Anda di halaman 1dari 68

FARMAKOLOGI

OBAT GAGAL JANTUNG

Oleh:
 Khafidul Nilla Adkaini (P27820719020)
 Salsabila Dharma Ananda (P27820719031)
Pengertian Penyakit Gagal Jantung
• Gagal jantung (Heart Failure) merupakan suatu keadaan
yang terjadi saat jantung gagal memompakan darah dalam
jumlah yang memadai untuk mencukupi kebutuhan
metabolisme atau jantung dapat bekerja dengan baik hanya
bila tekanan pengisian dinaikkan.
• Gagal jantung juga merupakan suatu keadaan akhir dari
setiap penyakit jantung, termasuk aterosklerosis pada arteri
koroner, infark miokardium, kelainan katup jantung,
maupun kelainan kongenital.
Patofisiologi Penyakit Gagal Jantung
Patofisiologi utama gagal jantung adalah pengurangan
efisiensi otot jantung, melalui kerusakan atau kelebihan
beban. Hal itu dapat disebabkan oleh sejumlah besar
kondisi, termasuk infark miokard (otot jantung
kekurangan oksigen dan mati), hipertensi (yang
meningkatkan kekuatan kontraksi yang diperlukan untuk
memompa darah) dan amiloidosis (salah lipatannya
protein disimpan dalam otot jantung, menyebabkannya
menjadi kaku). Seiring waktu peningkatan beban kerja ini
akan menghasilkan perubahan pada jantung itu sendiri
Disfungsi Sistolik pada Gagal Jantung
Digambarkan sebagai kegagalan fungsi pompa jantung dan ditandai
dengan penurunan fraksi ejeksi (kurang dari 45%). Kekuatan kontraksi
ventrikel dilemahkan dan tidak memadai untuk membuat volume stroke
yang memadai, sehingga curah jantung tidak memadai. Secara umum, ini
disebabkan oleh disfungsi atau penghancuran miosit jantung atau
komponen molekulnya.
Karena ventrikel tidak cukup dikosongkan, tekanan dan volume
ventrikel akhir meningkat. Ini ditransmisikan ke atrium. Di sisi kiri jantung,
peningkatan tekanan ditransmisikan ke pembuluh darah paru-paru, dan
tekanan hidrostatik yang dihasilkan lebih menyukai ekstravasasi cairan ke
parenkim paru-paru, menyebabkan edema paru. Di sisi kanan jantung,
peningkatan tekanan ditransmisikan ke sirkulasi vena sistemik dan kapiler
sistemik, mendukung ekstravasasi cairan ke dalam jaringan organ target
dan ekstremitas, sehingga menyebabkan edema perifer yang tergantung.
Disfungsi Diastolik
Umumnya digambarkan sebagai kegagalan belakang
ventrikel untuk cukup rileks dan biasanya menunjukkan
dinding ventrikel yang lebih kaku. Disfungsi diastolik
dapat disebabkan oleh proses yang serupa dengan yang
menyebabkan disfungsi sistolik, terutama penyebab
yang memengaruhi remodeling jantung.
Penyebab Penyakit Gagal Jantung

Banyak kondisi atau penyakit yang dapat menjadi penyebab gagal jantung, antara
lain:
 Penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab gagal
jantung yang paling sering. Penyakit ini terjadi akibat penyempitan pada pembuluh
darah yang memasok darah ke jantung.
 Hipertensi menyebabkan jantung bekerja lebih keras dalam memompa dan
mengedarkan darah ke seluruh tubuh, sehingga menimbulkan penebalan otot
jantung. Jika dibiarkan, otot jantung akan melemah dan jantung tidak lagi mampu
memompa darah secara efektif. Hal inilah yang membuat gagal jantung dapat
terjadi akibat komplikasi hipertensi.
 Diabetes. Selain penderita diabetes rentan terkena penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama gagal jantung, gula darah yang tinggi juga dapat
merusak jantung.
Selain sejumlah penyakit tersebut, ada beberapa hal
yang juga membuat seseorang lebih berisiko mengalami
gagal jantung, yaitu:
• Memiliki berat badan berlebih.
• Memiliki kebiasaan merokok.
• Hobi mengonsumsi makanan tinggi lemak dan
kolesterol.
• Kurang olahraga.
• Mengonsumsi alkohol secara berlebihan.
Gejala Penyakit Gagal Jantung
Adapun gejala maupun tanda yang dapat dikenali untuk mencegah keparahannya
sejak dini, diantaraanya:
 Napas pendek-pendek saat berbaring
 Tubuh terasa lelah dan lemas
 Detak jantung cepat dan tidak teratur
 Sering ingin buang air kecil, terutama pada malam hari
 Perut bengkak akibat penumpukan cairan (asites)
 Berat badan naik dengan sangat cepat, akibat penumpukan cairan di tubuh
 Tiba-tiba sesak napas yang parah, disertai batuk dahak yang berwarna merah muda
 Nyeri dada, apabila gagal jantung disebabkan oleh serangan jantung
Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi gagal jantung dibagi menjadi empat tingkat berdasarkan New
York Heart Association (NYHA), yaitu:
 Kelas I
Ini adalah tingkatan paling ringan. Di kelas I, penderita gagal jantung
kongestif tidak merasakan adanya batasan saat melakukan aktivitas
fisik. Pengobatan untuk kondisi ini pun cukup dilakukan dengan
perubahan gaya hidup, konsumsi obat jantung, dan pengawasan rutin
dari dokter.
 Kelas II
Jika mengalami gagal jantung kongestif kelas II, gejala umumnya akan
timbul saat Anda melakukan aktivitas fisik tertentu. Namun, gejala tidak
akan muncul saat Anda sedang berada di posisi istirahat. Gejala yang
bisa muncul saat melakukan aktivitas fisik di antaranya kelelahan,
jantung berdebar, dan sesak napas. Penanganan untuk kondisi ini, sama
dengan kelas I.
 Kelas III
Pada gagal jantung kongestif kelas III, melakukan aktivitas fisik
yang ringan maupun berada di posisi istirahat sudah bisa
merasakan timbulnya gejala. Bahkan sedikit pergerakan sudah bisa
menimbulkan sesak napas, kelelahan, dan jantung berdebar.
Perawatan untuk kondisi ini lebih rumit. Dokter akan menyesuaikan
terapi, yang paling cocok untuk kondisi Anda.
 Kelas IV
Ini adalah tingkatan yang paling parah. Penderita tidak dapat
melakukan aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman dan juga
gejala timbul saat sedang istirahat. Apapun kegiatan yang Anda
lakukan, gejala gagal jantung kongestif selalu menyertai. Pada
tahap ini, penyakit sudah tidak bisa disembuhkan.
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG

1. Nitrogliserin
 Nitrogliserin atau glyceryl trinitrate (GTN) adalah obat
golongan nitrat yang digunakan untuk mengurangi
intensitas serangan angina (nyeri dada), terutama
pada penderita penyakit jantung koroner. Obat ini
bekerja dengan cara melebarkan pembuluh darah,
serta meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke
otot jantung.
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG
2. ACE inhibitor
 ACE inhibitor bekerja dengan cara menghambat enzim dalam tubuh untuk
memproduksi hormon angiotensin II atau zat yang dapat menyempitkan
pembuluh darah dan meningkatkan kerja jantung. Dengan obat ini, pembuluh
darah menjadi melebar, sehingga tekanan pada pembuluh darah berkurang,
begitu pun jumlah cairan yang mengalir dalam pembuluh darah. Kondisi tersebut
dapat membantu menurunkan tekanan darah dan meringankan kerja jantung.
ACE-Inhibitors menurunkan:
 Kadar angiotensin II baik lokal maupun dalam sirkulasi
 Sekresi aldosteron
 Sekresi vasopresin
 Aktivitas saraf simpatis
 Efek trofik angiotensin II
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG

3. Angiotensin receptor blocker (ARB)


 Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat anti
hipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui
sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat
angiotensin II berikatan dengan reseptornya, sehinggasecara langsung
akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan
mengurangi sekresial dosteron.
 ARB bekerja dengan cara mengeblok aktivitas kimia alami yang disebut
angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat (menyebabkan
pembuluh darah kontriksi [menyempit]). Penyempitan ini bisa
menyebabkan tekanan darah tinggi dan sedikit aliran darah yang melalui
ginjal.
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG

4. Diuretik
 Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi
natrium,sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian
juga dari air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus
terhadap tubuli, tetapi juga di tempat lain
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG
5. Digitalis
a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
 Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini menimbulkan
peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang menyebabkan kadar kalsium
intra sel yang meningkat menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung
 Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung
menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi
kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan reduksi kecepatan jantung dan
kebutuhan oksigen otot jantung berhenti (berkurang) (Mycek et al., 2001).
 Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan vasodilator. Digoksin tidak
diindikasikan pad pasien dengan gagal jantung sebelah kanan atau diastolik.
MEKANISME ATAU CARA KERJA OBAT GAGAL JANTUNG
6. Agonius β-Adrenergik
Obat-obat β-2 adrenergik digolongkan menjadi dua golongan yaitu
(Ikawati, 2014) :
1. Short acting β-2 agonis
 Obat golongan ini adalah bronkodilator yang paling umum digunakan.
Hal ini paling sering digunakan dalam terapi penyelamatan untuk gejala
asma akut. Contoh : Salbutamol atau Albuterol
2. Long acting β-2 agonis
 Salmeterol : obat ini dapat digunakan sebagai tambahan untuk
kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi efek negatif dari steroid
 Formoterol : dapat mengurangi bronkospasme dengan relaksasi otot
polos bronchioles dalam kondisi yang berhubungan dengan asma.
Mekanisme kerjanya melalui stimulasi reseptor B2 di bronki yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat perubahan adenosintrifosfat (ATP) yang
kaya energi menjadi cAMP dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-
proses dalam sel. Salbutamol digunakan untuk meringankan bronkospasm yang
berhubungan dengan asma.
FARMAKOKINETIK DAN
FARMAKODINAMIK OBAT GAGAL
JANTUNG
Nitrogliserin

a) Farmakokinetik
1) Absorbsi:
 Nitrogliserin dengan cepat diabsorpsi setelah penggunaan tablet sublingual.
Puncak konsentrasi plasma rata-rata terjadi pada sekitar 6-7 menit setelah
penggunaan. Konsentrasi plasma maksimum nitrogliserin dan area di bawah
kurva konsentrasi plasma-waktu (AUC) meningkat proporsional dengan
peningkatan dosis dari 0,3-0,6 mg. Bioavailabilitas absolut nitrogliserin tablet
adalah sekitar 40% namun cenderung bervariasi tergantung dari faktor-faktor
yang mempengaruhi absorpsi obat, seperti hidrasi (kelembaban) sublingual serta
metabolisme mukosa.
2) Distribusi
 Volume distribusi nitrogliserin adalah 3,3 liter/kg. Pada konsentrasi plasma antara
50 hingga 500ng/mL, pengikatan nitrogliserin kepada plasma protein adalah
sekitar 60%, di mana untuk 1,2-dinitrogliserin pengikatan plasma adalah 60% dan
untuk 1,3-dinitrogliserin sebesar 30%.
3) Metabolisme
 Enzim reduktase liver merupakan komponen utama dalam
metabolisme nitrogliserin menjadi gliserol dinitrat dan mononitrat
yang pada akhirnya akan diubah menjadi gliserol dan nitrat
organik. Lokasi metabolisme ekstrahepatik nitrogliserin antara lain,
sel darah merah dan dinding vaskular.

4) Eliminasi
 Konsentrasi plasma nitrogliserin menurun dengan cepat, dengan
waktu paruh eliminasi rata-rata selama 2-3 menit (1,5 - 7,5
menit). Pembersihan (clearance) nitrogliserin jauh melebihi aliran
darah hepar yakni 13,6 liter/menit. Utamanya, obat ini
diekskresikan melalui urine.
b) Farmakodinamik Nitrogliserin
1) Indikasi: mengurangi gejala serangan akut atau untuk profilaksis akut angina
pektoris yang disebabkan oleh penyakit jantung coroner.
2) Kontraindikasi: Hipotensi, sakit kepala berulang, glaukoma
3) Interaksi obat
 Efek hipotensif (menurunkan tekanan darah) meningkat dengan vasodilator
dan obat hipotensif lainnya.
 Efikasi nitrogliserin menurun (sediaan oral/bukal) dengan obat yang
menyebabkan mulut kering, seperti TCA dan antimuskarinik lainnya.
 Efek vasodilator nitrogliserin meningkat dengan acetylcysteine.
 Menurunkan aktivitas thrombolitik alteplase.
 Dapat meningkatkan ketersediaan dihydroergotamine yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi koronari. 
 Menurunkan efek antikoagulan heparin.
4) Pengguanaan klinis
 Nitrogliserin digunakan untuk mengobati angina, infark miokard akut,
hipertensi berat, dan kejang arteri coroner akut, nyeri dada akibat kurangnya
asupan oksigen dan darah menuju jantung, atau untuk mengobati gagal jantung.

5) Efek samping
 Efek samping yang umum terjadi: kembung, pembengkakan wajah, lengan,
tangan, atau kaki, kesulitan bernapas, pingsan, pusing, pening, kepala terasa
ringan, tubuh terasa hangat atau panas, kulit memerah terutama di wajah dan
leher, sakit kepala, penambahan berat badan secara cepat, berkeringat, sesak
napas, rasa geli pada tangan dan kaki, serta penambahan atau pengurangan
berat badan yang tak wajar.
 Efek samping yang jarang terjadi: bibir, kuku, atau telapak tangan berwarna
biru, urine berwarna gelap, demam, kulit pecat, denyut jantung meningkat, sakit
tenggorokan, serta rasa lelah atau lemah yang tak wajar.
ACE Inhibitor
ACE inhibitor adalah kelas obat yang digunakan terutama untuk
pengobatan tekanan darah tinggi dan gagal jantung. Adapun golongan
penghambat ACE, salah satunya yaitu Captopril.
a) Farmakokinetik
 Bioavailabilitas oral captopril adalah sekitar 70%, jika ada makanan maka
terjadi penurun penyerapan obat, sehingga obat harus diminum saat perut
kosong. obat terikat dengan plasmaprotein sekitar 30% dan Volume distribusi
adalah 0,8 ± 0,2 L / kg, lebih tinggi di CHF. Cl adalah 0.72 ± 0.08 L / hr / kg
terjadi penurunan dosis yang dimetabolisme sekitar 20% dan menyebabkan
disfungsi,terutama untuk captopril disulfida. Ekskresi captopril tidak berubah
adalah 24-38% lebih dari 24 jam. Waktu paruh2.2 ± 0,05 jam pada subyek
sehat dan berkepanjangan di disfungsi ginjal atau CHF (Anderson, 2002).
b) Farmakodinamik
1) Indikasi
 Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat. Captopril dapat dipergunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid.
 Payuh jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan
diuretik dan digitalis.
2) Kontraindikasi
 ACE-Inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat
teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi, ACE-Inhibitor
diekskresi melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi.
 Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit
ginjal kronik. Namun harus berhati-hati terutama bila ada hipertensi kalemia,
karena ACE-Inhibitor akan memperberat hyperkalemia. Kadar kreatinin , maka
obat ini harus dihentikan. ACE-Inhibitor dikontraindiksikan pada stenosis arteri
renalis atau unilateral pada ginjal tunggal (Katzung, 2013).
3) Interaksi obat

No. Nama Obat lain Interaksi


obat
1. Captopril Antasid Dapat menurunkan absorbsi dari captopril di pencernaan
jika diberikan bersamaan.

2. Captopril Diuretik Dapat meningkatkan efek senyawa diuretik jika diberikan


bersamaan.
3. Captopril Aspirin (OAINS) OAINS menghambat sintesis prostaglandin sehingga
mengurangi kemampuan captopril untuk menurunkan
tekanan darah.

4. Captopril Amilorida (diuretic hemat Terjadi peningkatan jumlah kalium sehingga terjadi
kalium) hiperkalemia
5. Captopril Probenesid Probenesid menurunkan sekresi tubulus ginjal captopril,
berujung pada konsentrasi serum captopril yang lebih tinggi.

6. Captopril Litium Captopril dapat menurunkan eliminasi litium diginjal, yang


dapat menyebabkan toksisitas litium.
4) Penggunaan klinis
 Kegunaan utama kaptropil dudasarkan pada vasodilatasi dan penghambat
beberapa aktivitas fungsi ginjal. Manfaat-manfaat ini paling jelas terlihat
pada : hipertensi, kondisi jantung seperti gagal jantung kongesif dan
setelah infark miokard, pelestarian fungsi ginjal pada netropati diabetik.
5) Efek Samping
 Efek samping dari captopril yang sering terjadi adalah hilangnya rasa
(kadang-kadangjuga penciuman), batuk kering, exanthema ( ruam-ruam
pada kulit). Efeknya dapat ditiadakan oleh indometasin atau NSAID
lainnya (Tjay & Rahardja, 2007).
Angiotensin Reseptor Bloker
a) Farmakokinetik
1) Absorpsi:
 Setelah pemberian oral, bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15%
hingga 40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak (Cmax)
tercapai setelah 3-4 jam. Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas
kandesartan setelah pemberian kandesartan.
2) Distribusi:
 Volume distribusi kandesartan adalah 0,13 L / kg. Candesartan sangat
terikat pada protein plasma (> 99%). Pasien diabetik nefropati dengan
proteinuria, dan mengalami penurunan kadar protein plasma, beresiko
efek toksik apabila diberikan dengan dosis tinggi.
3) Metabolisme:
 Candesartan dengan cepat dan lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester
selama absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan mengalami metabolisme
minor di hati oleh O-deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif.
Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa sitokrom P450 isoenzim CYP
2C9 terlibat dalam biotransformasi candesartan menjadi metabolit tidak aktif.
4) Ekskresi
 Total klirens plasma candesartan adalah 0,37 mL/menit/kg, dengan klirens
ginjal 0,19 mL/menit/kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak berubah
dalam urin dan feses (melalui empedu). Ekskresi renal candesartan menurun
seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan
waktu paruh obat. Waktu paruh candesartan adalah 5,1 sampai 10,5 jam, dan
kemudian diekskresikan 33% melalui renal dan 67% melalui feses.
b) Farmakodinamik
1) Indikasi terapeutik:
 Angiotensin II receptor blockers di indikasikan untuk penggunaan
tunggal atau terapi kombinasi pengobatan hipertensi.
2) Kontraindikasi dan peringatan
 ARB dikontraindikasikan jika terdapat alergi terhadap salah satu obat
tersebut; selama kehamilan, karena dikaitkan dengan kematian janin
dan abnormalitas yang berat; dan selama laktasi, karena adanya efek
merugikan potensial pada neonatus.
 Obat ini harus digunakan dengan hati-hati jika ada disfungsi hati atau
ginjal, yang dapat mengubah metabolism dan ekskresi obat, dan pada
hipovolemia, karena menghambat mekanisme kompensasi yang
berpotensi menyelamatkan nyawa.
3) Interaksi obat
 Terdapat peningkatan risiko menurunnya kadar serum dan hilangnya
efektivitas obat ini jika diminum dalam kombinasi dengan fenobarbital. Jika
kombinasi ini digunakan, pasien harus dipantau dengan ketat dan dilakukan
penyesuaian dosis.
4) Penggunaan klinis
 Angiotensin II receptor blocker digunakan terutama untuk pengobatan
hipertensi di mana pasien tidak toleran terhadap terapi inhibitor ACE terutama
karena batuk. ARB tidak menghambat pemecahan bradikinin atau kinin lainnya,
karena itu jarang dikaitkan dengan batuk kering persisten dan atau angioedema
yang membatasi terapi inhibitor ACE. ARB juga digunakan untuk pengobatan
gagal jantung pada pasien yang tidak toleran terhadap terapi inhibitor ACE,
khususnya candesartan. Candesartan digunakan secara eksperimental dalam
pengobatan pencegahan migrain.
5) Efek samping
 ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga
angioedema; tetapi reaktivitas silang telah dilaporkan.
 Sama halnya dengan ACE inhibitor, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya
sama dengan pada penggunaan ACE inhibitor.
6) Efek Merugikan
 Efek merugikan yang paling umum terjadi pada penggunaan ARB antara lain
sakit kepala, pusing, sinkop, dan kelemahan fisik yang dapat dihubungkan
dengan penurunan tekanan kepala; hipotensi; keluhan GI seperti diare, nyeri
abdomen, mual, mulut kering, dan sakit gigi; gejala infeksi saluran pernapasan
atas dan batuk; serta ruam kulit, kulit kering dan alopesia. Pada uji praklinis,
obat-obat ini terbukti terkait dengan terjadinya kanker.
Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Diuretik dapat dibagi
menjadi 5 golongan yaitu:

Inhibitor
Diuretik
karbonik Tiazid osmotik
anhydrase

Loop Diuretik
Diuretik Hemat
Kalium
1. Inhibitor karbonik anhydrase

Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
 Asetazolamid
a) Farmakokinetik
 Absorbsi: Asetozalamid mudah diserap melalui saluran cerna, kadar maksimal dalam
darah dicapai dalam 2 jam
 Distribusi: Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi
dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal.
Obat penghambat karbonik anhydrase tidak dapat masuk ke dalam eritrosit, jadi efeknya
hanya terbatas pada ginjal saja. Distribusi penghambat karbonik anhidrase dalam tubuh
ditentukan oleh ada tidaknya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan
dan dapat tidaknya obat itu masuk ke dalam sel.
 Metabolisme: Asetazolamid tidak dimetabolisme
 Ekskresi: Ekskresi melalui ginjal sudah sempurna dalam 24 jam. Obat ini mengalami
proses ekskresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorpsi secara pasif. Waktu paruh 3-
9 jam. Diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.
b) Farmakodinamik
1) Indikasi : Penggunaan utama adalah menurunkan tekanan intraokuler pada penyakit
glaukoma. Asetazolamid juga efektif untuk mengurangi gejala acute mountain sickness.
Asetazolamid jarang digunakan sebagai diuretik, tetapi dapat bermanfaat untuk
alkalinisasi urin sehingga mempermudah ekskresi zat organik yang bersifat asam lemah.
2) Kontraindikasi: Dikontraindikasikan pada pasien dengan sickle cell anemia, alergi
terhadap obat sulfa, penyakit hati dan ginjal, Addison desease serta ibu hamil dan
menyusui.
3) Interaksi obat : Asetazolamid memodifikasi metabolisme fenition dengan peningkatan
kadar serum fenition, mengurangi penyerapan primidone di gastrointestinal,
menurunkan konsentrasi serum primidone dan metabolitnya, menyebabkan penurunan
ekskresi amfetamin dan meningkatkan efek durasinya, meningkatkan kadar siklosforin.
4) Efek Samping : mati rasa dan kesemutan pada jari tangan dan kaki, dan perubahan rasa
(parageusia), terutama untuk minuman berkarbonasi. Beberapa juga mungkin
mengalami penglihatan kabur tetapi ini biasanya hilang segera setelah menghentikan
obat. Asetazolamid juga meningkatkan risiko pembentukan batu ginjal kalsium oksalat
dan kalsium fosfat.
2. Loop Diuretik

a) Farmakokinetik
 Absorbsi: Loop diuretic mudah diserap melalui saluran cerna,
dengan derajat yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemid 65%
sedangkan bumetenid hamper 100%.
 Distribusi: Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara
ekstensif, sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali
disekresi melalui sistem transport asam organik di tubulus proksimal
 Metabolisme: Obat terakumulasi di cairan tubuli daan mungkin
sekalai di tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi.
 Ekskresi: Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan IV
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi
dengan senyawa sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.
b) Farmakodinamik
1) Indikasi atau penggunaan klinik
 Gagal jantung: Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung disertai edem dan
tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena jugular, edema paru,
edema tungkai, dan asites. lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena
ganguan saluran cerna yang lebih ringan. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian
secara intravena.
 Edema refrakter: Untuk mengatasinya, diuretic loop biasanya diberikan bersama diuretic
lain, misalnya thiazin atau diuretic hemat kalium.
 Asietas dan edema akibat gagal ginjal: Diuretic loop merupakan obat efektif untuk asites
akibat penyakit sirosis hepatis, dan edema akibat gagal ginjal.
 Gagal ginjal akut: Diuretic loop diberikan pada pasien gagal ginjal akut yang masih awal
baru terjadi namun hasilnya tidak konsisten.
 Menurunkan kadar kalsium plasma : Diuretic loop dapat menurunkan kadar kalsium
plasma pada pasien hiperkalsemia simptomatis dengan cara meningkatkan ekskresi
kalsium melalui urin.
2) Kontraindikasi dan perhatian
 Gagal ginjal yang disertai anuria, hati-hati pada pasien yang dicurigai hipokalemia, gout,
hiperkalsemia, pengguna digitalis, dan sirosis hepatic. Tidak dianjurkan pada wanita hamil.
3) Interaksi obat
 Pemberian diretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang
juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.
 Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida dan
anti kanker sispaltinakan meningkatkan risiko nefrositotoksisitas.
 Probenesid mengurangi sekresi diuretic ke lumen tubulus sehingga efek
diuresisnya berkurang.
 Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya
dengan protein.
 Pada pengguna jangka lama diuretic loop dapat menurunkan klirens litium.
 Pengguna bersama sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas
sefalosporin
 Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan
kerja furosemid.
4) Efek samping
 Gangguan cairan elektrolit
 Ototoksisitas: Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun
menetap.
 Efek metabolic: Hiperuresemia, hiperglikemia, peningkatan kolesterol LDL, dan
trigliserida serta penurunan HDL.
 Reaksi alergi
 Nefritis intersisialis alergik
3. Tiazid
a) Farmakokinetik
 Absorbsi: Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali.
Umumnya efek obat tampak setelah 1 jam.
 Distribusi: Klortiazid didistribusikan ke seluruh ruang intrasel
dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun
dalam jaringan ginjal saja.
 Metabolisme dan ekskresi: Dengan proses aktif, tiazid diekskresi
oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens
ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam sudah
diekskresi dari badan.
b) Farmakodinamika
1) Indikasi
 Hipertensi.
 Gagal jantung.
 Pengobatan jangka panjang edema kronik.
 Pengobataan diabetes insipidus. Terutama yang bersifat nefrogenik dan hiperkalsiuria
pada penderita dengan batu kalsium pada saluran kemih.
2) Kontraindikasi
 Hati-hati pada pasien yang dicurigai hipokalemia, gout, hiperkalsemia, pengguan digitalis,
dan sirosis hepatik.
3) Interaksi obat
 Indometasin dan AINS lain dapat mengurangi efek tiazid karena kedua obat ini menghambat
sintesis prostaglandin vasodilator di ginjal.
 Probenesid menghambat sekresi tiazid dalam lumen tubulus, akibatnya efek tiazid berkurang.
 Hipokalemi yang terjadi akibat pemberian tiazid dapat meningkatkan risiko aritmia oleh digitalis
dan obat anti aritmia lain, sehingga pemantauan kadar kalium sangat penting.
 Kombinasi dengan KCL dapat menimbulkan iritasi lokal di usus halus
4) Efek samping
 Reaksi alergi berupa kelainan kulit, purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas dan kelainan darah.
 Pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, terutama pada penderita diabetes yang laten.
 Menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserid plasma dengan mekanisme yang tidak
diketahui.
 Gejala infusiensi ginjal dapat diperberat oleh tiazid
 Gangguan fungsi seksual
4. Diuretik Hemat Kalium
Aldosterone merupakan salah satu golongan diuretic hemat kallium selain triamteren
dan amilorid. Saat ini dikenal dua macam antagonis, yaitu spironolakton dan eplerenon.
 Spironolakton
a) Farmakokinetik
1) Absorbsi: pada pemberian oral, 70% diserap di saluran cerna
2) Distribusi: ikatan dengan protein cukup tinggi
3) Metabolisme: mengalami sirkulasi enterohepatik dan first pass metabolisme di
hati. Metabolit umumnya, kanrenon, memeperlihatkan aktivitas antagonis
aldosteron dan turut berperan dalam aktivitas biologik spironolakton, kanrenon
mengalami interkonversi enzimatik menjadi kanrenoat yang tidak aktif.
Spironolakton menginduksi CP45o hati.
4) Ekskresi: melalui urin dan cairan empedu
b) Farmakodinamik
1) Indikasi Klinis
 Pada gagal jantung kronik spironolakton digunakan untuk mencegah
remodeling (pembentukan jaringan fibrosis di miokard). Spironolakton
merupakan obat pilihan untuk hipertensi, hiperadosteronisme primer dan
sangat bermanfaat pada kondisi-kondisi yang disertai hiperaldosteronisme
sekunder seperti asites pada sirosis hepatik dan sindrom nefrotik.
2) Kontraindikasi: insufisiensi ginjal akut, anuria, hyperkalemia, kehamilan.
3) Interaksi obat
 Spironolakton biasanya tidak diberikan dengan agen lain yang dapat
meningkatkan kadar kalium darah, seperti suplemen kalium, angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor, indometasin, atau diuretic hemat kalium
lainnya. Karena spironolactone dapat menurunkan kadar natrium darah
sekaligus meningkatkan kadar potassium darah. Kalium darah yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan kelainan irama jantung yang berpotensi
mangancam jiwa dalam.
4) Efek samping
 Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah hyperkalemia yang sering
terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang
berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan
bersama dengan tiazid pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang berat.
 Efek samping lain yang ringan dan reversible diantaranya ginekomastia, efek
samping mirip androgen dan gejala saluran cerna, sakit kepala, diare, kram,
mengantuk, ruam, impotensi, menstruasi tidak teratur, dan pertumbuan rambut
tidak teratur. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi, sehingga
pasien harus dimonitor secara hati-hati.
5. Diuretik osmotik

a) Farmakokinetik
 Diuretik osmotik sulit diabsorpsi. Sehingga obat ini harus
diberikan secara parenteral. Jika diberikan peroral, manitol
menyebabkan diare osmotik. Manitol tidak dimetabolisme dan
diekskresi melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30-60 menit,
tanpa adanya reabsorpsi ataupun sekresi tubular yang berarti.
b) Farmakodinamik
1) Indikasi Klinis
 Meningkatkan volume urin
 Penurunan tekanan intrakranial
2) Kontraindikasi
 Penyakit ginjal dengan anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi
hebat dan perdarahan intrakranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. Infus
manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan fungsi
ginjal yang progresif, payah jantung atau kongesti paru.
3) Efek Samping
 Ekspansi cairan ekstrasel
 Dehidrasi, hiperkalemia, dan hypernatremia
 Sakit kepala, mual, dan muntah
 Edema paru (pada pasien gagal jantung dan kongesti paru)
Digitalis
 Digoksin
Digoxin merupakan jenis obat yang dikenal sebagai glikosida jantung atau digitalis.
Farmakokinetik
a) Farmakokinetik
1) Absorbsi: Onset awal digoxin dicapai dalam 0,5-2 jam untuk sediaan oral dan 5-30
menit untuk sediaan intravena. Efek maksimal tercapai dalam 2-6 jam untuk sediaan
oral dan 1,5-4 jam untuk sediaan intravena.
2) Distribusi: Bioavailabilitas digoxin tablet sebesar 60-80%. 20-25% digoxin akan
terikat oleh protein. Waktu paruh digoxin selama 3,5-5 hari.
3) Metabolisme: Metabolisme digoxin terjadi di hepar yang menghasilkan metabolit
akhir 3 b-digoxigenin dan 3-keto-digoxigenin.
4) Eliminasi: Sekitar 50-70% dosis digoxin akan diekskresikan melalui urin.
b) Farmakodinamik
1) Indikasi: Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama fibrilasi atrium).
2) Kontraindikasi: Blok jantung komplit yang intermiten; blok AV derajat II; aritmia
supraventrikular karena sindrom Wolf-Parkinson-White; takikardi atau
fibrilasi ventrikular; kardiomiopati obstruktif hipertrofik.
3) Peringatan:  Infark jantung baru; sindrom penyakit sinus; penyakit tiroid;
kurangi dosis pada usia lanjut; hindari hipokalemia dan pemberian intravena
yang sangat cepat (nausea dan risiko aritmia); gangguan fungsi ginjal;
kehamilan.
4) Interaksi obat: Digoksin dapat diadsorpsi bila diberikan bersama kolestiramin,
kolestipol, kaolin/pektin atau karbo-adsorbens. Karena itu pemberian digoksin
harus berjarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian obat-obat
di atas. Pemberian bersama kinidin menaikkan kadar digoksin plasma sampai
sekitar 70-100%.
5) Penggunaan klinis:
 Detak jantung takberaturan: Indikasi paling umum dari digoksin adalah fibrilasi
atrium dan geletar atrium dengan respons ventrikelcepat.
 Gagal jantung: Digoksin tidak lagi menjadi pilihan pertama untuk gagal
jantung. Saat ini, pengobatan yang direkomendasikan untuk gagal jantung adalah
terapi rangkap tiga berupa inhibitor ACE, penyekat beta, dan antagonis
mineralokortikoid. Digoksin merupakan terapi baris ketiga.
 Aborsi: Digoksin juga digunakan secara intrafetal atau amniotik ketika aborsi pada
akhir trimester kedua dan trimester ketiga kehamilan. Obat ini biasanya
menyebabkan kematian janin (diukur dengan berhentinya aktivitas jantung) dalam
beberapa jam setelah pemberian obat.
6) Efek samping
 Biasanya karena dosis yang berlebihan, termasuk anoreksia, mual muntah, diare,
nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capai, mengantuk,
bingung, pusing; depresi; delirium, halusinasi; aritmia, blok jantung; rash yang
jarang; iskemi usus; ginekomastia pada pemakaian jangka panjang; trombositopenia.
Agonius β-Adrenergik
Adapun obat golongan agronis adrenergik beta, diantaranya salbutamol, fenoterol,
terbutalin, dan lain-lain.
1) Salbutamol
a) Farmakokinetik dan farmakodinamik
 Salbutamol di absorbsi baik dalam saluran pencernaan ketika digunakan secara per
oral. Onset of Action (OOA) dari salbutamol melalui rute per oral adalah 30 menit dan
kadar tertinggi dalam plasma dicapai dalam 1 sampai 3 jam dan mempunyai t 1/2 selama
4 sampai 6 jam. Sedangkan jika digunakan secara inhalasi OOA selama 5 menit dengan
Duration of Action (DOA) selam 3 sampai 6 jam. Oleh karena obat ini diabsorbsi
dengan baik dan mempunyai t1/2 yang pendek maka digunakan 3-4 kali sehari. Jika
diberikan dalam bentuk inhalasi. 10-20% dari dosis akan mencapai saluran nafas
bagian bawah dan sisanya tertinggal dalam sistem penghantaran atau tertelan dan
diserap di usus halus. Obat ini dimetabolisme melalui metabolisme lintas pertama di
hati dan juga di dinding usus namun tidak dimetabolisme di paru, dengan hasil
metabolit utamanya adalah konjugat sulfat yang tidak aktif. Salbutamol diekskresikan
terutama dalam urin sebagai metabolit maupun bentuk aslinya, proporsi lebih kecil
diekskresikan dalam feses (Sweetman, 2009).
b) Efek samping
 Salbutamol memiliki efek seperti agonis beta lainnya, dapat menyebabkan tremor otot rangka
(terutama tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer,
dan jarang terjadi kram otot. Salbutamol juga menyebabkan bronkitis, epistaksis, peningkatan
nafsu makan dan kram otot (Depkes RI, 2007).
c) Interaksi obat
1) β-bloker : kerja salbutamol berlawanan dengan kerja β-bloker
2) Kortikosteroid: kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan hipokalemi dan
hiperglikemi
3) Diuretik: interaksi dengan diuretik terjaadi ketika salbutamol inhalasi diberikan dalam
jumlah besar yang menyebabkan hipokalemi dan efek elektrokardiograf
4) Formoterol dan salmeterol: pengobatan sebelumnya dengan folmoterol dan salmeterol
dapar berlawanan dengan efek perlindungan dari salbutamol terhadap bronkokintriksi
5) Teofilin: menggabungkan teofilin dengan salbutamol secara infus meningkatkan
takikardia. Salbutamol infus menyebabkan penurunan diastolik dan peningkatan tekanan
darah sistolik, yang tidak diubah oleh teofilin. Kombinasi kedua obat ini juga
meningkatkan resiko hipokalemi (Cathomas et al, 2006)
6) MAO inhibitor dapat meningkatkan efek pada daerah vaskular (McEvoy et al, 2011)
2) Fenoterol
a) Farmakokinetik dan farmakodinamik
 Fenoterol tidak diabsorbsi sempurna pada saluran pencernaan dan juga
mengalami metabolisme lintas pertama dengan konjugasi sulfat. Obat
diekskresikan melalui urin dan empedu hampir seluruhnya sebagai
sulfat konjugat tidak aktif. Fenoterol didistribusikan ke dalam ASI. DOA
dari fenoterol jika digunakan secara inhalasi adalah 6 sampai 8 jam
dan OOA yang cepat yaitu 5 menit (Sweetman, 2009).
b) Efek samping
 Fenoterol mempunyai efek samping yang hampir sama dengan
salbutamol yaitu dapat menyebabkan tremor otot rangka (terutama
tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala,
vasodilatasi perifer, dan jarang terjadi kram otot.
c) Interaksi obat
 Penggunaan fenoterol dan agronis β2 lainnya dengan kortikosteroid,
diuretik, atau xantin meningkatkan resiko hipokalemia, dan pemantauan
konsentrasi kalium dianjurkan pada asma yang parah.
 Penggunaan bersama dengan kortikosteroid juga dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa dalam darah.
 Sedangkan penambahan deuretik memberikan potensi aritmogenik yang
secara klinis penting pada pasien dengan penyakit jantung iskemik.
 Pemberian obat ini bersamaan dengan kanabinoid dapat memperparah efek
samping takikardi. Betahistin juga dapat mengurangi efek bronkodilator dari
obat golongan β2 –agronis (Lacy et al, 2007).
3) Terbutalin
a) Farmakokinetik dan farmakodinamik
 Ketika terbutalin digunakan secara inhalasi, kurang dari 10% dari obat ini diserap
dalam saluran nafas. Sisanya ditelan dan diserap di saluran pencernaan secara
bervariasi. Bioavailabilitas puasa setelah dosis oral dilaporkan sekitar 14-15% dan
dikurangi dengan adanya makanan. Terbutalin mengalami ekstensif metabolisme
lintas pertamaa oleh sulfat (dan beberapa glukuronida) konjugasi di hati dan
dinding usus kemudian diekskresikan dalam urin dan tinja. Sebagian sebagai
sulfat konjugat tidak aktif dan sebagian sebagai terbutalin aktif, rasio tergantung
pada rute yang diberikan. Waktu paruh setelah penggunaan tunggal dan beberapa
dosis dilaporkan antara 16 dan 20 jam. Obat ini dapat menembus plasenta dan
juga didistribusikan ke dalam ASI.
 OOA dari terbulin ketika diberikan secara oral adalah 30 menit dengan DOA 4
sampai 8 jam. Jika diberikan melalui rute sub kutan OOA 5 sampai 15 menit dan
DOA 1,5 sampai 4 jam. Sedangkan jika diberikan melalui rute inhalasi OAA 5
sampai 30 menit dan DOA 3 sampai 6 jam (Depkes RI, 2007).
b) Efek samping
 Terbutalin mempunyai efek samping yang hampir sama dengan
salbutamol yaitu dapat menyebabkan tremor otot rangka (terutama
tangan), palpitasi, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala,
vasodilatasi perifer, dan jarang terjadi kram otot.
c) Interaksi obat
 Penggunaan terbutalin dengan antidepresan trisiklik atau MAO inhibitor
dapat menyebabkan potensiasi efek vackular.
 Ketika digunakan dengan β–bloker, maka β–bloker akan bekerja
antagonis dengan β–agronis dalam memberikan efek terapi pada
bronkopasme saluran nafas yang parah pada pasien asma.
 Pemberian yang bersamaan dengan diuretik juga dapat menyebabkan
hipokalemia.
 Penggunaan terbulin dengan fenilefrin atau toloxaton menyebabkan
berkeringat, takikardi dan sakit kepala (Cathomas et al, 2006).
SEDIAAN OBAT DAN DOSIS
Nitrogliserin
Bentuk Obat Dosis Obat

Tablet minum 2.5-6.5 mg, 3 atau 4 kali sehari. Dosis maksimum 26 mg/hari empat kali sehari.

Tablet 1 tablet 300-600 mcg per konsumsi, diletakkan persis di bawah lidah. Dosis dapat
sublingual ditambah setiap 5 menit, maksimum 3 kali konsumsi.

1. Angina tidak stabil: 5-15 mcg/menit, dapat ditingkatkan sampai dengan 200
mcg/menit.
2. Hipertensi: 5-25 mcg/menit, dapat ditingkatkan sampai dengan 400 mcg/menit
sesuai dengan respons yang dialami.
Suntikan
3. Serangan jantung: 10-100 mcg/menit, dapat ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons pasien terhadap obat.
4. Gagal jantung: 5-25 mcg/menit, dapat ditingkatkan secara bertahap sesuai
dengan respons pasien terhadap obat.
ACE Inhibitor
1) Ramipril
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet dan kaplet
 Dosis Obat : 1,25 mg per hari sebagai dosis awal. Dosis maksimal adalah 10 mg per hari.
2) Lisinopril
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : Dewasa: Sebagai adjuvan: dosis permulaan: 2,5 atau 5 mg/hari, dapat
ditingkatkan dengan peningkatan dosis ≤10 mg dalam rentang waktu paling tidak 2
minggu hingga dosis pemeliharaan maksimal 40 mg/hari.
3) Perindopril
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet, tablet salut selaput
 Dosis Obat : Dosis awal: 2 mg (erbumine) atau 2,5 mg (arginine), dikonsumsi pada pagi
hari. Dosis dapat ditingkatkan setelah 2 minggu masa pengobatan.Dosis pemeliharaan: 4
mg (erbumine) atau 5 mg (arginine), 1 kali sehari.
4) Enalapril
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : Untuk dewasa, Dosis awal: 2,5 mg diminum sekali sehari. Dosis
pemeliharaan: 2.5 hingga 20 mg sehari dalam 2 dosis terbagi. Dosis maksimum:
40 mg diminum per hari dalam 2 dosis terbagi
5) Captopril
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : Dewasa, Dosis awal 6,25-12,5 mg dikonsumsi 2-3 kali sehari. Dosis
pemeliharaan 75-150 mg dosis terbagi. Dosis maksimal 450 mg perhari. Dosis
yang diberikan untuk anak ditentukan berdasarkan berat badan (BB). Untuk
bayi, dosis yang dapat diberikan adalah 0,15- 0,3 mg/kg BB, bisa ditingkatkan
sampai dosis maksimal 6 mg/kgBB/hari terbagi dalam 1-4 kali pemberian. Untuk
anak-anak dan remaja, dosis yang dapat diberikan adalah 0,3 mg/kgBB 3 kali
sehari, bisa ditingatkan sampai dosis makasimal 6mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-
4 kali pemberian. Untuk lansia, dosis awal adalah 6,25 mg 2 kali sehari.
Angiotensin Reseptor Bloker
1) Candesartan
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : 4 mg per hari sebagai awal, dan dapat digandakan tiap 2 minggu. Dosis
maksimal adalah 32 mg per hari.
2) Losartan
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : Dosis awal 12,5 mg, sekali sehari, dan bisa digandakan setiap minggu.
Dosis perawatan adalah 50 mg, sekali sehari, maksimal 150 mg, sekali sehari.
3) Valsartan
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : Dosis awal 40 mg, 2 kali sehari. Dosis maksimal 160 mg, 2 kali sehari.
Diuretik
1) Monitol
 Sediaan Obat : dalam bentuk cairan infus
 Dosis Obat : Untuk sediaan IV digunakan larutan 5-25% dengan volume antara 50-
1.000ml. dosis untuk menimbulkan diuresis ialah 50-200g yang diberikan dalam
cairan infus selama 24 jam dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh
diuresis sebanyak 30-50ml per jam. Untuk penderita dengan oliguria hebat
diberikan dosis percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui infus selama
3-5 menit. Bila dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30 ml
per jam dalam 2-3 jam. Untuk mencegah gagal ginjal akut pada tindakan operasi
atau mengatasi oliguria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50- 100g.  
2) Furosemide
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet dan preparat suntikan
 Dosis Obat : oral , dewasa 20-40 mg pada pagi hari, anak 1-3 mg/kg bb; Injeksi,
dewasa dosis awal 20-50 mg im, anak 0,5-1,5mg/kg sampai dosis maksimal sehari
20 mg; infus IV disesuaikan dengan keadaan pasien
3) Hidroklortiazid
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : 25-200 mg 1-2 dd, untuk mengontol hipertensi 25-50 mg
1-2 dd
4) Antagonis Aldosteron
 Sediaan Obat : Terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg
 Dosis Obat : dewasa berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif sehari
rata-rata 100mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan
kombinasi tetap antara spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25mg,
serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.
5) Triamteren dan Amilorid
 Sediaan Obat : Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100mg. Amilorid
terdapat dalam bentuk tablet 5 mg
 Dosis Obat : dari Triamteren 100-300mg sehari. Untuk tiap penderita harus
ditetapkan dosis penunjang tersendiri. Dosis Amilorid sehari sebesar 5-10mg.
Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan hidroklortiazid 50 mg
terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 1-2 tablet.
6) Bendroflazid
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : edema dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi
hari; dosis pemeliharaan 5-10 mg 1-3 kali seminggu Hipertensi, 2,5 mg pada
pagi hari.
7) Chlortalidone
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : edema, dosis awal 50 mg pada pagi hari atau 100-200 mg selang
sehari, kurangi untuk pemeliharaan jika mungkin. Hipertensi, 25 mg; jika perlu
ditingkatkan sampai 50 mg pada pagi hari
8) Bumetanide
 Sediaan Obat : dalam padatan berbentuk tablet dan cairan injeksi
 Dosis Obat : Dosis 1 mg diminum langsung pada pagi atau sore hari, dilanjutkan
dengan 1 mg setelah 6-8 jam kemudian. Pada pemberian intramuskular dan
intravena penyesuaian dengan dosis dokter
9) Indapamide
 Sediaan Obat : dalam bentuk padatan tablet
 Dosis Obat : pengobatan edema, 2,5-5 mg satu kali per hari. Pengobatan
hipertensi, 1,25-2,5 mg sekali sehari. Dapat dikombinasikan dengan obat anti
hipertensi lain.
Digitalis
Sediaan Obat : terdapat dalam bentuk tablet dan cairan injeksi
Dosis Obat :

Kondisi Usia Dosis


Gagal
Jantung Dewasa 0,5-1 mg sebagai dosis tunggal, infus selama 2 jam.
Akut
Dosis awal 0,75-1 mg yang diberikan dalam 24 jam
    sebagai dosis tunggal, atau dibagi tiap 6 jam. Dosis
pemeliharaan 125-250 mcg per hari.
Dosis awal 25 mcg/kgBB per hari, dibagi dalam 3
Bayi dengan berat badan
  kali pemberian. Dilanjutkan 4-6 mcg/kgBB per hari,
hingga 1,5 kg
dalam 1 atau 2 kali pemberian.
Dosis awal 30 mcg/kgBB per hari, dalam 3 kali
Bayi dengan berat badan
  pemberian. Dilanjutkan 4-6 mcg/kgBB per hari,
1,5-2,5 kg
dalam 1 atau 2 kali pemberian.
Kondisi Usia Dosis

Bayi dengan berat badan di atas


Gagal jantung, 2,5 kg dan balita usia 1 bulan Dosis awal 45 mcg/kgBB per hari, dalam 3 kali pemberian.
aritmia hingga 2 tahun Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari, dalam 1 atau 2 kali
    pemberian.
 
Dosis awal 35 mcg/kgBB per hari, dalam 3 kali pemberian.
  Anak usia 2-5 tahun
Dilanjutkan 10 mcg/kgBB per hari, dalam 1 atau 2 kali pemberian.
Dosis awal 25-750 mcg/kgBB per hari, dalam 3 kali pemberian.
  Anak usia 5-10 tahun Dilanjutkan 6-250 mcg/kgBB per hari, dalam 1 atau 2 kali
pemberian.
Anak usia 10 tahun hingga usia 18 Dosis awal 0,75-1,5 mg/kgBB per hari, dalam 3 kali pemberian.
 
tahun Dilanjutkan 62,5-750 mcg per hari, dalam 1 atau 2 kali pemberian.
Agonis β-Adrenergik

1) Dobutamin
 Sediaan obat : dalam bentuk cairan injeksi
 Dosis Obat : Dewasa dan anak-anak (bayi hingga remaja usia 18
tahun) 0,5-1 mcg/kgBB per menit, dapat ditingkatkan 2-20
mcg/kgBB per menit. Dosis tidak lebih dari 40 mcg/kgBB per
menit.
2) Dopamin
 Sediaan obat : dalam bentuk cairan injeksi
 Dosis : Dosis awal penggunaan dopamin adalah 2-5 mcg/kgBB per
menit, melalui infus. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
hingga 5-10 mcg/kgBB per menit.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai