Disusun oleh :
Bayu Murti Dewandaru
17/414806/PT/07495
Kelompok V
Tinjauan Pustaka
Organ reproduksi betina dapat dibagi atas 3 komponen, yaitu organ
reproduksi primer, organ reproduksi sekunder, dan organ pelengkap. Organ
reproduksi primer betina terdiri dari ovaria (tunggal ovarium), yang
menghasilkan ovum dan hormon-hormon reproduksi betina. Organ
reproduksi sekunder betina terdiri dari saluran reproduksi yang terdiri atas
tuba falopii atau oviduk, uterus, servik, vagina, dan vulva. Organ reproduksi
pelengkap pada hewan betina yaitu kelenjar mammae yang akan
menghasilkan air susu untuk mendukung pertumbuhan anak (Amita, 2015).
Fungsi organ reproduksi berkaitan dengan hormon-hormon yang
disekresikan hypofisis pituitary. Jalaluddin (2014) menjelaskan bahwa
ovarium adalah organ yang menghasilkan ovum dan hormon-hormon yang
memengaruhi pertumbuhan seks sekunder seperti estrogen dan
testosteron. Prandika (2016) menjelaskan bahwa oviduct memiliki fungsi
diantaranya adalah tempat terjadinya fertilisasi tepatnya pada bagian yang
disebut dengan ampullary isthmus junction, transport zigot hasil
pembuahan, dan tempat diovulasikannya ovum atau sel telur. Uterus
merupakan organ yang berongga dan berotot. Berbentuk seperti buah pir
dengan bagian bawah yang mengecil yang berfungsi sebagai tempat
pertumbuhan embrio. Sumiati (2013) menjelaskan bahwa uterus
mempunyai 3 macam lapisan dinding, yaitu perimetrium yaitu lapisan yang
terluar yang berfungsi sebagai pelindung uterus, myometrium yaitu lapisan
tengah uterus, dan endometrium yang merupakan lapisan paling dalam
uterus yang berhubungan langsung dengan lumen. Rifka (2008)
menjelaskan bahwa serviks berfungsi sebagai barrier transport sperma,
mengisolasi uterus dari lingkungan luar selama kebuntingan dengan
membentuk barrier berupa mukus yang sangat kental.
Materi dan Metode
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum histologi alat reproduksi
betina adalah mikroskop, pensil warna, poster, dan kertas kerja.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum histologi alat
reproduksi betina adalah preparat awetan organ reproduksi betina yaitu
organ kelenjar hypophysis, ovarium, oviduk, dan uterus.
Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum histologi organ reproduksi
jantan yaitu poster gambar histologi saluran reproduksi betina diamati dan
diketahui fungsi bagian-bagiannya. Pengamatan juga menggunakan
preparat yang dilihat melalui mikroskop cahaya. Histologi organ reproduksi
betina digambar pada lembar kerja menggunakan pensil warna.
Hasil dan Pembahasan
Saluran organ reproduksi betina tersusun dari berbagai jenis sel
yang mendukung fungsi reproduksi. Sel-sel penyusun organ reproduksi
memiliki spesifikasi tersendiri yang mendukung fungsi reproduksi.
Praktikum histologi organ reproduksi betina dilakukan dengan cara
mengamati preparat organ reproduksi betina yaitu organ kelenjar
hypophysis, ovarium, oviduct, dan uterus dengan mikroskop.
Kelenjar Hypophysis
Kelenjar hypophysis merupakan kelenjar yang menghasilkan
bermacam-macam hormon yang bertugas meregulasi sekresi hormon-
hormon kelenjar lain yang terletak di lekukan otak dasar yaitu sella turcica.
Isnaini dan Nur (2011) menjelaskan bahwa kelenjar hypophysis merupakan
kelenjar yang menghasilkan bermacam-macam hormon yang bertugas
meregulasi sekresi hormon-hormon kelenjar lain. Kelenjar-kelenjar yang
bekerja dibawah perintah kelenjar hypophysis antara lain gonad, adrenal,
tiroid, dan mammae. Kelenjar hypophysis terdiri dari adenohypophysis dan
neurohypophysis. Adenohypophysis terdiri dari lobus anterior (pars distalis
dan pars tuberalis) dan neurohypophysis terdiri dari lobus posterior (pars
intermedia dan pars nervosa. Dewi (2015) menyatakan bahwa kelenjar
hypophysis secara embriologik berkembang dari ectoderm saluran
pencernaan pada atap mulut dan ektoderm neural pada hypothalamus yang
sedang berkembang. Hypophysis terbagi menjadi dua bagian utama namun
merupakan satu kesatuan nyata yaitu kelenjar adenohypophysis atau
hypophysis anterior dan neorohypophysis atau hypophysis posterior.
Adenohypophysis terdiri dari pars distalis dan pars tuberalis. Posterior lobe
(neurohypophysis) terdiri dari pars intermedia dan pars nervosa.
Adenohypophysis terdiri dari pars distalis dan pars tuberalis. Pars
distalis merupakan bagian yang menghasilkan hormon. Siregar (2009)
menyatakan bahwa adenohyphophysis merupakan struktur epithel yang
terdiri atas tiga bagian yaitu pars distalis, pars tubelaris dan pars intermedia.
Ada beberapa sel yang terdapat di dalam pars distalis yaitu cromophobe
yang inaktif (tidak menghasilkan hormon) merupakan prekursor dari sel-sel
yang aktif menghasilkan hormon dan cromophile yang aktif menghasilkan
hormon. Dewi (2015) menyatakan bahwa berdasarkan ada tidaknya
granula-granula yang mengambil warna ditemukan dua macam sel dalam
hypophysis, yaitu sel cromophobe yang tidak memiliki granula yang
mengambil warna. Berdasarkan praktikum sel cromophile dibagi menjadi
dua macam sel, yaitu acidophile dan basophile. Sel acidophile adalah sel
yang merespon zat warna asam (merah atau orange) dan menghasilkan
hormon Somatotrophs Hormone (STH) atau Growth Hormone (GH) yang
dihasilkan oleh sel somatotrophs dan prolactin yang dihasilkan oleh
lactotrophs (mammototrophs). Sel basophile adalah sel yang merespon zat
warna basa (biru) dan menghasilkan hormon Follicle Stimulating Hormone
(FSH), Luteinizing Hormone (LH) dan tyrotrophie hormone. FSH dan LH
dihasilkan oleh sel gonadotrophs, sedang tyrotrophie hormone dihasilkan
oleh sel tyrotrophs. Sel corticotrophs menghasilkan ACTH.
Neurohypophysis terdiri dari pars intermedia dan pars nervosa. Pars
nervosa merupakan bagian yang menghasilkan hormon. Haviz (2013)
menjelaskan bahwa bagian hypophysis pada manusia mengalami
rudimenter, dan tersusun dari suatu lapisan sel tipis yang berupa
lempengan–lempengan yang tidak teratur dan gelembung yang berisi
koloid. Berdasarkan praktikum diketahui bahwa pars tuberalis tidak
menghasilkan hormon karena di dalamnya terdapat banyak pembuluh
darah. Pars nevrosa sebagai penghasil hormon MSH yang mempengaruhi
pigmen kulit dan hormon oksitoksin membantu dalam proses partus dan
menstimulasi kelenjar mammae.
Gambar 1. Histologi Adenohypophysis
(Silalahi dan Djakaria, 2017)
Mekanisme feedback hormon dimulai dari kelenjar hypothalamus
merangsang GnRH sehingga anteriorpituitary mensekresikan FSH dan LH.
Karlina (2003) menyatakan bahwa pada sistem reproduksi betina terdapat
pengendalian hormon yang mekanismenya di awal, hypothalamus
menyekresikan Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH), GnRH yang
diproduksi oleh neuron hipotalamus dibawa menuju anterior pituitary oleh
pembuluh darah portal. Batubara (2010) menyatakan bahwa GnRH dari
hypothalamus menstimulasi pelepasan FSH dan LH dari pituitari anterior.
Adanya GnRH mempengaruhi sintesis LH dan FSH. LH mengatur ovulasi
yaitu pelepasan ovum dari folikel, sedangkan FSH mengatur
perkembangan folikel. Kandungan LH dan FSH dalam darah meningkat
sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi menghasilkan corpus luteum yang
meningkatkan kadar hormon progesteron untuk memperkuat kandungan.
Apabila terjadi kebuntingan terjadi feedback negatif yang membuat
progesteron meningkat, sehingga mempengaruhi kinerja hipotalamus dan
anterior pituitary yaitu dengan menghambat sekresi hormon FSH. Hormon
FSH berfungsi dalam perkembangan folikel, sehingga apabila terjadi
kebuntingan tidak terjadi perkembangan folikel. Perkembangan folikel
dapat merangsang peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan
estrus. Pohan dan Talib (2010) menyatakan bahwa penggunaan
progesterone adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap
hipotalamus yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang,
maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
(Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang banyak. Sekresi hormon tersebut
akan mengakibatkan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel
menjadi follicle de graaf sehingga terjadi ovulasi. Hasil praktikum sesuai
dengan literatur.
Gambar 4. Oogenesis
(Syamsuddin, 2014)
Siklus estrus terdiri dari 4 fase yaitu fase proestrus, estrus, metestrus
dan diestrus. Arimbawa et al. (2012) menyatakan bahwa kadar hormon
reproduksi seperti estrogen dan progesteron berperan dalam menentukan
siklus estrus pada seekor ternak betina. Siklus estrus pada ruminansia
dibedakan menjadi 4 tahapan diantaranya adalah proestrus, estrus,
metestrus dan diakiri dengan fase diestrus. Fase proestrus terjadi
perubahan tingkah laku yaitu ternak menjadi gelisah, dan organ bagian
dalam pada ovarium ditandai dengan corpus luteum mulai regresi dan
terjadi perubahan folikel tersier menjadi folikel de Graaf. Syamsuddin (2014)
menyatakan bahwa fase proestrus ditandai dengan banyaknya sel-sel
epitel berinti berukuran kecil hingga sedang dan sedikit leukosit.
Fase estrus ditandai dengan keluarnya lendir jernih, bagian vulva
terjadi perubahan yaitu bengkak, kemerahan, dan sedikit panas. Fase
estrus terjadi perubahan organ kelamin bagian dalam yaitu ovum yang
dikandung folikel telah cukup masak, dan dinding folikel menjadi tipis dan
menonjol keluar. Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa fase estrus
ditandai dengan epitel berinti berukuran besar dan/atau sel epitel yang telah
mengalami kornifikasi (cornified cells) sehingga intinya tidak lagi tampak.
Ramli et al. (2016) menyatakan bahwa hormon estrogen merupakan
hormon yang bertanggung jawab terhadap manifestasi munculnya gejala
estrus.
Fase metestrus sapi betina ditandai dengan menolaknya betina
untuk kopulasi. Fase metestrus, ditandai dengan ovum diovulasikan dan
telah berada dalam tuba fallopi, dan cervix dalam keadaan telah menutup.
Syamsuddin (2014) menyatakan bahwa fase metestrus ditandai dengan
ditemukannya sel-sel epitel terkornifikasi dan sedikit leukosit.
Fase diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus.
Pada tahap ini diketahui bahwa corpus luteum menjadi matang.
Endometrium memperlihatkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
endometrium dari panjang menjadi berkelok-kelok, dari berkelok-kelok
menjadi spiral. Fase diestrus ternak terlihat tenang. Syamsuddin (2014)
menyatakan bahwa fase diestrus ditandai dengan dominasi leukosit (sel
darah putih) dan sedikit epitel berinti berukuran kecil.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada fase pro estrus
LH normal, FSH normal, progesterone normal. Namun, estrogen mulai
meningkat. Pada fase estrus LH pada kondisi maksimal, FSH maksimal,
estrogen maksimal namun mengalami penurunan, dan progesterone
menurun. Pada fase metestrus sampai diestrus FSH, LH, dan estrogen
normal kembali. Hormone progesterone dalam keadaan maksimal.
Peningkatan kadar progesteron terjadi secara gradual mulai hari ke-4
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-14 setelah estrus. Penurunan
kadar progesteron mulai terjadi setelah hari ke-14 dan mendekati kadar
saat estrus mulai hari ke-20. Peningkatan dan penurunan kadar
progesteron sejalan dengan perkembangan korpus luteum selama siklus
estrus. Korpus luteum mulai berfungsi pada hari ke- 1 setelah estrus, hal ini
menandakan bahwa luteinisasi atau pembentukan korpus luteum sudah
terjadi setelah ovulasi, dimana hormon progesteron mulai diproduksi.
Sebaliknya penurunan kadar progesteron terjadi setelah hari ke-14 siklus
estrus dan korpus luteum mulai mengalami regresi setelah hari ke-14
setelah estrus. Hal ini enandakan setelah hari ke-14 mulai dilepaskan agen
luteolitik yang dapat meregresikan korpus luteum (Arimbawa et al., 2012).