Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MAKALAH KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN TERKAIT MYELOMA MULTIPLE

Kelas 2B Keperawatan
Kelompok 1
1. I Wayan Adi Sucipta (201901053)
2. Nur Aviva Pemasi (201901066)
3. Wirdayanti (201901080)
4. Antika Rahman (201901044)
5. Nur Annia Mandalika (201901065)
6. Nur Aziza (201901067)
7. Mutira (201901060)
8. Ni Nyoman Tina Dwi Susanti (201901062)
9. Yolin Meri Kristiani (201901081)
10. Panji Aulia Riska Mahendra P. (201701083)
11. Desinta Lambo (201801054)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA dimana atas
rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Asuhan Keperawatan Terkait Myeloma Multiple ini dapat terselesaikan dengan
baik. Semoga dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi diri sendiri, bagi
yang mendengarkan, dan bagi yang membaca. Makalah ini sangat bermanfaat
untuk menambah wawasan kita.

Walaupun dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan


kemampuan yang dimiliki masih kurang berkat kerja keras dan media
pembelajaran yang kami gunakan sangat memadai. Sehingga saya dapat
menyelesaikan dengan tepat waktu serta memberikan hasil yang maksimal.

Palu, 9 November 2020

Kelompok 1
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................
Kata Pengantar ...................................................................................................
Daftar Isi............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................
A. Latar Belakang .......................................................................................
B. Rumusan Masalah ..................................................................................
C. Tujuan ....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................
A. Konsep Medis ........................................................................................
1. Definisi ............................................................................................
2. Etiologi............................................................................................
3. Patofisiologi ....................................................................................
4. Manifestasi Klinis ............................................................................
5. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................
6. Penatalaksanaan ...............................................................................
7. Tanda Dan Gejala ............................................................................
8. Pengobatan ......................................................................................
9. Kompliksi ........................................................................................
10. Pencegahan ......................................................................................
B. Konsep Keperwatan ...............................................................................
1. Pengkajian .......................................................................................
2. Diagnosa..........................................................................................
3. Intervensi Dan Implementasi ...........................................................
4. Evaluasi ...........................................................................................
C. Analisis Jurnal ........................................................................................
BAB III PENUTUP ...........................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................
B. Saran ......................................................................................................
Daftar Pustaka ...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari
sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang
dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di
dalam darah atau air kemih. Multipel mieloma (mielomatosis, plasma cell
mieloma, Kahler’s disease) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai dengan
penggantian sumsum tulang, kerusakan tulang, dan formasi paraprotein. Mieloma
menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda klinis melalui mekanisme yang
bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah. Hal
ini dapat menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan
traktus digestivus.
Di Amerika Serikat, insiden multipel mieloma sekitar 4 kasus dari 100.000
populasi. Pada tahun 2004, diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple mieloma
di Amerika Serikat. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika
dan pada pria. Meskipun penyakit ini biasanya ditemukan pada lanjut usia, usia
rata-rata orang yang didiagnosis adalah 62 tahun, dengan 35% kasus terjadi di
bawah usia 60 tahun. Secara global, diperkirakan setidaknya ada 32.000 kasus
baru yang dilaporkan dan 20.000 kematian setiap tahunnya.
Penyebab multipel mieloma belum jelas. Paparan radiasi, benzena, dan
pelarut organik lainnya, herbisida, dan insektisida mungkin memiliki peran.
Multiple mieloma telah dilaporkan pada anggota keluarga dari dua atau lebih
keluarga inti dan pada kembar identik. Beragam perubahan kromosom telah
ditemukan pada pasien mieloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan
predominan kelainan pada 11q.
Pada 60% penderita, pengobatan dapat memperlambat perkembangan
penyakit. Penderita yang memberikan respon terhadap kemoterapi bisa bertahan
sampai 2-3 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis. Kadang penderita yang
bertahan setelah menjalani pengobatan, bisa menderita leukemia atau jaringan
fibrosa (jaringan parut) di sumsum tulang. Komplikasi lanjut ini mungkin
merupakan akibat dari kemoterapi dan seringkali menyebabkan anemia berat dan
meningkatkan kepekaan penderita terhadap infeksi. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap konsep dasar dan asuan keperawatan pada multiple myeloma sangat
penting.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Dari Multiple Myeloma ?
2. Apa Etiologi Dari Multiple Myeloma ?
3. Bagaimana Patofisiologi Multiple Myeloma ?
4. Bagaimana Manifestasi Klinis ?
5. Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Dari Multiple Myeloma ?
6. Apa Saja Penatalaksanaan Dari Multiple Myeloma ?
7. Apa Saja Tanda Dan Gejala Dari Multiple Myeloma ?
8. Bagaimana Pengobatan Dari Multiple Myeloma ?
9. Apa Saja Komplikasi Dari Multiple Myeloma ?
10. Bagaimana Cara Pencegahan Dari Multiple Myeloma ?
11. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Multiple Myeloma ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Dari Multiple Myeloma
2. Untuk mengetahui Etiologi Dari Multiple Myeloma
3. Untuk mengetahui Patofisiologi Multiple Myeloma
4. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis
5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Dari Multiple Myeloma
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Dari Multiple Myeloma
7. Untuk mengetahui Tanda Dan Gejala Dari Multiple Myeloma
8. Untuk mengetahui Pengobatan Dari Multiple Myeloma
9. Untuk mengetahui Komplikasi Dari Multiple Myeloma
10. Untuk mengetahui Cara Pencegahan Dari Multiple Myeloma
11. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Multiple Myeloma
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Medis
1. Definisi
Myeloma multiple adalah penyakit klonal yang ditandai poliferasi salah
satu jenis limfosit B, dan sel-sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut. Sel-
sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap terutama di tulang,
menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi, dan nyeri. Antibody
yang dihasilkan oleh sel-sel plasma tersebut biasanya adalah IgG atau IgA
klonal. Fragmen-fragmen monoclonal dari antibody tersebut dapat ditemukan di
urin pasien yang sakit. Fragmen-fragmen ini disebut protein Bence Jones.
Myeloma multiple merupakan bentuk yang paling sering ditemukan di
antara gemopati yang ganas; penyakit kanker ini merupakan neoplasma sel
plasma pada orang tua yang ditandai oleh lesi destruktif tulang pada lokasi yang
multiple. (Robbins & Cotran / Richard N. Mitchell, 2008).
Multiple myeloma adalah kanker yang menyerang sel plasma di sumsum
tulang. Sel plasma adalah salah satu jenis sel darah putih yang berfungsi untuk
membentuk antibodi. Kanker ini umumnya ditandai dengan nyeri pada tulang.
Multiple myeloma merupakan salah satu jenis kanker darah. Kondisi ini terjadi
saat sel-sel plasma yang tidak normal (abnormal) tumbuh dan berkembang
secara berlebihan, serta menggangu sel-sel yang sehat di sekitarnya. Sel-sel
kanker ini juga memproduksi antibodi abnormal. Selain tidak bisa berfungsi
untuk melindungi tubuh, penumpukan antibodi abnormal bisa merusak organ
tertentu, seperti ginjal.
2. Etiologi
Multiple myeloma terjadi saat sel plasma abnormal (myeloma) di
sumsum tulang tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat, serta merusak
sel-sel sehat, seperti sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah, yang
ada di sekitarnya. Dalam keadaan normal, sel-sel plasma akan menghasilkan
antibodi yang berfungsi melindungi tubuh (protein M). Saat sel-sel plasma
menjadi myeloma, antibodi yang diproduksi tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Protein M akhirnya menumpuk dan merusak beberapa organ, seperti
ginjal, tulang, dan sistem saraf.
Belum diketahui penyebab pasti dari multiple myeloma. Ada beberapa
penelitian yang menunjukan bahwa faktor-faktor risiko tertentu meningkatkan
kesempatan seseorang akan mengembangkan penyakit multiple myeloma,
diantaranya :
a. Umur diatas 65 tahun
Tumbuh menjadi lebih tua meningkatkan kesempatan mengembangkan
multiple myeloma. Kebanyakan orang-orang dengan myeloma terdiagnosa
setelah umur 65 tahun. Penyakit ini jarang pada orang-orang yang lebih
muda dari umur 35 tahun.
b. Ras (Bangsa)
Risiko dari multiple myeloma adalah paling tinggi diantara orang-orang
Amerika keturunan Afrika dan paling rendah diantara orang-orang Amerika
keturunan Asia. Sebab untuk perbedaan antara kelompok-kelompok ras
belum diketahui.
c. Jenis Kelamin
Setiap tahun di Amerika, kira-kira 11.200 pria dan 8.700 wanita terdiagnosa
dengan multiple myeloma. Tidak diketahui mengapa lebih banyak pria-pria
terdiagnosa dengan penyakit ini.
d. Sejarah perorangan dari monoclonal gammopathy of undetermined
significance (MGUS)
MGUS adalah kondisi yang tidak membahayakan dimana sel-sel plasma
abnormal membuat protein-protein M. Biasanya, tidak ada gejala-gejala, dan
tingkat yang abnormal dari protein M ditemukan dengan tes darah.
Adakalanya, orang-orang dengan MGUS mengembangkan kanker-kanker
tertentu, seperti multiple myeloma. Tidak ada perawatan, namun orang-
orang dengan MGUS memperoleh tes-tes laborat regular (setiap 1 atau 2
tahun) untuk memeriksa peningkatan lebih lanjut pada tingkat protein M.
e. Sejarah multiple myeloma keluarga
Studi-studi telah menemukan bahwa risiko multiple myeloma seseorang
mungkin lebih tinggi jika saudara dekatnya mempunyai penyakit ini.

Banyak faktor-faktor risiko lain yang dicurigai sedang dipelajari. Para


peneliti telah mempelajari apakah terpapar pada kimia-kimia atau kuman-
kuman tertentu (terutama virus-virus), yang mempunyai perubahan-perubahan
pada gen-gen tertentu, memakan makanan-makanan tertentu, atau menjadi
kegemukan (obesitas) meningkatkan risiko mengembangkan multiple myeloma.

3. Patofisiologi
Limfosit B mulai di sumsum tulang dan pindah ke kelenjar getah bening.
Saat limfosit B dewasa dan menampilkan protein yang berbeda pada
permukaan sel. Ketika limfosit B diaktifkan untuk mengeluarkan antibodi,
dikenal sebagai sel plasma. Multiple myeloma berkembang di limfosit B setelah
meninggalkan bagian dari kelenjar getah bening yang dikenal sebagai pusat
germinal. Garis sel normal paling erat hubungannya dengan sel Multipel
mieloma umumnya dianggap baik sebagai sel memori diaktifkan B atau para
pendahulu untuk sel plasma, plasmablast tersebut.
Sistim kekebalan menjaga proliferasi sel B dan sekresi antibodi di bawah
kontrol ketat. Ketika kromosom dan gen yang rusak, seringkali melalui
penataan ulang, kontrol ini hilang. Seringkali, bergerak gen promotor (atau
translocates) untuk kromosom yang merangsang gen antibodi terhadap
overproduksi.
Sebuah translokasi kromosom antara gen imunoglobulin rantai berat
(pada kromosom keempat belas, 14q32 lokus) dan suatu onkogen (sering
11q13, 4p16.3, 6p21, 16q23 dan 20q11) sering diamati pada pasien dengan
multiple myeloma. Hal ini menyebabkan mutasi diregulasi dari onkogen yang
dianggap peristiwa awal yang penting dalam patogenesis myeloma. Hasilnya
adalah proliferasi klon sel plasma dan ketidakstabilan genomik yang mengarah
ke mutasi lebih lanjut dan translokasi. 14 kelainan kromosom yang diamati
pada sekitar 50% dari semua kasus myeloma. Penghapusan (bagian dari) ketiga
belas kromosom juga diamati pada sekitar 50% kasus. Produksi sitokin
(terutama IL-6) oleh sel plasma menyebabkan banyak kerusakan lokal mereka,
seperti osteoporosis, dan menciptakan lingkungan mikro di mana sel-sel ganas
berkembang. Angiogenesis (daya tarik pembuluh darah baru) meningkat.
Antibodi yang dihasilkan disimpan dalam berbagai organ, yang menyebabkan
gagal ginjal, polineuropati dan berbagai gejala myeloma terkait lainnya.
4. Manifestasi Klinis
Multipel mieloma seringkali menyebabkan nyeri tulang (terutama pada
tulang belakang atau tulang rusuk) dan pengeroposan tulang sehingga tulang
mudah patah. Nyeri tulang biasanya merupakan gejala awal, tetapi kadang
penyakit ini terdiagnosis setelah penderita mengalami :

a. Anemia, karena sel plasma menggeser sel-sel normal yang menghasilkan sel
darah merah di sumsum tulang.
b. Infeksi bakteri berulang, karena antibodi yang abnormal tidak efektif
melawan infeksi.
c. Gagal ginjal, karena pecahan antibodi yang abnormal (protein Bence-Jones)
merusak ginjal.

Terkadang multipel mieloma mempengaruhi aliran darah ke kulit, jari


tangan, jari kaki dan hidung karena terjadi pengentalan darah (sindroma
hiperviskositas). Berkurangnya aliran darah ke otak bisa menyebabkan gejala
neurologis berupa kebingungan, gangguan penglihatan dan sakit kepala.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus.
Jumlah leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar
15% pasien yang terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi
jarang mencapai 5%, kecuali pada pasien dengan leukemia sel plasma.
Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien. Hiperkalsemiadite mukan
pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga setengah yang
didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien
menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang
dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.
b. Radiologi
1) Foto Polos X-Ray
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel,
berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang
belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama.
Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla , mengikis tulang
cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal.
Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit
pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien,
ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. Saat
timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan
tulang. Film polos memperlihatkan:
a) Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,
terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan
sumsum pada jaringan mieloma. Hilangnya densitas tulang
belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada
mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.
b) Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan
dengan osteoprosis senilis.
c) Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas,
lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
d) Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan
massa jaringan lunak.
Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan
pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra
66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula
10% dan scapula 10%.
2) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma.
Namun, kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya
CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang
konvensional menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat
deteksi.
3) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas
ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI
pada deposit mieloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang
fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada
sekuensi T2.Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki
intensitas dan pola menyerupai mieloma. MRI meskipun sensitif
terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan
untuk diagnosis multiple mieloma seperti pengukuran nilai gamma
globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai
plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi
kompresi tulang.
4) Radiologi Nuklir
Mieloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas
pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas
osteoblastik (formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin.
Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple
mieloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan
pemeriksaan lain untuk konfirmasi.
5) Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona
perifer dari peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak
digunakan untuk mendiagnosis multipel mieloma.
6. Penatalaksanaan
a. Kemoterapi dapat memperpanjang hidup. Satu jenis kemoterapi yang
digunakan adalah obat lama, talidomid, yang bekerja sebagai
imunomodulator dan penyekat perkembangan pembuluh darah. Terapi obat
lain antara lain penyekat proteasom (bortezomib) dan agens alkilasi.
b. Terapi radiasi digunakan untuk menurunkan ukuran lesi tulang dan
meredakan nyeri.
c. Transplantasi sumsum tulang mungkin dapat berhasil pada beberapa klien.
7. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami mieloma
multipel cukup bervariasi. Pada tahap awal penyakit ini, gejalanya pun tidak
terlihat secara khusus. Beberapa tanda dan gejala yang bisa terjadi pada
mieloma multipel adalah:
a. Nyeri tulang, terutama pada tulang belakang atau tulang rusuk
b. Mual
c. Konstipasi
d. Penurunan nafsu makan
e. Rasa kebingungan
f. Kelelahan
g. Infeksi berulang
h. Penurunan berat badan
i. Kelemahan atau rasa baal pada tungkai
j. Rasa haus yang berlebih
8. Pengobatan
Multiple myeloma tidak bisa disembuhkan. Pengobatan akan dilakukan
jika pasien merasakan gejala. Pengobatan bertujuan untuk mengendalikan
perkembangan sel-sel kanker, mencegah komplikasi, dan meredakan keluhan
dan gejala. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa pilihan pengobatan
berikut:
a. Obat-obatan
Bentuk obat-obatan untuk menangani multiple myeloma dapat beragam,
mulai dari obat minum hingga suntikan. Beberapa jenis obat yang bisa
diberikan oleh dokter adalah:
1) Target drug theraphy, yaitu obat untuk menghambat dan menghentikan
pertumbuhan sel kanker (myeloma). Contoh obat ini adalah bortezomib
dan carfilzomib.
2) Biological drug theraphy, yaitu obat untuk meningkatkan sistem imun
penderita sehingga bisa melawan sel myeloma. Contoh obat ini adalah
thalidomide dan lenalidomide.
3) Kemoterapi, yaitu obat untuk membunuh sel-sel yang tumbuh terlalu
cepat termasuk sel myeloma. Kemoterapi sering dilakukan sebelum
pasien menjalani transplantasi stem cell.
4) Kortikosteroid, yaitu obat untuk mengatur sistem imun yang mengontrol
peradangan. Contoh obat ini adalah prednisone dan dexamethasone.

Selain obat-obat yang disebutkan di atas, dokter juga akan memberikan


beberapa obat pendukung, seperti:
1) Obat untuk mencegah kerusakan pada tulang, seperti bifosfonat
2) Obat pereda nyeri, seperti paracetamol
3) Obat penambah darah dan mengatasi anemia, seperti erythropoietin
b. Radioterapi
Radioterapi adalah terapi menggunakan pancaran sinar berenergi tinggi,
yaitu X-ray, untuk menghancurkan dan menghentikan pertumbuhan sel
myeloma. Terapi ini biasa digunakan bila ingin menghancurkan sel myeloma
di area tubuh yang spesifik.
c. Transplantasi sumsum tulang atau stem cell
Transplantasi sumsum tulang adalah prosedur penggantian sel-sel abnormal
yang ada di sumsum tulang dengan sel-sel sumsum tulang sehat. Sel sumsum
tulang sehat bisa berasal dari stem cell pasien atau stem cell donor.
9. Komplikasi
Jika tidak segera ditangani, multiple myeloma dapat menyebabkan beragam
komplikasi, antara lain:
a. Gangguan pada tulang, nyeri tulang, tulang keropos, dan tulang patah

b. Mudah terkena infeksi atau sering sakit

c. Anemia dan trombositopenia

d. Gagal ginjal

10. Pencegahan
Tidak ada pencegahan khusus untuk multiple myeloma. Namun, ada beberapa
hal yang bisa dilakukan untuk menurukan risiko terjadinya kondisi ini, yaitu:
a. Lakukan kontrol secara berkala ke dokter, terutama bila Anda sudah pernah
terdiagnosis MUGS atau memiliki gangguan pada sistem imun.
b. Patuhi standar keamanan yang telah ditetapkan saat bekerja, terutama bila
Anda sering terpapar bahan kimia.
c. Terapkan pola makan sehat dan seimbang, terutama dengan mengonsumsi
makanan sehat dan memiliki kandungan gizi yang seimbang.
d. Jaga berat badan dalam rentang ideal, yaitu dengan menerapkan pola makan
yang sehat dan rajin berolahraga.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
Perlu dikaji perasaan nyeri atau sakit yang dikeluhkan pasien, kapan
terjadinya, biasanya terjadi pada malam hari. Tanyakan umur pasien,
riwayat dalam keluarga apakah ada yang menderita kanker, prnah tidaknya
terpapar dalam waktu lama terhadap zat-zat karsinogen dan sesuai
dianjurkan
b. Pemeriksaan Fisik
Lakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi adanya nyeri, bengkak,
pergerakan terbatas, kelemahan.
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise, merasa lelah, letih
Tanda : gelisah siang dan malam, gangguan pola istrahat dan pola
tidur, malaise (kelemahan dan keletihan) dan gangguan alat
gerak.
2) Sirkulasi
Gejala : Palpitasi , adanya pembengkakan mempengaruhi sirkulasi dan
adanya nyeri pada dada karena sumbatan pada vena.
Tanda : Peningkatan tekanan darah.
3) Integritas Ego
Gejala : Menarik diri dari lingkungan, karena faktor stress (adanya
gangguan pada keuangan, pekerjaan, dan perubahan peran),
selain itu biasanya menolak diagnosis, perasaan tidak
berdaya, tidak mampu, rasa bersalah, kehilangan control dan
depresi.
Tanda : Menyangkal, marah, kasar,. dan suka menyendiri.
4) Eliminasi
Gejala : Perubahan pada eliminasi urinarius misalnya nyeri, pada saat
berkemih dan poliurin, perubahan pada pola defekasi ditandai
dengan adanya darah yang bercampur pada feses, dan nyeri
pada saat defekasi.
Tanda : adanya perubahan pada warna urin, perubahan pada peristaltik
usus, serta adanya distensi abdomen
5) Makanan / Cairan
Gejala : kurang nafsu makan, pola makan buruk, (misalnya rendah
tinggi lemak, adanya zat aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual / muntah
Tanda :Penurunan berat badan, berkurangnya massa otot, dan
perubahan pada turgor kulit.
6) Hiegine
Gejala : Melakukan higene diri sendiri harus dibantu orang lain, karena
gangguan ekstremitas maka menjaga hygiene tidak dapat
dilakuakan, malas mandi
Tanda : Adanya perubahan pada kebersihan kulit, kuku dan
sebagainya.
7) Neurosensori
Gejala : Pusing
Tanda : Pasien sering melamun dan suka menyendiri.
8) Kenyamanan
Gejala : adanya nyeri dari nyeri ringan sampai nyeri berat, sangat
mempengaruhi kenyamanan pasien
Tanda : Pasien sering mengeluh tentang nyeri yang dirasakan, dan
keterbatasan gerak karena nyeri tersebut.
9) Pernapasan
Gejala : Pasien kadang asma, karena kebiasaan merokok, atau
pemajanan asbes.
10) Keamanan
Gejala : Karena adanya pemajanan pada kimia toksik, karsinogen
pemajanan matahari lama / berlebihan.
Tanda : Demam, ruam kulit dan ulserasi.
11) Seksualitas
Gejala : adanya perubahan pada tingkat kepuasan seksualitas karena
adanya keterbatasan gerak.
c. Riwayat Psikososial
Kaji adanya kecemasan, takut ataupun depresi
d. Pemeriksaan diagnostic
Periksa adanya anemi, hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan hiperurisemia
e. Pembelajaran / Health education
Memberi pengetahuan tentang penyakit kanker mengenai gejala – gejala,
riwayat penyakit kanker keluarga, dan memberi pengertian kepada
keluarga tentang upaya pengobatan.
2. Diagnosa
a. Nyeri b/d proses patologik penyakit
b. Resiko terhadap cidera: fraktur patologik b/d tumor
c. Kurang pengetahuan b/d proses penyakit dan program terapeutik
d. Ketidakefektifan koping individu b/d rasa takut tentang ketidaktahuan,
persepsi tentang proses penyakit dan system pendukung tidak adekuat
e. Gangguan harga diri b/d hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja
peran
3. Intervensi Dan Implementasi
a. Diagnosa 1 : Nyeri b/d proses patologis penyakit
Tujuan : nyeri berkurang atau terkontrol
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2) Berikan posisi yang nyaman
3) Monitor tanda-tanda vital
4) Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri

Rasional

1) Rengetahui tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien sehingga dapat


memudahkan intervensi selanjutnya
2) Dengan posisi yang nyaman diharapkan rasa nyeri dapat berkurang
3) Rengetahui perubahan tanda vital akibat nyeri
4) Meningkatkan rasa nyaman dan menghilangkan nyeri sedang sampai
berat
b. Diagnosa 2 : Resiko terhadap cidera: fraktur patologik b/d tumor
Tujuan : Tidak adanya cidera akibat tumor yang dialami pasien
Intervensi
1) Sangga tulang yang sakit dan tangani dengan lembut selama
pemberian asuhan keperawatan
2) Gunakan sanggahan eksternal (mis. Splint) untuk perlindungan
tambahan
3) Ikuti pembatasan penahanan berat badan yang dianjurkan
4) Ajarkan bagaimana cara untuk menggunakan alat ambulatory dengan
aman dan bagaimana untuk menguatkan ekstremitas yang tidak sakit
Rasional
1) Tumor tulang akan melemahkan tulang sampai ke titik dimana
aktivitas normal atau perubahan posisi dapat mengakibatkan fraktur
2) Penyangga luar (mis. bidai) dapat dipakai untuk perlindungan
tambahan
3) Adanya pembatasan akan membantu klien dalam penahanan berat
badan yang tidak mampu ditahan oleh tulang yang sakit
4) Penggunaan alat ambulatory dengan aman mampu menguatkan
ekstremitas yang sehat
c. Diagnosa 3 : Kurang pengetahuan b/d proses penyakit dan program
terapeutik
Tujuan : pasien memahami proses penyakit dan program terapi
Kriteria Hasil : Pengetahuan yang tepat mengenai proses penyakit dan
menggambarkan program pengobatannya.
Intervensi :
1) Kenali tingkat pengetahuan pasien saat ini tentang kanker atau tumor
2) Gambarkan proses penyakit tumor sesuai dengan kebutuhan
3) Berikan informasi mengenai terapi dan atau pilihan pengobatan yang
potensial terjadi dan atau keuntungan dari setiap terapi tersebut
4) Gunakan brosur, gambar, video tape dalam penyuluhan pasien atau
keluarga
5) Anjurkan pasien untuk menyampaikan pilihannya atau mendapatkan
pilihan kedua sesuai kebutuhan
6) Instruksikan pasien untuk melaporkan tanda dan gejala pada pemberi
pelayanan kesehatan; memberi nomor telepon yang penting

Rasional

1) Data akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari


adanya duplikasi
2) Membantu pasien dalam memahami proses penyakit
3) Membantu pasien dalam membuat keputusan pengobatan
4) Alat visual memberikan penguatan pada instruksi yang diberikan
5) Meningkatkan advokasi pasien dalam pelayanan medis
6) Meningkatkan keamanan dalam upaya penyembuhan
d. Diagnosa 4 : Ketidakefektifan koping individu b/d rasa takut tentang
ketidaktahuan, persepsi tentang proses penyakit dan system
pendukung tidak adekuat
Kriteria Hasil : Ansietas, kekhawatiran, dan kelemahan menurun pada
tingkat yang dapat diatasi, mendemonstrasikan kemandirian yang
meningkat dalam aktivitas dan proses pengambilan keputusan
Intervensi :
1) Gunakan pendekatan yang tenang dan berikan satu suasana lingkungan
yang dapat diterima
2) Evaluasi kemampuan pasien dalam pembuatan keputusan
3) Kaji sikap harapan yang realistis
4) Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri yang sesuai
5) Nilai kebutuhan atau keinginan pasien terhadap dukungan social
6) Kenalkan pasien pada seseorang atau kelompok yang telah memiliki
pengalaman penyakit yang sama
7) Berikan sumber-sumber spiritual jika diperlukan

Rasional

1) Membantu pasien dalam membangun kepercayaan kepada tenaga


kesehatan
2) Membantu pengkajian terhadap kemandirian dalam pengambilan
keputusan
3) Meningkatkan kedamaian diri
4) Meningkatkan kemampuan untuk menguasai masalah
5) Memenuhi kebutuhan pasien
6) Memberikan informasi dan dukungan dari orang lain dengan
pengalaman yang sama
7) Untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien
e. Diagnosa 5 : Gangguan harga diri b/d hilangnya bagian tubuh atau
perubahan kinerja peran
Kriteria Hasil : harga diri klien meningkat
Intervensi :
1) Dukung keluarga dalam mengupayakan melewati penyesuaian yang
harus dilakukan; kenali perubahan dalam citra diri akibat pembedahan
dan kemungkinan amputasi
2) Berikan kepastian yang realistis tentang masa depan dan perjalanan
kembali aktivitas yang berhubungan dengan peran; beri dorongan
untuk perawatan mandiri dan sosialisasi
3) Libatkan pasien dan keluarga sepanjang pengobatan untuk
meningkatkan rasa tetap memiliki kontrol dalam kehidupan seseorang

Rasional

1) Kemandirian versus ketergantungan merupakan isu pada pasien yang


menderita keganasan. Gaya hidup akan berubah secara dramatis,
paling tidak sementara
2) Peyakinan yang masuk akal mengenai masa depan dan penyesuaian
aktivitas yang berhubungan dengan peran harus dilakukan untuk
memandirikan pasien
3) Keterlibatan pasien dan keluarganya sepanjang terapi dapat
mendorong kepercayaan diri, pengembalian konsep diri, dan perasaan
dapat mengontrol hidupnya sendiri.
4. Evaluasi
a. Klien mampu menerangkan proses penyakit dan program terapi
1) Menerangkan proses patologik
2) Menentukan program sasaran terapeutik
3) Mencari penjelasan informasi
b. Mampu mengontrol nyeri
1) Memanfaatkan teknik pengontrolan nyeri termasuk obat yang diberikan
2) Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat
istirahat, selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari atau tempat
operasi
c. Tidak mengalami patah tulang patologik
1) Menghindari stress pada tulang yang lemah
2) Mempergunakan alat bantu dengan aman
3) Memperkuat ekstremitas yang sehat
d. Memperlihatkan pola penyelesain masalah yang efektif
1) Mengemukakan perasaannya dengan kata-kata
2) Mengidentifikasi ketakutan dan kemampuannya
3) Membuat keputusan
4) Meminta bantuan bila perlu
e. Memperlihatkan konsep diri positif
1) Mengidentifikasi tanggung jawab rumah tangga dan keluarga yang
mampu ditanggungnya
2) Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuannya
3) Memperlihatkan penerimaan citra diri
4) Memperlihatkan kemandirian dalam aktivitas hidup
f. Memperlihatkan tiadanya komplikasi
1) Memperlihatkan penyembuhan luka
2) Tidak mengalami kerusakan kulit
3) Mempertahankan atau meningkatkan berat badan
4) Tidak mengalami infeksi
5) Mengatasi efek samping terapi
6) Melaporkan gejala toksisitas obat atau komlikasi pembedahan
g. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan berkelanjutan di rumah
1) Mematuhi regimen yang ditentukan (misalnya; menelan setiap obat
yang diresepkan, tetap mejalankan terapi fisik dan okupasi)
2) Menyetujui perlunya supervisi kesehatan jangka panjang
3) Rajin memenuhi janji perawatan kesehatan tindak lanjut
4) Melaporkan bila ada gejala atau komplikasi
C. Analisis Jurnal
Kelebihan:
1. Plasma exchange direkomendasikan pada kasus dengan gagal ginjal untuk
mengurangi secara cepat konsentrasi free. light chain untuk mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada Multiple Myeloma. yang membandel
disertai gagal ginjal dan hiperkalsemia dapat dilakukan hemodialisa, plasma
exchange dikombinasi dengan kemoterapi dosis tinggi, dalam hal ini regimen
bortezomid dilaporkan paling efektif.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal pada MM meliputi terapi supportif (hidrasi yang
adekwat), dan mekanik (hemodialisa dengan filter khusus, plasma exchange,
free light chain removal with dialysis.
3. Terlepas ada atau tidaknya Multiple Myeloma, bila terdapat pneumoni berat
dan AKI, maka hemodialisa menjadi terapi penting untuk mengurangi efek
buruk dari lung-renal interaction

Kelebihan :
1. Pada pasien ini yang terjadi adalah sepsis pneumonia yang memicu AKI pada
Multiple Myeloma dengan komplikasi hiperkalsemia dan kemungkinan juga
telah mengalami penurunan fungsi ginjal.
2. Terjadi kondisi yang saling memperberat antara disfungsi ginjal dengan
disfungsi paru dan produk yang dihasilkan oleh proses fatofisiologi Multiple
Myeloma.
3. Terapi terhadap penyakit dasar yang belum optimal dan hadirnya bakteri
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

PENATALAKSANAAN SEPSIS AKI PADA PASIEN MULTIPLE MYELOMA


DENGAN HIPERKALSEMIA BERAT

Agus Sumedi
Universitas Islam Sumatera Utara
e-mail : ibnusina0216@gmail.com

ABSTRACT
This case report talking about a female 56 yo with Multiple Myeloma (MM) suffer from
Pneumonia and Acute Kidney Injury (AKI). MM is haematology cancer produce free light
chain that impair renal tubulus, cause anemia, bone lesion and hypercalcemia. This patient
came to hospital withsevere pneumonia, acute kidney injury andsevere hypercalcemia. In
intensive care unit supported by mechanical ventilation, diuretic, antibiotics
administration,haemodialysis,vasoactive agents, bisphosphonat and others.The acitenobacter
baumanni was identified from sputum culture and then developed become multidrugs resistant
leading to septic syock and multi organs dysfunction and death in two weeks.

Keywords: Multiple Myeloma, pneumonia, AKI, hypercalcemia, multi drugs resistant.

Renal failure, Anemia, Bonelesion),


1. PENDAHULUAN sehingga CRAB juga digunakan sebagai
Multiple myeloma (MM) yang juga kriteria diagnosa Multiple Myeloma
dikenal sebagai plasma cell myeloma simptomatis. Untuk diagnosa definitif
merupakan kanker hematologi/sel plasma, diperlukan beberapa pemeriksaan darah
suatu tipe sel darah putih yang dalam atau urinantara lain protein elektroforesis,
keadaan normal bertanggung jawab untuk adanya free lightchain, Bence Jones
memperoduksi antibodi. Faktor resiko Protein atau biopsi sumsum tulang
penyakit MM antara lain peminum alkohol (Dimopoulos, 2008; Bradley, 2005).
dan obesitas (Dimopoulos, 2008). Di Terapi MM berdasarkan pertimbangan
Amerika terjadi pada 6.5 orang dari usia pasien dan komorditas, yang meliputi
100.000 penduduk pertahun, dengan asam zolodronik, pamidronat atau dosis
mortalitas 3.4/100.000 pertahun. Usia 61 tinggi kemoterapi dengan autologous
tahun dimana laki-laki lebih banyak transplantasi stem sel hematopoetik.
daripada perempuan (Nucci, 2009). Terapi dosis tinggi yang paling umum
Penyakit ini ditandai dengan jumlah digunakan adalah lenalidomide
yang berlebihan dari plasma sel abnormal deksametason dan regimen dasar
didalam sum-sum tulang dan over produksi bortezomide (Terpos, 2015; Tosi, 2015).
imunoglobulin monoklonal (Ig G, Ig A, Ig D, MM termasuk penyakit yang disertai
Ig E) atau Bence Jones Protein (free dengan immunosuppressive. Studi terbaru
monoclonalatau gamma light chain/free melaporkan resiko infeksi bakteri adalah
light chain). Osteoporosis sering terjadi tujuh kali lipat lebih tinggi dan resiko
yang biasanya mengenai pelvis, ruas tulang infeksi virus 10 kali lipat lebih tinggi
belakang, iga dan tulang tengkorak dibanding orang normal. Infeksi yang paling
(Terpos, 2015; Bradley, 2005). Komplikasi sering adalah pneumonia, bila terjadi
lain meliputi lesi tulang (80-90%), pneumonia mudah sekali berkembang
hiperkalsemia (30%) dan gagal ginjal (20- menjadi sepsis dan syok sepsis (Terpos,
25%). Gejala/komplikasi penyakit ini 2015).
dikenal dengan CRAB (hyperCalsemia,

54
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

Definisis sepsis dan syok sepsis Overload diatasi dengan lasix 2 mg/jam
menurut Society of Critical Care Medicine’s didapat urine output menjadi 0.5
(SCCM) dan European Society of Intensive ml/kg/jam/24 jam. Ureum/Creatinin tinggi
CareMedicine’s (ESICM) pada konsensus bermakna, hiperkalsemia berat APACHE
sepsis-3. Bila terjadi sepsis, antibiotika score = 24, prediksi mortalitas 49.7%.
yang efektif harus diberikan dalam 6 jam Ventilasi mekanik untuk memperbaiki
sejak timbulnya hipotensi sebab oksigenisasi yang tergangu. Pada hari
keterlambatan 1 jam setelah 6 jam itu akan perawatan ke-2, keadaan umum sakit
menurunkan survival 7.6 % (kumar, 2006; berat, hemodinamik stabil. Perbaikan urine
Singer, 2016). output menjadi 0.7 ml/kg/menit.
Mekanisme terjadinya gagal ginjal pada Ureum/Creatinin dan gambaran foto torak
MM adalah karena akumulasifree light chain relatif sama dengan hari pertama. AGDA
pada tubulus ginjal dan akibat lebih baik dari hari sebelumnya. Ini
hiperkalsemia. Penatalaksanaan gagal mengeesankan bahwa odem paru
ginjal pada MM meliputi terapi supportif berkurang. SOFA score = 9, prediksi
(hidrasi yang adekwat), dan mekanik mortalitas 33%. SAPS II score = 56,
(hemodialisa dengan filter khusus, plasma prediksi mortalitas 59.8%.
exchange, free light chain removal with Pada hari perawatan ke-3, keadaan umum
dialysis. sakit berat. Tekanan darah cendrung turun,
Plasma exchange direkomendasikan urine output meningkat menjadi 0.9
pada kasus dengan gagal ginjal untuk ml/menit.
mengurangi secara cepat konsentrasi free Balans kumulatif +1300 ml. Lasix 4
light chain untuk mencegah kerusakan mg/jam. HD belum dilakukan. Sputum
ginjal lebih lanjut. Pada Multiple Myeloma bertambah kental dan asidosis respiratorik,
yang membandel disertai gagal ginjal dan paru kiri kurang mengembang. Pastikan
hiperkalsemia dapat dilakukan hemodialisa, posisi ETT, bebaskan mucus plaque bila
plasma exchange dikombinasi dengan ada, naikkan minute volume. SOFA = 12,
kemoterapi dosis tinggi, dalam hal ini prediksi mortalitas 95%. SAPS II = 53,
regimen bortezomid dilaporkan paling prediksi mortalitas: 53%.
efektif. Dengan terafi dosis tinggi diikuti Pada hari perawatan ke-4, keadaan umum
dengan transplantasi autologous median buruk, MAP turun kurang dari 65 mmHg.
survival mencapai lebih kurang 4.5 tahun Asidosis metabolik. Laktat meningkat
pada tahun 2003 dibanding dengan terapi menjadi 3.2 mmol/l. Mulai diberikan
standard yang hanya mencapai lebih norepinefrin 0.05 ug/kg/menit. Lasix 4
kurang 3.5 tahun (Terpos, 2015; Tosi, mg/jam dengan urine output meningkat.
2015; Chu, 2013). Dilakukan HD I. Posst HD creatinin turun.
Literatur lain mengatakan bila multiple Balans kumulatif +874 ml.
myeloma disertai gagal ginjal maka median Pada hari perawatan ke-5, keadaan umum
survivalnya kurang dari 2 tahun. Menurut buruk, MAP dipertahankan lebih dari 65
International Staging System 2005, median mmHg. Urine output 0.9 ml/kg/jam dengan
survival stadium I = 62 bulan, stadium II = lasix 10 mg/jam. Asidosis respiratorik.
45 bulan, stadium III = 29 bulan (Nucci, Ganti antibiotik dengan meropenem dan
2009). levofloxacin ditambah fluconazole. Metil
prednisonolon untuk hiperkalsemia. SOFA =
2. METODE PENELITIAN 11, prediksi mortalitas 50%. SAPS II = 53,
Pada hari perawatan ke-1, urine output< prediksi mortalitas: 53%.
0.5 ml/kg/jam/6jam I. Infiltrat bilateral, Hari perawatan ke–6, keadaan umum
odem paru kesan AKI dengan overload. buruk, hemodinamik masih didukung oleh

55
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

norepinefrin, vasopressin dan dobutamin. vasopressin 0.04 U/menit dan dobutamin


MAP dipertahankan lebih dari 65 mmHg. 5-10 ug/kg/menit. MAP masih fluktuatif
Terdapat fluktuasi MAP kurang dari 65 sampai 55 mmHg, anuri, asidosis
mmHg. Asidosis respiratorik, gangguan respiratorik berat,hiperkarbia (PCO2: 90).
ventilasi paru karena sputum dan mucus Lekosit: 20.700. SOFA = 14, mortalitas:
plaque. Diatasi dengan pengisapan slem 95%. SAPS II = 71, prediksis mortalitas
secara intensif, RR dinaikkan. 85%. Ganti antibiotik karena diketahui
Pada hari perawatan ke-7, hemodinamik antibiotik telah resisten.
relatif sama dengan hari sebelumnya. Pada hari perawatan ke-13, hemodinamik
Asidosis respiratoik semakin nyata. tidak stabil, MAP 65 mmHg sulit dicapai.
Gangguan pengembangan paru kiri diduga Anuria, akral dingin, capillary refill lebih
karena efusi pleura kiri. Dilakukan WSD dari 3 detik, laktat 3.4 mmol/L. Asidosis
untuk efusi pleura. RR ventilator dinaikkan respiratorik berat dengan pH: 7.12 (PCO2:
menjadi 20 kali permenit. 78), anuri, balans kumulatif +3627 ml.
Pada hari perawatan ke-8, keadaan umum Hasil kutur: Acitenobacter b. panresisten.
buruk hemodinamik didukung dengan Pada hari perawatan ke-14, Keadaan umum
norepinefrin, vasopressin dan dobutamin. buruk, hemodinamik tidak stabil, MAP 40
MAP konsisten lebih dari 65 mmHg. Tanda- mmHg cenderung menurun. Asidosis
tanda atelektase: dilakukan reintubasi dan respiratori dan metabolik. HR masih
bronkoskopi, asidosis respiratorik kompensasi sampai 140 x/menit kemudian
perbaikan, pH:7.26 dan CO2: 44. Efusi melambat sampai bradikardi. Pada pukul
pleura berkurang. Ditemukan sputum 19.30 WIB nadi tidak teraba, gambaran
banyak dan kental, tanda inflamasi kronis, EKG asistol. Tidak dilakukan resusitasi
tidak terlihat nodul/masa. Dilakukan HD jantung paru dan pasien dinyatakan
yang ke III. meninggal pukul 20.30 WIB.
Pada hari perawatan ke-9, hemodinamik
didukung dengan norepinefrin, vasopressin 3. PEMBAHASAN
dan dobutamin. MAP konsisten lebih dari 65 Pasien ini dengan riwayat nyeri tulang
mmHg. Cendrung takkikardi. Urine Output: belakang akibat fraktur vertebra torakal 2-4
0.7 ml/kg/jam. Balans kumulatif: +1786 yang diduga karena Multiple Myeloma.
ml. Setelah tirah baring di rumah selama lebih
Pada hari perawatan ke-10, keadaan umum kurang 1 bulan, pasien ini masuk instalasi
buruk, hemodinamik didukung dengan gawat darurat rumah sakit karena sesak
norepinefrin,vasopressin dan dobutamine. nafas selama 3 hari dan keadaan umum
MAP konsisten lebih dari 65 mmHG. yang menurun.
Cenderung takkikardi. Reintubasi untuk Gejala-gejala klinis pada pemeriksaan fisik
ganti ETT karena mucus plaque. Urine pasien terlihat sesak disertai adanya
output: 0.9 ml/kg/jam. Balans kumulatif sputum, frekwensi nafas 28 kali permenit,
1470 ml. febris (390 C), ronki basah kasar pada
Pada hari perawatan ke-11, keadaan umum kedua lapangan paru. Hasil serial
buruk, hemodinamik buruk, MAP fluktuatif pemeriksaan foto torak berupa infiltrat
rendah mencapai 60 mmHg. Urine Output bilateral dan gambaran odem paru, lekosit
0.33 ml/kg/jam. Saturasi O2 arteri 14.600, darah tepi 91% neutropil batang.
dipertahankan 88-90%, PCO2 meningkat Berdasarkan kriteria CPIS (Clinical
menjadi 60. Pulmonary Infection Score) pasien ini
Pada hari perawatan ke-12, keadaan umum didiagnosa sebagai CAP (Community
buruk, hemodinamik tidak stabil, ditopang Acquired Pneumonia). Selanjutnya
oleh norepinefrin 0.7 ug/kg/menit, mengalami gagal nafas sehingga mendapat

56
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

tindakan intubasi dan ventilasi mekanik. ginjal, efek sitotoksik sepsis yang memicu
Selama hampir 24 jam pertama dirawat di sitokin storm dan interaksi antara organ-
unit IGD pasien mendapat antibiotik organ yang mengalami kerusakan (Mandel,
ceftriaxone 1 kali 2 gr, analgetik, sedasi 2007; Delinger, 2013).
dan cairan Ringer Laktat 1500 ml dengan Sedangkan mekanisme terjadinya gagal
produksi urin lebih kurang 1 ml/kg/jam. ginjal pada MM adalah penumpukan free
Pada hari perawatan pertama di ICU light chain protein pada tubulus yang
didapatkan produksi urin 6 jam pertama < menyebabkan sumbatan dan kerusakan
0.5 ml/kg/jam disertai dengan nilai ureum tubulus. Pada penyakit MM simtomatis
dan creatinin yang tinggi (274 mmol/L dan dikenal kumpulan gejala klinis/kriteria
6.7 mg/dl). Menurut kriteria diagnostik diagnosa berupa CRAB: hypercalcemia,
Kidney Disease Improvement Global renal failure, anemia, dan bone lesion
Outcomes (2012), pasien ini mengalami (Nucci, 2009; Terpos, 2015). Sebelumnya
AKI (Acute Kidney Injury). Setelah telah diketahui adanya multiple fraktur
dilakukan evaluasi ulang berdasarkan kompressi vertebra thorakal 2 sampai 4,
kritera q SOFA ( tekanan darah sistol < 100 maka AKI dan hiperkalsemia pada kasus ini
mmHg, perubahan mental, frekwensi nafas diduga sebagai bagian dari gejala/
lebih dari 22 kali permenit) diagnosa komplikasi dari MM. Dari riwayat dan
selanjutnya adalah Sepsis CAP dan AKI keluhan serta nila cretinin sebelumnya dan
pada MM. pemeriksaan USG ginjal yang dilakukan di
ICU didapat APACHE II score = 24, dengan ICU tidak ditemukan tanda-tanda Cronic
prediksi mortalitas 49.7% Kydney Disease (CKD).
Pada kasus ini, AKI mungkin berkaitan Terapi CAP menurut gudeline IDSA/ATS
dengan sepsis Pneumoni atau komplikasi 2007 untuk pasien yang dirawat di ICU
dari penyakit MM sendiri atau keduanya yang belum dicurigai adanya infeksi
terjadi secara bersamaan. Pseudomonas adalah antibiotik golongan
Murugan R. dkk melakukan studi prosfektif beta laktam (cefotaksim,ceftiaxone, atau
yang melibatkan 1800 pasien melaporkan ampicillin sulbactam) ditambah
bahwa AKI sering terjadi pada pasien fluoroquinolon atau azithromycin (Mandel,
pneumoni baik yang dengan sepsis ringan 2007). Pada pasien ini hanya diberikan
ataupun yang berat, dimana ditemukan ceftriaxone tampa kombinasi.
marker inflamasi dan firinolisis. Pada Terapi sepsis AKI secara umum meliputi
pasien-pasien CAP dengan AKI ditemukan terapi efektif terhadap sepsis/syok sepsis
adanya respon immun yang lebih tinggi dan terapi penunjang untuk AKI. Terapi
dibanding CAP tampa AKI. Menurut teori sepsis menurut Guideline SSC 2012 dimulai
lama hipoperfusi dihubungkan dengan dengan pemberian antibiotika yang
iskemi ginjal yang mengakibatkan nekrosis adekwat, resusitasi cairan dini, dukungan
tubular akut. Tetapi banyak fakta hemodinamik dengan vasoaktif dan terapi
menunjukkan AKI juga terjadi pada fase supportif lainnya. Terapi penunjang untuk
awal sepsis tanpa adanya gangguan cardiac AKI adalah RRT (Renal ReplacementTerapi)
output, bahkan AKI juga terjadi pada mempunyai indikasi absolut seperti
infeksi tanpa gejala sistemik. hiperkalemi, asidosis metabolik berat,
Belakangan ini patofisiologi Sepsis AKI uremia berat, fluid overload dengan odem
dianggap bersifat multifaktor meliputi paru.
tekanan filtrasi glomerulus, distribusi renal Terlepas ada atau tidaknya Multiple
blood flow, disfungsi sistem mikrovaskuler Myeloma, bila terdapat pneumoni berat dan
ginjal, inflamasi, stres oksidatif interaksi AKI, maka hemodialisa menjadi terapi
dari fragmen-fragmen patogen dengan sel penting untuk mengurangi efek buruk dari

57
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

lung-renal interaction (Rice, 2010). Prinsip kalsium mencapai batas kritis 16 mg/dl
pemberian cairan pda kasus ini mengacu maka 2 organ paling terancam menjadi
kepada konsep 12th Acute Dialysis Quality dekompensasi yaitu ginjal dan otak.
Initiative (ADQI) meliputi rescue, Terapi hiperkalsemia meliputi hidrasi oral,
stabilisasi, dan de-escalation. infus salin diikuti dengan diuresis
Rescue, periode pemberian segera/cepat (furosemid) dikombinasi dengan
yang biasanya melalui terapi bolus cairan. bisfosfonat. Bifosfonat sangat efektif untuk
Optimisation, titrasi yang lebih hati-hati terafi hiperkalsemia yang berkaitan dengan
melalui fluid challenge. Stabilisation, keganasan tetapi mempunyai resiko tinggi
melanjutkan cairan pemeliharaan low level karena bersifat nefrotoksik. Bila terapi ini
kalau diperlukan de–escalation, cairan tidak berhasil maka pilihan selanjutnya
mungkin sebaiknya dikeluarkan untuk adalah hemodialisa atau plasma exchange
mencapai balans negatip (Kidney, 2012; (Crouwn, 2009).
Forni, 2016). Untuk menghindari Multiple Myeloma dengan gagal ginjal dan
kemungkinan gangguan perfusi akibat hiperkalsemi berat yang tidak respon
dehidrasi maupun overload, pada kasus ini terhadap erapi standard sebaiknya
dilakukan pemantauan arterial blood dilakukan hemodialisa dan/atau plasma
pressure, produksi urin, CVP, capillary refill, exchangeuntuk menurunkan dengan cepat
pemeriksaan laktat secara berkala dan jumlah free light chain dalam darah untuk
beberapa kali dengan USG/Echokardiografi/ mencegah kerusakan lebih lanjut pada
Icon. Selama perawatan di ICU, nilai laktat ginjal (Moist, 1999; Loh, 2014).
1.1 sampai 3.2. Hidrasi tidak dapat dilakukan pada pasien
Permasalahan lain pasien ini adalah adanya ini karena diduga dalam keadaan overload,
hiperkalsemia berat, dengan kadar kalsium semenrtara bisfosfonat sedang tidak
14.6 mg/dl.Nilai normal kalsium adalah tersedia. Diberikan lasix drip 2 mg/jam
8.5–10.5 mg/dl. Secara umum hiperkalsemi ditujukan untuk mengatsi overload dan
diebabkan karena keganasan (70%), oliguri. Sebagai respon terhadap lasix
hiperparatiroid (20%) dan sebab yag lain produksi urin meningkat menjadi 0.5-1.1
(10%). Pada keganasan umumnya cc/kg/jam sampai beberapa hari
hiperkalsemi bersifat terkompensasi/kronis. berikutnya, dengan respon fungsi ginjal
Hiperkalsemia dapat menimbulkan gejala seperti terlihat pada tabel 3.1.
kelemahan otot, konstipasi, anoreksia, Pada pasien ini telah dilakukan hemodialisa
mual, muntah dan nyeri abdomen (Crouwn, sebanyak 4 kali. Pertama kali dilakukan
2009). Pasien ini sebelum masuk rumah pada hari ke-4 dimana pada saat itu balans
sakit merasa tubuhnya lemah, tidak nafsu kumulatif +1000 cc, ureum 216 mmol/L
makan dan sulit buang air besar dan telah dan creatinin 5.4 mg/dl, K 4.2 mg/dl.
berjalan beberapa bulan, namun tidak Hemodialisa selanjutnya dilakukan pada
dapat dipastikan apakah hal ini hari ke-6, hari ke-8 dan hari ke-11. Hari
berhubungan dengan hiperkalsemi. ke-6 urine output mulai turun menjadi 0.5
Hiperkalsemia menurunkan kemampun cc/kg/jam dan hari ke-7 urine output turun
ginjal menahan cairan, vasokonstriksi menjadi 0.3 cc/kg/jam. Perbaikan urine
pembuluh darah ginjal dan meningkatkan output menjadi 0.7-0.9 cc/kg/jam pada 3
diuresis dengan akibat terjadinya hari berikutnya (hari ke-8,9,10). Pada hari
hipovolemi dan pre renal azotemia. ke-11 menurun kembali menjadi kurang
Hiperkalsemia terkompensasi dapat dari 0.5 cc/kg/jam. Anuri terjadi pada hari
menjadi krisis hiperkalsemia yang sering ke-12 sampai pasien meninggal pada hari
terjadi karena hiperparatiroid (Crouwn, ke-14. Dengan hemodialisa intermitten
2009; Ziegler, 2001). Bila konsentrasi sebanyak 4 kali dalam 12 hari ini secara

58
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

relatif dan fluktuatif kelihatannya produksi memperburuk pneumonia dan menyulitkan


urin dan elektrolit menunjukkan dan kontrol gula darah untuk mencapai target
creatinin menunjukkan perbaikan, namun sesuai guide line SSC 2012 dan KDIGO
konsentrasi ureum darah pasien secara 2012 (Kidney, 2012; Forni, 2016). Pada
rata-rata relatif tinggi. kasus ini dengan insulin 1-2 unit/jam gula
Uremia memberikan efek buruk antara lain: darah berfluktuatif dan hampir selalu lebih
menurunkan daya fagosit lekosit, dari 200 mg/dl, lebih tinggi dari nilai yang
menurunkan sensitifitas insulin, inflamasi direkomendasikan pada SSC 2012 untuk
sistemik, perikarditis, memicu stress sepsis (kurang dari 180 mg/dl) dan KDIGO
oksidatif dan lainnya (Hotchkiss, 2013; 2012 untuk AKI (110 – 149 mg/dl).
Cohen, 2012). Uremia mungkin telah

Tabel 3.1. Efek Terapi Lasix dan HD Terhadap Fungsi Ginjal


HP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
UO 0.5 0.7 0.9 1.1
0.92 0.5 0.3 0.7 0.7 0.9 0.3 0.01
CR 6.7 6.6 5.8 4.2
4 2.5 2.3 2.3 2.5 2.7 1.5 1.8
U 274 288 261 192
177 129 130 179 147 180 104 184
K 5.4 4.4 3.7 3.9
4.5 3.8 4 4 4.4 4.2 4.6 4.7
Ca 14.6 14.3 15 1414 15.5 13.6 13.6 13.5 13.3 10.5
BK + + + + + + + + + + +
170 824 1300 874
2184 2328 3528 2087 1786 1470 760 2179
Lasix 2-10 mg/jam
HD-1 HD-2 HD-3 HD-4
HP: hari perawatan ICU UO: urine output CR: creatinin
U : ureum K : kalium Ca: kalsium
BK: balans kumulatif HD: hemodialisa

Permasalahan pada paru-paru tidak Upaya perbaikan melalui ventilator antara


menunjukkan perbaikan secara klinis, lain menaikkan PEEP untuk menigkatkan
radiologis dan analisa gas darah, bahkan PaO2, meningkatkan minute volume bila
cendrung memburuk. Dukungan terhadap CO2 cendrung meningkat, antibiotik
fungsi paru dengan ventilasi mekanik diganti dengan meropenem 3 kali 2 gram
dengan pressure control mode (PC) 14-16, kombinasi dengan levofloxacin satu kali 750
RR 14-20, PEEP +5 s/d +10, I:E rasio 1:2, mg dan anti jamur flukonazol satu kali 400
FiO2 mulai 60 % diiringi dengan penerapan mg.
VAP bundle sebagai perawatan standard Pada hari perawatan ke-8 didapatkan hasil
ICU pada pasien dengan pipa endotrakeal kultur darah steril sedangkan kultur sputum
dan ventilator. ditemukan Acinetobacter baumannii yang
Dari pemeriksaan fisik ditemukan sputum sensitif terhadap Meropenem dan
yang semakin kental dan purulent, ronki Levofloxacin, intermediate dengan
basah kasar bilateral dan foto torak dengan ceftriaxone.
infiltrat bilateral yang tidak berkurang , pH Antibiotik diganti dengan meropenem 3 kali
relative asidosis metabolik dan Pa/Fi kurang 2 gram, levofloxacin satu kali 750 mg dan
dari 200. Keadaan ini mengesankan proses anti jamur fluconazole satu kali 400 mg.
infeksi yang belum terkontrol atau mungkin Fluconazole diberikan dengan pertimbangan
juga adanya infeksi skunder melalui pasien memiliki risiko terhadap infeksi
beberapa prosedur invasif antara lain jamur antara lain riwayat hemodialisa,
intubasi/reintubasi dan pemasangan penggunaan antibiotik spektrum luas, serta
ventilator. penggunaan kateter intra vaskuler
59
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

merupakan faktor risiko independen infeksi dipertahankan minimal 65 mmHg, SvO2


jamur. lebih dari 70 %. Vasopressin 0.03-0.04
Hal ini sesuai dengan Guideline HAP/VAP U/menit diberikan karena terdapat fluktuasi
ATS IDSA 2016 tentang pemilihan anti MAP kurang dari 65 mmHg pada dosis
mikrobial pada pasien HAP/VAP dengan norepinefrin 0.3 ug/kg/menit. Dobutamin
bakteri Acinetobacter sp (Dimopoulos, (Delinger, 2013) diberikan untuk
2007; Kahlil, 2016; Anunnatsiri, 2011). memperbaiki tanda-tanda hipopefusi
Masalah lain pada pasien ini adanya (produksi urin menurun, takkikardi).
gambaran efusi pleura dari foto torak dan Pemeriksaan non invasive dengan ICON
ternyata tidak ada cairan efusi setelah menunjukkan cardiac indek yang rendah
dilakukan WSD. Sputum kental pada pasien (CI), sedikit penurunan preload (FTc), SVR
ini cendrung membentuk mucus plaque rendah dan Stroke Volume Variation lebih
yang telah diatasi dengan memastikan dari 25%. Pemeriksaan echocardiografi
humidifer ventilator berfungsi dengan baik menunjukkan kontraktilitas yang baik, tidak
serta pemberian mukolitik, penyedotan terdapat masalah katub dan temuan
slem, memastikan posisi endotrakeal tube patologis lainnya. Ultarsound Vena Cava
tidak kedalaman dan beberapa kali inferior (ICV) menunjukkan distensibility
reintubasi untuk mengganti pipa lebih 20%, kesan fluid responsive.
endotrakea. Vasopressin adalah suatu antidiuretik
Karena tidak ditemukan cairan pada pipa hormon yang diproduksi oleh kelenjar
WSD, suara paru kiri vesikuler lemah hipofisis posterior yang mempunyai dua
sampai redup sehingga dicurigai adanya fungsi utama yaitu menahan air dan
atelektase pada paru kiri, maka pada hari vasokonstriksi pembuluh darah.Pada
ke-8 dilakukan bronkoskopi. Ditemukan keadaan hipotensi atau syok hormon ini
sputum yang banyak dan kental terutama meningkat pada 6 jam pertama tetapi tidak
lapangan paru kiri. Hasil pemeriksaan sebanding dengan derajat hipotensi yang
mikroskopik mengesankan adanya proses terjadi. Dosis tinggi norepinefrin,
inflamasi dan infeksi. antiinflamasi NO dapat menghambat
Untuk terapi hiperkalsemi diberikan bonefos pelepasan vasopressin. Pada dosis tinggi
satu kali 450 mg atau actonel satu kali 35 vasopressin mempunyai efek samping
mg dan metil prednisolon satu kali 125 antara lain iskemi miokard, menurunkan
mg. Pada kasus hiperkalsemi berat karena aliran darah splanknik. Vasopressin and
MM, steroid dapat dimulai lebih awal Septic Syock Trial (VASST), yang
(Crouwn, 2009; Ziegler, 2001). merupakan multicenter blinded randomized
Namun pada kasus sepsis/syok sepsis trial menyatakan penggunaan vasopressin
mungkin tidak menguntungkan karena efek tidak menurunkan mortalitas tetapi aman
depresi terahadap sistem imun dapat digunakan seperti halnya norepinefrin
memicu timbulnya resistensi mikro (Sharman, 2008). Pada kasus ini
organisme. Awal 0.05 ug/kg/menit (dosis vasopressin digunakan utuk meningkatkan
titrasi), tekanan vena sentral (CVP) naik MAP dan mengurangi dosis noreepinefrin.
dari 8 H2O menjadi 20 cmH2O, MAP dapat

60
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

Tabel 3.2 Klinis paru dan hasil analisa gas darah arteri dan tindakan invasive

Aspek 1 2 3 4 5-7 8 9 -11 12 -


14
pH 7.2 7.3 7.1 7.2 7.21-7.2 7.2 7.2 7.1-
7.0
PCO2 43 33 57 43 45-70 44 50-56 64-97
PO2 63 95 79 75 86-72 85 66-70 61-64
BE -5.3 -4 -9 -9 -4 – -6 -6 -1 - -4 -2 --3
HCO3 27 20 20 18 23-24 20 23-25 18-31
Saturasi 89 97 91 92 92-87 95 91-88 83-65
Pa/Fi 105 158 131 125 120-143 141 110-82 61-64
PCT 0.68 - - 2.46 3 (7) - 1.7
Lekosit 14.6 - 14.2 11.9 10.3- 15.3 20.7
( x1000) 9.9
CRP 186
Sputum Atelektase Infiltrat
progressif Reintubasi bilateral
kental dan Bronkoskopi Reintubasi
purulen,
plaque
Infiltrat
bilateral,
odem paru,
efusi pleura
Reposisi
ETT,
Reintubasi,
WSD

Hipotensi dimana MAP turun kurang dari 65 65 mmHg pada dosis norepinefrin 0.3
mmHg terjadi pada hari ke-4 dan disertai ug/kg/menit. Dobutamin (Delinger, 2013)
meningkatnya laktat menjadi 3.6 mmol/L. diberikan untuk memperbaiki tanda-tanda
Saat ini pasien jatuh pada kondisi syok hipopefusi (produksi urin menurun,
sepsis dan diterapi sebagai Syok sepsis takkikardi).
VAP + AKI + Hiperkalsemi + DM + Multiple Pemeriksaan non invasive dengan ICON
Myeloma mengikuti guideline Kidney (2012) menunjukkan cardiac indek yang rendah
dan sumber lain sesuai penykit penyerta (CI), sedikit penurunan preload (FTc), SVR
dan komplikasinya. rendah dan Stroke Volume Variation lebih
Diberikan cairan ringer fundin sampai dari 25%. Pemeriksaan echocardiografi
500 ml, dilanjutkan norepinefrin dengan menunjukkan kontraktilitas yang baik, tidak
dosis awal 0.05 ug/kg/menit (dosis titrasi), terdapat masalah katub dan temuan
tekanan vena sentral (CVP) naik dari 8 H2O patologis lainnya. Ultarsound Vena Cava
menjadi 20 cmH2O, MAP dapat inferior (ICV) menunjukkan distensibility
dipertahankan minimal 65 mmHg, SvO2 lebih 20%.
lebih dari 70 %. Pada hari ke-12 diketahui Acinetobacter
Vasopressin 0.03-0.04 U/menit diberikan baumannii resisten terhadap antibiotik
karena terdapat fluktuasi MAP kurang dari Meropenem dan Levofloxacin dan antibiotik

61
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

lainnya kecuali Cefoperazone Sulbactam (I) dan Tygecyclin (I).


Tabel 3.3 Hubungan waktu pemberian antibiotika-kejadian resistensi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Ceftriaxone Meropenem-Levofloxacin Cefoperazone S
I S atau R ? R I atau R ?
Kultur 1 HK1
Kultur 2 HK2
HD HD Bronk Kultur 3
HD RInt HD HK3
RInt RInt
Bronk : bronkoskopi. HD : hemodialisa HK: hasil kultur
I: intermediate R: resisten Rint: reintubasi S: sensitif

Jadi, berarti pada periode hari ke-8 sampai endogen pasien, lapisan mukosa, atau
hari ke-12 telah terjadi pemberian saluran cerna atau yang baru didapat dari
antibiotik yang tidak sesuai (inappropriate) lingkungan sekitarnya (Fraimow, 2011).
karena resisten. Lekosit meningkat Penyebab timbulnya resitensi pada kasus
menjadi 24.800 dan PCT dari 1.6 menjadi ini mungkin antara lain: Superinpeksi dari
2.7. Pada hari ke-13 diketahui koloni sekitar tubuh pasien sendiri atau
Acinetobacter baumannii resisten terhadap ruang rawat/alat medis atau perubahan
Cefoperazone dan semua antibiotik yang secara spontan melalui beberapa
diperiksa (Pan resistence). mekanisme oleh mikrooraganisme itu
Mikroorganisme dalam hal ini Acinetobacter sendiri.
baumannii dapat menjadi resisten melalui Pada pasien ini dintubasi dan menggunakan
mekanisme hidrolisis dengan memproduksi ventilator departemen IGD dan setelh itu
enzim beta lactamase merubah protein- berganti ventilator dan beberapa kali
Penicillin binding, menurunkan reintubasi di ICU. Kemungkinan telah
permeabilitas dinding luar sel bakteri terjadi superipeksi/nasokomial infeksi
terhadap b-lactam, dan meningkatkan dengan bakteri resisten.
efflux-pumps sehingga menurunkan Faktor-faktor yang mempermudah atau
konsentrasi antibiotik yang memasuki sel mendukung terjadinya proses resistensi
bakteri (Anunnatsiri, 2011; Ferez, 2007). pada pasien ini antara lain faktor comorbid
Kumar (2006) melaporkan hasil studi pasien (malignansi, diabetes melitus),
bahwa pada syok sepsis, pemberian keterlambatan pemberian antibiotik yang
antibiotik efektif bila diberikan dalam 6 sesuai, perubahan volume distribusi cairan
jam pertama terjadinya hipotensi. Dan tubuh karena overload dan pemberian metil
setiap keterlambatan 1 jam pemberian prednisolon (pada hari ke-5 selama 3 hari).
antibiotik akan menurunkan survival 7.6%. Permasalahan pasien ini sangat komplek
Munculnya organisme resiten dan dan terjadi interaksi yang saling
terjadinya superinpeksi merupakan memperberat. Adanya masalah immuno-
masalah yang berkaitan dengan gagalnya supresive yang memudahkan timbulnya
terapi antibiotik yang selanjutnya akan pneumoni/sepsis dan gagal nafas, sepsis
meningkakan mortalitas. Resistensi dapat memicu terjadinya AKI pada ginjal yang
terjadi melalui mekanisme seleksi dan diduga telah mengalami insufisiensi
berkembangnya subpopulasi secara sebelumnya disertai dengan hiprekalsemi
spontan. Tetapi pada umumnya resistensi berat. AKI akan memperburuk fungsi paru
terjadi melalui superinpeksi bersumber dari melalui efek overload cairan dan efek toksik
mikroorganisme yang merupakan flora ureum. Dalam kasus dengan hemodialisa

62
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

dan diuretik, creatinin menurun mendekati comorbid seperti yang diperhitungkan pada
nilai normal, namun konsentrasi ureum SAPS II (kanker hematologi). Pada hari
relatif tinggi. Dan diperberat dengan ketiga SOFA menunjukkan prediksi
masalah kehadiran bakteri resistensi mortalitas yang sangat tinggi karena poin
Acitenobacterbaumannii. dari terjadinya hipotensi. Tetapi pada hari
Terapi yang spesifik untuk Multiple kedua belas prediksi mortalitas dari SOFA
Myeloma tidak dapat dilakuakan sehingga dan SAPS II hampir sama.
produksi free light chain mungkin terus APACHE II score dan SOFA efektif untuk
berlangsung dan memperberat kerusakan memprediksi mortalitas dan outcome pada
ginjal dan melemahkan sistem imun. Pada bakterimia Acitenobacter baumannii dimana
kasus ini pemeriksaan kadar free light chain nilai APACHE II lebih dari 23 dan SOFA
belum sempat dilakukan. Penyakit diabetes lebih dari 8 berkaitan dengan mortalitas
melitus yang telah diderita selama 10 tahun yang tinggi (Chen, 2011). Sejak masuk ICU
juga memberi kontribusi terhadap pada pasien ini digunakan sistem skoring
prognosis dan mortalitas baik melalui efek APACHE II, SOFA dan SAPS II dengan nilai
yang kronis terhadap ginjal ataupun efek seperti pada tabel 3.
hiperglikemia selama sepsis dan AKI Pada hari perawatan ke-13 antibiotik
berlangsung. diberikan sesuai hasil kultur dengan level
intermediate (I). Perburukan fungsi paru
Tabel 3.4 terus berjalan ditandai dengan desaturasi
Prediksi mortalitas dengan sistem skoring dan hiperkarbia dengan asidosis respiratori/
metabolik berat , diikuti dengan perburukan
APACHE SOFA SAPS II
hemodinamik dan tidak respon terhadap
II
loading cairan dan vasopressor/inotropik.
HP-1 24 :
Hemodinamik tidak dapat dipertahankan
mort. 50
lagi dimana hipotensi/syok terus berlanjut
%
dan denyut jantung mulai melambat
HP-2 - 9 : 56 :
sampai terjadi bradikardi dan asistole.
mort. 33 % mort. 60
Tidak dilakukan resusitasi jantung dan paru
%
dan pasien dinyatakan meninggal pada hari
HP-3 - 12 : 53 :
perawatan ke-14. Penyebab kematian
mort. 95 % mort. 53
pasien ini adalah disfungsi multi organ
%
karena syok sepsis karena infeksi yang
HP-5 - 11 : 53 :
tidak terkontrol.
mort. 50 % mort. 53
%
4. KESIMPULAN
HP-9 - 12 : 59 :
1. Pada pasien ini yang terjadi adalah
mort. 95 % mort. 66
sepsis pneumonia yang memicu AKI
%
pada Multiple Myeloma dengan
HP- - 12 : 71 :
komplikasi hiperkalsemia dan
12 mort. 95 % mort. 85
kemungkinan juga telah mengalami
%
penurunan fungsi ginjal.
Mort. : mortalitas
2. Terjadi kondisi yang saling
memperberat antara disfungsi ginjal
Bila dilihat dari APACHE score peluang
dengan disfungsi paru dan produk yang
untuk survive pada pasien ini lebih kurang dihasilkan oleh proses fatofisiologi
50%. Pada hari kedua SOFA score
Multiple Myeloma.
memprediksi mortalitas lebih rendah karena 3. Terapi terhadap penyakit dasar yang
SOFA tidak memperhitungkan usia dan belum optimal dan hadirnya bakteri
63
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

resisten pada kasus ini mempercepat Dimopoulos MA. Et al. 2008. Pathogrnesis
kematian karena syok sepsis dan and treatment of renal failure in multiple
disfungsi multi organ. myeloma. Leukemia Vol 22, pp. 1485-
1493.
DAFTAR PUSTAKA Ferez. F et al. 2007. Global Challenge of
Anunnatsiri. S and Tansawan P. 2011. Risk Multi Drugs Resisten Acinotebacter
Factors and Clinical Outcome of Multi baumannii. Antimicrobal Agent and
Drugs acinetobacter baumanni bacteria Chemotheraphy, Edisi October 2007, pp.
at University Hospital in Thailand. 3471-3484
Southeast asian J Troop. Med. Public Forni. L. 2016. Fluid therapy and acute
Health, Vol 42 (3). kidney injury: a question of balance?.
Bradley M. et al. 2005. Early Mortality After SIGNA VITA, Vol 11 (SUPPL 2), pp. 17–
Diagnosis Multiple Myeloma: Analysis of 21.
batient Entered Onto The United Fraimow HS and Tsigrelis C. 2011.
Kingdom Medical Research Council Trial Antimicrobial Resistence in the Intensive
between 1980 and 2002: Medical Care Unit: Mechanisms, Epidemioloy and
Research Council Adult Leukemia Management of Spsific Resistent
Working party. Journal of Oncology, Vol Phatogens. Crit Care Clin Vol 27, pp.
23 (36). 163–205.
Chen SJ. et al. 2011. Prediction of patient Hotchkiss RS. 2013. Immunosuppression in
outcome from Acitenobacter baumanni sepsis: a novel understandin of the
bacteremia with Squential Organ Failure disorder and a new therapeutic
Assestment (SOFA) and Acute Physiologi approach. Lancet Infect Dis, Vol 13 (3),
and Chronic Health Evaluation (APACHE) pp. 260-268.
score. Intern Med, Vol 50 (8), pp. 871– Kahlil AC, et al. 2016. Management of
877. Adults With Hospital-acquired and
Chu P. et al. 2013. Managing multiple Ventilator-associated Pneumonia: 2016
myeloma patients with renal failure. Clinical Practice Guidelines by the
Hongkong Journal of Nephrology, Vol 15, Infectious Diseases Society of America
pp. 62–67. and the American Thoracic Society.
Cohen G and Hol WH. 2012. Dysfunction in Clinical snfectious Disease 2016.
Uremia-An. Update Toxin Vol 4, pp. 962– Kidney Clinical. 2012. Kidney Disease:
990; doi : 103390/toxin 4110962. Improving Global Outcome (KDIGO).
Crouwn. LA. et al. 2009. Hypercalcemia Acute Kidney Injury Work Group. KDIGO
crisis. A Case Study. American Journal of Clinical Practice Guideline For Acute
Clinical Medicine, Vol 6 (1). Kidney Injury, Vol 2 (1).
Delinger R.P. et al. 2013. Surviving Sepsis Kumar, A. 2006. Duration hypotension
Compaign International Guideline for before initation of effective antimicrobial
Management of Severe Sepsis and Septic therapy in the dterminant of survival in
Shock 2012. Critical Care Medicine, Vol 4 human septic shock. Critical Care Med,
(2). Vol 34 (6).
Dimopoulos G. et al. 2007. Candidemia in Loh H. H and Noor NM. 2014. The use of
immunocompromised and immuno Hemodialysis in Refractory Hyper-
competent critical ill patients: a calcemia Secondary to Parathyroid
prospective comparative study. The Carsinoma. Case Report in Critical Care
European Journal of Clinical Microbiology Vol 2014.
& Infection Diseases, Vol 26 (6), pp. Mandel LA. et al. 2007. Infection Diseases
377-84. Society of American/American Thoracic
Society Cocencus Guideline on
64
Jurnal Keperawatan & Fisioterapi (JKF)
Vol. 1 No.1 Edisi Mei-Oktober 2018
http://ejournal.medistra.ac.id/index.php/JKF
============================================================================================
Received: 03 Agustus 2018 :: Revised: 08 September 2018:: Accepted: 10 Oktober 2018

Management of Community-Acquired
Pneumonia in Adult. IDSA/ATS Guideline
for CAP in Adult.
Moist L. et al. 1999. Plasma exchange in
rapidly progressive renal failure due to
multiple myeloma. A retrospective case
series. Am J Nephrol, Vol 19 (1), pp. 45–
50.
Nucci.M and Annaissie E. 2009. Infection in
Patient with Multiple Myeloma in Era of
hight theraphy and Novel agent. Review
article. Infection in Multiple Myeloma, Vol
49.
Rice. Z. And Ronco. C. 2010. Pulmonary/
renal interaction. Current Opinion in
Critical Care, Vol 16, pp. 13–18.
Sharman A and Low J. 2008. Vasopressin
and its role in Critical Care. Continuing
Education in Anesthesia. Critical Care &
Pain, Vol 8 (4).
Singer M. et al. 2016. The Third
International Concencus Definitions for
Sepsis and septic Shock (Sepsis-3).
JAMA, Vol 315 (8).
Terpos E et al. 2015. European Myeloma
Network Guideline for the Management
of Multiple Myeloma. Related
Complications Haematologica, Vol 100
(10).
Tosi P. et al. 2015. Multiple Myeloma and
Renal Failure. EMJ Oncol. Vol 3 (1), pp.
65–69.
Ziegler R. 2001. Hypercalcemia Crisis. J Am
Nephrol, Vol 12.

65
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Myeloma multiple adalah penyakit klonal yang ditandai poliferasi salah
satu jenis limfosit B, dan sel-sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut. Sel-sel
ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap terutama di tulang, menyebabkan
tulang mengalami kerusakan, inflamasi, dan nyeri. Belum diketahui penyebab
pasti dari multiple myeloma. Multipel mieloma seringkali menyebabkan nyeri
tulang (terutama pada tulang belakang atau tulang rusuk) dan pengeroposan tulang
sehingga tulang mudah patah.
Tanda dan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami mieloma
multipel cukup bervariasi. Pada tahap awal penyakit ini, gejalanya pun tidak
terlihat secara khusus. Multiple myeloma tidak bisa disembuhkan. Pengobatan
akan dilakukan jika pasien merasakan gejala. Pengobatan bertujuan untuk
mengendalikan perkembangan sel-sel kanker, mencegah komplikasi, dan
meredakan keluhan dan gejala.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh belum sempurna, oleh
karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah
ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya
DAFTAR PUSTAKA

Dugdale ,David C. Yi-Bin Chen, David Zieve. 2009. Multiple Myeloma.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000583.htm.

Kyle ,Robert A., S. Vincent Rajkumar. 2004. Drug Therapy : Multiple Myeloma.
http://www.nejm.com .

Grethlein, Sara J., Lilian M Thomas. 2009. Multiple Myeloma.


http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview.

Kumar,Vinay, Ramzi S. Cotran, Stanley R. Robbin. 2008. Robbins Buku Ajar


Patologi edisi 7. Jakarta : Airlangga. Hlm. 481-484

Anda mungkin juga menyukai