Anda di halaman 1dari 55

TUGAS RANGKUMAN

MINERALOGI & PETROLOGI

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD FITRA ANDRIAN
073001400063
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2015
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, sang pencipta dan pengatur alam semesta, berkat
ridhonya, kami akhirnya mampu menyelesaikan tugas rangkuman yang berjudul
“Mineralogi dan Petrologi”. Dalam menyusun rangkuman ini, tidak sedikit
kesulitan dan hambatan yang dialami, dorongan dan semangat serta kerja keras,
sehingga kami mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu saya mengucapkan
terima kasih sedalam dalamnya. Terima kasih kepada teman teman yang telah
memberikan keterangan serta bantuan dalam penyusunan rangkuman ini. Serta
terima kasih pula kepada ibu Retno Witjahjati yang menjadi dosen serta
pembimbing yang mengarahkan saya hingga saya dapat menyelesaikan
rangkuman ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam rangkuman ini, oleh
karena itu segala kritikan dan saran yang membangun akan saya terima dengan
baik, semoga rangkuman “Mineralogi dan Petrologi” ini bermanfaat bagi kita
semua.

Jakarta, 15 Juni 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ........................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................................. ii
Bab I. Kristalografi dan Mineralogi
1.A Kristalografi .................................................................................................1
1.B Sistem Kristal...............................................................................................1
1.C Mineralogi ..................................................................................................8
1.D Sifat Fisik Mineral .......................................................................................9
1.E Sifat Kimia Mineral ..................................................................................16
1.F Lingkungan Pembentukan Mineral ...........................................................20
Bab II. Petrologi
2.A. Batuan Beku (Igneous Rocks) ..................................................................22
2.B Batuan Sedimen (Sediment Rocks) ..........................................................28
2.C Batuan Metamorf .......................................................................................44
Daftar Pustaka ........................................................................................................ iii
BAB I

KRISTALOGRAFI DAN MINERALOGI

A. Kristalografi

Kata "kristalografi" berasal dari kata bahasa Yunani crystallon = tetesan


dingin/beku, dengan makna meluas kepada semua padatan transparan pada derajat
tertentu, dan graphein = menulis.

Kristalografi merupakan sains eksperimental yang bertujuan menentukan


susunan atom dalam zat padat. Dahulu istilah ini digunakan untuk studi ilmiah
kristal.

Metode kristalografi saat ini tergantung kepada analisis pola hamburan yang
muncul dari sampel yang dibidik oleh berkas sinar tertentu. Berkas tersebut tidak
mesti selalu radiasi elektromagnetik, meskipun sinar X merupakan pilihan yang
paling umum. Untuk beberapa keperluan elektron atau neutron juga digunakan,
yang dimungkinkan karena sifat gelombang partikel tersebut. Para ahli
kristalografi sering menyatakan secara eksplisit jenis berkas yang digunakan.

Ketiga jenis radiasi ini (sinar X, elektron, dan neutron) berinteraksi dengan
spesimen dengan cara yang berbeda. Sinar X berinteraksi dengan agihan
(distribusi) spasial elektron valensi, sementara elektron merupakan partikel
bermuatan, dan karena itu merasakan agihan total inti atom dan elektron yang
mengelilinginya. Neutron dihamburkan oleh inti atom lewat gaya nuklir kuat, dan
tambahan lagi, momen magnetik neutron tidaklah nol. Karena itu neutron juga
dihamburkan oleh medan magnet. Bila neutron dihamburkan oleh bahan yang
mengandung hidrogen, berkas tersebut menghasilkan pola difraksi dengan tingkat
derau tinggi. Karena bentuk-bentuk interaksi yang berbeda ini, ketiga jenis radiasi
tersebut cocok untuk studi kristalografi berbeda-beda.

B. Sistem Kristal

1. Sistem Isometrik

Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem
kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus
satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk
masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β =
γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ )
tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 1 Sistem Isometrik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem


Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :

 Tetaoidal
 Gyroida
 Diploida
 Hextetrahedral
 Hexoctahedral

Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold,
pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)

2. Sistem Tetragonal

Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal
yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih
pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.

Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan


sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak
sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal
ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus
satu sama lain (90˚).
Gambar 2 Sistem Tetragonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal


Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu
a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:

 Piramid
 Bipiramid
 Bisfenoid
 Trapezohedral
 Ditetragonal Piramid
 Skalenohedral
 Ditetragonal Bipiramid

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil,
autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)

3. Sistem Hexagonal

Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap
ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚
terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan
panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih
panjang).

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio


(perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini,
sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Gambar 3 Sistem Hexagonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem


Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk
sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 7:

 Hexagonal Piramid
 Hexagonal Bipramid
 Dihexagonal Piramid
 Dihexagonal Bipiramid
 Trigonal Bipiramid
 Ditrigonal Bipiramid
 Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz,
corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

4. Sistem Trigonal

Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain
yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik
sudut yang melewati satu titik sudutnya.

Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu)


a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama
dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut
α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚
terhadap sumbu γ.

Gambar 4 Sistem Trigonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal


Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a
ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu
c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan
sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk
sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:

 Trigonal piramid
 Trigonal Trapezohedral
 Ditrigonal Piramid
 Ditrigonal Skalenohedral
 Rombohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini


adalah tourmalinedan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977)

5. Sistem Orthorhombik

Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio


(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya
saling tegak lurus (90˚).
Gambar 5 Sistem Orthorhombik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem


Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak
ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada
sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:

 Bisfenoid
 Piramid
 Bipiramid

Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalahstibnite,


chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)

6. Sistem Monoklin

Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu
yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap
sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu
tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling
panjang dan sumbu b paling pendek.

Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan


sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama
panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β
= 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚),
sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Gambar 6 Sistem Monoklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal


Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada
patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem
ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:

 Sfenoid
 Doma
 Prisma

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini


adalah azurite, malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)

7. Sistem Triklin

Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak
saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio


(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak
saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Gambar 7 Sistem Triklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan
yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan
sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚
terhadap c+.

Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:

 Pedial
 Pinakoidal

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite,
anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase.

C. Mineralogi
Mineralogi adalah ilmu yang mempelajari pembentukan kulit bumi meliputi :
apa unsur pembentuknya(komposisi kimia), begaimana bentuk ikatannya,
bagaimana proses pembentukannya, bagaimana sifat fisiknya, bagaimana cara
mengenalinya.

Pada awalnya, mineralogi lebih menitik beratkan pada sistem klasifikasi


mineral pembentuk batuan. International Mineralogical Association merupakan
suatu organisasi yang beranggotakan organisasi-organisasi yang mewakili para
ahli mineralogi dari masing-masing negara. Aktivitasnya mencakup mengelolaan
penamaan mineral (melalui Komisi Mineral Baru dan Nama Mineral), lokasi
mineral yang telah diketahui, dsb. Sampai dengan 2004 telah terdapat lebih
dari 4000 spesies mineral yang diakui oleh IMA. Dari kesemua itu, 150 dapat
digolongkan “umum”, 50 lainnya “kadang-kadang”, dan sisanya “jarang” sampai
“sangat jarang”

Belakangan ini, dangan disebabkan oleh perkembangan teknik eksperimental


(seperti defraksi neutron) dan kemampuan komputasi yang ada, telah
memungkinkan simulasi prilaku kristal berskala atom dengan sangat akurat, ilmu
ini telah berkembang luas hingga mencakup permasalahan yang lebih umum
dalam bidang kimia anorganik dan fisika padat. Meskipun demikan, bidang ini
tetap berfokus pada struktur kristal yang umumnya dijumpai pada mineral
pembentuk batuan (seperti pada perovskites, mineral lempungdan kerangka
silikat). Secara khusus, bidang ini telah mencapai kemajuan mengenai hubungan
struktur mineral dan kegunaannya; di alam, contoh yang menonjol berupa akurasi
perhitungan dan perkiraan sifat elastic mineral, yang telah membuka pengetahuan
yang mendalam mengenai prilaku seismik batuan dan ketidakselarasan yang
berhubungan dengan kedalaman pada seismiogram dari mantel bumi. Sehingga,
dalam kaitannya dengan hubungan antara fenomena berskala atom dan sifat-sifat
makro, ilmu mineral (seperti yang umumnya diketahui saat ini) kemungkinan
lebih berhubungan dengan ilmu material daripada ilmu lainnya.

D. Sifat Fisik Mineral

1. Warna (Colour)

Bila suatu permukaan mineral dikenal suatu cahaya, maka cahaya yang
mengenai permukaan mineral tersebut sebagian akan diserap (absorbsi) dan
sebagian dipantulkan (refleksi). Warna penting untuk membedakan antara
mineral akibat pengotoran dan warna asli (tetap) yang berasal dari elemen
utama pada mineral tersebut.

Warna mineral yang tetap dan tertentu karena elemen-elemen utama pada
mineral disebut dengan nama Idiochromatic. Misal : Sulfur berwarna kuning,
Pyrite berwarna kuning loyang, Magnetite berwarna hitam

Warna akibat adanya campuran atau pengotor dengan unsur lain, sehngga
memberikan warna yang berubah-ubah tergantung dari pengotornya, disebut
dengan nama Allochromatic. Misal: Halite, warna dapat berubah-ubah :

 abu-abu
 biru bervariasi
 kuning
 coklat gelap
 merah muda

Kuarsa tak berwarna, tetapi karena ada campuran/pengotoran, warna


berubah-ubah menjadi :

 violet
 merah muda
 coklat-hitam

Kehadiran kelompok ion asing yang dapat memberikan warna tertentu pada
mineral disebut nama Chromophores. Misal: Ion-ion Cu yang terkena proses
hidrasi merupakan Chromophores dalam mieral Cu sekunder ,maka akan
memberikan warna hijau dan biru.

Faktor yang dapat mempengaruhi warna:

 Komposisi kimia
 Chlorite - Hijau
 Albite - Putih
 Melanite - Hitam
 Erythrite - Merah
 Rhodonite - Merah Jambu
 Struktur kristal dan ikatan atom
 Intan – tak berwarna – hexagonal
 Graphite – hitam – hexagonal
 Pengotoran dari mineral
 Silica - tak berwarna
 Jasper - merah
 Chalsedon - coklat hitam
 Agate - asap/putih

2. Perawakan Kristal

Istilah perawakan kristal adalah bentuk khas mineral ditentukan oleh bidang
yang membangunnya, termasuk bentuk dan ukuran relatif bidang-bidang
tersebut. Perawakan kristal dipakai untuk penentuan jenis mineral walaupun
perawakan bukan merupakan ciri tetap mineral.

Contoh : mika selalu menunjukkan perawakan kristal yang mendaun


(foilated).

Perawakan kristal; dibedakan menjadi 3 golongan (Richard Peral, 1975)


yaitu:

1. Elongated habits (meniang/berserabut)


 Meniang ( Columnar ). Contoh: Tourmaline
 Menyerat ( Fibrous ). Contoh: Asbestos
 Menjarum ( Acicular ). Contoh: Natrolite
 Menjaring ( Reticulate ). Contoh: Rulite
 Merabut ( Capillery ). Contoh: Cuprite
 Membintang ( Stellated ). Contoh: Pirofilit
 Membenang ( Filliform ). Contoh: Silver
 Mondok ( Stound,tubby,Equant ). Contoh: Zircon
 Menjari ( Radiated ). Contoh: Markasit
2. Flattened habits (lembaran tipis)
 Membilah ( Bladed ). Contoh: Kyanite, Kalaverit
 Memapan ( Tabular ). Contoh: Barite, Hypersthene
 Membata ( Blocky ). Contoh: Microcline, Calcite
 Mendaun ( Foliated ). Contoh: Mika, Chlorite
 Memencar ( Divergen ). Contoh: Aragonite
 Membulu ( Plumose ). Contoh: Mika

3. Rounded habits (membutir)


 Mendada ( Mamillary ). Contoh: Malachite, Opal
 Membulat jari ( Colloform radial ). Contoh: Pyrolorhyte
 Mengginjal ( Rentiform ). Contoh: Hematite
 Membulat ( Colloform ). Contoh: Gluconite
 Membutir ( Granular ). Contoh: Olivine
 Stalaktit (Stalactic ). Contoh: Goethite
 Memisolit ( Pisolitic). Contoh : Gibbsite, Pisolitic

3. Kilap (Luster)

Kilap ditimbulkan oleh cahaya yang dipantulkan dari permukaan sebuah


mineral, yang erat hubungannya dengan sifat pemantulan (refleksi)
dan pembiasan (refraksi). Intensitas kilap tergantung dari indeks bias dari
mineral, yang apabila makin besar indeks bias mineral, makin besar pula
jumlah cahaya yang dipantulkan. Nilai ekonomik mineral kadang-kadang
ditentukan oleh kilapnya. Macam-macam kilap:

 Kilap Logam (Metallic Luster)


Mineral-mineral opaq yang mempunyai indeks bias sama dengan 3 atau
lebih, contoh: Galena, Native metal, Sulphide , Pyrite.

 Kilap Sub-metalik (Sub Metallic Luster)


Terdapat pada mineral yang mempunyai indeks bias antara 2,6 sampai 3,
contoh : - Cuprite ( n = 2.85 )
- Cinnabar ( n = 2.90 )
- Hematite ( n = 3.00 )
- Alabandite ( n = 2.70 )

 Kilap Bukan Logam ( Non Metallic Luster )


Mineral-mineral yang mempunyai warna terang dan dapat
membiaskan,dengan indeks bias kuramg dari 2,5. Gores dari mineral-
mineral ini biasanya tak berwarna atau berwarna muda. Macam-macam
kilap bukan logam:

 Kilap kaca ( vitreous Luster )


 Kilap Intan ( adamantite Luster )
 Kilap lemak ( greasy luster )
 Kilap lilin ( waxy luster )
 Kilap sutera ( silky luster )
 Kilap mutiara ( pearly luster )
 Kilap tanah ( earthy luster )

4. Kekerasan

Kekerasan mineral pada umumnya diartikan sebagai daya tahan mineral


terhadap goresan (scratching). Penentuan kekerasan relative mineral ialah
dengan jalan menggoreskan permukaan mineral yang rata pada mineral standar
dari skala Mohs yang sudah
diketahui kekerasannya. Skala
kekerasan relative mineral
dari Mohs :

1. Talc
2. Gypsum
3. Calcite
4. Fluorite
5. Apatite
6. Orthoclas
7. Quartz
8. Topaz
9. Corundum
10. Diamond

Misal suatu mineral di


gores dengan kalsit (H = 3) ternyata mineral itu tidak tergores, tetapi dapat
tergores oleh Fluorite (H = 4), maka mineral tersebut mempunyai kekerasan
antara 3 dan 4. Dapat pula penentuan kekerasan relativ mineral dengan
mempergunakan alat-alat sederhana yang sering terdapat di sekitar kita.
Misalnya :

- Kuku jari manusia H = 2,5


- Kawat tembaga H=3
- Pecahan kaca H = 5,5
- Pisau baja H = 5,5
- Kikir baja H = 6,5
- Lempeng baja H=7

Bila mana suatu mineral tidak tergores oleh kuku jari manusia tetapi oleh
kawat tembaga, maka mineral tersebut mempunyai kekerasan antara 2,5 dan 3.

5. Gores/Cerat (Streak)

Gores merupakan warna asli dari mineral apabila mineral tersebut ditumbuk
sampai halus. Gores ini dapat lebih dipertanggungjawabkan karena stabil dan
penting untuk membedakan 2 mineral yang warnanya sama tetapi goresnya
berbeda. Gores ini diperoleh dengan cara menggorekan mineral pada
permukaan keping porselin, tetapi apabila mineral mempunyai kekerasan lebih
dari 6, maka dapat dicari dengan cara menumbuk sampai halus menjadi berupa
tepung.

 Mineral yang berwarna terang biasanya mempunyai gores berwarna


putih. Contoh:
 Quartz = putih / tak berwarna
 Gypsum = putih / tak berwarna
 Calcite = tak berwarna

 Mineral bukan logam ( non metalic mineral ) dan berwarna gelap akan
memberikan gores yang lebh terang daripada warna mineralnya sendiri.
Contoh:
 Leucite = warna abu-abu / gores hitam
 Dolomite = warna kuning sampai merah jambu /gores putih

 Mineral yang mempunyai kilap metallic kadang-kadang mempunyai


warna gores yang lebih gelap dari warna mineralnya sendiri. Contoh:
 Pyrite= warna kuning loyang / gores hitam
 Copper= warna merah tembaga / gores hitam
 Hematite= warna abu-abu kehitaman / gores merah

 Pada beberapa mineral, warna dan gores sering menunjukkan warna


yang sama.
 Cinnabar= warna dan gores merah
 Magnetite= warna dan gores hitam
 Azurite= warna dan gores biru

6. Belahan (Cleavage)

Apabila suatu mineral mendapat tekanan yang melampaui batas elastisitas


dan plastisitasnya, maka pada akhirnya mineral akan pecah. Belahan mineral
akan selalu sejajar dengan bidang permukaan kristal yang rata karena belahan
merupakan gambaran dari struktur dalam dari kristal. Belahan tersebut akan
menghasilkan kristal menjadi bagian-bagian yang kecil, yang setiap bagian
kristal dibatasi oleh bidang yang rata. Berdasarkan dari bagus atau tidaknya
permukaan bidang belahannya, belahan dapat dibagi menjadi :

 Sempurna (Perfect)
 Baik (Good)
 Jelas (Distinct)
 Tidak Jelas (Indistinct)
 Tidak Sempurna (Imperfect)

7. Pecahan (Fracture)

Apabila suatu mineral mendapatkan tekanan yang melampaui batas


plastisitas dan elastisitasnya, maka mineral tersebut akan pecah. Pecahan dapat
dibagi :

1. Choncoidal: Pecahan mineral yang menyerupai pecahan botol atau


kulit bawang yang memperlihatkan gelombang melengkung
dipermukaan.
2. Hacly: Pecahan mineral seperti pecahan runcing-runcing tajam, serta
kasar tak beraturan atau seperti tak bergerigi.
3. Even: Pecahan mineral dengan permukaan bidang pecah kecil-kecil
dengan ujung pecahan mendekati bidang datar.
4. Uneven: Pecahan mineral yang menunjukan permukaan bidang
pecahnya kasar dan tidak teratur. Kebanyakan mineral mempunyai
pecahan uneven.
5. Splintery: Pecahan mineral yang hancur menjadi kecil-kecil dan
tajam menyerupai benang atau berserabut
6. Earthy: Pecahan mineral yang hancur seperti tanah.

8. Daya Tahan Terhadap Pukulan (Tenacity)

Tenacity adalah suatu daya tahan mineral terhadap pemecahan,


pembengkokan, penghancuran, dan pemotongan. Macam-macam tenacity :

1. Brittle: Mineral mudah hancur menjadi tepung halus


2. Sectile: Apabila mineral mudah terpotong pisau dengan tidak
berkurang menjadi tepung.
3. Malleable: Apabila mineral ditempa dengan palu akan menjadi
pipih.
4. Ductile: Dapat di tarik / diulur seperti kawat. Apabila mineral ditarik
dapat bertambah panjang dan aopabila dilepaskan maka mineral
akan kembali seperti semula.
5. Flexible: Apabila mineral dapat dilengkungkan kemana-mana
dengan mudah.
6. Elastic: Dapat merenggang bila ditarik dan kembali seperti semula
bila dilepaskan.

9. Rasa dan Bau (Taste & Odour)

Rasa ( taste ) hanya dipunyai oleh mineral-mineral yang bersifat cair :

 Astringet: rasa yang umum dimiliki oleh sejenis logam


 Sweetist Astinget: rasa seperti pada tawas
 Saline: rasa yang dimiliki seperti garam
 Alkaline: rasa yang dimiliki seperti rasa soda
 Bitter: rasa seperti garam pahit
 Cooling: rasa seperti rasa sendawa
 Sour: rasa seperti asam belerang

Melalui gesekan dan penghilangan dari beberapa zat yang bersifat volatile
melalui pemanasan atau melalui penambahan suatu asam, maka kadang-kadang
bau ( odour ) akan menjadi ciri-ciri yang khas dari suatu mineral.

 Alliaceous: Bau seperti bawang, proses pereaksi dati aersenopirit


akan menimbulkan bau yang khas
 Horse Radish Odour: Bau dari lobak kuda yang menjadi busuk ( biji
selenit yang dipanasi )
 Sulphurous: Bau yang ditimbulkan oleh proses pereaksian pirit atau
pemanasan mineral yang mengandung unsure sulfide.
 Bituminous: Bau seperti bau aspal
 Fetid: Bau yang ditimbulkan oleh asam sulfide atau bau busuk
seperti telur busuk
 Argiilaceous: Bau seperti lempung basah, seperti serpentin yang
mengalami pemanasan

kadang raba ( feel ) merupakan karakter yang penting. Ada beberapa macam
raba, misalnya : smooth ( sepioloite ), greasy (talc).

10. Berat Jenis (Specific Gravity)


Banyak mineral-mineral yang mempunyai sifat fisis yang banyak
persamaannya, dapat dibedakan dari berat jenisnya. Seperti pada colestite
SrSO4 dengan berat jenis 3,95 dapat dengan mudah dibedakan dengan barit
yang mempunyai berat jenis 4,5 salah satu penentuan berat jenis dengan teliti
dapat menggunakan pycnometer.

Berat jenis adalah angka perbandingan antara berat suatu mineral di


bandingkan dengan berat air pada volume yang sama.

11. Derajat Ketransparanan

Sifat transparan dari suatu mineral tergantung kepada kemampuan mineral


tersebut men-transmit sinar cahaya ( berkas sinar ). Sesuai dengan itu, variasi
jenis mineral dapat dibedakan atas :

 Opaque mineral : Mineral yang tidak tembus cahaya meskipun dalam


bentuk helaian yang amat tipis. Mineral-mineral ini permukaannya
mempunyai kilauan metalik dan meninggalkan berkas hitam atau
gelap (logam-logam mulia,belerang,ferric oksida )
 Transparant mineral: Mineral-mineral yang tembus pandang seperti
kaca biasa ( batu-batu kristal dan ieland spar )
 Translusent mineral: mineral yang tembus cahaya tetapi tidak tembus
pandang seperti kaca frosted ( Calsedon, Gypsum, dan kadang-
kadang Opal ).

Mineral-mineral yang tidak tembus pandang (non transparent) dalam bentuk


pecahan-pecahan (fragmen) tetapi tembus cahaya pada lapisan yang tipis
(feldspar).

12. Sifat Kemagnetan


 Paramagnetit (magnetit) adalah mineral tersebut mempunyai gaya
tarik terhadap magnet.
 Diamagnetit (non magnetit) adalah mineral tersebut mempunyai
gaya tolak terhadap magnet.

E. Sifat Kimia Mineral


Berdasarkan senyawa kimiawinya, mineral dapat dikelompokkan menjadi
mineral Silikat dan mineral Non-silikat. Terdapat 8 (delapan) kelompok mineral
Non-silikat, yaitu kelompok Oksida, Sulfida, Sulfat, Native elemen, Halid,
Karbonat, Hidroksida, dan Phospat. Adapun mineral silikat (mengandung unsur
SiO2) yang umum dijumpai dalam batuan, Seperti yang kita ketahui bahwa tidak
kurang dari 2.000 jenis mineral yang dikenal hingga sekarang. Namun ternyata
hanya beberapa jenis saja yang terlibat dalam pembentukan batuan. Mineral-
mineral tersebut dinamakan Mineral pembentuk batuan, atau Rock-forming
minerals, yang merupakan penyusun utama batuan dari kerak dan mantel Bumi.
Mineral pembentuk batuan dikelompokan menjadi empat: Silikat, Oksida,
Sulfida, Karbonat dan Sulfat.

1. Mineral Silikat
Mineral silikat adalah mineral yang memiliki unsur pembentuknya yaitu silica
(SiO2), yang merupakan hasil pembekuan magma. Silicat merupakan 25% dari
mineral yang dikenal dan 40% dari mineral yang dikenali. Hampir 90 % mineral
pembentuk batuan adalah dari kelompok ini, yang merupakan persenyawaan
antara silikon dan oksigen dengan beberapa unsur metal. Karena jumlahnya yang
besar, maka hampir 90 % dari berat kerak-Bumi terdiri dari mineral silikat, dan
hampir 100 % dari mantel Bumi (sampai kedalaman 2900 Km dari kerak Bumi).
Silikat merupakan bagian utama yang membentuk batuan baik itu sedimen,
batuan beku maupun batuan malihan (metamorf). Silikat pembentuk batuan yang
umum adalah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ferromagnesium dan
non-ferromagnesium.

a. Mineral Ferromagnesium

Mineral silikat ferromagnesium adalah mineral silikat yang mengandung


ion besi dan atau magnesium di dalam struktur mineralnya. Mineral-mineral
silikat feromegnesium dicirikan oleh warnanya yang gelap dan mempunyai
berat jenis antara 3,2 sampai 3,6.
1) Olivine adalah mineral silikat feromagnesian yang terbentuk pada
temperatur tinggi, berwarna hitam sampai hijau kehitaman,
mempunyai kilat gelas dan pecahan konkoidal. Olivin disusun
oleh tetrahidra tunggal yang diikat bersama oleh campuran ion
besi dan magnesium yang merangkai atom oksigen bersama-
sama. Berat jenis berkisar antara 3.27-3.37.
2) Augitit: warnanya sangat gelap hijau hingga hitam. BD berkisar
antara 3.2 - 3.4 dengan bidang belah yang berpotongan hampir
tegak lurus. Bidang belah ini sangat penting untuk
membedakannya dengan mineral hornblende.
3) Hornblende: warnanya hijau hingga hitam; BD. 3.2 dan
mempunyai bidang belah yang berpotongan dengan sudut kira-
kira 56° dan 124° yang sangat membantu dalam cara
mengenalnya.
4) Biotite merupakan anggota dari mika yang berwarna gelap karena
kaya akan besi. Biotit disusun oleh struktur lebaran yang
memberikan belahan satu arah. Biotit mempunyai warna hitam
mengkilap yang membedakan dari mineral ferromagnesian
lainnya. Seperti hornblende, biotit banyak dijumpai pada batuan
penyusun kerak benua, termasuk batuan beku granit. Berat jenis
berkisar antara 2.8 - 3.2.

b. Mineral Non-Ferromagnesium

Mineral Non-Ferromagnesium adalah Mineral-mineral silikat yang tidak


mengandung ion-ion besi dan magnesium disebut .mineral silikat non
feromagnesium pada umumnya mempunyai warna terang dan berat jenis
rata-rata 2,7.

1) Muscovite adalah jenis mineral mika yang sangat umum.


Berwarna terang dengan kilap seperti mutiara (pearly) dan seperti
mineral mika lainnya belahannya satu arah. Didalam batuan
muskovit sangat mudah dikenali karena sangat bercahaya. Berat
jenis berkisar antara 2.8 - 3.1.
2) Feldspar merupakan huruf mineral yang sangat umum, dapat
terbentuk pada rentang temperatur dan tekanan yang besar.
Mineral ini mempunyai bidang belahan dua arah dan membentuk
sudut hampir 900, relatif keras dan kilap bervariasi antara kilap
kaca sampai mutiara.
3) Orthoclase merupakan mineral feldspar dengan ion potasium
didalam struktur kristalnya. Plagioklas feldspar adalah mineral
feldspar dengan ion kalsium dan atau sodium didalam struktur
kristalnya. mineral ortoklas berwarna krem terang sampai merah
jambu, sedangkan plagioklas berwarna putih sampai abu-abu
terang. Meskipun keduanya mempunyai warna yang berbeda
tetapi warna tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk
membedakannya. Salah satu sifat fisik yang dapat
membedakannya adalah adanya striasi yang sejajar pada mineral
plagioklas yang tidak dijumpai pada mineral orthoklas.
4) Quartz merupakan mineral silikat yang hanya disusun oleh
silikon dan oksigen. Kuarsa tidak mempunyai bidang belahan,
sangat keras dan resistan terhadap proses pelapukan. Kuarsa
mempunyai belahan konkoidal. Pada bentuknya yang sempurna
kuarsa sangat jernih, membentuk kristal heksagonal dengan
bentuknya piramidal. Warna mineral kuarsa sangat bervariasi
tergantung pada proses pengotoran pada waktu pembentukannya.
Variasi warna menyebabkan adanya bermacam mineral kuarsa.
Mineral kuarsa yang umum adalah kuarsa susu (putih), kuarsa
asap (abu-abu) kuarsa rose (ping), ametis (purple) dan kristal
batuan (clear).

2. Mineral Non-Silikat

Mineral Non silikat adalah kelompok mineral yang unsur pembentuknya bukan
dari silika. Secara garis besar hampir semua mempunyai komposisi kimia yang
sederhana berupa unsur, sulfida (bila unsur logam bersenyawa dengan sulfur),
atau oksida (bila unsur logam bersenyawa dengan oksigen). Native
element seperti tembaga, perak atau emas agak jarang terdapat. Sulfida kecuali
Pirit, tidak jarang ditemukan, tetapi hanya cukup berarti bila relatif terkonsentrasi
dalam urat (vein) dengan cukup besar. Berikut ini adalah mineral – mineral yang
yang non
silikat:
a. Mineral Oksida

Terbentuk sebagai akibat perseyawaan langsung antara oksigen dan


unsur tertentu. Susunannya lebih sederhana dibanding silikat. Mineral
oksida umumnya lebih keras dibanding mineral lainnya kecuali silikat.
Mereka juga lebih berat kecuali sulfida. Unsur yang paling utama dalam
oksida adalah besi, Chroom, mangan, timah dan aluminium. Beberapa
mineral oksida yang paling umum adalah es (H2O), corondum (Al2O3),
hematite (Fe2O3) dan casiterite (SnO2).

b. Mineral Sulfida
Merupakan mineral hasil persenyawaan langsung antara unsur tertentu
dengan sulfur (belerang), seperti besi, perak, tembaga, timbal, seng dan
merkuri. Beberapa dari mineral sulfida ini terdapat sebagai bahan yang
mempunyai nilai ekonomis, atau bijih, seperti pyrite (FeS3), chalcocite
(Cu2S), galena (PbS), dan sphalerit (ZnS).

c. Mineral Karbonat dan Sulfat


Merupakan persenyawaan dengan ion (CO3)2−, dan disebut karbonat,
umpamanya persenyawaan dengan Ca dinamakan kalsium karbonat, CaCO3
dikenal sebagai mineral kalsit. Mineral ini merupakan susunan utama yang
membentuk batuan sedimen.

F. Lingkungan Pembentukan Mineral


Jadi pembentukan mineral semua bersumber pada magma yang ada didalam
bumi dengan mendapat tekanan dan suhu maka akan terbentuk mineral yang bisa
sangat bagus sampai sangat jelek tergantung kondisi dan situasi saat pembentukan
mineral tersebut. Proses pembentukan Mineral:

1. Proses Magmatik
Proses ini merupakan proses pembentukan mineral dengan cara pemisahan
magma, yang diakibatkan oleh pendinginan dan penurunan temperature dan
membentuk satu atau lebih jenis batuan beku.

Lingkungan magmatik dikarakteristik oleh temperatur tinggi hingga


menengah dan tekanan dengan variasinya cukup lebar. Mineral yang terbentuk
berhubungan dengan aktivitas magma yaitu cairan silikat panas yang menjadi
bahan induk batuan beku.

2. Proses Pengendapan dan Pelapukan


Proses ini terjadi akibat perubahan sifat fisik dan kimia pada batuan
penyusun kerak bumi yang di akibatkan oleh proses atmosfer dan hidrosfer.
Contoh mineralnya yaitu Kaolin.
3. Proses Hidrotermal
Merupakan proses pengendapan larutan sisa magma yang keluar melalui
rekahan pada temperature yang cukup rendah. Contoh mineralnya yaitu
Kuarsa, Klorit, Calcosit.
4. Proses Pegmatit
Proses ini merupakan kelanjutan dari proses magmatik dimana larutan sisa
magma akan mengalami pendinginan atau penurunan temperature. Contoh
mineralnya yaitu Emas, Graphite, Kuarsa, Pyrite.
5. Proses Karbonatit
Merupakan proses pembentukan batuan sediment terutama yang disusun
oleh mineral-mineral karbonat. Contoh mineralnya yaitu Dolomit.
6. Skarn
Merupakan proses pembentukan mineral pada batuan samping dengan
terjadinya kontak antara batuan sumber dan batuan karbonat.
7. Sublimasi
Merupakan proses pembentukan mineral dan batuan yang terjadi akibat
proses pemadatan dari uap/gas yang berasal dari magma. Contoh mineralnya
yaitu Sulfur.
BAB II

PETROLOGI

Petrologi adalah ilmu yang membahas proses pembentukan batuan.


termasuk bahasan tentang struktur, tekstur, komposisi mineral, kandungan
fosil, umur, dan evolusi yg terjadi terhadap batuan tersebut. Batuan adalah
agregat satu atau beberapa mineral dan atau mineraloid yang terjadi secara
alamiah dan menyusun lapisan kulit bumi. Dalam pembentukan batuan dikenal
juga siklus batuan yaitu sebagai berikut:

Penyebaran batuan beku, sedimen, dan metamorf pada permukaan bumi ini
yaitu 66% batuan sedimen dan sisanya 34% batuan beku dan batuan metamorf.
Sedangkan pada volumenya 5% batuan sedimen dan 95% batuan beku sekaligus
batuan metamorf.

Magma adalah campuran material silikat, gas dan air yang membentuk solution
dalam keadaan panas dan liat yang terdapat di dalam kulit bumi. Komposisi utama
Magma (setiap jenis magma, 99%-nya dibentuk oleh 10 unsur utama ), yaitu,
Silicon (Si), Titanium (Ti), Aluminum (Al), Iron (Fe), Magnesium (Mg), Calcium
(Ca), Sodium (Na), Potassium (K), Hydrogen (H) and Oxygen (O). Lava adalah
magma yang mencapai dan mengalir di permukaan. Ini merupakan gambar ring of
fire yang tersebar di seluruh permukaan bumi.

Jadi yang berupa garis hitam adalah jalur dari ring of fire yang berarti
banyaknya gunung berapi yang aktif dikarenakan magma terus mengalir
sepanjang garis hitam seperti pada digambang berputar terus membentuk siklus.

A. Batuan Beku (Igneous Rocks)


Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah
jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan
atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif
(plutonik) maupun di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). Magma
ini dapat berasal dari batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik
di mantelataupun kerak bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu
dari proses-proses berikut: kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau
perubahan komposisi. Lebih dari 700 tipe batuan beku telah berhasil
dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah permukaan kerak bumi.

Pada saat magma mengalami penurunan suhu akibat perjalanan ke permukaan


bumi, maka mineral-mineral akan terbentuk. Peristiwa tersebut dikenal dengan
peristiwa penghabluran. Berdasarkan penghabluran mineral-mineral silikat
(magma), oleh NL. Bowen disusun suatu seri yang dikenal dengan Bowen’s

Reaction Series.
Dalam mengidentifikasi batuan beku, sangat perlu sekali mengetahui
karakteristik batuan beku yang meliputi sifat fisik dan komposisi mineral batuan
beku.

Batuan beku dapat diklasifikasikan berdasarkan cara terjadinya, kandungan


SiO2, dan indeks warna. Dengan demikian dapat ditentukan nama batuan yang
berbeda-beda meskipun dalam jenis batuan yang sama, menurut dasar
klasifikasinya.

1) Berdasarkan cara terjadinya

 Effusive rock, untuk batuan beku yang terbentuk di permukaan.


 Dike rock, untuk batuan beku yang terbentuk dekat permukaan.
 Deep seated rock, untuk batuan beku yang jauh di dalam bumi.
Oleh W.T. Huang (1962), jenis batuan ini disebut plutonik, sedang
batuan effusive disebut batuan vulkanik.

2) Berdasarkan SiO2

 Batuan beku asam, apabila kandungan SiO2 lebih dari 66%.


Contohnya adalah riolit.
 Batuan beku intermediate, apabila kandungan SiO2 antara 52% -
66%. Contohnya adalah dasit.
 Batuan beku basa, apabila kandungan SiO2 antara 45% - 52%.
Contohnya adalah andesit.
 Batuan beku ultra basa, apabila kandungan SiO2 kurang dari 45%.
Contohnya adalah basalt.

3) Berdasarkan indeks warna

 Holofelsic, untuk batuan beku dengan indeks warna kurang dari


10%.
 Felsic, untuk batuan beku dengan indeks warna 10% sampai 40%.
 Mafelsic, untuk batuan beku dengan indeks warna 40% sampai
70%.
 Mafik, untuk batuan beku dengan indeks warna lebih dari 70%.

1. Jenis-Jenis Batuan Beku

Batuan beku dibedakan menjadi 3 yaitu :

1. Batuan beku dalam,contohnya : Batu granit, diorit, dan Gabro


2. Batuan beku gang/ tengah,contohnya : Granit porfir
3. Batuan beku luar,contohnya : Batu andesit, obsidian, dan basalt

2. Tekstus Batuan Beku

Tekstur didefinisikan sebagai keadaan atau hubungan yang erat antar


mineral-mineral sebagai bagian dari batuan dan antara mineral-mineral dengan
massa gelas yang membentuk massa dasar dari batuan.
Tekstur pada batuan beku umumnya ditentukan oleh tiga hal yang penting,
yaitu:
 Kristalinitas: Derajat kristalisasi dari suatu batuan beku pada waktu
terbentuknya batuan tersebut. Kristalinitas dalam fungsinya digunakan
untuk menunjukkan berapa banyak yang berbentuk kristal dan yang tidak
berbentuk kristal, selain itu juga dapat mencerminkan kecepatan
pembekuan magma. Dalam pembentukannnya dikenal tiga kelas derajat
kristalisasi, yaitu:
1) Holokristalin, yaitu batuan beku dimana semuanya tersusun oleh
kristal. Tekstur holokristalin adalah karakteristik batuan plutonik,
yaitu mikrokristalin yang telah membeku di dekat permukaan.
2) Hipokristalin, yaitu apabila sebagian batuan terdiri dari massa gelas
dan sebagian lagi terdiri dari massa kristal.
3) Holohialin, yaitu batuan beku yang semuanya tersusun dari massa
gelas. Tekstur holohialin banyak terbentuk sebagai lava (obsidian),
dike dan sill, atau sebagai fasies yang lebih kecil dari tubuh batuan.
 Granularitas: didefinisikan sebagai besar butir (ukuran) pada batuan
beku. Pada umumnya dikenal dua kelompok tekstur ukuran butir, yaitu:

1) Fanerik/fanerokristalin. Besar kristal-kristal dari golongan ini


dapat dibedakan satu sama lain secara megaskopis dengan mata
biasa. Kristal-kristal jenis fanerik ini dapat dibedakan menjadi:

 Halus (fine), apabila ukuran diameter butir kurang dari 1 mm.


 Sedang (medium), apabila ukuran diameter butir antara 1–5 mm.
 Kasar (coarse), apabila ukuran diameter butir antara 5 – 30 mm.
 Sangat kasar (very coarse), apabila ukuran diameter butir lebih
dari 30 mm.

2) Afanitik. Besar kristal-kristal dari golongan ini tidak dapat


dibedakan dengan mata biasa sehingga diperlukan bantuan
mikroskop. Batuan dengan tekstur afanitik dapat tersusun oleh
kristal, gelas atau keduanya. Dalam analisis mikroskopis dapat
dibedakan:

 Mikrokristalin, apabila mineral-mineral pada batuan beku bisa


diamati dengan bantuan mikroskop dengan ukuran butiran
sekitar 0,1 – 0,01 mm.
 Kriptokristalin, apabila mineral-mineral dalam batuan beku
terlalu kecil untuk diamati meskipun dengan bantuan
mikroskop. Ukuran butiran berkisar antara 0,01 – 0,002 mm.
 Amorf/glassy/hyaline, apabila batuan beku tersusun oleh gelas.

 Bentuk Kristal. Sifat dari suatu kristal dalam batuan, jadi bukan sifat
batuan secara keseluruhan. Ditinjau dari pandangan dua dimensi dikenal
tiga bentuk kristal, yaitu:

 Euhedral, apabila batas dari mineral adalah bentuk asli dari bidang
kristal.
 Subhedral, apabila sebagian dari batas kristalnya sudah tidak terlihat
lagi.
 Anhedral, apabila mineral sudah tidak mempunyai bidang kristal asli.
 Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi didefinisikan sebagai
hubungan antara kristal/mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu
batuan. Secara garis besar, relasi dapat dibagi menjadi dua.

 Equigranular yaitu apabila secara relatif ukuran kristalnya yang


membentuk batuan berukuran sama besar.
 Inequigranular yaitu apabila ukuran butir kristalnya sebagai
pembentuk batuan tidak sama besar. Mineral yang besar disebut
fenokris dan yang lain disebut massa dasar atau matrik yang bisa
berupa mineral atau gelas. Apabila kristal-kristal penyusun massa
dasar dapat terlihat jelas dengan mata atau lup maka disebut
Faneroporfiritik, dan apabila kristal penyusun massa dasar tidak dapat
terlihat dengan mata atau lup maka disebut Faneroafanitik.

3. Struktur Batuan Beku


Struktur adalah kenampakan batuan secara makro yang meliputi kedudukan
lapisan yang jelas/umum dari lapisan batuan. Struktur batuan beku sebagian besar
hanya dapat dilihat dilapangan saja, misalnya:

 Pillow lava atau lava bantal, yaitu struktur paling khas dari batuan vulkanik
bawah laut, membentuk struktur seperti bantal.
 Joint struktur, merupakan struktur yang ditandai adanya kekar-kekar yang
tersusun secara teratur tegak lurus arah aliran. Sedangkan struktur yang
dapat dilihat pada contoh-contoh batuan (hand speciment sample), yaitu:
 Masif, yaitu apabila tidak menunjukkan adanya sifat aliran, jejak gas (tidak
menunjukkan adanya lubang-lubang) dan tidak menunjukkan adanya
fragmen lain yang tertanam dalam tubuh batuan beku.
 Vesikuler, yaitu struktur yang berlubang-lubang yang disebabkan oleh
keluarnya gas pada waktu pembekuan magma. Lubang-lubang tersebut
menunjukkan arah yang teratur.
 Skoria, yaitu struktur yang sama dengan struktur vesikuler tetapi lubang-
lubangnya besar dan menunjukkan arah yang tidak teratur.
 Amigdaloidal, yaitu struktur dimana lubang-lubang gas telah terisi oleh
mineral-mineral sekunder, biasanya mineral silikat atau karbonat.
 Xenolitis, yaitu struktur yang memperlihatkan adanya fragmen/pecahan
batuan lain yang masuk dalam batuan yang mengintrusi.
 Pada umumnya batuan beku tanpa struktur (masif), sedangkan struktur-
struktur yang ada pada batuan beku dibentuk oleh kekar (joint) atau rekahan
(fracture) dan pembekuan magma, misalnya: columnar joint (kekar tiang),
dan sheeting joint (kekar berlembar).

4. Komposisi Mineral

Untuk menentukan komposisi mineral pada batuan beku, cukup dengan


mempergunakan indeks warna dari batuan kristal. Atas dasar warna mineral
sebagai penyusun batuan beku dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1) Mineral felsik, yaitu mineral yang berwarna terang, terutama terdiri dari
mineral kwarsa, feldspar, feldspatoid dan muskovit.
2) Mineral mafik, yaitu mineral yang berwarna gelap, terutama biotit, piroksen,
amphibol dan olivin.

B. BATUAN SEDIMEN (Sediment Rocks)


Batuan endapan atau batuan sedimen adalah salah satu dari tiga kelompok
utama batuan (bersama dengan batuan beku dan batuan metamorfosis) yang
terbentuk melalui tiga cara utama: pelapukan batuan lain (clastic),
pengendapan (deposition) karena aktivitas biogenik dan pengendapan
(precipitation) dari larutan. Jenis batuan umum seperti batu kapur, batu pasir,
dan lempung, termasuk dalam batuan endapan. Batuan endapan meliputi 75%
dari permukaan bumi.
Batuan sedimen (batuan endapan) adalah batuan yang terjadi akibat

pengendapan materi hasil erosi. Sekitar 80% permukaan benua tertutup oleh
batuan sedimen. Materi hasil erosi terdiri atas berbagai jenis partikel yaitu ada
yang halus, kasar, berat dan ada juga yang ringan. Cara pengangkutannya pun
bermacam-macam seperti terdorong (traction), terbawa secara melompat-lompat
(saltion), terbawa dalam bentuk suspensi, dan ada pula yang larut (salution).
Skema siklus batuan sedimen:

Jadi dari siklus diatas dapat diketahui batuan sedimen berasal dari batuan beku
yang telah mengalami serangkaian proses panjang.

Pertama batuan yang ada di permukaan bumi terkena air hujan terus menerus
dan akhirnya tergerus oleh hujan lalu karena hujan tersebut membuat batu tersebut
menjadi tererosi ke sungai lalu saat di sungai batu tersebut terendapkan didasar
lalu terus menerus ditumpuk oleh batuan yang terendap diatas batuan tersebut
lama kelamaan akan terkompaksi sehingga membentuk suatu perlapisan.

Berdasarkan ada tidaknya proses transportasi dari batuan sedimen dapat


dibedakan menjadi 2 macam :

1. Batuan Sedimen Klastik; Yaitu batuan sedimen yang terbentuk berasal dari
hancuran batuan lain. Kemudian tertransportasi dan terdeposisi yang
selanjutnya mengalami diagenesa.
2. Batuan Sedimen Non Klastik; Yaitu batuan sedimen yang tidak mengalami
proses transportasi. Pembentukannya adalah kimiawi dan organis.

Sifat – sifat utama batuan sedimen :


 Adanya bidang perlapisan yaitu struktur sedimen yang menandakan
adanya proses sedimentasi.
 Sifat klastik yang menandakan bahwa butir-butir pernah lepas, terutama
pada golongan detritus.
 Sifat jejak adanya bekas-bekas tanda kehidupan (fosil).
 Jika bersifat hablur, selalu monomineralik, misalnya : gypsum, kalsit,
dolomite dan rijang.

Batuan sedimen diklasifikasikan lagi menjadi sebagai berikut:

 Berdasarkan proses pengendapannya


 Batuan sedimen klastik (dari pecahan pecahan batuan sebelumnya).
Batuan sedimen klastik terdiri dari butiran butiran. Butiran yang
besar disebut fragmen dan diikat oleh massa butiran yang lebih
halus.
 Batuan sedimen kimiawi (dari proses kimia)
 Batuan sedimen organik (pengedapan dari bahan organik)

 Berdasarkan tenaga alam yang mengangkut


 Batuan sedimen aerik (udara)
 Batuan sedimen aquatik (air sungai)
 Batuan sedimen marin (laut)
 Batuan sedimen glastik (gletser)

 Berdasarkan tempat endapannya


 Batuan sedimen limnik (rawa)
 Batuan sedimen fluvial (sungai)
 Batuan sedimen marine (laut)
 Batuan sedimen teistrik (darat)

1. Batuan Sedimen Klastik


a. Ukuran Butiran

 Boulder/ bongkah > 256 mm


 Couble / Brangkal 64 -256 mm
 Pebble / Krakal 4 – 64 mm
 Granule / Krikil 2 -4 mm
 Pasir sangat kasar 1 – 2mm
 Pasir kasar 0,5 – 1mm
 Pasir sedang 0,25 – 0,5 mm
 Pasir halus 0,125 – 0,25mm
 Pasir sangat halus 1/16 – 0.125 mm
 Silt /Lanau 1/256 – 1/16 mm
 Clay/ Lempung < 1/256 mm

b. Pemilahan (Sorting)

Merupakan tingkat keseragaman ukuran butir penyusun batuan, dibedakan


atas :

 Terpilah sangat baik (Very Well Sorted)


 Terpilah Baik (Well Sorted)
 Terpilah sedang (Moderatly Sorted)
 Terpilah buruk (Poorly Sorted)
 Terpilah sangat buruk (Very Poorly Sorted)

c. Pembundaran (Roundness)

Tingkat kebundaran dikontrol oleh transportasi dan bentuk kebundaran ini


tergantung pada bentuk dari material/mineral asalnya. Jadi pemberian untuk
kebundaran adalah dengan melihat sifat permukaan dari butiran, dibedakan
atas:
 Bembundar baik menunjukan bahwa batuan tersebut sudah sangat jauh
dari tempat asalnya
 Membundar menunjukan bahwa batuan tersebut sudah agak jauh dari
tempat asalnya
 Membundar tanggung menunjukan bahwa batuan tersebut tidak terlalu
dekat dan tidak terlalu jauh dari tempat aslinya
 Menyudut tanggung menunjukan bahwa batuan tersebut dekat dengan
tempat asalnya
 Menyudut menunjukan bahwa batuan tersebut sangat dekat dari tempat
asalnya

d. Bentuk (Shape)

e. Kekompakan

 Sangat padat (Dense)


 Keras dan padat ( Hard)
 Agak keras (Medium hard)
 Mudah gores dan pecah (Soft)
 Keras tapi rapuh (Friable)
 Berongga (Sponggi)

f. Kemas / Febric / Packing

Menyatakan hubungan antar butir penyusun batuan, dimana hal ini di kontrol
oleh tingkat diagenesa yang dialami oleh batuan, dibedakan atas :

 Kemas terbuka, bila kontak antar butir tidak bersentuhan.


 Kemas tertutup, bila kontak antar butiran saling bersentuhan.

g. Porositas

Di maksudkan dalam tingkat/kemampuan dalam menyerap air, di bedakan atas:

 Porositas baik, bila mampu menyerap air.


 Porositas buruk, bila tidak mampu menyerap air.
 Porositas sedang, bila kemampuan menyerap air di antara baik dan buruk.

h. Permeabilitas

Permabilitas adalah kemampuan batuan untuk dilalui air

 Sangat bagus (very good)


 Bagus (good)
 Sedang (fair)
 Buruk (Poor)

i. Warna Batuan

 Material yang membentuk


 kondisi lingkungan pengendapan

Contoh:
 Hitam kondisi reduksi/ Carbon/Organik
 Merah kondisi oksidasi/ Fe

2. Batuan Sedimen non-Klastik

Batuan sedimen non klastik adalah batuan sedimen yang terbentuk secara
kimiawi dan organik atau kombinasi dari kimia dan organik batuan yang
terbentuk cara kimia adalah batuan yang terbentuk dari hasil evaporasi, seperti
endapan gypsum, anhidrit, dan endapan garam. Sedimen silica seperti diatomea,
chert, radiolaria, adalah batuan sedimen yang terbentuk dari proses kimia dan
organik Sedangkan batuan sedimen yang terbentuk oleh organik adalah batubara
Batuan sedimen non klastik yang penting dan kehadirannya cukup signifikan di
bumi adalah golongan batuan karbonat.

Batuan karbonat adalah batuan yang tersusun oleh garam-garam karbonat,


batuan ini terbentuk dari tiga cara yaitu secara mekanik, kimia maupun organik
Batuan karbonat yang utama adalah batuan karbonat yang terbentuk dari
akumulasi cangkang-cangkang organik yang mengandung garam karbonat.
Selanjutnya di yakini bahwa karbonat berasal dari batuan karbonat kimia dan
organikyang mengalami rombakan. Komposisi mineral penyusun yang utama
adalah kalsit, aragonit, dolomite, kadang juga hadir siderite manesit. Jenis batuan
karbonat yang umum adalah batu gamping yang dominan di susun oleh mineral
dolomit.

a. Butiran atau Kerangka

Jenis-jenis butiran atau kerangka antara lain :

 Kerangka organik merupakan struktur tumbuh dan gamping sebagai


bangunan-bangunan yang tak lepas sebagai proses alamiah dari organisme
dan membentuk jaringan.
 Bioklastik, terdiri dari fragmen-fragmen binatang yang lepas, seperti
cocquina, foraminifera, koral, dan lain sebagainya.
 Intraklastik, (fragmen non organik di bentuk di tempat ataupun di transport
sebagai hasil fragmentasi dari batuan atau sedimen gamping sebelumnya.
 Chemiklastik (non fragmenter), merupakan butir-butir yang dibentuk di
tempat sedimentasi karena proses coagulasi, akresi, dan pengumpalan.

b. Massa Dasar (Matrik)

 Merupakan butir-butir halus dari karbonat yang mengisi rongga-rongga


dan terbentuk pada waktu sedimentasi.
 Biasanya berukuran sangat halus, sehingga bentuk-bentuk kristal tidak
dapat diidentifikasi.
 Di bawah mikroskop kenampakan hampir opal.
 Hadirnya matrik di antara butir-butir menunjukkan lingkungan
pengendapan air tenang.
 Dapat di hasilkan dari :

1) Pengendapan langsung secara kimiawi atau biokimia, sebagai


jarum aragonit yang kemudian berubah menjadi kalsit.
2) Merupakan hasil abrasi dari gamping yang telah terbentuk.
Misalnya koral, alga, di erosi dan abrasi kembali oleh pukulan
gelombang dan merupakan tepung kalsit, dimana tepung tersebut
membentuk lumpur, dan umumnya di endapkan di daerah yang
tenang.

c. Semen atau Sparit

 Terdiri dari hablur-hablur kalsit yang jelas.


 Di sebut spar atau spary calcite
 Terbentuk pada saat diagenesa pengisian rongga-rongga oleh larutan, yang
mengendapkan kalsit sebagai hablur yang jelas.
 Sukar di bedakan dengan kalsit hasil dari rekristalisasi yang biasanya lebih
halus dan di sebut mikrospar.

d. Porositas

 Porositas primer, terbentuk pada waktu sedimentasi di daerah/zona :


 Terumbu
 Porositas antar partikel
 Sedimentasi kompelatif

 Porositas skunder, merupakan lubang-lubang pori yang terbentuk lama


setelah proses sedimentasi selesai, seperti oleh pelarutan, retakan-retakan
oleh aktivitas organik :
 Cetakan (Mold)
 Saluran (Channelling)
 Gerowong (Vug)
 Lubang bor organisme
 Retakan desikasi

e. Ukuran Butir

Untuk ukuran butir dapat mengaju pada klasifikasi Wentworth, F.L. Folk
maupun Grabau.

 Ukuran butir menurut Wentwort :


 8,0 mm……………Brecia
 4,0 mm……………Conglomerat
 2,0 mm……………Very coarse-grained
 0,1 mm……………Coarse-grained
 0,5 mm……………Medium-grained
 0,25 mm………….Fine-grained
 0,125 mm…………Fery fine-grained
 0,0625 mm…………Coarsely micrograined
 0,0132 mm…………Finely micrigrained
 0,004 mm……………
 0,002 mm…………… Cryptograined
 0,001 mm……………Batubara

Batubara di golongkan dalam batuan sedimen non klastik, yaitu batuan organik
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan,
berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena proses fisika
dan kimia yang akan mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya.

Sebelum terbentuk batubara, sebagai tahap awal atau batuan asalnya adalah
gambut. Terdapat beberapa tahapan dalam pembentukannya dari gambut ke
batubara dan dalam setiap tahapan ada proses yang terjadi dan unik yang
tergantung pada banyak faktor.

Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari
tumpukan hancuran yang terhumufikasi dan dalam keadaan tertutup udara, tidak
padat, kandungan air >75% dan kandungan mineral <50% dalam kondisi kering.

Proses pembentukan batubara dari mulai gambut pada dasarnya di bagi atas
dua proses yaitu :

 Proses Biokimia, adalah proses penghancuran oleh bakteri anaerobic


terhadap bahan kayu-kayuan hingga terbentuk gel yang disebut gelly.
Bakteri anaerobic adalah bakteri yang hidup pada tempat cair yang kurang
mengandung oksigen. Bakteri ini akan membusukkan bahan kayu-kayuan.
 Proses thermodinamika, adalah proses perubahan dari gambut menjadi
lapisan batubara oleh adanya panas dan tekanan juga adanya proses dari
luar. Proses ini di sebut sebagai proses pembatubaraan yaitu proses
perkembangan gambut, lignit, sub-bituminous coal menjadi antrasit dan
meta-antrasit.

 Gambut, merupakan hasil dari proses pengendapan yang merupakan


fase awal dari proses pembentukannya batubara.
 Lignit, sudah memperlihatkan kekar dan gejala perlapisan dengan kadar
tanah sangat rendah.
 Sub-Bitominous, sisa bagian tumbuhan tinggal sedikit dan
memperlihatkan perlapisan.
 Bitominous, dicirikan oleh warnanya yang hitam dengan sifat yang
padat.
 Antrasit, berwarna hitam, keras dengan kilap tinggi dan dicirikan oleh
penurunan unsur H. Pada proses pembakaran memperlihatkan warna
biru.

3. Lingkungan Pengendapan Batuan Sedimen


Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen
beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya
mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972). Interpretasi lingkungan
pengendapan dapat ditentukan dari struktur sedimen yang terbentuk. Struktur
sedimen tersebut digunakan secara meluas dalam memecahkan beberapa
macam masalah geologi, karena struktur ini terbentuk pada tempat dan waktu
pengendapan, sehingga struktur ini merupakan kriteria yang sangat berguna
untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Terjadinya struktur-struktur
sedimen tersebut disebabkan oleh mekanisme pengendapan dan kondisi serta
lingkungan pengendapan tertentu. Lingkungan pengendapan tersebut meliputi:

1. Lingkungan Glasial
Pengertian tentang sistem pengendapan glasial dan macam - macam
bentuknya penting dalam aplikasi. Pertama, data kandungan endapan
glasial dapat digunakan menyelesaikan masalah tentang proses - proses
geologi yang terjadi. Kedua, endapan glasial merupakan dasar untuk
mempelajari lingkungan geologi. Dengan adanya investigasi karakteristik
teknik geologi, pedoman hydrogeological, dan arus transportasi dalam
sistem pengendapan glasial. Sistem pengendapan glasial merupakan
suatu pendorong dalam penyelidikan tentang sistem pengendapan glasial
ini juga merupakan pendorong untuk mempelajari / mengetahui tentang
letak dari pengendapan klastik dan karbonat dari suatu reservoar
hidrokarbon pada tahun 1950 – an. Selain itu diketahui pula bahwa dalam
sistem pengendapan glasial juga membawa serta endapan -endapan
mineral dan bermacam - macam batuan yang dibungkus oleh es. (Placer ;
Eyles, 1990), dan sistem pengendapan glasial digunakan juga dalam
penyelidikan untuk endapan mineral yang terdapat pada pelindung /
pembungkusnya sendiri. (drift prospecting ; Dilabio and Coker, 1989).

2. Kipas Aluvial (Aluvial Fan)


Aluvial fan atau yang biasa disebut kipas aluvial adalah kenampakan
pada mulut lembah yang berbentuk kipas yang merupakan hasil proses
pengendapan atau merupakan akhir dari sistem erosi-deposisi yang
dibawa oleh sungai. Lingkungan ini umumnya berkembang di kaki
pegunungan, dimana air kehilangan energi untuk membawa sendimen
ketika melintasi dataran. Atau dapat diartikan pula bila suatu sungai
dengan muatan sedimen yang besar mengalir dari bukit atau pegunungan,
dan masuk ke dataran rendah, maka akan terjadi perubahan gradien
kecepatan yang drastis, sehingga terjadi pengendapan material yang
cepat, yang dikenal sebagai kipas aluvial, berupa suatu onggokan
material lepas, berbentuk seperti kipas, biasanya terdapat pada suatu
dataran di depan suatu gawir. Biasanya material kasar diendapkan dekat
kemiringan lereng, sementara yang halus terendapkan lebih jauh pada
pedataran, tetapi secara keseluruhan lingkungan ini mengendapkan
sendimen-sendimen yang berukuran besar seperti bongkahan batuan.

3. Sungai
Berdasarkan morfologinya sistem sungai dikelompokan menjadi 4 tipe
sungai, sungai lurus (straight), sungai teranyam (braided), sungai
anastomasing, dan sungai kekelok (meandering). Pertama Sungai lurus
(Straight), Sungai lurus umumnya berada pada daerah bertopografi terjal
mempunyai energi aliran kuat atau deras. Energi yang kuat ini
berdampak pada intensitas erosi vertikal yang tinggi, jauh lebih besar
dibandingkan erosi mendatarnya. Kondisi seperti itu membuat sungai
jenis ini mempunyai pengendapan sedimen yang lemah, sehingga
alirannya lurus tidak berbelok-belok (low sinuosity). Kedua Sungai
kekelok (Meandering) , pada sungai tipe ini erosi secara umum lemah
sehingga pengendapan sedimen kuat. Erosi horisontalnya lebih besar
dibandingkan erosi vertikal, perbedaan ini semakin besar pada waktu
banjir. Hal ini menyebabkan aliran sungai sering berpindah tempat secara
mendatar. Ini terjadi karena adanya pengikisan tepi sungai oleh aliran air
utama yang pada daerah kelokan sungai pinggir luar dan pengendapan
pada kelokan tepi dalam. Ketiga Sungai teranyam, Biasanya tipe sungai
teranyam ini diapit oleh bukit di kiri dan kanannya. Endapannya selain
berasal dari material sungai juga berasal dari hasil erosi pada bukit-bukit
yang mengapitnya yang kemudian terbawa masuk ke dalam sungai.
Runtunan endapan sungai teranyam ini biasanya dengan pemilahan dan
kelulusan yang baik, sehingga bagus sekali untuk batuan waduk
(reservoir). Keempat Sungai anastomasing, energi alir sungai tipe ini
rendah. Ada perbedaan yang jelas antara sungai teranyam dan sungai
anastomosing. Pada sungai teranyam (braided), aliran sungai menyebar
dan kemudian bersatu kembali menyatu masih dalam lembah sungai
tersebut yang lebar. Sedangkan untuk sungai anastomasing adalah
beberapa sungai yang terbagi menjadi beberapa cabang sungai kecil dan
bertemu kembali pada induk sungai pada jarak tertentu.

4. Danau
Danau atau Lacustrin adalah suatu lingkungan tempat berkumpulnya
air yang tidak berhubungan dengan laut. Lingkungan ini bervariasi dalam
kedalaman, lebar dan salinitas yang berkisar dari air tawar hingga
hipersaline. Pada lingkungan ini juga dijumpai adanya delta, barried
island hingga kipas bawah air yang diendapkan dengan arus turbidit.
Danau juga mengendapkan klastika dan endapan karbonat termasuk oolit
dan terumbu dari alga. Pada daerah beriklim kering dapat terbentuk
endapan evaporit. Endapan danau ini dibedakan dari endapan laut dari
kandungan fosil dan aspek geokimianya. Danau dapat terbentuk melalui
beberapa mekanisme, yaitu berupa pergerakan tektonik sebagai
pensesaran dan pemekaran; proses glasiasi seperti ice scouring, ice
damming dan moraine damming (penyumbatan oleh batu); pergerakan
tanah atau hasil dari aktifitas volkanik sebagai penyumbatan lava atau
danau kawah hasil peledakan.

5. Delta
Proses pembentukan delta adalah akibat akumulasi dari sedimen
fluvial (sungai) pada “lacustrine” atau “marine coastline”. Delta
merupakan sebuah lingkungan yang sangat komplek dimana beberapa
faktor utama mengontrol proses distribusi sedimen dan morfologi delta,
faktor-faktor tersebut adalah regime sungai, pasang surut (tide),
gelombang, iklim, kedalaman air dan subsiden (Tucker, 1981). Untuk
membentuk sebuah delta, sungai harus mensuplai sedimen secara cukup
untuk membentuk akumulasi aktif, dalam hal ini prograding system.
Secara sederhana ini berarti bahwa jumlah sedimen yang diendapkan
harus lebih banyak dibandingkan dengan sedimen yang terkena dampak
gelombang dan pasang surut. Dalam beberapa kasus, pengendapan
sedimen fluvial ini banyak berubah karena faktor diatas, sehingga banyak
ditemukan variasi karakteristik pengendapan sedimennya, meliputi
distributary channels, river-mouth bars, interdistributary bays, tidal flat,
tidal ridges, beaches, eolian dunes, swamps, marshes dan evavorites flats
(Coleman, 1982). Ketika sebuah sungai memasuki laut dan terjadi
penurunan kecepatan secara drastis, yang diakibatkan bertemunya arus
sungai dengan gelombang, maka endapan-endapan yang dibawanya akan
terendapkan secara cepat dan terbentuklah sebuah delta. Deposit
(endapan) pada delta purba telah diteliti dalam urutan umur stratigrafi,
dan sedimen yang ada di delta sangat penting dalam pencarian minyak,
gas, batubara dan uranium.

6. Pantai, Pulau Barrier, dan Gumuk Pasir


Transfor sedimen sepanjang pantai merupakan gerakan sedimen di
daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang
dibangkitkannya (Komar : 1983). Transfor sedimen ini terjadi di daerah
antara gelombang pecah dan garis pantai akibat sedimen yang dibawanya
(Carter, 1993). Menurut Triatmojo (1999) transfor sedimen sepanjang
pantai terdiri dari dua komponen utama yaitu transfor sedimen dalam
bentuk mata gergaji di garis pantai dan transfor sedimen sepanjang pantai
di surf zone. Transfor sedimen pantai banyak menimbulkan fenomena
perubahan dasar perairan seperti pendangkalan muara sungai erosi pantai
perubahan garis pantai dan sebagainya (Yuwono, 1994). Fenomena ini
biasanya merupakan permasalahan terutama pada daerah pelabuhan
sehingga prediksinya sangat diperlukan dalam perencanaan ataupun
penentuan metode penanggulangan. Menurut Triatmojo (1999) beberapa
cara yang biasanya digunakan antara lain adalah :Melakukan pengukuran
debit sedimen pada setiap titik yang ditinjau, sehingga secara berantai
akan dapat diketahui transfor sedimen yang terjadi, Menggunakan peta/
foto udara atau pengukuran yang menunjukan perubahan elevasi dasar
perairan dalam suatu periode tertentu. Cara ini akan memberikan hasil
yang baik jika di daerah pengukuran terdapat bangunan yang mampu
menangkap sedimen seperti training jetty, groin, dan sebagainya, Rumus
empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang dan sedimen pada
daerah yang di tinjau. Bukit pasir bervariasi dalam ukuran butir dari 1,6 -
0,1 mm. Endapan bukit pasir umumnya terdiri dari tekstur pasir yang
terpilah baik dan kebundaran baik juga ;kaya akan kwarsa. Endapan bukit
pasir di pantai mungkin kaya akan mineral berat dan fragmen batuan
yang tidak stabil. Bukit pasir di pantai yang terjadi didaerah tropis
banyak mengandung ooid, fragmen cangkang, atau butiran karbonat
lainnya. Bukit pasir yang terdapat di daerah gurun dapat mengandung
gypsum seperti White Sand, New Mexico. Bukit pasir dapat pula
terbentuk di muka pantai. Meskipun demikian hanya terjadi pada pantai
pada daerah kering dimana vegetasi (tumbuhan) tidak ada. Angin kering
yang kuat dengan arah tegak lurus pantai secara aktif memindahkan pasir
menjadi gundukan pasir. Hanya sedikit gugusan bukit pasir di muka
pantai yang terjadi pada daerah curah hujan rendah.

7. Rawa
Rawa adalah daerah di sekitar sungai atau muara sungai yang cukup
besar yang merupakan tanah lumpur dengan kadar air relative tinggi.
Wilayah rawa yang luas terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua (Irian Jaya). Daerah berawa-rawa terjadi mengikuti perluasan
daratan karena meditasi akuatis. Oleh karena itu, rawa dapat dijumpai
pada tempat-tempat yang syarat-syarat sedimentasi akuatisnya
memungkinkan, misalnya daerah-daerah pantai Papua (Irian Jaya), pantai
utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai Kalimantan. Bila sungai
dipasok lebih banyak sedimen dari pada kemampuan sungai untuk
membawa sedimen tersebut, maka akan diendapkan material berlebih
pada dasar kanal sebagai sand and gravel bars. Pengendapan ini
mendorong sungai untuk memecah kanal menjadi dua atau lebih kanal
sehingga terbentuklah pola sungai teranyam (braided river).

8. Lagoon
Lagun atau Lagoon adalah suatu kawasan berair dangkal yang masih
berhubungan dengan laut lepas, dibatasi oleh suatu punggungan
memanjang (barrier) dan relatif sejajar dengan pantai (Gambar VII.15).
Maka dari itu lagun umumnya tidak luas dan dangkal dengan energi
rendah. Beberapa lagun yang dianggap besar, misalnya Leeward Lagoon
di Bahama luasnya hanya 10.000 km dengan kedalaman + 10 m (Jordan,
1978, dalam Bruce W. Sellwood, 1990). Akibat terhalang oleh tanggul,
maka pergerakan air di lagun dipengaruhi oleh arus pasang surut yang
keluar/masuk lewat celah tanggul (inlet). Kawasan tersebut secara klasik
dikelompokkan sebagi daerah peralihan darat - laut (Pettijohn, 1957),
dengan salinitas air dari tawar (fresh water) sampai sangat asin
(hypersalin). Keragaman salinitas tersebut akibat adanya pengaruh
kondisi hidrologi, iklim dan jenis material batuan yang diendapkan di
lagun. Lagun di daerah kering memiliki salinitas yang lebih tinggi
dibanding dengan lagun di daerah basah (humid), hal ini dikarenakan
kurangnya air tawar yang masuk ke daerah itu. Berdasarkan batasan-
batasan tersebut diatas maka batuan sedimen lagun sepintas kurang
berarti dalam aspek geologi. Akan tetapi bila diamati lebih rinci
mengenai aspek lingkungan pengendapannya, lagun akan dapat bertindak
sebagai penyekat perangkap stratigrafi minyak. Transportasi material
sedimen di lagun dilakukan oleh, air pasang energi ombak, angin yang
dengan sendirinya dikendalikan iklim sehingga akan mempengaruhi
kondisi biologi dan kimia lagun.

9. Laut Dangkal
Daerah shelf merupakan daerah lingkungan pengendapan yang berada
diantara daerah laut dangkal sampai batas shelf break . Heckel (1967)
dalam Boggs (1995) membagi lingkungan shelf ini menjadi dua jenis,
perikontinental (marginal) dan epikontinental epeiric). Perikontinental
shelf adalah lingkungan laut dangkal yang terutama menempati daerah di
sekitar batas kontinen (transitional crust) shelf dengan laut dalam.
Perikontinental seringkali kehilangan sebagian besar dari endapan
sedimennya (pasir dan material berbutir halus lainnya), karena endapan-
endapan tersebut bergerak memasuki laut dalam dengan proses arus
traksi dan pergerakan graviti (gravity mass movement). Karena
keberadaannya di daerah kerak transisi (transitional crust),
perikontinental juga sering menunjukan penurunan (subsidence) yang
besar, khususnya pada tahap awal pembentukan cekungan, yang dapat
mengakibatkan terbentuknya endapan yan tebal pada daerah ini (Einsele,
1992). Sedangkan epikontinental adalah lingkungan laut yang berada
pada daerah kontinen (daratan) dengan sisi-sisinya dibatasi oleh beberapa
daratan. Daerah ini biasanya dibentuk jauh dari pusat badai (storm) dan
arus laut, sehingga seringkali terproteksi dengan baik dari kedua
pengaruh tersebut. Jika sebagian dari daerah epeiric ini tertutup, maka ini
akan semakin tidak dipengaruhi oleh gelombang dan arus tidal. Skema
penampang lingkungan pengendapan laut (Boggs, 1995) Ada enam faktor
yang mempengaruhi proses sedimentasi pada lingkungan shelf (Reading,
1978), yaitu : 1. kecepatan dan tipe suplai sedimen 2. tipe dan intensitas
dari hidrolika regime shelf 3. fluktuasi muka air laut 4. iklim 5. interaksi
binatang – sedimen 6. faktor kimia Pasir shelf modern sebagian besar
(70%) adalah berupa relict sedimen, meskipun kadang-kadang daerah
shelf ini menerima secara langsung suplai pasir dari luar daerah, seperti
dari mulut sungai pada saat banjir dan dari pantai pada saat badai (Drake
et al, 1972 dalam Reading, 1978). Endapan sedimen pada lingkungan
shelf modern umumnya sangat didominasi oleh lumpur dan pasir,
meskipun kadang-kadang dijumpai bongkah-bongkah relict pada
beberapa daerah.

10. Reefs
Terumbu atau reef merupakan lingkungan yang unik yang sangat
berbeda dari bagian lingkungan pengendapan lainnya di lingkungan
paparan (shelf). Terumbu ini umumnya dijumpai pada bagian pinggir
platform paparan luar (outer-shelf) yang hampir menerus sepanjang arah
pantai, sehingga merupakan penghalang yang efektif terhadap gerakan
gelombang yang melintasi paparan tersebut. Disamping terumbu
berkembang seperti massa yang menyusur sepanjang garis pantai diatas,
juga dapat berkembang sebagai “patch” yang terisolir dalam paparan
bagian dalam atau inner-shelf . Istilah lain untuk terumbu ini, ada yang
menyebutnya dengan “carbonate buildup” atau “bioherm”. Tetapi para
pekerja karbonat tidak menyetujui penggunaan istilah terumbu hanya
dibatasi untuk carbonat-buildup atau inti yang kaku, pertumbuhan koloni
organisme, atau carbonat - buildup lainnya yang tidak memiliki inti
kerangka yang kaku. Wilson (1975) menggunakan istilah carbonat-
buildup untuk tubuh yang secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan
hasil proses relief tofografi, dan tanpa mengaitkan dengan hiasan
pembentuk internalnya.

11. Laut Dalam


Sekitar 70% daerah bumi ini merupakan daerah cekungan laut dengan
alas kerak samudra tipe basaltis. Daerah cekungan laut dalam merupakan
daerah yang pada bagian atanya dibatasi oleh lingkungan shelf pada zona
break, secara topografi ditandai dengan kemiringan yang curam (lebih
besar) dibandingkan dengan shelf. Berdasarkan dari fisiografinya,
lingkungan laut dalam ini dibagi menjadi tiga daerah yaitu, continental
slope, continental rise dan cekungan laut dalam . Prinsip elemen dari
Kontinental margin (Drake, C.L dan Burk, 1974 dalam Boggs, 1995)
Lereng benua (continental slope) dan continental rise merupakan
perpanjangan dari shelf break. Kedalaman lereng benua bermula dari
shelf break dengan kedalaman rata-rata 130 m sampai dengan 1500-4000
m. Kemiringan pada lereng benua ini sekitar 40, walaupun ada variasi
pada lingkungan delta (20) dan pada lingkungan koral (450) (Boggs,
1995). Sedangkan kemiringan pada continental rise biasanya lebih kecil
dibandingkan kemiringan pada lereng benua. Karena lerengnya yang
cukup curam dibandingkan paparan, pada lereng benua ini sering
merupakan daerah dari pergerakan arus turbidit. Continental rise
biasanya tidak akan ada pada daerah convergen atau aktif margin dimana
subduksi berlangsung. Morfologi pada lereng benua ini sering
menunjukan bentuk cembung, kecuali pada daerah-daerah yang yang
mempunyai stuktur sangat aktif. Volume endapan sedimen yang dapat
mencapai lereng benua dan continental rise ini akan sangat bergantung
pada lebarnya shelf dan jumlah sedimen yang ada. Continental rise dan
cekungan laut dalam membentuk sekitar 80% dari total dasar laut.

4. Proses Diagenesa

Diagenesa merupakan suatu proses – proses yang terjadi pada material sedimen
yang terdapat pada cekungan pengendapan hingga terbentuk batuan sedimen.

1. Kompaksi Sedimen

Yaitu termampatnya butir sedimen satu terhadap yang lain akibat tekanan
dari berat beban di atasnya. Disini volume sedimen berkurang dan hubungan
antar butir yang satu dengan yang lain menjadi rapat.

2. Sementasi

Yaitu turunnya material-material di ruang antar butir sedimen dan secara


kimiawi mengikat butir-butir sedimen dengan yang lain. Sementasi makin
efektif bila derajat kelurusan larutan pada ruang butir makin besar.

3. Autigenesis
Yaitu terbentuknya mineral baru di lingkungan diagenesa, sehingga adanya
mineral tersebut merupakan partikel baru dalam suatu sedimen. Mineral
autigenik ini yang umum diketahui sebagai berikut : karbonat, silica, klorit,
gypsum dll.

4. Metasomatisme

Yaitu pergantian material sedimen oleh berbagai mineral autigenik, tanpa


autigenesis.

Media transpotasi :

 Air : Air sebagai media untuk mentransportasi batuan sedimen


 Air permukaan (run off)
 Air sungai
 Air laut
 Angin : Angin sebagai media untuk mentransportasi batuan sedimen
 Es/glacier : Es sebagai media untuk mentransportasi batuan sedimen

Terbentuknya cekungan sedimentasi:

 Penurunan lithosfer karena tektonik (Tektonik Subsidance)


 Penaikan lithosfer karena tektonik (Tektonik Uplive)

C. Batuan Metamorf

Batuan metamorf menyusun sebagian besar dari kerak Bumi dan digolongkan
berdasarkan tekstur dan dari susunan kimia dan mineral (fasies metamorf) Mereka
terbentuk jauh dibawah permukaan bumi oleh tegasan yang besar dari batuan
diatasnya serta tekanan dan suhu tinggi. Mereka juga terbentuk oleh intrusi batu
lebur, disebut magma, ke dalam batuan padat dan terbentuk terutama pada kontak
antara magma dan batuan yang bersuhu tinggi.

Penelitian batuan metamorf (saat ini tersingkap di permukaan bumi akibat erosi
dan pengangkatan) memberikan kita informasi yang sangat berharga mengenai
suhu dan tekanan yang terjadi jauh di dalam permukaan bumi.

Batuan metamorf adalah batuan yang telah berubah atau mengalami


metamorfisme. Metamorfisme adalah proses perubahan mineralogi batuan pada
kondisi padat (solid), akibat perbedaan suhu dan tekanan pada kondisi tertentu
dengan kondisi baru. Proses ini diluar proses pelapukan dan diagenesa (Wingkler,
1967 di dalam Mulyo, 2013). Jadi batuan metamorf merupakan batuan-batuan
yang terbentuk dari proses perubahan batuan asal (batuan beku maupun sedimen),
baik perubahan bentuk atau struktur maupun susunan mineralnya akibat pengaruh
tekanan dan/atau temperatur yang sangat tinggi, sehingga menjadi batuan yang
baru. Proses metamorfisme ini berlangsung dalam kondisi isokimia.
1. Tipe Batuan Metamorf berdasarkan Tempat Terjadinya

 Batuan Metamorf Kontak

Batuan yang mengalami metamorfose sebagai akibat dari adanya suhu yang
sangat tinggi (sebagai akibat kontak dengan magma). Adanya suhu yang
sangat tinggi menyebabkan terjadinya perubahan bentuk maupun warna
batuan. Contohnya batu kapur (gamping) menjadi marmer.

 Batuan Metamorf Regional

Batuan yang mengalami metamorfose sebagai akibat dari adanya tekanan


dan temperatur yang tinggi (berasal dari tenaga endogen) dalam waktu yang
lama. Contohnya batu lumpur (mud stone) menjadi batu tulis (slate).

 Batuan Metamorf Kataklastik/Dislokasi

Batuan yang mengalami metamorfose sebagai akibat dari tekanan yang


sangat tinggi pada daerah patahan.

2. Tekstur Batuan Metamorf

Tekstur batuan metamorf secara umum dibagi menjadi dua yaitu tekstur
kristaloblastik dan tekstur sisa (relict) (Mulyo, 2013).
1. Tekstur kristaloblastik
Merupakan tekstur yang terbentuk oleh proses metamorfisme. Tekstur ini
sudah berbeda dengan tekstur batuan asalnya ( protolith ).
Macam – macam tekstur kristaloblastik :
 Lepidoblastik, adalah tekstur batuan metamorf dengan mineral –
mineral penyusun berbentuk tabular.
 Nematoblastik, adalah tekstur batuan metamorf dengan mineral –
mineral penyusun berbentuk prismatik.
 Granoblastik – granular, dalam tekstur ini tersusun oleh butiran yang
relatif equidimensional (granular) dengan batas kristal suture ( jackson,
1970 ).
 Granuloblastik, tekstur ini tersusun oleh butiran yang relatif
equidimensional (granular) dengan batas kristal unsuture.
 Granoblastik – polygonal,
 Dekusat, tekatur granoblastik dengan individu kristalnya cenderung
berbentuk subidioblastik, prismatik dan tersusun secara acak.
 Porpiroblastik, tektur dengan mineral besar di dalam mineral kecil
 Tekstur mortar, tektur batuan metamorf akibat penggerusan

2. Tekstur sisa ( relict )


Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih memperlihatkan tekstur
batuan asalnya.

3. Struktur Batuan Metamorf


Secara umum struktur batuan metamorf dapat dibadakan menjadi struktur
foliasi dan nonfoliasi (Jacson, 1997 di dalam Setyobudi, 2012).

1. Struktur Foliasi

Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat
terjadi karena adnya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan
(gneissoty), orientasi butiran (schistosity), permukaan belahan planar
(cleavage) atau kombinasi dari ketiga hal tersebut. Struktur foliasi yang
ditemukan adalah :

 Slaty Cleavage
Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir sangat halus
(mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang belah planar
yang sangat rapat, teratur dan sejajar. Batuannya disebut slate
(batusabak).

 Phylitic
Struktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat
rekristalisasi yang lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral
pipih dengan mineral granular. Batuannya disebut phyllite (filit)

 Schistosic
Terbentuk adanya susunan parallel mineral-mineral pipih, prismatic
atau lentikular (umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang
sampai kasar. Batuannya disebut schist (sekis).

 Gneissic/Gnissose
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran mineral yang
mempunyai bentuk berbeda, umumnya antara mineral-mineral granuler
(feldspar dan kuarsa) dengan mineral-mineral tabular atau prismatic
(mioneral ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya tidak
menerus melainkan terputus-putus. Batuannya disebut gneiss.

2. Struktur Non Foliasi


Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari
butiran-butiran (granular). Struktur non foliasi yang umum dijumpai antara
lain:

 Hornfelsic/granulose
Terbentuk oleh mozaic mineral-mineral equidimensional dan
equigranular dan umumnya berbentuk polygonal. Batuannya disebut
hornfels (batutanduk).

 Kataklastik
Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau mineral berukuran kasar
dan umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik
ini terjadi akibat metamorfosa kataklastik. Batuannya disebut
cataclasite (kataklasit).

 Milonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada metamorfosa
kataklastik. Cirri struktur ini adalah mineralnya berbutir halus,
menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan belum terjadi
rekristalisasi mineral-mineral primer. Batiannya disebut mylonite
(milonit).

 Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi
umumnya telah terjadi rekristalisasi. Cirri lainnya adlah kenampakan
kilap sutera pada batuan yang ,mempunyai struktur ini. Batuannya
disebut phyllonite (filonit).
4. Derajat Metamorfisme
Berdasarkan tekanan dan temperatur yang berada diatas kondisi diagenesa,
maka ada 3 tingkat derajat metamorfosa yang dapat dikenal, yaitu derajat
metomorfosa rendah, sedang dan tinggi. Adapun batas antara metamorfosa dan
peleburan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan dan jumlah air yang terdapat
dalam batuan.

Metamorfosa Burial dicirikan oleh tekanan, temperatur, yang rendah dan


kedalaman yang relatif dangkal. Tipe metamorfosa akan meningkat seiring
dengan meningkatnya tekanan, temperatur, dan kedalaman, yaitu dari Burial
Metamorfosa berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat Rendah dan
kemudian dengan semakin meningkatnya tekanan, temperatur dan kedalaman
Metamorfosa Regional Derajat Rendah dapat berubah menjadi Metamorfosa
Regional Derajat Tinggi, sedangkan pada kedalaman (D > 20 km), Tekanan (P > 7
kilobars), dan Temperatur (T > 700° C ) batuan akan mengalami peleburan
(mencair) menjadi magma.

Perubahan yang terjadi didalam kelompok mineral mencerminkan suatu


peningkatan dalam derajat metamorfosa (contoh, burial sedimentary atau
penebalan kerak akibat tektonik) yang dikenal dengan “prograde metamorphism”.
Perubahan yang disebabkan oleh suatu penurunan dalam derajat metamorfosa (
contoh, adanya pengangkatan tektonik dan erosi) dikenal dengan “retrograde”.

Perubahan dalam kelompok mineral pada suatu batuan metamorf didorong oleh
komponen-komponen kimiawinya untuk mencapai konfigurasi energi yang
terendah pada kondisi tekanan dan temperatur yang ada. Jenis jenis mineral yang
terbentuk tergantung tidak saja pada T dan P tetapi juga pada komposisi mineral
yang terdapat dalam batuan. Apabila suatu tubuh batuan mengalami peningkatan
tekanan dan atau temperatur maka batuan tersebut berada dalam keadaan
“prograde metamorphism” atau batuan mengalami peningkatan derajat
metamorfosanya. Derajat metamorfosa adalah istilah yang umum yang dipakai
untuk menjelaskan kondisi tekanan dan temperatur dimana batuan metamorf
terbentuk.

Metamorfosa derajat rendah terjadi pada temperatur antara 200° – 320° C dan
tekanan yang relatif rendah. Batuan metamorf derajat rendah dicirikan oleh
berlimpahnya mineral-mineral hydrous, yaitu mineral-mineral yang mengandung
air (H2O) didalam struktur kristalnya). Contoh dari mineral-mineral hydrous yang
terdapat pada batuan-batuan metamorf derajat rendah:

 Mineral Lempung
 Serpentine
 Chlorite
Metamorfosa derajat tinggi terjadi pada temperatur lebih besar dari 320°C dan
tekanan yang relatif tinggi. Seiring dengan meningkatnya derajat metamorfosa,
maka mineral-mineral hydrous akan semakin kurang hydrous dikarenakan
hilangnya unsur H2O dan mineral-mineral non-hydrous menjadi bertambah
banyak. Contoh mineral-mineral yang kurang hydrous dan mineral-mineral non-
hydrous yang mencirikan batuan metamorfosa derajat tinggi adalah: Batuan yang
berada jauh didalam perut bumi dapat mengalami penurunan tekanan dan
temperatur apabila mengalami erosi sebagai akibat dari pengangkatan secara
tektonik. Peristiwa tersingkapnya batuan akibat erosi ini memungkinan batuan
mengalami pembalikan proses metamorfosa, yaitu batuan kembali pada kondisi
awal sebelum mengalami metamorfosa. Pembalikan proses metamorfosa seperti
ini dikenal dengan istilah metamorfosa retrogresif.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://fileq.wordpress.com/2012/03/09/sejarah-mineralogi/
2. http://shin-shanshan.blogspot.com/2011/07/diferensiasi-
magma.html
3. http://arriqofauqi.blogspot.com/2014/07/lingkungan-
pengendapan-batuan-sedimen.html
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_beku
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_metamorf
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_sedimen
7. http://rizqigeos.blogspot.com/2013/05/batuan-sedimen.html
8. http://bahangaliantambang.blogspot.com/2011/12/genesha-
mineral-pada-lingkungan.html
9. http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_beku
10. https://jemzpanjaitan.wordpress.com/2010/06/23/batuan-
sedimen/
11. Lang, Dr. Helen. 2009. Mineralogy. West Virginia University.
12. http://www.scribd.com/doc/81356476/Silikat-Dan-Non-Silikat
13. https://www.google.co.id/search?q=lingkungan+pengendapan+
batuan+sedimen&tbm
14. http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_sedimen

Anda mungkin juga menyukai