Anda di halaman 1dari 23

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT GASTROENTERITIS DEHIDRASI SEDANG PADA


ANAK

1. Pengertian
Gastroenteritis adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak
seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, serta frekuensi lebih dari
3 kali dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah (Hidayat,
2006).
Gastroentritis adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi
dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat
pula bercampur lendir dan drah atau lendir saja (Ngastiyah, 2005).
Gastroentritis adalah inflamasi lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai
bakteri, virus dan pathogen parasitik (Wong, 2003).
Gastroenteritis adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali
pada bayi dan lebih 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau
atau dapat pula bercampur lendir dan darah/lendir saja (Sudaryat Suraatmaja, 2005).
Gastroentritis atau diare akut adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus
yang memberikan gejala diare dengan frekwensi lebih dari 3 kali perhari dengan tinja
berbentuk cair /setengah padat dan banyaknya lebih dari 200 – 250 gram.

Salah satu komplikasi dan gastroenteritis adalah dehidrasi, klasifikasi tingkat


dehidrasi menurut Hidayat (2006) adalah:
a. Dehidrasi ringan
b. Apabila kehilangan 2-5% dari berat badan atau rata-rata 25 ml/kg BB dengan
gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada
keadaan syok.
c. Dehidrasi sedang
d. Apabila kehilangan cairan 5-8% dari berat badan atau rata-rata 75 ml/kg BB dengan
gambaran klinik turgor kulit jelek, suara jelek, penderita jatuh syok, nadi cepat dan
dalam.
e. Dehidrasi berat
f. Apabila kehilangan cairan 8-10% dari berat badan atau rata-rata 125 mm/kg BB, pada
lambia (trichomonas hominis)

2. Anatomi Fisiologi

3. Etiologi
a. Faktor Infeksi
i. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama diare pada anak meliputi :
- Infeksi bakteri : Vibrio, E. Coli, salmonella, shigella, compylobacter yersinia,
aeromonas, dan sebagainya.
- Infeksi virus : Eterovirus (Virus echo, coxsaekie, poliomyelitis), Adenovirus,
rotavirus, astrovirus dan lain-lain.
- Infeksi parasit : Cacing (ascaris, thrichiuris, oxyuris, strongyloides protozoa
(entamoeba hystolytica, giardia lamblia, trichomonas hominis), jamur
(candida albicans).
ii. Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan,
seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak
berumur di bawah 2 tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
i. Malabsorbsi karbohidrat : Disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa).
Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktosa.
ii. Malabsorbsi lemak
iii. Malabsorbsi protein
c. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, elergi terhadap makanan.
4. Web Of Caustion

Etiologi (Buckley, 2010; Bronkopneumonia adalah bronkiolus terminal yang tersumbat oleh eksudat, Pemeriksaan
Kartasasmita, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat diagnostik
2010; Setyoningrum, (Nelson, 2009;
lobulus (Wong, 2004). KemenKes RI (2012) mendefinisikan bronkopneumonia
2006): Price & Wilson,
sebagai infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
 Bakteri 2006;
 Virus Setyoningrum,
 Jamur
2006):
 Aspirasi Masuk ke bronkiolus terminal sampai alveoli
 Rontgen thoraks
 Kultur sputum &
Faktor risiko (DepKes, darah
Proses inflamasi
2004):  Pemeriksaan
Penumpukan serologi
 usia cairan di alveoli  Fungsi paru
Kongestif (4-12 jam) eksudat dan serosa masuk alveoli
 riwayat BBLR  Biopsi paru
 riwayat imunisasi  Spirometri
 pendidikan ibu
 Oksimetri nadi
 status ekonomi
Hepatisasi merah (12-48jam) paru-paru tampak merah dan  Laringoskopi/
 asupan gizi
 ASI eksklusif bergranulasi karena sel darah merah dan leukosit mengisi Bersihan jalan napas bronkoskopi
 kepadatan penduduk alveoli tidak efektif
 polusi udara
Peningkatan Resolusi 8-11 Hepatisasi kelabu (3-8 Gangguan
suhu tubuh hari hari) Konsolidasi paru pertukaran gas
WCSSS:

 Retraksi
Metabolisme Kurangnya Compliance paru dinding dada
meningkat asupan menurun  RR per menit
 Wheezing
 Kondisi Umum
Gangguan keseimbangan nutrisi: kurang
Pola napas tidak efektif
dari kebutuhan tubuh

Gizi kurang
5. Manifestasi Klinis
Secara umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu
gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum meliputi demam, sakit kepala, malaise,
nafsu makan menurun, gejala gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), sedangkan gejala
respiratorik meliputi batuk, napas cepat (takipnea), napas sesak (retraksi dinding dada/chest
indrawing), napas cuping hidung, dan sianosis (Said, 2010).
Gejala klinis yang muncul biasanya tergantung dari umur pasien dan patogen
penyebabnya, sedangkan pada anak-anak biasanya tidak muncul gejala (Setyoningrum, 2006).
Tanda dan gejala pada bayi dan anak kecil meliputi demam, anak rewel, kejang yang
disebabkan demam tinggi, sakit kepala, nyeri dan pegal pada punggung dan leher, anoreksia,
muntah, diare, nyeri abdomen, hidung tersumbat, produksi sekret, stridor, merintih, wheezing,
crackles,dan batuk
(Hockenberry & Wilson, 2012) Pada neonatus sering dijumpai takipnea, retraksi dinding
dada, dan sianosis. Pada bayi yang lebih besar, gejala yang sering terlihat yaitu takipnea,
retraksi dinding dada, sianosis, batuk, demam, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang
sering terjadi yaitu demam, batuk (non produktif atau produktif), takipnea, dan dispnea yang
ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja dapat ditemui
demam, batuk (non produktif atau produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi.
Menurut DepKes (2004), tanda dan gejala pneumonia diantaranya yaitu batuk, pilek, demam
disertai adanya kesukaran bernapas dan peningkatan frekuensi napas sesuai usia. Napas cepat
dapat diketahui dengan menghitung frekuensi napas dalam satu menit penuh yang dihitung
ketika kondisi anak tenang. Untuk anak usia kurang dari dua bulan, dikatakan napas cepat
jika frekuensi napasnya ≥60 kali per menit, untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dikatakan
napas cepat jika frekuensi napasnya ≥50 kali per menit, dan untuk balita (1-5 tahun) dikatakan
napas cepat jika frekuensi napasnya ≥40 kali per menit (WHO, 2011).

6. Penatalaksanaan Medis
Tata laksana bronkopneumonia terbagi menjadi dua yaitu tindakan suportif dan
medikamentosa (Enarson & Gie, 2005). Tindakan suportif seperti pemberian oksigen secara
nasal kanul (nasal prong) untuk mempertahankan saturasi oksigen >90%. Pemberian cairan
dan nutrisi yang adekuat juga merupakan tindakan suportif. Jika sekret berlebih dapat
diberikan inhalasi dengan normal salin untuk memperbaiki transport mukosiliar. Tata laksana
kedua yaitu medikamentosa dengan pemberian terapi antibiotik sesuai dengan pola kuman
tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
Menurut Ricciuti dan Schub (2010) tata laksana infeksi saluran napas bawah pada bayi
membutuhkan fisioterapi dada seperti perkusi dengan kombinasi suction. Fisioterapi dada
sebaiknya didahului dengan pemberian bronkodilator dan normal salin untuk membantu
mengencerkan mukus yang kental. Pemantauan saturasi oksigen sangat diperlukan untuk
mengetahui keberhasilan terapi dan mencegah kondisi lebih parah. Selain pemerian
fisioterapi dada sebagai terapi suportif, pemantauan status hidrasi dan status ASI
eksklusif sangat dianjurkan. Dengan cairan yang adekuat dan ASI eksklusif diteliti dapat
mempercepat penyembuhan dan mempersingkat hari rawat (Abdullah, 2003).
B. KONSEP DASAR TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 4 TAHUN
1. Pendahuluan
Kebutuhan dasar seorang anak adalah asah (kebutuhan akan stimulasi mental dini),
asih (kebutuhan emosianal), dan asuh (kebutuhan biomedis). Ketiga kebutuhan dasar anak
tersebut seharusnya terpenuhi sehingga anak akan tumbuh sesuai dengan tugas
perkembangannya. Karena bila anak mengalami keterlambatan pada salah satu tugas
perkembangan, maka akan mempengaruhi tugas perkembangan berikutnya. Hal ini akan
menyebabkan gangguan psikologis, yaitu kurangnya kepercayaan diri pada diri anak. Maka
orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitar anak (termasuk guru) berkewajiban
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan dasar anak tersebut.
Kenyataannya adalah, tidak semua orang tua maupun guru memperhatikan ketiga
kebutuhan tersebut. Mereka tidak memperhatikan karakter anak yang jauh berbeda dengan
orang dewasa. Anak lebih cenderung diperlakukan seperti orang dewasa. Diberi tugas yang
banyak sehingga anak menjadi stress. Dengan alasan membuat anak menjadi cerdas, mereka
men-cekok-i anak dengan se-abrek tugas seperti orang dewasa. Mereka lupa bahwa tumbuh
kembang anak (termasuk anak 4 tahun) tidak sama dengan orang dewasa. Mereka memiliki
karakter yang unik dengan gaya belajar yang berbeda-beda.
Seharusnyalah anak diperlakukan atau distimulasi sesuai karakternya dan gaya
belajarnya, sehingga anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangannya. Tentu
saja dengan tidak mengesampingkan tiga macam kebutuhan anak seperti diungkap
sebelumnya. Ketiga kebutuhan yang sangat penting tersebut memang harus terpenuhi
semuanya. Namun, yang akan dibicarakan saat ini adalah kebutuhan asah (kebutuhan akan
stimulasi mental dini) anak. Kebutuhan ini berhubungan dengan cikal bakal proses
pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan yang diberikan sedini dan sesuai mungkin. Terutama
pada usia 4 tahun sehingga akan terwujud etika, kepribadian yang mantap, arif, dengan
kecerdasan, kemandirian, keterampilan dan produktivitas yang baik. Untuk mewujudkan hal
itu, seperti telah diungkap di atas, harus ada kesesuaian antara perlakuan atau stimulasi yang
diberikan dengan karakter anak dan gaya belajarnya.
APAKAH TUMBUH KEMBANG ITU?
Bila berbicara tentang tumbuh kembang, kita akan ingat betapa kita dulu adalah bayi
baru lahir yang tidak mandiri. Kita mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga bisa
mandiri dan menjadi seperti sekarang. Namun, apakah sebenarnya tumbuh kembang itu?
Secara harfiah, menurut Albert, dkk (2002) dalam tim wikipedia (2008), pertumbuhan
merupakan proses pertambahan ukuran (volume, massa, atau dimensi tertentu) yang
berlangsung di dalam organisme; sedangkan perkembangan adalah suksesi dari perubahan
yang berlangsung di dalam organisme. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Ns. Anisah
Ardiana (2007) yang mengatakan bahwa pertumbuhan meliputi perubahan fisik, peningkatan
jumlah sel, perubahan ukuran, kuantitatif, tinggi badan, berat badan, ukuran tulang, gigi, dan
pola bervariasi. Sedangkan perkembangan meliputi perubahan kualitatif, maturation,
sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
merupakan perubahan fisik, sedangkan perkembangan adalah perubahan
mental/kematangan/kedewasaan. Sehingga pada dasarnya, menurut Suriviana (2008),
pertumbuhan (growth) berkaitan dengan dengan masalah perubahan dalam ukuran fisik
seseorang. Sedangkan perkembangan (development) berkaitan dengan pematangan dan
penambahan kemampuan (skill) fungsi organ atau individu. Kedua proses ini terjadi secara
sinkron pada setiap individu.
Suriviana (2008) kemudian memaparkan bahwa proses tumbuh kembang seseorang
merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling terkait, yaitu: faktor genetik/keturunan,
lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial dan perilaku. Proses ini bersifat individual dan unik
sehingga memberikan hasil akhir yang berbeda dan ciri tersendiri pada setiap anak. Penilaian
terhadap pertumbuhan seorang anak dapat dinilai melalui pertambahan berat dan tinggi badan;
sampai anak berusia 2 tahun masih dapat digunakan penilaian melalui lingkar kepala yang
biasanya dibandingkan dengan usia anak. Beberapa cara penilaian melalui pemeriksaan fisik
atau klinikal, pemeriksaan antropometri (membandingkan tinggi badan terhadap umur, berat
badan terhadap umur, lingkaran kepala terhadap umur, lingkar lengan atas terhadap umur),
contohnya KMS (kartu menuju sehat) yang membandingkan berat badan terhadap umur,
pemeriksaan radiologis, laboratorium, dan analisa diet.
Ciri-ciri tumbuh kembang itu sendiri menurut Ns. Anisah Ardiana (2007) meliputi
perubahan dalam aspek fisik dan psikis, perubahan dalam proporsi, lenyapnya tandatanda
yang lama dan diperoleh tanda-tanda yang baru. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
tumbuh kembang menurut Ns. Anisah Ardiana (2007), faktor genetik dan faktor
eksternal/lingkungan (keluarga, kelompok teman sebaya, pengalaman hidup, kesehatan, dan
lingkungan tempat tinggal). Namun Suriviana (2008) hanya mengungkapkan faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan saja, yaitu heredo konstitusional (tergantung ras, genetik,
jenis kelamin, dan kelainan bawaan), faktor hormonal (insulin , tiroid, hormon sex dan
steroid), serta faktor lingkungan selama dan sesudah lahir (gizi, trauma, sosio-ekonomi, iklim,
aktivitas fisik, penyakit, dll).
Dengan melihat pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa tumbuh kembang
merupakan perubahan yang terjadi pada seorang individu baik secara fisik maupun mental
(nature maupun mature). Bagaimana dengan tumbuh kembang anak usia 4 tahun?
Bagaimana bila ada keterlambatan dalam tumbuh kembangnya? Apakah akan berpengaruh
pada proses tumbuh kembang berikutnya? Bagaimana men-stimulasi tumbuh kembang anak
usia 4 tahun agar menjadi maksimal?

2. Tumbuh Kembang Anak Usia 4 tahun


Tahap-tahap perkembangan (meliputi tumbuh dan kembang) manusia dapat dilihat
sejak manusia dilahirkan (bayi). Pada usia 4 tahun, perkembangan manusia dapat dilihat dari
berbagai aktivitas dan perilaku. Ns. Anisah Ardiana (2007) memaparkan perkembangan anak
usia 4 tahun anak seharusnya:
a. Mampu melompat dan menari,
b. Mampu menggambar orang terdiri dari kepala, lengan dan badan,
c. Mampu menghitung jari-jarinya,
d. Mampu mendengar serta mengulang hal-hal penting dan cerita,
e. Minat kepada kata baru dan artinya,
f. Mampu memprotes bila dilarang apa yang diinginkannya,
g. Mampu membedakan besar dan kecil,
h. Menaruh minat kepada aktivitas orang dewasa.

Yulia Ayriza (2005) mengungkapkan bahwa tumbuh kembang anak dapat dilihat dari
berbagai aspek, diantaranya aspek kognitif, fisik motorik, sosial, bahasa, moral. Namun, aspek
yang paling dapat mempengaruhi aspek lainnya adalah aspek kognitif dan fisik motorik. Untuk
itu, kali ini hanya akan disoroti perkembangan anak usia 4 tahun pada aspek kognitif dan fisik
motorik saja. Terlebih dahulu, akan diungkap perkembangan fisik motorik. Perkembangan
fisik motorik terbagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik halus.
Pekembangan fisik motorik kasar:
a. Meloncat
b. Mengendarai sepeda kecil
c. Menangkap bola
Sedangkan perkembangan fisik motorik halus:
a. Menggunakan pensil
b. Menggunakan gunting
Setelah mengetahui perkembangan fisik motorik anak usia 4 tahum, maka diungkap
perkembangan kognitif anak usia 4 tahun yang meliputi:
a. Berpikir konvergen (memusat) menuju ke suatu jawaban yang paling mungkin dan paling
benar terhadap suatu persoalan.
b. Tahap praoperasional (Piaget): anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis,
fungsi simbolis penguasaan bahasa semakin sistematis, egosentris tidak mampu
melihat dari perspektif orang lain, imitasi peniruan besar-besaran, centralized berpikir
terpusat pada satu dimensi, berpikir tidak dapat dibalik, berpikir terarah statis.
c. Vygotsky: stimulasi kognitif di ZPD (Zone of Proximal Development): wilayah dekat
kematangan, potensial dan sensitif untuk distimulasi.
Kedua pendapat di atas, walaupun memiliki perbedaan, namun tetap memiliki beberapa
kesamaan, yaitu lebih cenderung memfokuskan pada perkembangan kognitif dan fisik motorik
(baik motorik kasar maupun halus).

3. Bermain dan Gaya Belajar Anak Usia 4 Tahun


Pada baris ketiga bait di atas, dikatakan bahwa 4 tahum merupakan tempat bermain,
dan bukanlah tempat belajar. Mengapa bermain? Karena bermain merupakan hal yang ajaib
bagi anak (anak berada dalam masa bermain). Rumini dkk (1993) megatakan bahwa anak
memiliki beberapa sifat, yaitu: merupakan masa bermain, egosentrik, cara berpikir memusat
(centralized), berpikir tak dapat dibalik (irreversible), dan berpikir terarah statis. Agar anak
berkembang normal dan positif, maka perlakukan mereka sesuai tahap perkembangan dan
karakteristiknya, di antaranya adalah jangan memalingkan mereka dari masa bermain mereka.
Menurut Tedjasaputra (2005), bermain merupakan wadah bagi anak untuk merasakan
berbagai pengalaman seperti emosi, senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah dan
sebagainya. Anak akan merasa senang bila bermain, dan banyak hal yang didapat anak selain
pengalaman. Bermain dengan kata “bermain” memang menyenangkan. Itu pula sebabnya
mengapa anak begitu unik dan menyenangkan.
Peran dan tujuan bermain ada bermacam-macam. Berikut beberpa teori klasik dan
modern tentang tujuan dan peran bermain yang dikutip oleh Tedjasaputra (2005):

Tebel 1. Teori-teori klasik


Teori Penggagas Tujuan Bermain

Surplus energi Schiller/Spencer Mengeluarkan energi berlebih

Rekreasi Lazarus Memulihkan tenaga

Rekapitulasi Hall Memunculkan instink nenek moyang

Praktis Gross Menyempurnakan instink

Tabel 2. Teori-teori modern


Teori Peran bermain dalam perkembangan anak

Psikoanalitik Mengatasi pengalaman traumatik, coping


terhadap frustrasi

Kognitif-Piaget Mempraktekkan dan melakukan konsolidasi


konsep-konsep serta keterampilan yang telah
dipelajari sebelumnya

Kognitif-Vygotsky Memajukan berpikir abstrak; belajar dalam kaitan


ZPD; pengaturan diri

Kognitif-Bruner/Sutton- Memunculkan fleksibilitas perilaku dan berpikir;


Smith imajinasi dan narasi

Singer Mengatur kecepatan stimulasi dari dalam dan dari


luar

Teori-teori lain

Arousal Modulation Tetap membuat anak terjaga pada tingkat optimal


dengan menambah stimulasi

Bateson Memajukan kemampuan untuk memahami


berbagai tingkatan makna
Melalui bermain anak dapat belajar banyak hal; sering disebut “bermain sambil
belajar”. Mengapa bukan “belajar sambil bermain”? Karena yang pokok di sini adalah
bermain. Di dalam bermain akan ditemukan pelajaran-pelajaran yang bermakna. Seperti
dikatakan DePorter & Hernacki (2003), gaya belajar ada tiga, yaitu: auditorial (belajar dengan
cara mendengar), visual (belajar dengan cara melihat), dan kinestetik (belajar dengan cara
bergerak, bekerja, dan menyentuh). Bermain dapat merangkum ketiganya. Gaya belajar
apapun yang dimiliki anak, anak dapat memperoleh pengetahuan dengan melakukan kegiatan
bermain.
Nasution (2003) berpendapat berbeda dengan DePorter & Hernacki (2003). Ia
mengatakan bahwa gaya belajar atau learning style merupakan cara yang konsisten yang
dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat,
berpikir, dan memecahkan soal. Dan gaya belajar ini terbagi menjadi tiga, yaitu: field
dependence-field independence (ada yang dipengaruhi lingkungan dan ada yang tidak
dipengaruhi lingkungan), impulsif-reflektif (ada yang mengambil keputusan dengan cepat
tanpa memikirkannya secara mendalam dan ada yang mempertimbangkan segala alternatif
sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian yang
mudah), dan preseptif/reseptif-sistematis/intuitif (ada yang menyaring informasi yang masuk
serta memperhatikan hubungan-hubungan diantaranya dan ada yang lebih memperhatikan
detail atau perincian informasi serta tidak berusaha untuk membula4 Tahunan atau
mempertalikan informasi yang satu dengan yang lain; ada yang mencoba melihat struktur
suatu masalah serta bekerja sistematis dengan data atau informasi untuk memecahkan suatu
persoalan dan ada yang langsung mengemukakan jawaban tertentu tanpa menggunakan
informasi secara sistematis).
Walaupun dua pendapat di atas berbeda, namun semuanya merupakan gaya belajar,
dan semua gaya belajar tersebut dapat ter-cover dalam kegiatan bermain. Dengan gaya belajar
yang berbeda-beda anak tetap dapat belajar bersama dalam kegiatan bermain. Sehingga pada
dasarnya, masa bermain yang merupakan salah satu karakter anak, dapat digunakan sebagai
sarana menstimulasi tumbuh kembang anak dengan gaya belajar anak yang berbeda-beda.
Selanjutnya, bermain yang bagaimana yang dapat menstimulasi tumbuh kembang anak usia 4
tahun dengan gaya belajar yang dimilikinya?

4. Stimulasi bagi Tumbuh Kembang Anak Usia 4 Tahun


Dikatakan sebelumnya bahwa menstimulasi anak usia 4 tahun tidak terlepas dari
karakternya yang berada pada masa bermain; dan tentu saja dengan tidak mengenyampingkan
gaya belajar yang dimiliki anak. Melalui bermain anak dapat berkembang baik aspek maupun
kecerdasannya. Dalam satu kegiatan bermain, ada beberapa aspek ataupun beberapa
kecerdasan anak yang berkembang. Menurut Kurikulum 2004 (KBK), aspek yang dimaksud
adalah aspek kemampuan dasar (bahasa, daya pikir, daya cipta, fisik/jasmani, dan
keterampilan) dan aspek pembiasaan (perilaku, moral, pancasila, dan disiplin).
Sedangkan menurut Gardner dalam Suparno (2004), kecerdasan yang dimaksud adalah
kecerdasan jamak atau kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang terdiri dari
kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan ruang-visual, kecerdasan
kinestetik-badani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
kecerdasan lingkungan (natural), dan kecerdasan eksistensial.
Sebagai contoh adalah kegiatan permainan ”kucing-kucingan”; anak membentuk
lingkaran, ada yang menjadi kucing dan ada yang menjadi tikus (seperti lazim dimainkan
anak-anak). Dalam permainan tersebut aspek yang dapat berkembang pada diri anak adalah
aspek bahasa, fisik/jasmani, perilaku, moral, pancasila, dan disiplin; sedangkan kecerdasan
yang dapat berkembang adalah kecerdasan linguistik, ruang-visual, kinestetik-badani,
interpersonal, intrapersonal, dan natural. Dengan gaya belajar yang berbeda-beda, anak dapat
tumbuh dan berkembang sesuai tugas perkembangannya melalui kegiatan bermain.
Selain melalui kegiatan bermain, stimulasi yang tepat bagi tumbuh kembang anak usia
4 tahum adalah melalui pembiasaan dan modeling (sesuai dengan teori sosial-kognitif
Bandura) yang dapat dilakukan di rumah oleh keluarga ataupun di 4 tahum oleh guru. Namun,
tentu saja dengan catatan bahwa harus ada sinkronisasi antara apa yang diperoleh di rumah
dengan yang diperoleh di 4 tahun. Misal, bila di rumah diajarkan ABCD, di 4 tahun pun harus
ABCD, bukan EFGH.
Pembiasaan yang dilakukan meliputi perilaku, agama, moral, pancasila, dan disiplin;
seperti termaktub dalam kurikulum 2004 (KBK). Sedangkan yang dapat dijadikan model
adalah guru dan keluarga. Keluarga, terutama orang tua (menurut teori Bandura) merupakan
model bagi anak (walaupun guru juga termasuk model bagi anak). Inti dari teori Bandura
adalah modeling, proses observational learning atau mengamati tingkah laku orang lain;
individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku orang lain yang menjadi model bagi
dirinya. Jadi, keluarga yang begitu dekat dengan anak secara otomatis akan menjadi model
bagi anak. Keadaan ini seharusnya dimanfaa4 Tahunan secara optimal oleh orang tua dengan
memberikan contoh perilaku yang baik kepada anak di rumah. Dengan demikian, secara tidak
langsung keluarga menjadi salah satu sumber belajar by utilization bagi anak.
Memberikan contoh perilaku yang baik, tidak hanya berupa perilaku yang sopan, jujur,
atau perilaku baik “real” lainnya, melainkan perilaku baik yang diungkapkan secara implicit.
Orang tua dapat menjadi fasilitator dengan cara berusaha mengerti anak-anak (mendengarkan
apa yang mereka katakan), menjawab pertanyaan dengan bijaksana, tidak membandingkan
hasil karya mereka (menghargai karya anak berarti menghargai diri mereka), dan tidak
memarahi anak ketika membuat kesalahan.
Keluarga dapat menciptakan suasana rumah seperti surga bagi anak, menjadikan
lingkungan dalam rumah (termasuk keluarga itu sendiri) sebagai sumber belajar yang efektif
dan membuat anak betah berada di rumah. Keluarga harus mampu memanfaa4 Tahunan area-
area yang ada untuk stimulasi anak sesuai dengan perkembangannya dan menciptakan
komunikasi yang efektif. Di lingkungan ini anak akan belajar tentang kehidupan. Anak akan
meniru segala hal yang dilihatnya di rumah. Bila yang dilihat baik, maka ia akan baik; begitu
pula sebaliknya. Pepatah mengatakan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Pepatah
ini mempunyai arti senada dengan pepatah yang mengatakan bahwa buah jatuh tidak akan
jauh dari pohonnya. Maksud pepatah ini adalah perilaku seorang anak kelak akan sama seperti
orang tuanya. Hal ini dikarenakan ia belajar tentang hidup dari orangnya. Ia melihat dan
kemudian meniru. Proses inilah yang diutarakan oleh Bandura melalui teori sosial kognitifnya.
Agar menjadi sumber belajar yang efektif, keluarga tentu lah harus memiliki wawasan
yang luas tentang pendidikan anak usia dini, memahami anak, dan stimulasi yang diberikan
pada anak harus selaras dengan yang diberikan oleh sekolah (jangan sampai ada kontradiktif
antara pelajaran dan pengalaman yang diterima di 4 tahun dengan di rumah). Dengan
demikian, yang mempunyai tugas paling berat dalam mendidik dan mengasuh anak adalah
keluarga, terutama orang tua. Seperti yang dikemukakan oleh Montessori dalam Andriana
(2005), lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar pada perkembangan dan
pembelajaran anak. Lingkungan, dalam konteks kali ini adalah rumah di mana salah satu
komponennya adalah keluarga. Keluarga diharapkan dapat menciptakan setting rumah yang
kondusif untuk proses belajar anak. Keluarga yang diharapkan adalah keluarga yang harmonis.
Keluarga yang perhatian pada anak akan menghasilkan anak yang perhatian pada lingkungan
di sekitarnya; dan masih banyak pelajaran lain yang dapat diterima anak dalam lingkungan
keluarga.
C. KONSEP DASAR HOSPITALISASI ANAK USIA 4 TAHUN
1. Konsep Hospitalisas
Hospitalisasi adalah suatu keadaan di mana seseorang dalam menjalani perawatan di
rumah sakit (Dorland, 1994). Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi
dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Hospitalisasi merupakan stressor
baik bagi anak maupun keluarga, yang diikuti ketidaktahuan, lingkungan yang asing serta
kebiasaan berbeda, dan tersebut menyebabkan anak dan keluarga tertekan (Supartini, 2004).
Selama proses tersebut bukan saja anak tetapi orang tua juga mengalami kebiasaan yang
asing, lingkungannya yang asing, orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi akan
menunjukkan rasa cemas. Rasa cemas pada orang tua akan membuat stress anak meningkat.
Dengan demikian asuhan keperawatan tidak hanya terfokus pada anak tetapi juga pada orang
tuanya (Alawin, 2008).

2. Sterssor Umum Hospitalisasi pada usia 4 tahun


Anak usia pra sekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun. Bagi anak
usia pra sekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di rumah
sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang
dirasakanya aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan. Anak juga harus
meninggalkan lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya
(Supartini, 2004).
Perilaku anak untuk beradaptasi terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit dengan cara :
a. Penolakan (Advoidance); perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang
membuat anak tertekan, anak berusaha menolak treatment yang diberikan seperti :
disuntik, tidak mau dipasang infus, menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif
kepada petugas medis.
b. Mengalihkan perhatian (Distraction); anak berusaha mengalihkan perhatian dari
pikiran atau sumber yang membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak
misalnya meminta cerita saat dirumah sakit, menonton tv saat dipasang infus atau
bermain mainan yang disukai.
c. Berupaya aktif (active); anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan
sesuatu secara aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan kondisi
kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif pada tenaga medis, minum
obat secara teratur dan beristirahat sesuai dengan peraturan yang diberikan.
d. Mencari dukungan (Support Seeking); anak mencari dukungan dari orang lain untuk
melepaskan tekanan atas penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan meminta
dukungan pada orang yang dekat dengannya, misalnya orang tua atau saudaranya.
Biasanya anak minta di temani selama di rumah sakit, didampingi saat dilakukan
treatment padanya, minta dielus saat merasa kesakitan (Wahyunin, 2001).
2.1. Kecemasan Terhadap Perpisahan
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk
berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan
menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman
sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia
prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering
bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan
tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Dampak dari perpisahan yang dialami
anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada
anak tersebut (Moersintowati, dkk, 2008).
Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan
anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan
takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut
gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah
yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul
karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa
tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000).
2.2. Kehilangan Kendali/ Kontrol
Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga mengalami cemas akibat
kehilangan kendali atas dirinya. Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan
kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. Anak akan bereaksi
negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi cepat
marah dan agresif (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Kecemasan yang
muncul merupakan respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang berbahaya,
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998).
Sedangkan menurut Gunarso (1995), kecemasan juga dapat diartikan rasa khawatir
takut tidak jelas sebabnya.
Anak usia prasekolah merasa (kehilangan kendali) karena mereka mengalami
ketakutan mereka sendiri. Potter (2005) juga mengemukakan bahwa selama waktu
sakit, anak usia prasekolah mungkin kembali ngompol, atau menghisap ibu jari dan
menginginkan orang tua mereka untuk menyuapi, memakaikan pakaian dan
memeluk mereka.
2.3. Cidera Tubuh dan Nyeri
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di
rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya
apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan
menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini,
2004). Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak
beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit dimana ia dirawat. Anak akan mencari
dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang
dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang terdekat dengannya
misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan
permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat
dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat
merasa kesakitan. Reaksi anak usia prasekolah terhadap rasa nyeri sama seperti
sewaktu masih bayi. Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan menyeringaikan
wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar,
atau melakukan tindakan agresif seperti menendang dan memukul. Namun, pada
akhir periode balita anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri
yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri (Nursalam, Susilaningrum, dan
Utami, 2005).

3. Bermain Pada Usia 4 Tahun


a. Defenisi Bermain
Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir (Iqeq, 2003). Supartini
(2004) menjelaskan bahwa bermain sebagai aktivitas yang dapat dilakukan anak
sebagai upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya dan bermain pada anak
di rumah sakit menjadi media bagi anak untuk mengekspresikan perasaan, relaksasi
dan distraksi perasaan yang tidak nyaman.
b. Fungsi Bermain
Wong (2003) mengemukakan bahwa fungsi bermain antara lain Perkembangan
Sensori Motorik; memperbaiki keterampilan motorik kasar dan halus serta koordinasi,
meningkatkan perkembangan semua indera, mendorong eksplorasi pada sifat fisik
dunia, memberikan pelampiasan kelebihan energi; Perkembangan Intelektual;
memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk pembelajaran, eksplorasi dan
manipulasi bentuk, ukuran, tekstur dan warna, pengalaman dengan angka, hubungan
yang renggang, konsep abstrak, kesempatan untuk mempraktekkan danmemperluas
ketrampilan berbahasa, memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa lalu
dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan baru, membantu anak
memahami dunia dimana mereka hidup dan membedakan antara fantasi dan realita.
Perkembangan Sosialisasi dan Moral; mengajarkan peran orang dewasa, termasuk
perilaku peran seks, memberikan kesempatan untuk menguji
hubungan,mengembangkan ketrampilan sosial, mendorong interaksi dan
perkembangan sikap yang positif tehadap orang lain, menguatkan pola perilaku yang
telah disetujui oleh standar moral.
Fungsi bermain yang lain antara lain : Kreativitas; memberikan saluran
ekspresif untuk ide dan minat yang kreatif, memungkinkan fantasi dan imajinasi,
meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus. Kesadaran Diri; memudahkan
perkembangan identitas diri, mendorong pengaturan perilaku sendiri, memungkinkan
pengujian pada kemampuan sendiri (keahlian sendiri), memberikan perbandingan
antara kemampuan sendiri dan kemampuan orang lain, memungkinkan kesempatan
untuk belajar bagaimana perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain. Nilai
Terapeutik; memberikan pelepasan stress dan ketegangan, mendorong percobaan dan
pengujian situasi yang menakutkan dengan cara yang aman, memudahkan komunikasi
verbal tidak langsung dan non verbal tentang kebutuhan rasa takut dan keinginan.
c. Tujuan Bermain
Supartini (2004) mengemukakan beberapa tujuan dari terapi bermain antara lain :
i. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat sakit
anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangannya, walaupun
demikian selama anak dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan masih harus tetap di lanjutkan untuk menjaga kesinambungannya.
ii. Mengespresikan perasaan, keinginan dan fantasi, serta ide-idenya pada saat anak
sakit dan dirawat di rumah sakit anak mengalami berbagai perasaan yang sangat
tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengespresikannya secara
verbal, permainan adalah media yang sangat efektif untuk mengeskpresikannya.
iii. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah, permainan
akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu
seperti yang ada dalam pikirannya.
iv. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap sters karena sakit dan dirawat di rumah
sakit.

Menurut supratini (2004) klasifikasi bermain untuk usia anak 4 tahun adalah
a. Associative play merupakan permainan yang sudah terjadi komunikasi antara satu
anak dengan anak lain, tetapi tetap terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang
memimpin permainan dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh permainan ini
adalah bermain boneka, hujan-hujanan, dan bermain masak-masakan.
b. Dramatic play merupakan permainan yang memainkan peran sebagai orang lain
melalui permainannya. Anak berceloteh sambil memakai pakaian yang meniru
kebiasaan oran dewasa pada berpakaian misalnya, ibu guru, ayahnya, ibunya,
kakaknya, dan sebagainya yang ingin anak tiru. Permainan ini penting untuk
proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.
c. Skill play merupakan permainan yang akan meningkatkan keterampilan,
khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya anak akan terampil memegang
benda-benda tertentu, memindahkan dari satu tempat ke tempat tertentu dan anak
terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan
kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering anak melkukannya maka
semakin terampil.
Adapun jenis-jenis permainan untuk usia prasekolah:
- Peralatan rumah tangga
- Sepeda roda Tiga
- Papan tulis/kapur
- Lilin,boneka,kertas
- Drum,buku dengan kata simple,kapal terbang,mobil,truk
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH BRONKHOPNEUMONI
1. Pengkajian
a. Identitas
Umumnya anak dengan daya tahan terganggu akan menderita pneumonia berulang
atau tidak dapat mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain itu daya tahan tubuh
yang menurun akibat KEP, penyakit menahun, trauma pada paru, anesthesia, aspirasi
dan pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.
b. Riwayat Keperawatan
i. Keluhan utama
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan dangkal, diserai pernapasan
cuping hidupng, serta sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah
dan diare.atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
ii. Riwayat penyakit sekarang
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40oC
dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
iii. Riwayat penyakit dahulu
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
iv. Riwayat kesehatan keluarga
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya.
c. Riwayat kesehatan lingkungan
Menurut Wilson dan Thompson, 1990 pneumonia sering terjadi pada musim hujan dan
awal musim semi. Selain itu pemeliharaan ksehatan dan kebersihan lingkungan yang
kurang juga bisa menyebabkan anak menderita sakit. Lingkungan pabrik atau banyak
asap dan debu ataupun lingkungan dengan anggota keluarga perokok.
d. Imunisasi
Anak yang tidak mendapa4 Tahunan imunisasi beresiko tinggi untuk mendapat
penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau bawah karena system pertahanan tubuh
yang tidak cukup kuat untuk melawan infeksi sekunder.
e. Nutrisi
Riwayat gizi buruk atau meteorismus (malnutrisi energi protein = MEP).
f. Pemeriksaan persistem.
1) Sistem kardiovaskuler
Takikardi, iritability
2) Sistem pernapasan
Sesak napas, retraksi dada, melaporkan anak sulit bernapas, pernapasan cuping
hidung, ronki, wheezing, takipnea, batuk produktif atau non produktif, pergerakan
dada asimetris, pernapasan tidak teratur/ireguler, kemungkinan friction rub,
perkusi redup pada daerah terjadinya konsolidasi, ada sputum/sekret. Orang tua
cemas dengan keadaan anaknya yang bertambah sesak dan pilek.
3) Sistem pencernaan
Anak malas minum atau makan, muntah, berat badan menurun, lemah. Pada orang
tua yang dengan tipe keluarga anak pertama, mungkin belum memahami tentang
tujuan dan cara pemberian makanan/cairan personde.
4) Sistem eliminasi
Anak atau bayi menderita diare, atau dehidrasi, orang tua mungkin belum
memahami alasan anak menderita diare sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai
berat).
5) Sistem saraf
Demam, kejang, sakit kepala yang ditandai dengan menangis terus pada anakanak
atau malas minum, ubun-ubun cekung
6) Sistem lokomotor/muskuloskeletal
Tonus otot menurun, lemah secara umum
7) Sistem endokrin
Tidak ada kelainan
8) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, membran mukosa kering, sianosis, pucat, akral hangat,
kulit kering
9) Sistem penginderaan
Tidak ada kelainan.

2. Diagnosa Keperawatan yang muncul


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Proses inflamasi
2. Bersihan jalan napas tidak efektif behubungan dengan Akumulasi Sekret
3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan proses Inflamasi
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antarasuplay dan
5. Kebutuhan oksigen
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme inefektif
7. Cemas berhubungan dengan dipsneu
8. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan hospitalisasi anak
9. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya akumulasi sekret
10. Resiko tinggi perubahan suhu tubuh : hipertemi berhubungan dengan proses inflamasi
11. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan hipertermi

3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang diten tukan dengan
maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang mencakup aspek peningkatan,
pencegahan, pemeliharaan serta pemulihan kesehatan dengan mengikut sertakan pasien dan
keluarganya dengan kriteria :
a. Dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan.
b. Menyangkut keadaan bio, psiko, social, spiritual pasien.
c. Menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga.
d. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
e. Menggunakan sumber daya yang ada.
f. Menerapkan prinsip aseptic dan antiseptic.
g. Menerapkan prinsip aman, nyaman, ekonomis, privacy, dan mengutamakan keselamatan
pasien.
h. Melaksanakan perbaikan tindakan berdasarkan respon pasien.
i. Merujuk dengan segera bila ada masalah yang mengancam keselamatan pasien.
j. Mencatat semua tindakan yang telah dilaksanakan.
k. Merapikan pasien dan alat setiap selesai melakukan tindakan.
l. Melaksanakan tindakan keperawatan berpedoman pada prosedur teknis yang telah
ditentukan.

Intervensi keperawatan berorientasi pada 14 komponen keperawatan dasar meliputi:


1. Memenuhi kebutuhan oksigen.
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Memenuhi kebutuhan eliminasi.
4. Memenuhi kebutuhan keamanan.
5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan fisik.
6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur.
7. Memenuhi kebutuhan gerak dan kegiatan jasmani.
8. Memenuhi kebutuhan spiritual.
9. Memenuhi kebutuhan emosional.
10. Memenuhi kebutuhan komunikasi
11. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologis.
12. Memenuhi kebutuhan pengobatan dan membantu proses penyembuhan.
13. Memenuhi kebutuhan penyuluhan.
14. Memenuhi kebutuhan rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpetino, Lj, (1999). Rencana asuhan dan dokumentasi keperawatan. Ed.2 jakarta : EGC
Dongoes (2000). Diagnosa keperawatan.Ed.8.Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif, et all. (1999). Kapita selekta kedokteran. Fakultas kedokteran UI : Media
Aescullapius.
Pitono Soeparto, dkk. (1997). Gastroenterologi Anak. Surabaya : GRAMIK fk Universitas
Airlangga
Price, Andrean Sylvia. (1997). Patofisiologi. Ed. I. Jakarta : EGC
Butcher, Howard. dkk. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC): Fifth Edition.
Miscourt: Mosby Elsevier.
Heardman, Heather. 2009. Nuring Diagnosis: Definition & Classification. United Kingdom:
Markono Print Media.
Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan (Aplikasi Pada Praktek Klinis). Jakarta:
Salemba Medika.
Swanson, Elizabeth. dkk. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Fourth Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Williams & Wilkins. 2008. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta Barat:
Indeks.
http://kennymarinda.wordpress.com/2013/09/17/askep-pada-pasien-gastroenteritis/
(19/10/2014).
http://dianaarinda.blogspot.com/2012/05/laporan-pendahuluan-gastroenteritis-ge.html
(19/10/2014).
http://tiwicubby-keperawatangawatdarurat.blogspot.com/2011/03/geads-gastroenteritis-
dehidrasi-sedang.html (19/10/2014).
http://yogasrondeng.blogspot.com/2013/09/askep-gastroenteritis-ge.html (19/10/2014).
http://gastroenteritispadaanak.blogspot.com/ (19/10/2014).

Anda mungkin juga menyukai