Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU REPRODUKSI TERNAK


ACARA IV
HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI BETINA

Disusun oleh :
Bayu Murti Dewandaru
17/414806/PT/07495
Kelompok V

Asisten : Eser Triwidhari

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK


DEPARTEMEN PEMULIAAN DAN REPRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI BETINA

Tinjauan Pustaka
Organ reproduksi betina dapat dibagi atas 3 komponen, yaitu organ
reproduksi primer, organ reproduksi sekunder, dan organ pelengkap. Organ
reproduksi primer betina terdiri dari ovaria (tunggal ovarium), yang
menghasilkan ovum dan hormon-hormon reproduksi betina. Organ
reproduksi sekunder betina terdiri dari saluran reproduksi yang terdiri atas
tuba falopii atau oviduk, uterus, servik, vagina, dan vulva. Organ reproduksi
pelengkap pada hewan betina yaitu kelenjar mammae yang akan
menghasilkan air susu untuk mendukung pertumbuhan anak (Amita, 2015).
Fungsi organ reproduksi berkaitan dengan hormon-hormon yang
disekresikan hypofisis pituitary. Jalaluddin (2014) menjelaskan bahwa
ovarium adalah organ yang menghasilkan ovum dan hormon-hormon yang
memengaruhi pertumbuhan seks sekunder seperti estrogen dan
testosteron. Prandika (2016) menjelaskan bahwa oviduct memiliki fungsi
diantaranya adalah tempat terjadinya fertilisasi tepatnya pada bagian yang
disebut dengan ampullary isthmus junction, transport zigot hasil
pembuahan, dan tempat diovulasikannya ovum atau sel telur. Uterus
merupakan organ yang berongga dan berotot. Berbentuk seperti buah pir
dengan bagian bawah yang mengecil yang berfungsi sebagai tempat
pertumbuhan embrio. Sumiati (2013) menjelaskan bahwa uterus
mempunyai 3 macam lapisan dinding, yaitu perimetrium yaitu lapisan yang
terluar yang berfungsi sebagai pelindung uterus, myometrium yaitu lapisan
tengah uterus, dan endometrium yang merupakan lapisan paling dalam
uterus yang berhubungan langsung dengan lumen. Rifka (2008)
menjelaskan bahwa serviks berfungsi sebagai barrier transport sperma,
mengisolasi uterus dari lingkungan luar selama kebuntingan dengan
membentuk barrier berupa mukus yang sangat kental.
Materi dan Metode
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum histologi alat reproduksi
betina adalah mikroskop, pensil warna, poster, dan kertas kerja.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum histologi alat
reproduksi betina adalah preparat awetan organ reproduksi betina yaitu
organ kelenjar hypophysis, ovarium, oviduk, dan uterus.

Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum histologi organ reproduksi
jantan yaitu poster gambar histologi saluran reproduksi betina diamati dan
diketahui fungsi bagian-bagiannya. Pengamatan juga menggunakan
preparat yang dilihat melalui mikroskop cahaya. Histologi organ reproduksi
betina digambar pada lembar kerja menggunakan pensil warna.
Hasil dan Pembahasan
Saluran organ reproduksi betina tersusun dari berbagai jenis sel
yang mendukung fungsi reproduksi. Sel-sel penyusun organ reproduksi
memiliki spesifikasi tersendiri yang mendukung fungsi reproduksi.
Praktikum histologi organ reproduksi betina dilakukan dengan cara
mengamati preparat organ reproduksi betina yaitu organ kelenjar
hypophysis, ovarium, oviduct, dan uterus dengan mikroskop.
Kelenjar Hypophysis
Kelenjar hypophysis merupakan kelenjar yang menghasilkan
bermacam-macam hormon yang bertugas meregulasi sekresi hormon-
hormon kelenjar lain yang terletak di lekukan otak dasar yaitu sella turcica.
Isnaini dan Nur (2011) menjelaskan bahwa kelenjar hypophysis merupakan
kelenjar yang menghasilkan bermacam-macam hormon yang bertugas
meregulasi sekresi hormon-hormon kelenjar lain. Kelenjar-kelenjar yang
bekerja dibawah perintah kelenjar hypophysis antara lain gonad, adrenal,
tiroid, dan mammae. Kelenjar hypophysis terdiri dari adenohypophysis dan
neurohypophysis. Adenohypophysis terdiri dari lobus anterior (pars distalis
dan pars tuberalis) dan neurohypophysis terdiri dari lobus posterior (pars
intermedia dan pars nervosa. Dewi (2015) menyatakan bahwa kelenjar
hypophysis secara embriologik berkembang dari ectoderm saluran
pencernaan pada atap mulut dan ektoderm neural pada hypothalamus yang
sedang berkembang. Hypophysis terbagi menjadi dua bagian utama namun
merupakan satu kesatuan nyata yaitu kelenjar adenohypophysis atau
hypophysis anterior dan neorohypophysis atau hypophysis posterior.
Adenohypophysis terdiri dari pars distalis dan pars tuberalis. Posterior lobe
(neurohypophysis) terdiri dari pars intermedia dan pars nervosa.
Adenohypophysis terdiri dari pars distalis dan pars tuberalis. Pars
distalis merupakan bagian yang menghasilkan hormon. Siregar (2009)
menyatakan bahwa adenohyphophysis merupakan struktur epithel yang
terdiri atas tiga bagian yaitu pars distalis, pars tubelaris dan pars intermedia.
Ada beberapa sel yang terdapat di dalam pars distalis yaitu cromophobe
yang inaktif (tidak menghasilkan hormon) merupakan prekursor dari sel-sel
yang aktif menghasilkan hormon dan cromophile yang aktif menghasilkan
hormon. Dewi (2015) menyatakan bahwa berdasarkan ada tidaknya
granula-granula yang mengambil warna ditemukan dua macam sel dalam
hypophysis, yaitu sel cromophobe yang tidak memiliki granula yang
mengambil warna. Berdasarkan praktikum sel cromophile dibagi menjadi
dua macam sel, yaitu acidophile dan basophile. Sel acidophile adalah sel
yang merespon zat warna asam (merah atau orange) dan menghasilkan
hormon Somatotrophs Hormone (STH) atau Growth Hormone (GH) yang
dihasilkan oleh sel somatotrophs dan prolactin yang dihasilkan oleh
lactotrophs (mammototrophs). Sel basophile adalah sel yang merespon zat
warna basa (biru) dan menghasilkan hormon Follicle Stimulating Hormone
(FSH), Luteinizing Hormone (LH) dan tyrotrophie hormone. FSH dan LH
dihasilkan oleh sel gonadotrophs, sedang tyrotrophie hormone dihasilkan
oleh sel tyrotrophs. Sel corticotrophs menghasilkan ACTH.
Neurohypophysis terdiri dari pars intermedia dan pars nervosa. Pars
nervosa merupakan bagian yang menghasilkan hormon. Haviz (2013)
menjelaskan bahwa bagian hypophysis pada manusia mengalami
rudimenter, dan tersusun dari suatu lapisan sel tipis yang berupa
lempengan–lempengan yang tidak teratur dan gelembung yang berisi
koloid. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa pars tuberalis tidak
menghasilkan hormon karena di dalamnya terdapat banyak pembuluh
darah. Pars nevrosa sebagai penghasil hormon MSH yang mempengaruhi
pigmen kulit dan hormon oksitoksin membantu dalam proses partus dan
menstimulasi kelenjar mammae.
Gambar 1. Histologi Adenohypophysis
(Silalahi dan Djakaria, 2017)
Mekanisme feedback hormon dimulai dari kelenjar hypothalamus
merangsang GnRH sehingga anteriorpituitary mensekresikan FSH dan LH.
Karlina (2003) menyatakan bahwa pada sistem reproduksi betina terdapat
pengendalian hormon yang mekanismenya di awal, hypothalamus
menyekresikan Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH), GnRH yang
diproduksi oleh neuron hipotalamus dibawa menuju anterior pituitary oleh
pembuluh darah portal. Batubara (2010) menyatakan bahwa GnRH dari
hypothalamus menstimulasi pelepasan FSH dan LH dari pituitari anterior.
Adanya GnRH mempengaruhi sintesis LH dan FSH. LH mengatur ovulasi
yaitu pelepasan ovum dari folikel, sedangkan FSH mengatur
perkembangan folikel. Kandungan LH dan FSH dalam darah meningkat
sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi menghasilkan corpus luteum yang
meningkatkan kadar hormon progesteron untuk memperkuat kandungan.
Apabila terjadi kebuntingan terjadi feedback negatif yang membuat
progesteron meningkat, sehingga mempengaruhi kinerja hipotalamus dan
anterior pituitary yaitu dengan menghambat sekresi hormon FSH. Hormon
FSH berfungsi dalam perkembangan folikel, sehingga apabila terjadi
kebuntingan tidak terjadi perkembangan folikel. Perkembangan folikel
dapat merangsang peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan
estrus. Pohan dan Talib (2010) menyatakan bahwa penggunaan
progesterone adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap
hipotalamus yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang,
maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
(Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang banyak. Sekresi hormon tersebut
akan mengakibatkan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel
menjadi follicle de graaf sehingga terjadi ovulasi. Hasil praktikum sesuai
dengan literatur.

Gambar 2. Skema mekanisme feedback hormon


(Batubara, 2010)
Sekresi hormon estrogen terjadi di dalam sel theca dan sel granulosa
ovarium, dimana kolesterol sebagai prekursor dari pembentukan hormon
estrogen melalui reaksi enzimatik. Kolestrol dirangsang oleh hormon LH
untuk menghasilkan pregnenulon yang kemudian merangsang
pembentukan hormon progesteron yang berlanjut merangsang dalam
pembentukan hormon androgen. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa
inti kolesterol tersebut tersusun atas siklo-pentano-perhidro-pentatenan.
Hormon FSH akan menstimulasi enzim aromatase untuk mengubah
androgen menjadi estrogen oleh sel granulosa. Estrogen yang terbentuk
akan mengisi antrum (ruangan diantara sel-sel granulosa). Outang et al.
(2017) menyatakan bahwa sel theca dan sel-sel granulosa bersama-sama
menghasilkan estrogen. Sel theca mengikat LH dan menghasilkan
androgen yang dikonversi menjadi estrogen oleh sel granulosa yang telah
distimulasi oleh FSH.
Gambar 3. Sintesis Estrogen
(Sinaga et al., 2017)
Ovarium
Ovarium memiliki dua fungsi yaitu fungsi eksokrin dan endokrin.
Sebagai organ eksokrin ovarium memproduksi sel telur (ovum) dan sebagai
organ endokrin menghasilkan hormon reproduksi (estrogen dan
progesteron). Ovarium dibagi menjadi dua bagian yaitu cortex dan medulla.
Perkembangan folikel terjadi pada cortex, sedangkan bagian medulla yang
tersusun atas jaringan ikat kolagen kaya serabut elastis dan serabut
retikuler, vasa-vasa yang besar, saluran limfe, saraf dan sisa-sisa jaringan
embrional berperan dalam menyuplai darah. Hamny et al. (2010)
menyatakan bahwa ovarium terbagi atas dua bagian yaitu cortex yang
berada di lateral dan medulla yang berada di bagian medial. Bagian cortex
banyak ditemukan berbagai tahap perkembangan folikel. Bagian medulla
terdiri dari jaringan ikat longgar dan banyak ditemukan pembuluh darah dan
saraf.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil
struktur histologi ovarium terbagi menjadi 4 tahapan yaitu dimulai dari folikel
primer, folikel sekunder, folikel tersier, dan folikel de Graaf. Bagian terluar
hingga kedalam dari histologi folikel de Graaf yaitu theca externa, theca
interna, membran basalis, cumulus oophorus, zona pellusida, ovum, ruang
perivitelina, corona radiata, dan nukleus.
Berdasarkan perubahan morfologisnya, folikel di klasifikasikan
dalam 4 kelompok yaitu folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier dan
folikel de Graaf. Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa folikel mencapai
kematangannya melalui tingkatan-tingkatan perkembangan folikel-folikel
primer, sekunder, tertier, dan de Graaf. Folikel primer terdiri dari oosit yang
dikelilingi oleh selapis sel epitel sedangkan sel teka belum terbentuk,
sebagian besar folikel primer tersebut akan mengalami regresi atau tetap
tidak berkembang sama sekali, pada fase ini sel telur berkumpul di bawah
tunica albuginea. Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa folikel primer
terdiri dari satu bakal sel telur yang pada fase ini berkumpul di bawah tunica
albuginea. Folikel sekunder berkembang pada waktu hewan betina telah
lahir dan menjalani proses pendewasaan tubuh. Folikel sekunder yang
mengandung oosit dalam volume maksimal dan letaknya eksentrik atau
agak ke pinggir seperti pada folikel primer. Syamsuddin (2014) menyatakan
bahwa sel-sel granulose terdiri dari 6 sampai 12 lapis sel. Pada folikel
sekunder ovum sudah dilengkapi zona pelusida yang bergerak menuju
korteks. Pertumbuhan folikel dari folikel sekunder menjadi folikel tersier
terjadi waktu hewan menjadi dewasa dan dilanjutkan pada waktu hewan
mengalami siklus birahi. Folikel tersier timbul sewaktu sel-sel pada lapisan
folikuler memisahkan diri untuk membentuk tepian dan suatu antrum.
Antrum dibatasi oleh banyak lapisan sel folikuler yaitu membrana granulosa
dan diisi oleh suatu cairan jernih, liquor folliculi yang kaya akan protein dan
estrogen. Pertumbuhan folikel de Graaf meliputi dua lapis sel stroma cortex
yang mengelilingi sel-sel folikuler. Lapisan sel-sel tersebut membentuk
theca folikulli yang dapat dibagi atas techa interna dan theca externa yang
fibrous. Apriliana (2012) menyatakan bahwa cortex terdiri atas jaringan ikat
yang membentuk stroma dan folikel–folikel pada berbagai tahap
perkembangan yaitu folikel primordial, primer, sekunder, tersier, juga
terdapat corpus luteum, corpus albikan, dan folikel atresia.
Ovulasi adalah peristiwa pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya
ovum dari dalam folikel. Pecahnya folikel de Graaf dimulai dengan retaknya
dinding-dinding folikel pada bagian stigma, lalu cairan folikel meleleh keluar.
Ovum keluar bersama keluarnya cairan folikel. Sinaga et al. (2017)
menyatakan bahwa ovulasi adalah proses keluarnya sel telur dari ovarium,
yang terjadi pada saat telur berada pada fase folikel de Graaf.
Corpus terdiri dari 3 macam yaitu corpus hemorrhagicum, corpus
luteum, dan corpus albican. Corpus hemorragicum adalah struktur
sementara yang terbentuk setelah terjadi ovulasi dari folikel ovarium saat
kolaps dan penuh dengan darah yang cepat membeku. Hamny et al. (2010)
menyatakan bahwa corpus hemorrhagicum terbentuk pada saat masih
berada pada fase pembentukan jaringan luteal. Corpus luteum
mensekresikan hormon progesteron yang dapat menghambat
perkembangan folikel lebih lanjut dan menghambat terjadinya ovulasi. Hasil
yang didapatkan sesuai dengan literatur.

Gambar 3. Histologi ovarium


(Maria, 2017).
Berdasarkan praktikum diketahui bahwa oogenesis adalah proses
pembentukan sel telur (ovum) di dalam ovarium. Oogenesis dimulai dengan
pembentukan bakal sel-sel telur yang disebut oogonia. Pertumbuhan oosit
antara lain berupa peningkatan diameter oosit, pertambahan ukuran dari
organel-organel, dan disertai dengan perubahan atau perkembangan pada
inti dan sitoplasma. Masaknya sel kelamin primer betina hanya
menghasilkan satu ovium (ootid). Sumiati, (2013) menjelaskan bahwa
oogenesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan sel ovum.
Proses oogenensis dipengaruhi oleh beberapa hormon yaitu FSH,
esterogen, LH, dan progesteron. Hormon progesteron yang berfungsi untuk
menghambat sekresi FSH dan LH. Proses oogenesis terdiri dari beberapa
tahap yaitu oogonium yang mengalami pembelahan mitosis berubah
menjadi oosit primer. Oosit primer melakukan meiosis I yang meghasilkan
dua sel anak yang ukurannya tidak sama. Sel anak yang lebih besar adalah
oosist sekunder yang bersifat haploid (n). Sel anak yang lebih kecil disebut
badan polar pertama yang kemudian membelah diri. Hormon FSH berfungsi
untuk merangsang pertumbuhan sel-sel folikel sekitar sel ovum. Hormon
Estrogen yang berfungsi merangsang sekresi hormon LH. Hormon LH yang
berfungsi merangsang terjadinya ovulasi (yaitu proses pematangan sel
ovum).

Gambar 4. Oogenesis
(Syamsuddin, 2014)

Siklus estrus terdiri dari 4 fase yaitu fase proestrus, estrus, metestrus
dan diestrus. Arimbawa et al. (2012) menyatakan bahwa kadar hormon
reproduksi seperti estrogen dan progesteron berperan dalam menentukan
siklus estrus pada seekor ternak betina. Siklus estrus pada ruminansia
dibedakan menjadi 4 tahapan diantaranya adalah proestrus, estrus,
metestrus dan diakiri dengan fase diestrus. Fase proestrus terjadi
perubahan tingkah laku yaitu ternak menjadi gelisah, dan organ bagian
dalam pada ovarium ditandai dengan corpus luteum mulai regresi dan
terjadi perubahan folikel tersier menjadi folikel de Graaf. Syamsuddin (2014)
menyatakan bahwa fase proestrus ditandai dengan banyaknya sel-sel
epitel berinti berukuran kecil hingga sedang dan sedikit leukosit.
Fase estrus ditandai dengan keluarnya lendir jernih, bagian vulva
terjadi perubahan yaitu bengkak, kemerahan, dan sedikit panas. Fase
estrus terjadi perubahan organ kelamin bagian dalam yaitu ovum yang
dikandung folikel telah cukup masak, dan dinding folikel menjadi tipis dan
menonjol keluar. Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa fase estrus
ditandai dengan epitel berinti berukuran besar dan/atau sel epitel yang telah
mengalami kornifikasi (cornified cells) sehingga intinya tidak lagi tampak.
Ramli et al. (2016) menyatakan bahwa hormon estrogen merupakan
hormon yang bertanggung jawab terhadap manifestasi munculnya gejala
estrus.
Fase metestrus sapi betina ditandai dengan menolaknya betina
untuk kopulasi. Fase metestrus, ditandai dengan ovum diovulasikan dan
telah berada dalam tuba fallopi, dan cervix dalam keadaan telah menutup.
Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa fase metestrus ditandai dengan
ditemukannya sel-sel epitel terkornifikasi dan sedikit leukosit.
Fase diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus.
Pada tahap ini diketahui bahwa corpus luteum menjadi matang.
Endometrium memperlihatkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
endometrium dari panjang menjadi berkelok-kelok, dari berkelok-kelok
menjadi spiral. Fase diestrus ternak terlihat tenang. Syamsuddin (2014)
menyatakan bahwa fase diestrus ditandai dengan dominasi leukosit (sel
darah putih) dan sedikit epitel berinti berukuran kecil.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada fase pro estrus
LH normal, FSH normal, progesterone normal. Namun, estrogen mulai
meningkat. Pada fase estrus LH pada kondisi maksimal, FSH maksimal,
estrogen maksimal namun mengalami penurunan, dan progesterone
menurun. Pada fase metestrus sampai diestrus FSH, LH, dan estrogen
normal kembali. Hormone progesterone dalam keadaan maksimal.
Peningkatan kadar progesteron terjadi secara gradual mulai hari ke-4
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-14 setelah estrus. Penurunan
kadar progesteron mulai terjadi setelah hari ke-14 dan mendekati kadar
saat estrus mulai hari ke-20. Peningkatan dan penurunan kadar
progesteron sejalan dengan perkembangan korpus luteum selama siklus
estrus. Korpus luteum mulai berfungsi pada hari ke- 1 setelah estrus, hal ini
menandakan bahwa luteinisasi atau pembentukan korpus luteum sudah
terjadi setelah ovulasi, dimana hormon progesteron mulai diproduksi.
Sebaliknya penurunan kadar progesteron terjadi setelah hari ke-14 siklus
estrus dan korpus luteum mulai mengalami regresi setelah hari ke-14
setelah estrus. Hal ini enandakan setelah hari ke-14 mulai dilepaskan agen
luteolitik yang dapat meregresikan korpus luteum (Arimbawa et al., 2012).

Gambar 5. Grafik konsentrasi Hormon Siklus Estrus


(Nurul, 2015)
Oviduk
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh bahwa oviduk
merupakan saluran yang merupakan tempat terjadinya fertilisasi. Apriliani
(2012) menyatakan bahwa tuba fallopi juga dikenal dengan istilah oviduk
(saluran telur) dan kadang-kadang disebut tuba uterina. Oviduct terdiri dari
tiga lapis yaitu tunica serosa, tunica muscularis dan tunica mukosa.
Saraswati (2016) menyatakan bahwa lapisan oviduk terdiri dari tunika
serosa, tunika muskularis, tunika mukosa. Tunica serosa berfungsi untuk
melindungi jaringan dibawahnya. Tunica muscularis berfungsi untuk
pergerakan. Membran mukosa berfungsi untuk menghasilkan mucus.
Codon dan Casanave (2009) menyatakan bahwa dinding oviduct
memiliki tiga lapisan yaitu tunika mukosa, tunika muskularis dan adventisia
atau tunika serosa. Mukosa magnum mengandung lipatan primer dan
beberapa lipatan sekunder. Mukosa magnum terdiri dari epitel yang
dibatasi oleh sel sel epitel kolumner bersilia (non sekretoris), sel goblet
(sel sekretoris, tidak bersilia), dan terdapat sel kelenjar tubuler di bawah
epithelium. Tunika serosa dan tunika muskularis pada magnum sangat
tipis. Isthmus tersusun oleh kelenjar yang sebagian besar menyerupai
magnum, dengan lipatan sekunder pada mukosa lebih banyak daripada
magnum, epithelium berselang seling antara sel bersilia dengan sel
sekretoris. Hasil yang didapatkan telah sesuai dengan literatur.

Gambar 7. Histologi oviduct


(Prayogha, 2012)
Uterus
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
uterus merupakan tempat untuk perkembangan janin atau embrio. Apriliani
(2012) uterus merupakan tempat fertilisasi, konseptus, implantasi, dan
perkembangan fetus. Lapisan uterus memiliki 3 lapisan, yaitu endometrium,
myometrium, dan perimetrium. Harlita et al. (2015) menyatakan bahwa
dinding uterus secara histologis terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu
lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium.
Hamny et al. (2010) menyatakan bahwa dua lapisan uterus dikenal
yaitu endometrium dan myometrium. Endometrium adalah suatu struktur
glandular yang terdiri dari lapisan epitel yang membatasi rongga uterus,
lapisan glandular dan jaringan ikat. Tebal dan vaskularisasi endometrium
bervariasi sesuai dengan perubahan-perubahan hormonal dan
kebuntingan. Permukaan dalam endometrium dibatasi oleh sel epitel.
Myometrium adalah bagian muskular dinding uterus yang terdiri dari dua
lapis otot licin, selapis dalam otot sirkuler yang tebal dan selapis luar otot
longitudinal yang tipis. Myometrium terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang
terbentuk sirkuler dan yang berbentuk longitudinal. Apriliani (2012)
menjelaskan bahwa lapisan ini terdiri dari buluh-buluh darah dan limpa,
syaraf, dan jaringan ikat.
Perimetrium terletak paling luar berseberangan dengan ligament
yang dihubungkan dengan jaringan penghubung sebagai pendukung.
Lapisan perimetrium merupakan lapisan yang paling dalam yang langsung
berhubungan dengan rongga abdomen (Sitasiwi, 2009). Dinding uterus
terdiri dari selaput mucosa dibagian dalam, selaput otot licin dibagian
tengah, dan selapis serosa dibagian luar, ialah peritoneum. Tunika serosa
(perimetrium) (serosa menutupi uterus) bersambungan dengan peritoneum
yang dikenal sebagai ligamen lebar, yang mendukung genitalia internal.
Tunika serosa (perimetrium) berfungsi sebagai pelindung dari uterus agar
tidak bergesekan dengan organ lain (Frandson, 2009). Ligamen ini terdiri
dari mesovarium yang mendukung ovarium, mesosalpinx yang mendukung
oviduct, mesometrium yang mendukung uterus. Hasil yang didapatkan
telah sesuai dengan literatur.
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa bagian-bagian dari organ reproduksi betina adalah ovarium, oviduct,
uterus, dan vagina. Kelenjar hypophysis terbagi menjadi dua yaitu
adenohypophysis dan neurohypophysis yang berfungsi untuk memproduksi
hormon yang mengatur mengatur metabolisme, pertumbuhan, dan
reproduksi. Ovarium berperan menghasilkan ovum dan hormon reproduksi
estrogen dan progesteron. Bagian dari oviduct ada empat, yaitu fimbria,
infundibulum, ampulla, dan isthmus. Uterus memiliki tiga macam lapisan
dinding yang tebal yaitu perimetrium, myometrium, dan endometrium.
Daftar Pustaka

Amita, H. 2015. Pengaruh ekstrak kombinasi daun pegagan (Centella


asiatica L.) dan beluntas (Pluchea indica L.) terhadap gambaran
histologi uterus dan uviduk tikus putih (Rattus norvegicus) betina.
Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Apriliani, F. 2012. Morfofologi Organ Reproduksi Betina Musang Luak
(Paradoxurus hermaphroditus). Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arimbawa, I. W. P., I. G. N. B. Trilaksana, dan T. G. O. Pemayun. 2012.
Gambaran hormon progesteron selama satu siklus estrus.
Indonesia Medicus Veterinus. 1(3): 330–336.
Batubara, J. R. L. 2010. Adolescent develompent (perkembangan remaja).
Sari Pediatri. 12(1): 22-29.
Codon, S.M. dan E.B. Casanave. 2009. Morphology and histological
annual changes of the oviduct of chaetophractus villosus
(Mammalia, Xenarthra, Dasypodidae). Journal Morphology. 27(2):
355-360.
Dewi, Y. P. 2015. Massa di Sella Tursika Ec Suspek adenoma hypophysis.
Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta
Frandson, R.D., W.L. Wilke, and A.D. Fails. 2009. Anatomy and
Physiologyof Farm Animals. Wiley Blackwell. USA.
Hamny., S. Agungpriyono., I. Djuwita., W. E. Prasetyaningtyas., dan I.
Nasution., 2010. Karakteristik histologi perkembangan folikel
ovarium fase luteal pada kancil (Tragulus javanicus). Majalah Ilmu
Kehewanan Indonesia. 2(1): 35-42.
Harlita, R.M. Probosari, dan J. Ariyanto. 2015. Perubahan histologi uterus
tikus putih (Rattus novergicus) galur Wistar : aktifitas antifertilitas
ekstrak kulit biji mete (Anacardium occidentale L.). BIOEDUKASI.
8(2) : 1-4.
Haviz. 2013. Dua sistem tubuh reproduksi dan endokrin. 5(2): 153-168.
Isnaini, N dan M.N. Ihsan. 2011. Profil protein hipofisa sapi perah
peranakan fries holland (PFH) betina fase folikuler dan lutea. Jurnal
Ternak Tropika. 12(1): 1-9.
Jalaluddin, M. 2014. Morfometri dan karakteristik histologi ovarium sapi
Aceh (Bos indicus) selama siklus estrus. Jurnal Medika Veterinaria.
8(1) : 66-68.
Karlina, Yeni. 2003. Siklus Estrus dan hisologi ovarium tikus putih (Rattus
norvegicus) setelah pemberian Alprazolam. Skripsi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Maria, D.U. 2017. Gambaran Histologi Ovarium Kucing Domestik (Felis
catus) yang Disimpan pada Suhu 4oC Selama Tujuh Hari. Skripsi
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurul, E.S. 2015. Histologi Hasil Ulas Vagina Dan Waktu Siklus Estrus
Mencit (Mus musculus, L.) setelah Pemberian Monosodium
Glutamat (MSG). Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Alam.
Universitas Halu Oleo. Kendari.
Outang, T. M. T., W. M. Nalley, T. M. Hine. 2017. Pemanfaatan ekstrak
hipofisis sapi untuk memperbaiki performans reproduksi induk babi
post partum. Jurnal Veteriner. 18(3): 383-392.
Pohan, A. dan C. talib. 2010. Aplikasi hormon progesteron dan estrogen
pada betina induk sapi Bali anestrus postpartum yang
digembalakan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. 1(1) : 18-24.
Prandika, Y. 2016. Performan reproduksi induk sapi bali pasca sinkronisasi
estrus menggunakan prostaglandin (Pgf2α) dan human chorionic
gonadotropin (Hcg). Skripsi. Program Studi Peternakan Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Prayogha, P.K.G. 2012. Profil hormon ovary sepanjang siklus estrus tikus
(Rattus norvegicus) betina menggunakan Fourrier Transform
Infrared (FTIR) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia. Depok.
Ramli, M., T.N. Siregar, C.N. Thasmi, Dasrul, S. Wahyuni, dan A. Sayuti.
2016. Hubungan antara intensitas estrus dengan konsentrasi
estradiol pada sapi Aceh pada saat inseminasi. Jurnal Medika
Veterinaria. 10(1) : 27-30.
Rifka, J. 2008. Kajian karakteristik anatomi dan morfometri organ reproduksi
betina kuda lokal Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Saraswati, T.R. 2016. Diskripsi perbandingan histologi organ reproduksi
puyuh yang diberi perlakuan serbuk kunyit sebelum masak kelamin
dan tidak diberi perlakuan serbuk kunyit. 1(1) : 6-12.
Silalahi, M., dan H.M. Djakaria. 2017. Kraniofaringioma. Radioterapi Dan
Onkologi Indonesia. 8(1): 27-38.
Sinaga, E., N. Saribanon, S. N. Sa’adah, U. Salamah, Y. A. Murti, A.
Trisnamiati, dan S. Lorita. 2017. Manajemen Kesehatan
Menstruasi. Universitas Nasional IWWASH Global One. Jakarta.
Siregar, T. N. 2009. Profil hormon estrogen dan progesterone pada siklus
berahi kambing local. Jurnal Kesehatan Hewan. 3(2): 240-248.
Sitasiwi, A. J. 2009. Efek paparan tepung kedelai dan tepung tempe
sebagai sumber fitoestrogen terhadap jumlah kelenjar
endometrium uterus mencit (Mus musculus L.). Jurnal Veterinaria.
27(1) : 32-69.
Sumiati. 2013. Sistem reproduksi. Jurnal Biologi Universitas Mataram. 2 (2):
1-13.
Syamsuddin, R. 2014. Pengaruh Diameter Oosit Sapi Bali Terhadap
Tingkat Kematangan Inti Oosit Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Anda mungkin juga menyukai