Anda di halaman 1dari 7

DEFISIENSI IMUN

Keadaan dimana menurunnya respon imun, sehingga tidak mampu melawan infeksi secara
adekuat.

Defek dari penurunan salah satu komponen sistem imun adalah penyakit yang berat yang disebut
penyakit defisiensi imun.

Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu atau
lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.

1. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu sistem
imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus.

2. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan.

Meskipun kemungkinan defisiensi imun harus dipikirkan pada seseorang yang sering mengalami
infeksi, tetapi sejatinya penyakit imunodefiensi angka kejadiannya tidak tinggi. Karena itu selalu
pertimbangkan kondisi lain yang membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi, seperti
penyakit sickle cell, diabetes, kelainan jantung bawaan, malnutrisi, splenektomi, enteropati,
terapi imunosupresif dan keganansan.

 DEFISIENSI IMUN PRIMER


A. DEFISIENSI IMUN SPESIFIK
 Transient hypogammaglobulinaemia of Infancy
Antibodi IgG maternal secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi
fetal mulai dari bulan ke-4 gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan
terakhir. Saat lahir, bayi mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu.
Katabolisme IgG maternal hanya dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk
bayi. Periode 3-6 bulan merupakan fase “hipogamaglobulinemia fisiologik”. Bayi
normal tidak terlalu rawan terhadap infeksi karena masih terdapat antibodi yang
berfungsi meskipun kadar IgG rendah.
Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu
sedikit, seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke
26-32 mungkin membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di
sisi lain perawatan invasif dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi pengganti
imunoglobulin dapat bermanfaat pada bayi berat lahir rendah di negara dengan
prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup tinggi, sampai bayi tersebut
mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.

Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam


memproduksi IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu,
bayi lebih rawan mendapat infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara
spontan dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat
dibedakan dari hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan
tatalaksana. Pada sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan
terapi spesifik, bahkan jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal.
Apabila terjadi infeksi berat, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini
mungkin dibutuhkan dalam jangka waktu 1-2 tahun sampai sintesis IgG endogen
mencukupi.

 X-linked agammaglobulinaemia (Bruton’s disease)


Anak laki-laki dengan X-linked agammaglobulinaemia (XLA) biasanya
menunjukkan infeksi piogenik rekuren antara usia 4 bulan sampai 2 tahun,
biasanya rawan terhadap infeksi enterovirus yang dapat mengancam nyawa.

Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T
normal atau bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang,
nodus limfe atau saluran cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung
pada enzim tirosin kinase (dikenal dengan Bruton’s tyrosin kinase, Btk), yang
mengalami defisiensi pada pasien XLA (Gambar 28-2). Gen untuk enzim ini
terletak pada lengan panjang kromosom X dan ekspresinya hanya terbatas pada
perkembangan sel B.
Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin
serum yang sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi
gen Btk. Identifikasi gen dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier
yang asimtomatik, dan dilakukan saat prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin
pengganti.
 Hyper-IgM antibody deficiency
Beberapa anak dengan defisiensi antibodi mempunyai kadar IgM serum
yang normal atau meningkat. Anak-anak tersebut juga mempunyai risiko
tambahan terhadap infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada
defek sel T. Hal ini menunjukkan defek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya
terbatas pada defek sel B. Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh
kegagalan molekul aksesori ligan CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40
pada sel B untuk merangsang perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B
yang terstimulasi antigen (Gambar 28-2). Tatalaksana berupa imunoglobulin
pengganti dan uji genetik untuk perempuan karier.

 Common variable immunodeficiency


Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit
heterogen yang terjadi dapat pada anak atau dewasa. Banyak pasien tidak
terdiagnosis sampai usia dewasa. Sebagian besar pasien CVID mempunyai kadar
IgG dan IgA serum yang sangat rendah dengan kadar IgM normal atau sedikit
menurun dan jumlah sel B yang normal. Meskipun jarang terjadi, namun CVID
merupakan defisiensi antibodi primer simtomatik yang paling umum terjadi.
Terapi berupa imunoglobulin pengganti.

 Selective antibody deficienciey


Defisiensi selektif salah satu atau lebih subklas IgG sering tidak terdeteksi
karena kontribusi IgG1 terhadap IgG total yang relatif besar (70%) sehingga dapat
mempertahankan kadar IgG “normal”.
Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2
mendominasi respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen
polisakarida, seperti pada organisme berkapsul, contohnya Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Oleh karena itu defisiensi IgG2
menyebabkan individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas berulang,
septikemia pneumokokus atau meningitis. Respons antibodi terhadap antigen
protein seperti virus atau toksoid, dikaitkan dengan subklas IgG1 dan IgG3. Pada
pasien dengan defisiensi salah satu subklas IgG, peningkatan kadar subklas IgG
lain akan mengkompensasi untuk menjaga kadar IgG normal.
Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan
mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang
perlahan dan mencapai kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh
karena itu, anak usia muda rawan terkena infeksi oleh organisme berkapsul
polisakarida. Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi bersamaan, menyebabkan
resposn imun yang kurang baik terhadap antigen protein dan dikaitkan dengan
infeksi rekuren. Defisiensi subklas IgG juga dikaitkan dengan defisiensi IgA dan
dikaitkan dengan masalah paru.

 Selective IgA deficiencies


Defek ini merupakan defek primer yang sering ditemukan pada imunitas
spesifik. Defek ditandai dengan kadar IgA serum yang sangat rendah atau tidak
terdeteksi dengan konsentrasi IgG dan IgM yang normal. Defisiensi IgA selektif
menyebabkan individu terpajan pada infeksi bakteri rekuren, penyakit autoimun
dan intoleransi makanan (susu). Sekitar 1/5 pasien dengan defisiensi IgA selektif
mempunyai antibodi terhadap IgA, sehingga dapat terjadi reaksi simpang setelah
tranfusi darah atau plasma.

 Komplikasi defisiensi antibody


Terdapat berbagai variasi komplikasi pada pasien dengan defisiensi
antibodi. Sepsis kronik pada saluran nafas atas dan bawah dapat menyebabkan
otitis media kronik, ketulian, sinusitis, bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor
pulmonal. Penyakit gastrointestinal ringan seperti sindrom anemia pernisiosa
lebih umun terjadi, namun berbeda dengan anemia pernisiosa klasik. Pada anemia
ini tidak terdapat autoantibodi terhadap sel parietal dan faktor intrinsik serta
terdapat atrofi gastritis pada seluruh lambung tanpa antral sparing. Diare, tanpa
atau dengan malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia,
pertumbuhan bakteri berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten oleh
Cryptosporidium, Campylobacter, rotavirus atau enterovirus.

Fenomena autoimun merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15%


muncul sebagai anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia autoimun.
Artropati terjadi pada 12% defisiensi antibodi. Beberapa pasien dapat terkena
artritis kronik pada sendi besar dan artritis monoartikular tanpa terdapat faktor
reumatoid. Pasien dengan X-linked agammaglobulinaemia dan CVID rawan
terhadap infeksi kronik echovirus, dan menyebabkan meningoensefalitis
persisten. Pasien dengan defisiensi imun yang melibatkan imunitas humoral
dan/atau seluler mempunyai risiko 10-200 kali lipat untuk terkena penyakit
keganasan.

 Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B


Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas
fungsi sel B. Hal ini menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi
terhadap sebagian antigen. Defisiensi berat ini biasanya muncul dalam bulan
pertama kehidupan. Bayi yang sama sekali gagal dalam fungsi limfosit T dan B
akan terkena defisiensi imun kombinasi berat (severe combined
immunodeficiency, SCID)

 Tanda defisiensi imun kombinasi yang berat


- Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan .
Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan
bakteri, Diare kronik umum terjadi (sering disebut
gastroenteritis), Infeksi respiratorius dan oral thrush
umum terjadi

- Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi

- Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi

B. DEFISIENSI IMUN NON-SPESIFIK


Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik untuk
kerjanya. Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap untuk
terikat dan difagosit oleh sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung komplemen juga
membutuhkan jalur komplemen berfungsi dengan baik, demikian pula pada kompleks
antibodi-komplemen.

 Defek fungsi neutrophil


Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah
mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada
neutrofil dapat bersifat kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi
neutrofil), namun manifestasi klinisnya sama.

Jumlah neutrofil yang bersirkulasi normalnya melebihi 1,5×109/l.


Neutropenia ringan biasanya asimtomatik, namun derajat sedang sampai berat
dihubungkan dengan peningkatan risiko dan keparahan infeksi (infeksi akan
mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di bawah (0,5×109/l). Neutropenia lebih
umum ditemukan dibandingkan disfungsi neutrofil, dan penyebab sekunder
neutropenia lebih umum dibandingkan penyebab primernya, namun bentuk
primer (kongenital) ini bersifat fatal. Neutropenia sering terjadi akibat efek
samping dari kemoterapi untuk penyakit keganasan.

 Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap
penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif.
Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi jalur
klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan rusaknya
kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.

Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan


dikaitkan dengan sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2
mempunyai lupus-like syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis,
demam atau vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan
antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen
komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi
kompleks imun.

Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,


contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan
risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi
yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis.

Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin
dengan infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus
rekuren, terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.

Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen


diturunkan yang paling sering dan penyebab angioedema herediter.

Anda mungkin juga menyukai