Hepatotoksisitas Imbas Obat Versi Baru
Hepatotoksisitas Imbas Obat Versi Baru
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Penyakit ini biasanya
menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ
lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks
Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi
tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah
kasus. (PDPI, 2006)
Epidemiologi Tuberkulosis
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan
tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat
8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.
Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk setelah China dan India di dunia untuk jumlah
penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya
meninggal. Perkiraan kejadian BTA sputum positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB
menempati rangking nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi
nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. (Amin dan Asril, 2006)
Etiologi Tuberkulosis
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk
spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya,
misalnya dengan Pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan
gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang
juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan
protozoa Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan
dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas
dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul
lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen,
menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga. (PDPI, 2006)
Patogenesis Tuberkulosis
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang
menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan
dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell
yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus
primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer.
Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan
Lang, 2007)
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru
sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)
Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
Diagnosa Tuberkulosis
Gambaran klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik
(paru).
1) Gejala sistemik (umum), berupa :
a) Demam
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza.
Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang
suhu badan dapat mencapai 40° 41° C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul,
dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan
(dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza
yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin
panjang.
b) Gejala yang tidak spesifik
TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak badan
(malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan
badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid.
2) Gejala respiratorik (paru)
a) Batuk
Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk baru
akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus,
bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena
Pemeriksaan jasmani
Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural jaringan
paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru tersebut.
Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai pegangan pada TB paru
yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit yang lanjut mungkin dapat
dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi, fibrosis, kolaps atau efusi.
Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan:
- INH
- Rifampicin
- Pirazinamid
- Streptomisin
- Etambutol
Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. (PDPI, 2006)
Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah hebat
hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat, badan
lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan keringat. Kadang-
kadang ada juga yang suaranya sampai habis.
a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti Tuberkolosis (OAT)
aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi
yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang penderita TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).
Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6
bulan.
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal
tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti
diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan. (WHO, 2003)
Metabolisme Obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian
besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat
di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air
dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif
terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada
fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani
langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum
endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk
dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-
benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi.
NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010)
Inducers
o Phenobarbital
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan
absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam
metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap
obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi
tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000
pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk
setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan
alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006)
Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak
dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006)
Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-
substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. (Bayupurnama, Putut, 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan
dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis
akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah
sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat
untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua
dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. (Mehta,
Nilesh, 2010)
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya
obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada
setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa
pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama
jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas
reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat
nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam
beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah
obat penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan
reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram
per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang
dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi
aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)
1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa.
Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak.
Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi
antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola
makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting
terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat
karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan
terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan
risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan
terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus
didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek
hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis
beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di
P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat
antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini
mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi
abnormal terhadap suatu obat.
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang
yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat
short-acting
9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong
terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun
sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya. Namun, masalah TB
dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini
diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug
Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu juta
kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di dunia. (Amin dan Asril, 2006)
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman baik untuk
dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang disebabkan oleh obat
TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini
pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan
dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen
pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3
obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut,
pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi
tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan
status asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau
HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi
gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan
hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang
bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll.
Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk,
2010).
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase
(ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali
dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh
lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika
tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi
masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati
ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan
konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan
menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas
kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali
nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi
pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari
mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi)
terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat
Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien
hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg
dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang
terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian
hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg
Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi.
Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka
dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah
pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien,
dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan
dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi
pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat
terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control
(CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen
2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11
meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan
terapi. (Kishore, dkk, 2010)
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati
yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang
dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug
induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi
sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa
laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal,
tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).
Sehingga paduan obat menjadi RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)
Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas
terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif
dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid,
Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling
tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi
yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid
dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional untuk
mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
• Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut harus
dihentikan
• Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
• Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua bulan
Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.
• Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai 8
bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.
(Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien hepatotoksisitas
• INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari
setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
• Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50
kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
• Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g
setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan sebaiknya
dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus
dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak dapat
dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase
kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan dalam
suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang perawat harus
hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal
empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam
jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit
dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam
urutan ini.:
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus
dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya
menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari
dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada
dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena kedua
obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA
adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa
paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui
dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing
menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak adanya obat-
obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir (dan
mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)
1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
4) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005
5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta.
EGC. 2007
6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and