifer yang

menghasilkan sekresi antigen-restricted interferon-γ dan lisis sel tumor yang

mengekspresikan antigen LeY serta tidak melisiskan sel yang normal(Westwood et

al, 2005; Peinert et al, 2010). Secara in vivo, aktivitas gene modified T cells

terlihat memperlambat pertumbuhan xenografts myeloma pada tikus myeloma.

Akibatnya akan memperpanjang usia penderita. Karena itu, leY antigen pada sel-

21
sel kanker dapat menjadi sasaran efektif bagi sel T yang mengekspresikan reseptor

chimeric baik secara in vitro maupun in vivo pada tikus (Peinert et al, 2010).

Pada imunotoksin, mAb yang digunakan bersama-sama toksin terhadap TAA

akan dapat mencegah proses selular. Sementara bila bersama dengan radioisotop

akan membantu membunuh DNA dan melepas partikel dengan energi yang tinggi.

Cara tersebut kurang berhasil karena memerlukan dosis yang tinggi dan toksik

bagi sumsum tulang (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Respon imun terhadap tumor dapat ditingkatkan oleh sitokin. Jenis-jenis

sitokin yang dapat digunakan sebagai tumor ialah: IFN-α, IFN-β, IFN-γ, IL-2, IL-

4, IL-6, IL-12, GM-CSF dan TNF. Walaupun demikian, terapi dengan cara ini

jarang dilakukan karena sangat sulit untuk mengetahui letak intervensinya dengan

tepat (Baratawijaya dan Rengganis, 2009). Pada MM, interferon dapat

memperpanjang harapan hidup penderita.

Aktivitas APC yang meningkat akan memodulasi imunitas tumor. Sel

dendritik tikus yang dibiakkan dengan GM-CSF dan fragmen tumor dapat

mengaktifkan sel Th dan CTL spesifik untuk antigen tumor. Beberapa ajuvan

meningkatkan aktivasi makrofag, molekul MHC II dan kostimulator B7 serta

ekspresi berbagai sitokin. Makrofag yang aktif merupakan aktivator Th.

Akibatnya respon imun baik selular maupun humoral meningkat (Baratawijaya

dan Rengganis, 2009).

Sel dendritik akan mengaktifkan cytotoxic melawan antigen. Sel-sel dendritik

merupakan salah satu tipe antigen presenting cell, yang diambil dari penderita.

Sel-sel tersebut ditambahkan antigen atau ditransfeksikan dengan viral vector. Sel

22
yang telah aktif (memiliki respons anti tumor spesifik) kemudian dikembalikan ke

tubuh pasien. Dalam tubuh penderita, sel ini akan mempresentasikan antigen pada

effector lymphocytes (CD4+ T cells, CD8+ T cells, dan sel-sel dendritik yang

khusus serta sel B). Hal ini akan menginisiasi repons cytotoxic melawan antigen

dan apa pun yang mempresentasikan antigen ini sehingga dapat digunakan dalam

immunotherapy kanker. Antigen tumor yang dipresentasikan pada sel-sel dendritik

merupakan target sistem imun (Overes, 2009). Vaksin sel dendritik ini telah

digunakan pada penderita MM dengan menggunakan Id sebagai antigen sasaran

(Gasparetto, 2004)

Gambar 2.10 Vaksin dari sel dendritik yang diberi antigen tumor (Abbas,

Lichtman and Pillai, 2007b)

Beberapa sel dendritik (SD) imatur dapat menginduksi respons antitumor

CTL dengan lebih baik karena memfagositosis antigen lebih efektif. Sel dendritik

ditransfeksi dengan RNA tumor dapat menginduksi ekspansi sel T tumor spesifik.

Cara lain adalah dengan menggunakan monosit CD4+ yang menghasilkan SD atas

pengaruh GM-CSF dan IL-4 (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

23
Telah dikembangkan teknologi yang melibatkan transfeksi DC dengan tumor

yang berasal dari RNA. Transfeksi ini mampu menimbulkan aktivitas anti tumor

yang sesuai. Telah ditemukan bahwa DC yang aktif dapat menimbulkan CTLS in

vitro ketika diinfus dengan MM RNA (Gasparetto, 2004). CTLs tersebut

mengandung sel T CD4+ dan CD8+ (Wen, 2002). Cytotoxicity terhadap sel target

adalah MHC 1 dan sedikit MHC 2 serta tergantung terutama pada perforin-

mediated pathway. CTLs terutama mensekresi IF-γ dan TNF α pada stimulasi

antigenik yang mengindikasikan sel T subset tipe 1. Telah ditemukan bahwa

tumor cell lysate-primed CTLs hanya membunuh sel myeloma, bukan autologous

lymphocytes. Penemuan ini memberikan dasar immunotherapy MM yang rasional

(Wen, 2002).

Gambar 2.11 Vaksin dari sel dendritik yang telah ditransfeksi DNA (Abbas,
Lichtman and Pillai, 2007b)

24
Antigen tumor yang dipresentasikan pada sel T tanpa dibantu oleh molekul

kostimulator akan mengakibatkan terjadinya anergi. Untuk mencegah anergi sel T

digunakan immunotherapy aktif, yaitu dengan menginfuskan sitokin. Sel T dan

NK akan diaktifkan langsung oleh IL-2, namun IL-2 mempunyai efek samping

yang berat, misalnya: kebocoran kapiler, edem dan hipotensi. Selain itu, dapat

pula diberikan IFN sistemik karena memiliki efek anti-proliferasi dan

meningkatkan ekspresi MHC-1. Peningkatan ekspresi ini terutama oleh IFN-α

maupun IFN-β (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Terapi juga dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi antigen virus. Hal

tersebut didasarkan karena beberapa jenis tumor disebabkan pula oleh virus

onkogenik. Vaksinasi sudah dapat dilakukan pada Burkitt lymphoma dan kanker

cervix. Vaksinasi tersebut bertujuan untuk memacu sel Tc efektor sehingga dapat

mencegah terjadinya kanker (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Gambar 2.12 Immunotherapy dengan costimulator (Abbas, Lichtman and Pillai,


2007b)

25
Gambar 2.13 Vaksinasi dengan sel tumor yang mengekspresikan GM-CSF
(Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

Baik antibodi maupun sel T mampu mengendalikan pertumbuhan sel

myeloma melalui pengenalan spesifik idiotypic portion (Id) myeloma-specific

immunoglobulin protein (MM-Ig). Vaksinasi dengan Id conjugates dapat memicu

respons Id-specific humoral dan sel T pada beberapa penderita bahkan setelah

terapi dengan dosis tinggi dan transplantasi autologous (Gasparetto, 2004).

Protein Id yang disekresi sel plasma myeloma, spesifik untuk tumor tapi

merupakan antigen yang lemah. Immunotherapy berdasarkan Id pada penderita

myeloma menunjukkan hasil yang mengecewakan (Gasparetto, 2004).

Berbagai TAA yang telah diidentifikasi dalam sel myeloma dapat menjadi

target yang selektif bagi sistem imun (Houet and Veelken, 2006; Rosenblatt and

Avigan, 2008). Keuntungan cara ini adalah dapat mempresentasikan antigen yang

spesifik dan potensial terhadap sel efektor. Disfungsi sel efektor dan peningkatan

jumlah sel T regulatory membatasi efek immunotherapy. Strategi untuk

meningkatkan immunotherapy pada penyakit ini mencakup: mengurangi jumlah

sel T regulatory, mengkombinasikan immunotherapy aktif dan pasif, penggunaan

cytokine adjuvants, serta pemakaian immunotherapy bersamaan dengan

transplantasi autologous dan allogeneic (Rosenblatt and Avigan, 2008).

26
Imunisasi stem cell donor dengan antigen myeloma dapat meningkatkan efek

dan hasil allogeneic stem cell transplantation. Immunotherapy aktif sedang diteliti

untuk digunakan sebagai pilihan pengobatan multiple myeloma. Imunisasi

terhadap clonal immunoglobulin myeloma memicu sistem imun pada tikus (Houet

and Veelken, 2006).

Obat-obat imunomodulator (IMiDS), yaitu analog thalidomide memiliki sifat

pleiotropik anti myeloma, antara lain efek immune modulation, anti-angiogenic,

anti inflamasi, dan anti proliferasi. Berdasarkan data in vitro, terlihat bahwa efek

anti proliferasi dan downregulation cytokine adalah anti MM yang paling penting.

Dosis thalidomide yang rendah telah dapat menimbulkan efek tersebut

(Gasparetto, 2004). Walaupun dikatakan bahwa efek costimulatory obat terhadap

sel T dan NK itu sangat unik dan penting dalam menciptakan aktivitas imun anti

MM namun belum dibuktikan secara in vivo (Quach H et al, 2010). Sayangnya,

thalidomide sering meimbulkan efek samping seperti: neuropati perifer,

thromboembolic, sedasi, konstipasi, kelainan congenital, neutropenia,

hipotiroidisme, kemerahan dan bradikardi (Gasparetto, 2004).

Beberapa analog thalidomide, antara lain: lenalidomide dan actimid (juga

dikenal sebagai C-4047), memiliki efek anti tumor yang sinergistik dengan

rituximab pada human lymphoma yang berat dengan imunodefisiensi. Pada tikus

dengan subcutaneous lymphoma yang diberikan ImiDS, terjadi peningkatan sel

NK pada lokasi tumor. Peningkatan ini dimediasi melalui stimulasi sel dendritik

dan modifikasi lingkungan mikro cytokine yang berhubungan dengan peningkatan

27
monocyte chemotactic protein-1, TNF-α dan IF-γ serta mungkin memperbanyak

rituximab-associated antibody-dependent cellular cytotoxicity (Reddy et al, 2008).

Bortezomid (velcade, juga dikenal sebagai PS-341 dan MLN341) adalah

inhibitor proteasome yang reversibel. Seperti yang telah diketahui, proteasome

merupakan suatu kompleks protein besar yang mendegradasi ubiquinated protein.

Disregulasi degradasi protein memiliki efek yang besar terhadap pertumbuhan

tumor dan mengakibatkan apoptosis sel. Bortezomid bersifat cytotoxic terhadap

sel kanker secara in vitro sedangkan secara in vivo, menyebabkan pertumbuhan

tumor melambat pada hewan coba dengan MM. Pada beberapa penelitian, respons

penderita bervariasi antara 30-50% (Gasparetto, 2004).

Sementara Adoptive Cell Therapy (ACT) menggunakan T cell-based

cytotoxic untuk melawan kanker. Sel T yang telah memiliki reaktivitas alami pada

sel kanker dibuat lebih efektif secara in vitro dan kemudian ditransfer ke dalam

tubuh penderita. Misalnya, sel T yang secara alami memiliki reaktivitas pada

penderita kanker, ditemukan menginfiltrasi tumor. Tumor-infiltrating lymphocytes

(TIL) dapat dibuat lebih efektif secara invitro menggunakan konsentrasi IL-2 yang

tinggi, anti-CD3 dan allo-reactive feeders. Sel tersebut dapat ditransfer kembali

ke tubuh penderita dengan pemberian IL-2 untuk memperkuat aktivitasnya.

Beberapa tumor mengecil sampai tidak terdeteksi (Khattar, Chen, Stepkowski,

2009; Motohashi and Nakayama, 2009).

Kurang lebih 6-12 bulan sejak sel-sel ditransfers in vivo dan menetap dalam

darah perifer penderita, kadang-kadang mencapai kadar 75% dari semua sel T

CD8+ (Dudley et al, 2002).

28
Gambar 2.14 Immunotherapy dengan Adoptive Cell Therapy (Abbas, Lichtman
and Pillai, 2007b)

29
SIMPULAN

Pertumbuhan sel diatur oleh protoonkogen (growth promoting oncogenes)

dan tumor suppressor gene. Aktivitas protoonkogen yang berlebihan ataupun

mutasi suppressor gene akan mengakibatkan sel bertransformasi menjadi ganas.

Kanker mengekspresikan antigen imunogenik yang dapat dikenali oleh

sistem imun sehingga dapat dihancurkan secara spesifik. Antigen tumor dapat

dibagi menjadi: tumor specific antigen (TSA) dan tumor associated antigen

(TAA).

Multiple myeloma merupakan proliferasi abnormal sel plasma ganas yang

menghasilkan monoclonal immunoglobulin dan menginvasi serta menghancurkan

jaringan tulang sekitar.

Kondisi ini diduga akibat radiasi, infeksi virus, stimulasi antigen berulang

kali, dan genetik. Gejala klinik tergantung dari ada tidaknya organ yang

menunjukkan kelainan sekunder, misalnya kelainan faal ginjal, saraf, jantung,

gangguan hemostasis dan lain-lain.

Untuk mendiagnosis penyakit ini, perlu dilakukan pemeriksaan: darah

lengkap (CBC) dengan platelets, pengecatan darah perifer, ESR, BUN, kreatinin,

kalsium, asam urat dan laktat dehidrogenase (LDH), elektroforesis protein serum

dan urin, x-rays (skeletal survey), pemeriksaan sumsum tulang.

Hasil analisis dari 81 sampel sumsum tulang, menunjukkan adanya ekspresi

sedang antigen LeY pada sel plasma penderita myeloma sebanyak 52% kasus.

Dalam keadaan normal, sel T tidak dapat mengenali antigen ini.

30
Prognosis penyakit ini sangat ditentukan oleh tingkat penyakit dan kadar β2-

microglobulin serum sangat menentukan prognosis penderita.

Pengobatan untuk penyakit tersebut, yaitu dengan: terapi spesifik, suportif

dan dengan imunomodulator (seperti interferon). Keberhasilan kedua terapi yang

pertama kurang memuaskan karena itu sekarang sedang dikembangkan cara

ketiga, yaitu terapi dengan mempergunakan sistem imun (immunotherapy).

Antigen tumor dapat menimbulkan respon imun, baik humoral maupun

selular. Pada respon pertama, sel tumor dapat dihancurkan secara langsung,

dengan bantuan komplemen maupun melalui sel efektor ADCC. Sedangkan pada

imunitas seluler, sel T memegang peranan penting. Sekarang ini, immunotherapy

lebih banyak dibuat berdasarkan respon sel T. Mekanisme utama sistem ini adalah

penghancuran sel tumor oleh CD8+ atau CTLs.

Umumnya pertumbuhan tumor terjadi ketika sistem imun sedang lemah

karena adanya mekanisme tumor untuk menghindarkan diri dari sistem imun.

Immunotherapy adalah pengobatan dengan menginduksi, mempertinggi atau

mensupresi respons imun yang diklasifikasikan menjadi active dan suppressive

immunotherapies (immunotherapy pasif). Keuntungan pengobatan cara ini antara

lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit menyebabkan resistensi

pada bakteri

Hal-hal berikut termasuk dalam Immunotherapy: antibodi monoklonal,

manipulasi signal kostimulator untuk meningkatkan imunitas, imunotoksin,

sitokin, peningkatan aktivitas APC, vaksinasi dengan sel dendritik,

immunotherapy aktif dan imunisasi dengan antigen virus serta ACT.

31
Pada MM, yang menjadi pilihan terapi antara lain: alemtuzumab (CamPath-

1H), reseptor sel chimeric T yang akan mengenali antigen LeY dan mengaktivasi

sel T, interferon, vaksin dengan sel dendritik baik matur maupun imatur,

imunisasi stem cell donor dengan antigen myeloma, obat-obat immunomodulator.

Immunotherapy aktif sedang diteliti untuk digunakan sebagai pilihan pengobatan

multiple myeloma.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, AK., Lichtman, AH., Pillai, S. 2007a. Cellular and Molecular


Immunology. 6th. Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 55.
Abbas, AK., Lichtman, AH., Pillai, S. 2007b. Cellular and Molecular
Immunology. 6th. Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 397-417.
Abbas, AK., Lichtman, AH. 2006. Basic Immunology Function and Disorders of
The Immune System. 2nd. Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 277.
Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. 1st. Ed. Jakarta: EGC. p. 220-9.
Baratawijaya, KG., Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. 8th. Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. p. 451-476.
Berenson, MD. 2008. Multiple Myeloma. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec11/ch144/ch144e.html. Access 20 Feb
2010.
Bernadette, F., Rodak. 2002. Hematology Clinical Principles and Applications.
2nd. Ed. Philadelphia: Saunders. p. 502-39.
Beutler, E., et al. 2001. Williams Hematology. 6th. Ed. New York: Mc Graw Hill.
p. 1279-98.
Braunwald, E., et al. 2003. Harrison`s Principles of Internal Medicine. 15th. Ed.
Boston: Mc. Graw Hill. p. 727-32.
Cruse, JM., Lewis, RE. 1999. Atlas of Immunology. London: CRC Press. p. 322-
3.
Dudley, ME., et al. 2002. Cancer regression and autoimmunity in patients after
clonal repopulation with antitumor lymphocytes. Science, 298(5594):850–
854.
Fischbach, FT., Dunning, MB. 2004. A Manual of Laboratory and Diagnostic
Test. 7th. Ed. Philadelphia: Lippincott Wiliams and Wilkins. p. 533.
Gasparetto, C. 2004. Stem Cell Transplantation for Multiple Myeloma. Cancer
Control, 11(2).
Handojo, I. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. 1st. Ed. Surabaya: Airlangga
University Press. p. 22-34.

33
Nairn, R., Helbert, M. 2007. Immunology for Medical Students. 2nd. Ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier. p. 279-87.
Henry, JB. 2001. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods.
12th. Ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. p. 887-91.
Houet, L., Veelken, H. 2006. Active immunotherapy of multiple myeloma. Eur J
Cancer, Jul;42(11):1653-60.
Khattar, M., Chen, W., Stepkowski, SM. 2009. Expanding and converting
regulatory T cells: a horizon for immunotherapy. Archivum Immunologiae et
Therapiae Experimentalis, 57(3):199.
Kresno, SB. 2002. Keganasan Sistem Imun. In: Kresno, SB. Imunologi: Diagnosis
dan Prosedur Laboratorium. 3th. Ed. Jakarta: FKUI. p. 141-54.
Kresno, SB. 2003a. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th. Ed.
Jakarta: FKUI. p. 208-65.
Kresno, SB. 2003b. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th. Ed.
Jakarta: FKUI. p. 407-11
Male, D., et al. 2006. Immunology. 7th. Ed. Canada: Elsevier. p. 401-19.
Masihi, KN. 2001. Fighting infection using immunomodulatory agents. Expert
Opinion on Biological Therapy, July;1(4): 641-653.
Motohashi, S., Nakayama, T. 2009. Natural killer T cell-mediated immunotherapy
for malignant diseases. Frontiers in Bioscience,1:108–116.
Nagura, E. 2007. Prognositic Factor in Multiple Myeloma. Nippon Rinsho,
Dec;65(12):2351-6.
Overes, IM. 2009. Efficient Activation of LRH-1-specific CD8+ T-cell Responses
From Transplanted Leukemia Patients by Stimulation With P2X5 mRNA-
electroporated Dendritic Cells. Journal of Immunotherapy, 32(6):539.
Peakman, M., Vergani, D. 2006. Basic Clinical Immunology. 6th. Ed.
Philadelphia: Churchill Livingston. p. 294-7.
Peinert, S., et al. 2010. Gene-modified T cell as immunotherapy for multiple
myeloma and acute myeloid leukemia expressing the Lewis Y antigen. Gene
Therapy, March.

34
Quach, H., et al. 2010. Mechanism of action of immunomodulatory drugs
(IMiDS)in multiple myeloma. Leukemia, Jan;24(1):22-32.
Reddy, N., et al. 2008. Immunomodulatory drugs stimulate natural killer-cell
function, alter cytokine production by dendritic cells, and inhibit
angiogenesis enhancing the anti-tumour activity of rituximab in vivo. Br J
Haematol, Jan;140(1):36-45.
Rose, NR., et al. 2002. Manual of Clinical Laboratory Immunology. 6th. Ed.
Washington: ASM Press. p. 66-94.
Rosenblatt, J., Avigan, D. 2008. Cellular Immunotherapy for Multiple Myeloma.
Best Pract Res Clin Haematol, Sep;21(3):559-77.
Subowo. 2009. Imunobiologi. 2nd. Ed. Jakarta: Sagung Seto. p. 272-85.
Wahab, AS., Julia, M. 2002. Sistem Imun. In: Wahab, AS., Julia, M. Sistem Imun,
Imunisasi, & Penyakit Imun. 1st. Ed. Jakarta: Penerbit Widya Medika. p. 1-
37.
Wen, YJ., et al. 2002. Tumor lysate-specific cytotoxic T lymphocytes in multiple
myeloma: promising effector cells for immunotherapy. Blood,
May;99(9):3280-5.
Westwood, JA., et al. 2005. Adoptive transfer of T cell modified with a
humanized chimeric receptor gene inhibits growth of Lewis-Y-expressing
tumors in mice. Proc Natl Acad Sci U S A, Dec;102(52):19051-6.
Yi, Q., et al. 2002. Optimizing Dendritic Cell-Based Immunotherapy in Multiple
Myeloma. British Journal of Haematology, 117: 297-305

35

Anda mungkin juga menyukai