Anda di halaman 1dari 5

hok tek bio

denah
Kelenteng Hok Tek Bio Bogor, yang
juga bernama Vihara Dhanagun.
klenteng ini memiliki 4 bagian
diantaranya bagian halam
depan,ruang suci utama, bangunan
samping, bangunan tambahan.

tampak

Bangunan utama Kelenteng Hok Tek Bio Bogor, dengan


dua tungku pembakar kertas di kiri kanan depan
bangunan. Di wuwungan Kelenteng Hok Tek Bio Bogor
terdapat dua ekor
naga berjaga, dan
di bawah bola api
matahari di bagian
tengah wuwungan
terdapat dua ekor
burung Hong dalam posisi saling berhadapan.

bagian kanan bangunan

Sayap sebelah kanan bangunan Kelenteng Hok


Tek Bio Bogor, dengan mural indah yang
menggambarkan Legenda Delapan Dewa yang
merupakan dewa-dewa hebat dalam ajaran
Tao, dan diduga berawal pada Dinasti Tang. Mereka adalah Cao Guojiu, Han Zhongli, Han Xiangzi, He
Xianggu, Lu Dongbin, Lan Caihe, Tie Guali, dan Zhang Guolao,
Senjata yang mereka bawa adalah botol labu, keranjang bunga, kipas, lonceng kayu, pedang,
seruling, tongkat, dan Tao yang disebut “Delapan Harta” dan merupakan simbol Delapan Dewa.
Kisah menarik tentang Delapan Dewa ini bisa anda baca di situs Kebajikan.

corak

Pada permukaan dinding di sayap kiri bangunan Kelenteng Hok Tek Bio Bogor ini terdapat mural
harimau belang, serta Biksu Tong Sam Chong yang digambarkan sedang duduk di atas punggung
seekor kuda putih, dikawal oleh Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, dalam perjalanannya ke
Barat menuju India.

Kisah yang terkenal selama berabad-abad itu berasal dari novel Cina klasik berjudul “Shi You Ji”
(Perjalanan ke Barat) karya Wu Cheng-en, seorang sastrawan dan penyair yang hidup di masa Dinasti
Ming. Tokoh fiksi Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, diciptakan Wu Cheng-en konon untuk
menyindir keadaan masyarakat waktu itu.

Sun Go Kong melambangkan kesombongan, Tie Pat Kay melambangkan kemalasan dan
ketidakmampuan menahan hawa nafsu, serta Sam Cheng yang melambangkan kebodohan. Juga
kritiknya pada persaingan dan perseteruan para pengikut Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme
pada masa Dinasti Yuan (Mongol) dan Ming, yang membuat mereka lama terjajah karena ketiadaan
persatuan.

Seorang Ibu dan putera lelakinya tengah


sembahyang pada Dewa Langit di depan pintu
Kelenteng Hok Tek Bio Bogor sambil membakar
beberapa batang hio. Asap hio yang mengepul pekat
tampak membubung di dalam bangunan kelenteng,
berasal dari sekumpulan batang hio yang dibakar
oleh seorang pria. Seekor singa penjaga kelenteng
(Bao-gu-shi) tampak di latar depan.
lokasi

Kelenteng Hok Tek Bio letaknya di Jl. Suryakencana No.1, Bogor (lihat Peta). Tidak tepat di pinggir
jalan memang, karenanya tidak akan terlihat oleh para pejalan, kecuali jika mereka menengokkan
kepalanya ke sebelah kiri ketika lewat di Jl. Suryakencana. Pengunjung masuk melalui sebuah gang
lebar, khusus menuju ke kelenteng, yang bisa dilalui oleh dua kendaraan roda empat.

tata ruang

Altar utama Kelenteng Hok Tek Bio Bogor dengan


tuan rumah Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi,
pembawa rejeki bagi kaum pedagang dan
masyarakat pada umumnya. Pengunjung yang
bersembahyang di altar Dewa Bumi ini biasanya
membakar 5 buah batang hio yang dijejer seperti
kipas untuk memperlancar usaha mereka.

Penggunaan hio sewaktu bersembahyang di kelenteng adalah 1 hio untuk kauw siu tao (siu tao
artinya merevisi fisik dan mental), 3 hio untuk bersembahyang biasa, 5 hio untuk usaha (Hok Tek
Ceng Sin ), 6 hio untuk keperluan orang lain, 7 hio untuk memohon secara khusus dan membalikkan
pada orang lain (nujum), 8 hio bila kesusahan terus menerus menimpa, 9 hio untuk semua mahluk,
12 hio untuk semua mahluk berkah, 36 hio untuk kesuksesan dan keharmonisan, dan 108 hio bila
terdesak dan dalam keadaan darurat.

Altar pemujaan di bagian sebelah kanan ruang utama


Kelenteng Hok Tek Bio, yang diwarnai nyala puluhan
lilin, pelita minyak, harum hio yang dibakar. Rangkaian
bunga yang indah harum dipajang rapi di dalam vas-vas
kaca, dengan berbagai macam buah persembahan
diletakkan di atas meja sembahyang.

Deretan pelita dalam


gelas di Kelenteng Hok
Tek Bio dengan bahan bakar minyak lampu yang berwarna kuning
kemerahan, dengan kertas-kertas penanda pemiliknya. Jenis minyak ini dipilih karena tidak
mengeluarkan bau dan tidak berjelaga.

Altar Eyang Raden Suryakencana Winata Mangkubumi,


karuhun orang Sunda, di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor yang
menunjukkan bagaimana penghormatan kaum Cina kepada
leluhur masyarakat di tempat dimana mereka tinggal.

Raden Suryakencana adalah putera Aria Wiratanudatar,


pendiri kota Cianjur, dan ayah dari Prabu Siliwangi dan Prabu Sakti. Eyang Suryakencana dan Prabu
Siliwangi dipercaya bersamayam di Gunung Gede dan selalu menjaganya agar tidak sampai meletus.

Altar Houw Ciong Kun, Dewa Macan, di Kelenteng Hok Tek Bio Bogor. Houw Ciong Kun adalah seekor
macan sakti yang
merupakan
pengawal Hok Tek
Ceng Sin dan
sering dikaitkan
juga dengan
keberadaan Raden
Suryakencana dan
Prabu Siliwangi.

Tumpukan kertas
sembahyang di
Kelenteng yang
bisa menjadi
indikasi hidup suburnya persembahyangan di Kelenteng
Hok Tek Bio Bogor ini. Makmurnya sebuah tempat
peribadatan menunjukkan kemakmuran spiritual
umatnya.

Batang-batang hio dengan berbagai ukuran tertancap


pada hiolo setelah selesai menjalankan tugasnya. Asap
hio berwarna biru keunguan membubung, membawa
doa-doa para pembawanya ke langit, ke tempat dimana
para dewa bersemayam.

sumber : http://www.thearoengbinangproject.com/kelenteng-hok-tek-bio-bogor/

http://www.academia.edu/8406688/Konsep_ideologi_hirarki_keseimbangan_pada_elemen_arsitekt
ur_klenteng_tradisional

Anda mungkin juga menyukai