Anda di halaman 1dari 36

REFLEKSI KASUS KARDIOLOGI

UNSTABLE ANGINA PECTORIS

Disusun oleh:
Putri Permata Sari
42170175

Dosen Pembimbing :

dr. Lidwina Br Tarigan, Sp.JP (FIHA)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT BETHESDA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2018
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. S
Tanggal lahir : 10 April 1946 (72 Tahun)
No RM : 01910536
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sambilegi Baru Lor, Maguwoharjo
Masuk RS. Bethesda : 16 Juli 2018 (dari IGD)

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri dada
B. Riwayat Penyakit Sekarang
OS merasakan nyeri dada sebelah kiri sejak 13 Juli 2018 (3 hari yang lalu). Nyeri
dada hilang timbul selama 3 hari dan membaik dengan istirahat. OS mengatakan
nyeri dada terasa seperti ditusuk dan menjalar ke lengan dan leher kiri. Pada hari
ketiga nyeri semakin memberat kemudian keluarga membawa OS ke IGD RS
Bethesda.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa sebelumnya :-
Pasien pernah dirawat di RS karena stroke dan melakukan kontrol rutin untuk rawat
jalan
Stroke :+
Pasien dirawat di rumah sakit karena serangan stroke, bermanifestasi sebagai
kelemahan anggota gerak kanan dan disartria.
Hipertensi :+
Diabetes mellitus :+
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak diketahui
E. Riwayat Pengobatan
Citikolin, Glucophage, Valsartan, Nevramin
F. Riwayat Alergi
Tidak diketahui
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Deskripsi Umum
Keadaan umum : Pucat, lemah
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4 V5 M6
Tanda Vital
Tekanan darah : 160/90mmHg
Nadi : 70x/menit, dekstra et sinistra regular, sama kuat
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,7˚C
Status psikologis : Tenang
Fungsional : Membutuhkan bantuan.
2. Kepala
Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek pupil direct dan
indirect (+/+), mukosa bibir basah, otorea (-/-), rhinorhea (-/-)
3. Thorax
Paru – paru
 Inspeksi : Simetris dekstra et sinistra, jejas (-), retraksi dinding dada (-),
menggunakan otot bantu napas (-)
 Palpasi : Ketinggalan gerak (-), fremitus normal, pengembangan dada
normal
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar Vesicular, wheezing (-/-), ronkhi halus (-/-).
Jantung
 Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak tampak pada dinding dada
 Palpasi : Iktus cordis di SIC VI linea Aksilla anterior sinistra
 Perkusi : Batas kiri jantung atas SIC II linea midclavicularis sinistra
Batas kiri jantung bawah SIC VI linea aksilla anterior
Batas kanan jantung  SIC II-IV linea parasternalis dekstra
 Auskultasi : S1 dan S2 normal, terdengar tunggal, intensitas sama keras
S2 terdengar tunggal, dan splitting pada inspirasi.
4. Abdomen
 Inspeksi : Distensi abdomen (-), penonjolan massa (-)
 Auskultasi : Bising usus dalam batas normal, peristaltik usus 8x/menit
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), pembesaran hepar dan lien (-),
tes undulasi (-)
5. Ekstremitas
Inspeksi : edema ekstremitas superior (-/-), edema ekstremitas inferior (-/-)
jejas (-), deformitas (-)
Palpasi : akral hangat, CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
16 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Lengkap

Hemoglobin 15,4 g/dL 11,7 – 15,5

Lekosit 12,63 (H) ribu/mmk 4,5 – 11,5

Hematokrit 48,3 % 35,0 – 49,0

Eritrosit 5,76 juta/mmk 4,20 – 5,40

RDW 13,9 % 11,5 – 14,5

MCV 83,9 fL 80,0 – 94,0

MCH 26,7 Pg 26,0 – 32,0

MCHC 31,9 g/dL 32,0 – 36,0

Trombosit 268 ribu/mmk 150 – 450

Kimia Darah

HS Troponin 11,20 ng/dL Grayzone: 2-99


(Grayzone) Indikasi ACS >=100

Glukosa sesaat 169,0 (H) mg/dL 70,0 – 140,0

Ureum 55,0 mg/dL 17,0 – 54,0

Creatinin 1,6 (H) mg/dL 0,73 – 1,18

Natrium 136,8 mmol/L 136 – 146

Kalium 4,13 mmol/L 3,5 – 4,1

CK-MB 18,2 U/L 0 – 25


20 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Kimia Darah

HS Troponin 4,90 ng/dL Grayzone: 2-99


(Grayzone) Indikasi ACS >=100

Kolesterol total 123,1 mg/dL Normal <200;


moderate 200-239;
tinggi >=240

Trigliserid 181,8 mg/dL Normal <150


(Borderline Borderline High 150-199
High) High 200-499
Very High >= 500

HDL 20,8 (L) mg/dL Low <40;


High >=60

LDL 65,9 mg/dL Normal <100


Border 130-159
High >160-189

GDS 177,8 (H) mg/dL 70,0 – 140,0

CKMB 28,8 (H) U/L 0 – 25

Asam urat 11,5 (H) mg/dL 2,60 – 6,00


PEMERIKSAAN EKG

Interpretasi EKG :
 Irama sinus, dengan heart rate 88x/ menit, regular
 Normoaksis (Lead I (+), Lead aVF (+))
 Gelombang p durasi < 0,12s, amplitude 1 mV
 PR interval normal
 Kompleks QRS durasi 0,08s
 Terdapat gelombang Ventrikel Ekstra Sistol (VES)
 Asimetrik T wave inverted pada lead II, III, aVF
 Interval QT memanjang

Kesan : VES dengan RBBB


RONTGEN THORAKS

Foto Rontgen Thoraks:

 Tidak terdapat shifting


trakea,
 Sudut costophrenicus lancip,
 Segemen aorta dan segmen
pulmonal normal
 Pinggang jantung terlihat
 Apeks tenggelam
 CTR > 0,5.

Kesan: Cardiomegali (LVH)

Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI

Parameter

Usia > 65 tahun 1

Lebih dari 3 faktor risiko * 0

Angiogram koroner sebelumnya Data tidak tersedia


menunjukkan stenosis >50%
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 0

Setidaknya 2 episode nyeri istirahat dalam 0


24 jam terakhir
Deviasi ST >1 mm saat tiba 0
Peningkatan marka jantung (CK, Troponin) 1

TOTAL SKOR 2

* Faktor risiko : Hipertensi, DM, merokok, riwayat dalam keluarga, dislipidemi


Stratifikasi Risiko Berdasarkan Skor TIMI

Skor TIMI Risiko Risiko Kejadian Kedua

0-2 Rendah < 8,3%

3-4 Menengah < 19,9%

5-7 Tinggi ≤ 41 %

Skor Grace

Prediktor Skor

Usia dalam Tahun

< 40 0

40 – 49 18

50 – 59 36

60 – 69 55

70 – 79 73

80 91

Laju Denyut Jantung (kali per menit)

< 70 0

70 – 89 7

90 – 109 13

110 – 149 23

150 – 199 36
> 200 46

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

< 80 63

80 – 99 58

100 – 119 47

120 – 139 37

140 – 159 26

160 – 199 11

>200 0

Kreatinin (µmol/L)

0 - 34 2

35 – 70 5

71 – 105 8

106 – 140 11

141 – 176 14

177 – 353 23

≥ 354 31

Gagal Jantung Berdasarkan Klasifikasi Killip

I 0

II 21

III 43

IV 64

Henti Jantung Saat Tiba di RS 43

Peningkatan Marka Jantung 15


Deviasi Segmen ST 30

TOTAL SKOR 105

Prediksi Kematian dalam 6 Bulan setelah Keluar RS Berdasarkan Skor Grace

Skor Grace Risiko Mortalitas

≤ 88 Rendah (risiko kematian <3%)

89 - 118 Menengah (risiko kematian 3-8%)

>118 Tinggi (risiko kematian >8%)

V. DIAGNOSA KERJA
Unstable Angina Pectoris
Diabetes Mellitus

VI. PENATALAKSANAAN

UAP
- ISDN 5 mg, 1 x 1
- Amlodipine 5 mg, 1 x 1
- CPG 75 mg, 1 x 1
- Aspilet 80 mg, 1 x 1
- Candesartan 16 mg, 1 x 1
- Ramipril 5 mg, 1 x 1
- Enoksaparin 1 mg/kg, 1 x 1
- Atorvastatin 40 mg, 1 x 1

Diabetes Mellitus
- Metformin 500 mg 3 x 1
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Angina tidak stabil merupakan salah satu spektrum presentasi klinis disebut
secara kolektif sebagai sindrom koroner akut (ACS), yang berada diantara infark
miokardelevasi segmen-ST (STEMI) dan non-STEMI (NSTEMI). Angina tidak stabil
dianggap ACS di mana tidak ada terdeteksi enzim dan biomarker nekrosis miokard.
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang di sebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama
angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan
angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina
pektoris tidak stabil.
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya
meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi
lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil
merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel
sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini
di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial, embolisasi distal
trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis
koroner dan lesi terkaitnya.
Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana klien mendapat serangan
sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali
menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan segera hilang bila
aktifitas berhenti. Keluhan juga dapat bertambah progresif dibandingkan dengan angina
stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun
bekerja.
Angina pektoris, atau angina, adalah gejala dari nyeri dada atau tekanan yang
terjadi saat jantung tidak menerima cukup darah dan oksigen untuk memenuhi
kebutuhannya. Secara umum, angina hasil dari plak yang terbuat dari lemak kolesterol
atau bangunan lainnya di arteri koroner. Akumulasi plak ini dikenal sebagai penyakit
arteri koroner (CAD). Ketika plak menumpuk di dalam arteri yang cukup koroner
seseorang, darah mengalir melewati plak berkurang, merampas otot jantung nutrisi yang
dibutuhkan dan oksigen. Akibatnya, gejala angina dapat terjadi. Angina adalah lebih
mungkin terjadi ketika jantung bekerja lebih keras dan membutuhkan aliran darah
tambahan, seperti selama aktivitas fisik atau stres emosional.
Secara klinis Angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama dengan
NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai pada
gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak terjadi peningkatan
troponin.

II. PATOFISIOLOGI
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’.
Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan dan
bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X
menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya
adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner.
Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’.
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit,
proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel
inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan
dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang
menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak.
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi
berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis
maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi
endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa
spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS).
Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes,
aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel,
faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin
H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin).

Gambar 1. Lesi penyebab pada angina tidak stabil.

Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot
polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai
proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan
menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark.
SKA yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak
aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena
beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya
inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.

Gambar 2. Patogenesis Sindrom Koroner Akut


Patofisiologi yang berdasarkan penyebab :

 Ruptur Plak
Ruptur plak atreosklerosis dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan 97%
pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70 %. Plak
aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-
kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim
protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak
(fibrous cap).

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan


meyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina
tak stabil.

 Trombosis dan Agregasi Trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi
terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi
granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan
trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya
hemostase dan koagulasi serta berperan dalam memulai trombosis yang intermiten,
pada angina tak stabil.

 Vasospasme

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak


stabil.Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga
dapat menyebabkan angina tak stabil.Adanya spasme seringkali terjadi pada plak
yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.

 Erosi Plak tanpa Ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan


migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

III. DIAGNOSIS

Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST elevasi
(NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan
perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka
jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis
mengarah UAP.
Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%)
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo): menjadi
makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS.
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada wanita
dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru atau
perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan
tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan
jumlah faktor risiko tradisional.
a. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding
dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi SKA.
b. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa
didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu
diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan
perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:

1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi


segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal
Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen
ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1
mm. Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa
sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat
peluang tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau
inversi gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi
(Tabel 3) sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau
Definitif SKA (Gambar 1). Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan
nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20
menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST
dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI
dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang
terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat
sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi
iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil
stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi
UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan

c. Pemeriksaan Marka Jantung


Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di
mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4
jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper
limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina.
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark
miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat
menetap hingga 2 minggu.
Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin
juga dapat terjadi akibat:
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan.
CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12
jam, dan menetap sampai 2 hari.
d. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran
fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding.
Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat
iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding
seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi
melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan
dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA. Stress test
seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa
rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac
CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada
pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan.
e. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting
pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak
ditemukan perubahan EKG diagnostik.

IV. STRATIFIKASI RISIKO


Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa
stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction)
(Tabel 4), dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events) (Tabel 6), sedangkan
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse
outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk
menentukan pilihan penggunaan antitrombotik.
Klasifikasi Grace ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit
dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah
sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140
berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk
prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor
risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%).
Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala upaya perlu
dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Dalam skor CRUSADE, usia tidak
diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin.
Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
V. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi
invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya
angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi.

Stratifikasi risiko pada SKA tanpa ST elevasi, Roffi 2016


Kriteria risiko sangat tinggi :
 Hemodinamik tidak stabil atau syok kardiogenik
 Nyeri dada yang sedang terjadi atau berulang yang refrakter terhadap obat
 Aritmia yang mengancam nyawa atau henti jantung
 Komplikasi mekanik infark miokard
 Gagal jantung akut
 Perubahan dinamik ST-T berulang, terutama bila elevasi segmen ST intermiten

Kriteria risiko tinggi :


 Peningkatan atau penurunan troponin jantung sesuai dengan infark miokard
 Perubahan dinamik ST atau gelombang T
 Skor Grace >140

Kriteria risiko sedang :


 DM
 Insufisiensi ginjal
 LV EF <40% atau CHF
 Angina dini pasca infark
 Riwayat PCI atau CABG sebelumnya
 Skor Grace >109 dan <140

Kriteria risiko rendah :


 Kriteria yang tidak disebutkan diatas
Pemilihan strategi invasif dini pada SKA tanpa ST elevasi
Tindakan invasif segera  Angina refrakter
(dalam 2 jam)  Tanda dan gejala gagal jantung atau regurgitasi mitral
baru
 Hemodinamik tidak stabil
 Angina atau iskemik rekuren waktu istirahat
meskipun dilakukan terapi intensif
 VT menetap atau VF

Tindakan invasif dini (24  Bukan salah satu diatas tetapi skor Grace >140
jam)  Perubahan temporal pada level troponin
 Depresi segmen ST baru

Tindakan invasif tertunda (25-  Bukan salah satu diatas tetapi menderita DM
72 jam)  Insufisiensi ginjal (GFR <60 ml)
 Penurunan fungsi sistolik LV (EF <0,4)
 Angina dini pasca infark
 Riwayat PCI 6 bulan terakhir
 Riwayat CABG sebelumnya
 Skor Grace 109-140
 Skor TIMI >= 2
Medikamentosa :
a. Anti Iskemia
- Beta blocker
Beta blocker memiliki efek terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra
(Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas
I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat
beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang
dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas
I-B).

- Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
- Calcium channel blockers (CCB)

- Antiplatelet

- ACE-I dan ARB


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
- Antikoagulan

Kombinasi antiplatelet dan antikoagulan


1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih target
INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih
(Kelas IIb-B).

- Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai
<70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

 ACCF/AHA. ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With


Unstable Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction (Adapted from the
2007 ACCF/AHA Guideline and the 2011 ACCF/AHA Focused Update).
diunduh dari http://content.onlinejacc.org/ on July 2, 2018
 Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc
Physicians India. 2011
 Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054
 Hamm CW, Heeschen C, Falk E, Fox KAA. Acute Coronary Syndromes :
Pathophysiology, Diagnosis and Risk Stratification. diunduh dari
https://www.mst.nl/opleidingcardiologie/.../1405126957_chapter_12.pdf on
July 3, 2018
 Harun S, Alwi I. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009. Hlm 1757-
1766
 Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK.2011;38(7)
 Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes. Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71

Anda mungkin juga menyukai