Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KELOMPOK

“HANDLING SITOSTATIK”

OLEH:

ARNIATI AGUS
RISNAWATI .N
SISKARIYAWARI SUBHANUDDIN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER ANGKATAN III


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan

makalah Farmasi Rumah Sakit ini dengan dengan tepat waktu meskipun banyak

kekurangan di dalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Handling Sitostatik Kami juga

menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh

dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan

demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,

mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri

maupun orang yang membacanya.

Raha, Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan ................................................................................................
D. Manfaat...............................................................................................

BAB II TUNJAUAN PUSTAKA...................................................................


A. Defenisi dari Sitostatik.........................................................................
B. Peracikan obat sitostatik......................................................................
C. Penanganan limbah sitostatik.............................................................
D. Bagian Ruangan dan Fungsi Sitostatik..............................................
E. Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan......................................
F. Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk Cytotoxic
Handling ...............................................................................................
BAB VI PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan…………………………………………………….........
B. Saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak jaman dahulu dikenal beberapa cara pengobatan untuk

menyembuhkan penyakit kanker. Cara paling tua adalah pembedahan,

kemudian menyusul penyinaran terhadap sel-sel tumor ganas yang peka sinar

gamma dan dengan perkembangan pengetahuan mengenai struktur, fungsi,

proliferasi sel dan mekanisme regulasi didalamnya, pengobatan kimiawi pada

tahun-tahun terakhir maju dengan pesat.

Sitostatika merupakan salah satu pengobatan kanker yang paling banyak

menunjukkan kemajuan dalam pengobatan penderita kanker. Karena itu pula

harapan dan tumpuan dunia medis terhadap efek pengobatan dengan sitostatika

terus meningkat. Sejalan dengan harapan tersebut upaya menyembuhkan atau

sekurangnya mengecilkan ukuran kanker dengan sitostatika terus

meluas.Prosedur penanganan obat sitostatika yang aman perlu dilaksanakan

untuk mencegah risiko kontaminasi pada personel yang terlibat dalam

preparasi, transportasi, penyimpanan dan pemberian obat sitostatika. Potensial

paparan pada petugas pemberian sitostatika telah banyak diteliti. Falck dkk,

th.1979 melaporkan bahwa perawat yang bekerja pada ward kemoterapi tanpa

perlindungan yang memadai menunjukkan aktivitas mutagenik yang signifikan

lebih besar dari pada control subject. Toksisitas yang sering dilaporkan

berkenaan dengan preparasi dan handling sitostatika berupa toksisitas pada

liver, neutropenia ringan, fetal malformation, fetal loss, atau kasus timbulnya
kanker. Tahun 1983 Sotaniemi, dkk. Melaporkan adanya kerusakan liver pada

3 orang perawat yang bekerja pada ward oncology. Di dua rumah sakit di Italy

telah dilakukan penelitian ditemukan cyclophosphamide dan ifosfamide dalam

urine perawat dan staf farmasi yang tidak mengikuti peraturan khusus dalam

menangani obat-obat kanker.

Selain untuk melindungi petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat

kanker, preparasi obat sitostatika secara aseptis diperlukan untuk 3 tujuan,

meliputi Produk harus terlindung dari kontaminasi microba dengan teknik

aseptis, Personal yang terlibat harus terlindung dari exposure bahan berbahaya,

dan Lingkungan harus terhindar dari paparan bahan berbahaya, serta

terpaparnya obat sitostatika kedalam tubuh dapat melalui inhalasi, absorpsi,

atau ingestion.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah sebagai

berikut :

1. Apa defenisi dari Sitostatik ?

2. Bagaimana peracikan obat sitostatik ?

3. Bagaimana penanganan limbah sitostatik ?

4. Bagian Ruangan dan Fungsi Sitostatik ?

5. Apa saja Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan ?

6. Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk Cytotoxic Handling ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui defenisi dari Sitostatik

2. Untuk mengetahui bagaimana peracikan obat sitostatik

3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan limbah sitostatik

4. Untuk mengetahui Bagian Ruangan dan Fungsi Sitostatik

5. Untuk mengetahui Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan

6. Untuk mengetahui Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk

Cytotoxic Handling

D. Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Dapat mengetahui defenisi dari Sitostatik

2. Dapat mengetahui bagaimana peracikan obat sitostatik

3. Dapat mengetahui bagaimana penanganan limbah sitostatik

4. Dapat mengetahui Bagian Ruangan dan Fungsi Sitostatik

5. Dapat mengetahui Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan

6. dapat mengetahui Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk

Cytotoxic Handling
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi dari Sitostatik

Senyawa sitoksik adalah suatu senyawa atau zat yang dapat merusak

dan sel normal dan juga sel kanker, serta digunakan untuk menghambat

pertumbuhan dari sel tumor maliginan. Istilah dari toksisitas juga dapat

digunakan untuk zat-zat yang bersifat genotoksik, mutagenik, onkogenik,

teratogenik, dan zat-zat yang bersifat berbahaya (Sarce, 2009).

Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara

fraksional (fraksi tertentu mati), sehingga 90% berhasil dan 10% tidak berhasil.

Pemberian obat sitotoksik sering dikenal sebagai obat kemoterapi

antineoplastik dan antikanker. Obat sitotoksik adalah suatu obat yang

ditunjukkan untuk terapi tetapi tidak terbatas hanya pada pengobatan kanker

saja. Obat-obat ini adalah suatu obat yang dikenal sangat beracun untuk sel,

karena kemampuannya dapat mengganggu reproduksi sel. Obat sitotoksik di

ekresikan melalui ginjal dan hati (Gippsland Oncology Nurses Group, 2010).

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, 2004)

mengemukakan bahwa bekerja dengan atau dekat dengan obat-obat berbahaya

ditatanan kesehatan dapat menyebabkan ruam kulit, kemandulan, keguguran,

kecacatan bayi, dan kemungkinan terjadi leukemia dan kanker lainnya (Ni

Nyoman, 2016).

Obat sitotoksik adalah agen yang ditujukan untuk terapi, khususnya

pada pengobatan kanker. Obat ini diketahui sangat beracun bagi sel-sel,
terutama melalui tindakannya pada reproduksi sel. Obat sitotoksik

semakin sering digunakan dalam berbagai pengaturan kesehatan, laboratorium

dan klinik hewan untuk pengobatan kanker dan kondisi medis lainnya seperti

rheumatoidarthritis, multiple sclerosis dan kelainan auto-imun.

Obat sitotoksik mencakup obat yang menghambat atau mencegah

fungsi sel. Obat sitotoksik termasuk obat-obatan yang terutama digunakan

untuk mengobati kanker, sering sebagai bagian dari rezim kemoterapi. Bentuk

yang paling umum dari obat sitotoksik dikenal sebagai antineoplastik. Obat

sitotoksik memiliki efek mencegah pertumbuhan yang cepat dan pembagian

(mitosis) sel kanker . Namun, obat sitotoksik juga mempengaruhi

pertumbuhan sel-sel lain membagi cepat dalam tubuh seperti folikel

rambut dan lapisan dari sistem pencernaan. Sebagai hasil dari pengobatan,

banyak sel-sel normal yang rusak bersama dengan sel-sel kanker.

Obat sitotoksik dan limbah yang terkait dapat terjadi di mana

kontrol tindakan gagal atau tidak di tempat. Paparan dapat terjadi melalui

kontak kulit, menghirup aerosol dan partikel obat , dan luka benda tajam.

Paparan dapat terjadi ketika : mempersiapkan obat, memberikan obat-obatan,

mengangkut obat, penanganan limbah pasien, dan mengangkut dan membuang

limbah.

B. Peracikan obat sitostatik

Menurut Buku Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan

Obat Sitostatika, tahun 2009,

1. Penyiapan
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntik, perlu

dilakukan langkah langkah sebagai berikut:

1. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip

5 BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian)

2. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomer

batch, tgl kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan.

3. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak

jelas/tidak lengkap.

4. Menghitung kesesuaian dosis.

5. Memilih jenis pelarut yang sesuai.

6. Menghitung volume pelarut yang digunakan.

7. Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis,

ruang perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal

pembuatan, dan tanggal kadaluarsa campuran.

8. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer rekam

medis, ruang perawatan, jumlah paket.

9. Melengkapi dokumen pencampuran

10. Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan

dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.

2. Pencampuran

Proses pencampuran obat suntik secara aseptis, mengikuti langkah –

langkah sebagai berikut:

1) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)


2) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur tetap

3) Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur tetap

4) Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan

dalam LAF

5) Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk bekas obat

6) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70 %

7) Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box

8) Melakukan pencampuran secara aseptis

Tehnik memindahkan obat dari ampul

1. Membuka ampul larutan obat:

a) Pindahkan semua larutan obat dari leher ampul dengan menget

b) ngetuk bagian atas ampul atau dengan melakukan gerakan J-motion.

c) Seka bagian leher ampul dengan alkohol 70 %, biarkan mengering.

d) Lilitkan kassa sekitar ampul.

e) Pegang ampul dengan posisi 45º, patahkan bagian atas ampul dengan

arah menjauhi petugas. Pegang ampul dengan posisi ini sekitar 5

detik.

f) Berdirikan ampul.

g) Bungkus patahan ampul dengan kassa dan buang ke dalam kantong

buangan.

2. Pegang ampul dengan posisi 45º, masukkan spuit ke dalam ampul, tarik

seluruh larutan dari ampul, tutup needle


3. Pegang ampul dengan posisi 45º, sesuaikan volume larutan dalam syringe

sesuai yang diinginkan dengan menyuntikkan kembali larutan obat yang

berlebih kembali ke ampul.

4. Tutup kembali needle

5. Untuk permintaan infus Intra Vena , suntikkan larutan obat ke dalam

botol infus dengan posisi 45º perlahan-lahan melalui dinding agar tidak

berbuih dan tercampur sempurna.

6. Untuk permintaan Intra Vena bolus ganti needle dengan ukuran yang

sesuai untuk penyuntikan.

7. Setelah selesai, buang seluruh bahan yang telah terkontaminasi ke dalam

kantong buangan tertutup.

Tehnik memindahkan sediaan obat dari vial

1. Membuka vial larutan obat, meliputi (a) Buka penutup vial. (b) Seka

bagian karet vial dengan alkohol 70 %, biarkan mengering. (c)

Berdirikan vial (d) Bungkus penutup vial dengan kassa dan buang ke

dalam kantong buangan tertutup

2. Pegang vial dengan posisi 45º, masukkan spuit ke dalam vial.

3. Masukan pelarut yang sesuai ke dalam vial, gerakan perlahanlahan

memutar untuk melarutkan obat.

4. Ganti needle dengan needle yang baru.

5. Beri tekanan negatif dengan cara menarik udara ke dalam spuit kosong

sesuai volume yang diinginkan.

6. Pegang vial dengan posisi 45º, tarik larutan ke dalam spuit tersebut.
7. Untuk permintaan infus intra vena (iv) , suntikkan larutan obat ke dalam

botol infus dengan posisi 45º perlahan-lahan melalui dinding agar tidak

berbuih dan tercampur sempurna.

8. Untuk permintaan intra vena bolus ganti needle dengan ukuran yang

sesuai untuk penyuntikan.

9. Bila spuit dikirim tanpa needle, pegang spuit dengan posisi jarum ke atas

angkat jarum dan buang ke kantong buangan tertutup.

10. Pegang spuit dengan bagian terbuka ke atas, tutup dengan ”luer lock

cap”.

11. Seka cap dan syringe dengan alkohol. 12) Setelah selesai, buang

seluruh bahan yang telah terkontaminasi ke dalam kantong buangan

tertutup.

9) Memberi label yang sesuai untuk setiap spuit dan infus yang sudah berisi

obat hasil pencampuran.

10) Membungkus dengan kantong hitam atau alumunium foil untuk obat-obat

yang harus terlindung dari cahaya.

11) Memasukkan spuit atau infus ke dalam wadah untuk pengiriman.

12) Mengeluarkan wadah yang telah berisi spuit atau infus melalui pass box

13) Membuang semua bekas pencampuran obat ke dalam wadah pembuangan

khusus

3. Formulasi obat suntik

Obat-obat yang sediaannya berbentuk dry powder seperti amoksisilin

memerlukan rekonstitusi dengan aqua pro injeksi atau NaCl 0,9% sebelum
digunakan. Keuntungan dari sediaan berbentuk dry powder ini adalah dapat

disimpan dalam waktu yang lebih lama. Beberapa kelemahan dari sediaan

berbentuk dry powder adalah : a) Rekonstitusi menghabiskan waktu,

khususnya bila sediaan tersebut sulit untuk dilarutkan b) Dapat

terkontaminasi oleh lingkungan di sekitarnya dan terkontaminasi oleh

mikroba yang terdapat dalam pelarut c) Dapat terkontaminasi oleh mikroba.

d) Perhatian mungkin dibutuhkan jika obat mudah untuk ”foaming”

(berbusa), sebagai dosis yang tidak komplit memungkinkan untuk hilang

(withdrawn) contoh : teicoplanin e) Jika ampul dipatahkan, pecahan kaca

ampul tersebut dapat masuk kesediaan, melukai petugas serta percikan

sediaan dapat mencemari lingkungan sekitarnya. f) Jika sediaan

menggunakan vial timbul kesulitan memasukkan pelarut atau obat yang

telah direkonstitusi karena adanya tekanan dalam vial (beberapa vial dibuat

dengan tekanan didalamnya). Jika vial tersebut tidak memiliki tekanan di

dalamnya, maka udara perlu dikeluarkan terlebih dahulu sebelum

penambahan pelarut. Jumlah udara yang keluar masuk kedalam syringe

harus sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan. Sebelum

mengeliminasi obat yang telah direkonstitusi dari dalam vial, perbedaan

tekanan harus dihitung lagi. Udara perlu ditambahkan kedalam vial

sebanding dengan jumlah obat yang dieliminasi/ hilang.

4. Preparasi dari larutan yang memerlukan pelarut tambahan sebelum

digunakan
Contoh : Ranitidine, amiodaron Keuntungan dari preparasi ini adalah:

- Sudah berbentuk cairan, jadi tidak memerlukan proses rekonstitusi lagi

Kekurangan dari preparasi ini adalah : a) Waktu penggunaan untuk

eliminasi dan persiapan, b) Mudah mengalami gangguan/ masalah pada

vakum/ tekanan (untuk vial), c) Dapat menyebabkan pecahan gelas (untuk

ampul), d) Menyebabkan risiko kontaminasi mikrobakteri.

5. Preparasi tersedia (siap untuk digunakan) tanpa pelarut tambahan

Preparasi ini dapat berupa kantong atau ampul dengan volume kecil

yang dapat dibuat tanpa pelarut tambahan, tapi tetap mengandung larutan

obat untuk dieliminasi ke dalam syringe untuk pembuatan, contoh :

adenosine, gentamisin, metoklopramid. Hal ini sesuai/ cocok untuk

digunakan, namun tetap memiliki kekurangan, antara lain: a) Berbahaya

(kontaminasi mikrobakterial), b) Mudah mengalami gangguan/masalah pad

vakum/ tekanan (untuk vial), c) Dapat menyebabkan pecahan gelas (untuk

ampul)

6. Preparasi tersedia (siap untuk digunakan)

Preparasi ini termasuk kantong infus dan syringe yang belum diisikan

(pre-filled), contohnya: NaCl (Sodium Chloride) 0,9% 500 ml, morfin sulfat

60 mg dalam 60 ml PCA syringe. Keuntungannya adalah : a) Tidak ada

risiko kontaminasi lingkungan, b) Kecilnya kontaminasi mikrobakteri, c)

Mudah digunakan, d) Menghemat waktu.

Beberapa vial didesain dengan tekanan di dalamnya, hal ini diperlukan

karena berguna selama proses rekonstitusi. Jika vial tersebut tidak memiliki
tekanan di dalamnya, maka udara harus dikeluarkan terlebih dahulu

sebelum penambahan pelarut. Jumlah udara yang dikeluarkan harus sama

dengan jumlah pelarut yang ditambahkan. Sebelum mengeluarkan obat

yang telah direkonstitusi dari dalam vial perbedaan tekanan harus dihitung

lagi, sehingga udara perlu ditambahkan kedalam vial sebanding dengan

jumlah obat yang di keluarkan.

7. Cara Pemberian

1) Injeksi Intravena (i.v.) Injeksi intravena dapat diberikan dengan berbagai

cara, untuk jangka waktu yang pendek atau untuk waktu yang lama, a)

Injeksi bolus Injeksi bolus volumenya kecil ≤ 10 ml, biasanya diberikan

dalam waktu 3-5 menit kecuali ditentukan lain untuk obat-obatan

tertentu, b) Infus Infus dapat diberikan secara singkat (intermittent) atau

terus-menerus (continuous).

a. Infus singkat (intermittent infusion) Infus singkat diberikan selama 10

menit atau lebih lama. Waktu pemberiaan infus singkat sesungguhnya

jarang lebih dari 6 jam per dosis.

b. Infus kontinu (continuous infusion) Infus kontinu diberikan selama 24

jam. Volume infus dapat beragam mulai dari volume infus kecil

diberikan secara subkutan dengan pompa suntik (syringe pump),

misalnya 1 ml per jam, hingga 3 liter atau lebih selama 24 jam,

misalnya nutrisi parenteral.


2) Injeksi intratekal Injeksi intratekal adalah pemberian injeksi melalui

sumsum tulang belakang. Volume cairan yang dimasukkan sama dengan

volume cairan yang dikeluarkan.

3) Injeksi subkutan Injeksi subkutan adalah pemberian injeksi di bawah

kulit.

4) Injeksi intramuskular Injeksi intramuskular adalah pemberiaan injeksi di

otot.

C. Penanganan Sediaan Sitostatik

Penanganan sediaan sitostatika merupakan penanganan obat kanker

secara

aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga

farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap

lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi,

dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) mengamankan pada saat

pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai

pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan

melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri

yang memadai.

Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: a) Melakukan

perhitungan dosis secara akurat, b) Melarutkan sediaan obat kanker dengan

pelarut yang sesuai, c) Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol

pengobatan, d) Mengemas dalam kemasan tertentu, e) Membuang limbah


sesuai prosedur yang berlaku (Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2014).

Faktor yang perlu diperhatikan :

a. Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai

b. Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet

c. HEPA filter

d. Alat Pelindung Diri (APD)

e. Sumber daya manusia yang terlatih

f. Cara pemberian obat kanker (Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2014).

D. Bagian Ruangan dan Fungsi Sitostatik

Penanganan sitostatika memerlukan ruangan khusus dan terkontrol.

Letak ruangan diusahakan tidak untuk lalu lintas orang. Ruangan ini terdiri

dari:

1. Ruang persiapan

Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan alat

kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, penghitungan dosis dan volume

cairan) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

2. Ruang cuci tangan dan ganti

Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci tangan dan

mengenakan alat pelindung diri (APD) (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2009). Penyekat udara sebaiknya dipasang di antara mesin atau


bak cuci dan drainase. Ruang ganti pakaian hanya digunakan untuk personil

dan tidak digunakan untuk lalu lintas bahan, wadah dan peralatan. Ruang

ganti pakaian sebaiknya didesain seperti ruang penyangga udara dan

digunakan sebagai pembatas fisik untuk berbagai tahap penggantian pakaian

agar dapat memperkecil cemaran mikroba dan partikulat terhadap pakaian

pelindung (National Coordinating Committee on Therapeutic Goods, 1994).

3. Ruang antara

Petugas yang akan masuk ke ruang steril melalui suatu ruang antara.

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

4. Ruang bersih (clean room)

LAFC harus diletakkan di sebuah clean room (ruang bersih). Clean

room merupakan ruangan khusus yang dibuat dengan pengendalian terhadap

ukuran dan jumlah partikel. Ruangan ini dirancang untuk mencegah partikel

masuk dan tertahan dalam ruangan, pengendalian juga dilakukan terhadap

suhu, kelembaban, dan tekanan udara (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2009).

Ruang bersih (clean room) dirancang agar memiliki tekanan positif

(10-15 Pascal) dan aliran udara mengelilingi seluruh ruangan dengan

kecepatan yang rendah untuk menghindari kontaminasi produk.

Pergantian/perputaran udara di dalam ruangan dibutuhkan minimal 20 kali

dalam satu jam. Semakin banyak jumlah partikel yang diijinkan dalam suatu

ruangan, maka perputaran udara per jam harus semakin ditingkatkan. Agar

udara yang masuk ke dalam ruangan adalah udara steril/ bebas partikel,
maka digunakan HEPA Exhaust filter. HEPA filter biasanya diletakkan

pada jarak dua meter dari tepi ruangan (dinding ruangan). Rentang

temperatur pada clean room adalah 18-22oC. Kelembapan udara yang

diharapkan berada pada rentang 30%-70% (Connor et al., 2007)

E. Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan

Adapun fasilitas yang diperlukan dalam cytotoxic clean room antara lain:

1. Kelengkapan alat pelindung diri (APD)

Kelengkapan ini terdiri dari : 1) Baju Pelindung, Baju Pelindung ini

sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable (tidak tembus cairan), tidak

melepaskan serat kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup di

bagian depan. 2) Sarung tangan, Sarung tangan yang dipilih harus memiliki

permeabilitas yang minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan

bagi petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung

tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder free). Khusus untuk

penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis. 3) Kacamata

pelindung, Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

2. Pass Box

Jendela antara ruang administrasi dan ruang aseptik berfungsi untuk

keluar masuknya obat ke dalam ruang aseptik (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2009).

3. Laminar Air Flow (LAF)


Mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi tingkat

tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai : 1) Penyaring bakteri dan bahan-

bahan eksogen di udara. 2) Menjaga aliran udara yang konstan diluar

lingkungan. 3) Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.

Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan

steril: 1) Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow). Aliran udara

langsung menuju ke depan, sehingga petugas tidak terlindungi dari partikel

ataupun uap yang berasal dari ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk

pencampuran obat steril non sitostatika. 2) Aliran Udara Vertikal (Vertical

Air Flow). Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari petugas

sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman. Untuk penanganan

sediaan sitostatika menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet

(BSC) kelas II dengan syarat tekanan udara di dalam BSC harus lebih

negatif dari pada tekanan udara di ruangan (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2009).

F. Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk Cytotoxic Handling

Alat pelindung diri harus disediakan untuk setiap personil yang terlibat

didalam persiapan dan pecampuran obat sitotoksik. Ada beberapa alat

pelindung

diri (APD) yang diperlukan dalam pembuatan obat sitotoksik, antara lain:

1. Gowns, Gowns membantu meminimalkan paparan obat berbahaya pada

petugas kesehatan dan digunakan sebagai penghalang fisik dari partikel


asing yang dihasilkan selama proses peracikan untuk mengurangi resiko

kontak kulit langsung dengan obat-obatan berbahaya (SA Health, 2012).

Gambar 1. Gowns

2. Pelindung Kepala (Headwear)

Pelindung kepala digunakan untuk melindungi rambut dan

meminimalkan kontaminasi obat-obatan berbahaya. Penutup kepala juga

harus menutup rambut yang terlihat seperti kumis dan jenggot. Pelindung

kepala dapat pula dikatakan sebagai pelindung rambut (hair covering)

karena pelindung kepala melindung semua rambut yang terlihat pada kepala

(SA Health, 2012).


Gambar 2. Pelindung Kepala

3. Pelindung kaki (Footwear) dan Overshoes

Pelindung kaki (footwear) digunakan untuk melindungi kaki dengan

mempertimbangkan terhadap paparan sitotoksik, tumpahan cairan, dan

bahaya yang lainnya. Overshoes digunakan untuk meminimalkan

penyebaran kontaminasi partikel dari sepatu yang dikenakan oleh operator

(Stull, 1998).

Gambar 3. Footwear dan Overshoes

4. Sarung Tangan (Gloves)


Penggunaan sarung tangan pada sitostatika handling sangat penting.

Sarung tangan digunakan untuk memberikan perlindungan dengan cara

mengurangi daya permeabilitas dan meminimalkan paparan yang bersifat

toksisitas. Dalam penerapannya digunakan double gloves untuk

meningkatkan perlindungan dan mencegah penembusan /perembesan obat

yang bersifat sitotoksik (SHPA, 2005). Double gloves umumnya berbahan

natural rubber latex karena natural rubber latex memiliki elastisitas yang

tinggi (Kimberly-Clark, 2001).

Gambar 4. Gloves

5. Pelindung mata (Eye Protection)

Dianjurkan untuk memakai pelindung mata (kacamata pelindung atau

visor) setiap memproses obat sitotoksik atau ketika membersihkan

tumpahan yang mengandung obat sitotoksik. Pelindung mata harus

melindungi seluruh bagian mata dari debu dan percikan saat pembuatan

obat, dan harus mudah dicuci dengan air setelah penggunaannya (OSH,

1997).
Gambar 5. Pelindung Mata

6. Respiratory Protective Equipment dan Masker

Respiratory protection digunakan pada wajah untuk menutupi hidung

dan mulut yang tujuannya melindungi saluran pernafasan dari bahan kimia

beracun serta melindungi dari tumpahan cairan serta melindungi saluran

pernafasan dari paparan obat sitotoksik maupun partikel gas dan zat yang

mudah menguap sehingga partikel tersebut tidak terhirup dan tidak masuk

saluran pernafasan (Coia et al., 2013). Masker pelindung partikel harus

digunakan ketika memperlakukan bahan yang dapat menghasilkan uap.

Dalam menggunakan pelindung pernafasan harus memperhatikan

pemilihan pelindung mata agar letaknya sesuai. Masker digunakan untuk

melindungi saluran pernafasan dan mencegah masuknya partikel-partikel

yang ke dalam saluran nafas (SHPA, 2005).

Gambar 6. Respiratory Protective Equipment (OSHA, 2009).


Gambar 7. Masker

G. Penanganan Limbah Sitostatik

Penanganan limbah sitostatik, meliputi sebagai berikut :

1. Pisahkan limbah sitostatika dengan limbah lain

2. Pengambilanlimbah dari seluruh bagian RS menggunakan APD komplit

3. Label khusus limbah berbahaya dan beracun , bukan limbah infeksius

4. Pastikan jalan khusus menuju tempat pengelolaan limbah( bukan jalan

umum ,lalu lalang orang)

5. Masukkan insenerator suhu > 1000 derajat Celcius atau inaktivasi dgn

bahan nickel-aluminium dalah alkohol.

Pengelolaan Limbah Sitostatika

Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran sediaan sitoatatika

(seperti: bekas ampul,vial, spuit, needle,dll) harus dilakukan sedemikian rupa

hingga tidak menimbulkan bahaya pencemaran terhadap lingkungan.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD).

b. Tempatkan limbah pada wadah buangan tertutup. Untuk bendabenda tajam

seperti spuit vial, ampul, tempatkan di dalam wadah yang tidak tembus
benda tajam, untuk limbah lain tempatkan dalam kantong berwarna (standar

internasional warna ungu) dan berlogo sitostatik

c. Beri label peringatan pada bagian luar wadah

d. Bawa limbah ke tempat pembuangan menggunakan troli tertutup.

e. Musnahkan limbah dengan incenerator 1000ºC.

f. Cuci tangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara

fraksional (fraksi tertentu mati), sehingga 90% berhasil dan 10% tidak

berhasil.

2. Pemberian obat sitotoksik sering dikenal sebagai obat kemoterapi

antineoplastik dan antikanker. Obat sitotoksik adalah suatu obat yang

ditunjukkan untuk terapi tetapi tidak terbatas hanya pada pengobatan kanker

saja. Obat-obat ini adalah suatu obat yang dikenal sangat beracun untuk sel,

karena kemampuannya dapat mengganggu reproduksi sel. Obat sitotoksik di

ekresikan melalui ginjal dan hati

B. Saran

Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para tenaga

kesehatan dalam melaksanakan penanganan sediaan sitostatika yang sesuai

dengan prosedur tetap (SPO) khususnya dalam menangani obat-obat

sitostatika.
DAFTAR PUSTAKA

Airley, Rachel. (2009). Cancer Chemotherapy: Basic Science to the Clinic. United
Kingdom: John Willey and Scots Ltd, p. 55-56
Gippsland Oncology Nurses Group. 2010. GONG Cancer Care Guidelines. Safe
Handling Of Cytotixic SubtancesJacobson, Joseph. 2009. American Society
of Clinical Oncology/ Oncology Nursing Society Chemotherapy
Administration Safety Standards. America; American Society of Clinical
Oncology.
Buku Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Obat Sitostatika,
2009. Jakatra.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Jakarta.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004.
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Anda mungkin juga menyukai