Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MANAJEMEN LUKA DENGAN MAGGOT

Disusun Oleh :
1. Dwi Febriyanti
2. Dyah Catur Wahyuni
3. Indana Zulfa
4. Kintan Dewi
5. Melina Sari
6. Muhammad Rofian
7. Nurul Lailatin
8. Rozalina Tri Puspita
9. Silvia Wahyu

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AN NUR PURWODADI


TAHUN AJARAN 2018/2019

i
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah
kepada penyusun untuk dapat menyusun makalah yang bertemakan “Manajemen Luka
Dengan Maggot”. Makalah ini disusun berdasarkan hasil data-data dari media elektronik
berupa Internet. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan kelompok empat yang telah
memberikan partisipasinya dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua dalam menambah
pengetahuan atau wawasan mengenai keperawatan. Penyusun sadar makalah belumlah
sempurna maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar
makalah ini menjadi sempurna.

Purwodadi, April 2019

Penyusun

ii
Daftar Isi

Halaman judul ..................................................................................................................... i

Kata pengantar ................................................................................................................... ii

Daftar isi............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan masalah .................................................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 3
D. Manfaat .................................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Manajemen luka kronis .......................................................................................... 4


B. Maggot ................................................................................................................... 6

BAB III PEMBAHASAN

A. Manfaat terapi larva ............................................................................................... 7


B. Indikasi terapi larva................................................................................................ 8
C. Kontra indikasi ....................................................................................................... 8
D. Efek samping terapi larva ...................................................................................... 9
E. Komplikasi ............................................................................................................. 9
F. Kemasan ................................................................................................................. 9

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 11
B. Saran ..................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka kronik adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan
oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada
waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi
untuk timbul kembali. Contohnya ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi),
penyakit vaskular perifer, ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus dekubitus
(Bryan,2007). Penderita diabetes mempunyai resiko 15% terjadinya ulkus kaki
diabetik pada masa hidupnya dan resiko terjadinya kekambuhan dalam 5 tahun
sebesar 70%. Penderita diabetes meningkat setiap tahunnya. Di Indonesia dilaporkan
sebanyak 8,4 juta jiwa pada tahun 2001, meningkat menjadi 14 juta pada tahun 2006
dan diperkirakan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2020 (Depkes,2010).
Berdasarkan data WHO ( Word Health Organization ) menunjukan bahwa
pada tahun 2014, 9% remaja yang berusia 18 tahun atau lebih terkena penyakit
diabetes mellitus. Pada tahun 2012, 1,5 juta kematian populasi dunia disebabkan oleh
penyakit diabetes melitus. Lebih dari 80% kematian yang disebabkan oleh penyakit
diabetes mellitus terjadi di negara berpendapatan rendah dan sedang, selain itu resiko
untuk terkena penyakit diabetes mellitus lebih tinggi pada masyarakat yang
mengalami obesitas, mengonsumsi makanan yang kurang sehat dan miliki gaya hidup
sendentary. Menurut data yang saat berkembang sat ini, kira-kira 150 juta masyarakat
di dunia menderita obesitas mellitus, dan diperkirakan pada tahun 2025, jumlah
penderita penyakit diabetes menjadi dua kali lipat dari jumlah penderita saat ini
( WHO, 2015 ).
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation menunjukan bahwa
jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terjadi pada usia 40 dan 59 tahun.
Sebanyak 179 juta masyarakat dunia menderita diabetes mellitus yang tidak
terdiagnosa. Hampir dari setengah jumlah masyarakat di Asia Tenggara menderita
penyakit diabetes mellitus tidak terdiagnosa.( International Diabetes Federation,
2014).
Berdasarkan data dari hasil riset kesehatan dasar 2013 ( RISKESDAS, 2013 )
menunjukan bahwa prevelensi diabetes di Indonesia berdasarkan wawancara yang

1
terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1
persen. Prevelensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta ( 2,6% ), DKI Jakarta ( 2,5 % ), Sulawesi Utara ( 2,4% ) dan Kalimantan
Timur ( 2,3% ). Prevelensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi
terdapat di Sulawesi Tengah ( 3,7% ), Sulawesi Utara (3,6% ), Sulawesi Selatan (
3,4% ), dan Nusa Tenggara Timur ( 3,3% ). Penderita Diabetes mellitus di Indonesia
banyak dialami oleh masyarakat yang berusia 55-64 tahun ( 4,8% ) ( RISKESDES,
2013 ).
Upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih berat diperlukan
intervensi perawatan luka yang efektif dan efisien. Isu terkini yang berkait dengan
manajemen perawatan luka berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien
dengan kondisi penyakit degeneratif dan kelainan metanolik semakin banyak
ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kompleksitas suatu luka
dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai
dengan optimal (Carol,2015).
Maggot Debridement Therapy(MDT) atau lebih dikenal sebagai terapi
belatung,biodebridement, atau terapi larva. Dalam MDT, belatung hidup diterapkan
pada luka pasien untuk melakukan debridement,disinfeksi dan akhirnya penyembuhan
luka. MDT diindikasikan untuk luka terbuka dan borok(ulcer) yang mengandung
jaringan gangren atau nekrotik dengan atau tanpa infeksi (Sherman,2009). Terapi
larva dalah MDT menaruh dengan sengaja belatung pembasmi kuman atau larva lalat
ke kulit yang luka atau jaringan pada luka manusia atau binatang. Praktek ini
digunakan secara luas sebelum ditemukannya antibiotok, untuk membersihkan
jaringan mati di luka guna mempercepat penyembuhan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen perawatan luka dengan maggot ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui ada atau tidaknya perkembangan selama melakukan perawatan
luka menggunakan maggot
2. Tujuan Khusus
a) Mengidentifikasi perawatan luka menggunakan maggot
b) Mengidentifikasi perkembangan selama melakukan perawatan luka
menggunakan maggot

2
c) Menganalisa perbedaan setelah dilakukan perawatan luka menggunakan
maggot
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Memperkuat pengetahuan bagi peneliti dan pembaca tentang perawatan luka
dengan maggot.
2. Manfaat praktisi
Meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh maggot pada perawatan luka
sebagai sumber informasi dan referensi bagi pembacanya agar baik mendalami
tentang status gizi buluk balita tanpa makanan tambahan.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Manajemen Luka Kronis


1. Pengertian
Luka kronis adalah luka yang sudah lama terjadi atau menahun dengan
penyembuhan yang lebih lama akibat adanya gangguan selama proses
penyembuhan luka. Gangguan dapat berupa infeksi dana dapat terjadi pada fase
inflamasi,poliferasi, atau maturasi. Biasanya luka akan sembuh setelah perawatan
yang tepat selama 2-3 bulan (dengan memperhatikan faktor penghambat
penyembuhan) (Perry & Potter,2006).
Luka kronis juga sering disebut kegagalan dalam penyembuhan luka. Penyebab
luka kronis biasanya akibat ulkus,luka gesekan,sekresi dan tekan. Luka kronis
umumnya sembuh atau menutup dengan tipe penyembuhan sekunder akan tetapi,
tidak semua luka dengan tipe penyembuhan sekunder disebut luka kronis
(Arisanty,2013).
2. Jenis luka kronis
a) Luka ulkus diabetikum
Ulkus diabetes adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit sampai ke dalam
dermis, yang biasanya terjadi di telapak kaki (Hariani & David, 2015). Ulkus
diabetik merupakan suatu komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes
militus. Penderita diabetes militus mencapai 8 juta orang pada tahun 2000 di
negara Indonesia 50% pasti terkena komplikasi ulkus diabetik (Guntur
dkk,2012).
Ulkus diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
neuropati,trauma,deformitas kaki,tekanan tinggi pada telapak kaki dan
penyakit vaskuler perifer. Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetes yang
menyeluruh dan sistematik dapat membantu memberikan arahan perawatan
yang adekuat. (Hariani&David,2015).
b) Luka kanker
Luka kanker merupakan luka kronik yang berhubungan dengan kanker
stadium lanjut. Hoplamazian 2006 dalam wijaya 2016, menyebutkan definisi

4
luka kanker sebagai kerusakan integritas kulit yang disebabkan infiltrasi sel
kanker. Infiltrasi sel kanker juga akan merusak pembuluh darah dan
membunuh hymph yang terdapat di kulit (Dudut Tanjung,2007)
Luka kanker merupakan infiltrasi sel tumor yang merusak lapisan epidermis
dan dermis yang disebabkan oleh deposisi dan atau proliferasi sel ganas
dengan bentuk menonjol atau tidak beraturan, biasanya seringkali muncul
berupa benjolan yang keras, bentuknya menyerupai jamur,mudah terinfeksi,
mudah berdarah,nyeri,mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap dan sulit
sembuh (Gitaraja,2004 dalam Wijaya,2016)
3. Warna dasar luka
Luka dasar juga dibedakan berdasarkan warna dasar luka atau penampilan klinis
luka (clinical appearance).Klasifikasi menyebutkan sebutan RWB
(red,yellow,black).
a) Hitam (black) menurut Arisanty 2013,warna dasar luka hitam artinya jaringan
nekrosis (mati) dengan kecenderungan keras dan kering. Jaringan tidak
mendapatkan vaskulerisasi yang baik dari tubuh sehingga mati. Luka dengan
warna dasar hitam berisiko mengalami deep tissue injury atau kerusakan kulit
hingga tulang, dengan lapisan epidermis masih terlihat utuh. Luka terlihat
kering, namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat dan harus di angkat. Tujuan
perawatan adalah untuk membersihkan jaringan mati dengan debridement,
baik dengan autolysis debridement maupun dengan pembedahan
(Ronald,2015).
b) Kuning (yellow) warna dasar luka kuning artinya jaringan nekrosis (mati) yang
lunak berbentuk seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut
dengan slough. Jaringan ini juga mengalami kegagalan vaskulerisasi dalam
tubuh dan memiliki eksudat yang banyak hingga sangat banyak. Perlu
dipahami bahwa jaringan nekrosis mana pun (hitam atau kuning) belum tentu
mengalami infeksi sehingga penting sekali bagi klinisi luka untuk melakukan
pengkajian yang tepat. Pada beberapa kasus, kita akan menemukan bentuk
slough yang keras yang disebabkan oleh balutan yang tidak lembab
(Puspita,2013).
c) Merah (red). Warna dasar luka merah artinya jaringan granulasi dengan
vaskulerisasi yang baik dan memiliki kecenderungan mudah berdarah, warna
dasar merah menjadi tujuan klinis dalam perawatan luka hingga luka dapat

5
menutup. Hati-hati dengan warna dasar luka merah yang tidak cerah atau
berwarna pucat karena kemungkinan ada lapisan biofilm yang menutupi
jaringan granulasi.
d) Pink. Warna dasar luka pink menunjukan terjadinya proses epitelisasi dengan
baik menuju maturasi. Artinya luka sudah menutup, namun biasanya, sangat
rapuh sehingga perlu untuk tetap dilindungi selama proses maturasi terjadi.
Memberikan kelembaban pada jaringan epitel dapat membantu agar tidak
timbul luka baru (Puspita,2013).
B. Maggot
1. Pengertian Maggot
Adalah belatung dari black soldier flys hermetia illucens yang termasuk anggota
lalat. Ukurannya lebih besar dari lalat pada umumnya. Maggot menghasilkan
larva, nantinya menjadi belatung atau maggot. Belatung ini hanya mengkonsumsi
sampah organik.
2. Klasifikasi Maggot
Identifikasi maggot menggunakan klasifikasi yang disebut tahapan “instar” yang
lain-lain ukuran dan waktunya menurut spesies maggot. Ukuran belatung lalat
rumah adalah 9,5-19.1 mm. Belatung tahap instar I panjangnya 2-5 mm; instar II
6-14 mm; instar III 15-20 mm. Masing-masing tahap tersebut belangsung selama
berturut-turut 2-3 hari 3-4 hari dan 4-6 hari (rata-rata untuk ulat rumah) sejak telur
diletakkan.
3. Kekuatan Maggot dalam penyembuhan luka
Dibalik baunya yang sangat tidak sedap,ternyata maggot menyimpan 3 kekuatan
besar dalam proses penyembuhan luka yaitu debridement, desinfeksi dan
mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Maggot dapat digunakan untuk
debridement sebab belatung dapat memakan jringan mati (nekrotik) tanpa
mengganggu jaringan sehat. Maggot memiliki sepasang taring pada rahangnya
yang digunakan untuk bergerak dan menempel pada luka, aksi inilah yang
memungkinkan pelepasan jaringan nekrotik dari luka selain itu maggot
mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu melunakan jaringan nekrotik
sehingga mudah ditelan dan di degradasi dalam usus maggot (Thomas,2001)

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. MANFAAT TERAPI LARVA


Manfaat terapi larva telah dilaporkan oleh berbagai studi yang tersebar di seluruh
dunia. Terapi larva dapat mempercepat penyembuhan luka,menurunkan masa
penggunaan antibiotik mengurangi masa perawatan di rumah sakit,6-8 menu- runkan
risiko amputasi menurunkan jumlah kunjungan pasien rawat jalan, relatif ekonomis,3
dan memperbaiki kualitas hidup.Beberapa kondisi pada terapi larva yang membantu
penyembuhan luka kronis, yaitu:
1) Debridemen: Gerakan-gerakan mekanis dari larva dengan kaitnya pada
permukaan sampai alas luka berfungsi sebagai debridemen yang dapat
membersihkan luka dari jaringan nekrotik dan terinfeksi. Studi Opletalova et al.4
mendapatkan hasil debridemen dengan terapi larva lebih cepat dibandingkan
terapi kon- vensional lainnya. Dibandingkan cara debridemen lainnya seperti
hydrogel dressings, pengolesan madu, debri- demen mekanis atau hydrosurgery,
terapi larva memperlihatkan efisiensi ekonomis yg signifikan.
2) Membersihkan jaringan nekrotik: Larva menghasilkan berbagai enzim proteolitik
antara lain kolagenase yang memecahkan jaringan nekrotik dan matriks ekstrasel
(termasuk laminin dan fibronektin) Chan menjadi bentuk semisolid yang dapat
diabsorpsi dan dicernakan oleh larva
3) Desinfeksi luka: Larva memakan debris yang terinfeksi, menghasilkan bahan
bakterisidal yang berspektrum luas terhadap bakteri Gram positif dan negatif,
antara lain strain bakteri Staphylococcus sp. termasuk methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), Bacillus sp., Escherichia Coli, Pseudomonas sp.,
Proteus sp., Enterococcus sp., dan Enterobacter sp. Larva juga Wangko: Terapi
Larva pada Luka Kronis Terbuka menghasilkan amonia yang menye- babkan
alkalinisasi, diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
4) Irigasi luka oleh eksudat yang distimu- lasi oleh larva yang menelan jaringan
nekrotik dan oleh sekret larva sendiri.
5) Inhibisi dan eradikasi biofilm. Chymotrypsin dan DNAse dalam sekret larva dapat
memecahkan protein yang menyusun biofilm.

7
6) Menghasilkan growth factors: Larva menghasilkan alantoin, urea, dan bahan
lainnya yang dapat bekerja sbagai growth factors.
7) Menghasilkan sitokin, antara lain inter- feron dan interleukin 10 yang diduga
mempercepat penyembuhan luka.
8) Menghambat respons proinflamasi monosit melalui peningkatan cilik AMP oleh
bahan yang disekresi dan diekskresi oleh larva.
9) Menghambat proses inflamasi melalui pemecahan komponen komplemen yang
berakibat turunnya aktivitas komplemen.
10) Meningkatkan migrasi fibroblas.
11) Berefek angiogenesis.

B. INDIKASI TERAPI LARVA


Umumnya pasien dengan luka kronis yang tidak menyembuh jarang menolak untuk
diberikan terapi larva. Indikasi untuk terapi larva ialah luka kronis yang tidak
menyembuh disertai jaringan nekrotik. Sebagai contoh: ulkus akibat tekanan, ulkus
venosa, ulkus diabetik, ulkus neuropatik (non-diabetes), ulkus iskemik/arterial, luka
traumatik, luka bedah, tromboangitis obliterans, luka/ulkus pasca trauma, necrotizing
fasciitis, pioderma gangrenosum, abses pada maleolus, osteomielitis sinus pilonidal,
luka infeksi pasca bedah, luka akibat proses keganasan, luka bakar disertai infeksi
MRSA, dan mastoiditis subakut.
C. KONTRAINDIKASI
Menurut Chan Dominic CW (2007) penggunaan belatung sebagai maggot therapy
antara lain : luka diabetes, venous ulcer,neurophatic ulcer, ischemic
ulcer,decubitus,luka post trauma,luka infeksi,sinus pilonidial. Sebaliknya penggunaan
maggot dalam perawatan luka sebaiknya tidak dilakukan pada yang sangat mudah
berdarah (luka kanker) atau luka yang menyebabkan adanya terowongan yang
menghubungkan oergan seperti fistula.
1. Kontra indikasi absolute : tidak adanya persetujuan dari pasien/keluarganya dan
tidak boleh menggunakan maggot yang tidak steril sebab dapat menyebabkan
kematian akibat sepsis. Selanjutnya maggot juga tidak boleh digunakan pada luka
yang berhubungn langsung dengan sistem sraf pusat, pembuluh darah besar,
ronggga atau organ-organ vital.
2. Kontra indikasi relative : luka yang kering. Maggot membutuhkan lingkungan yang
lembab untuk dapat bertahan hidup, begitu juga proses penyembuhan luka,

8
lingkungan lembab mendukung percepatan prses penyembuhan. Pada fistula atau
luka dengan undermining (luka bergoa) menjadi sulit untuk menerapkan maggot
sebab sulit dalam observasi dan pelepasan.
3. Kontra indikasi teoritis : beberapa maggot berpotensi menimbulkan reaksi alergi
akibat sekresi enzim. Potensial komplikasi lain yang dapat terjadi adalah toksisitas
ammonia yang dapat menginduksi ensefalopati pada pasien dengan gagal hati.

D. EFEK SAMPING TERAPI LARVA


Selama pemberian terapi larva, efek samping yang sering ditemukan, antara lain:
1. Rasa tidak nyaman (yuk factor) baik untuk pasien, dokter, dan tenaga medis
lainnya.
2. Nyeri: Mumcouglu et al.17 melaporkan selama terapi larva nyeri ditemukan 41%
pada pemakai tea-bag like pouch (TBA) dan 38% pada pemakai cage- like
dressing (DA). Pemberian analgetika dilakukan dengan titrasi dosis, dan bila
diperlukan dapat dilakukan blok saraf tepi. Courtenay et al.10 mendapatkan
keluhan nyeri ringan sampai berat (umumnya nyeri sedang) 48-72 jam setelah
larva diaplikasikan pada luka; nyeri dapat diatasi dengan analgetika.
3. Perdarahan ringan.
4. Pireksia: Terjadinya pireksia belum jelas, mungkin berhubungan dengan reaksi
imunologik.
5. Influenza-like symptoms (pireksia, malaise, keluhan saluran napas).
6. Alergi terhadap bahan hidrokoloid pada pembalut.
7. Munculnya bau yang tidak enak pada aplikasi larva yang pertama kali, terlepasnya
larva, atau larva yang mati akibat tekanan pembalut.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berat tidak pernah dilaporkan.
F. KEMASAN
Terapi larva mudah diaplikasikan, relatif tidak mahal, dan tidak merusak flora normal
dalam saluran cerna, atau meninggalkan residu yang merugikan seperti halnya
antibiotik sistemik. Larva harus digunakan dalam 8 jam setelah erupsi dan disimpan
pada suhu 8-100C. Secara umum terdapat 2 kelompok kemasan larva yang tersedia
untuk aplikasi klinis: free-range dan bio-bag (BioMonde). Pada kemasan free range,
larva diaplikasikan langsung pada luka. Setiap aplikasi harus diganti setelah 3 hari.
Kemasan ini sangat sesuai untuk luka yang bergaung atau berongga. Bio-bag berupa

9
kantong yang terdiri dari jaring poliester halus dengan sepotong foam untuk menyerap
sekresi larva yang berlebihan. Kemasan bio-bag lebih praktis dan estetik, serta sesuai
untuk pasien rawat jalan untuk menjamin tidak terlepasnya larva. Bio-bag harus
diganti setelah 4 hari. Dengan kemajuan teknologi, telah dikembangkan berbagai
kemasan larva, antara lain: single-piece, hinged, dan cage- like dressings. Kemasan
demikian disebut maggot confinement dressings yang memberi akses pada larva ke
luka secara bebas tetapi dapat mencegahnya untuk terlepas keluar.

10
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Terapi larva telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Dengan dite- mukannya
antibiotik dan tehnik perawatan luka serta pembedahan yang lebih baik maka
terapi larva ditinggalkan. Akibat terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik
maka terapi larva direintroduksi dan pada tahun 2004 telah diakui oleh FDA untuk
pemakaian pada luka kronis terbuka. Awalnya diduga terapi larva bermanfaat
hanya sebagai debridemen mekanis, tetapi hasil-hasil penelitian melaporkan
adanya berbagai bahan yang diduga turut membantu penyembuhan luka, antara
lain enzim proteolitik, bahan antibakteri, growth factors, dan sitokin. Terapi larva
digunakan pada luka kronis terutama yang telah gagal dengan terapi konvensional.
Dengan dikembang- kannya molekul bioaktif yang terkandung dalam bahan
sekresi dan ekskresi larva diharapkan terapi larva dapat digunakan secara luas
untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dengan biaya yang cukup ekonomis.

B. Saran
Dari makalah ini dapat digunakan sebagai metode pengobatan alternatif
nonfarmakologi yang dapat membantu proses penyembuhan luka diabetik. Serta
diharapkan mahasiswa dan tenaga kesehatan mengenal dan mememahami tentang
manajemen luka dengan maggot sehigga mampu mengaplikasikan pada saat
praktek di lapangan atau di masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Steenvorde P, Jacobi CE, van Doorn L, Oskam J. Maggot debridenet therapy of infected
ulcers: Patient and wound factors influencing outcome – A study on 101 patients withy 117
wounds. Ann R Coll Surg Engl. 2007;89(6):596-602.
Bryant, R.A., (2007) Acute & chronic wounds current management concept.3rdedition.
USA: Mosby Elsevier.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2013), hasil Riskesdas 2013.
(www.depkes.go.id/resources/download/diakses 5 Mei 2017)

12

Anda mungkin juga menyukai