Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN TB PARU DI RUANG PARKIT 2

RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto

Dosen Pembimbing : Ns.Fiora Ladesvita,M.Kep.,Sp.Kep.MB

Christin Natalia
2110721077

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021/2022
A. Pengertian
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lainnya. TB paru dapat menular melalui udara, saat seseorang dengan TB aktif
pada paru-paru batuk, bersin atau bicara.
TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil
(diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveous. Droplet tersebut keluar saat berbicara, batuk,
tertawa, bersin atau menyanyi.

B. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium
tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-
4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid).
Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkkohol) sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.
Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dapat tahan bertaun-tahun dalam
lemari es). Hal ini terjadi karena kuman bersifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
lagi dan menjadikan tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi oksigennya. Dalam hal ini
tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. (Amin, 2007)
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain
kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian
lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet
infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya dinamakan tuberkulosis
primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru
primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil
mikobakterium.
Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pada usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut
tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan
ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.

C. Klasifikasi
 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. Tuberkulosis paru : tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru : menyerang prgan tubuh lain selain paru-paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dll.

 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan sputum mikroskopis


1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA hasilnya positif dan biakan kuman TB
positif
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi :
 Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Tidak ada perbaikan stelah pemberian antibiotik non OAT
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

 Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit


1. TB paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat apabila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :
 TB ekstra-paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal
 TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kemih

 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
1. Kasus baru : merupakan pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (relaps) : adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkuosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
3. Kasus putus berobat (default/drop out/DO) : adalah pasien TB yang telah berobat dan
putus berobat 2 buan atau lebih dengan BTA positif
4. Kasus gagal (failure) : adalah pasien yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada buan kelima atau lebih selama pengobatan
5. Kasus pindahan (transfer in) : adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya
6. Kasus lain : adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hsil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
D. Patofisiologi
E. Manifestasi Klinik
1. Demam
2. Batuk
3. Keringat di malam hari
4. Sesak napas
5. Penurunan berat badan
6. Malaise
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Thorax Posteroanterior (PA)
Pengambilan foto dilakukan pada saat pasien dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir
inspirasi dalam. Bila terllihat suatu kelainan pada proyesi PA, perlu ditambah proyeksi lateral.

Dicurigai sebagai lesi TB paru tidak aktif:


a. Fibrotik, terutama pada segmen apikal atau posterior lobus atas dan atau segmen
superior lobus bawah
b. Kalsfikasi
c. Penebalan pleura atau schwarte
Dicurigai sebagai lesi TB paru aktif apabila:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen lobus bawah
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
modular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi deoxyribonucleic acid (DNA) bakteri M. tuberculosis. Apabila
hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang ke arah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai.
3. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)
Dasar teknik pemeriksaan ini adalah metode radiometric. M. tuberculosis akan
memetabolisme asam lemak kemudian menghasilkan CO 2 yang akan dideteksi indeks
pertumbuhannya oleh mesin ini. Dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan
secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk
lainnya adalah Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

4. Tuberculin Skin Test (TST) atau Tes Mantoux


Tuberculin skin test (TST) positif menunjukkan kecenderungan terjadinya infeksi primer TB.
Tes ini merupakan metode standar dalam menentukan apakah seseorang terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Konversi TST biasanya terjadi 3-6 minggu setelah paparan
terhadap kuman TB. Sekitar 20% pasien-pasien dengan TB aktif, khususnya pada penyakit
yang sudah berlanjut, memiliki hasil TST yang normal.
Pembacaan hasil TST dilakukan antara 48 dan 72 jam setelah dimasukkan 0,1 ml suntikan
tuberkulin PPD secara intradermal. Suntikan yang benar akan menimbulkan gelembung kulit
kecil pucat berdiameter 6-10 mm. Reaksi terhadap suntikan akan teraba mengeras, atau
membengkak, disebut sebagai indurasi yang diukur diameternya dalam milimeter ke arah
aksis longitudinal pada lengan bawah bagian ventral. Eritema tidak ikut diukur sebagai
indurasi.

Hasil reaksi TST diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Indurasi ≥5 mm, dianggap positif pada:
1) Orang terinfeksi HIV
2) Orang yang baru tertular kuman TB
3) Seseorang yang hasil foto rontgen dadanya menunjukkan adanya perubahan
fibrotik yang konsisten dengan TB terdahulu
4) Pasien dengan transplantasi organ
5) Orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh karena misalnya
mengonsumsi >15 mg/ hari prednison selama satu bulan atau lebih, atau
antagonis TNF alfa
b. Indurasi ≥10 mm, dianggap positif pada:
1) Orang yang pernah bepergian ke negara-negara dengan prevalensi tinggi TB
dalam waktu <5 tahun
2) Pengguna obat-obat terlarang dengan cara suntikan
3) Tempat-tempat yang padat penduduknya
4) Pekerja di laboratorium mikrobiologi
5) Orang-orang dengan kondisi klinis yang lemah, yang memudahkan mereka
memiliki risiko tinggi terkena TB
6) Anak-anak usia <4 tahun
7) Bayi, anak dan remaja yang terpapar oleh orang dewasa yang memiliki
risiko tinggi terkena TB
c. Indurasi ≥15 mm, dianggap positif pada:
1) Tiap orang, termasuk mereka yang tidak memiliki faktor risiko terkena TB
2) Namun, program TST ini semestinya dilakukan hanya pada orang-orang
dengan risiko tinggi saja
Beberapa orang dapat bereaksi terhadap TST meski mereka tidak terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis, hal ini disebut reaksi false-positif. Penyebab reaksi false positif di antaranya
adalah:
a. Infeksi dengan Mycobacterianon-tuberkulosis
b. Riwayat vaksinasi BCG sebelumnya
c. Cara penyuntikan TST yang tidak benar
d. Intepretasi yang tidak benar terhadap reaksi TST
e. Antigen yang digunakan tidak benar
5. Pemeriksan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat diambil dari
dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal,bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.
Umumnya, sampel yang digunakan adalah dahak karena lebih mudah untuk diambil. Dahak
dapat diambil dengan cara setiap pagi selama 3 hari berturut-turut, ataupun dengan
pengambilan dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah :
a. Apabila didapatkan 2 kali positif, dan 1 kali negatif → dianggap basil tahan asam
(BTA) positif
b. Apabila didapatkan 1 kali positif, dan 2 kali negatif → BTA diulangi 3 kali,
kemudian bila 1 kali positif, dan 2 kali negatif maka dianggap BTA positif. Namun
apabila 3 kali negatif maka dianggap BTA negatif
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat dibedakan menjadi TB paru BTA positif
dan BTA negatif.
Yang dimaksud TB paru BTA positif adalah :
a. Apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
b. Apabila hasil satu pemeriksaan spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
pemeriksaan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
c. Apabila hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan hasil
biakan positif
Yang dimaksud TB paru BTA negatif adalah :
a. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan hasil negatif , namun gambaran
klinis dan radiologik menunjukkan TB paru aktif, dan tatalaksana dengan antibiotik
sprektum luas tidak berespon
b. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali negatif, namun biakan positif
Pemeriksaan bakteriologik lainnya adalah pemeriksaan biakan kuman. Untuk Mycobacterium
tuberculosis media biakan yang digunakan adalah egg-base media seperti Lowenstein-Jensen,
ataupun agar media seperti Middle-Brook. Pemeriksaan ini merupakan baku emas dalam
diagnosis TB Paru.

6. Tes PAP (Peroksidase Antiperoksidase)


Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staning
untuk menentukan adanya igG spesifik terhadap basil TB.
7. Pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD)
Suatu pemeriksaan melalui darah arteri dengan tujuan mengetahui keseimbangan asam dan
basa dalam tubuh dan mengetahui kadar karbondioksida dalam tubuh.
Rentang Normal:
a. PO2: 80-100 mmHg
b. pH: 7,35 – 7,45
c. HCO3-: 21-28 mEq/L
d. PCO2: 35 – 45 mmHg
Ph darah: < 7,3, HCO3 rendah, PCO2 rendah > asidosis metabolik
Ph darah: < 7,3, HCO3 tinggi, PCO2 tinggi > asidosis respiratorik
Ph darah: > 7,3, HCO3 tinggi, PCO2 tinggi > alkalosis metabolik
Ph darah: > 7,3, HCO3 rendah, PCO2 rendah > alkalosis respiratorik

Prosedur Kerja:
a. Mengambil sampel darah yang diambil dari pembuluh darah arteri yang ada di
pergelangan tangan atau pangkal paha.
b. Sampel darah kemudian dianalisa di mesin portabel. Sampel dara harus dianalisis
dalam wakru 10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil yang akurat.

8. Pemeriksaan LED (Laju Endap Darah)


LED pada umumnya untuk mendeteksi adanya kerusakan jaringan , inflamasi dan
menunjukkan adanya suatu penyakit. Pemeriksaan LED dilakukan dengan mengukur
kecepatan mengendap sel darah dalam pipet khusus (pipet westergreen).
Pria: 0 – 15 mm/jam
Wanita: 0 – 15 mm/jam
LED dapat meningkat karena:
a. Jumlah eritrosit menurun dan ukuran eritrosit lebih besar dari ukuran normal,
sehingga lebihcepat membentuk rouleux lalu LED meningkat.
b. Peningkatan jumlah leukosit , biasanya terjadi pada proses infeksi akut maupun
kronis
c. Tabung pemeriksaan digoyang akan mempercepat pengendapan sehingga LED
meningkat.
Prosedur Kerja:
a. Diperlukan sampel darah 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2%)
b. Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung
westergreen sampai tanda / skala 0.
c. Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun
sinar matahari langsung.
d. Biarkan tepat 1 jam dan catat berapa mm penurunan eritrosit.
9. CT Scan
CT scan paru-paru merupakan salah satu metode pencitraan yang digunakan untuk
mendiagnosis dan memantau tatalaksana dari berbagai kelainan pada paru-paru. Tujuan utama
dari pencitraan ini adalah untuk mendeteksi struktur abnormal di dalam paru-paru atau
ketidakteraturan yang bisa jadi merupakan gejala yang dialami oleh pasien.

G. Penatalaksanaan Medis
Jenis dan dosis OAT (Obat Anti Tuberculosis) :
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :

1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.


2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin
Obat Indikasi & Kontraindikasi Interaksi & efek samping obat Perngatan
Isoniazid (H) Indikasi Interaksi obat Peringatan
Isoniazid digunakan untuk mengobati penyakit  Isoniazid (INH) dapat memiliki interaksi dengan obat-obatan lain.  Risiko terjadinya hepatitis berat bahkan terkadang fatal
tuberkulosis baik pada paru-paru atau ekstra paru Interaksi ini dapat meningkatkan efek samping yang terjadi yang pernah dilaporkan terjadi dalam tiga bulan pertama
(terjadi di organ lain selain paru) yang disebabkan oleh maupun menurunkan efektivitas obat.Obat-obatan yang efek terapi, meskipun ada juga yang terjadi berbulan-bulan
infeksi bakteri jenis Mycobacterium. sampingnya akan meningkat oleh INH, diantaranya adalah setelahnya.
Kontraindikasi paracetamol, antikoagulan seperti warfarin, carbamazepine,  Konsumsi isoniazid (INH) bersamaan dengan makanan
Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, hidantoin seperti fenitoin, rifampisin, teofilin, dan asam atau minuman yang tinggi kadar tiramin (tyramine) juga
penderita yang diketahui memiliki kondisi di bawah ini valproate. Sedangkan obat yang efektivitasnya menurun karena diketahui dapat menyebabkan hipertensi berat
tidak boleh menggunakannya: INH adalah ketokonazole dan imunisasi BCG.  INH juga memengaruhi kadar glukosa darah, dengan
 Memiliki riwayat hipersensitif/alergi terhadap Efek Samping memperburuk keadaan hiperglikemia. Oleh karena itu,
kandungan obat ini.  Efek samping penggunaan Isoniazid (INH) yang umum terjadi kadar glukosa darah sebaiknya diobservasi pada
 Menderita masalah ginjal akut. adalah sakit perut ringan. Dapat  pula terjadi reaksi alergi, penderita diabetes melitus yang mengonsumsi obat ini.
 Memiliki riwayat penyakit hati yang disebabkan hepatitis berat, defisiensi vitamin B6, dan efek samping berat
oleh konsumsi isoniazid lainnya seperti kejang.

Rifampisin (R) Indikasi Interaksi Obat Peringatan


Rifampicin atau rifampin adalah obat antibiotik yang  Meningkatkan risiko kerusakan hati jika digunakan bersama  Kerusakan hati (periksa tes fungsi hati dan pemeriksaan
digunakan untuk mengobati beberapa infeksi akibat dengan obat ritonavir dan isoniazid. darah pada gangguan hati, ketergantungan alkohol, dan
bakteri. Obat ini bekerja dengan cara menghentikan  Mengurangi efektivitas phenytoin dan theophylline. pada terapi dalam jangka waktu yang lama)
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri.  Menurunkan efektivitas ketoconazole dan enalapril.  kerusakan ginjal (jika digunakan dosis di atas 600 mg
Kontraindikasi  Menurunkan efektivitas rifampicin jika digunakan bersama sehari)
 Hipersensitivitas terhadap rifampisin atau dengan antasida.  kehamilan dan menyusui
komponen lain yang terdapat dalam sediaan Efek Samping  porfiria
 Penggunaan bersama amprenavir,  Sedangkan efek samping overdosis yang harus diwaspadai dan
saquinafir/rotonavir jaundice (penyakit kuning) diperiksakan ke dokter apabila terjadi adalah: gangguan fungsi
hati, ruam kulit, nyeri ulu hati, mual, muntah, nafsu makan turun,
diare.
Pirazinamid (P) Indikasi Interaksi Obat Peringatan
Pirazinamid digunakan untuk mengobati infeksi  Mengurangi efektivitas pil KB dan vaksin tifus.  Kehamilan, kerusakan hati (monitor fungsi hati)
tuberkulosis atau TBC yang disebabkan oleh bakteri M.  Meningkatkan kadar obat ciclosporin dalam darah.  Diabetes
tuberkulosis.  Memperkuat efek racun terhadap organ hati, jika digunakan  Gout (dihindari pada serangan akut), porfiria.
Kontraindikasi dengan rifampicin.  Penggunaan obat pada pasien dengan penyakit hati:
 Memiliki riwayat hipersensitif atau alergi terhadap Efek Samping pasien atau keluarganya harus diberitahu tanda-tanda
kandungan pyrazinamide atau obat jenis lainnya.  Hepatotoksisitas termasuk demam, anoreksia, hepatomegali, gangguan fungsi hati, dan menyarankan untuk tidak
 Sedang mengalami hiperurisemia (asam urat splenomegali, jaundice, gagal hati; mual, muntah,kemerahan, meneruskan pengobatan dan segera memeriksakan diri
tinggi) atau gout arthritis. disuria, atralgia, anemia sideroblastik, ruam dan kadang-kadang jika timbul gejala seperti: mual, muntah, malaise dan
 Sedang mengalami porfiria akut. fotosensitivitas.  jaundice. 
 Mengalami gangguan fungsi hati yang parah.
Streptomisin (S) Indikasi Interaksi Obat Peringatan
Streptomycin adalah obat golongan  Risiko munculnya efek nefrotoksik dan neurotoksik meningkat,  Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat
antibiotik aminoglikosida yang berfungsi untuk jika digunakan dengan neomycin, kanamycin, gentamicin, vertigo, tinnitus, hilang pendengaran, gangguan
mengatasi sejumlah infeksi bakteri, salah satunya paromomycin, polymyxin B, colistin, tobramycin, neuromuscular, atau kerusakan ginjal
tuberkulosis. Obat ini bekerja dengan membunuh atau atau ciclosporin.  Penyesuaian dosis pada pasien dengan kerusakan ginjal
mencegah pertumbuhan bakteri penyebab infeksi.  Risiko efek ototoksik (gangguan pendengaran) dan nefrotoksik  Aminoglikosida terkait secara signifikan dengan
Kontraindikasi meningkat, jika digunakan dengan manitol atau furosemide. nefrotoksik atau ototoksik
 Hipersensitivitas terhadap streptomycin atau  Meningkatkan efek samping obat pelemas otot.  Reaksi ototoksik proporsional dengan jumlah obat yang
komponen lain dalam sediaan; kehamilan.  Meningkatkan risiko gangguan fungsi ginjal, jika digunakan diberikan dan durasi pengobatan
dengan sefalosporin.  Tinitus atau merupakan tanda dari kerusakan vestibular
 Memperlama kadar streptomycin dalam darah jika digunakan dan akan terjadi kerusakan irreversibel bilateral
dengan obat anti inflamasi non steroid, seperti aspirin dan  Kerusakan ginjal
ibuprofen.
Efek Samping
 gangguan fungsi ginjal, gangguan saraf, gangguan pendengaran,
sakit kepala, hipotensi, mengantuk, ruam, mual dan muntah,
anemia, badan terasa lemas
Ethambutol (E) Indikasi Interaksi Obat Peringatan
Ethambutol digunakan sebagai pengobatan utama  Jika Ethambutol dikonsumsi bersama dengan obat lain, efek  Berhati-hatilah penggunaan obat ini pada penderita
tuberkulosis (TBC atau TB) baik yang paru maupun dari Ethambutol dapat berubah. Sehingga bisa meningkatkan gangguan fungsi hati dan ginjal baik ringan ataupun
ekstra paru. efek samping atau menyebabkan obat tidak bekerja dengan baik. parah.
Kontraindikasi  Ethambutol dapat berinteraksi dengan :  Obat ini dapat menyebabkan tidak efektifnya
Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini,  Alumunium Hydroxzide penggunaan vaksin bakteri hidup seperti pada vaksin
penderita yang diketahui memiliki kondisi di bawah ini  Bromazepam tifus. Untuk itu hindari menggunakan obat ini ketika
tidak boleh menggunakannya:  Oxide akan menerima vaksin bakteri hidup.
 Memiliki riwayat hipersensitif/alergi terhadap Efek Samping Ethambutol  Lakukan juga pemeriksaan berkala terhadap fungsi
kandungan obat ini.  Efek samping ethambutol yang umum: Panas dingin, nyeri peru, penglihatan, ginjal, hati dan hematopoietik
 Menderita neuritis optik. berkurangnya nafsu makan, kehilangan selera makan, mual dan (pembentukan sel darah merah) agar efek samping yang
 Mengalami gangguan penglihatan. Anak-anak muntah, pembengkakan dan nyeri sendi. mungkin terjadi dapat segera diketahui dan diberikan
dibawah 6 tahun. penanganan suportif.
 Hindari konsumsi alkohol karena dapat meningkatkan
risiko kerusakan hati jika digunakan bersamaan dengan
ethambutol

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta
memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang
digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat
Rifampisin/INH.
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik,
hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan
pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku

H. Komplikasi
1. Pleuritis 3. Laringitis 5. Atelektasis 7. Bronkiektasis
2. Efusi Pleura 4. Emfisema 6. Hemophsis 8. Pneomothorax

ASUHAN KEPEREWATAN TB PARU

I. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas bd. Mukus Berlebih (Hemapto) & Eksudat Dalam Alveoli
2. Gangguan Pertukaran Gas bd. Perubahan Membran Alveolar-Kapiler
3. Nyeri Akut bd. Agen Cidera Biologis
4. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh bd. Kurang Asupan Nutrisi, Faktor Biologis
5. Intoleransi Aktivitas bd. Ketidakseimbangan Antara Suplai Dan Kebutuhan Oksigen
6. Defisiensi Pengetahuan Tentang Kondisi, Pengobatan, Pencegahan bd. Kurang Informasi Dan Sumber Pengetahuan
J. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah ketidakefektifan jalan nafas dapat teratasi dengan 1. Manajemen jalan napas
Bersihan Jalan Nafas bd. kriteria hasil :  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Mukus Berlebih  Lakukan fisioterapi dada
(Hemapto) & Eksudat 1. Status pernapasan (kepatenan jalan nafas)  Buang sekret dengan memotivasi klien untuk batuk dan
Dalam Alveoli  Frekuansi pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5) menyedot lendir
 Irama pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Intruksikan batuk efektif
 Kemampuan mengeluarkan sekret (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala  Auskultasikan suara napas tambahan
5) 2. Monitor Pernapasan
2. Status Pernapasan  Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
 Frekuensi pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5) napas
 Irama pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor suara napas tambahan
 Kepatenan jalan napas (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor pola napas
 Dispnea saat istirahat (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor kemampuan batuk efektif
 Dispneadengan aktivitas ringan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor sekresi pernapasan klien
 Diaforesis (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor keluhan sesak napas
 Demam (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Berikan bantuan terapi bila diperlukan
2. Hambatan Pertukaran Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah Gangguan pertukaran gas dapat teratasi dengan 1. Terapi Oksigen
Gas bd. Perubahan kriteria hasil :  Pertahankan kepatenan jalan napas
Membran Alveolar-  Siapkan peralatan oksigen
Kapiler 1. Respon ventilasi mekanik : Dewasa  Berikan oksigen sesuai intruksi
 Tingkat pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor aliran aksigen
 Irama pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor efektifitas terapi oksigen
 Infeksi paru (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Amati tanda hipoventilasi
 Sekresi pernapasan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Pantau adanya keracunan oksigen
2. Status Pernapasan : Pertukaran gas 2. Monitor Pernapasan
 PaO2 di darah arteri (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
 PaCO2 di darah arteri (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5) napas
 PH arteri (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor suara napas tambahan
 Saturasi oksigen (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor pola napas
 Hasil rontgen dada (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor kemampuan batuk efektif
 Keseimbangan ventilasi perfusi (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor sekresi pernapasan klien
 Dispneu saat istirahat (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Monitor keluhan sesak napas
 Dispneu dengan aktivitas ringan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Berikan bantuan terapi bila diperlukan
3. Nyeri Akut bd. Agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah Nyeri Akut dapat tertasi dengan kriteria hasil: 1. Pemberian analgesik
Cidera Biologis  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
1. Kontrol Nyeri nyeri sebelum mengobati pasien
 Mengenali kapan nyeri terjadi (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dengan
 Menggunakan analgesik yang direkomendasikan (dipertahankan pada skala 4, frekuensi obat analgesik yang diresepkan.
ditingkatkan ke skala 5)  Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan
 Melaporkan nyeri yang terkontrol (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala adanya efek samping.
5) 2. Manajemen nyeri
2. Tingkat nyeri  Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
 Mengerang dan meringis (dipertahankan pada skala 4(ringan), ditingkatkan ke skala  Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi.
5(tidak ada)). 3. Monitor TTV
 Ekspresi nyeri wajah (dipertahankan pada skala 4(ringan), ditingkatkan ke skala  Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
5(tidak ada)). pernapasan dengan tepat.
 Mengernyit (dipertahankan pada skala 4(ringan), ditingkatkan ke skala 5(tidak ada)).  Monitor TD setelah pasien minum obat jika
3. Tanda –Tanda Vital memungkinkan.
 Suhu tubuh (dipertahankan pada skala 4(deviasi ringan dari kisaran normal),  Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia dan
ditingkatkan ke skala 5(tidak ada deviasi dari kisaran normal)). hipertermia.
 Tekanan darah sistolik (dipertahankan pada skala 4(deviasi ringan dari kisaran
normal), ditingkatkan ke skala 5(tidak ada deviasi dari kisaran normal)).
 Tekanan darah diastolik (dipertahankan pada skala 4(deviasi ringan dari kisaran
normal), ditingkatkan ke skala 5(tidak ada deviasi dari kisaran normal)).
 Tekanan nadi (dipertahankan pada skala 4(deviasi ringan dari kisaran normal),
ditingkatkan ke skala 5(tidak ada deviasi dari kisaran normal)).
4. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan 1. Manajemen gangguan makan
Nutrisi : Kurang Dari tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil :  Tentukan pencapaian BB yang diinginkan
Kebutuhan Tubuh bd.  Timbang BB secara rutin
Kurang Asupan Nutrisi, 1. Status nutrisi  Monitar intake cairan secara tepat
Faktor Biologis  Asupan gizi (dipertahankan pada skala 3, ditingkatkan ke skala 4)  Monitor asupan kalori makanan
 Asupan makanan (dipertahankan pada skala 3, ditingkatkan ke skala 4)  Monitor perilaku klien berhubungan dengan pola makan
 Energi (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Berikan dukungan peningkatan BB
 Rasio BB/TB (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5) 2. Manajemen nutrisi
 Tentukan status gizi dan kemampuan pemenuhan nutrisi
pasien
 Instruksikan tentang kebutuhan nutrisi
 Atur diet yang diperlukan
 Monitor kalori dan asupan makanan
 Monitor berat badan
3. Bantuan peningkatan berat badan
 Lakukan pemeriksaan diagnostik penyebab penurunan
BB
 Timbang BB di jam yang sama setiap hari
 Monitor asupan kalori
 Dukung peningkatan asupan kalori
 Diskusikan penyebab turunnya BB
5. Intoleransi Aktivitas bd. Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah Intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan kriteria 1. Manajemen Energi
Ketidakseimbangan hasil :  Kaji fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan
Antara Suplai Dan  Monitor sistem kardiorespirasi pasien selama kegiatan
Kebutuhan Oksigen 1. Toleransi Terhadap Aktivitas  Monitor lokasi dan sumber ketidaknyamanan
 Kemudahan bernapas ketika beraktivitas (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke  Kurangi ketidaknyamanan fisik
skala 5)  Anjurkan pasien untuk memilih aktivitas yang membuat
 Tekanan darah ketika beraktivitas (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala lelah
5)
 Kemudahan melakukan ADL (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
2. Daya Tahan
 Melakukan aktivitas rutin (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
 Aktivitas fisik (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
 Kelelahan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
3. Energi Psikomotor
 Menunjukan tingkat energi yang stabil (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke
skala 5)
 Menyelesaikan kemampuan untuk menyelesaikan tugas (dipertahankan pada skala 4,
ditingkatkan ke skala 5)
6. Defisiensi Pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan masalah kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, 1. Pengajaran : Proses Penyakit
Tentang Kondisi, pencegahan tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil :  Kaji pengetahuan pasien terkait proses penyakit
Pengobatan, Pencegahan  Jelaskan patofisiologi penyakit
bd. Kurang Informasi 1. Pengetahuan : Proses Penyakit  Jelaskan tanda dan gejala penyakit
Dan Sumber  Faktor resiko dan faktor yang berkontribusi (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan  Jelaskan proses penyakit
Pengetahuan ke skala 5)  Diskusikan pilihan terapi
 Tanda dan gejala penyakit (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Jelaskan komplikasi yang mungkin ada
 Proses perjalanan penyakit (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5) 2. Kontrol Infeksi
 Strategi untuk meminimalakan penyakit (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke  Ajarkan teknik cuci tangan
skala 5)  Dorong batuk dan bernafas dalam yang tepat
 Potensial komplikasi penyakit (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)  Berikan terapi antibiotik yang sesuai
 Efek psikososial penyakit pada individu dan keluarga (dipertahankan pada skala 4,  Anjurkan pasin minum antibiotik sesuai anjuran
ditingkatkan ke skala 5)
 Ajarkan tanda dan gejala infeksi
2. Pengetahuan : Manajemen Infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
 Cara penularan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
 Faktor yang berkontribusi thd penularan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke
skala 5)
 Pentingnya sanitasi tangan (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
 Pengobatan untuk infeksi (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)
 Risiko resistensi obat (dipertahankan pada skala 4, ditingkatkan ke skala 5)

Daftar Pustaka
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 (Vol. 3). Singapura: Elsevier.

Brunner, & Sudarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.


Bulechek, Gloria M. et al. (2016). Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.). Singapura: Elsevier.

Crouch, R., Charters, A., Dawood, M., & Bennett, P. (2017). Oxford Handbook of Emergency Nursing (Second Edi). Oxford University Press.

Moorhead, Sue. et al. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) (5th ed.). Singapura: Elsevier.
NANDA Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 – 2017 (10th ed.). EGC.

Anda mungkin juga menyukai