Anda di halaman 1dari 19

LIMFOMA NON HODGKIN

Refrat
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Bakri Hasbullah, Sp.B. FINACS

Oleh :
Okky Irtanto
J500 060 044

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
LIMFOMA NON HODGKIN

Refrat
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :
Okky Irtanto
J500 060 044

Disetujui dan disahkan pada tanggal :

Pembimbing

dr. Bakri Hasbullah, Sp.B. FINACS

Mengetahui
Kepala Program Profesi
FK UMS

dr. Yuni Prasetyo Kurniati, MMKes


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Neoplasma limfoid mencangkup sekelompok entitas yang gambaran


dan perilaku klinisnya sangat beragam sehingga merupakan tantangan
tersendiri, baik bagi dokter maupun mahasiswa. Sebagian neoplasma ini
bermanifestasi sebagai leukemia, timbul di sumsum tulang dan beredar
dalam darah perifer. Yang lain, yaitu golongan limfoma, biasanya
bermanifestasi sebagai massa tumor di dalam kelenjar getah bening atau
organ lain. Tumor yang terutama terdiri atas sel plasma, diskrasia sel
plasma, biasanya bermanifestasi sebagai massa di dalam tulang dan
menyebabkan gejala sistemik yang berkaitan dengan produksi polipeptida
imunoglobulin monoklonal komplit atau parsial. Selain kecenderungan di
atas, semua neoplasma limfoid berpotensi menyebar ke kelenjar getah
bening dan berbagai jaringan di seluruh tubuh, terutama hati, limpa, dan
sum-sum tulang. Pada beberapa kasus, limfoma atau tumor sel plasma
tumpah ke darah perifer, menimbulkan gambaran mirip leukemia.
Sebaliknya, leukemia sel limfoid, yang berasal dari sum-sum tulang, dapat
menginfiltrasi kelenjar getah bening dan jaringan lain, menciptakan
gambaran histologik limfoma. Oleh karena itu, pada beberapa kasus
perbedaan di antara katergori klinis neoplasma limfoid ini mungkin samar.

Oleh karena latar belakng diatas maka penulisan karya ilmiah


mengenai non hodgkin limfoma ini perlu dilakukan.
B. Tujuan Penulisan

Pemahaman yang menyeluruh mengenai limfoma non hodgkin


sangatlah penting guna mempermudah mengenali dan memberikan
pertolongan yang lebih awal dan tepat bagi penderita.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Limfoma maligna adalah suatu penyakit keganasan primer dari


jaringan limfoid dan jaringan pendukunnya. Penyakit ini dibagi dalam 2
golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin dan Limfoma non hodgkin.

Sel ganas pada limfoma hodgkin berasal dari sel retikulum dengan
gambaran histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Stemberg
atau variasinya yang disebut sel hodgkin. Limfosit limfosit yang merupakan
bgian integral poliferasi sel pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi
reaksi kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.

Sedangkan LNH pada dasarnya adalah sel limfosit yang berada pada
salah satu tingkat defernsiasinya dan berpoliferasi secara banyak

B. Epidemiologi

Limfoma maligna ditemukan diseluruh bagian dunia pada semua


suku bangsa dengan frekuensi yang berbeda-beda. Insiden limfoma maligna
diberbagai negara bervariasi antara 2-6 penderita per 100.000 penduduk.

Beberapa LNH mempunyai pola epidemiologi yang karakteristik.


Limfoma burkitt karakteristik terjadi pada anak-anak di Afrika Tengah
walaupun beberapa kasus dalam jumlah yang kecil dengan klinis yang
berbeda-beda pernah dilaporkan di Amerika Serikat.
Limfoma abdominal yang memproduksi fragmen Heavy chain of
immunoglobulin di daerah laut tengah, sedangkan di daerah lain hampir
tidak pernah ditemukan.

C. Etiologi

Penyebab yang pasti dari limfoma maligna masih belum diketahui


dengan jelas. Walaupun demikian bukti-bukti epidemiologi, serologi dan
histologi menyatakan bahwa faktor infeksi terutama infeksi virus diduga
memegang peranan penting sebagai etiologi

D. Gejala dan Klasifikasi

untuk menentukan prognosis dan respons terhadap pengobatan


penderita limfoma maligna selain menentukan stadium klinis juga harus
ditentukan klasifikasihistopatologinya.

IWF Raport Lukes & collins


*Low Grade Lymphoma
- small lymphocyte DLWD SL
- Folliculer, small cleaved cell NLPD SC-FCC
- Folliculer, mixed small NML SC-FCC; Lg C-Fcc
cleaved
- Folliculer, mixed small cleaved and
large cell
*Intermediate Grade
Lymphoma NH Lg C; Lg NC-FCC
-Folliculer, large cell DLPD SC-FCC-D
-Diffuse, small cleaved cell DM SC-D; Lg C-D
-Diffuse, mixed (small and DH LgC-Fcc-D; LgNC-
large cell) Fcc-D
-Difuse, large cell
*High Grade
-Immunoblastik (large cell) Lymphoblastic Lb1 sarcoma
-Lymphoblastic Burkit Convulated T cell
-Small non cleaved cell SNC-FCC
Keterangan
DLWD =Diffuse Lymphocyte Well Differentiated
NLPD = Noduler Lymphocytic poorly Differentiated
DLPD = Diffuse Lymphocytic poorly Differentiated
DML = Diffuse Mixed Lymphoma
DHL = Diffuse Hitiocytic Lymphoma
DUL = diffuse Undifferentiated lymphoma
NML = Noduler mixed lymphoma
NH = Noduler Histiocytic
NC = Non cleaved
FCC = Folliculer centre cell
Lbl = Lymphoblastic
C = Cleaved
S = Small
Lg = Large
D = Diffuse

Gejala klinis meliputi keluhan – keluhan penderita dan gejala


sistemik, pembesaran kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran
kelenjar getah bening merupakan keluhan utama sebagian besar penderita
limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan kelenjar getah bening yang paling
sering terkena adalah kelenjar servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%),
kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial
(6,2%). Penyebaran extra nodal yang paling sering dijumpai adalah ke
hepar, pleura, paru-paru dan sum-sum tulang. Penyebaran yang jarang tapi
pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar prostat, mammae, ginjal,
kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus digestivus.

Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi


mudah digerakkan dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit
yang sudah stadium lanjut sering dijumpai gejala sistemik.

Stdium Klinis Limfoma Maligna

Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya


penyebaran penyakit dipakai staging menurut simposium penyakit Hodgkin
di Ann Arbor yaitu Rye staging yang disempurnakan oleh kelompok dari
Stanford University yang ditetapkan pada simposium tersebut.
Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN Arbor

Stadium Kelenjar – organ yang terserang


I I Tumor terbats pada kelenjar getah bening di satu regio
IE Bila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodal
II II Tumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu sisi
diafragma
IIE Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah
bening di dua sisi diafragma
IIS Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragma
IIES Keduanya
III III Tumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi
diafragma
IIIE Satu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah bening
di dua sisi diafragma
IIIS Limpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi
diafragma
IIIES Keduanya
IV IV Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ
ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan


B

A. Bila tanpa keluhan

B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut:

- Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan


suhu diatas 38oC
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6
bulan

- Keringat malam dan gatal-gatal

E. Patogenesis

Padea sebuah penelitian Lukes mengeluarkan kelenjar getah bening


regional beberapa hari setelah vaksinasi cacar. Temyata folikel-folikel dalam
kelenjar getah bening regional akan membesar. Di samping itu jumlah sel
besar ("blast — like" cells) dalam centrum germinativum akan amat
meningkat hingga sebagian dari folikel-folikel ini penuh berisi sel-sel
limfoblast yang besar tadi.Juga dalam daerah paracortex akan ditemukan.
kenaikan jumlah sel-sel yang bentuknya menyerupai limfoblast tadi.
Berdasarkan data di atas Lukes membuat suatu teori mengenai urutan
transformasi limfosit bila ada rangsangan antigen .Bila ada rangsangan
antigen makal imfosit-limfosit B dalam kelenjar getah bening akan
bertransformasi menjadi sel yang intinya melekuk ( "cleaved cells"). Sel
"cleaved" yang kecil ini kemudian akan membesar dan memiliki sejumlah
sitoplasma yang berwarna biru. Lukes menamakannya "large cleaved cells "
dan menganggap kejadian ini sebagai stadium ke—2 dari proses
transformasi limfosit B. Pada stadium ke—3 lekukan pada inti sel tadi akan
meng hilang, inti sel berubah menjadi bulat dan tampak adanya anak inti.
Sel yang dinamakannya "small non cleaved cells' ini mempunyai sitoplasma
lebih besar dari sel pada stadium 2 "Small non—cleaved cells" ini akan
membesar lagi hingg; diameternya mencapai 4—5 kali semula. Sel yang
dinamakan "large non—cleaved cells " ini mempunyai inti yang jelas dan
sitoplasma yang besar serta berwarna biru tua. Stadium 1 sampai dengan 4
ini terjadi dalam centrun germinativum sel folikel. Sel-sel pada stadium 1
s/d 3 tak banyak mengalami mitosi sedangkan sel-sel "large non—cleaved "
aktif bermitosis. Sel "large non—cleaved" ini kemudian akan keluar dai
folikel dan masuk ke dalam daerah paracortex. Di sini sel tersebut akan
bertransformasi menjadi sel yang mempunyai sitoplasma besar, biru tua dan
beranak inti besar biasanya hanya sebuah. Sel yang tersebut terakhir ini
dinamakan imunoblast. Imunoblast kemudian akan berubah menjadi
"plasmablast" yang selanjutnya berubah menjadi sel plasma. Sel plasmalah
yang kemudian membuat imunoglobulin (antibodi). Apabila ada antigen
masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi
menjadi imunoblast. Secara morfologik amat sukar untuk membedakan
imunoblast T dan imunoblast B. Perbedaan antara proses transformasi pada
limfosit T dan B adalah bahwa, pada limfosit Tprosesinitidakmelampaui ke
—4 stadium diatas, serta imunoblast T tidak bertransformasi lebih lanjut
menjadi sel plasma. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen
menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma.
Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas humoral").
Penerapan pemeriksaan imunologik pada kelenjar-kelenjar getah bening
menunjukkan bahwa sel besar yang terdapat pada centrum germinativum
adalah limfosit B semata-mata. Di samping itu limfosit-limfosit B dari
centrum germinativum mempunyai kekhususan yakni memiliki reseptor
yang kuat terhadap komplemen, di samping memiliki imunoglobulin pada
permukaan sel (surface immunoglobulin). Sel plasma yang merupakan
produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada
permukaan selnya. Selsel ini juga tidak memiliki reseptor terhadap
komplemen, namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin intraseluler
(intracytoplasmic immunoglobulin). Di antara kedua stadium ini terdapat
stadium pro—sel plasma yang hanya memiliki imunoglobulin pada
permukaan sel tanpa memiliki reseptor pada komplemen. Di antarastadium
pro—sel plasma dan limfosit (B) dari centrum germinativum ada lagi suatu
stadium dengan sifat imunologik tertentu pula. Sebelum limfosit B menjadi
limfosit centrum germinativum, ia harus melalui beberapa stadium, antara
lain stadium pro—limfosit B (pre—B limphocyte)dsb. Semua stadium ini
telah diketahui sifat-sifat imunologiknya.

Para ahli hematologi di pusat-pusat penelitian ' yang besar, kemudian


melakukan pemeriksaan sitologik (cleaved cells, dsb) dan imunologik (ada
tidaknya imunoglobulin pada permukaan selnya, dsb) dari sel kanker
kelenjar getah bening. Salah seorang yang mempunyai pengalaman cukup
banyak adalah Habishaw dari Inggris yang telah melakukan pemeriksaan
yang cermat pada 157 penderita kanker kelenjar getah bening jenis non—
Hodgkin. Dari penelitiannya Habeshaw melihat bahwa sel-sel (imfoma
malignum ini ternyata pada umumnya dapat dibagi dalam 3 golongan besar :
Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat morfologik maupun imunologik
dari salah satu atau beberapa stadium sel centrum germinativum (small
cleaved,large cleaved,dsb) Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat
morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "post
follicular" (immunoblast, proplasma cells, plasma cells,memory B cells).
Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat morfologik maupun imunologik
dari salah satu atau beberapa stadium "pre—follicular" (pre—B limphocyte,
dsb). Pemeriksaan semacam di atas juga menunjukkan bahwa semua sel
kanker limfoma malignum yang berasal dari limfosit B selalu mempunyai
sifat monoklonal. Maksudnya, ada limfoma malignum yang terdiri dari
limfosit B pembentuk imunoglobulin M—kappa, ada yang terdiri dari
limfosit B pembentuk imunoglobulin M—lamda, G—kappa, G—lamda dan
seterusnya. ara peneliti lain kemudian dapat menunjukkan bahwa frekuensi
limfoma malignum pada penderita-penderita pe-nyakit imunologik jauh
lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menderita penyakit ini, bahkan ada
yang cenderung untuk mengatakan bahwa sebagian besar penderita-
penderita penyakit Syorgen akan berubah menjadi penderita limfoma
malignum. Kelainan kromosom (terutama kromosom 14) yang didapat pada
penyakit defisiensi imunologik ternyata juga ditemukan pada sel-sel
limfoma malignum. Data-data di atas menyebabkan sebagian besar peneliti
beranggapan bahwa penyakit limfoma malignum (non— Hodgkin)
sebenarnya hanyalah suatu reaksi imunologik yang abnormal semata-mata.
Jauh sebelum adanya hasil-hasil penelitian di atas sebenarnya Salmon dan
Saligman (1974) telah mengajukan hipotesa di atas. Hasil penelitian lebih
lanjut ternyata banyak menyokong hipotesa kedua ahli ini. Salmon dan
Saligman berpendapat bahwa penyakit limfoma malignum ini diaklbatkan
oleh suatu "oncogenic event" terhadap sekelompok limfosit B yang bereaksi
terhadap suatu antigen asing. Oncogenic event ini menyebabkan terjadinya
hambatan transformation pada salah satu stadium transformasi sel limfosit
B. Karena stimulasi antigen ini tetap ada, sedangkan limfositlimfosit B tadi
tak dapat membentuk antibodi yang diperlukan karena transformasinya
terhenti sebelum menjadi sel plasma: reaksi imunologik ini akan terus
menerus berlangsung. Akibatnya terjadilah penimbunan sel-sel limfosit B
pada salah satu (atau beberapa) stadium transformasinya. Karena proliferasi
sel ini disebabkan stimulasi suatu antigen "tertentu" maka limfosit B yang
bertransformasi hanya limfosit B yang "bersangkutan" pula. Oleh karena itu
pada penyakit limfoma malignum selalu didapat sel B yang monoklonal
(immunoglobulin M—kappa, M—lamda, G—kappa dst.)
F. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai


macam pemeriksaan, disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk
menentukan jenis histopatologinya maupun staging penderita

Stadium klinis

Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium


klinik adalah:

1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan


sistemik berupa demam, penurunan berat badan, keringat malam dan
gatal-gatal. Penderita tanpa keluhan masuk dalam subklasifikasi A,
sedangkan bila disertai keluhan sistemik masuk dalam subklasifikasi
B dari Ann Arbor.

2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar


getah bening diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ
ekstra limfatik yang sering terjadi pada limfoma non hodgkin

3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita


LH atau LNH.

4. Pemeriksaan radiologi meliputi foto dada PA/ lateral, tomografi


mediastinum, limfografi kedua tungkai bawah.

5. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes


faal hati termasuk alkali fosfatase dan elektroforese protein, tes faal
ginjal termasuk urin lengkap, BUN, serum kreatinin, asam urat dan
elektrolit namun semuanya pemeriksaan ini tidak spesifik

Stadium Patologi

Untuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara lain

1. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka


dengan jarum jamshidi

2. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB,


IIIA dan IIIB

3. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A


dan B) dan IIIA

4. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi.


Disamping pemeriksaan tersebut di atas guna penentuan stadium
klinis dan patologi masih terdapat banyak pemeriksaan yang hanya
dilakukan pada pusat kedokteran tertentu dalam rangka penelitian lanjutan
untuk penderita limfoma.

Pemeriksaan yang dimaksud adalah:

a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan


selenium 75

b. Whole body computed tomography

c. Ultrasonografi hati dan abdomen

d. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status


imunologi penderita

e. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc,


hepatoglobin, fibrinogen, hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali
phospatase, hitung limfosit absolut, antibodi pada virus epstein barr
serta HLA

Guna menilai apakah limpa atau hati terserang terdapat kriteria sebagai
berikut

Limpa :terdapat pembesaran limpa yang ditopang dengan pemeriksaan


radiologik atau terdapat filling defek pada pemeriksaan sidikan
dengan isotop. Penderita dengan limpa yang membesar 50% tidak
terdapat kelainan histologik sedangkan penderita tanpa
pembesaran limpa 50% terdapat kelainan histologik.

Hati : pembesaran hati disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan


dua tes faal hati yang lain abnormal atau pemeriksaan sidikan hati
dengan isotop abnormal disertai suatu kelainan faal hati.
G. Terapi

Sesudah diagnosis patologi dan stagingnya ditentukan maka


mulailah dipikirkan tentang pengobatannya.

Pengobatan penderita LNH menurut klasifikasi rapport

Patologi Definisi Stadium Pengobatan

Unfavourable Semua limfoma I, II Radiasi dari kelenjar yang


histologi difus kecuali terserang disertai
DLWD (DLPD, pemberian kemoterapi
DH, DM, DU, NH) ajuvant C-MOPP, BACOP,
CVP atau ABP
III, IV
kemoterapi CVP, C-
I MOPP, BACOP, CHOP,
Favourable
BCM, ABP
histologi Semua limfoma
noduler kecuali Radiasi pada daerah yang
II,III,IV
noduler histiocytic terserang atau sedikit
meluas

Kemoterapi menggunakan
chlorambucil atau
kombinasi CVP.
Radioterapi diperlukan
untuk tumor besar disatu
tempat

Keterangan:

C-MOPP : Cyclophosphamide, Vincristine, procarbazine, prednisolone


CVP : Cyclophosphamide, Vincristine, prednisolone
BACOP : Bleomycine, adriamycine, Cyclophospamide, vincristine,
prednisolone
CHOP : Adriamycine, Bleomycine, prednisolone

Pengobatan penderita dengan LNH menurut klasifikasi IWF


Gradasi Lokal Lanjut
Rendah Radiasi bagian yang Kemoterapi (Chlorambucil atau
Sedang terserang CVP)
Kemoterapi (CHOP) di Kemoterapi (minimal CHOP
Tinggi sertai radiasi bagian yang atau kombinasi kemoterapi
terserang generasi baru)
Kemoterapi intensif radiasi Kemoterapi intensif radiasi

H. Prognosis

Prognosis dari penderita limfoma sangat ditentukan dari:

a. Stadium dari penyakitnya dan tipe histologinya

b. Usia penderita. Pada usia diatas 60 tahun mempunyai prognosis


yang kurang baik

c. Besarnya tumor. Pada penderita dengan ukuran tumor yang besar


(ukuran diameter lebih dari 10cm) terutama kalau terletak di
mediastenum mempunyai prognosis yang kurang baik.

d. Pada penderita yang terserang extra nodal yang multipel terutama


apabila mengenai sum-sum tulang dan hati mempunyai prognosis
yang kurang baik.
e. Pada penderita yang progesif selama mendapat pengobatan atau
relaps dalam waktu kurang dari satu tahun setelah mendapat
kemoterapi yang intensif mempunyai prognosis yang kurang baik

Dugaan Sebab Kematian Penderita Limfoma

1. Infeksi bakteri dan jamur yang mungkin disebabkan oleh karena:

a. Defisiensi anti bodi dari sistem imunitas seluler

b. Neutropeni oleh karena efek samping pengobatan sitostatika


ataupun oleh karena infiltrasi limfoma ke sum-sum tulang

c. Kerusakan jaringan akibat infiltrasi limfoma

d. Infeksi ini biasanya berjalan berat dan berahkir dengan sepsis

2. Multiple organ failure seperti paru-paru, ginjal, gastrointestinal dan


meningen

BAB III

KESIMPULAN
Limfoma non hodgkin merupakan keganasan yang terjadi pada
jaringan limfatik. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar luas di seluruh
dunia dan berbagai suku bangsa. Pada penyakit ini etiologi masih idiopatik,
meskipun penelitian-penelitian yang berkaitan sudah memiliki beberapa
hipotesis yang mendukung.

Guna membantu diagnosis dan terapi Limfoma non hodgkin telah


dirumuskan beberapa klasifikasi diantaranya klasifikasi Ann arbor dan
International working formula.

Deteksi yang lebih awal dan terjadi pada usia yang lebih muda akan
memperbaiki prognosis. Untuk itu pemahaman dokter mengenai Penyakit
non hodgkin limfoma sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA
American Joint Cancer Comitee. 2012. Comparison Guide Cancer Staging
Manual. AJCC: Chicago. www.cancerstaging.com

Boediwarsono., Soebandiri., sugianto., Armi. A., Sedana. M.P., Ugroseno.,


2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UNAIR: Surabaya

Kumar. V., Cotran. R.S., Robbins. S.L., 2007. Buku ajar Patologi. EGC:
Jakarta

Harrison. 2005. Harrison’s Manual of Medicine 16th Edition. McGraw-Hill:


New York

Harryanto A.R. 1980. Limfoma Malignum Kanker atau Reaksi Imunologik


yang Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta
www.kalbe.co.id/files/cdk /files/cdk_018_darah.pdf

Anda mungkin juga menyukai