Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH FARMAKOLOGI

OBAT ANTIKANKER DAN ANTIVIRAL

DOSEN PEMBIMBING :

Dra. Kiaonarni Ongku Walujo, Apt

DISUSUN OLEH :

AINUN PUTRI NABILAH P27820719002

TEGUH AJI PRASETYO W. P27820719036

TINGKAT 1 PENDIDIKAN PROFESI NERS


JENJANG SARJANA TERAPAN
JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat


Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas makalah ini, yang
berjudul “Obat Antikanker dan Antiviral” yang merupakan salah
satu bagian dari kurikulum yang ada pada Program Studi Profesi
Ners, Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan Surabaya.
Harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang obat-obat anti kanker dan anti viral.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih kurang
sempurna. Saran dan kritik dari pembaca akan kami terima
dengan tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini.

Surabaya, 31 Maret
2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. ANTIKANKER................................................................................... 1
1.1 Definisi ............................................................................................ 1
1.2 Sejarah Kemoterapi.......................................................................... 1
1.3 Patofisiologi..................................................................................... 7
1.4 Mekanisme Kerja Sel....................................................................... 8
1.5 Klasifikasi ....................................................................................... 9
B. ANTIVIRAL........................................................................................ 12
1.6 Definisi............................................................................................. 12
1.7 Sejarah Herpes................................................................................. 12
1.8 Patofisiologi..................................................................................... 13
1.9 Manifestasi Klinis............................................................................ 14
1.10 Penatalaksanaan............................................................................... 14
1.11 Pencegahan....................................................................................... 16

BAB 2 MEKANISME/CARA KERJA OBAT............................................. 17

A. ANTIKANKER .................................................................................. 17
2.1 Alkilator........................................................................................... 17
2.2 Antimetabolit.................................................................................... 17
2.3 Produk Alamiah............................................................................... 18
B. ANTIVIRAL....................................................................................... 20

BAB 3 FARMAKOKINETIK....................................................................... 24

A. ANTIKANKER .................................................................................. 24
3.1 Alkilator........................................................................................... 24
3.2 Antimetabolit.................................................................................... 25
3.3 Produk Alamiah............................................................................... 26

ii
B. ANTIVIRAL....................................................................................... 27
3.4 Asiklovir........................................................................................... 27
3.5 Gansiklovir....................................................................................... 28

BAB 4 FARMAKODINAMIK...................................................................... 29

A. ANTIKANKER .................................................................................. 29
4.1 Alkilator........................................................................................... 29
4.2 Antimetabolit.................................................................................... 31
4.3 Produk Alamiah............................................................................... 32
B. ANTIVIRAL....................................................................................... 36
4.4 Asiklovir........................................................................................... 36
4.5 Gansiklovir....................................................................................... 37
4.6 Famsiklovir...................................................................................... 38
4.7 Fenobarbital...................................................................................... 38

BAB 5 KEMOTERAPI.................................................................................. 41

5.1 Tujuan Kemoterapi........................................................................... 41


5.2 Manfaat Kemoterapi......................................................................... 41
5.3 Konsep Kemoterapi.......................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 46

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. ANTIKANKER
1.1 Definisi
Antikanker adalah obat untuk mencegah dan mengobati
pertumbuhan sel – sel jaringan tubuh yang tidak normal. Kanker ialah suatu
penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme penngatur
multiplikasi dan funngsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler.
Sifat umum dari kanker sebagai berikut :
1) Pertumbuhan berlebihan umumnya berbentuk tumor
2) Gangguan diferensiasi dari sel dan jaringan, sehingga mirip dengan
jaringan mudigah
3) Bersifat invasif, mampu tumbuh di jaringan sekitarnya (perbedaan pokok
dengan jaringan normal)
4) Bersifat metastatik, menyebar ke tempat lain dan menyebabkan
pertumbuhan baru
5) Memiliki heriditas bawaan (acquired heredity) yaitu turunan sel kanker
juga dapat menimbulkan kanker
6) Pergeseran metabolisme ke arah pembentukan makromolekul dari
nukleosida dan asam amino serta peningkatan katabolisme karbohidrat
untuk energi sel.
Sel kanker mengganggu tuan rumah karena menyebabkan desakan
akibat pertumbuhan tumor, penghancuran jaringan tempat tumor berkembang
dan bermetastasis, dan gangguan sistemik lain sebagai akibat sekunder dari
pertumbuhan sel kanker.

1.2 Sejarah Kemoterapi


Kemoterapi mulai dilirik sebagai salah satu modalitas terapi sejak
awal permulaan abad ke-20. Akan tetapi, pada beberapa dekade awal, belum
ada obat kemoterapi yang digunakan untuk pengobatan kanker. Sampai ketika
dalam pengamatan dimana ketika teknik bedah dan radiasi mendominasi terapi
kanker pada tahun 1960-an didapatkan bahwa dengan teknik paling radikal

1
pun, tingkat kesembuhan tidak lebih dari 33%. Hal ini dikarenakan adanya
mikrometastasis dari sel kanker.
a. Era Sebelum Perang Dunia II
Istilah kemoterapi sendiri sebenarnya muncul pada awal 1900-an
oleh Paul Ehrlich. Dia adalah ahli kimia Jerman terkemuka yang
mengembangkan obat untuk melawan penyakit infeksi. Dalam sejarah
kemoterapi beliau dikenal karena menjabarkan pertama kali mengenai
penggunaan zat kimia untuk mengobati penyakit. Paul Ehrlich juga
memperkenalkan metode penggunaan model penyakit pada binatang untuk
mencari zat kimia yang memiliki potensi efek terapetik pada penyakit
manusia.
Beliau juga tertarik mencari obat untuk kanker dengan penelitian
terhadap zat warna aniline yang merupakan alkylating agent primitif. Akan
tetapi, ternyata tidak terlalu optimis atau yakin akan kemampuan zat
tersebut berhasil dalam mengobati kanker.
Setelah itu, pengembangan kemoterapi hanya sebatas
pengembangan model di laboratorium, namun belum ada obat kemoterapi
yang berhasil dikembangkan untuk dipakai sebagai agen teurapetik.
Kesulitan terbesar pada saat itu adalah mencari agen zat kimia yang
berpotensi serta sulitnya mendapat akses untuk melakukan uji klinis.
Terdapat beberapa terobosan terutama pada penelitian kanker.
Tahun 1910 George Clowes dari Roswell Park Memorial Institute (RPMI)
berhasil mengembangkan model tranplantasi kanker pada tikus. Hal ini
memungkinkan dilakukan sistem standardisasi penelitian serta proses
penapisan lebih banyak zat kimia yang berpotensi sebagai agen teurapetik
kanker.
Terobosan lain adalah pada tahun 1939, Charles Huggins
memperlihatkan observasi efek estrogen pada kanker payudara. Selain itu
dilakukan pula pemberian estrogen pada penderita kanker prostat dan
memperlihatkan respon penurunan kadar asam fosfatase. Atas hasil
penelitian tersebut, Charles Huggins mendapatkan hadiah Nobel. Akan

2
tetapi, hal ini tidak menolong padangan kekurangpercayaan sebagian
besar komunitas ilmiah atas potensi kemoterapi dalam mengobati kanker.
Terobosan lain adalah pada tahun 1939, Charles Huggins
memperlihatkan efek estrogen pada kanker payudara. Selain itu
pemberian estrogen pada kanker prostat memperlihatkan respon
penurunan kadar asam fosfatase. Atas hasil penelitian tersebut, Charles
Huggins mendapatkan hadiah Nobel Kedokteran tahun 1966. Akan tetapi,
hal ini tidak menolong padangan kekurangpercayaan sebagian besar
komunitas ilmiah atas potensi kemoterapi dalam mengobati kanker.
b. Era Menjelang dan Setelah Perang Dunia II
Pada sejarah kemoterapi, perkembangan terapi ini juga dipengaruhi
oleh perang dunia. Saat terjadi Perang Dunia ke-2, walaupun senjata
kimia seperti gas mustard tidak dipakai, namun penelitian mengenai
senjata kimia ini oleh pihak militer tetap dilakukan. Pada observasi, saat
terjadi kecelakaan dimana gas mustard terpapar secara tidak sengaja pada
serdadu, tampak bahwa terjadi penekanan pada sumsum tulang dan
kelenjar getah bening. Hal ini kemudian menarik perhatian peneliti, untuk
melihat potensi gas mustard sebagai agen terapi atau pengobatan.
Penelitian yang menunjukan hasil signifikan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Alfred Gilman dan Louis Goodman dari Yale University.
Mereka melihat efek pemberian turunan gas mustard yaitu nitrogen
mustard pada mencit yang ditanam tumor limfoid. Pada penelitian ini,
didapat bahwa tumor mengalami regresi atau pengecilan. Atas dasar
penelitian ini, Gilman dan Goodman kemudian meyakinkan peneliti lain
Gustaf Lindskog, seorang ahli bedah toraks untuk memberikan nitrogen
mustard kepada pasien penderita limfoma non Hodgkin yang mengalami
sumbatan jalan napas yang berat. Hasilnya, dilihat terdapat regresi atau
pengecilan yang signifikan terhadap tumor tersebut.
Akan tetapi, dikarenakan sifat penelitian terhadap gas mustard ini
sangat rahasia, hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1943 ini baru
bisa dipublikasikan pada tahun 1946. Walaupun demikian, penelitian ini
memulai era dimana muncul dukungan yang besar terhadap sintetis

3
beberapa zat kimia turunan gas mustard untuk terapi penyakit yaitu
golongan alkylating agent termasuk chlorambucil dan cyclophosphamide.
Hasil penelitian tahun 1946 ini membawa keyakinan mengenai
jalan kesembuhan penyakit kanker. Namun, keyakinan ini ternyata hanya
sebentar karena regresi penyakit tersebut ternyata hanya sementara dan
tidak sempurna. Hal ini kembali membawa pesimisme di dunia akademik
bahkan terdapat kepercayaan bahwa kanker tidak akan bisa diobati
dengan obat.
c. Terobosan Penelitian Pasca Perang
Sejarah kemoterapi juga mencatat bahwa penelitian lain mengenai
nutrisi memperlihatkan bahwa defisiensi asam folat menyebabkan gagal
sumsum tulang yang mirip dengan kejadian deplesi akibat gas mustard.
Farber, Heinle, dan Welch meneliti efek asam folat ini ke leukemia dan
menemukan bahwa asam folat dapat mempercepat atau mengakselerasi
pertumbuhan sel leukemia. Walaupun observasi ini ternyata kurang tepat,
namun kemudian dikembangkan agen analog asam folat yang berfungsi
sebagai antagonis atau anti dari folat seperti aminopterin dan
amethopterin yang lebih dikenal sebagai methotrexate.
Farber kemudian melakukan uji methotrexate ini ke anak-anak
penderita leukemia dan pada tahun 1948 menerbitkan laporan yang
memperlihatkan terjadinya remisi leukemia akibat pemberian
methotrexate tersebut.
Penelitian lain dari zaman perang ini adalah melihat efek zat
penisilin dan turunannya untuk memerangi infeksi. Tapi ada efek lain dari
turunan penisilin yang terobservasi yaitu efek antitumor. Awalnya
diyakini penisilin memiliki efek antitumor namun hal ini tidak terbukti
dan ternyata ada antibiotik lain yaitu actinomycin D yang memiliki
aktivitas antitumor yang kuat. Obat ini kemudian dipakai secara luas
untuk terapi tumor pada pasien anak-anak tahun 1950 sampai 1960-an.
Atas penemuan ini kemudian muncul ketertarikan terhadap aktivitas
antitumor yang dimiliki oleh zat turunan antibiotik yang dihasilkan jamur

4
sehingga memunculkan serial zat kemoterapi yang merupakan turunan
dari antibiotik.
Keberhasilan program penelitian ini kemudian membawa
ketertarikan ke penelitian lain untuk mencari obat kemoterapi. Tahun
1948, Hitchings dan Elion menemukan zat yang menghambat
metabolisme adenine, tahun 1951 mereka juga kemudian menemukan dua
obat kemoterapi, 6-thioquanine dan 6-mercaptopurine. Dua thiopurine ini
tidak hanya dipakai untuk kemoterapi kanker namun juga digunakan
sebagai terapi gout, herpes, antivirus, dan agen imunosupresi. Atas
penemuan ini, Hitchings dan Elion kemudian mendapatkan hadiah Nobel
bidang fisiologi dan kedokteran tahun 1988.
d. Era 1960: Konsep Kesembuhan dari Kanker
Sebelum tahun 1960-an, dunia akademik masih dibayang-bayangi
rasa pesimisme mengenai kemampuan kemoterapi menyembuhkan
kanker. Walaupun ada upaya keberhasilan menyembuhkan kasus
kariokarsinoma dengan menggunakan methotrexate yang dikembangkan
oleh Min Chiu Li. Tumor ini adalah kanker pertama yang dapat sembuh
dengan kemoterapi.
Namun, pesimisme tersebut masih ada dan onkologi masih
dipandang sebelah mata. Dapat dikatakan bahwa pemikiran penyembuhan
kanker dengan kemoterapi dianggap tidak masuk akal dan peneliti pun
masih meragukan keamanan pemberian kemoterapi. Bahkan, peneliti
yang menjadi pionir dalam bidang onkologi medis mendapat tantangan
yang berat karena sikap anti dan skeptisisme terhadap kemoterapi.
Namun, perkembangan pada sejarah kemoterapi dimulai dengan
adanya pembuktian perlahan-lahan dimana momentum pertama berasal
dari kasus leukemia akut pada anak-anak dan pasien dewasa dengan
penyakit Hodgkin. Awalnya untuk kedua kasus tersebut dapat dicapai
25% remisi. Namun, dengan menggunakan satu agen kemoterapi,
remisinya singkat dalam hitungan bulan.
Terobosan kemudian datang berupa penemuan agen alkaloid
dari Vinca risea (vincristine) serta aktivitas ibenzymethyzin (kemudian

5
diberi nama pro-carbazine) untuk penyakit Hodgkin. Kemudian
dikemukakan pula hipotesis dan penelitian bahwa walaupun hanya
tertinggal satu sel leukemia saja, bisa menyebabkan kembalinya penyakit.
Hal ini kemudian menjadi jalan untuk dikembangkannya protokol
kemoterapi yang lebih agresif dan melibatkan multiagen kemoterapi.
VAMP (vincristine, amethopterin, 6-mercaptopurine, dan
prednisone) adalah protokol kemoterapi pertama yang dikembangkan
untuk leukemia akut. Protokol ini mencapai angka remisi 60% dan
setengah dari pasien tersebut mencapai remisi lebih lama dalam jangka
tahunan dan dapat dikatakan mencapai kesembuhan. Hal ini tidak dicapai
karena penggunaan kemoterapi saja namun juga didukung oleh perawatan
penunjang seperti penggunaan transfusi serta penggunaan antibiotik
secara agresif untuk menangani perdarahan dan infeksi.
Untuk penyakit Hodgkin, pertama kali dikembangkan protokol
MOMP yang mengkombinasikan nitrogen mustard dengan vincristine,
methotrexate, dan prednisone. Kemudian, setelah itu dikembangkan pula
MOPP yang mengganti methotrexate dengan pro-carbazine. Hasilnya
sangat baik, dengan remisi yang awalnya hampir tidak ada menjadi 80%
dan 60% pasien yang mencapai remisi komplit dengan MOPP tidak
pernah mengalami relaps. Laporan keberhasilan MOMP dan MOPP ini
diterbitkan di Annals of Internal Medicine tahun 1970. Saat ini, tingkat
kesembuhan penyakit Hodgkin dapat mencapai 90%.
e. Era 1970-an: Berkembangnya Konsep Kemoterapi Ajuvan
Dengan adanya bukti kesembuhan yang dicapai dengan
kemoterapi, membuka jalan untuk penelitian penggunaan kemoterapi
pada kanker dengan stadium yang lebih dini. Hal ini disadari karena
walaupun sebagian besar kanker payudara masih dalam tahap
lokoregional, namun setelah dilakukan terapi lokoregional saja, sebagian
besar masih bisa muncul kekambuhan. Hal tersebut juga didapat pada
kenker padat lainnya seperti kanker kolorektal. Namun di sisi lain,
sebagian pasien juga akan tetap tidak kambuh dengan terapi lokoregional
saja. Hal ini menyebabkan dilema karena apabila diberikan kemoterapi

6
secara ajuvan, setelah terapi lokoregional (bedah dan radiasi), maka
ditakutkan ada kelompok pasien yang terpapar kemoterapi yang tidak
perlu. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian.
Penelitian pertama yaitu studi L-PAM (L-phenylalanine mustard)
dan program CMF (kombinasi cyclophosphamide, methotrexate, dan 5-
flurouracil). Kedua penelitian tersebut menunjukan hasil yang lebih baik
dibandingkan terapi standar saat ini. Hal tersebut kemudian membukan
pemakaian kemoterapi sebagai kemoterapi ajuvan. Sejak saat itu,
kemoterapi diterima secara luas sebagai salah satu modalitas terapi kanker
untuk berbagai stadium. Untuk terapi ajuvan kanker payudara dapat
disimak di artikel mengenai terapi kanker payudara pada stadium
dini dan terapi kanker payudara pada stadium lanjut.
f. Perkembangan Terkini
Perkembangan kemoterapi target menjadi maju ketika diketahui
berbagai macam kelainan genetik pada kanker. Perkembangan teknologi
farmasi seperti pembuatan terapi monoklonal juga memungkinkan untuk
dikembangkan terapi target yang secara spesifik terhadap kanker.
Walaupun demikian, kemoterapi konvensional masih menjadi tulang
punggung terapi kanker dan masih digunakan secara luas sampai saat ini.

1.3 Patofisiologi
Sel abnormal membentuk sebuah kelompok dan mulai berproliferasi
secara abnormal, membiarkan sinyal pengatur pertumbuhan di lingkungan
sekitar sel. Sel mendapatkan karakteristik invasif sehingga terjadi perubahan
jaringan sekitar. Sel menginfiltrasi jaringan dan memperoleh akses ke limfe
dan pembuluh darah, yang membawa sel ke area tubuh yang lain. Kejadian ini
dinamakan metastasis (kanker menyebar ke bagian tubuh yang lain).
Sel-sel kanker disebut neoplasma ganas/maligna dan diklasifikaikan
serta diberi nama berdasarkan tempat jaringan yang tumbuhnya sel kanker
tersebut. Kegagalan sistem imun untuk menghancurkan sel abnormal secara
cepat dan tepat menyebabkan sel-sel tumbuh menjadi besar untuk dapat
ditangani dengan menggunakan imun yang normal. Kategori agens atau faktor

7
tertentu yang berperan dalam karsinomagenesis (transportasi maglina)
mencakup virus dan bakteri, agens fisik, agens kimia, faktor genetik atau
familial, faktor diet, dan agens hormonal. (Suddarth, 2016)
Neoplasma merupakan pertumbuhan baru. Menurut seorang ankolog
dari inggris menamakan neoplasma sebagai massa jaringan yangn abnormal,
tumbuh berlebih dan tidak terkoordinasi dengan jaringan yang normal, dan
selalu tumbuh meskipun rangsangan yang menimbulkan sudah hilang.
Proliferasi neoplastik menimbulkan massa neoplasma sehingga menimbulkan
pembengkakan atau benjolan pada jaringan tubuh, sehingga terbentuknya
tumor. Tumor dibedakan menjadi dua yaitu jinas dan ganas. Jika tumor ganas
dinamakan kanker (Padila, 2013).

1.4 Mekanisme Kerja Sel


Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan, yaitu sedang membelah
(siklus proliferatif), keadaan istirahat (tidak membelah), dan secara permanen
tidak membelah. Sel tumor yang membelah terdapat dalam beberapa fase yaitu
fase mitosis (M), fase pasca mitosis ( G1), fase sintesis DNA (S), fase
pramitosis (G 2). Pada akhir fase G1 terjadi peningkatan RNA disusul dengan
fase S yang merupakan saat terjadinya replikasi DNA. Setelah fase S berakhir,
sel masuk dalam fase pramitosis (G 2 ¿ dengan ciri :
a. Sel berbentuk tetraploid
b. Mengandung DNA dua kali lebih banyak dari pada sel fase lain
c. Masih berlangsungnya sintesis RNA dan protein
Sewaktu mitosis berlangsung, sintesis protein dan RNA berkurang
secara tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu, sel dapat
memasuki interfase untuk kembali memasuki fase G1 saat sel berproliferasi
atau memasuki fase istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang masih potensial
untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi
yang menambah jumlah sel kanker ialah yang dalam siklus proliferasi dan
dalam fase G 0.

8
1.5 Klasifikasi Anti Kanker

No
Golongan Sub Golongan Obat
.
 Mekloretamin
 Siklofosfamid
Mustar nitrogen  Ifosfamid
 Melfalan
 Klorambusil
 Trietilen-melamin
Etilenamin &
(TEM)
metilmelamin
 Thiotepa
Metilhidrazin Prokarbazin
1. Alkilator
Alkil sulfonat Busulfan
 Karmustin (BCNU)
 Lomustin (CCNU)
Nitrosourea  Semustin (metil
CCNU)
 Streptozotosin
 Sisplatin
Platinum  Karboplatin
 Oksaliplatin
2. Anti metabolit Analog pirimidin  5-Fluorourasil
 Sitarabin
 6-Azauridin
 Floksuridin (FUDR)

9
 Gemsitabin
 6-Merkaptopurin
 6-Tioguanid (T6)
Analog purin
 Fludarabin,
pentostatin
 Metotreksat
Antagonis folat
 Pemetreksed
 Vinblastin (VLB)
Alkaloid vinka  Vinkristin (VCR)
 Vinorelbin
 Paklitaksel
Taksan
 Dosetaksel
 Etoposid
Epipodofilotoksin
 Teniposid
 Irinotekan
Kamptotesin
 Topotekan
Daktinomisin
3. Produk alamiah (aktinomisin D)
 Antrasiklin :
Daunorubisin
Doksorubisin
Antibiotik
Mitramisin
 Antrasenedion :
Mitoksantron
Mitomisin
Bleomisin
Enzim  L-aspariginase
4. Hormon dan  Prednison
Adrenokortikosteroid
antagonis  Hidrokortison
Progestin  Hidroksiprogesteron
kaproat
 Medroksiprogesteron
asetat
 Megestrol asetat

10
 Dietilstilbestrol
Estrogen
 Etinil estradiol
Anti estrogen Tamoksifen, toremifen
 Testosteron propionat
Androgen
 Fluoksimesteron
Anti androgen Flutamid
Penghambat Mitotan,
andrenokortikoid aminoglutetimid
Analog GRH Leuprolid
Anastrozol, letrozol,
Penghambat aromatase
eksemestan
Substitusi urea Hidroksiurea
Derivat metilhidrazin Prokarbazin
Tretinoin, arsen
Diferentiating agent
trioksid
Penghambat tirosin  Imatinib
kinase  Gefitinib
Penghambat preteosom Bortezumib
Modulator respon Interferon alfa,

5. Lain-lain biologik interleukin 2


 Ritusimab
 Alemtuzumab
 Daklizumab
Antibodi monoklonal  Gemtuzumab
 Transtuzumab
 Cetuksimab
 Bevasizumab
B. ANTI VIRAL
1.6 Definisi
Antivirus/antiviral adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan
menekan kemampuan untuk replikasi, menghambat kemampuan untuk
menggandakan dan memperbanyak diri. Misalnya, Amantadine (symmetrel)
adalah sintesis antivirus dimana kerjanya menghambat multiplikasi vius
influenza A. diberikan dalam waktu 24-48 jam mulai dari gejala flu, dapat
mengurangi kerasnya dari penyakit, terutama pada individu beresiko tinggi
seperti orang-orang yang immunosuppressed atau di rumah sakit.

11
1.7 Sejarah Herpes
Sejarah Herpes berawal zaman Yunani kuno. Hippocrates yang
berbicara tentang kondisi dalam tulisannya. Bahkan kata "Herpes" berasal dari
kata Yunani yang berarti "merayap atau merangkak" yang merupakan cara
bahwa orang Yunani menggambarkan cara sel ini menyaebar lewat kulit. Pada
zaman Romawi, Kaisar Tiberius mencoba untuk menghentikan wabah Herpes
yang terjangkit di mulut dengan melarang berciuman secara terbuka di acara-
acara publik dan upacara. Setelah Tiberius, seorang dokter bernama Celsus
menyarankan bahwa Herpes dapat diobati dengan beberapa prosedur yang
dapat menyembuhkan luka dengan menggunakan besi panas. Tidak diketahui
berapa lama larangan ciuman itu berlaku atau berapa lama Celsus
menggunakan metodenya untuk mengatasi hal itu, tetapi keduanya nampak
berakhir cukup cepat dalam sejarah melawan Herpes tersebut karena menemui
banyak kendala umum yang sulit untuk diatasi. Kemudian dalam sejarah,
ilmuan Shakespeare diyakini telah memiliki pengetahuan banyak tentang
virus. Dalam karyanya yang bermain dalam Romeo dan Juliet ia berbicara
tentang " lepuh malapetaka " yang dipercaya kata-kata itu mengacu pada virus
Herpes. Ada jugabanyak muncul jurnal medis dari awal tahun 1817 yang
mulai membahas tentang penyakit ini. Selama ini juga banyak spekulasi yang
didengaer mengenai penyebab Herpes, salah satu yang paling menonjol adalah
bahwa Herpes disebabkan oleh gigitan serangga. Jelas, sejarah herpes
mengandung banyak ketidakpastian.
Sejalan perkembangannya, mulai terdengar lagi bahwa sejarah Herpes
genital dan mendapatkan virus ini menyebar dari awal tahun 1900-an. Studi
mulai mendefinisikan berbagai strain virus dan pada tahun 1919 seorang pria
dengan nama Lowenstein menkonfirmasi kepada para ilmuwan bahwa Herpes
adalah penyakit yang dapat sangat cepat menular.
Sebelumnya, orang-orang tidak yakin bahwa Herpes adalah virus,
namun pada kenyataannya, banyak dianggap menjadi seperti kondisi penyakit
kelamin umum lainnya pada kulit, seperti eksim, yang tidak dapat
ditransmisikan. Studi mengenai Herpes berlanjut sampai abad kedua puluh

12
dan ilmuwan mampu mulai mengidentifikasi berbagai strain virus. Para
ilmuwan dan Dokter terus mempelajari Sejarah Herpes Genital dan mencari
cara untuk meminimalkan efeknya dan kemungkinan penularan.

1.8 Patofisiologi
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala
awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan muncul bercak
kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa
nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar.
Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.
Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan
timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa
meninggalkan jaringan parut.
Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar.
Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan
gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan.
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis,
termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan
luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan
hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di
sekitar anus atau di dalam rektum.
Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita
infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya,
menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan
dengan asiklovir.
Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau
di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali
aktif untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan
kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di
dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi
kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal

13
oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus
lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.

1.9 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik dari infeksi HSV tergantung pada tempat infeksi,
dan status imunitas host. Infeksi primer dengan HSV berkembang pada orang
yang belum punya kekebalan sebelumnya terhadap HSV-1 atau HSV-2, yang
biasanya menjadi lebih berat, dengan gejala dan tanda sistemik dan sering
menyebabkan komplikasi.
Berbagai macam manifestasi klinis:
1. Infeksi oro-fasial
2. Infeksi genital
3. Infeksi kulit lainnya
4. Infeksi ocular
5. Kelainan neurologist
6.  Penurunan imunitas
7. Herpes neonatal

1.10 Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes
genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti:
a. Menjaga kebersihan lokal,
b. Menghindari trauma atau faktor pencetus.
Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal
sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat.
Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya
pasien akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi.
Meskipun tidak ada obat herpes genital, penyediaan layanan kesehatan
anda akan meresepkan obat anti viral untuk menangani gejala dan
membantu mencegah terjadinya outbreaks. Hal ini akan mengurangi resiko
menularnya herpes pada partner seksual. Obat-obatan untuk menangani
herpes genital adalah:

14
a) Asiklovir (Zovirus)
Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8
jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14
hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat
mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat
penyembuhan.
b) Famsiklovir
Adalah jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efektif
menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2.
c) Valasiklovir (Valtres)
Adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir
lengkap berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan
meningkatkan bioavaibilitas asiklovir sampai 54%. Oleh karena itu
dosis oral 1000 mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah
yang sama dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah
dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk
terapi herpes genitalis episode awal.

1.11 Pencegahan
Untuk mencegah herpes genitalis adalah sama dengan mencegah
penyakit menular seksual lainnya. Kuncinya adalah untuk menghindari
terinfeksi dengan HSV yang sangat menular pada waktu lesi ada. Cara terbaik
untuk mencegah infeksi adalah menjauhkan diri dari aktivitas seksual atau
membatasi hubungan seksual dengan hanya satu orang yang bebas infeksi.

15
BAB II
MEKANISME/CARA KERJA OBAT

A. ANTIKANKER
Pada umumnya kerja anti kanker berdasarkan atas gangguan pada salah
satu proses sel yang esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel
kanker dan sel normal maka semua anti kanker bersifat mengganggu sel normal,
sitotoksik, dan atau bukan kankerosid, atau kankerotoksik yang selektif.
2.1 Alkilator

16
Berbagai alkilator menunjukkan persamaan cara kerja yaitu melalui
pembentukan ion karbonium (alkil) atau kompleks lain yang sangan reaktif.
Gugus alkil ini kemudian berikatan secara kovalen dengan berbagai
nukleofilik penting dalam tubuh misalnya fosfat, amino, sulfhidril, hidroksil,
karboksil, atau gugus imidazol. Efek sitostatik maupun efek sampingnya
berhubungan langsung dengan terjadinya alkilasi DNA ini.
Alkilator yang bifungsional ini misalnya mustar nitrogen dapat
berikatan kovalen dengan dua gugus asam nukleat pada rantai yang berbeda
membentuk cross-linking sehingga terjadi kerusakan pada fungsi DNA. Hal
ini daaapat menerangkan sifat sitotoksik dan mutagenik dari alkilator.
Resistensi sel kanker terhadap alkilator dapat terjadi melalui berbagai
mekanisme antara lain peningkatan kemampuan memperbaiki DNA yang
rusak (DNA Repair), penurunan permeabilitas sel terhadap alkilator, dan
peningkatan produksi glutation yang dapat menonaktifkan zat alkilator.

2.2 Antimetabolit
Antipurin dan antipirimidin mengambil tempat purin dan pirimidin
dalam pembentukan nukleosida, sehingga mengganggu berbagai reaksi
penting dalam tubuh. Penggunaannya sebagai antikanker didasarkan atas
kenyataan bahwa metabolisme purin dan pirimidin lebih tinggi pada sel
kanker dari pada sel normal. Dengan demikian, penghamatan sintesis DNA sel
kanker lebih dari sel normal.
a) Antagonis pirimidin misalnya 5-fluorourasil, di dalam tubuh diubah
menjadi 5-fluoro-2-deoksiuridin-5-monofosfat (FdUMP) yang
menghambat timidilat sintetase dengan akibat hambatan sintesis DNA.
Fluorourasil juga diubah menjadi fluorouridin monofosfat (FUMP) yang
langsung mengganggu sintesis RNA. Sitarabin diubah menjadi nukleosida
yang berkompetisi dengan metabolit normal untuk diinkorporasikan ke
dalam DNA. Obat ini bersifat cell cycle specific yang spesifik untuk fase S
dan tidak berefek terhadap sel yang tidak berproliferasi.
b) Antagonis purin misalnya merkaptopurin merupakan antagonis
kompetitif dari enzim yang menggunakan senyawa purin sebagai substrat.

17
Suatu alternatif lain dari mekanisme kerjanya ialah pembentukan 6-metil
merkaptopurin (MMPR), yang menghambat biosintesis purin, akibatnya
sintesis RNA, CoA, ATP, dan DNA dihambat.
c) Antagonis folat misalnya metotreksat menghambat dihidrofolat reduktase
dengan kuat dan berlangsung lama. Dihidrofolat reduktase ialah enzim
yang mengkatalisis dihidrofolat (FH2) menjadi tetrahidrofolat (FH4).
Tetrahidrofolat merupakan metabolit aktif dari asam folat yang berperan
sebagai kofaktor penting dalam berbagai reaksi transfer satu atom karbon
pada sintesis protein dan asam nukleat. Efek penghambatan ini tidak dapat
diatasi dengan pemberian asam folat, tetapi dapat diatasi dengan
leukovorin (asam folinat) yang tersedia sebagai kalsium leukovorin.
Antagonis folat membasmi sel dalam fase S, terutama pada fase
pertumbuhan yang pesat. Namun, dengan efek penghambatan terhadap
sintesis RNA dan protein, metotreksat menghambat sel memasuki fase S,
sehingga bersifat swabatas (self limiting) terhadap efek sitotoksiknya.

2.3 Produk Alamiah


Berbagai obat yang berasal dari alam (tumbuhan dan hewan)
digunakan sebagai antikanker, antara lain :
a) Alkaloid vinka (vinkristin dan vinblastin) berikatan secara spesifik
dengan tubulin, komponen protein mikrotubulus, spindle mitotik, dan
memblok polimerasnya. Akibatnya terjadi disolusi mikrotubulus, sehingga
sel terhenti dalam metafase. Kelompok obat ini disebut juga sebagai
spindle poison.
b) Taksan Paklitaksel dan dosetaksel bekerja dengan mekanisme yang
sama dengan alkaloid vinka, yaitu sebagai racun spindel.
c) Epipodofilotoksin Etoposid dan teniposid membentuk kompleks tersier
dengan topoisomerase II dan DNA sehingga mengganggu penggabungan
kembali DNA yang secara normal dilakukan oleh topoisomerase. Enzim
tetap terikat pada ujung bebas DNA dan menyebabkan akumulasi
potongan-potongan DNA. Selanjutnya terjadi kematian sel.

18
d) Kamptotesin Irino dan topotekan merupakan bahan alami yang berasal
dari tanaman Camptotheca acuminata yang bekerja menghambat
topoisomerase I, enzim yang bertanggung jawab dalam proses
pemotongan dan penyambungan kembali rantai tunggal DNA. Hambatan
enzim ini menyebabkan kerusakan DNA.
e) Antibiotik Antrasiklin (daunorobisin, doksorubisin, mitramisin)
berinterkalasi dengan DNA, sehingga fungsi DNA sebagai template dan
pertukaran sister chromatid terganggu dan untai DNA putus. Antrasiklin
juga bereaksi dengan sitokrom P450reduktase yang dengan adanya
MADPH membentuk zat perantara, yang kemudian bereaksi dengan
oksigen menghasilkan radikal bebas yang menghancurkan sel.
Pembentukan radikal bebas ini dirangsang oleh Fe.
f) Aktinomisin menghambat polimerase RNA yang dependen terhadap
DNA, karena terbentuknya kompleks antara obat dengan DNA. Selain itu
aktinomisin juga menyebkan putusnya rantai tunggal DNA mungkin
berdasarkan terbentuknya radikal bebas atau akibat kerja topoisomerase II.
g) Bleomisin bersifat sitotoksik berdasarkan kemampuannya memecahkan
DNA. In vitro, bleomisin menyebabkan akumulasi sel pada fase G 2 dan
banyak sel memperlihatkan aberasi kromosom termasuk fragmentasi dan
translokasi kromatid.
h) Enzim
Asparaginase merupakan katalisator enzim yang berperan dalam
hidrolisis asparagin menjadi asam aspatat dan amonia. Dengan demikian
sel kanker kekurangan asparagin yang berakibat kematian sel ini.

19
B. ANTIVIRAL
Masing-masing obat antivirus dikelompokkan berdasarkan cara
kerjanya, yang berupa:
a. Interferon: peginterferon alfa-2a, peginterferon alfa-2b.
- Interferon alfa-2a, interferon alfa-2b dan interferon beta-1b mungkin
akan meningkatkan konsentrasi dari zidovudine (AZT, Retrovir) dalam
darah. Meskipun reaksi ini mungkin memperbaiki keefektifan dari
zidovudine, tetapi juga mungkin akan meningkatkan resiko keracunan
darah dan hati. Oleh karenanya, dosis dari zidovudine mungkin perlu
dikurangi sebanyak 75%. Interferon alfa-2a dan interferon alfa-2b
dapat meningkatkan waktu eksresi dan eliminasi yang diperlukan
oleh theophylline dari tubuh, sehingga dosis theophylline mungkin
juga perlu dikurangi.  
b. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI): efavirenz,
nevirapine, rilpivirine, etravirine.
- NON- NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR
(NNRTI) Merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim
revers transcriptase dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan
tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs
akif ini. Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450
sehingga cenderung untuk berinteraksi dengan obat lain. Yang
tergolong obat NNRTI antara lain: 1. Nevirapin Mekanisme kerja obat
ini bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.
2. Efavirenz Mekanisme kerja obat ini bekerja pada situs alosterik
tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.
c. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI): adefovir, entecavir,
lamivudine, stavudine, telbivudine, tenofovir, zidovudine.
- NUCLEOTIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR ( NRTI )
Reverse transkripstase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA
proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. Karena

20
antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat
obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,
tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk
dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi
oleh enzim sel hospes di sitoplasma. Yang termasuk komplikasi oleh
obat obat ini adalah asidosilaktat dan hepatomegali berat dengan
steatosis. Yang tergolong obat NRTI antara lain: 1. Zidovudin
Mekanisme kerja obat ini yaitu, target zidovudin adalah enzim reverse
transcriptase (RT) HIV. Zidovudin bekerja dengan cara menghambat
enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT)
pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat
akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat
reaksi reverse transcriptase. 2. Didanosin Mekanisme kerja obat ini
yaitu, obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus. 3. Emtrisitabin Mekanisme kerja obat
ini Merupakan derivate 5-fluorinatedlamivudin. Obat ini diubah
kebentuk triposfat oleh ensim selular. Mekanisme kerja selanjutnya
sama dengan lamivudin.
d. Penghambat neuraminidase: oseltamivir, zanamivir.
- Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada
sekresi respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang
menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim
neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah
terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang
optimaldari sel yang terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus
dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan
kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat
keparahan, jika penyakitnya berkembang.
e. Penghambat protease: darunavir, ritonavir, lopinavir/ritonavir,
simeprevir, indinavir.
- Daclatasvir adalah obat kuat yang mempunyai kesan patogenetik. Ia
mempunyai kesan langsung kepada faktor etiologi. interaksi dengan

21
Sofosbuvir meningkatkan aktivitas antiviral yang dilakukan oleh
kedua-dua obat. Ini menjelaskan keperluan penggunaan bersama
mereka dalam rejimen terapi hepatitis. Ubat ini terdapat dalam tablet
dengan kandungan bahan aktif yang berlainan - 30 dan 60 mg. Dari
atas, mereka ditutup dengan lapisan pelindung, mudah larut dalam
perut. Tablet diambil secara lisan, manakala mereka perlu minum
dengan air dalam kuantiti yang mencukupi. Jangan berselerak atau
mengunyahnya. Dos yang disyorkan untuk pengambilan harian adalah
60 mg. Daclatasvir tidak digunakan sebagai ubat tunggal. Strategi
terapi antiviral melibatkan penggunaan ubat bersamaan dengan ubat-
ubatan seperti Sofosbuvir, Ribavirin, Interferon (Pegasis, Pegintron,
Interferon-alpha). Pada masa yang sama, bergantung kepada ubat
yang dipilih, rejimen rawatan dapat disesuaikan. Terapi gabungan
boleh dilakukan selama 12 minggu atau dua kali ganda. Ia bergantung
kepada peringkat perkembangan keradangan dan kehadiran
komplikasi. Perlu dipertimbangkan bahawa dos harian tidak boleh
lebih rendah daripada 30 mg. Menggunakan ubat yang lebih kecil
boleh membawa kepada penyakit patologi.
f. Penghambat RNA: ribavirin.
- Ribavirin merupakan golongan obat anti virus yang aktif melawan
sejumlah virus DNA dan RNA. Digunakan sebagai obat antivirus
influenza a, demam lassa, dan sinisisial pernapasan Bekerja dengan
cara menyerupai adenosin atau guanosin. Ketika ribavirin dimasukkan
ke dalam RNA sebagai analog dasar baik adenin atau guanin yang
memiliki pasangan basa urasil atau sitosin, menginduksi mutasi pada
RNA-dependent ada virus RNA. Sehingga hypermutation tersebut
dapat mematikan virus RNA yang dalam bentuk dapat mengganggu
metabolisme RNA yang diperlukan untuk replikasi virus.
g. Penghambat DNA polimerase: acyclovir, valacyclovir, famciclovir,
ganciclovir, valganciclovir.
- Sebagai antiviral bertujuan untuk mengurangi demam, nyeri,
komplikasi serta melindungi seseorang dari ketidakmampuan daya

22
tahan tubuh melawan virus herpes. Sebaiknya pemberian obat
Acyclovir saat timbulnya rasa nyeri atau rasa panas membakar pada
kulit, tidak perlu menunggu munculnya gelembung cairan (blisters).
- Tanda dan Gejala Penyakit Cacar (Herpes) Tanda dan gejala yang
timbul akibat serangan virus herpes secara umum adalah demam,
menggigil, sesak napas, nyeri dipersendian atau pegal di satu bagian
rubuh, munculnya bintik kemerahan pada kulit yang akhirnya
membentuk sebuah gelembung cair. Keluhan lain yang kadang
dirasakan penderita adalah sakit perut.

23
BAB III
FARMAKOKINETIK

A. ANTI KANKER
3.1 Alkilator
a) Siklofosfamid
Aspek farmakokinetik siklofosfamid terutama adalah onset kerja
yang baru dimulai setelah obat ini dimetabolisme menjadi bentuk
metabolitnya, sekitar 2-3 jam.
Siklofosfamid bersifat larut dalam air sehingga dapat diberikan
secara oral. Siklofosfamid terserap dengan baik dan konsentrasi puncak
pada plasma tercapai dalam 1 jam setelah pemberian oral. Namun, onset
kerja baru dimulai dalam 2-3 jam mengingat siklofosfamid
merupakan prodrug yang perlu dimetabolisme menjadi metabolit terlebih
dahulu sebelum menunjukkan efek kerja.
Kadar siklofosfamid secara oral yang mencapai peredaran darah
berkisar antara 85-100% di mana sebagian dari obat ini telah sebelumnya
melalui metabolisme tingkat pertama di hepar dan gastrointestinal. Oleh
karena ini, pemberian secara oral akan menghasilkan aktivitas alkilasi
yang lebih tinggi dibanding pemberian secara parenteral. Bioavailabilitas
obat sebesar 75%. Onset kerja obat dicapai dalam 2-3 jam.
Siklofosfamid didistribusikan di dalam tubuh dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan parenteral. Sebanyak 20% dari kandungan
siklofosfamid berikatan dengan protein. Setelah teraktivasi di hepar,
kemampuan berikatan dengan protein untuk metabolit aktifnya meningkat
hingga lebih dari 60%.
Siklofosfamid dalam bentuk aktif dapat melewati sawar darah otak
dengan sangat terbatas dan terdeteksi pada cairan serebrospinal.
Siklofosfamid juga dapat melewati sawar plasenta sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan janin dan siklofosfamid terdeteksi pada ASI.
Volume distribusi obat ini meningkat pada individu dengan obesitas,
sehingga akan meningkatkan waktu paruh untuk eliminasinya.

24
Siklofosfamid dimetabolisme oleh enzim hepatik P450 CYP2A6,
CYP2B6, CYP3A4, CYP3A5 dan menghasilkan metabolit utama
berupa 4-hydroxycyclophosphamide. Konsentrasi puncak metabolit ini
tercapai dalam 2-3 jam.
Metabolit aktif lainnya meliputi phosphoramide mustard, acrolein,
dan aldophospohamide. Enzim aldehida dehydrogenase (ALDH) dan
glutathione (GSH) berperan dalam mendetoksifikasi sifat toksik dari
metabolit-metabolit ini.
Siklofosfamid diekskresikan terutama dalam bentuk metabolit
aktifnya, sebanyak 70% melalui urine. Namun hanya 10-20% yang
diekskresikan tanpa perubahan bentuk. Sebanyak 4% diekskresikan lewat
empedu. Rata-rata waktu paruh untuk eliminasi obat ini adalah 6,5-7 jam.
b) Busulfan
Pada manusia, setelah pemberian oral, busulfan mudah diserap dari
saluran pencernaan, berikatan dengan cepat dengan protein plasma
(misalnya albumin) dan sel darah merah, dan dengan cepat menghilang
dari darah. Busulfan dilaporkan memiliki waktu paruh 2–3 jam. Di hati, itu
cepat mengalami baik transformasi enzimatik dan non-enzimatik, terutama
melalui proses yang dimediasi glutathione, menjadi metabolit yang
mengandung sulfur yang kurang aktif. Dua belas metabolit telah diisolasi
termasuk asam metanulfulfonat dan 3-hidroksi-tetrahidrothiofena-1,1-
dioksida, dua metabolit urin utama. Meskipun pembersihan cepat dari
darah dan metabolisme yang luas, busulfan radiolabelled diekskresikan
relatif lambat, dengan 25-60% dari radioaktivitas diekskresikan, terutama
sebagai metabolit, dalam waktu 48 jam setelah pemberian dosis.
3.2 Antimetabolit
Merkaptopurin (6-MP)
Setelah pemberian peroral, merkaptopurin mengalami absorpsi yang
tidak lengkap. Obat ini mengalami metabolisme lintas awal (first-
passmetabolism) oleh xatin oksidasi di hati. Bioavailabilitas oral bervariasi
daro 10-50% dan menurun bila diberikan dalam kombinasi dengan
metotreksat.

25
3.3 Produk Alamiah
a) Paklitaksel
Paklitaksel mengalami metabolisme oleh sitokrom P-450 di hati dan
hampir 80% obat ini diekresikan melalui feses.
b) Dosetaksel
Merupakan taksan semisintetik dengan metabolisme yang identik dengan
paklitaksel.
c) Etoposid
Pada pemberian peroral, absorpsi etoposid bervariasi dengan rata-rata
50%. Setelah pemberian intra vena tercapai kadar puncak 30µg/mL.
Eliminasi bersifat bifasik dengan paruh waktu antara 6-8 jam. Kira-kira
40% obat akan diekresikan secara utuh dalam urin. Pada pasien gangguan
fungsi ginjal, dosis harus disesuaikan berdasarkan beratnya gangguan
fungsi. Pada gangguan fungsi hati, hipoalbuminemia dan
hiperbilirubinemia cenderung meningkatkan kadar obat bebas, sehingga
toksisitas mudah terjadi.
d) Topotekan
Obat ini terikat 35% pada protein plasma. Cincin lakton Topotekan
mengalami hidrolisis reversibel, yang tergantung pada pH. Aktivitas
farmakologis dipertahankan oleh bentuk lakton senyawa. Bentuk cincin
mendominasi di lingkungan pada pH 4, sedangkan pada pH fisiologis
persentase bentuk yang timbul dengan membuka cincin dan membentuk
asam hidroksi yang sesuai meningkat. Pembentukan turunan N-demethyl
kurang penting dalam metabolisme topotekan. Metabolisme menyumbang
kurang dari 10% dari eliminasi topotecan. t 1/ 2 pada fase eliminasi adalah
2-3 jam. Topotektan dieliminasi melalui ginjal. 50% dari dosis
diekskresikan dalam urin, 20% dalam tinja. Rata-rata pembersihan plasma
topotekan pada pria sekitar 24% lebih tinggi daripada wanita.
e) Irinotekan
Merupakan pro drug yang dalam hepar mengalami konversi menjadi
metabolit SN-38 yang merupakan penghambat poten topoisomerase 9.
Konversi ini dikatalisis oleh karboksiltransferase. Berbeda dengan

26
topotekan, eliminasi irinotekan terutama terjadi melalui feses dan empedu,
dan penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati.
f) Doksorubisin
Diberikan melalui intravena. Doksorubisin dimetabolisme di dalam hati
menjadi metabolit aktif dan inaktif. Bermacam-macam metabolit ini
mempengaruhi paruh waktu dengan tahap mula-mula selama 12 menit,
tahap pertengahan selama 3.5 jam, dan tahap akhir 30 jam. Eliminasi
doksorubisin terjadi melalui 50% empedu dan 5% urin.

B. ANTI VIRAL
3.4 Asiklovir
a. Absorpsi Bioavailabilitas acyclovir tidak terlalu baik, yaitu sekitar 10-
30%. Bioavailabilitas semakin menurun seiring peningkatan dosis
pemberian. Acyclovir diserap secara buruk dari traktus gastrointestinal.
Sediaan topikal dapat diserap dalam jumlah kecil.
b. Distribusi Acyclovir terdistribusi dengan baik dalam jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Volume distribusi adalah 0,8 L/kg
(63,6 L). Hanya sekitar 15% (9-33%) yang berikatan dengan protein
plasma.
c. Metabolisme Acyclovir sebagian kecil dimetabolisme di hati. Selain itu,
acyclovir juga dikonversi menjadi acyclovir monofosfat oleh enzim
thymidine kinase yang diproduksi virus.
d. Eliminasi Waktu paruh eliminasi acyclovir adalah 2,5 – 3,3 jam pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Waktu paruh pada pasien anuria
adalah 19,5 jam. Hemodialisis mengeliminasi 33-60% obat ini. Dialisis
peritoneal hanya mengeliminasi dalam jumlah sangat sedikit. Acyclovir
diekskresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus ginjal.
Ekskresi mayoritas dalam bentuk utuh. Kurang dari 15% ekskresi dalam
bentuk metabolit, yaitu 9-karboksi-metoksimetilguanin.

27
3.5 Gansiklovir
Setelah menelan cepat diserap dari saluran pencernaan, dalam usus dinding
dan hati dikonversi ke gancyclovir. Bioavailabilitas absolut gansiklovir
setelah transformasi dari valgansiklovir sekitar 60%. Pengikatan gansiklovir
untuk protein plasma 1-2%.

28
BAB IV
FARMAKODINAMIK

A. ANTI KANKER
4.1 Alkilator
a. Siklofosfamid
 Indikasi : Leukemia limfositik kronik, penyakit Hodgkin, limfoma
non-Hodgkin, mieloma multiple, neuroblastoma, tumor payudara,
ovarium, paru, serviks, testis, jaringan lunak : tumor Wilm.
 Kontraindikasi : Pasien yang pernah mengalami sistitis hemoragik
dan pada trimester pertama kehamilan.
 Interaksi obat : Bersifat nonspesifik terhadap siklus sel dan efektif
terhadap penyakit Hodgkin stadium III dan IV, serta limfoma non-
Hodgkin terutama dalam kombinasi dengan kortikosteroid dan
vinkristin. Siklofosfamid sering dikombinasikan dengan obat
antikanker lain untuk leukemia limfoblastik pada anak. Kombinasinya
dengan daktinomisin dan vankriston efektif terhadap rabdomiosarkoma
dan tumor Ewing.
 Penggunaan klinis: Sebagai obat tunggal dalam dosis besar,
siklofosfamid dilaporkan menyembuhkan pasien limfoma Burkitt.
Sebagai imunosupresan sering digunakan pada artritis reumatoid,
sindrom nefrotik pada anak dan pada pasien yang akan menjalani
transplantasi sumsum tulang. Untuk menghindari kerusakan kandung
kemih akibat metabolit yang bersifat iritatif, pasien dianjurkan minum
banyak dan mengosongkan kandung kemih sesering mungkin.
 Efek samping : Leukopenia berat terjadi pada hari ke 10-12
setelah pengobatan dan pemulihan pada hari 17-21. Sistitis hemoragik
dapat terjadi dengan angka kejadian 20% pada anak dan 10 % pada
dewasa. Anoreksia disertai mual, dan muntah. Sesekali terjadi
amenore, stomatitis aftosa, hiperpigmentasi kulit, enterokolitis, ikterus,
alopesia, dan hipoprotombinemia.

29
 Sediaan/kemasan : Tersedia dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg
dan 1,2 g untuk suntikan, dan tablet 25 dan 50 mg untuk pemberian per
oral.
 Dosis : IV 500-1500mg/m2, interval minggu. Oral 60-120
mg/m2/hari (sebaiknya diberikan bersama atau sesudah makan.
b. Busulfan
 Indikasi : Leukemia mielositik kronik, polisitemia vera,
trombositemia, myelofibrosis, sebelum transplantasi sumsum tulang.
 Kontraindikasi : Hipersensitivitas, sumsum tulang hipoplasia,
leukemia akut, leukemia limfositik kronis.
 Interaksi obat : Peningkatkan risiko terjadinya efek samping obat,
bila digunakan bersama paracetamol, itraconazole, atau metrinidazole.
Penurunan efektivitas obat, bila digunakan bersama phenitoin.
Peningkatkan risiko terjadinya kejang, bila digunakan
bersama tramadol, phenothiazine, teofilin, atau amitriptyline.
Peningkatkan risiko terjadinya gangguan liver, bila digunakan bersama
thioguanine.
 Penggunaan klinis : Asam urat serum harus diawasi untuk mencegah
gagal ginjal akibat hiperurisemia. Risiko tersebut bisa diperkecil
dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi urin, dan dan
pemberian alopurinol.
 Efek samping : Depresi sumsum tulang paling sering terjadi
seringga pemeriksaan darah harus sering dilakukan. Hiperpigmentasi
dapat terjadi pada pengobatan jangka panjang yang merupakan salah
satu gejalan mirip sindrom Addison yang terdiri dari astenia, hipotensi,
mual, muntah, dan penurunan berat badan, tetapi bukti obyektif
hipofungsi kelenjar adrenal tidak ada. Efek samping yang timbul lebih
lambat berupa katarak, fibrosis ovarium, amenore, atrofi testis,
aspermia, dan ginekomastia.
 Sediaan/kemasan : Tersedia dalam tablet dengan kandungan 2 mg
Busulfan per tablet dan injeksi dengan sediaan 6 mg / ml.
 Dosis : 2-8 mg/hari per oral ; 150-250 mg/seri.

30
4.2 Antimetabolit
Merkaptopurin (6-MP)
 Indikasi : leukemia limfositik akut dan kronik, leukemia
granulositik akut dan kronik, kariokarsinoma.
 Kontraindikasi : Porfiria, kehamilan, menyusui.
 Interaksi obat : Dapat meningkatkan risiko leukopenia jika
aminosalisilat digunakan bersamaan azatioprin atau merkaptopurin,
meningkatkan risiko toksisitas hematologi ketika trimetoprim (juga
bersama kotrimoksazol) diberikan dengan merkaptopurin, meningkatkan
risiko leukopeni ketika merkaptopurin diberikan bersama aminosalisilat,
meningkatkan risiko toksisitas hematologis bila merkaptopurin diberikan
bersama sulfametoksazol (sebagai kotrimoksazol), meningkatkan risiko
toksisitas hematologis bila merkaptopurin diberikan bersama trimetoprim
(juga dengan kotrimoksazol).
 Penggunaan klinis : Obat ini harus diminum saat keadaan perut kosong
(sebelum makan). Jika menggunakan cairan suspensi, kocok botol
dengan setidaknya selama 30 detik sebelum menakar setiap dosis. Hal ini
dilakukan untuk memastikan obat tercampur dengan baik. Jangan
gunakan sendok makan biasa karena takaran obat bisa saja berbeda.
Usahakan untuk pakai sendok atau gelas khusus yang biasanya tersedia
di dalam kemasan obat. Setelah dibuka, botol suspensi harus digunakan
dalam waktu 6 minggu. Sementara dalam bentuk tablet, telan obat secara
utuh dengan bantuan air putih. . Hindari menggerus, menghancurkan,
atau menghaluskan obat karena dapat memicu efek samping serta
menurunkan efektivitasnya.
 Efek samping : Supresi sumsum tulang yang timbul perlahan-
lahan. Anemia, granulositopenia, dan trombositopenia terjadi setelah
beberapa minggu. Anoreksia, mual, dan muntah terjadi pada 25%, tapi
diare dan stomatitis jarang terjadi. Ikterus dan peningkatan enzim hati
terjadi pada sepertiga pasien yang mendapat 6-MP, dan umumnya pulih
setelah penghentian obat.
 Sediaan/kemasan: Tab 50 mg.

31
 Dosis : 50-100 mg/m2 per oral.

4.3 Produk Alamiah


a. Paklitaksel
 Indikasi : Kanker ovarium, payudara, paru-paru, buli-buli, leher, dan
kepala.
 Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat, kehamilan, menyusui.
 Interaksi obat :  Antipsikotik hindari penggunaan bersamaan
sitotoksik dan klozapin (meningkatkan risiko agranulositosis).
 Penggunaan klinis : selama penggunaan obat ini  perlu pemantauan
hematologi, kardiovaskuler, sistem saraf, fungsi hati.
 Efek samping : Reaksi alergi yang dapat dikurangi dengan
pemberian deksametason, difenhidramin, dan antagonis- H 2 sebelum
penyuntikan. Efek samping lain yaitu depresi sumsum tulang dan
neuropati perifer.
 Sediaan/kemasan : Cairan injeksi dalam vial 30 mg/5 mL, 100
mg/16,7 mL, dan 300 mg/50 mL.
 Dosis : 135-175 mg/m 2per 24 jam infus atau 175 mg/m2
per 3 jam infus.
b. Dosetaksel
 Indikasi : Kanker ovarium, payudara, paru-paru, buli-buli, leher, dan
kepala.
 Kontraindikasi : Kehamilan dan menyusui.
 Interaksi obat : Metabolisme dosetaksel dapat dipengaruhi oleh
penggunaan bersamaan dengan inhibitor sitokrom P450-3A
(siklosporin, terfenadin, ketokonazol, eritromisin, troleandomisin),
klirens karboplatin meningkat pada pemberiaan bersama dengan
dosetaksel, toksisitas dosetaksel meningkat saat diberikan bersama
ritonavir.
 Penggunaan klinis : Diberikan melalui infus satu jam setiap tiga
minggu selama sepuluh siklus atau lebih.  Perawatan diberikan di
bawah pengawasan seorang ahli onkologi. Pemantauan ketat jumlah

32
sel darah, fungsi hati, elektrolit serum, kreatinin serum, fungsi jantung
dan retensi cairan diperlukan untuk melacak perkembangan sel tumor,
respons, reaksi merugikan dan toksisitas sehingga pengobatan dapat
dimodifikasi atau dihentikan jika perlu.
 Efek samping : infeksi (termasuk sepsis dan pneumonia),
neutropenia, anemia, febrile neutropenia, hipersensitivitas, anoreksia,
neuropati perifer, nyeri abdomen, hemoragik gastrointestinal, artralgia,
reaksi tempat infus, nyeri dada non-kardiak, peningkatan bilirubin
darah, peningkatan fosfatase alkali darah. Efek samping yang jarang
seperti gagal jantung, esophagitis, perdarahan akibat trombositopenia
tingkat ¾.
 Sediaan/kemasan : Cairan injeksi dalam vial disertai pelarutnya,
tersedia dalam komposisi doksetaksel 20 mg/0,5 mL dan 80 mg/2 mL.
 Dosis : 100 mg/m2, infus 1 jam, interval 3 minggu.
c. Etoposid
 Indikasi : Kanker testis, paru, payudara, limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin, leukemia mielositik akut, sarkoma Kaposi.
 Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat, kehamilan, dan
menyusui.
 Interaksi obat : etoposid, fluorourasil, dan ifosfamid dapat
meningkatkan efek antikoagulan dari kumarin, fenitoin dapat
menurunkan konsentrasi busulfan dan etoposid dalam plasma.
 Penggunaan klinis : Pada pasien gangguan fungsi ginjal, dosis harus
disesuaikan berdasarkan beratnya gangguan fungsi. Padagangguan
fungsi hati, hipoalbuminemia dan hiperbilirubinemia cenderung
meningkatkan kadar obat bebas, sehingga toksisitas mudah terjadi.
 Efek samping : Lekopenia, dengan nadir pada hari ke 10-14 dan
pemulihan setelah 3 minggu. Trombositopenia terjadi lebih jarang dan
biasanya tidak berat. Mual, muntah, stomatitis, dan diare terjadi pada
kira-kira 15% pemakaian IV, dan pada 55% pemakaian peroral.
Alopesia yang reversibel juga sering terjadi. Hepatotoksisitas terjadi
pada pemberian dosis besar.

33
 Sediaan/kemasan : Injeksi 20 mg/mL.
 Dosis : IV 100 mg/m 2/hari x 3-5 hari atau 50 mg/m 2/hari x
21 hari.
d. Topotekan
 Indikasi : Karsinoma ovarium, karsinoma paru sel kecil, karsinoma
kolon.
 Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap komponen
persiapan, kerusakan sumsum tulang yang parah sebelum siklus
pertama kemoterapi, kehamilan, menyusui.
 Interaksi obat : Topotekan tidak menghambat enzim P-450
manusia atau mempengaruhi enzim sitoplasma manusia (xanthine
oxidase, dihydropyrimidine). Granisetron, ondansetron, morfin, dan
kortikosteroid tidak mempengaruhi farmakokinetik topotekan. Untuk
meningkatkan tolerabilitas kemoterapi kombinasi topotekan dengan
obat lain, dosis semua obat mungkin perlu dikurangi. Jika kisplatin
atau karboplatin diberikan pada hari 1 topotekan, dosis obat harus
dikurangi untuk meningkatkan tolerabilitas.
 Penggunaan klinis : Diperlukan penyesuaian dosis pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.
 Efek samping : Neutropenia (termasuk kolitis, kadang fatal),
trombositopenia, anemia, leukopenia, anoreksia, mucositis, mual,
muntah, sakit perut, alopesia, demam, reaksi hipersensitivitas
(termasuk ruam), hiperbilirubinemia, pruritus, malaise, sepsis,
anafilaksis, angioedema, urtikaria, dan ekstravasasi. Selain itu,
penyakit paru interstitial dapat terjadi.
 Sediaan/kemasan : Bubuk untuk injeksi 4mg/vial dan kapsul 0,25 mg
dan 1 mg.
 Dosis : infus IV 200 mg/m2 tiap 3-4 minggu.
e. Irinotekan
 Indikasi : Karsinoma ovarium, karsinoma paru sel kecil, karsinoma
kolon.

34
 Kontraindikasi : Chronic infllammatory bowel disease dan
atau bowel obstruction, hipersensitivitas, hamil, menyusui, pasien
dengan bilirubin lebih dari 1,5 kali di atas batas atas nilai normal,
pasien dengan kegagalan sumsum tulang yang berat, pasien dengan
status WHO performance lebih dari 2.
 Interaksi obat : atazanavir dapat menghambat metabolisme
irinotekan (meningkatkan risiko toksisitas), hindari penggunaan
bersamaan sitotoksik dengan klozapin (meningkatkan risiko
agranulositosis).
 Penggunaan klinis : pemberian obat ini harus oleh dokter yang
berpengalaman melakukan kemoterapi kanker, dapat terjadi reaksi
hipersensitivitas, late diarhaea (terjadi >8 jam setelah pemberian
irinotekan) dapat berkepanjangan dan menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, atau sepsis, dan dapat mengancam
nyawa, diperlukan terapi penunjang untuk mengatasi diare,
pemeriksaan hitung darah lengkap setiap minggu, jika terjadi mual dan
muntah berikan antiemetik. Jika terjadi acute cholinergic
syndrome dapat diatasi dengan atropin sulfat 0,25 mg subkutan kecuali
dikontraindikasikan. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia dan
karena peningkatan risiko netropeni a berat, dosis harus ditentukan
secara tepat. Tidak dianjurkan pada pasien dengan kegagalan fungsi
ginjal, karena belum ada penelitian.
 Efek samping : Mielosupresi dan diare. Diare terjadi dalam 2
bentuk ; (i) diare segera terjadi dalam 24 jam yang berkaitan dengan
efek kolinergenik, dan responsif terhadap pengobatan dengan atropin ;
(ii) terjadi setelah 3-10 hari yang dapat berat sampai menimbulkan
gangguan elektrolit.
 Sediaan/kemasan : Injeksi 3,2 mg/mL.
 Dosis : Infus IV 100-150 mg/m 2 tiap 3-4 minggu.
f. Doksorubisin
 Indikasi : Sarkoma jaringan lunak, sarkoma osteogenik, limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin, leukemia akut, karsinoma payudara,

35
genitourinaria, tiroid, paru, lambung, neuroblastoma, dan sarkoma lain
pada anak-anak.
 Kontraindikasi : Kelainan jantung, depresi hemopoetik, kehamilan,
dan menyusui.
 Interaksi obat : Efek stavudin dapat dihambat oleh doksorubisin,
meningkatkan risiko toksisitas bila stavudin diberikan bersama.
 Penggunaan klinis : Doksorubisin dapat mengganggu siklus
menstruasi normal pada wanita dan mungkin dapat menghentikan
produksi sperma pada pria. Oleh sebab itu, konsultasikan selalu
penggunaan obat dengan dokter untuk mempertimbangkan manfaat
dan risiko dari penggunaan obat ini. Jika obat mengenai tubuh Anda,
segera dan benar-benar cuci kulit dengan sabun dan air.
 Efek samping : Mual, muntah, mielosupresi, kebotakan dan
mucositis. Beberapa efek samping yang jarang antara lain takikardia
supraventrikel.
 Efek toksik : Sistem hematopoetik, jantung, kulit, dan
pencernaan.
 Sediaan/kemasan : Injeksi dalam vial 10mg/5mL dan 50mg/25mL.
 Dosis : 45-60 mg/m 2 tiap 3-4 minggu atau 10-30 mg/m 2,
sekali seminggu.

B. ANTI VIRAL
4.4 Asiklovir
 Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik
(termasuk keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes
neonatal, dan herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes
zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan
dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan
zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.
 Kontraindikasi : merupakan suatu petunjuk mengenai kondisi-kondisi
dimana penggunaan obat tersebut tidak tepat atau tidak dikehendaki dan
kemungkinan berpotensi membahayakan jika diberikan. Pemberian

36
Acyclovir dikontraindikasikan pada kondisi-kondisi berikut ini:
Hipersensitif terhadap Acyclovir.
 Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian.
Misalnya, iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical; sakit kepala;
diare; mual ;dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan
fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang
menerima obat secara intravena.
 Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk
herpes zoster ialah 4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis
herpetic adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk
herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi
VZV digunakan asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari.
4.5 Gansiklovir
 Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien
immunocompromised ( misalnya : AIDS ), baik untuk terapi atau
pencegahan.
 Kontraindikasi : merupakan suatu petunjuk mengenai kondisi-kondisi
dimana penggunaan obat tersebut tidak tepat atau tidak dikehendaki dan
kemungkinan berpotensi membahayakan jika diberikan. Pemberian
Cymevene dikontraindikasikan pada kondisi-kondisi berikut ini:
Hipersensitivitas. Pasien dengan nilai absolut neutrofil < 500
sel/mikroliter. Hamil & laktasi.
 Interaksi obat : merupakan suatu perubahan aksi atau efek obat sebagai
akibat dari penggunaan atau pemberian bersamaan dengan obat lain,
suplemen, makanan, minuman, atau zat lainnya. Interaksi obat Cymevene
antara lain: Probenecid menurunkan kadar bersihan ganciclovir.
Zidovudine, imipenem-cilastatin.
 Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan
gansiklovir. Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan
trombositopenia terjadi pada 5-20 %. Zidovudin dan obat sitotoksik lain
dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas gansiklovir. Obat-obat
nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir. Probenesit dan

37
asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni
stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong
dalam penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.
 Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X
5 mg/kg, setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian
maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg ).
Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local
CMV retinitis.
4.6 Famsiklovir
 Efek samping : termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan
percobaan menujukan peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan
toksisitas testicular.
 Indikasi : Herpes zoster, herpes simpleks genital akut, herpes genital
kambuhan.
 Kontra Indikasi : Hati-hati penggunaan pada gangguan hati, kehamilan,
dan menyusui. Tidak dianjurkan penggunaan pada anak.
 Sediaan : Tablet 30 mg, 50 mg, 100 mg, 125 mg, 250 mg, 500 mg, 750
mg, Ampul 50 mg/ml.
 Dosis : Herpes zoster 250 mg, 3 kali sehari selama 7 hari atau 750mg,
sekali sehari selama 7 hari. (pada pasien imunokompromise 500mg, 3 kali
sehari selama 10 hari).
Herpes genital (kelamin) Infeksi pertama : 250mg, 3 kali sehari selama 5
hari (dapat diperpanjang apabila dalam masa terapi masih muncul lesi
baru) Herpes kambuh : 125 mg, dua kali sehari selama 5 hari (pada pasien
imunokompromise atau HIV positif 500 mg, dua kali sehari selama 5-10
hari) Terapi supresif : 250 mg, dua kali sehari, evaluasi setiap 6-12 bulan.
4.7 Fenobarbital
 Sediaan : Tablet 30 mg, 50 mg, 100 mg, Ampul 50 mg/ml.
 Indikasi : merupakan petunjuk mengenai kondisi medis yang
memerlukan efek terapi dari suatu produk kesehatan (obat, suplemen, dan
lain-lain) atau kegunaan dari suatu produk kesehatan untuk suatu kondisi
medis tertentu. Berikut ini indikasi dari Phenobarbital: Kejang umum

38
tonik-klonik; kejang parsial; kejang pada neonatus; kejang demam; status
epileptikus Pengelolaan insomnia jangka pendek Meredakan kecemasan
dan ketegangan Meredakan gejala epilepsy
 Kontraindikasi : merupakan suatu petunjuk mengenai kondisi-kondisi
dimana penggunaan obat tersebut tidak tepat atau tidak dikehendaki dan
kemungkinan berpotensi membahayakan jika diberikan. Pemberian
Phenobarbital dikontraindikasikan pada kondisi-kondisi berikut ini:
Hipersensitif terhadap barbiturat atau komponen sediaan, gangguan hati
yang jelas, dispnea, obstruksi saluran nafas, porfiria, hamil.
 Efek Samping : merupakan suatu efek yang tidak diinginkan dari suatu
obat. Efek samping ini dapat bervariasi pada setiap individu tergantung
pada pada kondisi penyakit, usia, berat badan, jenis kelamin, etnis,
maupun kondisi kesehatan seseorang. Berikut ini beberapa efek samping
yang mungkin dapat terjadi setelah pemberian Phenobarbital:
Mengantuk, kelelahan, depresi mental, ataksia dan alergi kulit,
paradoxical excitement restlessness, bingung pada orang dewasa dan
hiperkinesia pada anak; anemia megaloblastik( dapat diterapi dengan
asam folat )
 Dosis : adalah takaran yang dinyatakan dalam satuan bobot maupun
volume (contoh: mg, gr) produk kesehatan (obat, suplemen, dan lain-
lain) yang harus digunakan untuk suatu kondisi medis tertentu serta
frekuensi pemberiannya. Biasanya kekuatan dosis ini tergantung pada
kondisi medis, usia, dan berat badan seseorang. Aturan pakai mengacu
pada bagaimana produk kesehatan tersebut digunakan atau dikonsumsi.
Berikut ini dosis dan aturan pakai Phenobarbital: Kejang umum tonik-
klonik, kejang parsial, per oral, DEWASA 60-180 mg saat malam;
ANAK sampai 8 mg/kg sehari Kejang demam, per oral, ANAK sampai 8
mg/kg sehari Kejang neonatal, injeksi intravena (larutkan 1:10 dengan air
untuk injeksi), neonatus 5-10 mg/kg tiap 20-30 menit sampai konsentrasi
plasma 40 mg/liter Status epileptikus, injeksi intravena (larutkan 1: 10
dengan air untuk injeksi), DEWASA 10 mg/kg dengan kecepatan tidak

39
lebih dari 100 mg/menit (sampai dosis maksimal 1 g); ANAK 5-10
mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 30 mg/menit.

40
BAB V
KEMOTERAPI

Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan


yang bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker.
Kemoterapi adalah upaya untuk membunuh sel-sel kanker dengan mengganggu
fungsi reproduksi sel. Kemoterapi merupakan cara pengobatan kanker dengan
jalan memberikan zat/obat yang mempunyai khasiat membunuh sel kanker.

5.1 Tujuan Kemoterapi


a. Pengobatan.
b. Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.
c. Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.
d. Mengurangi komplikasi akibat metastase.

5.2 Manfaat Kemoterapi


Manfaat Kemoterapi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
Kemoterapi atau beberapa jenis Kemoterapi.
b. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
c. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi
yang diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada
penderita, seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik
serta memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.

5.3 Konsep Kemoterapi


Suatu tumor ganas harus dianggap sebagai sejumlah sel yang
seluruhnya harus dibasmi (total cell-killed). Perpanjangan hidup pasien

41
berbanding langsung dengan jumlah sel yang berhasildibasmi dengan
pengobatan. Hal-hal di bawah ini perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
pengobatan.
a. Jumlah sel kanker
Kanker baru dapat dideteksi bila jumlah sel kanker kira-kira 109 . Jumlah
yang dapat dibasmi diperkirakan 99,9% jadi sel kanker yang tersisa
sekurang-kurangnya 106 sel. Jelas sulit mencapai pembasmian total,
karena itu diperlukan pengobatan jangka panjang. Untuk membasmi sel
tumor sampai jumlahnya cukup dapat dikendalikan oleh mekanisme
pertahanan tubuh (105).
b. Hubungan dosis dan respon yang jelas
Berkurangnya sel kanker ternyata berbanding lurus dengan dosis. Di lain
pihak, efek non terapi juga berbanding lurus dengan dosis. Pertimbangan
untung rugi harus dipertimbangkan secara sangat cermat.
c. Jadwal pengobatan yang tepat
Untuk dosis total yang sama, pemberian dosis besar secara intermiten
memberikan hasil yang lebih baik dan imunosupresi yang lebih ringan,
dibandingkan dengan pemberian dosis kecil setiap hari. Jaringan normal
memiliki kapasitas pemulihan yang lebih besar dari pada jaringan tumor.
Dengan dosis besar intermiten, dapat dibasmi sejumlah sel tertentu dengan
pengaruh minimal terhadap jaringan sehat. Dosis ulang diberikan segera
setelah terjadi pemulihan pasien dari efek samping antikanker.
d. Kemoterapi harus dimulai sedini mungkin
Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada keadaan dini jumlah sel
kanker lebih sedikit dan fraksi sel kanker yang dalam masa pertumbuhan
(yang sensitif terhadap obat) lebih besar. Selain itu kemungkinan
terdapatnya klonus resisten terhadap obat (drug resistant clonus) lebih
kecil ; obat lebih sukar mencapai bagian dalam tumor yang besar karena
buruknya vaskularisasi ; dan pasien dengan tumor yang kecil umumnya
masih berada dalam kondisi umum yang baik sehingga lebih tahan
terhadap efek samping kemoterapi dan sistem pertahanan tubuhnya masih
utuh.

42
e. Kemoterapi harus tertuju kepada sel kanker
Kemoterapi harus tertuju kepada sel kanker tanpa menyebabkan gangguan
menetap pada jaringan normal. Obat kanker yang ada pada saat ini
umumnya bersifat sitotoksik, baik terhadap sel normal maupun sel kanker.
Toksisitas terhadap sel normal selalu terjadi. Tetapi kenyataan bahwa
kemoterapi dapat berhasil menghasilkan pemulihan jangka panjang pada
leukemia limfositik akut membuktikan bahwa penyembuhan kanker dapat
dicapai dengan kemoterapi. Sel-sel yang cepat berproliferasi peka terhadap
pengobatan, tetapi untunglah kira-kira 15% sel sumsum tulang berada
dalam keadaan istirahat sehingga tidak peka terhadap obat.
Sel sistem imun yang juga rusak akibat kemoterapi menyebabkan infeksi
lebih mudah terjadi dan juga memberi peluang untuk pertumbuhan tumor.
Agaknya respons imun selular memegang peran penting dalam pertahanan
tubuh terhadap kanker. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
kemoterapi tambahan pada tumor paru-paru, setelah pembedahan yang
potensial kuratif, memperlihatkan frekuensi kekambuhan (recurrence rate)
yang lebih tinggi, diduga akibat efek imunosupresif kemoterapi.
f. Sifat pertumbuhan tumor ganas
Sifat pertumbuhan tumor ganas harus menjadi pertimbangan. Pertumbuhan
tumor mengikuti fungsi Gompertizan, mula-mula bersifat eksponensial
kemudian bersifat lambat (banyak sel berada dalam G0). Apabila polulasi
tumor dikurangi misalnya dengan radiasi atau penyinaran maka sel sisa
berkembang secara eksponensial kembali dan menjadi lebih peka terhadap
kemoterapi. Protokol pengobatan atas dasar tersebut telah diterapkan pada
manusia. Juga mungkin pada waktu tumor primer tidak tumbuh pesat lagi,
anak sebarnya masih dalam pertumbuhan eksponensial sehingga lebih
peka terhadap kemoterapi.
g. Pertimbangan beberapa sitostatik dan hormon
Beberapa sitostatik dan hormon memperlihatkan efek selektif relatif
terhadap sel dengan tipe histologik tertentu. 5-fluorourasil lebih efektif
terhadap tumor gastrointestinal dari pada tumor payudara, dan bleomisin
lebih efektif terhadap kanker kulit. Hormon kelamin efektif terhada tumor

43
payudara, tumor prostat dan tumor endometrium yang fisiologik
dipengaruhi hormon tersebut ; demikian juga kortikosteroid terhadap
tumor limfoid.
h. Terapi kombinasi
Dasar pemberian dua atau lebih antikanker ialah untuk mendapatkan
sinergisme tanpa menambah toksisitas. Selain meningkatkan indeks terapi,
kemoterapi kombinasi mungkin juga dapat mencegah atau menunda
terjadinya resistensi terhadap obat-obat ini. Untuk mencapai hasil yang
baik terapi kombinasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Masing-masing obat harus memiliki mekanisme kerja yang
berbeda.
b) Efek toksik masing-masing obat harus berbeda, sehingga dapat
diberikan dengan dosis maksimum yang masih dapat diterima
pasien.
c) Masing-masing obat harus diberikan pada masa siklus sel, dimana
obatnya paling efektif.
Dosis masing-masing obat pada terapi kombinasi harus ditentukan
melalui penelitian atau pengalaman yang disertai pengetahuan mendalam
mengenai farmakologi obat mau pun penyakitnya.
Kemoterapi kombinasi telah terbukti efektif pada leukemia akut,
penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, karsinoma mama, karsinoma
testis, karsinoma ovarium, karsinoma saluran cerna, neuroblastoma pada
anak, tumor Wilms, dan sarkoma osteogenik. Alkilator (klorambusil) dan
vinblsatin memberikan efek aditif atau sinergistik pada penyakit Hodgkin.
Kombinasi tioguanin dan sitosin arabinosid atau metotreksat dan
sitosin arabinosid bekerja sinergistik untuk mengobati leukemia. Pada
kombinasi terakhir ini jarak waktu antara pemberian kedua obat sangat
kritis (penting) untuk mencapai efek maksimum. Jarak waktunya tidak
boleh melebihi beberapa jam saja.
Satu contoh lagi dimana jarak waktu sangat penting ialah
kombinasi antara metotreksat dan asparaginase. Bilamana asparaginase
diberikan 24 jam setelah metotreksat, ditemukan efek antikanker yang

44
sinergistik terhadap beberapa tumor limfoid eksperimental dan leukemia
limfosit akut pada manusia.
Pednison dengan dosis tinggi telah digunakan dengan satu atau
lebih obat (vinkristin, siklofosfamid, metotreksat, atau merkaptopurin)
untuk mengobati leukemia akut dan leukemia limfoblastik pada anak.
Jumlah pasien yanng mencapai remisi dengan salah satu kombinasi ini
lebih besar dari pada masing-masing obat tunggal.
Beberapa tahun terakhir ini ditemukan faktor perangsang koloni-
makrofag (macrophage-colony stimulating factor, M-CSF), faktor
perangsang koloni-granulosit (granulocyte-kolony stimulating factor, G-
CSF), faktor penstimulasi granulosit-makrofag (GM-CSF), dan faktor
perangsang multipotensial (multi-GSF). Zat perangsang ini didapat dengan
teknik kloning. Data sementara menyimpulkan bahwa faktor perangsang
ini menurunkan insidens infeksi sehubungan depresi sumsum tulang akibat
kemoterapi, mengurangi lama perawaan dan memungkinkan pemberian
dosis antikanker yang lebih tinggi untuk membasmi sel kanker.

45
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Topotecan (Rx). https://reference.medscape.com/drug/hycamtin-


topotecan-342254. Diakses tanggal 29 Maret 2020

Anonim. 2020. Topotecan (Deskripsi Profesional).


https://www.mp.pl/pacjent/leki/subst.html?id=3525. Diakses tanggal 29
Maret 2020.

Afirda, Siti. 2016. Natural Product Anticancer : Chemotherapy Drugs.


https://www.slideshare.net/avirdhaa/farmakologi-anti-cancer-natural-produc
t-cancer-chemotherapy-drug. Diakses tanggal 26 Maret 2020.

Gunawa, Sulistia Gan (ed). 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI. 737-762.

Pane, Mery Dame Cristy. 2020. Busulfan. https://www.alodokter.com/busulfan.


Diakses tanggal 28 Maret 2020.

Sobur, cecep suryani. 2019. Sejarah Kemoterapi. https://caiherang.com/sejarah-


kemoterapi/. Diakses tanggal 28 Maret 2020.

Wathoni, Nasrul, 2016. Sejarah Penting Penemuan Obat Kanker dari Ratusan
Tahun Lalu hingga Kini. https://gudangilmu.farmasetika.com/sejarah-
penting-penemuan-pengobatan-kanker-dari-ratusan-tahun-lalu-hingga-kini/.
Diakses tanggal 26 Maret 2020.

Wulansari, Ayu. 2017. Farmakologi Siklofosfamid.


https://www.alomedika.com/obat/antineoplastik/sitotoksik/siklofosfamid/far
makologi. Diakses tanggal 26 Maret 2020.

- https://obiceiurirevelion2011.blogspot.com/2013/09/sejarah-penyakit-
herpes.html. Diakes tanggal 28 maret 2020

46
- https://karyacombirayang.blogspot.com/2015/10/makalah-herpes.html.
Diakses tanggal 25 maret 2020
- https://www.alodokter.com/obat-antivirus. Diakses tanggal 29 maret 2020
- https://smart-pustaka.blogspot.com/2011/09/interferon.html. Diakses tanggal
29 maret 2020
- http://docshare01.docshare.tips/files/12716/127166416.pdf. Diakses 29 maret
2020
- https://haris715.blogspot.com/2013/02/penggolongan-obat-anti-virus.html.
Diakses 29 maret 2020
- https://may.healthherocoaching.com/daklatasvir-pobochnye-dejstvija.php.
Diakses 29 maret 2020
- https://waodesarmimin.blogspot.com/2015/03/biologi-molekuler.html.
Diakses 29 maret 2020
- https://jundapakiringan.blogspot.com/2011/10/. Diakses 29 maret 2020
- https://www.farmasi-id.com/acyclovir/ . Diakses 29 maret 2020
- https://www.farmasi-id.com/cymevene/ . Diakses 29 maret 2020
- https://www.farmasi-id.com/famciclovir/ . Diakses 29 maret 2020
- https://www.farmasi-id.com/phenobarbital/. Diakses 29 maret 2020
- https://www.alomedika.com/obat/antiinfeksi/antivirus/asiklovir/farmakologi.
Diakses 29 maret 2020

47

Anda mungkin juga menyukai