Anda di halaman 1dari 116

DRAF BAHAN AJAR

FISIKA STATISTIK

Anggoro Budi Susilo

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

1
Kata Pengantar

Pada umumnya wujud zat bisa berbentuk padat, cair, maupun gas. Partikel

sebagai penyusun zat memiliki jumlah yang sangat besar. Sebagai contoh, gas pada

temperature ruang, dalam tekanan 1 atmosfer dengan volume 1 cm3, memiliki

jumlah 2 x 1019 molekul. Secara teoritik memungkinkan untuk menuliskan

persamaan-persamaan gerak dari molekul-molekul tersebut. Dari persaman-

persamaan ini dapat ditentukan posisi, laju, dan keterkaitan posisi, laju terhadap

waktu dapat ditetapkan energy rata-rata molekul dan akhirnya bisa ditetapkan

energy system.

Namun demikian merumuskan persamaan-persamaan gerak ini tidak mudah.

Karena posisi, laju molekul tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan.

Variabel yang berpengaruh dalam lingkungan ini seperti volume, tekanan,

temperature dan entrophi. Selanjutnya variable-variabel ini yang disebut dengan

koordinat termodinamika. Di dalam termodinamika pembahasannya dibagi dalam

dua kelompok, yakni termodinamika klasik dan termodinamika statistik.

Di dalam termodinamika klasik pembahasannya tinjauan secara

makroskopik. Dijelaskan bahwa sifat-sifat zat akan berubah bila system menerima

atau melepaskan kalor. Bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh koordinat

termodinamika seperti tekanan, volume, temperature dan entrophi, dan besaran ini

dapat diukur secara langsung dengan alat ukur. Sehingga besaran yang diukur di

dalam skala lab tanpa memperhatikan susunan atomnya.

2
Di dalam termodinamika statistic pembahasannya tinjauan secara

mikroskopik. Pembahasan termodinamika statistic sangat luas, sehingga

dikelompokkan ke dalam dua bidang, yakni teori kinetika dan mekanika statistic. Di

dalam teori kinetika membahas tentang sifat-sifat, laju, energi partikel. Sementara

dalam mekanika statistika membahas tentang keseimbangan system. Oleh karena

itu besaran-besaran yang diukur harus memperhatikan susunan atomnya.

Dinamika partikel dari tinjauan secara makroskopik dan mikroskopik tersebut,

diperlukan pemahaman tentang sistem binomial dan polynomial, probabilitas

distribusi diskret dan kontinu, persamaan Poisson dan Gauss. Persamaan-

persamaan diferensial koordinat dan potensial termodinamik sangat bermanfaat

untuk merumuskan fluks partikel, distribusi laju, distribusi energy, asas bagi rata

energy, jalan bebas rata-rata. Persamaan transport, keadaan mikro, keadaan makro

digunakan untuk memahami dinamika dalam perambatan energy. Distribusi

Maxwell-Boltzmann diperlukan untuk aplikasinya dalam gas ideal, distribusi Bose-

Einstein diperlukan untuk aplikasinya dalam radiasi benda hitam, hukum pergeseran

Wien, dan hukum Stefan-Boltzmann, distribusi Fermi-Dirac untuk aplikasinya dalam

elektron yang merambat dalam zat padat. Dan ensambel kanonik dan mikrokanonik

untuk memahami system keseimbangan.

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


1.2 Tujuan
1.3 Manfaat

BAB II Fungsi Distribusi dan Probabilitas

2.1 Fungsi Distribusi Diskret


2.2 Probabilitas Fungsi Distribusi Diskret
2.3 Fungsi dan Probabilitas Distribusi Kontinu
2.4 Persamaan Poisson
2.5 Persamaan Gauss

BAB III Koordinat dan Potensial dan Koordinat Termodinamika

3.1 Potensial Teromodinamika


3.2 Koordinat Termodinamika
3.3 Persamaan Diferensial Paradoks Gibbs
3.4 Persamaan Diferensial Entalphi
3.5 Persamaan Diferensial Energi Dalam
3.6 Persamaan Diferensial Fungsi Energi Helmholtz

4
BAB IV Teori Kinetika Gas

4.1 Fluks Partikel


4.2 Hubungan Laju dengan Tekanan dan Temperatur
4.3 Penyimpangan Sifat Ideal Persamaan Keadaan

BAB V Distribusi Kecepatan dan Laju Partikel Gas

5.1 Distribusi Laju dan Kecepatan Menurut Maxwell


5.2 Distribusi Laju dan Kecepatan Menurut Maxwell-Boltzmann
5.3 Distribusi Energi
5.4 Azas Equipartisi Energi
5.5 Kapasitas Termal pada Volume dan Tekanan Tetap
5.6 Konstranta Laplace

BAB VI Gejala Transport

6.1 Persamaan Transport


6.2 Jalan bebas Rata-rata
6.3 Koefisien Viskositas
6.4 Koefisien Difusi

Bab VII Statistika Maxwell-Boltzmann

7.1 Keadaan Makro dan Mikro dalam Sistem


7.2 Distribusi Partikel Maxwell-Boltzmann
7.3 Fungsi Partisi
7.4 Penerapan Statistika Maxwell-Boltzmann pada Gas Ideal

5
BAB VIII Statistika Bose-Einstein

8.1 Distribusi Bose-Einstein


8.2 Pancaran Benda Hitam
8.3 Hukum Pergeseran Wien
8.4 Hukum Stefan-Boltzmann

BAB IX Statistika Femi-Dirac

9.1 Distribusi Fermi-Dirac


9.2 Elektron dalam Zat Padat
9.3 Ensambel Kanonik dan Mikrokanonik

DAFTAR PUSTAKA

GLOSSARY

INDEKS

6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai pengantar dalam bab ini akan dijelaskan ruang lingkup pembahasan

fisika statistik, Bahwa dalam memahami fisika statistik memiliki cara yang berbeda

bila dibandingkan dengan cara memahami mata kuliah fisika lain seperti

termodinamika, gelombang dan mekanika. Dalam fisika statistik pembahasan diawali

dengan persoalan-persoalan yang bersifat abstrak, yang sebenarnya merupakan

bahan kajian bidang matematika seperti permutasi dan kombinasi. Namun demikian

persoalan fisika statistik tidak bisa dipandang hanya sebagai pesoalan statistik

matematik semata yang diberikan syarat batas fisis, sehingga memberikan kesan

yang tampak bahwa persoalan matematika murni menjadi persamaan yang memiliki

interprestasi fisis. Tentu saja cara pandang demikian diperlukan pemahaman secara

abstrak yang tinggi, dan menimbulkan kesan sangat sulit.

Pada umumnya wujud zat bisa berbentuk fasa padat, cair, maupun gas.

Ketika berbentuk fasa gas, maka zat tersebut tersusun oleh kumpulan partikel-

partikel gas, partikel atomik atau sub atomik lainnya. Untuk menganalisis gas ini kita

tidak bisa menghindari dari statistik. Partikel sebagai penyusun zat memiliki jumlah

yang sangat besar. Sebagai contoh, gas pada temperature ruang, dalam tekanan 1

atmosfer dengan volume 1 cm3, memiliki jumlah 2 x 1019 molekul. Secara teoritik

memungkinkan untuk menuliskan persamaan-persamaan gerak atau fungsi

distribusi dari partikel-partikel tersebut. Akan tetapi tiap partikel memiliki enam

7
variabel untuk mendiskribsikan dengan lengkap keadaan geraknya, yakni tiga

koordinat ruang dan tiga komponen momentum. Sangat tidak mungkin menjelaskan

dinamika partikel tersebut satu per satu dengan jumlah partikel yang demikian

banyak. Pendekatan yang diberikan dalam fisika ststistik adalah melihat sifat rata-

rata dari partikel-partikel tersebut tanpa harus melihat partikel secara tunggal.

Dari persaman-persamaan atau fungsi distribusi ini dapat ditentukan posisi,

laju, dan keterkaitan posisi dan laju terhadap waktu dapat ditetapkan energy rata-

rata molekul dan akhirnya bisa ditetapkan energi sistem. Namun demikian

merumuskan persamaan-persamaan gerak atau fungsi distribusi ini tidak mudah.

Karena posisi, laju molekul tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan.

Variabel yang berpengaruh dalam lingkungan ini seperti volume, tekanan,

temperature dan entrophi. Selanjutnya variabel-variabel ini yang disebut dengan

koordinat termodinamika.

Di samping itu pembahasan dalam termodinamika dikelompokkan ke dalam

dua kategori, yakni termodinamika klasik dan termodinamika statistik. Di dalam

termodinamika klasik pembahasan ditinjau secara makroskopik, yakni sifat-sifat zat

akan berubah bila sistem menerima atau melepaskan kalor. Bahwa perubahan

tersebut bergantung pada variabel fisis seperti tekanan, volume, temperature dan

entrophi, variabel-variabel sebagai koordinat perubah yang disebut koordinat

termodinamika. Di mana besar koordinat termodinamika ini dapat diukur secara

langsung dalam skala lab tanpa memperhatikan susunan atomnya.

8
Di dalam termodinamika statistik pembahasan ditinjau secara mikroskopik.

Pembahasan termodinamika statistik sangat luas, sehingga dikelompokkan ke

dalam dua bidang, yakni teori kinetika dan mekanika statistik. Di dalam teori kinetika

membahas tentang sifat-sifat, laju, energi partikel. Sementara dalam mekanika

statistika membahas tentang keseimbangan sistem. Oleh karena itu besaran-

besaran yang diukur harus memperhatikan susunan atomnya.

Dinamika partikel dari tinjauan secara makroskopik dan mikroskopik tersebut,

diperlukan pemahaman tentang sistem binomial dan polynomial, probabilitas

distribusi diskret dan kontinu, persamaan Poisson dan Gauss. Persamaan-

persamaan diferensial koordinat dan potensial termodinamik sangat bermanfaat

untuk merumuskan fluks partikel, distribusi laju, distribusi energi, asas bagi rata

energi, jalan bebas rata-rata. Persamaan transport, keadaan mikro, keadaan makro

digunakan untuk memahami dinamika dalam perambatan energi. Distribusi Maxwell-

Boltzmann diperlukan untuk aplikasinya dalam gas ideal, distribusi Bose-Einstein

diperlukan untuk aplikasinya dalam radiasi benda hitam, hukum pergeseran Wien

dan hukum Stefan-Boltzmann, distribusi Fermi-Dirac untuk aplikasinya dalam

elektron yang merambat dalam zat padat. Dan ensambel kanonik dan mikrokanonik

untuk memahami system keseimbangan.

9
1.2 Tujuan

1. Memahami sistem binomial dan polynomial, probabilitas dalam distribusi diskret

dan kontinu.

2. Memahami persamaan Poisson dan Gauss.

3. Mengkonstruksi fungsi distribusi laju, energi, momentum serta aplikasinya.

4. Memahami fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann dan aplikasinya dalam gas

ideal.

5. Memahami fungsi distribusi Bose-Einstein dan aplikasinya dalam radiasi benda

hitam, hukum pergeseran Wien, dan hukum Stefan-Boltzmann.

6. Memahami fungsi distribusi Fermi-Dirac dan aplikasinya dalam elektron yang

merambat dalam zat padat.

1.3 Manfaat

Pembahasan dalam ilmu fisika sedemikian luas, sementara dalam Fisika

Klasik berlakunya sangat terbatas. Artinya banyak kejadian didalam Fisika Modern,

Fisika Zat Padat, Fisika Kuantum ataupun lainnya tidak bisa dipecahkan dengan

menggunakan tinjauan secara klasik. Di sisi lain perlu cara untuk mengelaborasi dari

dua sisi pandang tersebut, maka Fisika Statistik dapat digunakan untuk membantu

memecahkan persoalan tersebut. Sehingga mata kuliah Fisika Statistik bermanfaat

sebagai jembatan antara Fisika Klasik dengan Fisika Modern maupun Fisika

Kuantum, serta cabang ilmu fisika lainnya.

10
BAB II

FUNGSI DISTRIBUSI DAN PROBABILITAS

2.1 Fungsi Distribusi Diskret

Fungsi distribusi pada umumnya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni

fungsi distribusi diskret dan fungsi distribusi kontinu. Banyak contoh kasus untuk

mempelajari fungsi distribusi diskret, sebagai contoh dalam satu kejadian muncul

dua pilihan. Seperti pernyataan yang hanya memiliki dua jawaban, yakni apakah

pernyataan yang dimaksud benar atau salah. Contoh lain, seorang wanita akan

melahirkan, maka hanya ada dua pilihan yakni lahir anak laki-laki atau perempuan,

dan lainnya. Bila kejadian-kejadian seperti ini terjadi berulang maka akan membetuk

distribusi binomial. Selanjutnya bila dalam sistem untuk satu kejadian memiliki tiga,

empat, dan seterusnya pilihan, maka apabila kejadian ini berlangsung berulang akan

membentuk distribusi polynomial.

Sebagai contoh dalam distribusi binomial, apabila peluang/probabilitas munculnya

pilihan 1 disebut a1 dan peluang/probabilitas muncul pilihan 2 disebut a2, jika

kejadian hanya terjadi satu kali saja maka kombinasi pilihannya ada dua yakni a1

atau a2. Kejadian ini merupakan bentuk aljabar yang dinyatakan sebagai berikut:

(a1  a2 )1  a1  a2

11
Bila kejadian terjadi dua kali, maka urutan kejadiannya adalah a1a1, a1a2, a2a1 a2a2,

jadi ada 4 kombinasi. Bentuk aljabarnya adalah:

(a1  a2 ) 2  a1a1  a1a2  a2 a1  a2 a2

atau (a1  a2 ) 2  a12  2a1a2  a22


Bila kejadian terjadi tiga kali, maka bentuk aljabarnya adalah:

(a1  a2 ) 3  a13  3a12 a2  3a1a22  a23

Dan seterusnya, maka kombinasi yang terjadi dalam sistem ini dirumuskan sebagai

berikut:

a1  a 2 N   N! a1 n a 2 N n
n!N  n ! …………………………………… 2.1

Di mana N  jumlah kejadian, dan

n  ( N  n)  N

Selanjutnya bila dalam sistem untuk satu kejadian memiliki tiga pilihan, maka apabila

kejadian ini berlangsung berulang akan membentuk distribusi polynomial dengan

formulasi umum sebagai berikut:

N
a1  a2  a3  N

N! v v v
.a1 1 a 2 2 a3 3
0 v1!v2 !v3 ! ………………….…… … 2.2

Dengan v1  v2  v3  N

12
Dengan cara yang sama jumlah kombinasi system untuk system polynomial dengan

aμ pilihan dengan N kejadian dirumuskan sebagai berikut:

a  a  ...  a   
N N!   
a1 1 a2 2 ...a
 1!. 2!...  !
1 2
…………………….…… 2.3

Di mana 1  2  ...    N

2.2 Probabilitas Fungsi Distribusi Diskret

Misalkan suatu peristiwa terjadi sebanyak N kejadian, maka di dalam

statistika dari sejumlah kejadian tersebut, maka jumlah probabilitas atau

kebolehjadian berharga 1, yang dinyatakan  P N   1 . Di samping itu dapat

ditentukan nilai yang diperkirakan/diharapkan (expectation), nilai rerata (average),

variansi dan standar deviasi/simpangan baku. Misalkan di dalam keranjang terdapat

N buah bola yang berwarna merah, biru, kuning dan hijau, jika akan diambil n buah

bola berwarna merah, maka nilai rerata dinyatakan sebagai berikut:

n   n.PN 
…………………….…………………………………..… 2.4

Kwadrat rerata dinyatakan sebagai

n 2   n 2 .PN 
…………………….….…………………………..… 2.5

Variansi dinyatakan sebagai berikut:

13
 2   (n  n ) 2 PN    (n2  2n n  n ) PN 
2

  n2 .PN   2 n  n.P( N )   P( N )
2
n

 n2  2 n  n
2 2

 2  n2  n
2

……………………………………….………………….. 2.6

Sebagai ilustrasi, misalkan uang logam dilemparkan sekali maka

kemungkinan akan muncul adalah angka (A) atau gambar (G).. Apabila muncul

angka (A) terjadi dengan kebolehjadian p dan muncul gambar dengan kebolehjadian

q. Maka berlaku p + q = 1.

Contoh 1:

Uang logam dilemparkan sebayak 3 kali, maka urutan kejadian dan kebolehjadian

pada lemparan I, II, III sebagai berikut:

Urutan kejadian Kebolehjadian

I II III

A A A ppp = p3
A A B ppq = p2 q
A B A pqp = p2 q
B A A qpp = p2 q
B B A qqp = p q2
B A B qpq = p q2
A B B pqq = p q2
B B B qqq = q3

Kebolehjadian 2 kali muncul angka dari 3 kali peristiwa dinyatakan sebagai: P

(A muncul 2 kali) = P2 (3).

14
Di mana P2 (3) = p2 q + p2 q + p2 q = 3 p2 q

Dalam kasus ini N = 3 dan n = 2, jadi nilai 3 pada 3 p2 q dicari dengan rumus

kombinasi.

3! 2
P2 (3)  pq
2!.1!

Contoh 2:

Uang logam dileparkan sebayak 10 kali.

10! 10
Kebolehjadian semua muncul angka dinyatakan P10 (10)  p
10!.0!
10! 9
Kebolehjadian semua muncul 9 angka dinyatakan P9 (10)  p q
9!.1!
10! 8 2
Kebolehjadian semua muncul 8 angka dinyatakan P8 (10)  p q
8!.2!
dan seterusnya hingga semua muncul gambar dengan kebolehjadian

10! 10
P0 (10)  q
0!.10!
Maka jumlah kebolehjadian:

P0 (10)  P1 (10)  P2 (10)  ...  P10 (10)  1

Jumlah kebolehjadian secara umum dinrumuskan sebagai berikut:

10 10
10!

n 0
Pn (10)  
n 0 n!.(10  n)!
p n q 10 n

 ( p  q)10  1

15
Jadi suatu peristiwa yang terjadi sebanyak N kejadian dapat ditentukan

kebolehjadian untuk kejadian yang ke-n. dan jumlah kebolehjadian dalam bentuk

umum yang dirumuskan:

Pn N  
N!
p n q N n
n!N  n !
N N

 P N    n!N  n! p q   p  q  1
N! n N n N
n
n 0 n 0

 P N    n!N  n! p
N!
Dengan menggunakan persamaan n
n
q N n
n 0

dapat ditentukan nilai ekspektasi <n> dan nilai standar deviasi σ.

Menentukan nilai ekspektasi <n>:

N
n   n.Pn N 
n 0

N
N!
 n p n q N n
n 0 n!N  n !

N
N!
 n p n q N n
n 0 n(n  1)!N  n !

N
N!
 p n q N n
n 1 ( n  1)! N  n !

N
N ( N  1)!
 p. p n1q ( N 1)( n1)
n 1 (n  1)! N  1  n  1

N
( N  1)!
 Np  p n1q ( N 1)( n1)
n 1 ( n  1)! N  1  n  1

16
 Np. p  q   p  q N 1 = 1maka diperoleh nilai
N 1
, karena nilai

ekspektesi <n> besarnya:

n  Np .................................................................................... 2.7

Menentukan nilai standar deviasi σ:

Untuk menentukan standar deviasi σ, harus dicari terlebih dahulu nilai variansi σ2.

Seperti telah diketahui dalam probabilitas dalam distribusi diskret, bahwa variansi

σ2 = <n2> - <n>2. Telah diperoleh nilai ekspektasi <n> = Np, sehingga nilai rata-rata

kwadrat <n>2 = N2p2. Sementara nilai kwadrat rata-rata <n2> dicari dengan cara

sebagai berikut:

N
n 2   n 2 .Pn N 
n 0

N
N!
  n2 p n q N n
n 0 n!N  n !

N
N!
 n p n q N n
n 1 (n  1)!.N  n !

N
  n  1  1
N!
p n q N n
n 1 (n  1)!.N  n !

N N
N! N!
  (n  1) p n q N n  p n q N n
n 1 (n  1)!.N  n ! n 1 ( n  1)!. N  n !

N
N!
 p n q N n Np
n  2 (n  2)!. N  n !

N
N ( N  1)( N  2)!
 p 2 p n2 q ( N 2)( n2) Np
n  2 ( n  2)!. N  2 n  2 !

17
N
( N  2)!
 N N  1 p 2  p n2 q ( N 2)( n2) Np
n2 ( n  2 
)!.  N  2   n  2 !

 N N  1 p 2  Np

n 2  N 2 p 2  Np 2  Np

Substitusi nilai kwadrat rata-rata dan rata-rata kwadrat diperoleh variansi sebagai

berikut:

 2  n2  n
2

 ( N 2 p 2  Np 2  Np)  N 2 p 2

 Np.(1  p) , karena (p + q) = 1, maka (1 – p) = q, sehingga:

 2  Npq

Dari variansi diperoleh standar deviasi nilainya sebesar:

  Npq ……………………………………………………………….. 2.8

2.3 Fungsi dan Probabilitas Distribusi Kontinu

Misalkan suatu data pengukuran dengan x sebagai variable perubah, dan

variable-variabel tersebut membentuk fungsi f(x), maka f(x) merupakan fungsi

distribusi. Dalam pembahasan sebelumnya apabila pengukuran pertama x1 dan

pengukuran kedua x2, dengan selisih pengukuran Δx. Apabila Δx memiliki

perbedaan yang kontras, dan bila digambarkan dalam bentuk grafik maka selisih

tersebut diskontinu, maka distribusi seperti ini merupakan distribusi yang bersifat

diskret. Akan tetapi apabila selisih Δx ~0, sehingga grafik fungsi membentuk grafik

18
yang kontinu. Apabila fungsi distribusi dinyatakan dengan f(x) maka f(x) dx

merupakan kebolehjadian dalam ruang antara x and x + dx. Seperti dalam distribusi

diskret bahwa jumlah kebolehjadian nilainya = 1, maka jumlah kebolehjadian dalam

distribusi kontinu yakni integral fungsi antara -~ sampai ~ berharga 1. Angka 1,

menyatakan suatu kepastian suatu probabilitas dan dirumuskan sebagai berikut:

 f x dx  1 ……………………………………………………….

2.9

Fungsi distribusi tersebut memiliki sifat yang simetri, artinya jumlah kebolehjadian

dengan batas antara -~ sampai 0 dan 0 sampai ~ nilainya juga = 1, dirumuskan

sebagai berikut:

0 

 f x dx   f x dx  1
 0

0 

Atau 2  f x dx  2 f x dx  1 ……………..……………………….. 2.10


 0

Nilai ekspektasi atau rerata <x> dan varians σ dari fungsi distribusi diatas dinyatakan

sebagai

 x   x. f ( x)dx

 2   x   x   f ( x)dx  x 2    x  2
2

19
Fungsi distribusi f(x) di dalamnya mengandung informasi yang diperlukan dalam

fungsi, pada umumnya fungsi distribusi f(x) tersebut diatas berbentuk fungsi

eksponensial.

2.4 Persamaan Poisson

Gambar berikut mengilustrasikan posisi sebuah partikel dalam ruang λ.


• • • λ

Kebolehjadian menemukan sebuah partikel dalam selang  ’ jika jarak rata-rata

 
antara dua buah titik itu   . Kebolehjadian tidak ada titik sama sekali = 1  .
 

Jika didefinisikan :

P0   ≡ kebolehjadian tidak ada titik dalam 


  
P0     ≡ kebolehjadian tidak ada titik dalam      P0  1  
  

Dalam uraian deret Taylor:

  
P      P0     P0    P0    P0  
   


 P0  



P0   ln P0   
1
 C
 

20


P0    C ' e 



Jika  kecil , maka C’ = 1, maka: P0    e 



Dari P0    e 
dapat dirumuskan fungsi didtribusi sebagai berikut:

 
  
f    e atau f   

1 
e
 


• • • ξ

  
 
f   
1
e  atau P0     e
 

Dengan f  .P1     , dapat ditentukan P2   , P3   dan seterusnya.

   
       

P2     e  
e 

0     

Integrasi persamaan ini diperoleh:


1   
2

P2      e 
2


1    
3

P3      e
3.2   

21

1    
4

P4      e
4.3.2   

Maka distribusi Poisson secara umum dirumuskan sebagai:


  1   
n

Pn      e  …………………………………………………. 2.11
   n!   

2.5 Persamaan Gauss

Pada umumnya suatu fungsi distribusi, misalnya dengan variable x dengan

rentang yang sangat besar yakni dari -~ sampai ~, maka pada umumnya fungsi

distribusi berbentuk eksponensial. Misalkan fungsi distribusi tersebut dinyatakan

sebagai:

f ( x)  A.e   x 
2
,……………………………………………… 2.12

dengan A ,  dan  adalah konstanta

Sesuai dengan fungsi distribusi kontinu, bahwa total kebolehjadian pada fungsi

dengan syarat batas -~ sampai ~ bernilai 1 yang diformulasikan sebagai berikut:

 f ( x).dx  1


Substitusi fungsi distribusi f(x) kedalam persamaan diferensial tersebut dinyatakan:

22

  x  
 A.e
2
dx  1



2 A  e   x   dx  1
2

Atau
0

Untuk menentukan konstanta A ,  dan  gunakan fungsi Gamma.


1 n 1
x e
n  ax2
dx  n 1
0 2
2
2a


2 A  e   x   dx  1
2

Intergrasi persamaan
0


2 A  e   x  .d ( x   )  1
2

 
 1 0 1
2A 1
 021 2 
 2 
  
2 A  1
2  

A. 1


diperoleh konstanta A  . …………………………………………………… 2.13

Untuk menentukan konstanta  gunakan ekspektasi <x> dari fungsi distribusi ini

23

 x   x. f ( x)dx



 2 x. A.e ( x  ) dx
2


  ( x  )
 2 x. d (x   )
2
.e
0

  

 
 ( x  )
2       e  ( x  ) d ( x   )
2 2
( x ).e d ( x )
 0 0 

Persamaan ini merupakan fungsi genap, sehingga suku pertama berharga nol. maka

persamaannya menjadi:

 

 x  2    e ( x  ) d ( x   )
2

0
 0 

  
2  
 2 

 x   ………………………………………………………………. 2.14

Maka diperpleh konstanta   x 

Untuk menentukan konstanta  gunakan variansi  2 dari fungsi distribusi ini


 2   ( x  x ) 2 . f ( x)dx



 2  2 ( x   )2 . A.e ( x  ) dx
2


 0
2 ( x   )2 .e ( x  ) d ( x   )
2

24
 2 1 
 
 2 
2
  221 
 2 
 

1 
  
 2
2  
  2  
 

1
2 
2

1
Maka diperoleh konstanta   ……………………………………………….. 2.15
2 2

Dengan diperolehnya konstanta A,  and , sehingga fungsi distribusi dirumuskan

dalam bentuk sebagai berikut:


 x  x  2
1
f ( x)  .e 2 2

2 2 ……………………………………. 2.16

f(x)

1
2 2

<x> x

Gambar 1: Grafik fungsi distribusi Gauss

25
Persamaan ini merupakan fungsi distribusi Gauss atau fungsi distribusi normal.

Variabel x di dalam fungsi f(x) mempunyai jenis yang beraneka ragam. Variabel x

bisa berupa data pengukuran, nilai ujian, atau variabel lainnya. Misalkan variable x

dalam sistem koordinat merupakan titik atau posisi, maka dapat digambarkan

distribusi titik dari x, sehingga f(x) dapat digambarkan sebagai grafik yang

menyatakan fungsi distribusi titik. Dari grafik funbgsi tersebut dapat ditentukan

besaran statistik, seperti posisi titik rata-rata, standar deviasi dan lain-lain. Namun

demikian apabila variable x diganti dengan variabel fisis, misalnya kecepatan

partikel, momentum partikel, energi partikel, maka dapat dirumuskan fungsi distribusi

kecepatan, fungsi distribusi momentum maupun fungsi distribusi energi. Hanya saja

bentuk formulasi fungsinya tentu akan berbeda, karena variabelnya berbeda.

Bahasan berikutnya akan ditinjau bagaimana penerapan fungsi distribusi ini ke

dalam distribusi dengan menggunakan variable fisis.

26
BAB III

POTENSIAL DAN KOORDINAT TERMODINAMIKA

3.1 Potensial Termodinamika

Misalkan di dalam ruangan terdapat N buah partikel gas, di dalam ruangan

memiliki tekanan P, volume V dan temperature T. Variabel-variabel tekanan volume

dan temperature ini akan mempengaruhi besar energi di dalam system. Berdasarkan

termodinamika klasik bahwa tinjauannya secara makroskopik, yakni energi system

akan berubah apabila variable-variabel tersebut berubah. Apabila energi dalam

system dinyatakan sebagai U, dan energi dalam ini merupakan fungsi dari variable

tekanan, volume dan temperature, maka energi dalam ini dinyatakan sebagai

U(P,V,T). Apabila ketiga variable ini secara bersama-sama berpengaruh terhadap U,

maka persamaan diferensial parsialnya dinyatakan sebagai berikut:

 U   U   U 
dU    dP    dV    dT ………………………… 3.1
 P V ,T  V  P ,T  T  P ,V

Suku pertama pada persamaan tersebut merupakan perubahan energi dalam

terhadap tekanan dalam kondisi volume dan temperature konstan, suku kedua

merupakan perubahan energi dalam terhadap volume dalam kondisi tekanan dan

temperature konstan dan suku ketiga merupakan perubahan energi dalam terhadap

temperature dlam kondisi tekanan dan volume konstan.

Namun demikian tidak selamanya ketiga variable tersebut secara bersama-

sama berpengaruh dalam system. Misalnya system dikondisikan tekanan tidak

27
berubah, atau volume tidak berubah atau temperaturnya tidak berubah. Sehingga

energinya yang terjadi hanya bergantung dua variable saja. Dengan demikian, akan

diperoleh energi-energi sistem yakni energi dalam (internal energy), entalphy,

paradoks Gipp’s dan energi Helmholtz. Energi-energi ini memiliki potensi berubah

karena perubahan variabel fisis, sehingga energi-energi ini disebut potensial

termodinamika.

3.2 Koordinat Teromodinamika

Seperti yang dimaksud pada penjelasan dalam potensial termodinamika,

bahwa perubahan energi system meliputi energi dalam, entalphy, paradog Gipps

dan energi Helamholtz ditentukan oleh variabel-variabel fisis tekanan, volume,

temperatur dan satu koordinat lagi yang menentukan keteraturan partikel di dalam

system yaitu entrophy. keempat variable fisis ini merupakan koordinat

termodinamika. Jadi perubahan energi system ditentukan perubahan kondisi

lingkungan yang sebabkan perubahan koordinat termodinamika tersebut.

Bagaimana bentuk persamaan diferensial yang menyatakan perubahan energi

dalam, entalphy, paradox Gibbs dan energi Helmholtz akibat perubahan koordinat

termodinamika variable tekanan, volume, temperature dan entrophy, maka

digambarkan diagram mnemonic sebagai berikut:

28
Potensial termodinamika:
G = paradox Gibbs
H = entalphy
U = energy dalam
A = energy Helmholtz

Koordinat termodinamika:
P = tekanan
S = entrophy
V = volume
T = temperatur
Gambar 2: Diagram mnemonic potensial
dan koordinat termodinamika

3.3 Persamaan Diferensial Paradoks Gibbs

Pada prinsipnya semua koordinat termodinamika berpengaruh pada

perubahan energi. Perhatikan pada diagram mnemonic pada paradog Gibbs variabel

entrophy dan volume memiliki nilai konstan. Sementara variabel temperature dan

tekanan merupakan variable bebas. Sehingga G merupakan fungsi dari T dan P

atau G = f(T,P), dengan persamaan diferensial dinyatakan:

dG  S.dT  V .dP ………………………………………………..…. 3.2

Namun demikian perubahan energi paradog Gibbs dalam system dapat

dikondisikan. Bila system dikondisikan adiabatic atau pada temperature tetap dT =

0, maka persamaan diferensial G menjadi dG  V .dP

 G 
Sehingga persamaan diferensial parsialnya berbentuk    V . Dengan
 P  T

demikian diperoleh volume yakni perubahan paradog Gibbs terhadap tekanan pada

temperature tetap.

29
Akan tetapi bila dikondisikan pada tekanan tetap (dP = 0), maka dG  S.dT

 G 
Sehingga persamaan diferensial parsialnya berbentuk     S . Dengan
 T  P

demikian diperoleh entrophy yakni perubahan paradog Gibbs terhadap temperatur

pada tekanan tetap.

3.4 Persamaan Diferensial Entalphi

Seperti pada persamaan diferensial pada paradog Gibbs, maka pada

entalphy temperature dan volume sebagai variable tetap, sementara entrophy dan

tekanan sebagai variable yang berubah. Atau H sebagai fungsi S dan P, yang

dinyatakan sebagai H = f(S,P), dengan persamaan diferensial adalah:

dH  T .dS  V .dP …………………………………………………………. 3.3

Apabila system dikondisikan pada entrophy tetap (dS = 0), maka persamaan

 H 
entalphy menjadi dH  V .dP atau   V . Selanjutnya bila system
 P  S

 H 
dikondisikan tekanan tetap, persamaan menjadi dH  T .dS atau   T
 S  P

3.5 Persamaan Diferensial Energi Dalam

Untuk energi dalam U, temperature dan tekanan merupakan variable tetap,

sementara S dan V sebagai variable bebas atau U = f(S,V). Bentuk persamaan

diferensial energi dalam dinyatakan sebagai:

dU  T .dS  P.dV ………………………………………………………. 3.4

30
Jika system dikondisikan dengan entrophy tetap (dS = 0), maka

 U 
dU   P.dV atau     P . Sementara bila system dikondisikan dengan
 V  S

volume tetap (dV = 0), maka persamaan diferensial energi dalam menjadi

 U 
dU  T .dS atau   T
 S V

3.6 Persamaan Diferensial Fungsi Energi Helmholtz

Untuk energi Helmholtz, temperature dan volume merupakan variable tetap,

sementara T dan V sebagai variable bebas atau A = f(T,V). Bentuk persamaan

diferensial energi dalam dinyatakan sebagai:

dA  S.dT  P.dV ……………………………………………………. 3.5

Jika system dikondisikan dengan temperatur tetap (dT = 0), maka

 A 
dA   P.dV atau     P . Sementara bila system dikondisikan dengan
 V  T

volume tetap (dV = 0), maka persamaan diferensial energi Helmholtz menjadi

 A 
dA  S.dT . atau    S
 T V

31
BAB IV

TEORI KINETIKA GAS

Di dalam termodinamika, apabila suatu sistem di dalamnya terdapat N buah

partikel, maka persamaan keadaan dalam sistem berbentuk hubungan antara

besaran-besaran makroskopik yakni besaran fisis yang nilainya terukur, besaran

makroskopik tersebut adalah tekanan, volume dan temperatur. Sehingga fungsi

keadaan bergantung pada variabel-variabel tersebut dinyatakan sebagai f(P,V,T).

Untuk gas riil akan terjadi interaksi antar partikel penyusunnya, sehingga bentuk

persamaan keadaan akan lebih kompleks. Pembahasan teori kinetika gas dalam

bab ini dipilih gas ideal. Karena sifat gas ideal lebih mudah dipahami bila

dibandingkan dengan gas riil. Untuk memudahkan dalam memahami sifat-sifat gas

ideal maka dibuat model gas ideal dengan asumsi sebagai berikut:

a. Gas ideal terdiri atas partikel-partikel yang sangat besar jumlahnya

b. Partikel-partikelnya tersebar merata di seluruh ruang yang tersedia

c. Partikel-partikel senantiasa bergerak secara acak ke segala arah

d. Jarak antar partikel jauh lebih besar dari pada ukuran partikel, karena partikel

dianggap sebagai titik.

e. Tidak ada gaya interaksi antar partikel kecuali karena tumbukan

f. Semua tumbukan, baik tumbukan antar partikel maupun tumbukan antar

partikel dengan dinding terjadi secara lenting sempurna

g. Hukum-hukum Newton tentang gerak dapat berlaku dalam sistem ini.

32
Bila dalam suatu ruangan berbentuk bola dengan jari-jari ρ, memiki volume V

N
terdapat N buah partikel, dengan densitas partikel   . Bila partikel-partikel
V

tersebut bergerak ke segala arah, dan saling bertumbukan antar partikel dengan

partikel, partikel dengan dinding bola. Maka banyak partikel yang mampu menabrak

dinding pada elemen luas dA = ρ2 sin θ dθ dφ. Bila banyak partikel yang mampu

menumbuk elemen luas dA dinyatakan dengan dN, maka dengan menggunakan

rasio dN dengan dA diperoleh hubungan:

dN N
 …………………….…………………………………… 4.1
dA A

N . sin  .d .d


Maka dN  …………………………………………. 4.2
4

dA

ρ dθ

ρ sin θ dφ

Gambar 3: Ruang berbentuk bola yang berisi N partikel

33
Jika partikel memiliki laju antara v dan v + dv, θ dan θ + dθ serta φ dan φ + dφ,

maka banyak partikel yang mampu menembus elemen luas A pada bola:

N . f (v) sin  .dv.d .d


dN  ………………………………………… 4.3
4

. f (v) sin  .dv.d .d


Atau d  ………………………………………… 4.4
4

Dimana N . f (v)dv ≡ rapat kebolehjadian total

. f (v).dv. ≡ rapat kebolehjadian tiap satuan volume

4.1 Fluks Partikel

v.dt θ

dA

Gambar 4: Ilustrasi laju partikel di dalam ruang parallel epipedum

Mengingat partikel di dalam bola bergerak ke segala arah, maka untuk

memahami interaksi tumbukan dengan dinding perlu memperhatikan dari mana arah

partikel tersebut dating. Disamping itu, mengingat jumlah partikel mempunyai jumlah

yang sangat besar, untuk memudahkan pemahaman, partikel-partikel yang

34
menumbuk dinding dipandu dengan ruang kubus miring (bidang parallel epipedum)

dengan kemiringan θ.

Bila partikel-partikel bergerak dengan laju v dalam ruang kubus miring

(parallel epipedum) dengan arah kemiringan θ dalam waktu dt, maka banyak

partikel menumbuk elemen luas dA dinyatakan sebagai berikut:

.
d  v. f (v) sin  . cos  .dv.d .d.dA.dt ……………………………… 4.5
4

Di mana volume ruang parallel epipedum = v cosθ dA dt dan f(v) fungsi

distribusi laju partikel.

Bila diintegrasikan terhadap v, θ dan φ:

 v f (v).dv. 
0
v .………………………………………………………………….. 4.6a

2

 d  2
0
………………………………………………………………………………….. 4.6b


2
1
 sin  . cos  .d  2
0
…………………………………………………………………………….. 4.6c

Maka tanpa memperhatikan arah v, θ dan φ diperoleh banyak partikel yang

menumbuk bidang seluas A tiap satuan luas tiap satuan waktu dan disebut fluks

partikel hubungan:

d 
 v ……………………………………………………………………………………….. 4.7
dA.dt 4

35
4.2 Hubungan Laju dengan Tekanan dan Temperatur

Apabila fluks partikel dalam bidang parallel epipedum tersebut di atas, tinjau

sebuah partikel yang massanya m bergerak dengan laju v menumbuk bidang A

dengan sudut θ. Setelah menumbuk partikel dipantulkan dengan sudut yang sama

dan kecepatan v’ . Karena tumbukkan berlangsung elastik sempurna, maka v = v’.

Ilustrasi tersebut digambarkan sebagai berikut:

vsinθ v’cosθ v’

v cosθ v θ v’sinθ

Gambar 5: Sebuah partikel dengan laju v menumbuk dinding dengan


kemiringan θ.

Sesuai analisis vector pada kecepatan partikel sebelum dan setelah

menumbuk elemen luas dA, maka dalam arah horisontal partikel datang

kecepatan v sinθ dan meninggalkan bidang juga mempunyai kecepatan v sinθ.

Sehingga perubahan momentum (selisih momentum sebelum dan sesudah partikel

menumbuk dinding) besarnya = 0. Sementara pada arah vertikal partikel datang

dengan kecepatan v cosθ, namun setelah meninggalkan bidang memiliki kecepatan

v’ cosθ. Ini berarti bahwa selisih momentumnya adalah m {v’ cosθ – (-v cosθ)} =

2mv cosθ. Seperti diasumsikan partikel yang dimaksud adalan partikel gas ideal,

36
maka v = v’. Jadi untuk sebuah partikel setiap kali menumbuk bidang, partikel

memberikan momentum sebesar 2mv cosθ.

Jika partikel memiliki laju antara:

v dan v + dv

θ dan θ + dθ

φ dan φ + dφ

Maka momentum partikel yang tertinggal pada elemen luas dA = jumlah

partikel yang menumbuk elemen luas dA dikalikan dengan momentum tiap partikel.

Hubungan momentum terhadap dA dan dt dinyatakan sebagai berikut:


dp  2mv cos  v. f (v) sin  . cos  .dv.d .d.dA.dt
4

m 2
 v . f (v) sin  . cos 2  .dv.d .d.dA.dt …………..…………………. 4.8
2

v f (v).dv.  v 2
2
………………………………………………………………………. 4.9a
0

2

 d  2
0
………………………………………………………………………. 4.9b


2
1
 sin  . cos  .d 
2
………………………………………………………………………. 4.9c
0
3

dp 
Maka  m v2 ………………………………………………………………………. 4.10
dA.dt 3

37
dp N
 merupakan dimensi tekanan (P) dan rapat partikel   ,
dA.dt V

sehingga:

N
P m v2 …………………………………………………………………….. 4.11
3V

Persamaan ini menggambarkan hubungan tekanan dengan laju partikel rata-

rata dalam ruang.

N N
Dari persamaan P  m v2 dapat dinyatakan PV  m v2 ,
3V 3

ungkapan ini mengingatkan kita pada persamaan gas ideal PV  nRT atau

PV  NkT .

N
Dari persamaan PV  m v2 dan PV  NkT , dapat diperoleh besar
3

temperatur gas yang dinyatakan sebagai:

T
2
3k

1 / 2m v 2  ………………………………………………………………………. 4.12

Persamaan ini menggambarkan hubungan temperature dengan laju partikel

rata-rata dalam ruang.

4.3 Penyimpangan Sifat Ideal Persamaan Keadaan

Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan teori kinetika gas, bahwa

gas yang dimaksud adalah gas ideal. Alasannya bahwa gas ideal memiliki

persamaan yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan gas riil. Namun

38
demikian persamaaan gas ideal tersebut berlaku terbatas, sebab perumusan

gas ideal merupakan perumusan pendekatan. Yakni menggunakan asumsi-

asumsi agar persamaan menjadi sederhana dan mudah dipahami. Kalau

ditinjau persamaan gas ideal. PV = NkT, persamaan ini menggambarkan

partikel memiliki jumlah yang sangat besar, seluruh ruang hanya ditempati

partikel sejenis, tidak ada interaksi antar partikel maupun interaksi partikel

dengan dinding kecuali karena tumbukan yang disebabkan perubahan

temperatur, sehingga tekanan dalam system juga berubah. Gambar berikut

menunjukkan hubungan antara tekanan dan volume akibat perubahan

temperature.

semakin ke atas semakin


mendekati gas ideal

Gambar 6: diagram P-V persamaan gas umum.

Pada temperatur rendah persamaan keadaan semakin mendekati gas riil,

sementara semakin tinggi temperature persamaan keadaan semakin mendekati

gas ideal. Untuk gas riil, terbentuk dari partikel-partikel yang tidak sejenis.

Interaksi gas riil tentu berbeda dengan interaksi antar partikel pada gas ideal

yang memiliki partikel-partikel sejenis. Untuk gas riil digunakan interaksi gaya

39
Van der Walls. Kehadiran partikel lain dalam system gas, maka memerlukan

ruang untuk ditempati dalam system gas tersebut. Oleh karena itu pada

persamaan gas ideal perlu ditambahkan factor koreksi pada volume, disinilah

terjadi penyimpangan seperti yang dirumuskan dalam gas ideal. Misalkan,

partikel-partikel gas digambarkan sebagai titik-titik maka V merupakan tempat

atau ruang untuk bergerak. Disisi lain ruang tersebut juga ditempati oleh

partikel-partiikel gas yang . Kalau dalam gas ideal seluruh ruang V ditempati gas

sejenis, maka untuk gas riil volume V dikoreksi menjadi (V – NB), dengan B

didefinisikan sebagai konstanta pembanding. Sehingga persamaan gas

menjadi:

pV  NB   NkT ………………………………………………………… 4.13

Persamaan ini disebut persamaan Clausius.

Di sisi lain, seperti yang telah dibahas dalam teori kinetika gas, bahwa

interkasi berupa tumbukan antar partikel dan atau partikel dengan dinding terjadi

pada gas ideal adalah elastik sempurna. Akibatnya bila partikel menumbuk

dinding, maka momentum sebelum dan setelah menumbuk akan tetap. Namun

pada gas riil, jika partikel menumbuk dinding, akibat gaya interaksi partikel

dengan dinding akan membuat momentum partikel berkurang.

Besar momentum tergantung dari partikel yang datang pada dinding dan

tergantung banyaknya partikel yang menarik partikel yang dating pada dinding

2
N
atau   . Seperti yang telah di bahas pada bab sebelumnya, perubahan
V 

momentum akan berkaitan erat dengan perubahan tekanan dalam system. Oleh

40
karena itu, pada persamaan Clausius memerlukan koreksi terhadap nilai

tekanan dalam system. Maka persamaan Clausius dikoreksi menjadi:

 N 
2

 p    AV  NB   NkT ………………………………………………………. 4.14


  V  

 N2 
 p  AV  NB   NkT ………………………………………………………. 4.15
 V2 

Di mana: A, B = konstanta pembanding

k = tetapan Boltzmann

N2 2
N2A  2
.N A . A  n 2 .a
NA

NA = bilangan Avogadro.

R = konstanta gas umum

Dengan demikian diperoleh persamaan Clausius yang dimodifikasi menjadi

sebagai berikut:

 n2a 
 p  2 V  nb   nRT ………………………………………………………… 4.16
 V 

V2
Jika v 2  , di mana v adalah volume molar (volume per mol gas), maka
n2

persamaan Clausius yang dimodikasi tersebut dapat tuliskan sebagai berikut:

 a
 p  2 v  b   RT ………………………………………………………… 4.17
 v 

Faktor koreksi atau konstanta pembanding a dan b memiliki nilai bervariasi

tergantung pada jenis gas. Bila konstanta pembanding ini berharga semakin

mendekati nol, maka sifat gas yang dikaji akan semakin mendekati sifat gas

41
ideal. Apa bila digambarkan grafik hubungan antara tekanan dan volume dapat

ditentukan temperatur kritis, yakni temperatur dimana kondisi tersebut

mendekati gas ideal.

p Tc menunjukkan temperature system

T1 T2 Tc
dalam kondisi kritis, dan berlaku:

 p   2 p 
   0 dan  2   0
 v  Tc  v  Tc

Gambar 7: diagram P-V persamaan gas ideal.

Dalam kondisi kritis, besar tekanan pada persamaan Clausius yang di modifikasi

dapat dinyatakan sebagai:

RTc a
p  2 ……………………………….… 4.18
vb v
 p  RTc 2a
  0  2 0 …………………………………………………………… 4.19
 v  Tc vc  b vc
2

 2 p  2 RTc 6a
 2   0   4 0 ………………………………………………………… 4.20
 v  Tc vc  b vc
3

Persamaan 4.20) dibagi dengan persamaan 4.19 diperpleh:

vc  b vc

2 3

Atau vc  3b …………………………………………………………………… 4.21

42
Substitusi nilai volume molar vc  3b ke dalam persamaan 4.19 diperoleh nilai
temperature kritis besarnya:

8a
Tc  …………………………………………………………………… 4.22
27bR

Dalam kondisi kritis, tekanan pada persamaan 4.18 juga dalam kondisi kritis.
Maka persamaan tersebut dapat dituliskan:

RTc a
pc   2 …………………………………………………… 4.23
vc  b vc

Dengan substitusi volume molar vc pada persamaan 4.21 dan temperatur


persamaan 4.22 dalam kondisi kritis ke dalam persamaan 4.23, diperoleh
tekanan pada kondisi kritis nilainya:

a
pc  ………………………………………………………… 4.24
27b 2

Berikut ini disajikan faktor pembanding atau konstanta a dan b untuk beberapa
gas.

3 -2 3 -2
Gas a (Jm K mol ) b (m K mol )

He 3,44 x 103 0,0234


H2 24,8 0,0266

O2 138 0,0318

CO2 366 0,0429

H2O 580 0,0319

Hg 292 0,0055

Tabel 1: Nilai konstanta a dan b untuk beberapa gas.

43
BAB V

DISTRIBUSI KECEPATAN DAN LAJU PARTIKEL GAS

5.1 Distribusi Laju dan Kecepatan Menurut Maxwell

Di dalam pembahasan distribusi titik digunakan ruang posisi, artinya titik


berada dalam ruang koordinat kartesian x, y dan z dengan posisi tetap. Akan tetapi
distribusi partikel yang selalu bergerak dengan kecepatan dalam ruang koordinat
kartesian vx, vy dan vz digunakan ruang kecepatan, sehingga densitas partikel
berubah-ubah.

Sebagai contoh, jika ingin mengetahui kebolehjadian/probabilitas sebuah


partikel mempunyai kecepatan pada arah sumbu x antara vx dan vx + dvx
dinyatakan sebagai f(vx) dvx, pada arah sumbu y antara vy dan vy + dvy dinyatakan
sebagai f(vy) dvy dan pada arah sumbu z antara vz dan vz + dvz dinyatakan sebagai
f(vz) dvz.

vy

dvy

vx
dvx
vz

Gambar 8: partikel dalam ruang kecepatan vx, vy dan vz

Probabilitas untuk N partikel yang mempunyai kecepatan antara vx dan vx + dvx


pada sumbu x, kecepatan antara vy dan vy + dvy pada sumbu y dan kecepatan
antara vz dan vz + dvz pada sumbu z adalah:

44
d 3 N vxvyvz  N . f (vx ). f (v y ). f (vz ).dvx dv y dvz ………………. 5.1

Rapat partikel (ρ) yang merupakan banyaknya partikel tiap satuan volume dalam
ruang kecepatan dinyatakan sebagai:

d 3 N vxv y vz
  N . f (v x ). f (v y ). f (v z ) ………………………………… 5.2
dv x dv y dv z

Di dalam ruang posisi densitas partikel ρ (x,y,z) besarnya tetap, sementara di dalam
ruang kecepatan densitas partikel ρ (vx,vy,vz) besarnya berubah-ubah. Mengingat
dinsitas partikel sangat bergantung pada vx, vy dan vz, agar pembahasan menjadi
lebih sederhana maka dianggap kecepatan rata-rata partikel nilainya konstan. Besar
kecepatan rata-rata partikel dinyatakan sebagai v 2  v x2  v y2  v z2 = konstan,
akibatnya dρ = 0. Maka diperoleh hasil diferensiasi parsial persamaan 5.2 sebagai
berikut:


d  N f ' (v x ). f (v y ). f (v z )dv x  f (v x ). f ' (v y ). f (v z )dv y  f ' (v x ). f (v y ). f ' (v z )dv z 
…………………………………………….. 5.3

Karena dρ = 0, maka persamaan 5.3 dapat dinyatakan sebagai berikut:

f ' (v x ). f (v y ). f (v z )dv x  f (v x ). f ' (v y ). f (v z )dv y  f ' (v x ). f (v y ). f ' (v z )dv z  0


…………………………………………….. 5.4

Apabila persamaan 5.4 dibagi dengan f (v x ). f (v y ). f (v z ) akan diperoleh:

f ' (v x ) f ' (v y ) f ' (v z )


dv x  dv y  dv z  0 ……………………………… 5.5
f (v x ) f (v y ) f (v z )

Dengan persyaratan tersebut, tampak pada persamaan 5.5, maka partikel dalam
keadaan tidak bebas. Akan tetapi tidak selamanya demikian, karena ada partikel

45
yang mempunyai sifat bebas dengan memperhatikan satu factor. Misalnya jika v y
dan vz bebas maka vx tidak bebas, maka vx dipengaruhi oleh vy dan vz dan
dinyatakan oleh vx = g (vy,vz) atau vx sebagai fungsi dari vy dan vz. Jika vx dan vz
bebas maka vy tidak bebas, maka vy dipengaruhi oleh vx dan vz dan dinyatakan oleh
vy = g (vx,vz) atau vy sebagai fungsi dari vx dan vz. Jika vx dan vy bebas maka vz tidak
bebas, maka vz dipengaruhi oleh vx dan vy dan dinyatakan oleh vz = g (vx,vy) atau vz
sebagai fungsi dari vx dan vy. Dengan memperhatikan sifat-sifat tersebut, maka
persamaan 5.5 diubah dengan menambahkan factor pengali Lagrange λ (Lagrange
undetermined multiplier), sehingga persamaan 5.5 menjadi:

 f ' (v x )   '
 f (v y ) 
  f ' (v z ) 
   .v xdv x     .v ydv y    .v z dv z  0 ……………. 5.6
 f (v x )  
 f (v y ) 
  f (v z ) 

f ' (v x )
Pada persamaan 5.6 dipilih  .v x  0 ….………….…………… 5.7a
f (v x )

f ' (v y )
Akibatnya  .v y  0 ….………….…………… 5.7b
f (v y )

f ' (v z )
 .v z  0 ….………….…………… 5.7c
f (v z )
Penyelesaian persamaan 5.7a sebagai berikut:

f ' (v x )
 .v x  0
f (v x )

df (v x )
dv x
 .v x  0
f (v x )

df (v x )
 .v x dv x
f (v x )

46
df (v x )
 f (v x )
   v x dv x


ln f (v x )   .v x2  ln C atau
2


 .v x2
f (v x )  C.e 2
………………………………………………………….…. 5.8

C adalah konstanta dan f (vx) adalah fungsi distribusi kecepatan pada arah sumbu x.
Seperti pada pembahasan fungsi distribusi, maka f (vx) dvx adalah kebolehjadian/
probabilitas partikel dengan kecepatan antara vx dan vx + dvx. Hasil integrasi
probabilitas nilainya 1. Dengan persyaratan ini maka konstanta C besarnya dapat
ditentukan dengan cara sebagai berikut.

 f (v

x ).dv x  1

 
 v x2
2C  e 2
dv x  1
0

 1 
 
 2 
2C  1 
1
   2 
 2  
 2 

2
C 1


C ……………………………………………………………………. 5.9
2

47
1
Energi kinetic tiap partikel Ek  m.v x2 , energi kinetik ini berdasarkan azas bagi
2
1
rata energi nilainya E k  kT , jadi nilai kecepatan kwadrat rata-rata adalah:
2

kT
v x2  …………………………………………………………………… 5.10
m

Bila menggunakan fungsi distribusi kecepatan maka kecepatan kwadrat rata-rata


dapat ditentukan sebagai berikut:


v x2   v x2 . f v x dv x


 
 v x2
  v .C.e2
x
2
dv x



  2 2v 2

2 0
2
x
vx e dv x

 3 
 
  2 
2  3 
2 
 2 

 2  
 2 

 
1  
 2 
  3 
2 
  2 
  
 2  

1
v x2  ……..………………………………………………………………… 5.11

48
m m
Dari persamaan 5.10 dan 5.11 diperoleh   , sehingga konstanta C  .
kT 2kT

Maka fungsi distribusi kecepatan dinyatakan sebagai:

mv 2
m  2 kTx
f v x   e ………………………………………………………… 5.12
2kT

Kebolehjadian/probabilitas partikel mempunyai kecepatan antara vx dan vx + dvx


dinyatakan sebagai:

mv 2
m  2 kTx
f v x dv x  e dv x ………………………………………… 5.13a
2kT

Dengan cara yang sama, maka kebolehjadian/probabilitas partikel mempunyai


kecepatan antara vy dan vy + dvy dinyatakan sebagai:

mv 2

f v y dv y 
m  2 kTy
e dv y ………………………………………… 5.13b
2kT

Kebolehjadian/probabilitas partikel mempunyai kecepatan antara vz dan vz + dvz


dinyatakan sebagai:

mv 2
m  2 kTz
f v z dv z  e dv z ………………………………………… 5.13c
2kT

Dengan demikian probabilitas partikel mempunyai kecepatan dengan komponen x


antara vx dan vx + dvx , komponen y antara vy dan vy + dvy dan komponen z antara
vz dan vz + dvz dinyatakan sebagai:

3
m ( v x2  v 2y  v z2 )

f v x , v y , v z dv x dv y dv z  
 m 2 
 e 2 kT
dv x dv y dv z …………….. 5.14a
 2kT 

49
3
mv 2

f v x , v y , v z dv x dv y dv z  
 m  2  2 kT
Atau  e dv x dv y dv z ……..…………….. 5.14b
 2kT 

Dengan v 2  vx2  v y2  vz2 .

Fungsi distribusi kecepatan partikel Maxwell pada persamaan 5.14b di atas


merupakan distribusi dengan koordinat kartesian dalam ruang kecepatan (vx,vy,vz).
Apabila menggunakan koordinat bola maka koordinat (vx,vy,vz) diubah ke dalam
bentuk (v,θ,φ). Dimana v diperoleh dari v 2  vx2  v y2  vz2 yang diilustrasikan sebagai

jari-jari bola.

V sinθ dφ

dv
V dθ

Gambar 9: partikel dalam ruang kecepatan dalam koordinat bola

Untuk merumuskan fungsi distribusi kecepatan dalam koordinat bola, elemen


volume dvx dvy dvz pada persamaan 5.14b diganti dengan elemen volume bola
besarnya v2 sin θdv dθ dφ. Maka kebolehjadian/probabilitas pertikel dengan
kevepatan antara v dan v + dv dengan arah membuat sudut antara θ dan θ + dθ
serta membuat sudut φ dan φ + dφ dinyatakan sebagai berikut:

3/ 2 mv 2
 m  
f v,  ,  dv.d .d    e 2 kT
v 2 sin  .dv.d .d ………………….. 5.15
 2kT 

Distribusi kecepatan partikel tanpa memperhatikan arah sudut dalam koordinat bola:

3/ 2 mv 2  2
 m  
f v .dv    e 2 kT
v 2 dv  sin  .d  d
 2kT  0 0

50
3/ 2 mv 2
 m  
f v .dv  4   e 2 kT
v 2 dv
 2kT 

3/ 2 mv 2
 m  
f v   4   e 2 kT
v 2 ………………………….………………….. 5.16
 2kT 

Persamaan 5.16 disebut fungsi distribusi kecepatan Maxwell.

Fungsi distribusi kecepatan Maxwell ini bersifat normal sehingga grafiknya berbentuk
simetris. Ada perbedaan syarat batas antara distribusi kecepatan Maxwell
menggunakan koordinat kartesian dengan menggunakan koordinat bola. Untuk
koordinat kartesian grafik yang terbentuk simetri di sumbu x = 0, karena syarat batas
fungsi vx diambil dari -~ sampai ~. Sementara untuk koordinat bola grafik yang
terbentuk simetri di vmaks (kecepatan maksimum) karena syarat batas kecepatan v
dalam koordinat bola berlaku sebagai jari-jari bola sehingga diambil dari 0 sampai ~.
Gambar grafik fungsi kedua distribusi kecepatan seperti tampak pada gambar
berikut:

f(vx)

-~ 0 ~ vx

Gambar 10: Grafik fungsi distribusi kecepatan Maxwell koordinat kartesian

51
f(v)

0 vmaks ~ v

Gambar 11: Grafik fungsi distribusi kecepatan Maxwell koordinat bola

Fungsi distribusi kecepatan tersebut penentu sebagai variabel perubah adalah


mv 2

e 2 kT
, di dalamnya hanya terkandung energi kinetik besarnya 1/2mv2. Energi kinetik
ini merupakan energi translasi, jadi distribusi kecepatan Maxwell hanya terbatas
pada gerak translasi saja.

52
Soal-soal:

mv 2
m  2 kTx
1. Dengan menggunakan fungsi distribusi kecepatan f v x   e
2kT
tentukan:

a. vx b. v x2 c. Apakah v x2 = v x 2

2. Dengan menggunakan cara untuk memperoleh fungsi distribusi kecepatan


f(vx), maka tentukan:
a. f(vy) dan f(vz)
b. f(vx,vz)

3. a. Jika v x2 yang diperoleh dari fungsi distribusi f(vx), variabel-variabel apa

saja yang mempengaruhi v x2 .

b. Jika massa partikel dinyatakan tetap, gambarkan grafik vx yang diperoleh


pada pertanyaan 3a terhadap temperature T , untuk T = 0K, 25K, 50K,
75K, 100K, 125K, 150K, 175K,
200K, 225K 250K.
4. Dengan menggunakan fungsi distribusi kecepatan
3/ 2 mv 2
 m  
f v   4   e 2 kT
v 2 tentukan:
 2kT 
3 3
a. v b. v c. Apakah v 3 = v

5. Berdasarkan persamaan distribusi kecepatan pada soal no. 2 tentukan:


1
1 5
a. b. Konstanta Laplace  
v 3

c. Cepat rambat bunyi di dalam gas ideal =

53
Catatan:

5.2 Distribusi Laju dan Kecepatan Menurut Maxwell-Boltzmann

Agar fungsi distribusi pada persamaan 5.16 tersebut berlaku secara umum,
maka Boltzmann mengusulkan agar energi kinetic 1/2mv2 diganti energi dengan
notasi E. Di mana energi E ini di dalamnya terdapat energi yang disebabkan oleh
gerak translasi, rotasi, vibrasi, energi potensial atau energi lainnya. Pada bab
berikutnya akan dibahas bahwa energi-energi ini akan diperhitungkan akibat
perubahan temperatur. Sehingga fungsi distribusi kecepatan pada persamaan 5.16
berubah menjadi sebagai berikut:

3/ 2 E
 m  
f v   4   e kT
v 2 ……………………………………………. 5.17
 2kT 

E

kT
Faktor e pada persamaan 5.17 disebut faktor Bolzmann. Dimana di dalam E
terkandung energi translasi, vibrasi, rotasi, potensial dan energi lainnya. Sehingga
persamaan 5.17 disebut persamaam Maxwell-Boltzmann untuk distribusi kecepatan
partikel.

54
5.3 Distribusi Energi

Untuk merumuskan fungsi distribusi energi, tinjau kembali distribusi


kecepatan partikel Maxwell-Boltzmann pada persamaan 5.17. Bahwa kebolehjadian/
probabilitas partikel dengan kecepatan antara v dan v + dv dinyatakan sebagai:

………………………………………………………. 5.18

di mana B adalah konstanta.

Dengan cara transformasi probabilitas pertikel dengan kecepatan antara v dan v +


dv menjadi probabilitas energi pertikel dengan energi antara ε dan ε + dε. Jika
2
energi kinetik tiap partikel besarnya atau v 2  , maka:
m
d  mv.dv
 2 
 m .dv

 m 

d  2m dv

1
Atau dv  d
2m

Ubahlah f (v)dv menjadi f ( )d maka diperoleh:


 2 1
f ( )d  B.e kT
d
m 2m


2
1
 
f ( )d  B. e kT
 2 d
m 2m

1 

f ( )d  C. 2 e kT
d …………….………………………………………….5.19

55
Di mana C adalah konstanta.

Walaupun dengan menggunakan persamaan 5.17 dapat pula ditentukan energi rata-

rata tiap partikel. Yakni dengan cara menentukan kecepatan rata-rata tiap partikel,

lalu menentukan energi rata-rata tiap partikel. Akan tetapi dengan menggunakan

persamaan 5.19 kita dapat langsung menentukan energi rata-rata tiap partikel tanpa

mencari terlebih dahulu kecepatan rata-rata partikel.

Jika di dalam sistem terdapat N buah partikel, maka dapat dihitung energi total

sistem, dengan cara mengalikan energi tiap partikel dengan N buah partikel. Setelah

energi total system dapat dihitung kapasitas panas pada volume konstan (Cv) dan

kapasitas panas pada tekanan konstan (Cp). Sehingga rasio antara Cp dan Cv dapat

ditentukan konstanta Laplace pada temperature yang bervariasi.

Gambar 12: Grafik f(v) terhadap v

56
Gambar 13: Grafik f(ε) terhadap ε.

5.4 Azas Equipartisi Energi

Untuk gas monoatomik (He, Ne, Ar, Xe) besar energi yang diperoleh dari
hasil teori dan eksperimen ada kesesuaian, tetapi untuk gas diatomik (H2, N2, O2,
CO) hasil teori dan eksperimen tidak sesuai. Karena untuk gas monoatomik massa
atom terpusat pada inti yang dapat dianggap sebagai titik, sehingga gerak atom
hanya terkontribusi untuk gerak translasi saja, tanpa rotasi dan vibrasi. Untuk
memahami hal tersebut pada gas diatomik dapat diilustrasikan seperti pada gambar
berikut.

z

m1 m2 y

x
Gambar….: Grafik f(ε) terhadap ε.

Gambar 14: Ilustrasi gas diatomic dengan massa m1 dan m2 pada sumbu y

x
57
Pada gambar 14 di atas mengilustrasikan partikel gas berotasi pada sumbu x
dan sumbu z dengan kecepatan sudut masing-masing x dan z, sedang sumbu y
kecepatan sudut y tidak memberikan kontribusi yang berarti, artinya momen
inersianya nol. Maka energi rotasi pada sistem tersebut :

Er  1/ 2I x2  1/ 2I z2 ……,…,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…………………………… 5.20

di mana I = momen inersia

Dalam sikap dan molekul yang sama, molekul tersebut bervibrasi pada arah

y. Kalau simpangannya dinyatakan dengan  dan lajunya  , maka energi vibrasi
terdiri dari energi kinetik dan energi potensial yang besarnya sebagai berikut:

2
Ev  1/ 2k 2  1/ 2M  …………………………………………………….. 5.21

m1m2
M  disebut massa reduksi
m1  m2

Dengan demikian energi total sistem besarnya merupakan jumlah aljabar energi
translasi, energi rotasi dan energi vibrasi.

E  Et  Er  Ev ……………………………………………………………. 5.22

E = energi total sistem

Et = energi translasi

Er = energi rotasi

Ev = energi vibrasi

58
Apabila diperhatikan secara seksama dalam energi total system yang di
dalamnya terdiri dari energi translasi, energi rotasi dan energi vibrasi, maka di dalam
energi translasi terdapat tiga derajat bebas, berkaitan dengan vx2 , v y2 dan v z2 . Dalam

energi rotasi menyumbangkan dua derajat bebas, berkaitan dengan  x2 dan  z2 .

Sedang dalam energi vibrasi menyumbangkan dua derajat bebas, berkaitan dengan
2
 2 dan  . Bahwa masing-masing derajat bebas menyumbang energi setara
dengan ½kT, maka energi total sistem besarnya menjadi :

E  3 / 2kT  kT  kT  7 / 2kT ……………………………………………. 5.23

Sehingga setiap derajat bebas yang energinya sebanding dengan kuadrat variabel
bebas mempunyai energi rata-rata sebesar ½kT, prinsip ini disebut equipartisi energi
(azas bagi rata energi).

5.5 Kapasitas Termal pada Volume dan Tekanan Tetap

Besar energi total sistem yang terdiri dari energi kinetik translasi, rotasi,
vibrasi, untuk partikel tersebut merupakan energi dalam sistem. Energi total tersebut
adalah energi total rata-rata untuk tiap partikel. Oleh karena itu, jika di dalam sistem
terdapat N buah partikel, maka energi total dalam sistem dinyatakan sebagai :

U = 7/2 NkT …………………………………………………………………. 5.24

Perlu diingat dalam persamaan gas idel

PV = NkT , atau

PV = nRT

dimana k = konstanta Bolzmann dan T temperatur sistem.

59
Karena Nk = nR (n= jumlah mol gas dan R = konstanta gas umum) , maka energi
dalam dapat juga dinyatakan sebagai :

U = 7/2 nRT ……………………………………………………….…………. 5.25

Besar energi dalam ini sangat penting untuk digunakan mencari kapasitas kalor
pada volume tetap, maupun kapasitas kalor pada tekanan tetap. Rasio kapasitas
kalor pada tekanan tetap terhadap kapasitas kalor pada volume tetap ini merupakan
konstanta Laplace gas.

Kapasitas kalor pada volume tetap merupakan gradien energi dalam terhadap
temperatur dalam kondisi volume tidak berubah dinyatakan:

 U 
Cv   
 T V


 7 / 2nRT V
T

Cv  7 / 2nR …………………………………………………………………. 5.26

Sedangkan kapasitas kalor pada tekanan tetap merupakan gradient energi dalam
temperatur pada tekanan tetap, sementara di dalam termodinamika besarnya
dinyatakan:

 U 
Cv   
 T  P

C p  CV  nR

 7 / 2nR  nR

C p  9 / 2nR …………………………………………………………………. 5.27

60
5.6 Konstanta Laplace

Jadi konstanta Laplace merupakan rasio kapasitas kalor pada tekanan tetap
(Cp) terhadap kapasitas kalor pada volume tetap (Cv). Konstanta ini nilainya
ditentukan oleh kondisi temperatur sistem. Untuk gas hydrogen (H2) pada
temperatur rendah, yaitu T< 50 K maka partikel gas hanya bergerak translasi saja
sehingga energi total yang ditimbulkan dalam sistem hanya energi kinetik atau
energi translasi saja. Maka sesuai persamaan 5.23 diperoleh Cp = 5/2 nR dan Cv =
3/2 nR, sehingga besar konstanta Laplace sistem gas besarnya:

C P 5 / 2nR
    5 / 3  1,6
CV 3 / 2nR

Pada temperatur sedang, yaitu pada 250 < T < 500 K maka partikel gas
bergerak translasi dan rotasi sehingga energi total yang ditimbulkan dalam sistem
berupa energi kinetik dan energi rotasi. Maka sesuai persamaan 5.23 diperoleh Cp =
7/2 nR dan Cv = 5/2 nR, sehingga besar konstanta Laplace sistem gas besarnya:

C P 7 / 2nR
    7 / 5  1,4 .
CV 5 / 2nR

Sedangkan pada temperatur tinggi, yaitu T > 500 K maka partikel gas
bergerak translasi, rotasi dan vibrasi. Sehingga energi total yang ditimbulkan dalam
sistem berupa energi kinetik atau energi translasi, energi rotasi dan energi vibrasi.
Maka sesuai persamaan 5.23 diperoleh Cp = 9/2 nR dan Cv = 7/2 nR, sehingga
besar konstanta Laplace system gas besarnya:

C P 9 / 2nR
    9 / 7  1,3
CV 7 / 2nR

Di dalam termodinamika nilai konstanta Laplace ini mempunyai peranan


penting di dalam penyelesaian persoalan proses adiabatik. Di mana dinamika sistem
yang bergantung pada pekanan dan volume tanpa harus ada transfer kalor atau
temperaturnya tetap dengan hubungan PV  = konstan.

61
BAB VI

GEJALA TRANSPORT DALAM SISTEM

6.1 Persamaan Transport

Tinjau dalam sistem gas, partikel bergerak tanpa medan dengan kecepatan
rata-rata v dengan fungsi distribusi f( v ) atau fungsi distribusi yang bergantung pada
kecepatan dan posisi dipengaruhi medan dinyatakan sebagai f( v, r ). Bila system
dalam kondisi seimbang., maka fungsi-fungsi tersebut tidak bergantung pada waktu.
Akan tetapi dalam kondisi tidak seimbang, maka fungsi distribusi akan bergantung

pada waktu. Karena variabel kecepatan juga bergantung pada waktu v (t ) , posisi

bergantung pada waktu r (t ) , Sehingga fungsi distribusi dinyatakan sebagai
  
f {v (t ), r (t ), t} . Diferensial parsial fungsi ini terhadap variable kecepatan v (t ) , posisi

r (t ) dan waktu t dinyatakan sebagai berikut:


df f 
  r . f .v   v . f 
dv
 …………………………………… 6.1
dt t dt

v (t )
Suku ke tiga pada persamaan 6.1 yakni  a , apabila dinamika gerak pertikel-
dt
 
v (t ) F v (t ) 1
partikel tersebut mengikuti Hukum Newton, maka  atau    r .V ,
dt m dt m
di mana V sebagai potensial. Sehingga bentuk persamaan 6.1 dapat dinyatakan
sebagai berikut:

df f  1
   r . f .v   v . f  r .V  ……………………………… 6.2
dt t m

Persamaan 6.2 disebut persamaan transport Boltzmann, menunjukkan


perubahan fungsi yang membentuk sistem menjadi seimbang. Keseimbangan
sistem disebabkan interaksi antar partikel berupa tumbukan. Jadi mekanisme yang
membuat keseimbangan sistem disebabkan karena tumbukan. Persamaan transport

62
tersebut sangat berperan dalam memecahkan persoalan dalam difusi, distribusi gas
neon dalam lampu, viskositas, konduktivitas pada konduktor dan lain-lain.

Jika mula-mula sistem mempunyai fungsi f 0 kemudian dalam waktu dt fungsi


berubah menjadi f, perubahan fungsi disini berlangsung secara eksponensial
sebagai berikut:

  f  f 0  ……………………………………………………… 6.3
df
dt

Untuk menyamakan antara ruas kanan dan ruas kiri pada persamaan 6.3, ruas
kanan dibagi dengan  , besaran ini disebut waktu relaksasi yaitu interval waktu
antara tumbukan pertama dan tumbukan kedua, atau waktu dimana tidak terjadi
tumbukan. Sehingga persamaan 6.3 berubah menjadi sebagai berikut:

df  f  f0 
 ……………………………………………………… 6.4
dt 

df d  f  f 0 
Anggap bahwa f0 konstan, maka  , jadi persamaan 6.4 menjadi:
dt dt

d f  f0  f  f0

dt 

d f  f0  dt
 f  f0
 

t
ln( f  f 0 )  

t

f  f0  e 
……………………………………….………………… 6.5

63
6.2 Jalan bebas Rata-rata

Telah dibahas dalam perubahan fungsi dinamika partikel, bahwa  besaran


ini disebut waktu relaksasi yaitu interval waktu antara tumbukan pertama dan
tumbukan kedua, atau waktu di mana tidak terjadi tumbukan. Jarak tempuh partikel
antara tumbukan pertama dan tumbukan kedua merupakan jalan bebas rata-rata.
Jalan bebas rata-rata besarnya didefinisikan sebagai berikut:

………………………………………… 6.6

Persamaan 6.6 tersebut hasilnya kurang baik, maka secara empiris diambil
pendekatan yang lebih baik dengan formulasi sebagai berikut:

………………………..…………………………… 6.7

Waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak bebas rata adalah

Contoh:

Apabila 1 mol gas He pada tekanan dengan temperature 273 K, memiliki

Volume 1 mol He dan jari-jari atom He dianggap 1 .

Maka:

64
Jarak antara partikel rata-rata:

mol He mempunyai 4 partikel

jumlah tumbukan dalam waktu

jumlah rata-rata tumbukan tiap satuan waktu

kebolehjadian partikel berpindah sejauh – sesudah bertumbuk –

tanpa bertumbuk lagi.

65
6.3 Koefisien Viskositas

Gambar berikut menyatakan fluida yang mengalir yang mengalami


perubahan kecepatan aliran pada kedalaman yang bervariasi. Perubahan kecepatan
atau gradient kecepatan ini bergantung sifat kekentalan fluida. Gradien kecepatan
ditentukan oleh koefisien viskositas. Untuk mengukur koefisien kekentalan dapat
dilakukan dengan memandang fluida yang mengalir atau fluidanya diam, tetapi
benda dijatuhkan ke dalam fluida tersebut, benda bergerak di dalam fluida sehingga
prinsip ini dapat ditentukan koefisien kekentalan.

Arah aliran

Gambar 15: Perubahan kecepatan aliran fluida pada variasi kedalaman

Pada prinsipnya bahwa viskositas merupakan gejala perpindahan momentum,


sehingga diperoleh hubungan:

……………………………………..…………….. 6.8

Satuan viskositas:

Dengan 1 Dyne s cm-2 = 1 poise

66
Momentum berpindah pada saat tumbukan

Bidang yang ditinjau

…………………………………………………………………… 6.9

67
z

Netto momentum yang diperoleh


tiap perpindahan partikel

Netto momentum yang diperoleh tiap satuan waktu tiap satuan luas adalah:

………………………………………………………………….. 6.10

68
Seperti diketahui bahwa perpindahan kalor dapat terjadi dalam 3 (tiga) cara,
yakni konduksi, konveksi dan radiasi.

Z
Rapat arus kalor (kalor yang mengalir tiap
T satuan waktu tiap satuan luas).
T - dT
Fourier

Bila energi partikel , maka yang diatas mempunyai energi:

energi yang diperoleh karena sebuah


partikel

Energi yang diperoleh tiap satuan waktu tiap satuan luas:

…………………………….……………………. 6.11

69
6.4 Koefisien Difusi

Misalkan dalam ruang terdapat partikel-partikel, ruang A dan A’ memiliki


perbedaan jumlah partikel yang sedikit. Antara ruang A dan A’ terdapat sekat.
Apabila sekat tersebut dibuka maka akan terjadi perpindahan partikel-partikel
tersebut secara lambat.

A A’ x

Kerapatan partikel A’ = JA’

JA’ 

JA’ = …………………………………… …………… 6.12

D = koefisien difusi

Seperti yang diselidiki oleh Fick

x Banyak partikel yang datang dari


kiri

Banyak partikel yang datang dari


kanan

70
Jumlah partikel netto yang terdistribusi/pindah terhadap satuan luas tiap satuan
waktu

Kerapatan partikel lebih umum :

Jika yang masuk kubus sama dengan yang keluar kubus, dikatakan tidak ada
pemusnahan dan pembentukan partikel. Maka,

berarti

Jika yang masuk tidak sama dengan yang keluar dan didalamnya tidak ada

pemusnahan atau pembentukan partikel, maka:

71
…………… disebut persamaan difusi

Atau

………………………………………………………………….. 6.13

Contoh:

Jika dalam ruangan terdapat atom-atom dan ion-ion. Konsentrasi ion sangat kecil,
artinya jumlah ion jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan atom-atom. Jika tidak
ada medan maka ion-ion akan tersebar merata.

Dalam hal ini karena ion konsentrasinya kecil maka tidak menimbulkan kalor. Maka
f
frekuensi ion bukan merupakan fungsi eksplisit dari waktu atau  0 . Karena ion
t
tersebar merata maka frekuensi ion tidak tergantung waktu atau v  r f  0

 Ex x

= atom
= ion

72
Dari persamaan Boltzman pada fenomena transport:

73
Maka diperoleh harga <vx> besarnya:

q
 v x  E x …………………………………………………………….. 6.14
m

Maka sehingga rapat arus dalam contoh tersebut besarnyta

……………………………………………………………… 6.15

koefisien konduktivitas

74
BAB VII

STATISTIKA MAXWELL-BOLTZMANN

7.1 Keadaan Makro dan Mikro dalam Sistem

Di dalam suatu sistem tersusun oleh keadaan makro dan keadaan mikro.
Misalkan di dalam suatu ruang terdapat N buah pertikel, maka partikel-partikel
tersebut terdistribusi pada tingkat-tingkat energi tertentu dengan jumlah partikel
tertentu. Sebagai ilustrasi bila dalam kotak berisi 3 partikel (N1) dengan tingkat
energi 1 dan kotak dengan 2 partikel (N2) dengan tingkat energi 2, maka keadaan
ini disebut keadaan makro. Untuk membedakan keadaan makro, 3 buah partikel
pada tingkat energi 1 diberikan nama a, b dan c. Sedang 2 partikel pada tingkat
energi 2 diberikan nama d dan e. Partikel-partikel a, b, c, d dan e ini masing-masing
disebut keadaan mikro. Jadi keadaan makro di dalamnya tersusun keadaan-
keadaan mikro.

1 abc
Keadaan makro dengan tingkat energi 1 dan 2 yang
tersusun oleh keadaan mikro a, b, c, d dan e.
2 de

Keadaan makro pada tingkat energi 1 dengan keadaan mikro a, b, c dan tingkat
energi 2 dengan keadaan mikro d dan e, dapat disusun dan dibedakan menjadi
keadaan makro yang sama tetapi keadaan mikro yang berbeda. Pada ilustrasi di
atas dapat dibuat kombinasi sebagai berikut:

I II III IV V VI VII VIII IX X


1 abc abd abe acd ace bcd bce ade bde cde

2 de ce cd be bd ae ad bc ac ab

75
Tampak bahwa keadaan makro I sama dengan keadaan makro II, yakni di
tingkat energi 1 terdapat 3 keadaan mikro dan tingkat energi 2 memiliki 2
keadaan mikro. Hanya saja pada keadaan makro I, keadaan mikro c berada
pada tingkat energi 1 dan mikro d berada pada tingkat energi 2. Sementara
pada makro II, keadaan mikro d berada pada tingkat energi 1 dan mikro c
berada pada tingkat energi 2. Tetapi antara keadaan makro I sama dengan
keadaan makro II. Demikian seterusnya sehingga diperoleh 10 keadaan makro
yang sama, tetapi memiliki keadaan mikro yang berbeda.

Dalam kasus ini untuk memperoleh jumlah keadaan makro ditentukan sebagai
berikut. Jika jumlah keadaan mikro pada tingkat energi 1 dinyatakan N1 dan
jumlah mikro pada tingkat energi 2 dinyatakan N2. Maka jumlah keadaan mikro
N = N1 + N2. Sehingga kemungkinan membentuk jumlah keadaan makro dengan
cara mengkombinasi bentuk permutasi sebagai berikut. Dalam hal ini N1 = 3,
N2 = 2 dan N = N1 + N2 = 3 + 2 = 5, maka:

5!
 10
3!.2!

Sehingga bentuk kombinasi permutasi jumlah makro yang mungkin terjadi


dinyatakan sebagai berikut:

N!
C ……………………………………….………………… 7.1
N1!.N 2 !

Dengan menggunakan cara yang sama jika dalam sistem terdapat N partikel
terbagi atas tingkat energi 1 memiliki N1 partikel, tingkat energi 2 memiliki N2
partikel, dan seterusnya hingga tingkat energi I ditempati Ni partikel. Maka
jumlah keadaan makro yang memungkinkan dapat disusun dalam sistem ini
adalah:

N!
C ….…………………………….………………… 7.2
N1!.N 2 !...N i !

76
Dengan N = N1 + N2 + N3 + …+ Ni.

7.2 Distribusi Partikel Maxwell-Boltzmann

Untuk merumuskan distribusi Maxwell-Boltzmann tinjau kembali keadaan


makro I sampai dengan keadaan makro X pada pembahasan sebelumnya. Masing-
masing keadaan makro tersebut setiap tingkat energi memiliki status/tingkat energi
yang disebut degenerasi (g). Untuk keadaan makro I saja, misalkan pada tingkat
energi 1 memiliki degenerasi g1, pada tingkat energi 2 memiliki degenerasi g2. Bila
dalam kondisi tidak memiliki status/tingkat energi (non degenerate) maka g nilainya
=1. Sebagai ilustrasi jumlah degenerasi tiap tingkat energi dinyatakan oleh jumlah
kotak. Setiap degenerasi ini boleh ditempati sebuah partikel atau lebih, atau bahkan
kosong.

Contoh:

Keadaan makro I, pada tingkat energi 1 memiliki 4 degenerasi (g1 = 4), pada tingkat
energi 2 memiliki 3 degenerasi (g2 = 3) .

I II
1 ab c abc g1 …… dst

2
d e e d g2

 4 3.32  576
N N2
Jumlah kombinasi yang memungkinkan dibuat sebanyak: g 1 1 .g 2
cara. Jadi keadaan makro total I s/d X oleh Maxwell-Boltzmann dinyatakan W I
besarnya sebagai berikut:

N!
Wi 
N N
g1 1 g 2 2 , atau
N1!.N 2 !

77
2 N
gi i
Wi  N! …………………………………………….………………… 7.3
i 1 Ni!

Indeks i dalam W i menyatakan banyaknya tingkatan energi di dalam sistem.


Sehingga bentuk umum jumlah makro total hingga keadaan  dinyatakan sebagai
berikut:

 N
gi i
Wi  N! ………………………………………….………………… 7.4
i 1 N i !

Persamaan 7.4 disebut persamaan distribusi partikel Maxwell-Boltzmann. Partikel-


partikel ini sering disebut sebagai partikel klasik, artinya dalam fisika statistika
partikel-partikel ini dapat dibedakan antara satu dengan lainnya.

Contoh :

Suatu partikel yang berada dalam ruang yang disekat dengan volume V dan
temperaturnya T. Banyak partikel = N dan tiap partikel mempunyai energi diskrit
yakni 1 , 2 , 3 dst dan terdapat tingkat keadaan atau degenerasi g1, g2, g3, dst.

1 , 2 , 3 … U
N1 , N2 , N3 …
g1 , g2 , g3 …
N T V

Gambar…: Sistem partikel dalam ruang terisolir

Jika ruang disekat dengan N tetap, maka terjadi peristiwa adiabatik. Berarti tidak ada
tambahan energi dalam, artinya energi dalam besarnya juga tetap.

78
Keadaan degenerasi tersebut ditentukan oleh momentum masing-masing partikel

p2
E
2m

Atau px 
h dengan x  2 L
x nx

Berapakah jumlah keadaan mikro yang mungkin dibuat dalam sistem tersebut?

Untuk menentukan jumlah keadaan mikro yang mungkin dalam sistem


tersebut, gunakan distribusi partikel Maxwell-Boltzmann di atas.

 N
gi i
Wi  N!
i 1 Ni!

Mengingat sistem dalam kondisi terisolasi atau disekat, maka syaratnya:

N i  N1  N2  N3  ...  N

N 
i i  N11  N2 2  N3 3  ...  U

Selanjutnya U menyatakan energi dalam sistem. Berdasarkan distribusi Maxwell-


Boltzmann, maka jumlah mikro pada masing-masing keadaan makro W 1, W 2, W 3
dan seterusnya dinyatakan sebagai berikut:

 N
gi 1
W1  N!
i 1 N 1!

 N
g 2
W2  N! i
i 1 N 2 ! Wmax =?

 N
g 3
W3  N! i
i 1 N 3 !

dst

79
Untuk menentukan keadaan makro mana yang memiliki probabilitas terbesar, yakni
dengan cara mencari keadaan makro yang memiliki keadaan mikro yang terbesar.
Untuk mencari jumlah mikro terbesar atau W maks, maka syaratnya dengan

hanya memvariasikan N.

Maka bentuk diferensiasi W adalah:

W
dW   dN i ………………………………………….………………… 7.5
N i

Persamaan 7.5 akan mengalami kesukaran dalam penurunan. Untuk mempermudah


penurunan digunakan theorema logaritma terhadaap W, menjadi:

 ln W
d ln W   dN i
N i

 ln N! N i ln g i  ln N i!!

Untuk memecahkan ln N!, gunakan aproksimasi Stirling.

Misal: ln x! y

ln x! y 

80
d ln W  ln N! N i ln g i  ln N i!!

d ln W  N ln N  N   N i ln g i  N i ln N i!  N i 

d ln W  N ln N  N   ln g i  ln N i!  1dN i ………….………………….…… 7.6

Seperti yang dibahas sebelumnya agar ln W besarnya maksimum, maka


d ln W  0 . Pilih suku kedua pada persamaan 7.6 berharga nol. Agar pilihan ini
terpenuhi, maka syaratnya   dN i  0 dan    i dN i  0 , dimana  dan 
adalah multiplier Lagrange. Maka suku kedua pada persamaan 7.6 menjadi:

 ln g i  ln N i!     i dN i  0 ………..………….………………..… 7.7

Pilih ln g i  ln N i!     i  0

ln N i!  ln g i     i

N i!  g i e   i ………………………………………….………………… 7.8

Ni pada persamaan 7.8 merupakan jumlah partikel pada tingkat energi ke-i.

7.3 Fungsi Partisi

Tinjau kembali sistem partikel yang berada dalam ruang yang disekat dengan
volume V dan temperaturnya T. Banyak partikel = N dan tiap partikel mempunyai
energi diskrit yakni 1 , 2 , 3 dan seterusnya. dan terdapat tingkat keadaan atau
degenerasi g1, g2, g3, dan seterusnya. Jika ruang disekat dengan N tetap, maka
jumlah partikel ini dinyatakan sebagai N i  N . Sehingga persamaan 7.8 bila

dijumlahkan:

81
N i!  g i e   i

 

N
i 1
i!   g i e   i
i 1


Karena N
i 1
i  N , maka:


N  e  g i e  i
i 1

N
e  

 g e 
i 1
i
i

N
e  ………………..………………………………….………………… 7.9
Z

Arti fisis e  pada persamaan 7.9 sebagai konstanta normalisasi. Sementara nilai

Z   gi e i merupakan fungsi partisi ensambel kanonis kecil. Diberikan simbul Z


yang berarti Zustatzume atau jumlah keadaan.

Substitusi konstanta normalisasi e  pada persamaan 7.9 ke dalam jumlah


partikel pada tingkat energi ke-I pada persamaan 7.8, maka persamaan 7.8 berubah
menjadi:

N .g i e  i
N i!  ………………..…………………………………………..… 7.10
Z

Persamaan 7.10 menyatakan jumlah partikel pada energi pada tingkat ke-i.
Mengingat fungsi partisi merupakan penjumlahan eksponensial pangkat energi pada
tingkat ke-I, maka semakin besar tingkat energi semakin besar pula fungsi partisi
tersebut. Sehingga seperti tampak pada persamaan 7.10, semakin besar tingkat
energi maka jumlah partikel pada tingkat energi tersebut semakin kecil. Artinya
bahwa partikel lebih senang menempatkan pada tingkat energi yang lebih kecil.

82
Sekarang bagaimana kalau ada dua sistem partikel dalam ruang yang saling
didekatkan tetapi batas antara dua ruang tersebut bersifat diabatik. Katakanlah
keadaan mikro dalam keadaan makro W pada sistem pertama memiliki energi dalam
Ui, energi tingkat ke-i dinyatakan sebagai i dengan jumlah partikel Ni. Sistem kedua,
keadaan mikro dalam keadaan makro W ’ memiliki energi dalam U’k, energi tingkat
ke-k dinyatakan sebagai ’k dengan jumlah partikel N’k. Sistem partikel dalam ruang
ini digambarkan sebagai berikut:

W W’

Ui I U’k ’k

Ni N’k

Gambar…: Sistem partikel dalam ruang yang tersekat dinding diabatik

Contoh ini bisa dipandang sebagai dua buah sistem yang saling didekatkan
sehingga pada suatu saat akan terjadi keseimbangan. Sehingga makro total
dinyatakan sebagai:

WT  W .W '

ln WT  ln W  ln W '


Di sini N i  N dan N '
k  N ' . Serta energi dalam Ui dan U k besarnya selalu

berubah tetapi energi dalam total UT besarnya tetap, yakni sebesar:

UT   Ni i   Nk'  k' atau

d ln WT    N i   '  N k'     N    N   0 ……..…..


i i
'
k
'
k 7.11

83
Pada sistem tersebut di atas yang dijamin tetap adalah temperaturnya, oleh karena
itu multiplier Lagrange  merupakan fungsi dari temperatur atau  (T). Untuk

menentukan besarnya  digunakan hokum termodinamika seperti di bawah ini.

Gambar di bawah ini menunjukkan sistem dilengkapi penghisap, lalu


sejumlah kecil kalor diberikan pada system tersebut.

Gambar …: Sistem partikel dalam ruang dilengkapi dengan penghisap

Berdasarkan persamaan hukum I termodinamika tentang energi dalam yakni

dU  dQ  PdV ……..……………………………………..……..… 7.12a

dU   Ei N i   N i Ei ………………..………………..……..… 7.12b

Di dalam system, tingkat energi akan berubah jika volumenya berubah. Akan tetapi
apabila dikondisikan volumenya tetap, maka P dV akan tetap. Dengan situasi yang
sama ini berarti  N E
i i akan tetap. Maka persamaan 7.12a dan 7.12 b berubah

menjadi

dU  dQ ……………….……………………………………..……..… 7.13a

dU   Ei N i ……..………………………………….……..……..… 7.13b

Dari persamaan 7.13a dan 7.13b didapatkan hubungan perubahan kalor seperti di
bawah ini.

84
dQ   Ei N i

d ln W    N i    Ei N i  0 ………………….……..……...… 7.14

Pada persamaan 7.14 nilai  N i  0 dan  E N


i i  dQ , maka:

d ln W   .dQ  0 ………………….……..…….............................… 7.15

Apabila dipilih  .dQ  0 , maka pilihan ini tetap memenuhi persamaan 7.15, maka

1 N .g i e  i
nilai  ~ . Sementara berdasarkan persamaan 7.10, yakni N i!  , maka
T Z
nilai  harus berharga negatif atau  < 0. Berdasarkan kedua persamaan 7.15 dan

1
7.10, maka diperoleh nilai    dengan k = konstanta Boltzmann.
kT

1
Dengan nilai    akan mengubah persamaan 7.15 menjadi:
kT

dQ
d ln W  0
kT

dQ
d ln W  ………………….……….……..…….............................… 7.16
kT

Apabila dalam kasus tersebut diatas prosesnya berlangsung secara reversible,


dQ
maka berlaku dQ  T .dS atau  dS . Sehingga persamaan 7.16 berubah
T
menjadi:

dS
d ln W 
k

dS  k.d ln W

S  k. ln W ………………….……….……..…….............................… 7.17

85
Notasi S pada persamaan 7.17 merupakan entrophi sistem, yang menggambarkan
ukuran ketidakaturan partikel di dalam sistem. Tampak bahwa nilai entrophi
sebanding dengan keadaan makro sistem. Telah dibahas di depan bahwa keadaan
makro yang memiliki kebolehjadian/probabilitas terbesar yaitu W maks yakni keadaan
makro yang memiliki jumlah mikro paling banyak. Artinya semakin banyak keadaan
mikro, maka nilai entrophi semakin besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara
fisis apabila di dalam sistem jumlah partikelnya semakin banyak maka
ketidakteraturannya akan semakin tinggi.

7.4 Penerapan Statistika Maxwell-Boltzmann pada Gas Ideal

Seperti yang dibahas dalam teori kinetika gas, untuk mempermudah


pembahasan yang dimaksud gas disini digunakan persamaan gas ideal. Alasannya
bahwa gas ideal tersusun oleh partikel-partikel sejenis yang tersebar secara
homogen. Dengan alasan ini maka gas ideal susunannya lebih mudah dipahami.
Secara empirik persamaan keadaan gas ideal dinyatakan sebagai PV = NkT.
Dengan menggunakan statistika Maxwell-Boltzman akan dibuktikan persamaan
keadaan tersebut.
Untuk membuktikannya persamaan keadaan gas ideal gunakan persamaan 7.4,
dengan memilih jumlah makro terbesar atau W maks.

N
g i
Wmaks  N ! i
Ni!

Karena N i  N , maka:

86
ln Wmaks  N ln N   Ni ln gi i  Ni ln i Ni

Dengan menggunakan entrophi system pada persamaan 7.17, yakni:

S  k. ln Wmaks

N
Karena e  atau   ln N  ln Z , maka:
Z

U
S  Nk ln Z  ………….……….……..…….............................… 7.18
T
Dari entrophi ini dapat ditentukan energi bebas Helmholtz (F) besarnya sebagai
berikut:

Atau

………….……….……..…….............................… 7.19

87
Di dalam diagram Mnemonik, fungsi energi bebas Helmholtz merupakan potensial

termodinamika sebagai fungsi volume (V) dan temperatur (T). Artinya volume dan

temperatur merupakan variabel bebas atau F(T,V). Bentuk persamaan diferensial

energi dalam dinyatakan sebagai:

dF  S.dT  P.dV

Jika sistem dikondisikan pada temperatur tetap (dT = 0), maka dF   P.dV atau
 F 
    P ….……..……...................................................… 7.20a
 V T

Sementara bila sistem dikondisikan pada volume tetap (dV = 0), maka persamaan
diferensial energi Helmholtz menjadi dF  S.dT . atau

 F 
   S ….……..……...................................................… 7.20b
 T V

Fungsi partisi untuk gas ideal bebas medan besarnya:



Z  B  dxdydz .dVx dV y dVz e kT

 

Z  4BV  v dv.e 2 kT
.............................................................… 7.21
0

1
Jika energi kinetik tiap partikel  mv 2 , maka:
2

88
Maka fungsi partisi pada persamaan 7.21 menjadi:

1/ 2  1
 4BVm 3 2 21 2 3 2
 1 
 
 kT 

 4BVm 3 2 21 2 T 3 2

Jika 4BVm
3 2
21 2  CV , dengan C dan B adalah konstanta, maka diperoleh
fungsi partisi Z.

Z  CVT 3 2
Jika fungsi partisi Z ini disubstitusikan pada persamaan 7.19, maka fungsi energi
bebas Helmholtz

3
F   NkT (ln C  ln V  ln T ) …………………………………. 7.22
2

89
Diferensial parsial terhadap volume pada temperature tetap pada persamaan 7.22
diperoleh:

 F  NkT
   ……………………………………….……………. 7.23a
 V T V

Di sisi lain, berdasarkan persamaan 7.20a

 F 
    P …………………………………………………………. 7.23b
 V T

Dari persamaan 7.23a dan 7.23b diperoleh hubungan tekanan, volume dan
temperature pada gas ideal yang dirumuskan sebagai:

PV  NkT ……………….……………………………………………. 7.24

Besaran yang berhubungan dangan hal tersebut seperti kapasitas panas pada
volume terap (Cv) dan entrophi . Dari energi bebas Helmholtz diperoleh:

Cv = =

-S = =

S = =

= =

W=
=

90
+ S =W( )

= +∑ + ………

91
Contoh lain misalkan di dalam suatu ruangan terdapat partikel-partikel, salah satu
partikel bergerak sambil memancarkan cahaya.

x .

Katakanlah partikel bergerak kearah sumbu x dengan kecepatan vx dan panjang


gelombang cahaya = .

Maka berdasarkan azaz Doppler :

4 
3


2

  o c = kecepatan cahaya di udara

Banyak partikel yang mempunyai komponen kecepatan vx

Nyatakan intensitasnya

92
  o )c =
2
) c
2

=-

o 

93
Pada ketinggian y partikel mempunyai energi

dy

P0

bumi

Jika kecepatan partikel adalah antara v dan v + dv pada ketinggian antara dan

Banyak partikel pada ketinggian berkec epatan

= .

Banyak partikel pada ketinggian

Tekanan pada ketinggian

= tekanan pada permukaan

bumi

94
` = = tekanan pada ketinggian

po = tekanan atmosfer

Besarnya energi rata-rata:

= . +

Momen dipol dari partikel

Energi bagi partikel

=P

95
P= mis.

= =L(

L(

L(

P=

P L( = fungsi Langevin

96
BAB VIII

STATISTIKA BOSE-EINSTEIN

8.1 Distribusi Bose-Einstein

97
98
99
8.2 Pancaran Benda Hitam

Kita tinjau partikel dalam suatu kotak

ly

lx

lz y

partikel-partikel didalam kotak dikaitkan dengan fungsi gelombang

Kita ambil salah satu sumbu

100
Jika tidak tergantung tempat

akan menghasilkan V

Dalam arah khusus (tidak tergantung pada variabel sudut) semua arah
sama didapat

Sehingga g(E) d dapat di ganti

Jika kita perasilkan

101
Diskisisi Bose-Einstein:

Contoh radiasi benda hitam

Dalam distribusi Bose-Einstein

, Ni dapat diganti

Dari radiasi benda hitam:

Syarat tidak berlaku karena jumlah partikel disini tidak tetap.


menimbulkan . jika

102
8.3 Hukum Pergeseran Wien

Grafik merupakan fungsi

E(

Untuk kecil :

Untuk besar:

Diuraikan dalam deret

Reylight-Jean

Raylight-Jean

Wien

103
Uraian diatas menyatakan atom yang didalam

Untuk foton yang keluar : (

energi foton

Jika diintegrasikan

8.4 Hukum Stefan-Boltzmann

104
BAB IX

STATISTIKA FERMI-DIRAC

9.1 Distribusi Fermi-Dirac

105
106
107
108
9.2 Elektron dalam Zat Padat

9.3 Ensambel Kanonik dan Mikrokanonik

Di dalam ansambel kanonik, berapa kebolehjadian partikel yang mempunyai


energi U5?

V, T, N V, T, N V, T, N V, T, N

Ui

V, T, k = masing-masing kotak besarnya


T T T T
sama
Setiap kotak dipisahkan dinding Uk
diathermal
Energi dalam tiap kotak tidak sama
T T T T
Keadaan makro suatu system
Uj
kemungkinan sama
tetapi keadaan mikro berbeda

T T T T

109
Dalam ensambel kanonik

Dalam mikro kanonik

 untuk tiap partikel

Energi dalam rata-rata (ensamble kanonik)

110
W = banyaknya keadaan mikro yang berada dalam keadaan makro yang merupakan
energi

Menurut Maxwell Boltzman

111
misal

Menurut semi-klasik

 energi dalam untuk partikel yang tidak berinteraksi dengan


partikel lain

 energi dalam yang saling berinteraksi

Untuk distribusi diskrit :

Untuk distribusi kontinyu:

112
dimana

113
 gas ideal

114
115
DAFTAR PUSTAKA

a. A.J. Pointon, An Introduction to Statistical Physics, Longman 1967.


b. F.W. Sears & G.L. Salinger, Thermodinamics Kinetic Theory and Statistical
Thermodinamics, Addison Welley, New York, 1975
c. F. Reif, Fundamentals of Statistical and Thermal Physics, McGraw-Hill, Inc,
1985
d. Mandl, Statistical Physics, Wisley, 1971
e. M.G.V. Rosser, An Introduction to Statistical Physics, Chicester Brisbane,
Toronto, New York, Elis Horwood Publisher.

GLOSSARY

INDEKS

116

Anda mungkin juga menyukai