MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN HAK-HAK PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH RATU ZALECHA MARTAPURA
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 2
HAK-HAK PASIEN
Pasal 4
PERSETUJUAN UMUM (GENERAL CONSENT)
(1) Setiap Pasien berhak atas tubuhnya sendiri, dan untuk menghormati
hak pasien tersebut, Rumah Sakit wajib menyampaikan persetujuan
umum (general consent) kepada setiap Pasien dan/atau keluarga Pasien,
sebelum Pasien memperoleh pelayanan di rawat jalan dan rawat inap.
(2) Setiap Pasien wajib mengisi formulir Persetujuan Umum (General
Consent) yang berisi tentang:
a. Persetujuan untuk perawatan dan pengobatan;
b. Persetujuan pelepasan informasi;
c. Hak dan tanggung jawab pasien;
d. Informasi rawat inap;
e. Privasi; dan
f. Informasi Biaya.
(3) Penyampaian persetujuan umum (general consent) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban
Pasien Dalam Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, serta
formulir Persetujuan Umum (General Consent) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 5
PENYAMPAIAN INFORMASI TATA TERTIB SERTA HAK DAN KEWAJIBAN
PASIEN
Pasal 6
PENYAMPAIAN INFORMASI HAK DAN TANGGUNG JAWAB PASIEN DALAM
PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 7
PENGADUAN ATAS KUALITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT
Pasal 8
DOKTER PENANGGUNG JAWAB PERAWATAN
Pasal 9
PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG BERBEDA (SECOND OPINION)
(1) Setiap Pasien berhak untuk meminta konsultasi tentang penyakit yang
dideritanya kepada Dokter lain yang memiliki Surat Ijin Praktik baik di
dalam maupun di luar Rumah Sakit.
(2) Rumah Sakit memfasilitasi Pasien untuk memperoleh konsultasi dari
Dokter lain baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit.
(3) Pasien yang ingin memperoleh konsultasi dari Dokter lain, wajib mengisi
formulir Persetujuan Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second
Opinion) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Pelaksanaan second opinion di Rumah Sakit mengacu pada Panduan
Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) dan SPO
Memperoleh Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 10
PRIVASI PASIEN
(1) Setiap Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang
dideritanya.
(2) Rumah Sakit wajib menjaga identitas Pasien agar tidak dapat dibaca dan
dilihat oleh khalayak umum.
(3) Rumah Sakit wajib menjaga rahasia penyakit Pasien, dan tidak
dibenarkan untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak lain, kecuali
atas ijin Pasien dan/atau menurut peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien rawat inap kelas perawatan II dan
III dengan cara:
a. Rumah Sakit menempatkan Pasien dan penunggu Pasien dalam satu
ruangan berjenis kelamin yang sama.
b. Rumah Sakit memasang gorden/tirai pada setiap tempat tidur
Pasien.
(5) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien di ruang pemeriksaan dan tindakan
dengan cara menempatkan Pasien dalam ruang pemeriksaan, menutup
gorden, memasang selimut, mempersilakan keluarga Pasien untuk
menunggu di luar, dan menutup pintu pada saat melakukan
pemeriksaan dan tindakan.
(6) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien pada saat melakukan transportasi
Pasien dengan menutupi tubuh Pasien dengan selimut.
(7) Tidak dibenarkan siapa pun membicarakan privasi Pasien di Rumah
Sakit.
(8) Rumah Sakit menjaga kerahasiaan rekam medis.
(9) Pelaksanaan privasi pasien di Rumah Sakit mengacu pada Panduan
Privasi dan SPO Menjaga Privasi Pasien dan SPO Privasi dan
Kerahasiaan Rekam Medis yang tercantum dalam Lampiran Peraturan
ini.
Pasal 11
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)
Pasal 12
PELAYANAN KEROHANIAN
(1) Setiap Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaanya selama hal tersebut tidak mengganggu Pasien lainnya.
(2) Rumah Sakit mengidentifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien, dan
wajib memperhatikan dan menghargai nilai serta keyakinan Pasien dan
keluarga tersebut.
(3) Pelaksanaan identifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien mengacu
pada Panduan Identifikasi Nilai-nilai Dan Keyakinan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Rumah Sakit menyediakan fasilitas keagamaan berupa leaflet-leaflet
keagamaan.
(5) Rumah Sakit memberikan pelayanan kerohanian kepada Pasien, jika
diminta oleh Pasien.
(6) Untuk memperoleh pelayanan kerohanian di Rumah Sakit, Pasien wajib
mengisi formulir Permintaan Pelayanan Kerohanian sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(7) Pelayanan kerohanian pada Pasien dapat berupa motivasi, konsultasi,
ceramah, agama, do’a yang dipimpin oleh rohaniawan.
(8) Pelayanan kerohanian di Rumah Sakit mengacu pada Panduan
Pelayanan Kerohanian dan SPO Pelayanan Kerohanian sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(9) Pada Pasien terminal, Rumah Sakit menawarkan bimbingan rohani dan
Pasien didampingi keluarganya.
Pasal 13
PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK PASIEN
Pasal 14
PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP KEKERASAN FISIK
Pasal 15
PELAYANAN PASIEN TERMINAL
(1) Setiap Pasien mempunyai hak untuk didampingi keluarga saat kondisi
kritis.
(2) Rumah Sakit menghormati hak Pasien sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan Pasien terminal
sesuai agama dan kepercayaannya.
(3) Pelaksanaan pelayanan Pasien terminal mengacu pada Panduan
Pelayanan Pasien Terminal dan SPO Pelayanan Pasien Terminal
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 16
LAIN-LAIN
Pasal 17
PENUTUP
Ditetapkan di : Martapura
Pada tanggal :
Direktur,
BAB I
PANDUAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DALAM PELAYANAN
A. DEFINISI
1. Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan
kebutuhan pibadinya, sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas.
2. Kewajiban adalah tanggung jawab seseorang untuk melakukan
sesuatu yang memang harus dilakukan agar dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan haknya.
3. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
4. Persetujuan Umum atau General Consent adalah pernyataan
kesepakatan yang diberikan oleh pasien terhadap peraturan Rumah
Sakit yang bersifat umum.
5. Persetujuan Tindakan atau Informed Consent adalah pernyataan
setuju (consent) atau izin dari seseorang (pasien) yang diberikan
secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) terhadap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan
informasi (informed) yang cukup tentang tindakan kedokteran yang
dimaksud.
B. RUANG LINGKUP
1. Setiap pasien mempunyai hak:
a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
b. Pasien berhak memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban
pasien.
c. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
dan tanpa diskriminasi.
d. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu
sesuai dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan
sesuai dengan standar prosedur operasional (SPO).
e. Pasien berhak memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan.
g. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai
dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku
di rumah sakit.
h. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang
mempunyai SIP (Surat Izin Praktik) yang terdaftar di rumah sakit
tersebut maupun di luar Rumah Sakit (second opinion) terhadap
penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.
i. Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya.
j. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi :
1) Penyakit yang diderita atau diagnosis, tata cara tindakan
medis apa yang hendak dilakukan dan tujuan tindakan
medis.
2) Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya.
3) Alternatif terapi lainnya.
4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
5) Prognosis.
6) Perkiraan biaya pengobatan.
k. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang
akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya dan berhak menolak tindakan yang hendak
dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta
perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yang jelas tentang penyakitnya.
l. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan
yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
n. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di rumah sakit.
o. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas
perlakuan perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
p. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan rohani yang
tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
q. Menggugat atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
baik secara perdata maupun pidana.
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektonik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap pasien mempunyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang
masalah kesehatannya.
b. Mengetahui kewajibannya dan tanggungjawab pasien dan
keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Rumah Sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
C. TATA LAKSANA
1. Penjelasan Tentang hak dan kewajiban pasien
a. Hak dan kewajiban pasien secara lengkap tercantum dalam
persetujuan umum (general consent).
b. Pasien/keluarga wajib membaca uraian hak dan kewajiban yang
tercantum dalam persetujuan umum (general consent).
c. Petugas admisi mempunyai tanggungjawab dalam memberikan
penjelasan kepada pasien/keluarga tentang hak dan kewajiban
pasien dalam bahasa yang mudah difahami.
d. Informasi yang diberikan petugas admisi meliputi :
(1) Hak dan kewajiban sebagai pasien.
(2) Persetujuan pelayanan kesehatan.
(3) Akses infomasi kesehatan.
(4) Rahasia medis.
(5) Privasi.
(6) Barang pribadi.
(7) Pengajuan keluhan.
(8) Kewajiban pembayaran.
(9) Tata tertib pasien
(10) Pelayanan kerohanian
e. Jika diperlukan mintalah kepada pasien/keluarga untuk
mengulang beberapa penjelasan terpenting yang telah diberikan
sebagai bukti verifikasi bahwa pasien/keluarga telah
memahaminya.
f. Berikan kesempatan pasien/keluarga untuk bertanya.
g. Pastikan pasien/keluarga menandatangani fomulir persetujuan
umum (general consent).
h. Fomulir persetujuan umum (general consent) disimpan dalam
rekam medis pasien yang bersangkutan.
i. Salinan tentang hak dan kewajiban pasien diberikan kepada
pasien/keluarga dalam bentuk leaflet.
D. DOKUMENTASI
1. Seluruh pasien yang dirawat inap maupun yang dirawat jalan
untuk pertama kali, wajib mendapat penjelasan dan
menandatangani persetujuan umum (general consent).
2. Penjelasan tentang persetujuan umum (general consent) dilakukan
dibagian Admisi meliputi penjelasan tentang hak dan kewaiban
pasien, persetujuan pelayanan kesehatan, rahasia medis, privasi,
barang pribadi, pengajuan keluhan, kewajiban pembayaran, tata
tertib pasien, dan pelayanan kerohanian.
3. Formulir persetujuan umum (general consent) ditandatangani
pasien/keluarga dan disimpan dalam rekam medis pasien yang
bersangkutan.
4. Leaflet, X-Banner dan papan uraian tentang hak dan kewajiban
pasien.
BAB II
PANDUAN PENYELESAIAN KELUHAN/KOMPLAIN
A. Definisi Komplain
1. Keluhan/komplain pelanggan adalah suatu bentuk pernyataan
ketidakpuasan/kekecewaan pelanggan mengenai kebutuhan dan
harapan yang tidak terpenuhi. Pernyataan dapat disampaikan
dengan melalui berbagai saluran.
2. Komplain atau keluhan adalah saran dan masukan berupa kritikan
dan atau keberatan yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis
dari pihak eksternal maupun internal rumah sakit mengenai kinerja
yang dihasilkan oleh rumah sakit/perusahaan.
3. Marah adalah perasaan seseorang akibat pengalaman yang tidak
memuaskan atau mengganggu. Luapan tersebut akibat tekanan yang
terlampau besar. Kemarahan dalam bentuk komplain atau keluhan
bisa disampaikan langsung pada pihak terkait, tapi bisa juga
disampaikan pada pihak-pihak luar.
G. Tata Laksana
Direktur
Bagian Perencanaan
Program
H. DOKUMENTASI
B. Definisi
1. Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang
dokter atau ahli medis terhadap suatu diagnose, terapi dan
rekomendasi medis lain terhadap penyakit seseorang.
2. Undang-Undang no.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian4
pasal 32 poin H tentang hak pasien menyebutkan:“setiap pasien
memiliki hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya
kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di
dalam maupun diluar rumah sakit”.
C. Ruang Lingkup
Permasalahan kesehatan yang memerlukan second opinion yaitu:
1. Keputusan dokter mengenai tindakan operasi, diantaranya operasi
usus buntu, operasi amandel (tonsilektomi), operasi caesar, operasi
hordeolum (bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan
dan berair terus) dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari
2 minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian
antibiotika jangka panjang, pemberian anti alergi jangka panjang dan
pemberian obat-obat jangka panjang lainnya.
3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat
mahal: baik obat minum, antibiotik atau pemberian susu.
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan
pada kasus yang tidak seharusnya diberikan: seperti infeksi saluran
nafas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. Biasanya dokter
memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi antibiotik.
5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium
dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit
yang dideritanya.
6. Keputusan dokter mengenai suatu penyakit yang berulang diderita
misalnya: penyakit tipes berulang, pada kasus ini sering terjadi
overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil
laboratorium yang menyesatkan.
7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan: biasanya dokter
tersebut menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala
demam berdarah, gejala usus buntu dan lain-lain.
8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak
direkomendasikan oleh institusi kesehatan nasional atau
internasional.
D. Tata Laksana
1. Prosedur Meminta Second Opinion
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit.
b. Pastikan pasien sudah mendapat pendidikan pasien yang benar
mengenai proses penyakit yang dideritanya dari DPJP.
c. Hindari hal yang menyebabkan pasien/keluarga tidak tenang.
d. Berikan penguatan terhadap informasi yang diberikan oleh tim
kesehatan lain dengan tepat.
e. Jika pasien/keluarga masih bingung, dukung pasien untuk
mencari/mendapakan second opinion sesuai
kebutuhan/indikasi.
f. Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang hal yang perlu
dipertimbangkan dalam meminta pendapat lain.
g. Siapkan formulir permintaan pendaapat lain/second opinion
dan rekam medis pasien.
h. Persilahkan pasien/keluarga mengisi formulir dengan lengkap
dan menandatanganinya.
i. Fasilitasi pasien untuk mendapatkan penjelasan second opinion
dari dokter dengan kompetensi yang sama.
E. Dokumentasi
Bukti permintaan pendapat lain dari pasien/keluarga berupa
formulir persetujuan permintaan pendapat lain (second opinion) yang
telah terisi lengkap dan ditandatangani. Formulir tersebut kemudian
disimpan dalam rekam medis pasien yang bersangkutan.
BAB IV
Panduan Privasi
A. Latar Belakang
Privasi pasien penting, khususnya pada waktu wawancara klinis,
pemeriksaan, prosedur/tindakan, pengobatan, dan transformasi.
Pasien mungkin menghendaki privasi dari staff lain, dari pasien yang
lain, bahkan dari keluarganya. Mungkin mereka juga tidak bersedia
difoto, direkam atau berpartisipasi dalam wawancara survey akreditasi.
Meskipun ada beberapa cara pendekatan yang umum dalam
menyediakan privasi bagi semua pasien, setiap individu pasien dapat
mempunyai harapan privasi tambahan atau yang berbeda dan
kebutuhan berkenaan dengan situasi, harapan dan kebutuhan ini
dapat berubah dari waktu ke waktu. Jadi, ketika staff memberikan
pelayanan kepada pasien, mereka perlu menanyakan kebutuhan dan
harapan pasien terhadap privasi dalam kaitan dengan asuhan atau
pelayanan. Komunikasi antara staf dan pasien membangun
kepercayaan dan komunikasi terbuka dan tidak perlu didokumentasi.
Rahasia kedokteran diatur dalam beberapa peraturan/ketetapan
yaitu:
Peraturan Pemerintahan nomor 10 tahun 1966 dan peraturan
pemerintahan nomor 33 tahun 1963 untuk dokter gigi yang
menetapkan bahwa tenaga kesehatan termasuk mahasiswa
kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan diwajibkan menyimpan rahasia
kedokteran.
Pasal 22 ayat (1) b.
Peraturan Pemerintahan nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga
kesehatan diataur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu
dalam melaksankan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga
kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien.
Kode etik kedokteran dalam pasal 12 memetapkan : “ setiap dokter
wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”.
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aperatur penegak hokum
dalam rangka penegak hokum, permintaan pasien sendiri atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 51 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya
kewajiban merahasiakan segala sesuatau yang diketahuinya
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut
dalam pasal 10 ayat (2).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang rekam medis sebagai berikut: informasi tentang identitas,
diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hokum dalam rangka
penegakkan hukum atas perintah pengadilan
c. Permintaan, dan/ atau persetujuan pasien sendiri
d. Permintaan institusi/ lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, an audit medis,
sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien
Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia
kedokteran yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam
medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika
menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin
pasien (consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas
rekam medis.
Hak privasi ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang.Inti
dari hak ini adalah suatu hak dan kewenangan untuk tidak diganggu.
Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya oleh
orang lain tanpa persetujuannya. Hak atas privasi disini berkaitan
dengan hubungan terapeutik antara dokter- pasien (fiduciary
relationship). Hubungan ini di dasarkan atas kepercayaan bahwa
dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan
pelayanan pengobatan pula. Kepercayaan bahwa penyakit yang diderita
tidak akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa
persetujuannya.
Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 diatur bahwa penjelasan tentang isi rekam
medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pada saat pemeriksaan seperti wawancara klinis, prosedur
tindakan, pengobatan, dokter atau perawat atau bidan atau petugas
medis lainnya wajib melindungi privasi pasien seperti data pasien,
diagnose pasien, dan lainnya dapat juga menutup korden pintu pada
saat dilakukan pemeriksaan atau pengobatan semua bergantung dari
kebutuhan pasien.
B. Definisi
1. Kerahasiaan pribadi (Privasi) adalah kemampuan satu atau
sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan
urusan personalnya dari public, atau untuk mengotrol arus
informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan
dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai
oleh orang yang dikenal public. Privasi dapat dianggap sebagai
suatu aspek dar keamanan.
2. Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang
dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.
Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan
atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi
dengan orang lain, atau justru ingin menghindari atau berusaha
supaya sulit dicapai orang lain.
3. Adapun defenisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan
untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh
pilihan-pilihan atau kemampuan untuk mencapai interaksi seperti
yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan
diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain.
4. Identifikasi privasi pasien adalah suatu proses untuk mengetahui
kebutuhan privasi pasien selama dalam rumah sakit
5. Privasi pasien adalah merupakan hak pasien yang perlu dilindungi
dan dijaga selama dalam rumah sakit. Guna mengetahui
kebutuhan pasien akan privasinya selama dalam rumah sakit
sebagai bentuk kepedulian Rumah Sakit yang diterapkan untuk
melindungi hak-hak asasi pasien (hak privasi).
6. Faktor privasi
7. Ada perbedaan jenis kelamin dalam privasi, dalam suatu penelitian
pria lebih memilih ruangan yang terdapat tiga orang sedangkan
wanita tidak mempermasalahkan isi dalam ruangan itu. Menurut
Maeshall perbedaan dalam latar belakang pribadi akan
berhubungan dengan kebutuhan privasi.
8. Faktor situasional
9. Kepuasan akan berhubungan privasi sangat berhubungan dengan
seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya
untuk mandiri
10. Faktor budaya
11. Pada penelitian tiap-tiap budaya tidak ditemukan perbedaan dalam
banyaknya privasi yang diinginkan tetapi berbeda dalam cara
bagaimana mereka mendapatkan privasi. Misalnya rumah orang
jawa tidak terdapat pagar dan menghadap ke jalan, tinggal dirumah
kecil dengan dinding dari bambu terdiri dari keluarga tunggal
anak,ayah,dan ibu
C. Ruang Lingkup
Pasien rawat inap maupun rawat jalan berhak mendapatkan privasi
dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
Lingkup hak pasien dalam hal privasi melliputi :
a. Privasi identitas pasien.
b. Privasi di ruang perawatan.
c. Privasi di ruang pemeriksaan.
d. Privasi saat dilakukan tindakan.
e. Privasi saat dimandikan.
f. Privasi saatmembantu BAB/BAK.
g. Privasi saat transportasi.
h. Privasi saat di kamar operasi.
i. Privasi rekam medis.
j. Privasi saat akan mengakhiri kehidupan.
D. Tata Laksana
1. Menjaga Privasi Identitas Pasien
a. Menjaga identitas pasien/informasi tentang kesehatan pasien
agar tidak dapat dilihat/dibaca oleh khalayak umum.
b. Identitas pasien tidakdicantumkan di Nurse Station, di depan
kamar pasien, dan di dalam kamar pasien.
c. Menggunakan simbol-simbol/istilah yang hanya diketahui oleh
petugas RSUD Ratu Zalecha Martapura.
2. Privasi di ruang perawatan
a. Untuk kamar perawatan yang memuat lebih dari satu orang
agar menempatkan pasien dalam satu kamar, tidak bercampur
antara pasien laki-laki dan perempuan, dan setiap tempat tidur
pasien agar dipasang gorden/sampiran.
b. Memastikan satu orang perawat (PP) dan satu orang dokter
(DPJP) yang bertanggung jawab terhadap pasien.
c. Peliputan yang dilakukan oleh media massa baik berupa
wawancara maupun pengambilan gambar harus mendapat izin
dari bagian Humas, dokter yang merawat pasien, dan pasien
sendiri atau keluarga pasien.
d. Melakukan wawancara survey harus seizin pasien.
3. Menjaga Privasi di Ruang Pemeriksaan
a. Menempatkan pasien dalam ruang pemeriksaan.
b. Menutup gorden pada saat pemeriksaan.
c. Memasang selimut pada saat melakukan pemeriksaan.
d. Memberitahukan pasien/keluarga pasien akan dilakukan
pemeriksaan dan memberikan izin keluarga pasien untuk
melihat jalannya pemeriksaan seizin dari pasien.
e. Menutup pintu kamar pada saat dilakukan pemeriksaan.
4. Menjaga Privasi Pasien Saat Melakukan Tindakan
a. Membuka bagian yang akan dilakukan intervensi.
b. Kalau perlu, memberikan pakaian khusus pada pasien.
c. Menutup pintu dan keluarga menunggu di luar
ruangan/memberikan izin untuk menunggu kepada yan
mempunyai keterkaitan kepentingan dengan kondisi pasien.
5. Menjaga Privasi Pasien Saat Memandikan
a. Memberitahu kepada pasien dan keluarga, bahwa pasien
akan dimandikan.
b. Menutup gorden dan menyarankan agar keluarga pasien
menunggu di luar.
c. Membuka bagian-bagian tubuh yang hanya akan dibersihkan
saja secara bertahap.
d. Menggunakan selimut mandi.
6. Menjaga Privasi Pasien SaatMembantu BAB/BAK
a. Memberitahu kepada keluarga pasien agar menunggu di luar.
b. Menutup gorden.
c. Membuka pakaian bawah pasien.
d. Menutupi pasien dengan selimut mandi.
7. Privasi Pasien Saat Melakukan Transportasi
a. Menutupi tubuh pasien dengan selimut.
b. Memastikan bahwa semua bagian tubuh pasien tertutup,
kecuali muka pasien.
c. Menaikkan pengaman brancard/tempat tidur.
8. Menjaga Privasi Pasien Saat di Kamar Operasi
a. Membuka bagian/area yang akan dioperasi.
b. Tidak membicarakan privasi pasien walaupun pasien sudah
tertutup kecuali muka pasien.
c. Jangan tertawa/menertawakan keadaan pasien walaupun
pasien dalam kondisi terbius.
d. Menutup kembali semua tubuh pasien pada saat selesai
operasi.
9. Menjaga Privasi Rekam Medis Pasien
a. Memastikan penempatan rekam medis pasien di tempat yang
aman.
b. Rekam medis hanya boleh dibawa oleh petugas RSUD Ratu
Zalecha Martapura.
c. Tidak dibenarkan rekam medis dibaca oleh semua orang
kecuali dokter/perawat yang merawat pasien tersebut atau
tenaga kesehatan yang berkepentingan dengan kesembuhan
pasien.
d. Semua rekam medis setelah pasien pulang disimpan oleh
petugas rekam medis.
e. Rekam medis akan dimusnahkan setelah berumur lebih dari
lima tahun.
10. Menjaga Privasi Pasien Saat Berakhirnya Kehidupan
a. Keluarga pasien diinformasikan kondisi pasien.
b. Bila pasien dirawat di bangsal, makapasien dipindahkan ke
tempat khusus atau dengan menutup gorden sehingga terpisah
dari pandangan pasien lainnya.
c. Mengurangi kegiatan di kamar tersebut atau menimilkan
kebisingan.
d. Memfasilitasi bila keluargamembutuhkan pendamping
rohaniawan.
E. Dokumentasi
1. Sesuai kebijakan RSUD Ratu Zalecha Martapura tentang hak dan
kewajiban pasien, maka seluruh pasien yang dirawat di Rumah
Sakit ini (rawat inap, maupun rawat jalan) mendapatkan
privasi/jaminan kerahasiaan pribadi pasien yang telah tercantum
dalam Formulir Persetujuan Umum (General Consent) dan seluruh
staff Rumah Sakit wajib menghormati dan melaksanakan hak
privasi pasien tersebut.
2. Pasien yang menghendaki adanya privasi khusus atau privasi
tertentu, dilakukan identifikasi di bagian Admisi Rumah Sakit dan
dicatat/didokumentasikan dalam Formulir Persetujuan Umum
(General Consent).
BAB V
PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)
A. Latar Belakang
Tujuan Panduan ini bertujuan agar dijadikan acuan bagi seluruh dokter,
dokter gigi dan seluruh tenaga kesehatan Rumah Sakit RATU ZALECHA
MARTAPURA dalam melaksanakan ketentuan tentang persetujuan
tindakan kedokteran.
B. Definisi
1. Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang selanjutnya
disebut Tindakan Kedokteran, adalah suatu tindakan medis berupa
preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
3. Tindakan Invasif, adalah tindakan yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
4. Tindakan Kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu,
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
5. Pasien, adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
6. Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
7. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau
pengampunya.
Ayah :
a. Ayah Kandung
b. Termasuk “Ayah” adalah ayah angkat yang ditetapkan
berdasarkan penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat.
Ibu :
a. Ibu Kandung
b. Termasuk “Ibu” adalah Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan
penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat
Suami :
Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
perempuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Istri :
a. Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan
seorang laki-laki berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari 1 (satu) istri
persetujuan / penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari
mereka.
8. Wali, adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain
yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan
perbuatan hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan
kedudukan orang tua.
9. Induk semang, adalah orang yang berkewajiban untuk mangawasi
serta ikut bertangung jawab terhadap pribadi orang lain, seperti
pemimpin asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga
dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
10. Gangguan Mental, adalah sekelompok gejala psikologis atau
perilaku yang secara klinis menimbulkan penderitaan dan
gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang, mencakup Gangguan
Mental Berat, Retardasi Mental Sedang, Retardasi Mental Berat,
Dementia Senilis.
11. Pasien Gawat Darurat, adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya
atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat
pertolongan secepatnya.
C. Ruang Lingkup
1. Konsep Umum
a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung
jawab seorang (pasien) itu sendiri. Dengan demikian, sepanjang
keadaan kesehatan tersebut tidak sampai menggangu orang
lain, maka keputusan untuk mengobati atau tidaknya masalah
kesehatan yang dimaksud, sepenuhnya terpulang dan menjadi
tanggung jawab yang bersangkutan.Bahwa tindakan kedokteran
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi untuk
meningkatkan atau memulihkan kesehatan seseorang (pasien)
hanya merupakan suatu upaya yang tidak wajib diterima oleh
seorang (pasien) yang bersangkutan. Karena sesungguhnya
dalam pelayanan kedokteran, tidak seorangpun yang dapat
memastikan keadaan hasil akhir dari diselenggarakannya
pelayanan kedokteran tersebut (uncertainty result), dan karena
itu tidak etis jika sifat penerimaannya dipaksakan. Jika
seseorang karena satu dan lain hal, tidak dapat atau tidak
bersedia menerima tindakan kedokteran yang ditawarkan, maka
sepanjang penolakan tersebut tidak membahayakan orang lain,
harus dihormati.
b. Bahwa hasil dari tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna
dan berhasil guna apabila terjalin kerjasama yang baik antara
dokter dan pasien sehingga dapat saling mengisi dan
melengkapi. Dalam rangka menjalin kerjasama yang baik ini
perlu diadakan ketentuan yang mengatur tentang perjanjian
antara dokter atau dokter gigi dengan pasien. Pasien menyetujui
(consent) atau menolak, adalah merupakan hak pribadinya yang
tidak boleh dilanggar, setelah mendapat informasi dari dokter
atau dokter gigi terhadap hal-hal yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi sehubungan dengan pelayanan
kedokteran yang diberikan kepadanya.
c. Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah
mendapatkan informasi dan consent berarti persetujuan (ijin).
Yang dimaksud dengan Informed Consent dalam profesi
kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari
seseorang (pasien) yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa
paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang
cukup tentang kedokteran yang dimaksud.
d. Bahwa, untuk mengatur keserasian, keharmonisan, dan
ketertiban hubungan dokter atau dokter gigi dengan pasien
melalui informed consent harus ada pedoman sebagai acuan
bagi seluruh personil rumah sakit.
2. Jenis-Jenis Informed Consent
a. Persetujuan tindakan kedokteran.
b. Persetujuan tindakan kedokteran dan terapi beresiko tinggi.
c. Persetujuan tindakan pembiusan.
d. Persetujuan pemberian transfusi darah.
3. Informasi yang Diberikan Meliputi
a. Diagnosa.
b. Tata cara tindakan medis.
c. Tujuan tindakan.
d. Alternative tindakandanresikonya.
e. Resiko dan komplikasinya.
f. Prognosis terhadap tindakan.
g. Perkiraanbiaya.
4. Urutan Prioritas untuk Memberikan Persetujuan
a. Pasien sendiri.
b. Suami atau istrinya.
c. Anaknya yang sudah dewasa.
d. Orang tuanya.
e. Saudara kandungnya.
f. Keluarga lain, teman, atau kenalan bila yang disebut di atas tidak
ada.
D. Dasar Hukum
Sebagai dasar ditetapkannya Panduan Pelaksanaan Persetujuan
Tindakan Kedokteran ini adalah peraturan perundang-undangan dalam
bidang kesehatan yang menyangkut persetujuan tindakan kedokteran,
yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
b. Undang –Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran;
e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis;
g. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan tindakan kedokteran;
h. Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Nomor :
HK.00.06.3.5.1866 tahun 1999 tentang Pedoman Pelaksanaan
Persetujuan Tindakan Medis.
E. Tata Laksana
Persetujuan dan Penjelasan Tindakan Kedokteran Dalam
menetapkan dan Persetujuan Tindakan Kedokteran harus
memperhatikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut :
a. Memperoleh Informasi dan penjelasan merupakan hak pasien
dan sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan adalah
kewajiban dokter atau dokter gigi.
b. Pelaksanaan Persetujuan Tindakan kedokteran dianggap benar
jika memenuhi persyaratan dibawah ini :
1) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
untuk tindakan kedokteran yang dinyatakan secara spesifik
(The Consent must be for what will be actually performed)
2) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
tanpa paksaan (Voluntary)
3) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang
berhak memberikannya dari segi hukum
4) Persetujuan dan Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan
yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
c. Informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika
sekurang-kurangnya mencakup :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran(contemplated
medical procedure);
2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3) Alternatif tindakan lain, danrisikonya(alternative medical
procedures and risk);
4) Risiko (risk inherent in such medical procedures) dan
komplikasi yang mungkin terjadi;
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (prognosis with
and without medical procedures;
6) Risiko atau akibat pasti jika tindakan kedokteran yang
direncanakan tidak dilakukan;
7) Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek
keberhasilan tindakan kedokteran yang dilakukan (purpose
of medical procedure);
8) Informasi akibat ikutan yang biasanya terjadi sesudah
tindakan kedokteran.
d. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.
Dokter atau dokter gigi yang akan melakukan tindakan
medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan
informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan,
informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat
diwakilkan kepada dokter atau dokter gigi lain dengan
sepengetahuan dokter atau dokter gigi yang bersangkutan. Bila
terjadi kesalahan dalam memberikan informasi tanggung jawab
berada ditangan dokter atau dokter gigi yang memberikan
delegasi.
Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa
yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk
mempermudah pemahaman. Penjelasan tersebut dicatat dan
didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
Tanggal
Waktu
Nama
Tandatanganpemberi penjelasan dan penerima penjelasan
Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa
penjelasan yang akan diberikan dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan,
maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan
kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang
tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
a) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan
kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat
terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan,
kecuali :
1) Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan
umum;
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau
dampaknya sangat ringan;
3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya (unforeseeable).
b) Penjelasan tentang prognosis meliputi :
1) Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
3) Prognosis tentang kesembuhan (ad senationam).
Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim
dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya
berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung,
maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada
dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. Tenaga kesehatan
tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai
dengan kewenangannya. Tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan
secara langsung kepada pasien.
Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam
keadaan tidak sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien
yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan
kedokteran.
e. Pihak yang Berhak Memberikan Persetujuan
Yang berhak untuk memberikan persetujuan setelah
mendapatkan informasi adalah:
1) Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun atau
telah menikah.
2) Bagi Pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed
consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh
mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
a. Ayah/ Ibu Kandung
b. Saudara – saudara kandung
3) Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai
orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir,
persetujuan (Informed Consent) atau Penolakan Tindakan
medis diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut :
a. Ayah/Ibu Adopsi
b. Saudara – saudara Kandung
c. Induk Semang
4) Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan
(Informed Consent) atau penolakan penolakan tindakan
medis diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
a. Ayah/Ibu kandung
b. Wali yang sah
c. Saudara – Saudara Kandung
5) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan
(curatelle) Persetujuan atau penolakan tindakan medis
diberikan menurut hal tersebut.
a. Wali
b. Curator
6) Bagi Pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua,
persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan pleh
mereka menurut urutan hal tersebut.
a. Suami/ Istri
b. Ayah/ Ibu Kandung
c. Anak- anak Kandung
d. Saudara – saudara Kandung
H. DOKUMENTASI
Dokumen Persetujuan Tindakan Kedokteran
a. Semua hal – hal yang sifatnya luar biasa dalam proses
mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran harus dicatat
dalam rekam medis.
b. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran
harus disimpan bersama-sama rekam medis.
c. Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan
tindakan kedokteran, menggunakan formulir dengan ketentuan
sebagai berikut :
1) Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Tenaga
keperawatan bertindak sebagai salah satu saksi;
2) Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis
pasien;
3) Formulir harus sudah mulai diisi dan ditandatangani 24 jam
sebelum tindakan kedokteran;
4) Dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelaan harus
ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah
memberikan informasi dan penjelasan secukupnya;
5) Sebagai tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta
huruf harus membubuhkan cap jempol jari kanan.
BAB VI
PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DO NOT RESUSITATION/DNR)
A. Definisi
Resusitasi jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang
mengalami henti nafas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien
yang tidak sadar, tidak bernafas, dan yang tidak menunjukkan adanya
tanda-tanda sirkulasi.
1. RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya
telah dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam
melakukan RJP.
2. Menurut statistic, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar
kematian pasien yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap
tahunnya. Proporsi dari tindakan RJP ini dianggap berhasil merestorasi
fungsi kardiopulmoner pasien.
3. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil
dan 1/3 dari pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga
pulang dari rumah sakit.
4. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit
pasien.
5. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut
yang telah bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga
pulang dari rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal hanya 2% yang
bertahan hidup sampai pulang dari rumah dari rumah sakit.
6. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi
meninggal sebelum pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di
Ruang Rawat Intensif (intensive Care Unit- ICU).
7. Pada suatu studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang
berhasil dilakukan RJP inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1
kali selama masa perawatannya di rumah sakit.
8. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari
rumah sakit tidak mengalami gangguan / disfungsi yang berat.
9. Suatu studi menyatakan 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi
yang baik saat dipulangkan dari rumah sakit.
10. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP, beberapa diantaranya
berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi
memiliki masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal
sebelum terjadi henti jantung/napas, beberapa mengalami
kerusakan/cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh kembali
ke dalam kondisi henti jantung/napas sehingga harus dilakukan RJP
ulang.
11. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada:
a. Penyebab terjadinya henti jantung/napas pada pasien
b. Penyakit/masalah medis mendasari
c. Kondisi kesehatan pasien secara umum
12. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami
kondisi yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan
biasanya dirawat di ICU.
Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti napas
dan jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana
usaha RJP tidak akan membuahkan hasil (sia-sia).
Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa
kebijakan ini harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan
profesional di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas/tim transfer intra
dan antar rumah sakit.
Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin
dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP
hanya akan memperpanjang kualitas hidup yang buruk.
Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan
penundaan atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi
antibiotik, nutrisi parenteral, dan sebagainya.
B. Pengertian
1. Henti jantung adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat.
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau
pulseless electrical activity (PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai
sesegera mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung).
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi,
dan pupil dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung
dan tidal perlu dilakukan tindakan resusitasi.
2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) : didefinisikan sebagai suatu sarana
dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang
mengalami henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk :
pasien tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda sirkulasi dan tidak tertulis intruksi DNR di rekam
medisnya.
3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) : adalah suatu tindakan dimana jika
pasien mengalami henti jantung atau napas, paramedis tidak akan
dipanggil dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar
maupun lanjut.
a. Jika pasien mengalami henti jantung atau napas, lakukan asesmen
segera untuk mengidentifikasi penyebeb dan memeriksa posisi
pasien, potensi jalan napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan
usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.
b. DNR tidak berarti semua tatalaksana/penanganan aktif terhadap
kondisi pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien
(misalnya terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan
pada pasien DNR.
c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan tanpa kecuali.
4. Fase/kondisi terminal penyakit : adalah kondisi yang disebabkan oleh
cedera atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis
lainnya tidak dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada
akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktuyang
singkat, dan dimana pengaplikasian terapi untuk
memperpanjang/mempertahankan hidup hanya akan berefek dalam
memperlama proses penderitaan /sekarat pasien.
5. Pelayanan paliatif : adalah pemberian dukungan emosional dan fisik
untuk mengurangi nyeri/penderitaan pasien. Hal ini termasuk:
pemberian nutrisi, hidrasi, dan kenyamanan, kecuali terdapat intruksi
spesifik untuk menunda pemberian nutrisi/hidrasi.
6. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid: formulir
tertulis yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh
pasien/wali sahnya dan dokter penanggung jawab pasien. Fotocopy yang
dilegalisir dianggap sah dan berlaku.
7. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya
memiliki instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh
pemerintah setempat, resmi, mudah dikenali, dan khusus/khas, dipakai
dipergelangan tangan tangan atau kaki. Gelang ini harus dikenali oleh
Tim Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan lainnya.
C. Ruang Lingkup
Penanggung Jawab
a. Chief Executive Officer dan Dewan Direksi: bertanggung jawab untuk
memberikan implementasi kebijakan Do Not Resuscitate (DNR).
Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Pelayanan Medis.
b. Manajer Pelayanan Medis: memastikan setiap staf/petugas
mengetahui dan mematuhi kebijakan ini, serta memastikan
dilakukannya audit kebijakan DNR.
c. Staf/Petugas Rumah Sakit: semua staf terlibat dalam pengambilan
keputusan tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan
kebijakan ini. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama
proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas/formulir
insiden sesuai dengan algoritma yang berlaku.
E. Tata Laksana
Prinsip
a. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali
telah dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk melakukan
resisitasi (DNR).
b. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
c. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
d. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan
henti nafas/jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim
medis lakukan jika hal ini terjadi.
e. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai
kondisi dan penyakit pasien, prosedur RPJ dan hasil yang mungkin
terjadi.
f. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada
konsultan/dokter umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika
terdapat keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran
dari dokter senior.
g. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi beikut ini:
1) RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan
pernafasan pasien.
2) Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki
kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan
usaha RJP.
3) Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
4) Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan
dengan alasan kuat.
5) Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal
penyakitnya/sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda
fase terminal/kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan
keuntungan terapeutik (risik/berbahayanya melebihi
keuntungannya).
a) Contoh: henti jantung/nafas yang dialami oleh pasien
merupakan kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang
diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan
fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi kondisi
keseluruhan pada pasien dapat memburuk dan henti
jantung/nafas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian
dari proses alamiah dan tidak dapat terhindar dari proses
sekarat/kematian pasien.
b) Melakukan RJP pada kasus ini akan
membahayakan/merugikan pasien dan bertolak belakang
dengan etika kedokteran (prinsip’do not harm’).
h. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
i. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik
untuk pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak
ada kewajiban secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-
pasien yang menjalani perawatan paliatif (dimana usaha RJP adalah
sia-sia).
j. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang pentingdan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien.
Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum
atau perawat yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi
mereka dengan pasien kepada dokter penanggung jawab pasien.
k. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter
dan pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai
keinginan pasien (yang kompeten secara mental).
l. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di
rekam medis pasien.
m. Di rekam medis, harus tercantum:
1) Tulisan ‘pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
2) Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
3) indikasi/alasan tindakan DNR
4) Nama dokter penanggung jawab pasien
5) Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien yang
mengambil keputusan, Contoh:
Tanggal 18 Maret 2010
Pukul 10.30 WITA
Tidak dilakukan RJP
Indikasi: syok kardiogenik
Batas waktu: 24 jam
n. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batas batasan waktu
pemberlakuan instruksi DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
o. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana
terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan
penerjemah yang kompeten.
p. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksan pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
q. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1) Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau
kerugian/penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi
melebihi keuntungan dilakukannya terapi.
2) Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3) RJP bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh
pasien, yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua
tindakan untuk mempertahankan hidup pasien.
K. Penatalaksanaan
1. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua
pasien yang ditemukan henti nafas/jantung kecuali jika pasien tersebut
memilikiinstruksi DNR yang valid.
2. Jika pasien dengan henti jantung/nafas memiliki instruksi DNR, tim
kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernafasan dan atau
denyut jantung.
b. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif
(MICU), ikuti protocol setempat.
c. Untuk petugas MICU, kontak/hubungi dokter penanggung jawab
pasien (yang menandatangani DNR) untuk menkonfirmasi validitas
instruksi DNR-di luar rumah sakit, beritahukan kondisi pasien.
3. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi
henti jantung/nafas, tim kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen pasien.
b. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai.
c. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan.
d. Menghargai dan memauhi instruksi DNR jika terjadi henti
nafas/jantung pada pasien selama tresfer.
e. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika
tersedia.
4. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh
mempengaruhi keinginan pasien/wali sahnya.
5. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapapun oleh pasien dengan
merusak/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan
secara lisan .
6. Validitas Instruksi DNR:
a. Hanya dokter penanggung jawab pasien yang boleh menulis instruksi
DNR untuk pasien yang dirawat di rumah.
b. Hubungi dokter penanggung jawab pasien untuk mendiskusikan
pembuatan instruksi DNR.
c. Pastikan formulir DNR trlah diisi dngan lengkap oleh dokter,
termasuk tanda tangan dan alamat pasien/wali sah; nama, alamat,
nomor telepon, dan tanda tangan dokter; dan tanggal pembuatannya.
d. Gelang DNR dapat diperoleh dari dokter atau rumah sakit tempat
pasien berobat. (lihat Lampiran 5 mengenai panduan gelang DNR)
e. Simpan salinan instruksi DNR di rumah dan selalu dibawa oleh
pasien kemanapun dia pergi.
f. Pastikan semua keluarga/wali pasien mengetahui instruksi DNR ini.
7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk
menulis instruksi DNR dan ‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’
(do not hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter.
a. Prosedur Dasar
1) Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari
pasien/wali sahnya.
2) Melengkapi informasi instruksi DNR di luar rumah sakit. Berikan
salinan direkam medis pasien. Berikan nenenrapa salinan kepada
pasien dan atau keluarga/pengasuh di luara rumah sakit/panti
jompo.
3) Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai
penggunaan formulir DNR ini anjurkan agar formulir ini
diletakkan di tempat-tempat yang mudah terlihat di rumah
(misalnya: papan harian pasien, senderan ranjang, pintu kamar
tidur atau kulkas).
4) Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini
harus dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki
instruksi DNR di luar rumah sakit. Dokter harus
menginformasikan kepada pasien/wali sahnya mengenai
ketersediaan gelang DNR sebagai sarana tambahan untuk
memberitahu Tim Kegawatdaruratan Medis.
5) Lakukan peninjauan ulan terhadap status DNR secara periodik
dengan pasien/wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencana
penanganan pasien (jika diperlukan), dan catatlah di rekam medis
pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan instruksi untuk
menghancurkan/menyobek formulir DNR dan melepas gelang
DNR.
B. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kegiatan pelayanan kerohanian hanya untuk
pasien rawat inap di RSUD Ratu Zalecha Martapura meliputi agama
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
1. Panduan ini di berlakukan untuk semua pasien dan keluarganya
yang di rawat di RSUD Ratu Zalecha Martapura.
2. Pelaksana panduan ini adalah binrohRSUD Ratu Zalecha Martapura,
yang tugasnya adalah, sebelum mengunjungi pasien petugas binroh
di harapkan memperhatikan jadwal kunjunganya dan mendata
pasien yang baru, kemudian mempersiapkan buku data kunjungan
dan buku tuntunan rohani bagi orang sakit yang akan di bagikan /
di berikan kepada pasien yang akan di kunjunginya.
3. Ketika yang sakit adalah pasien bayi dan anak – anak maka
kunjungan binroh di tujukan kepada keluarga pasien.
4. Pelayanan rohani dan bimbingan kerohanian harus sesuai dengan
agama/kepercayaan pasien.
5. Rumah sakit merespon dan memfasilitasi kebutuhan kerohanian
pasien.
6. Bimbingan kerohanian pasien harus dilakukan sesuai dengan
agama/kepercayaan pasien.
7. Sebelum memberikan bimbingan keagamaan harus melakukan
identifikasi agama/kepercayaan pasien.
8. Seluruh staf yang memberikan pelayanan pasien harus memahami
dan menjalankan kebijakan ini.
9. Batasan pelayanan rohani :
10. Pelayanan Rohani dapat berupa Motivasi, Konsultasi, Ceramah
Agama dan Doa yang dipimpin oleh rohaniawan.
11. Tidak dibenarkan untuk menggunakan pelayanan rohani sebagai
usaha untuk merekrut atau mengajak pasien atau keluarga pasien
memeluk atau mengubah kepercayaan yang sudah dianutnya.
12. Materi pelayanan Rohani disesuaikan dengan kemampuan
Rohaniawan dan Kebutuhan Rohani Pasien.
13. Tidak dibenarkan untuk menjelekkan atau mencemarkan suatu
kepercayaan atau budaya tertentu dalam proses pelayanan rohani.
14. Tidak dibenarkan untuk menjelekkan atau mencemarkan suatu
Instansi termasuk rumah sakit dalam proses pelayanan rohani.
15. Tidak dibenarkan untuk memberikan keterangan dan/atau pendapat
dan/atau motivasi yang bertentangan dengan keterangan dokter,
tenaga medis, dan Peraturan Rumah sakit.
16. Tidak dibenarkan untuk mempengaruhi pasien terkait pengambilan
keputusan persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter
terhadap pasien.
17. Tidak dibenarkan untuk membebankan biaya apapun terhadap
pasien.
C. TATA LAKSANA
1. Perawat memberikan informasi kepada pasien tentang pelayanan
kerohanian di RSUD Ratu Zalecha Martapura, serta membantu
pengisian formulir permintaan tersebut.
2. Pasien meminta pelayanan kerohanian kepada perawat dan perawat
mengisikan form tersebut. Setelah formulir tersebut diisi oleh
perawat, maka segera formulir tersebut diberikanke customer service
untuk ditindaklanjuti.
3. Customer service akan koordinasi dari daftar yang tersedia
berdasarkan permintaan waktu di formulir tersebut.
4. Customer service akan konfirmasi nama dan waktu petugas
pelayanan ini kepada pasien dan keluarga pasien penanggung jawab.
Setelah itu formulir akan diserahkan kepada nurse station.
5. Rohaniawan akan daftar ke admission dan akan konfirmasi ke nurse
station rawat inap tentang permintaan pelayanan kerohanian.
6. Di nurse station petugas kerohanian akan tanda tangan di formulir
untuk di simpan di arsip rekam medis pasien, setelah itu petugas
kerohanian akan di antar oleh perawat ke kamar pasien.
7. Waktu pelayanan dilakukan pada hari kerja sampai batas waktu
maksimal pukul 17.00 WITA.
8. Lama pelayanan maksimal 30 menit.
9. Jumlah petugas maksimal 2 orang.
10. Untuk ruangan bersama, perawat meminta izin terlebih dahulu
dengan pasien lain untuk melakukan pelayanan kerohanian.
11. Bentuk layanan yang diberikan berupa doa untuk keselamatan dan
kesehatan pasien.
D. DOKUMENTASI
1. Formulir permintaan pelayanan kerohaian.
2. Buku kunjungan rohaniawan.
BAB VIII
Panduan Perlindungan Harta Dan Benda Milik Pasien
A. Latar Belakang
Seringkali terjadi banyak kasus atau peristiwa secara mendadak
atau tiba-tiba misalnya kecelakaan, pingsan, atau bencana alam
yang mengakibatkan timbulnya korban. Hal ini dapat mengakibatkan
suatu kondisi yang cukup berbeda yakni kepanikan, kacau, dan
kecurigaan. Baik korbanyang mengalami maupun oran yang melihat
atau menolong. Kadang kala sering juga dalam kesempatan tersebut
kewaspadaan kurang akibat situasi yang tidak menentu.Sehingga
berakibat adanya kehilangan barang atau benda terutama dari
korbaan yang mengalmi bencana.
Negara Indonesia mempunyai landaasan hokum yang cukup
kuat untuk dapat melindungi hak pribadi seseorang untuk
mendapatkan perlndungan yang layak tanpa terkecuali baik untuk
diri pribadi maupun barang atau benda yang dimilikinya.Sehigga
setiap orang yang berada di tempat manapun tidak merasa terancam
baik secara fisik maupun non fisik akibat kehilangan barang atau
benda.
B. Definisi
1. Barang milik pasien adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh
pasien rumah sakit baik pasien rawat jalan mau pun pasien yang
sedang dalam rawatan rumah sakit yang mempunyai arti dan
bisa dinilai dengan uang.
2. Perlindungan adalah proses menjaga atau perbuatan
untukmelindungi.
3. Tempat penyimpanan / penitipan barang adalah suatu sarana
atau tempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik
pasien rumah sakit yang tertutup dan terkunci serta jauh dari
jangkauan pihak luar.
C. Tujuan
1. Mendeskripsikan prosedur untuk memastikan tidak terjadinya
kehilangan harta benda pribadi pada pasien/ pengunjung/
karyawan selama berada di Rumah Sakit.
2. Mengurangi kejadian yang berhubungan dengan adanya
kehilangan/kecurian dari pihak dalam atau luar pada
pasien/pengunjung/karyawan.
D. Ruang Lingkup
1. Panduan ini diterapkan pada semua
pasien/pengunjung/karyawan selama berada di Rumah Sakit.
2. Pelaksana panduan ini adalah semua karyawan yang bekerja di
Rumah Sakit (medis ataupun non medis).
E. Prinsip
1. Semua pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah
Sakit harus mendapat perlindungan harta benda pribadi dengan
benar saat masuk Rumah Sakit dan selama berada di Rumahh
Sakit.
2. Setiap pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah
Sakit harus berusaha menjaga harta benda pribadi.
3. Tujuan utama perlindungan harta benda adalah untuk menjaga
keamanan yang memiliki harta benda tersebut.
4. Perlindungan harta benda digunakan pada proses
pasien/pengunjung/karyawan yang masuk dalam Rumah Sakit
atau selama berada dalam lingkungan Rumah Sakit.
F. KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
1. Seluruh Staf Rumah Sakit
a. Memahami dan menerapkan prosedur perlindungan harta
benda pribadi milik pasien/pengunjung.
b. Memastikan prosedur perlindungan harta benda pribadi
milik pasien/pengunjung yang benar ketika
pasien/pengunjung selama beraada di Rumah Sakit.
c. Melaporkan kejadian salah prosedur perlindungan harta
benda milik pasien/pengunjung/karyawan.
2. SDM yang Bertugas
a. Perawat :
Bertanggung jawab memberikan perlindungan harta
benda pasien dan memastikan perlindungan tersebut
tercatat pada laporan di rawat inap.
Memastikan harta benda tersimpan dengan baik. Jika
terdapat kesalahan penyimpanan, maka penyimpanan
harus dipindah tempatnya.
b. Petugas keamanan/security :
Bertanggung jawab memberikan pengamanan harta benda
pasien dan memastikan pengamana tersebut tercatat pada
laporan.
Memastikan harta benda tersimpan dengan baik. Jika
terdaapat kesalahan penyimpanan, maka penyimpanan
harus dipindah tempatnya.
3. Kepala Instalasi/Kepala Ruangan
a. Memastikan seluruh staf di instalasi memahami prosedur
perlindunga harta benda pasien.
b. Menyelidiki semua insiden salah perlindungan harta benda
pasien dan memastikan terlaksananya suatu tindakan untuk
mencegah terulangnya kembali kejadian tersebut.
H. Dokumentasi
1. Pasien-pasien dengan keadan tertentu yang memerlukan
perlindungan harta benda diidentifikasi di ruangan rawat inap.
2. Barang-barang pasien yang dititipkan dicatat dengan lengkap
dalama formulir khusus, dengan saksi minimal 2 orang yang
berasal dari petugas keamanan dan petugas ruangan yang
bersangkutan.
3. Formulir tersebut kemudian disimpan dalam rekam medis
pasien.
A. DEFINISI
1. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non
fisik,dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak
berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan
pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikehendaki oleh korban.
2. Kekerasan Fisik adalahekspresi dari apa baik yang dilakukan secara
fisik yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada
kebebasan atau martabat seseorang. Kekerasan fisik dapat
dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang.
3. Kekerasan fisik (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan
terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik,
seksual, dan psikologi. Tindakan itu antara lain berupa memukul,
menendang, menampar, menembak, mendorong (paksa), dan
menjepit.
4. Kelompok pasien yang berisiko adalah kelompok yang karena
keterbatasannya secara fisik maupun psikologis, memiliki
kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan kekerasan secara fisik,
sehingga Rumah Sakit bertanggung jawab melindungi kelompok
pasien tersebut dari kekerasan fisik oleh pengunjung, pasien lain
dan staf Rumah Sakit. Kelompok yang dimaksud adalah :
a. Bayi Baru Lahir (Neonatus) adalahbayi dalam kurun waktu satu
jam pertama kelahiran.
b. Bayi Yang Lahir Normal adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500
gram sampai 4000 gram.
c. Anak – Anak adalahmasa yang dimulai dari periode bayi sampai
masa pubertas yaitu 13-14 tahun.
d. Lansia (Lanjut Usia) adalah periode dalam kehidupan yang
ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik dan
psikologis.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan
lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -
59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua
(old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90
tahun.
e. Orang Dengan Gangguan Jiwa adalahorang yang
mengalamisuatu perubahan pada fungsi kejiwaan. keadaan ini
ditandai dengan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan
dalam melaksanakan peran sosial.
f. Perempuanadalahseorang manusia yang mempunyai vagina,
dapat menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui anak.
g. Kekerasan Pada Perempuan adalah segala bentuk kekerasan
berbasis jender yang berakibatmenyakiti secara fisik,seksual,
mental atau penderitaan terhadap perempuan.
h. Komadalam istilah kedokteran adalah suatu kondisi tidak sadar
yang sangat dalam, sehingga tidak memberikan respons atas
rangsangan rasa sakit atau rangsangan cahaya.
i. Pasien Koma adalah pasien yangtidak dapat dibangunkan, tidak
memberikan respons normal terhadap rasa sakit atau
rangsangan cahaya, tidak memiliki siklus tidur-bangun, dan tidak
dapat melakukan tindakan sukarela. Koma dapat timbul karena
berbagai kondisi, termasuk keracunan, keabnormalan metabolik,
penyakit sistem saraf pusat, serta luka neorologis akut seperti stroke
dan hipoksia, gegar otak karena kecelakaan berat terkena kepala
dan terjadi pendarahaan di dalam tempurung kepala. Koma juga
dapat secara sengaja ditimbulkan oleh agen farmasentika untuk
mempertahankan fungsi otak setelah timbulnya trauma otak
lain.
5. Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik adalah suatu upaya
rumah sakit untuk melindungi pasien dari kekerasan fisik oleh
pengunjung, pasien lain atau staf rumah sakit melalui prosedur
identifikasi seluruh pengunjung atau penghuni Rumah Sakit,
investigasi kepada setiap orang yang tidak memiliki identifikasi,
monitoring lokasi yang terpencil terisolasi di Rumah Sakit dan secara
cepat bereaksi terhadap mereka yang berada dalam bahaya
kekerasan.
B. RUANG LINGKUP
1. Kriteria Kekerasan Fisik di Lingkungan Rumah Sakit
Pasien mempunyai hak untuk dilindungi dari kekerasan fisik baik
yang dilakukan oleh penunggu atau pengunjung pasien maupun
petugas, kekerasan fisik yang dimaksud meliputu tindakan :
a. Pelecehan seksual.
b. Pemukulan (termasuk menampar, menendang, menikam,
mendorong dengan paksa, dan menjepit)
c. Penelantaran.
d. Pemaksaan fisik, kecuali terdapat indikasi, petugas kesehatan
dapat melakukan pemaksaan fisik (seperti pengekangan atau
restrain) sesuai standar medis dan etika Rumah Sakit yang
berlaku.
2. Kriteria Kelompok yang Beresiko Mendapatkan Kekerasan Fisik di
Rumah Sakit
RumahSakitmengidentifikasi kelompok pasien yang lemah dan yang
beresiko dan menetapkan proses untuk melindungi hak dari
kelompok pasien tersebut. Kelompok pasien yang lemah dan
tanggung jawab Rumah Sakit dapat tercantum dalam Undang-
Undang atau peraturan. Staf Rumah Sakit memahami tanggung
jawabnya dalam proses ini. Pasien-pasien yang beresiko dan harus
dilindungi dari kekerasan fisik antara lain :
a. Bayi baru lahir (Neonatus) dan Anak – Anak
Kekerasan terhadap bayi meliputi semua bentuk tindakan/
perlakuan menyakitkan secara fisik,pelayanan medis yang tidak
standar seperti inkubator yang tidak layak pakai, penculikan,
bayi tertukar dan penelantaran bayi.
Menurut data dari Kementrian Kesehatan Kasus penculikan bayi
menujukkan peningkatan dari 72 kasus di tahun 2011 menjadi
102 di tahun 2012, diantaranya 25% terjadi di rumah sakit,
rumah bersalin, dan puskesmas.
Kekerasan pada anak (child abuse)di rumah sakit adalah
perlakuan kasar yang dapat menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan, penganiayaan fisik, seksual, penelantara (ditinggal
oleh orangtuanya di rumah sakit), maupun emosional, yang
diperoleh dari orang dewasa yang ada dilingkungan rumah sakit.
Hal tersebut mungkin dilakukan oleh orang tuanya sendiri,
pasien lain atau pengunjungatauoleh staf rumah sakit.
Terjadinya kekerasan fisik adalah dengan penggunaan kekuasaan
atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang
seharusnya diberikan perlindungan.
b. Pasien yang cacat
c. Lansia
Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya kelompok rentan,
yaitu semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu
masyarakatyang berperadaban. Salah satu contoh kelompok
rentan tersebut adalah orang-orang lanjut usia (lansia).
Ternyata, walau sudah memiliki keterbatasan, lansia juga rentan
terhadap kekerasan. Menurut statistik, lebih dari dua juta lansia
mengalami kekerasan setiap tahunnya.
Kekerasan pada lansia adalah suatu kondisi ketika seorang
lansia mengalami kekerasan oleh orang lain. Dalam banyak
kasus, kekerasan fisik datang dari orang-orang yang mereka
percayai. Karenanya, mencegah kekerasan pada lansia dan
meningkatkan kesadaran akan hal ini, menjadi suatu tugas yang
sulit. Statistik dari Dinas Pelayanan di New Zealand
menunjukkan bahwa kebanyakan, orang-orang yang melakukan
kekerasan terhadap lansia, merupakan anggota keluarga atau
orang yang berada pada posisi yang mereka percayai, seperti:
pasangan hidup, anak, menantu, saudara, cucu, ataupun
perawat.
Kekerasan fisik pada lansia di rumah sakit, yaitu bisa berupa
perkosaan, pemukulan, dipermalukan/ diancam seperti anak
kecil, diabaikan / diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan
yang tidak standar.
d. Kekerasan pada Perempuan
Kekerasandi rumah sakit dapat berupa perkosaan, yaitu
hubungan seksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa
persetujuan korbannya. Namun perkosaan tidak semata-mata
sebuah serangan seksual akibat pelampiasan dari rasa marah,
bisa juga disebabkan karena godaan yang timbul sesaat seperti
melihat bagian tubuh pasien wanita yang tidak ditutupi pakaian
atau selimut, mengintip pasien pada saat mandi dan sebagainya.
e. Orang dengan gangguan jiwa
Pasien dengan gangguan jiwa terkadang tidak bisa
mengendalikan perilakunya, sehingga pasien tersebut perlu
dilakukan tindakan pembatasan gerak (restraint) atau
menempatkan pasien di kamar isolasi. Tindakan ini bertujuan
agarpasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai
orang lain atau dicederai orang lain, Bila tindakan isolasi tidak
bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi
melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah
dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik (restraint).
Kekerasan fisik pada pasien jiwa yang dilakukan restrain di
rumah sakit, bisa disebabkan oleh tindakan restrain yang tidak
sesuai prosedur, atau menggunakan pengikat yang tidak
standar. Selain itu, pasien jiwa yang dilakukan restrain mudah
menerima kekerasan fisik, baik dari pengunjung lain, sesama
pasien jiwa, maupun oleh tenaga medis. Hal ini disebabkan oleh
karena kondisi pasien yang “ terikat “ sehingga mudah
mendapatkan serangan.
f. Pasien koma
Kekerasan fisik bagi pasien yang koma di rumah sakit, bisa
disebabkan oleh pemberian asuhan medis yang tidak standar,
penelantaran oleh perawat, diperlakukan secara kasar oleh
tenaga kesehatan yang bertugas sampai pada menghentikan
bantuan hidup dasar pada pasien tanpa persetujuan
keluarga/wali.
g. Populasi pasien lain yang beresiko
a. Pasien dalam pengarih obat atauu sedasi
b. Pasien dengan sakit terminal atau stadium akhir
c. Wanita bersalin dan wanita yang mengalami terminasi
kehamilan
d. Pasien korban KDRT, penganiayaan, dan penelantaran.
C. TATA LAKSANA
1. Cara RSUD Ratu Zalecha Martapura melindungi pasien &
keluarganya dari kekerasan fisik terutama pada pasien yang tidak
mampu melindungi dirinya seperti bayi, anak – anak, manula,
perempuan, pasien jiwa, pasien koma, penyandang cacat dan lain
sebagainya.
2. Pengawasan terhadap lokasi pelayanan yang terpencil dan terisolasi,
seperti pada:
Irna Bersalin
Irna Anak
3. Pengawasan ketat terhadap ruang perawatan bayi dan anak–anak
untuk mencegahpenculikan dan perdagangan pada bayi dan anak -
anak, seperti pada :
Ruang foto therapy di Ruang bayi
Ruang bayi di Irna Anak
Ruang Nicu
4. Penanganan pada bayi / anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya
di RSUD Ratu Zalecha Martapura dengan merawat bayi tersebut agar
sehat untuk selanjutnya diserahkan ke Dinas Sosial
5. Semua pengunjung yang masuk ke RSUD Ratu Zalecha Martapura
harusmemakai identitas yang dapat dikeluarkan oleh
Security/Satpol PP. Pengunjung yang mencurigakan diperiksa dan
diinvestigasi oleh petugas, khususnya oleh Satpol PP.
6. Semua pengunjung diluar jam kunjungan rumah sakit, baik di luar
jam kantor, di luar jam pelayanan maupun di luar jam besukdi
daftarkan dan dicatat oleh sekuriti/satpol PP.
7. Kekerasan pada pada lansia, dapat dicegah dengan beberapa
tindakan preventif, antara lain, menyediakan kamar mandi khusus,
loket khusus, serta membangun Pusat Geriatri
8. Membatasi jumlah pasien yang masuk ke ruang perawatan dengan
menerapkan ketentuan hanya mereka yang menggunakan ID Card
yang boleh memasuki ruang perawatan.
9. Pada ruang perawatan wanita, pendamping pasien harus berjenis
kelamin wanita
E. DOKUMENTASI
1. Prosedur Menerima Pengunjung Rumah Sakit.
2. Prosedur Perlindungan Terhadap Ancaman.
3. Prosedur Pemantauan Terhadap Lingkungan Terpencil.
4. Prosedur Perlindungan Terhadap Penculikan Bayi dan Anak.
5. Daftar pengunjung RS di luar jam besuk.
6. Daftar kelompok yang beresiko.
7. Sensus harian pasien rawat inap
a. Identifikasi dilaksanakn oleh perawat ruangan terhadappasien-
pasien yang termasuk kelompok beresiko yang dicatat setiap hari
dalam formulir situasi pasien.
b. Kepala ruangan bertanggung jawab dalam melaksanakan
pengawasan terhadap tindakan kekerasan fisik dan atau
berkoordinasi dengan petugas satpam jika diperlukan.
BAB X
PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL
A. LATAR BELAKANG
Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman
manusia yang bersifat universal dan unik secara individual. Hidup
adalah serangkaian kehilangan dan pencapaian. Duka cita adalah
respon alamiah terhadap kehilangan. Penting artinya untuk
diperhatikan bahwa apapun yang dikatakan disini tentang proses duka
cita dan kehilangan yang terdapat dalam perspektif social dan historis
mungkin berubah sepanjang waktu dan situasi. Menjadi tua adalah
proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap makhluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering
kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Kondisi terminal
merupakan kondisi dimana seseorang mengalami sakit atau penyakit
yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses
kematian dalam 6 (enam) bulan atau kurang. Dalam masyarakat kita,
umur harapan hidup semakin bertambah dan kematian semakin banyak
disebabkan oleh penyakit-penyakit degenerative, seperti kanker dan
stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu
proses pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya
berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang ditandai
dengan kelemahan umum, penderitaan, ketidakberdayaan, dan akhirnya
kematian.
Proses terjadinya kematian diawali dengan munculnya tanda-
tanda yaitu sakaratul maut, yang dalam istilah disebut “Dying”. Untuk
itu perlu adanya pendampingan terhadap pasien yang menghadapi
sakaratul maut (dying).
Pada tahap pelayanan terhadap pasien dalam kondisi terminal
juga bisa dikondisikan pasien dalam kondisi sakaratul maut sehingga
seluruh aspek pelayanan dan perawatan pada pasien berada dalam
kondisi seperti ini dapat disamakan. Bimbinglah orang yang hendak
meninggal mengucapkan (kalimat/perkaataan) “Tiada Tuhan Selain
Allah SWT.” (HR. Muslim)
Sangat penting diketahui untuk kita, sebagai tenaga kesehatan
tentang bagaimana cara menangani pasien yang menghadapi sakaratul
maut. Inti dari penanganan pasien yang menghadapi sakaratul maut
adalah dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap pasien
sehingga pasien dan keluarga lebih sabar dan ikhlas dalam menghadapi
kondisi sakaratul maut.
Untuk meningkatkan pelayanan akan kebutuhan yang unik ini
Rumah Sakit diperlukan suatu panduan. Bku panduan tersebut
diharapkan dapat menjadi pegangan atau acuan dalam memberikan
pelayanan terhadap pasien tahap terminal secara komprehensip dan
juga terhadap pasien dalam kondisi sakaratul maut di RSUD Ratu
Zalecha Martapura.
A. TUJUAN
1. Memberikan pengobatan yang seuai dengan gejala dan permintaan
pasien dan keluarga
2. Menghargai nilai yang dianut pasien, agama, dan preferensi budaya
3. Memberikan respon pada hal psikologis, emosional, spiritual, dan
budaya dari pasien dan keluarganya
B. PENGERTIAN
1. Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan untuk
pasien yang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai
harapan untuk sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6
(enam) bulan atau kurang. Pasien yang berada pada tingkat akhir
hidupnya memerlukan pelayanan yang berfokus akan kebutuhannya
yang unik. Pasien dalam tahap ini dapat menderita gejala lain yang
berhubungan dengan proses penyakit atau terapi kuratif atau
memerlukan bantuan berhubungan dengan faktor psikososial, agama,
dan budaya yang berhubungan dengan proses kematian. Keluarga dan
pemberi layanan dapat diberikan kelonggaran melayani pasien tahap
terminal dan membantu meringankan rasa sedih dan kehilangan.
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan
lagi. Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang
tiba-tiba tanpa peringatan atau mengikuti periode sakit yang panjang.
Terkadang kematian menyerang usia muda, tetapi selalu menunggu
yang tua. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju
kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik,
psikososial, dan spiritual bagi individu. (Carpenito, 1995).
Pasien terminal adalah pasien-pasien yang dirawat, yang sudah jelas
bahwa mereka akan meninggal atau keadaan mereka semakin lama
semakin memburuk. (P.J.M. Stevens, 1999).
2. Sakaratul maut (dying) adalah merupakan kondisi pasien yang sedang
menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu
untuk meninggal.
3. Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan
tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal,
ditandai dengan terhentinya aktifitas otak atau terhentinya fungsi
jantung dan paru secara menetap. Selain itu, dr. H. Ahmadi NH, Sp. KJ
juga mendefinisikan Death sebagai :
a. Hilangnya fase sirkulasi dan respirasi yang irreversible
b. Hilangnya fase keseluruhan otak, termasuk batang otak
Dying dan Death merupakan dua istilah yang sulit untuk dipisahkan,
serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih ke arah suatu
proses, sedangkan Death merupakan akhir dari hidup. (Eny Retna
Ambarwati, 2010)
4. Cabang ilmu yang berkaitan dengan dying, adalah :
a. Geriatric, ilmu yang mempelajari penyakit pada lanjut usia
(degeneratif)
b. Gerontology, displin ilmu di luar atau cabang geriatri yang
mempelajari aspek fisik, mental, dan psikososial yang ada pada
lanjut usia. Untuk menunjang pelayanan geriatri bagi penderita
lanjut usia. (dr. H. Ahmadi NH, Sp. KJ, 2009)
C. RUANG LINGKUP
1. Deskripsi rentang pola hidup sampai menjelang kematian
Pandangan pengetahuan tentang kematian yang difahami oleh seseorang
berbeda-beda. Adapun seorang ahli yang mengemukakan pendapatnya
tentang deskripsi rentang pola hidup sampai menjelang kematian adalah
Martocchio. Menurut Martocchio, rentang pola hidup sampai menjelang
kematian sebagai berikut :
a. Pola puncak dan lembah
Pola ini memiliki karakteristik periodik sehat yang tinggi (puncak) dan
periode krisis (lemah). Pada kondisi puncak, pasien benar-benar
merasakan harapan yang tinggi atau besar. Sebaliknya pada periode
lemah, pasien merasa sebagai kondisi yang menakutkan sampai bisa
menimbulkan depresi.
b. Pola dataran yang turun
c. Karakteristik dari pola ini adalah adanya sejumlah tahapan dari
kemunduran yang terus bertambah dan tidak terduga, yang terjadi
selama atau setelah periode kesehatan yang stabil serta berlangsung
pada waktu yang tidak bisa dipastikan.
d. Pola tebing yang menurun
e. Karakteristik dari pola ini adalah adanya kondisi penurunan yang
menetap atau stabil, yang menggambarkan semakin buruknya
kondisi. Kondisi penurunan ini dapat diramalkan dalam waktu yang
bisa diperkirakan baik dalam ukuran jam atau hari. Kondisi ini lazim
ditemui di unit khusus (Intensive Care Unit/ICU).
f. Pola landai yang turun sedikit-sedikit
g. Karakteristik dari pola ini adalah kehidupan yang mulai surut dan
hampir tidak teramati sampai akhirnya menghebat menuju ke maut.
F. DOKUMENTASI
1. Status rawat jalan emergensi (instalasi gawat darurat/IGD)
2. Status rawat inap
3. Format asesmen pasien tahap terminal
4. Formulir permintaan pelayanan kerohanian
5. Buku kunjungan pelayanan kerohanian
6. Surat kematian
Lampiran II DIREKTUR RSUD RATU ZALECHA
Nomor : Tahun 2016
Tanggal :
1/2
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
TanggalTerbit Ditetapkan,
Direktur RSUD
RatuZalechaMartapura
SPO
Drg. YasnaKhairina, MM
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
SPO
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
Tanggal Ditetapkan,
SPO Terbit Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura
Drg. Yasna Khairina, MM
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
Tanggal Ditetapkan,
SPO
Terbit Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura
PERSETUJUAN TINDAKANKEDOKTERAN
RSUD RATU (INFORMED CONSENT)
ZALECHA
MARTAPURA No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/2
Tanggal Ditetapkan,
Terbit Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura
SPO
Drg. YasnaKhairina, MM
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
Kebijakan SK..........................
TanggalTerbit Ditetapkan,
Direktur RSUD
RatuZalechaMartapura
SPO
Drg. YasnaKhairina, MM
NIP. 19650611 199301 2 002
TanggalTerbi Ditetapkan,
t Direktur RSUD Ratu Zalecha Martapura
SPO
KEBIJAKAN
1/2
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
SPO
UNIT 1. Pimpinan RS
2. Kepala unit pelayanan
TERKAIT
3. Kepala unit pengamanan
4. Staf pelaksana pelayanan
5. Staf pelaksana pengamanan
STANDAR Ditetapkan,
PROSEDUR
Direktur RSUD Ratu Zalecha Martapura
OPERASIONAL
Ditetapkan,
SPO
TanggalTerb Ditetapkan,
it Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura
SPO
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
TanggalTerb Ditetapkan,
it Direktur RSUD Ratu Zalecha
Martapura
SPO
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
TanggalTerbit Ditetapkan,
Direktur RSUD
RatuZalechaMartapura
SPO
Drg. YasnaKhairina, MM
1/2
RSUD RATU
ZALECHA
MARTAPURA
RSUD RATU
1/2
ZALECHA
MARTAPURA
SPO
Direktur,
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien :
Nomor Rekam Medis :
Tanggal Lahir :
Alamat :
No. Telp No : :800/ / Raza Martapura, 01 April 2014
Lampiran : - Kepada Yth.
Perihal : Laporan Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
PASIEN DAN/ ATAU WALI HUKUM HARUS MEMBACA, MEMAHAMI
DAN MENGISI INFORMASI BERIKUT Di
Tempat
No
Yang bertandatangan : 800/ ini :
dibawah / Raza Martapura, 01 April 2014
Nama Lampiran: : - Kepada Yth.
Alamat :
No Telp Perihal : : Laporan Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
Di
Selaku Pasien/Wali hukum RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA dengan ini
menyatakan persetujuan : Tempat
V. PRIVASI
TANDA TANGAN
Dengan tanda tangan saya di bawah, saya menyatakan bahwa saya telah
membaca dan memahami item pada Persetujuan Umum/ General Consent.
(SECOND OPINION)
No
Yang bertandatangan di :bawah
800/ ini, saya
/ Raza Martapura, 01 April 2014
Lampiran : - Kepada Yth.
Nama :
Perihal : Laporan Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
Tempat, tanggal lahir : Di
Tempat
Alamat :
No : 800/ / Raza Martapura, 01 April 2014
Dengan ini Lampiran
menyatakan: -permintaan untuk mendapat pendapat Kepada lainYth. (second
opinion) atas :..................................................................................................
Perihal : Laporan Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
Di
Saya memahami perlunya dan manfaat second opinion tersebut sebagaimana
telah dijelaskan kepada saya. Saya telah mendapat Tempat untuk
kesempatan
bertanya dan telah mendapat jawaban yang memuaskan.Saya juga menyadari
bahwa oleh karena ilmu kedokteran bukanlah ilmu pasti dan selalu
berkembang, maka perbedaan pendapat ahli adalah biasa terjadi dalam dunia
kedokteran.Saya menyadari beban biaya second opinion menjadi
tanggungjawab saya.
…………………….. …………………………..
PEMERINTAH KABUPATEN BANJAR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU ZALECHA
Jl.Menteri Empat Martapura Kal-Sel Telp. ( 0511 ) 4789454-4789635 Fax. 4789454-4789635
Email : ratuzalecha@gmail.com
Nama :
Saya bertanggungjawab secara penuh atas segala akibat yang mungkin timbul
sebagaimana akibat tidak dilakukannya pengobatan tersebut.
Martapura, …………………………2016
Pukul ………………………WITA
…………………………
PEMERINTAH KABUPATEN BANJAR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU ZALECHA
Jl.Menteri Empat Martapura Kal-Sel Telp. ( 0511 ) 4789454-4789635 Fax. 4789454-4789635
Email : ratuzalecha@gmail.com
Nama :
Alamat :
No : 800/ / Raza Martapura, 01 April 2014
Selakudirisendiri / isteri / ayah / ibu /anak / kakak / adik / teman / kerabat
dari pasien : Lampiran : - Kepada Yth.
Martapura, ………………….2016
Perawat/Dokter yang
Merawat
……………………………….
PEMERINTAH KABUPATEN BANJAR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU ZALECHA
Jl.Menteri Empat Martapura Kal-Sel Telp. ( 0511 ) 4789454-4789635 Fax. 4789454-4789635
Email : ratuzalecha@gmail.com
Identitas Pasien,
Nama :
PermintaanPerihal : Laporan
Tanggal/Jam : Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
Di
Konfirmasi Petugas Kerohanian :
Tempat
Tanggal/Jam
No Kedatangan
: 800/ : / Raza Martapura, 01 April 2014
Lampiran : - Kepada Yth.
No. Telepon/No. HP :
Perihal : Laporan Kehilangan BMD Kepala BPKAD Kab. Banjar
Di
Tempat
Martapura......,...........................2016
TandaTangan,
…………………………………….. …………………
PEMERINTAH KABUPATEN BANJAR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU ZALECHA
Jl.Menteri Empat Martapura Kal-Sel Telp. ( 0511 ) 4789454-4789635 Fax. 4789454-4789635
Email : ratuzalecha@gmail.com
Jumlah KondisiBarang
Martapura, ………………………
PASIEN/KELUARGA PASIEN
DO NO RESUSCITATE (DNR).
Permintaan ini ditujukan untuk usaha resusitasi pada kondisi terjadinya henti
jantung/nafasNo pada .........................................
: 800/ / Raza Martapura,
(nama pasien), dan01 April
telah2014
diintruksikanLampiran
oleh dokter: yang
- bertandatangan dibawah ini. Intruksi ini sesuai
Kepada Yth.
dengan keingainan pasien dan telah diputuskan dan didokumentasikan oleh
dokter (yang Perihal
bertanda tangan dibawah
: Laporan ini) BMD
Kehilangan bahwa usaha resuitasi
Kepala pada
BPKADpasien
Kab. Banjar
ini dianggap tidak sesuai secara medis.
Di
Intruksi DNR ini harus dihormati seluruh Tim Kegawatdaruratan Tempat Medis,
Pemberi Pertolongan Pertama, dan petugas kesehatan lainnya yang
berhubunganNodengan pasien: 800/dalam situasi / Raza kegawatdaruratanMartapura,
medis. 01 April 2014
Alamat Dokter :
Nomor Telepon :
Tanggal :
DOKUMEN INI HARUS DITUNJUKAN DAN TERSEDIA SETIAP SAAT UNTUK TIM
KEGAWATDARURATAN MEDIS SEBAGAI INTRUKSI UNTUK PEMBERI PERTOLONGAN PERTAMA /
TIM KEGAWATDARURATAN.