DISUSUN OLEH :
NOVATALIA BATOSAMMA
NIM : 1710911220041
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2017-2018
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah saya dapat
terselesaikan dengan judul "ASPEK BIOLOGI MOLEKULAR EMBRIOLOGI
SISTEM REPRODUKSI PRIA".
Dalam makalah ini dijelaskan tentang konsep teori aspek biomolekular
embriologi sistem reproduksi pria. Makalah ini juga ditunjukkan untuk
memenuhi tugas yang diberikan kepada saya. Saya hanya manusia biasa tempat
dimana ada kesalahan-kesalahan, maka saya mohon maaf apabila ada
kesalahan-kesalahan dan kekurangan di dalam makalah yang saya buat ini.
Mungkin dari yang telah membaca makalah tersebut, saya sangat mengharapkan
dapat memberikan saran dan kritik guna untuk membangun kelengkapan dari
makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi yang membacanya. Dan sebelumnya
saya meminta maaf jika ada kata yang salah dan Terima kasih banyak atas
perhatiannya. Selamat membaca.
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar
2. Daftar isi
3. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Rumusan masalah
4. BAB II PEMBAHASAN
5. BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
6. DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alat reproduksi merupakan suatu rangkaian dan interaksi organ dan zat
dalam organisme yang dipergunakan untuk berkembang biak. Siorganisme
berbeda antara jantan dan betina. Sistem organisme pada wanita berpusat pada
ovarium sedangkan pada pria berpusat pada kedua testis. Ovarium dan testis
merupakan gonad yang merupakan tempat di mana benih berupa sel telur dan
sperma diproduksi untuk selanjutnya mengalami fertilisasi untuk melakukan
reproduksi baik pada hewan maupun manusia. Alat reproduksi tidak hanya
berpusat pada gonad, namun terdapat bagian- bagian lain dari alat reproduksi
yang berperan dalam sistem reproduksi pada hewan dan manusia. Sistem
reproduksi yang lengkap terdiri atas: 1) gonad, berupa ovarium pada betina dan
testis pada jantan,2) duktus gonadal, yaitu tuba fallopii pada betina serta ductus
efferens, ductus epididimis, dan ductus deferens pada jantan, 3) struktur yang
berhubungan dengan perjalanan sel spermatozoa dari penis pada jantan dan
penerima pada betina yaitu vulva dan vagina, 4) bagian khusus dari sistem
ductus pada betina, yaitu uterus yang pada keadaan tertentu dapat dimodifikasi
menjadi penerima dan pemberi makan konseptus. Sel spermatozoa yang
merupakan sel kelamin jantan awal mulanya ditemukan oleh Ham pada 1667
dan dilaporkan kepada Anthoni van Leeuwenhoek dan olehnya sel spermatozoa
ini dipelajari dan hasilnya dilaporkan ke Royal society di Inggris. Di lain pihak,
de Graff pada 1672 menemukan sel telur pada betina dan pada 1827 Karl Ernst
von Baer menemukan benda-benda kecil di dalam folikel de Graff yang identik
dengan sel-sel telur yang ditemukan di dalam tuba fallopii yang ternyata adalah
sel kelamin yang sudah masak. Bakat sel kelamin baru diketahui jauh setelah sel
kelamin diketahui. Waldeyer pada 1870 mengemukakan bahwa bakat sel
kelamin berasal dari sel-sel epitel coelome yang membungkus bakal kelenjar
kelamin yang disebut gonad. Nussbaum pada 1880 melakukan penelitian pada
katak dan ikan trout dan menemukan bahwa bakal sel kelamin terdapat di luar
gonad. Dari tempat tersebut kemudian pindah ke dalam gonad dan
perpindahannya terjadi pada awal perkembangan embriologi. Setelah
perpindahan sel kelamin yang disebut sebagai sel germinal primordial menuju
gonad, terjadilah perkembangan berikutnya mulai dari tahap indifferent yaitu
belum dapat dibedakan antara jenis kelamin jantan dan betina hingga tahap
different yaitu telah terbentuk alat kelamin yang membedakan antara jantan dan
betina atau pria dan wanita serta terbentuknya alat reproduksi yang lengkap
(Soenardirahardjo et al, 2011).
B. TUJUAN
- Dapat mengetahui dan memahami tentang perkembangan alat reproduksi pada
masa embrional.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Organ Genetalia pria
2. Pembentukan Sel Germinal Primordial
3. Perkembangan Organ Genetalia
4. Tahap Indiferen Gonad
5. Tahap Diferen Gonad.
6. Regulasi Molekuler Perkembangan Duktus Genetalia
7. Perkembangan Duktus Genetalia pria
8. Perkembangan Genetalia Eksterna pria
9. Spermatogenesis
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 1.1 Asal sel germinal primordial pada embrio akhir minggu ke-3
Gambar 1.3 Minggu ke-6 gonad indiferen dengan korda seks primitif. Beberapa
sel germinal primordial dikelilingi oleh sel-sel dari korda sek primitif
Sel kelamin mulanya dapat ditemukan di epitel permukaan yang juga disebut
epitel benih. Sel-sel epitel coelom cepat tumbuh ke dalam dengan membawa
sel-sel germinal dan kemudian selalu mempertahankan hubungan sel yang erat
dengan sel-sel germinal tersebut yang penting untuk diferensiasi sel-sel ini. Sel
epitel coelom menunjang metabolisme sel germinal dan mengatur
perkembangan selanjutnya dengan cara yang spesifik. Sel epitel coelom
berdiferensiasi di dalam testis menjadi sel sertoli dan di dalam ovarium menjadi
sel epitel folikel. Dengan cara ini, pada bakal gonad embrio terbentuk dua
daerah yang berhadapan dan memiliki zat penginduksi yang berbeda, yaitu
korteks dan medula. Sel germinal mula-mula tetap berada di korteks dalam
pengaruh sel-sel sertoli atau sel epitel folikel. Medula sebaliknya lebih
(biasanya) dipengaruhi inhibisi dari blastema mesonefros.
Pada testis, sel-sel epitel coelom yang tumbuh di dalamnya (sel pra-sertoli),
membentuk korda yang letaknya sedemikian dekat satu sama lain dan saling
terjalin satu dengan yang lain (korda seksual, “duktuli pluger”) yang merupakan
tempat tinggal sel germinal dan terhambatnya diferensiasi sel tersebut lebih
lanjut oleh faktor-faktor inhibitorik. Di dalam mesenchyme yang tumbuh dari
mesonefros muncul sel yang lebih besar dan memproduksi hormon, yaitu sel
Leydig janin yang sudah memproduksi testosteron dari minggu ke-8 yang
penting untuk kelanjutan perkembangan seksual yang spesifik pada janin. Pada
minggu ke-10, anyaman korda seksual mulai memudar. Struktur tersebut
membentuk tubulus seminiferus yang independen dan sangat berliku-liku yang
memisahkan korteks dari epitel benih melalui lapisan jaringan ikat kasar (tunika
albugenia). Kini sel-sel germinal tidak dapat lagi mencapai testis. Sisa sel-sel
yang tersebar di korteks mulai berdegenerasi. Oleh karena saluran kecil sperma
(tubulus seminiferus) berakhir buntu dan simpai testis menebal melalui tunica
albugenia, pengeluaran sel germinal hanya dapat terjadi ke arah dalam. Agar
penyaluran sperma dapat terjadi, terjadi diferensiasi duktus mesonefros yang
berbatasan dengan testis menjadi duktus eferens dan bersatu di atas rete
testisdengan tubulus seminiferus. Di bawah pengaruh testosteron, duktus Wolff
di daerah gonad menjadi saluran epididimis dan ke arah distal menjadi saluran
sperma (duktus deferens). Dari minggu ke-20 pada dasarnya testis sudah
mencapai tahap diferensiasi tersebut, yang setelah lahir tetap berlangsung
sampai pematangan seksual (pubertas) terjadi (Rohen & Drecoll, 2003).
1.4.2 Ovarium
Pada embrio wanita dengan seks kromosom XX dan tidak ada kromosom Y,
korda seks primitif memisahkan diri ke dalam gugus-gugus sel yang tidak
teratur. Gugus sel ini terdiri atas sekelompok sel germinal primordial yang
menempati bagian medula dari ovarium. Selanjutnya menghilang dan
digantikan oleh stroma vaskular yang membentuk ovarium medula.
Gambar 1.6 A. Potongan melintang ovarium pada 7 minggu, B. Ovarium dan
duktus genital pada 5 bulan
Diferensiasi spesifik mulai terjadi belakangan secara keseluruhan, epitel coelom
pada orang dewasa membentuk korda epitel ke dalam blastema gonad, namun
tidak ada yang menembus sampai ke medula, namun tetap tinggal di daerah
korteks. Di korteks, sel tersebut berubah menjadi gumpalan sel dengan oogoni
yang berproliferasi di dalamnya melalui pembelahan mitosis yang cepat dan
berurutan. Secara keseluruhan, terbentuk sekitar 7 juta sel benih, namun dari
jumlah tersebut menjelang kelahiran menjadi 5-6 juta sel akan mati (Rohen &
Drecoll, 2003). Dari minggu ke-12 sampai ke-16, penggolongan lapisan lambat
laun dapat dikenali di bakal gonad. Di luar daerah korteks jaringan tebal dari sel
penunjang yang gelap berkembang dengan oogoni yang aktif berproliferasi.
Kemudian, terbentuk zona yang bertambah lebar, tempat oosit muncul pertama
kalinya, yang dimulai di dalam “bola telur” berepitel dengan pembelahan
pematangan pertama (meiosis), namun bertahan pada stadium profase.
Gambar 1.7 Oogenesis dan perkembangan folikel, kotak merah = tahap istirahat
dari primordial folikel yaitu saat profase I
Pada daerah korteks, anyaman longar mesenkim zona medula menutup dan
akhirnya menutup ke dalam rete blastema, di mana tidak ada sel telur yang
tersisa. Karena di dalam ovarium tidak terjadi perkembangan ductus genitales,
transportasi sel telur harus terjadi ke arah luar di tempat ini yang berkebalikan
dengan testis. Oleh sebab itu, perlu adanya sistem duktus besar kedua dari bakal
indiferen, yaitu duktus Muller yang berdiferensiasi menjadi tuba fallopii dan
uterus setelah terjadinya induksi hormonal (Rohen & Drecoll, 2003).
Gambar 1.9 A. Duktus genital pada janin laki-laki 4 bulan, B. Duktus genital
setelah desensus testis
Pada janin laki-laki, terjadi hal yang sebaliknya, yaitu duktus Muller mengalami
degenerasi dalam pengaruh MIS, sedangkan dalam pengaruh testosteron,
mesonefros di daerah bakal gonad terus berdiferensiasimenjadi epididimis dan
duktus Wolff menjadi vas deferens (duktus deferens). Pada kedua jenis kelamin,
bakal gonad mengalami suatu penurunan (desensus) ketika ligamen genetal
bertindak sebagai penuntun. Gonad wanita pada proses penurunan hanya
mencapai pelvis minor yang juga berada di rongga perut. Testis mengembara
lebih jauh melalui kanalis inguinalis sampai ke skrotum (desensus testis)
sehingga ligamen gonadal ridge (gubernakulum testis) memendek dan testis
tertarik ke bawah melalui kanalis inguinalis dari duktus Muller hanya tersisa
suatu vesikel pada puncak atas testis, begitu juga pada bagian awal uretra, yaitu
utriculus prostaticus. Degenerasi duktus Muller diinduksi oleh MIS atau AMH.
Dari bagian akhir duktus Wolff yang kelak menjadi vas deferens, vesicula
seminalis tumbuh dengan salurannya yang disebut duktus ejakulatorius dan
bermuara ke dalam uretra.
1.8 SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis adalah proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa.
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus dan diatur oleh hormon
Gonadtotropin dan Testosterone. Pada tubulus seminiferus terdapat sel-sel
induk spermatozoa atau spermatogonium, sel Sertoli, dan sel Leydig. Sel Sertoli
berfungsi memberi makan spermatozoa sedangkan sel Leydig yang terdapat di
antara tubulus seminiferus berfungsi menghasilkan testosteron.
Beberapa saat sebelum pubertas, tali benih berongga dan menjadi tubuli
seminiferi kira-kira pada saat yang sama sel benih primordial berkembang
menjadi spermatogonia, yang selanjutnya berdiferensiasi menjadi spermatid
primer. Setelah melipatgandakan DNA-nya memasuki tahap profase yang
berlangsung selama 16 hari, kemudian berkembang menjadi dua spermatid
sekunder. Selanjutnya mulailah pembelahan pematangan menghasilkan dua
spermatid yang mengandung 23 kromosom dan DNA.
Pada spermatogenesis, spermatid mengalami serangkaian perubahan yang
menghasilkan pembentukan spermatozoa. Perubahan ini adalah :
1. Pembentukan akrosom lebih dari setengah permukaan inti
2. Pemekatan inti
3. Pembentukan leher, lempeng tengah dan ekor
4. Meluruhkan sebagian besar sitoplasma
Pada manusia, perubahan spermatogonium menjadi spermatozoa matang
memerlukan waktu 72 hari. Spermiasi (Spermiation) adalah peristiwa pelepasan
sperma matang dari sel sertoli ke lumen tubulus seminiferus selanjutnya ke
epididimidis. Sperma belum memiliki kemampuan bergerak sendiri (non-motil).
Sperma non motil ini di transpor dalam cairan testicular hasil sekresi sel Sertoli
dan bergerak menuju epididimis karena kontraksi otot peritubuler. Sperma baru
mampu bergerak dalam saluran epidimis namun pergerakan sperma dalam
saluran reproduksi pria bukan karena motilitas sperma sendiri melainkan karena
kontraksi peristaltik otot saluran.
A. KESIMPULAN
Penentuan sex pada janin laki-laki dan perempuan terjadi setelah fertilisasi,
janin dapat dibedakan secara genetik melalui kromosom sex yaitu XX atau XY.
Awal perkembangan alat reproduksi pada janin dimulai dari terbentuknya sel
germinal primordial yang kemudian mengalami peristiwa hingga terjadilah
tahap indiferen gonad, di mana gonad masih belum dapat dibedakan antara
testis dan ovarium hingga minggu ke-7 embrional. Setelah akhir minggu ke-7
embrional barulah dikenali diferensiasi bakal gonad. Setelah gonad terbentuk,
perkembangan alat reproduksi terus berlanjut mulai dari perkembangan duktus
genetalia yaitu duktus mesonefros (duktus Wolff) dan duktus paramesonefros
(duktus Muller) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor molekuler hingga terbentuk
genetalia interna sampai akhir minggu ke-20. Pada wanita duktus Muller akan
berkembang menjadi tuba fallopii, uterus, dan vagina bagian atas, sedangkan
pada pria duktus Wolff akan berkembang menjadi duktus epididimis, vas
deferens, vesikula seminalis, dan duktus ejakulatorius. Perkembangan genetalia
eksterna dipengaruhi oleh hormon estrogen pada wanita dan testosteron pada
pria. Pada janin perempuan lipatan genetalia akan berdiferensiasi menjadi bibir
labia minora, genital swelling menjadi labia mayora dan genital tubercle
menjadi klitoris dan corpus cavernosum clitoridis. Sedangkan perkembangan
vagina terbagi menjadi 2 yaitu vagina bagian atas berasal dari bagian yang sama
dengan uterus dan bagian bawah berasal dari sinus urogenitalis. Pada janin laki-
laki genital tubercle tumbuh menjadi penis (glans penis, corpus spongiosum,
dan uretra) dan pada saat yang sama karena pengaruh testosteron membentuk
corpus penis dengan kedua corpus cavernosum. Kedua genital swelling
membentuk skrotum yang berlanjut hingga terjadinya desensus dari testis pada
akhir kehamilan yang menunjukkan kematangan seksual pria.
B. SARAN
Pembahasan yang ada pada makalah ini sebatas fisiologi dari perkembangan
alat reproduksi yang perlu dilengkapi dengan patologinya atau abnormalitasnya
beserta contoh sehingga dapat menjadi perbandingan bila terjadi kasus tersebut
di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rohen, Johanes W, Drecoll, Elke Lutjen. 2003. Embriologi Fungsional,
Perkembangan Sistem Fungsi Organ Manusia. Edisi 2. Jakarta: EGC.
2. Langman, Sadler T. W. 2009. Embriologi kedokteran. Edisi 10. Jakarta:
EGC
3. Soenardirahardjo, Bambang P., Widjiati, Mafruchati, Maslichah,
Luqman, Muhammad. 2011. Buku Ajar Embriologi. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
4. Syaifuddin. 1994. Anatomi Fisiologi untuk perawat. Penerbit buku
Kedokteran : Jakarta