Bab III Lingkungan Etika Dan Akuntansi
Bab III Lingkungan Etika Dan Akuntansi
Adam Smith percaya bahwa peran bisnis melalui pasar persaingan bebas akan menciptakan
masyarakat yang lebih sejahtera. Namun harapan Adam Smith tidak sepenuhnya terwujud, di
Amerika Serikat pada tahun 1920an, banyak perusahaan yang melakukan manipulasi laporan
keuangan dan berakhir dengan kepanikan, market crash (kecelakaan pasar), dan depresi
ekonomi yang berkepanjangan. Namun keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II
menyebabkan perekonomian membaik sehingga banyak yang melupakan perilaku perusahaan
yang tidak beretika di masa lalu.
Pada tahun 1970an, bisnis kembali menjadi sorotan. Para eksekutif yang mendapatkan
remunerasinya (imbalan) berdasarkan ukuran perusahaan, berupaya untuk terus
meningkatkan pendapatannya dengan tindakan-tindakan yang merugikan pihak lain,
diantaranya:
1) Untuk menekan biaya dan harga, mereka membuat produk yang membahayakan
konsumen seperti yang terjadi pada Ford Pinto.
2) Melakukan merger dan akuisisi yang menyebabkan perusahaan menjadi besar dan
tidak efisien sehingga merugikan pemegang saham.
3) Terjadi skandal penyuapan di luar negeri untuk mendapatkan kontrak yang dilakukan
Lockheed, sebuah perusahaan yang mendapatkan bantuan dana dari pemerintah akibat
kesulitan keuangan dan keterlibatan perusahaan dalam penggulingan pemerintah
Argentina yang mengancam untuk melakukan nasionalisasi perusahaan tersebut.
Pada tahun 1990an investor institusional mulai terlibat dalam pegendalian perusahaan. Antara
lain mereka mengubah sistem remunerasi eksekutif yang sebelumya berbasis ukuran menjadi
berbasis kinerja, yang kemudian menjadi kompensasi berbasis ekuitas dalam bentuk stock
option. Stock option menjadi instrumen yang ampuh untuk menyelaraskan kepentingan
manajemen dan pemegang saham. Eksekutif terdorong untuk menunjukkan kinerjanya yang
mengesankan pasar, sehingga harga saham perusahaan mengalami kenaikan dan mereka
memperoleh keuntungan dari kenaikan harga saham tersebut.
Persaingan bisnis semakin ketat karena jumlah perusahaan bertambah dengan pemain baru.
Perusahaan kemudian mencoba mencari celah untuk pertumbuhan dengan berbagai cara:
1) Melalui penciptaan keinginan manusia. Perusahaan berlomba-lomba menciptakan
produk-produk baru yang pada akhirnya menimbulkan keinginan-keinginan baru di
dalam masyarakat.
2) Perusahaan bersaing untuk menjadi yang pertama di pasar dan bersaing untuk
merebut konsumen pertama. Hal ini berdampak negatif ketika perusahaan rokok
memperebutkan anak-anak belasan tahun untuk menjadi konsumen pertama mereka.
Sebelum dilarang, mereka membuat iklan dan acara-acara musik yang ditujukan
untuk anak-anak yang relatif muda.
Selain melalui iklan dan promosi, perusahaan juga mendorong konsumerisme melalui:
Keinginan yang tak pernah terpuaskan membuat orang untuk terus dan semakin sering
berbelanja. Pada masyarakat Amerika, 99% barang belanjaan dibuang ke tempat sampah
dalam tempo 6 bulan dan hanya 1% yang benar-benar dimanfaatkan. Pada masyarakat
Australia, lemari dan rumah semakin besar karena mereka lebih suka menyimpan daripada
membuang barang belanjaan yang tidak digunakan tersebut. Suatu ironi di tengah situasi
sumber daya alam yang semakin terbatas, banyak orang yang menyia-nyiakan barang yang
dimiliknya karena sebetulnya tidak dibutuhkannya.
Walaupun persaingan bertujuan agar konsumen menjadi penguasa tertinggi, namun melalui
persaingan perusahaan berupaya untuk menguasai pasar dan pada akhirnya mendapatkan
kekuasaan monopoli. Untuk memperoleh kekuasaan, perusahaan berupaya mematikan atau
mengakuisisi pesaing-pesaingnya.
Secara tradisional, arena utama persaingan adalah harga. Efisiensi dan produktivitas
merupakan kunci keunggulan dalam mengelola harga. Objek utama dalam peningkatan
efisiensi dan produktivitas adalah sumber daya manusia. Berbagai upaya dilakukan dalam
mengelola buruh mulai dari spesialisasi sampai bentuk-bentuk time and motion study agar
kegiatan-kegiatan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Namun upaya ini dikritik
sebagai penekanan buruh untuk bekerja seperti mesin.
Untuk memenangkan persaingan perusahaan tidak sekedar berupaya lebih efisien, lebih
cepat, lebih berkualitas, lebih tepat, dan lebih baik, tapi juga mendahului, menyalip,
menghambat, menghalang-halangi pesaing untuk dapat lebih efisien, lebih cepat, lebih tepat,
lebih berkualitas, dan lebih baik.
Persaingan berubah menjadi peperangan, seperti perang harga, cola war (Coca Cola vs Pepsi
Cola, dan patent war (Apple vs Samsung). Pengelolaan bisnispun bagaikan pengelolaan
perang. Para eksekutif belajar ilmu perang dari filsuf dan pemikir perang seperti Sun Tzu.
Pilihan strategi pertumbuhan lainnya melalui investasi pada instrumen investasi derivatif.
Investasi ini diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat namun dapat
menimbulkan kerugian yang begitu besar yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan,
bahkan mengurangi perekonomian secara keseluruhan.