Anda di halaman 1dari 146

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fisika merupakan disiplin ilmu yang kompleks. Fisika mempelajari konsep-

konsep tentang gejala alam yang terjadi dimuka bumi ini. Salah Satu konsep yang

diterangkan dalam fisika adalah indeks bias. Indeks bias adalah perbandingan

kerapatan antara kecepatan cahaya didalam udara dengan kecepatan cahaya

didalam zat pada suhu tertentu.

Indeks bias ditentukan dengan refraktometer . refraktometer adalah alat yang

digunakan untuk menetapkan nilai indeks bias. Refraktometer merupakan alat

yang tepat dan cepat untuk menentukan indeks bias, serta suatu metode yang

sederhana. Alat ini hanya menggunakan sampel yang relatif sedikit.

Penerapan indeks bias dimanfaatkan diberbagai bidang. Dalam bidang farmasi

misalnya, untuk mengetahui kadar dan konsentrasi suatu sediaan ataupun obat-

obatan sebelum dipasarkan. Hal inilah yang kemudian mendasari dilakukannya

percobaan ini.

Mengingat betapa pentingnya pemanfaatan atau penggunaan prinsip indeks

bias ini, maka diharapkan dapat mengaplikasikannya dengan benar . dalam

2
percobaan ini diharapkan dapat menetapkan indeks bias dan persen kadar glukosa

dalam suatu larutan dengan menggunakan alat refraktometer.

B. TUJUAN PERCOBAAN
Mengukur konsentrasi gula dengan memanfaatkan prinsip indeks bias
C. PRINSIP PERCOBAAN

Penentuan indeks bias dan % kadar glukosa dari beberapa sampel, yaitu

larutan glukosa 10%, 20%, 30% dan larutan jeruk dengan cara memasukkan

sampel pada refraktometer yang sudah dibersihkan berdasarkan cara kerjanya dan

hasilnya dimasukkan ke dalam tabel pengamatan.

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

3
A. DASARTEORI

Seberkas sinar bila di lewatkan dari suatu medium ke medium lainnya maka

arah dari sinar tersebut cendrung di biaskan. Pembiasan yang terjadi merupakan

parameter yang di ukur untuk menghitung indeks bias suatu senyawa. Indeks bias

terukur merupakan indeks bias mutlak atau indeks bias relative.

Indeks bias mutlak di defenisikan sebagai perbandingan kecepatan cahaya

didalam vakum terhadap kecepatan cahaya di dalam medium.

n = Vvakum / V medium

indeks bias relatif didefenisikan sebagai kecepatan cahaya di udara ruang

terhadap kecepatan cahaya di dalam medium. Karena pengukuran kecepatan

cahaya tidak mudah dilakuakan, maka di gunakan cara sebagai berikut

Sudut datang i Medium 1 bidang atas medium

Medium 2 r indeks bias

Indeks bias di rumuskan sebagai berikut :

n = sin i

sin r

Ket :

4
i = sudut yang di bentuk oleh berkas sinar datang dengan garis normal pada

bidang atas medium.

r = sudut bias yang di bentuk oleh sinar setelah masuk ke dalam medium

Indeks bias adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dengan

kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Indeks bias berguna untuk indentifikasi zat

dan ketakmurnian. Walaupun menurut farmakope suhu pengukuran adalah 25˚

tetapi pada banyak monografi indeks bias di tetapkan pada suhu 20˚. Suhu

pengukuran harus benar-benar diatur dan di pertahankan, karena sangat

mempengaruhi indeks bias. Harga indeks bias dalam farmakope di nyatakan

untuk garis d cahaya natrim pada panjang gelombang deblet 589,0 nm dan 589,6

nm. Umumya alat ini rancang untuk di gunakan dengan cahaya yang putih tetapi

di kalibrasi agar mmberikan indeks bias untuk garis d cahaya natrium.

( Farmakope Indonesia Edisi IV Jakarta : Departemen Kesehatan RI.1991 )

hal.1030

Refraktor alat dalam perdagangan umumnya di buat dengan sinar putih yang

telah di tera hingga dapat dinyatakan indeks bias yang menggunakan sinar

natrium pada panjang gelombang 589,3. ( Departemen Kesehatan Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Farmakope Indonesia Edisi III (Jakarta

: Departemen Kesehatan, 1995) hal.797

5
Refraktormeter adalah alat yang di gunakan untuk mengukur kadar atau

konsentrasi bahan terlarut. Misalnya : garam, gula, protein dsb. Prinsip kerja

refraktormeter adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya.

Prinsip kerja dari refraktormeter adalah sebagai berikut :

1. Dari gambar di bawah terdapat 3 bagian yaitu : sampel, prisma dan papan

skala.reraktif indeks prisma jauh lebih besar di bandingkan dengan sampel.


2. Jika sampel merupakan larutan dengan dengan konsentrasi rendah, maka

sudut refraksi akan lebar dikarenakan perbedaan refraksi dari prisma dan

sampel besar. Maka pada papan skala sinar “ a” akan jatuh pada skala

rendah.
3. Jika sampel merupakan larutan pekat atau konsentrasi tinggi, maka sudut

refraksi akan kecil karena perbedaan refraksi prisma dan sampel kecil. Maka

pada papan skala sinar “b” akan jatuh pada skala besar.

Pengukuran dengan refrakormeter di tetapkan dalam satuan ˚Brix. ˚Brix

adalah zat padat kering terlarut dalam suatu larutan ( gram per 100 gram larutan )

yang dihitung sebgai sukrosa. Zat yang terlarut seperti gula ( sukrosa, glukosa,

fruktosa dll ) atau garam gram klorida atau sulfat dari kalium, natrium, kalsium,

dll merespon diri sebagai brix dan dihitung setara dengan sukrosa.

6
Jika tidak dinyatakan lain gunakan refraktor abbe. Indeks bias diukur dalam

batas suhu + 0.2 C dari suhu yang dinyatak pada masing-masing monografiatau

suhu tidak dinyatakan,indeks bias diukur pada suhu 20 C ±0.2 C.


Jenis-jenis refraktormeter adalah :
1. Refraktor Abbe
refraktor abbe di gunakan untuk mengukur rentang indeks bias dari

bahan – bahan yang tercantum dalam farmakope indonesia berikut harga

indeks biasa. Refraktor abbe mempunyai 2 lubang pengamat. Refraktor

yang lain dengan ketelitian setara atau lebih dapat di gunakan.untik

mencapai ketepatan teoritis 0.001 perlu dilakukan kalibrasi alat terhadap

buku yang telah disiapkan pabrikya dan melakukan pengecekan sering kali

terhdap pengendali suhu dan kebersihan dengan menetapkan indeks bias

air, destilasi, adalah 1,330 pada suhu 20˚C dan 1.3325 pada suhu 25˚C.
Refraktor abbe :

2. Refrakor tangan atau hand reraktor

7
Hand refraktor memiliki flap imunilator yang mengahsilkan cahaya

menyebar pada sudut penggembalaan dan membantu untuk menjaga

sampel di tempat. Cahaya melewati sampel, memasuki prisma ukur dan

lensa kemungkinan lainnya dan akhirnya jatuh pada skala pengukuran di

tempat yang dapat dibaca. Tergantung pada alasan untuk menggunakan

refraktormeter, skal dapat lulus dalam derajat brix, presentase presentase

alkoho dan glikol,dll. Untuk hand reraktor indeks bias sudah

dikonversikan hingga dapat langsung di bada kadarnya. Hanya untuk

mengukur kadar zat tertentu saja dan terbatasi jika kadar tidak terbaca

misalnya : terlalu pekat maka hrus di encerkan. Hasil akhir di kalikan

dengan pengenceran.
Refraktor tangan atau hand refraktor :

Macam-macam hand refraktor :

1. Hand refraktor brik untuk gula 0 - 32 %


2. Hand Refraktor salt untuk NaCL 0 – 28 %

8
Penggunaan refraktormeter : larutan yang diukurindeks bias/di

teteskanpadaprisma refrak.
Catatan : pada waktu meneteskan, jangan sampai ada gelembung udara.

B. URAIAN BAHAN
1. Air (anonim.1979. FI III, Hal. 96)
Nama latin : aqua destilata
RM / BM : H2O / 18,20
Air suling di buat dengan penyuling air yang dapat
Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai

rasa
Penyimpanaan : dalam wadah tertututp baik.

BAB III
METODE KERJA
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Hand refraktor
b. Gelasukur
c. Timbangan
d. Pipettetes
2. Bahan
a. Larutangulakonsentrasi 0 -30 %

9
b. Buah-buahan seperti semangka, papaya dan jeruk
c. Air
d. Tissue

B. PROSEDUR KERJA
1. Prisma di bersihkan dan dikeringkan dengan alcohol
2. Prisma ditetesi dengan air suling dan di rapatkan hingga diperoleh garis batas

yang jelas antara gelap dan terang.


3. Skala diatur sampai garis batas berimpit dengan titik titik potong dari 2 garis

yang bersih lanagan sehingga indeks bias dapat di baca pada skala dan suhu

juga diamati.
4. Pengukuranterhadapbeberapasampeljuga di lakukandengancara yang sama.

10
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN
1. Aqudest Gambar :

2. Konsentrasigula 10 % danlarutansampel( sarijeruk )

11
3. Konsentrasi larutan gula 30 %

B. TABEL PENGAMATAN

Namasampel Konsentrasi
Larutangula 10 % 8,6 ° Brix
Larutanjeruk 11 °Brix
Larutakangula 23 °Brix

BAB V

PEMBAHASAN

Pada percobaan ini dilakukan pengukuran konsentrasi gula dengan

memanfaatkan prinsip indeks bias. Indeks bias adalah perbandingan antara kecepatan

12
cahaya dalam ruang hampa dengan cepat rambat cahaya pada suatu medium. Indeks

bias juga dapat di artikan perbandingan antara keceptan cahaya dalam udara dengan

kecerahan cahaya dalam zat. Indeks bias suatu zat adalah pembelokan cahaya ketika

berkas cahaya dalam udara dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Indeks bias

berguna untuk mengidentifikasi zat serta mendeteksi ke tidak murnian minyak atsiri.

Jika cahaya melewati media kurang rapat ke media lebih padat, maka sinar akan

membelok dari garis normal indeks bias. Adapun factor yang mempengaruhi indeks

bias adalah :

1. Pengaruh jenis zat


Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip dapat bercampur dengan baik

dibandingkan yang tidak.


2. Pengaruh suhu
Kelarutan zat padat pada umumnya bertambah dengan naiknya suhu,

namun pada gas menurun karena menguap.


3. Pengaruh tekanan
Pada zat cair dan zat padat pangaruhnya kecil. Sedangkan pada gas,

kelarutan bertambah dengan bertambahnya tekanan.


4. Ukuran partikel
Makin kecil partikel maka zat terlarut semakin cepat larut.
5. Penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut

Pengukuran indeks bias dari beberapa sampel menggunakan alat

refraktometer. Refraktometer adalah alat yang di gunakan untuk mengukur

indeks bias dari suatu larutan.

13
Prinsip kerja dari alat ini adalah didasarkan pada pengukuran sudut kritis yaitu

sudut terkecil dari luas bidang dengan garis normal dalam medium yang indeks

biasnya besar.

Sebelum refraktometer dipakai refraktometer dibersihkan dengan menggunakan

aquadest dan dibiarkan sampai kering, Setelah itu permukaannya ditetesi dengan

sampel yang ada secara bergantian,sambil mengamati skala pada refraktometer

tersebut dengan memutarnya.

Dari percoban yang dilakuakan, kami mendapati indeks bias yang berbeda

darisemuasampel yang ada, dan Setelah kami banding kan dengan Farmakope

Indonesia, ternyata yang nilainya sama hanyalah aquadest, sedangkan sampel yang

lain memiliki indeks bias yang lebih dan kurang dari ketetapan yang ada dalam

Farmakope Indonesia.

Dari hasil pengamatan sampel larutan gula 10 % adalah 8.6, larutan jeruk

dengan nilai 11dan larutan gula adalah 23. Berdasarkan hasil tersebut diketahui

bahwa perbedaan indeks dipengaruhi oleh konsentrasi sampel, kerapatan, kecepatan

cahaya, serta pengamatan skala yang kurang tepat.

14
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan terdapat beberapa kesimpulan :
 Indeks bias larutan berbanding lurus dengan konsentrasi larutan tersebut
 Semakin besar konsentrasi suatu larutan maka indeks bias akan semakin

besar dan sebaliknya apabila konsentrasi larutan semakin kecil maka akan

semakin kecil pula indeks bias larutan tersebut.

15
 Indeks bias larutan gula lebih besar dibandingkan dengan indeks bias air

murni

B. SARAN
Sebaiknya pada percobaan berikutnya dapat dijelaskan grafik hubungan antara

konsentrasi dengan indeks bias, dapat dilihat garis lurus yanga saling berakaitan

antara konsentrasi dengan indeks bias yang berbeda-beda nilainya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; jakarta

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia.

16
17
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cahaya putih merupakan cahaya polikromatik yang terdiri dari berbagai

panjang gelombang yang dapat bervibrasi kesegala arah. Cahaya putih dapat

diubah menjadi cahaya monokromatik (hanya terdiri dari satu panjang

gelombang) dengan menggunakan suatu filter atau sumber cahaya yang khusus.

Cahaya monokromatik ini disebut cahaya terpolarisasi.

18
Peristiwa polarisasi tidak dapat diamati secara langsung oleh mata manusia,

sehingga diperlukan suatu alat yang dapat membantu untuk menunjukan gejala

polarisasi tersebut. Melalui polarimeter gejala polarisasi dapat ditunjukan, selain

itu melalui alat ini dapat dilihat pula bagaimana larutan optic aktif seperti larutan

gula dapat membelokan cahaya yang telah dipolarisasi. Pengamatan-pengamatan

yang dapat dilakukan melalui polarimeter ini lah yang melatar belakangi

dilakukanya percobaan polarimeter.

B. TUJUAN PERCOBAAN

1. Mempelajari prinsip kerja polarimeter


2. Mengukur sudut putar jenis larutan gula sebagai fungsi konsentrasi

C. PRINSIP PERCOBAAN
Pengukuran daya putar optis suatu zat yang menimbulkan terjadinya

putaran bidang getar sinar terpolarisir. Cahaya dari lampu sumber,

terpolarisasi setelah melewati prisma Nicol pertama yang dsebut polarisator.

Cahaya terpolarisasi kemudian melewati senyawa optis atif yang akan memutar

bidang cahaya terpolarisasi dengan arah tertentu. Prisma Nicol kedua yang

disebut analisator akan membuat cahaya dapat melalui celah secara maksimum.

Rotasi optis yang diamati atau diukur dari suatu larutan bergantung kepada

jumlah senyawa dalam tabung sampel, panjang jalan atau larutan yang dilalui

cahaya, temperatur pengukuran, dan panjang gelombang cahaya yang digunakan.

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

Suatu molekul yang memiliki atom pusat asimetris disebut molekul kiral.

Molekul seperti ini dapat merespon dan memutar cahaya sebagaimana lensa.

Kemampuan untuk memutar cahaya ini disebut sifat optis aktif. Senyawa optis

aktif memiliki isomer yang disebut enantiomer dimana senyawa-senyawa

enantiomer memutar cahaya dengan sudut yang sama besar tetapi dengan arah

yang berlawanan. Derajat sudut perputaran cahaya dapat digunakan untuk :

1. Analisis kualitatif

2. Menentukan kemurnian enantiomer dari senyawa

3. Menentukan konsentrasi larutan zat optis aktif

20
Untuk mengamati perputaran cahaya, maka cahaya yang melewati larutan

harus terpolarisasi bidang. Cahaya biasa memiliki gelombang yang terorientasi ke

segala arah (cahaya tidak terpolarisasi). Cahaya terpolarisasi bidang dibuat dari

gelombang yang berorientasi parallel terhadap bidang tertentu. Ketika cahaya

terpolarisasi bidang melewati larutan optis aktif maka cahaya tersebut akan

mengalami perputaran.

Polarisasi merupakan proses mengurung vibrasi vektor yang menyusun

gelombang transversal menjadi satu arah. Dalam radiasi tak terkutubkan, vektor

berosilasi ke semua arah tegak lurus pada arah perambatan. Polarisasi cahaya

merupakan vektor gelombang cahaya ke satu arah. Dalam cahaya tak

terpolarisasi, medan listrik bervibrasi ke semua arah, tegak lurus pada arah

perambatan. Sesudah dipantulkan atau ditransmisikan melalui zat tertentu, maka

medan listrik terkurung ke satu arah dan radiasi dikatakan sebagai cahay terkutub

–bidang. Bidang cahaya yang terkutub-bidang dapat diputar bila melewati zat

tertentu (dantith, 1990 : 342-343).

Menurut Soekardjo (2002 :430) polarisasi dapat dibagi menjadi dau , yaitu :

1. Polarisasi konsentrasi yang disebabkan oleh perubahan konsentrasi di sekitar

elektrode.

2. Polarisasi overvoltage atau tegangan lebih yang disebabkan oleh jenis

elektrode dan proses yang terjadi di permukaan.

21
Gelombangcahaya terpolarisasi terletak pada satu bidang yaitu bidang getar

cahaya. Apabila cahaya terpolarisasi dilewatkan pada larutan salah satu

enansiomer, maka bidang getarnya akan mengalami perubahan posisi, yaitu

berputar ke arah kanan atau kiri. Proses pemuutaran bidang getar cahaya

terpolarisasi, yang untuk selanjutnya disebut pemutaran cahaya terpolarisasi

dinamakan juga rotasi optik, sedangkan senyawa yang dapat menyebabkan

terjadinya pemutaran cahaya terpolarisasiitu dikatakan mempunyai aktivitas aptik

(Poedjiadi, 1994 : 16).

Rotasi spesifik suatu senyawapada suhu 20 oC dapat diperoleh dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

∝D20= ∝l×c

Dalam rumus tersebut

[∝]D 20 : rotasi spesifik menggunakan cahaya D natrium pada suhu 20


o
C.

∝ : sudut rotasi yang diamati pada polarimeter

L : panjang sel dalam dm

C : konsentrasi larutan dalam gram/mL

Apabila rotasi spesifik telah diketahui dari tabil yang telah ada, maka dengan

rumus di atas dapat dihitung konsentrasi larutan. Analisis kuantitatif ini dilakukan

dengan menggunakan alat yang disebut polarimeter (Poedjiadi,1994 : 16-17).

22
Polarimeter adalah alat yang didesain untuk mempolarisasikan cahaya dan

kemudian mengatur sudut rotasi bidang polarisasi cahaya oleh suatu senyawa

aktif optis yang prinsip kerjanya didasarkan pada pemutaran bidang polarisasi

(Anonim, 2010).

Menurut Anonim (2010), besarnya perputaran bidang polarisasi tergantung pada :

1. Struktur molekul

2. Panjang gelombang

3. Temperatur

4. Konsentrasi

5. Panjang pipa polarimeter

6. Banyaknya molekul pada jalan cahaya dan pelarut

Di industri gula di Indonesia, polarimeter digunakan ada yang manual dan ada

yang digital. Yang manual menggunakan pengukuran sudut putar international

suugar scale (ṡ), sedangkan yang digital umumnya sudah menunjukkan ṡ atau ẑ

(Anonim,2010).

Sukrosa (gula ) dapat terhidrolisis karena pengaruh asam atau enzim invertase,

membentuk glukosa dan fruktosa. Pada hidrolisis sukrosa terjadi pemmbalikan

sedut (inversi) dari pemutaran kanan menjadi pemutaran kiri. Sukrosa adalah

pemutaran kanan (putaran jenis +66,53), glukosa juga pemutaran kanan putaran

jenis +52,7), tetapi fruktosa adalah pemutaran kiri (putaran jenis -92,4), daya

pemutaran kiri fruktosa ternyata lebih besar dari daya pemutaran kanan glukosa.

23
Sukrosa glukosa + Fruktosa

+66,53 +52,7 -92,4

(Sumarno, 1994 : 80)

Polarimeter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur besarnya

putaran optik yang dihasilkan oleh suatu zat yang bersifat optis aktif yang

terdapat dalam larutan. Jadi polarimeter ini merupakan alat yang didesain khusus

untuk mempolarisasi cahaya oleh suatu senyawa optis aktif. Senyawa optis aktif

adalah senyawa yang dpat memutar bidang polarisasi, sedangkan yang dimaksud

dengan polarisasi adalah pembatasan arah getaran (vibrasi) dalam sinar atau

radiasi elektromagnetik yang lain.

Untuk mengetahui besarnya polarisasi cahaya oleh suatu senyawa optis aktif,

maka beesarnya perputaran itu bergantung pada beberapa faktor yakni : struktur

molekul, temperatur, panjang gelombang, banyaknya molekul pada jalan cahaya,

jenis zat, ketebalan, konsentrasi dan juga pelarut. Polarisasi bidang dilakukan

dengan melewatkan cahaya biasa menembus sepasang kristal kalsit atau

menembus suatu lensa polarisasi. Jika cahaya terpolarisasi-bidang dilewatkan

suatu larutan yang mengandung suatu enantiomer tunggal maka bidang polarisasi

itu diputar kekanan atau kekiri. Perputaran cahaya terpolarisasi-bidang ini disebut

rotasi optis. Suatu senyawa yang memutar bidang polarisasi suatu senyawa

24
terpolarisasi-bidang dikatakan bersifat aktif optis. Karena inilah maka enantimer-

enantiomer kadang-kadang disebut isomer optis.

Prinsip kerja alat polarimeter adalah sebagai berikut, sinar yang datang dari

sumber cahaya (misalnya lampu natrium) akan dilewatkan melalui prisma

terpolarisasi (polarizer), kemudian diteruskan ke sel yang berisi larutan. Dan

akhirnya menuju prisma terpolarisasi kedua (analizer). Polarizer tidak dapat

diputar-putar sedangkan analizer dapat diatur atau di putar sesuai keinginan. Bila

polarizer dan analizer saling tegak lurus (bidang polarisasinya juga tega lurus),

maka sinar tidak ada yang ditransmisikan melalui medium diantara prisma

polarisasi. Peristiwa ini disebut tidak optis aktif. Jika zat yang bersifat optis aktif

ditempatkan pada sel dan ditempatkan diantara prisma terpolarisasi maka sinar

akan ditransmisikan. Putaran optik adalah sudut yang dilalui analizer ketika

diputar dari posisi silang ke posisi baru yang intensitasnya semakin berkurang

hingga nol.

Untuk menentukan posisi yang tepat sulit dilakukan, karena itu digunakan apa

yang disebut “setengah bayangan” (bayangan redup). Untuk mancapai kondisi ini,

polarizer diatur sedemikian rupa, sehingga setengah bidang polarisasi membentuk

sudut sekecil mungkin dengan setengah bidang polarisasi lainnya. Akibatnya

memberikan pemadaman pada kedua sisi lain, sedangkan ditengah terang. Bila

analyzer diputar terus setengah dari medan menjadi lebih terang dan yang lainnya

redup. Posisi putaran diantara terjadinya pemadaman dan terang tersebut, adalah

posisi yang tepat dimana pada saat itu intensitas kedua medan sama. Jika zat yang

25
bersifat optis aktif ditempatkan diantara polarizer dan analizer maka bidang

polarisasi akan berputar sehingga posisi menjadi berubah. Untuk mengembalikan

ke posisi semula, analizer dapat diputar sebesar sudut putaran dari sampel.

Sudut putar jenis ialah besarnya perputaran oleh 1,00 gram zat dalam 1,00 mL

larutan yang barada dalam tabung dengan panjang jalan cahaya 1,00 dm, pada

temperatur dan panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang lazim

digunakan ialah 589,3 nm, dimana 1 nm = 10-9m. Sudut putar jenis untuk suatu

senyawa (misalnya pada 25o C) Macam macam polarisasi antara lain, polarisasi

dengan absorpsi selektif, polarisasi akibat pemantulan, dan polarisasi akibat

pembiasan ganda.

1. Polarisasi dengan absorpsi selektif, dengan menggunakan bahan yang akan

melewatkan (meneruskan) gelombang yang vektor medan listriknya sejajar

dengan arah tertentu dan menyerap hampir semua arah polarisasi yang lain.

2. Polarisasi akibat pemantulan, yaitu jika berkas cahaya tak terpolarisasi

dipantulkan oleh suatu permukaan, berkas cahya terpanyul dapat berupa

cahaya tak terpolarisasi, terpolarisasi sebagian, atau bahkan terpolarisasi

sempurna.

3. Polarisasi akibat pembiasan ganda, yaitu dimana cahaya yang melintasi

medium isotropik (misalnya air). Mempunyai kecepatan rambat sama

26
kesegala arah. Sifat bahan isotropik yang demikian dinyatakan oleh indeks

biasnya yang berharga tunggal untuk panjang gelombang tertentu.

Pada kristal – kristal tertentu misalnya kalsit dan kuartz, kecepatan cahaya

didalamnya tidak sama kesegala arah. Bahan yang demikian disebut bahan

anisotropik ( tidak isotropik). Sifat anisotropik ini dinyatakan dengan indeks bias

ganda untuk panjang gelombang tertentu. Sehingga bahan anisotropik juga

disebut bahan pembias ganda.

Dalam praktikum tentang polarimeter ini sering digunakan zat glukosa

sebagai sampelnya. Dimana senyawa ini mempunyai struktur cincin dan

mempunyai bentuk dengan sifat berbeda. Jika D-glukosa dikristalkan dari air

maka dihasilkan bentuk yang disebut dengan α-D-glukosa yang rotasi spesifiknya

adalah [α]= +112,2o. Jika D-glukosa dikristalkan dari piridin maka dihasilkan β-

D-glukosa dengan [α]= +18,7o. Jika α-D-glukosa dilarutkan dalam air maka rotasi

spesifiknya secara perlahan-lahan berubah sesuai dengan waktu dan mencapai

nilai stabil pada 52,7o. Jika β-D-glukosa diperlakukan sama, maka rotasinya akan

sama. Perubahan ini disebut mutarotasi karena pembentukan α-D-glukosa atau β-

D-glukosa pada suatu campuran berkesetimbangan yang mengandung kira-kira

sepertiga α-D-glukosa dan dua per tiga β-D-glukosa dan sejumlah kecil senyawa

berantai lurus pada suhu 25oC. Jadi isomer α dan β dari D-glukosa bersifat dapat

saling bertukar di dalam larutan.

27
BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN

1. Alat

a. Bekker glass 100ml

b. Gelas ukur 100ml

c. Pipet tetes

d. Batang pengaduk

e. Polarimeter

2. Bahan

a. Aquadest

28
b. Larutan gula

B. CARA KERJA

1. Sel polarimeter dibilas dengan aquades beberapa kali dengan menggunakan

aquadest dan diusahakan tidak boleh ada gelembung udara dalam sel.Sel

diletakkan dalam polarimeter ,kemudian pembacaan diatur hingga 0 derajat

celcius melalui lensa mata bagian kanan. Kemudian “setengah bagian”

(bayangan redup)ditetapkan sebagai bayangan kerja, dengan mengatur pusat

lensa mata maaju mundur . Pembacaan ini dicatat sebagai titik nol.Harga titik

nol ini harus diperhitungkan terhadap setiap pengukuran selanjutnya .

2. Sel dikosongkan dan dibilas beberapa kali dengan larutan sampel . Dengan

menggunakan rumus

29
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

Hanya melakukan pengamatan sederhana

30
BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan rotasi optic dengan prinsip

polarisasi. Polarisasi merupakan proses mengurung vibrasi vektor yang menyusun

gelombang transversal menjadi satu arah. Dalam radiasi tak terkutubkan, vektor

berosilasi ke semua arah tegak lurus pada arah perambatan. Polarisasi cahaya

merupakan vektor gelombang cahaya ke satu arah. Dalam cahaya tak terpolarisasi,

medan listrik bervibrasi ke semua arah, tegak lurus pada arah perambatan. Sesudah

dipantulkan atau ditransmisikan melalui zat tertentu, maka medan listrik terkurung ke

satu arah dan radiasi dikatakan sebagai cahay terkutub –bidang. Bidang cahaya yang

terkutub-bidang dapat diputar bila melewati zat tertentu (dantith, 1990 : 342-343).

31
Pada praktikum ini, tidak dilakukan pengamatan secara komprehensif

dikarenakan kualitas fasilitas yang tidak menunjang sehingga pengamatan hanya

dilakukan secara sederhana. Secara garis besar, percobaan ini dilakukan untuk

memahami prinsip kerja polarimeter, dan mengukur sudut putar jenis larutan gula

sebagai fungsi konsentrasi.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Percobaan kali ini yaitu dengan topic Rotasi Optik dan bertujuan untuk

memahami dan mempelajari prinsip polarisasi dan mengukur sudut putar jenis

larutan gula. Alat yang digunakan dalam praktikkum ini, yaitu polarimeter.

Polarimeter terdiri atas polarisator, yaitu Polaroid yang dapat mempolarisasikan

cahaya menuju prisma Nicol pertama, dan analisator, yaitu Polaroid yang dapat

mempolarisasikan cahaya dari prisma Nicol kedua.


Peristiwa polarisasi merupakan suatu peristiwa penyerahan rah getar suatu

gelombang menjadi sama dengan arah getar Polaroid dengan cara menyerap

32
gelombang yang memiliki arah getar berbeda dan meneruskan gelombang dengan

arah getar yang sama dengan Polaroid.

B. SARAN
Percobaan ini harus mendapatkan bimbingan lebih lanjut dan juga perhatian

yang lebih khusus agar praktikkum ini dapat dilaksanakan dan mahasiswa dapat

memahami tentang praktikum khususnya dalam hal ini, yaitu tentang rotasi optic.

DAFTAR PUSTAKA

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia.

33
34
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengetahuan tentang massa jenis dalam sebuah praktikum sangat penting

mengingat bahwa pengetahuan tentang massa jenis akan selalu kita butuhkan dan

selalu kita gunakan dalam praktikum lanjutan atau dalam pengaplikasiannya

dalam penelitian.
Pengidentifikasian suatu zat kimia dapat diketahui berdasarkan sifat-sifat

yang khas dari zat tersebut. Sifat-sifat tersebut dapat dibagi dalam

beberapa bagian yang luas. Salah satunya ialah sifat intensif dan sifat ekstensif.

Sifat tekstensif adalah sifat yang tergantung dari ukuran sampel yang sedang

diselidiki. Sedangkan sifat intensif adalah sifat yang tidak tergantung dari ukuran

sampel. Kerapatan atau densitas merupakan salah satu dari sifat intensif. Dengan

kata lain, kerapatan suatu zat tidak tergantung dari ukuran sampel.

35
Untuk menentukan massa benda dapat dilakukan dengan menimbang benda

tersebut dengan timbangan yang sesuai, seperti neraca analitik atau yang lainnya.
Berat jenis didefinisikan sebagai perbandingan kerapatan dari suatu zat

terhadap kerapatan air, harga kedua zat itu ditentukan pada temperatur yang sama,

jika tidak dengan cara lain yang khusus. Istilah berat jenis, dilihat dari definisinya,

sangat lemah; akan lebih cocok apabila dikatakan sebagai kerapatan relative
Cara penentuan bobot jenis ini sangat penting diketahui oleh seorang calon

farmasis, karena dengan mengetahui bobot jenis kita dapat mengetahui kemurnian

dari suatu sediaan khususnya yang berbentuk larutan.


Air digunakan untuk standar untuk zat cair dan padat, hidrogen atau udara

untuk gas. Dalam farmasi, perhitungan berat jenis terutama menyangkut cairan,

zat padat dan air merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai standar

karena mudah didapat dan mudah dimurnikan.


Disamping itu dengan mengetahui bobot jenis suatu zat, maka akan

mempermudah dalam memformulasi obat. Karena dengan mengetahui bobot

jenisnya maka kita dapat menentukan apakah suatu zat dapat bercampur atau

tidak dengan zat lainnya.


B. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan bobot per ml, bobot jenis dan rapat jenis dari air suling, alcohol

dan gliserin, dengan menggunakan piknometer dan hydrometer.


C. PRINSIP PERCOBAAN
Penentuan bobot jenis dan rapat jenis (air suling, alkohol dan gliserin) dengan

menggunakan piknometer dan hydrometer.

BAB II

36
TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI
Bobot per mL suatu zat adalah perbandingan antara bobot zat dibanding

dengan volume zat pasa suhu trtentu (biasanya 20 ℃ ). Bobot jenis adalah

perbandingan bobot zat terhadap air volume sama yang ditimbang di udara pada

suhu yang sama.


Kecuali dinyatakan lain alam masing-masing monografi, penetapan bobot

jenis digunakan hanya untuk cairan dan kecuali dinyatakan lain, didasarkan pada

perbandingan bobot zat di udara pada suhu 25 ℃ terhadap bobot air dengan

volume dan suhu yang sama. Bila suhu ditetapkan pada monografi, bobotjenis

adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu yang ditetapkan terhadap bobot

air dengan volume dan suhu yang sama. Bila pada suhu 25 ℃ zat berbentuk

padat, tetapkan bobot jenis pada suhu yang telah tertera pada masing-masing

monografi dan mengacu pada air yang tetap pada suhu 25 ℃ .


Dalam farmasi, perhitungan bobot jenis terutama menyangkut cairan, zat

padat dan air merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai standar

karena mudah didapat dan mudah dimurnikan.


Bobot jenis adalah bilangan murni atau tanpa dimensi, yang dapat diubah

menjadi kerapatan dengan menggunakan rumus yang cocok. Bobot jenis untuk

penggunaan praktis lebih sering didefinisikan sebagai perbandingan massa dari

suatu zat terhadap massa sejumlah volume air pada suhu 4 ℃ atau temperature

lain ynag telah ditentukan.

37
Pengujian bobot jenis dilakukan untuk menentukan 3 macam bobot jenis yaitu

:
1. Bobot jenis sejati
Massa partikel dibagi volume partikel tidak termasuk rongga yang

terbuka dan tertutup


2. Bobot jenis nyata
Massa partikel dibagi volume partikel tidak termasuk pori/lubang

terbuka, tetapi termasuk pori yang tertutup.


3. Bobot jenis efektif
Massa partikel dibagi volume partikel termasuk pori terbuka dan

tertutup.
1. Penentuan bobot per mL dengan piknometer
Penentuan bobot jenis suatu zat cair (air suling, alcohol dan gliserin )

dengan metode piknometer, dimana ditimbang lebih dahulu berat piknometer

berisi zat cair yang diuji. Selisih penimbangan adalah massa zat cair tersebut

pada pengukuran suhu (20 ℃ ) dan dalam volume konstan, tertera pada

piknometer. Maka bobot jenis zat cair tersebut adalah massanya sendiri dibagi

dengan volume piknometer dengan satuan g/mL.


2. Penentuan bobot jenis dengan piknometer
Penentuan bobot jenis suatu zat cair (air suling , alcohol dan gliserin )

dengan metode piknometer dimana ditimbang lebih dahulu berat piknometer

kosong dan piknometer berisi zat cair yang ingin diuji. Selisih dari

penimbangan adalah massa zat cair tersebut pada pengukuran suhu kamar (25

℃ ) dan dalam volume konstan tertera pada piknometer. Dan ditimbang

pikno yang berisi aquadest . maka bobot jenis zat cair tersebut perbandingan

bobot zat cair tersebut terhadap air volume sama yang ditimbang di udara

pada suhu yang sama.

38
3. Penentuan rapat jenis dan bobot jenis dengan metode hydrometer
Penentuan bobot jenis ( air suling , gliserin )dengan memasukkan zat cair

ke dalam gelas ukur 500 mL , lalu dimasukkan hydrometer dimana angka

yang terbaca pada permukaan zat cair menunjukkan bobot jenis zat cair

tersebut.

Metode penentuan untuk cairan

Metode piknometer. Prinsip metode ini didasarkan atas penentuan

massa cairan dan penentuan ruang , yang ditempati cairan ini. Untuk itu

dibutuhkan wadah menimbang yang dinamakan piknometer. Ketelitian

metode piknometer ini akan bertambah hingga mencapai keoptimuman

tertentu dengan bertambahnya volume piknometer. Keoptimuman ini terletak

pada sekitar isi ruang 30 mL.

Metode Neraca Hidrostatik. Metode ini berdasarkan hokum

Archimedes yaitu suatu benda yang dicelupkan ke dalam cairan akan

kehilangan massa sebesar berat volume cairan yang terdesak .

Metode Neraca Mohr-Westphal. Benda dari kaca dibenamkan

tergantung pada balok timbangan yang ditoreh menjadi 10 bagian sama dan

disetimbangkan dengan botol lawan. Keuntungan penentuan kerapatan dengan

Neraca Mohr-Westphal adalah penggunaan waktu yang singkat dan mudah

dilaksanakan.

39
Metode Areometer. Penetuan kerapatan dengan aerometer berskala

(timbangan benam, sumbu ) didasarkan pada pembacaan seberapa dalamnya

tabung gelas tercelup yang sepihak diberati dan pada kedua ujungnya ditutup

dengan pelelehan.

B. MONOGRAFI BAHAN
1. Air Suling (anonim.1979.FI III Hal. 96)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Air suling
RM/BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai

rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai sampel

2. Alkohol (anonim.1979.FI III Hal.65)


Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Alkohol/ etanol
RM/BM : C2H6O/46,00
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah

bergerak, bau khas, rasa panas, mudah terbakar dengan

memberikan nyala biru yang tidak berasap.


Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam

eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya,

ditempat sejuk jauh dari nyala api.


Kegunaan : Sebagai sampel

3. Gliserin (anonim.1979.FI III Hal.271)


Nama resmi : Glycerolum
Nama lain : Gliserol / Gliserin
BM/RM : 92,10 / C3H8O3

40
Pemerian : cairan seperti sirop;jernih,tidak berwarna; tidak berbau; manis

diikuti rasa hangat


Kelarutan : dapat campur dengan air, dan dengan etanol (95%)P;Praktis

tidak larut dalam kloroformP, dalam eter P dan dalam minyak

lemak.
Indeks bias : Antara 1,471 dan 1,474
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
KegunaaN : Zat tambahan

Bobot jenis : 1,255 ml sampai 1,260 ml

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
 Piknometer
 Hydrometer

41
 Thermometer
 Gelas ukur
 Beaker glas
2. Bahan
 Aquadest
 Alkohol 96% /aseton
 Sampel : alcohol, gliserin,

B. CARA KERJA
1. Menentukan Bobot per mL menggunakan piknomete.
a. Bersihkan piknometer hingga tidak meninggalkan bekas tetesan air

dengan cara setelah dibersihkan dengan aquadest, bila dengan pelarut

aseton atau alcohol pekat.


b. Piknometer panaskan pada suhu 100 ℃ selam 1 jam, kemudian

masukkan ke dalam desikator sampai dingin. Timbang dalam neraca

analitik ( bobot a gram )


c. Isikan air suling yang akan di ukur ke dalam piknometer hingga penuh.
d. Seluruh piknometer mencapai 20 ℃ menggunakan thermometer.
e. Setelah suhu mencapai tepat 20 ℃ segera piknometer di tutup dan lap

dengan kain bersih . biarkan pada suhu kamar dan timbang secar teliti

menggunalkan neraca analitik ( bobot b gram )


f. Hitunh bobot per mL = ( b-a) gram / volume mL
2. Menentukan Bobot Jenis menggunakan piknometer.
a. Bersihkan piknometer hingga tidak meninggalkan bekas tetesan air

dengan cara setelah dibersihkan dengan aquadest, bilas dengan pelarut

aseton atau alcohol pekat (90%).


b. Piknometer panaskan pada suhu 100 ℃ selam 1 jam, kemudian

masukkan ke dalam desikator sampai dingin. Timbang dalam neraca

analitik ( bobot a gram ). Penimbangan dilakukan 3 kali


c. Isikan air suling yang akan di ukur ke dalam piknometer hingga penuh.
d. Seluruh piknometer mencapai 20 ℃ menggunakan thermometer.

42
e. Setelah suhu mencapai tepat 20 ℃ segera piknometer di tutup dan lap

dengan kain bersih . biarkan pada suhu kamar dan timbang secar teliti

menggunalkan neraca analitik ( bobot b gram ). Penimbangan dilakukan 3

kali.
f. Aquadst dikeluarkan , bilas dengan aseton / alcohol (90%), keringkan.
g. Isikan zat cair yang akan di ukur ke dalam piknometer hingga penuh.
h. Seluruh piknometer mencapai 20 ℃ menggunakan thermometer.
i. Setelah suhu mencapai tepat 20 ℃ segera piknometer di tutup dan lap

dengan kain bersih . biarkan pada suhu kamar dan timbang secar teliti

menggunalkan neraca analitik ( bobot c gram ).

Berat pikno yang berisi zat cair – berat pikno kosong


BJ =
Berat pikno yang berisiaquadest −berat pikno kosong

3. Mengukur Bobot jenis dengan hydrometer .


Ambil gelas ukur volume 500 mL, selanjutnya masukkan cairan yang akan

diukur. Hydrometer yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dan

masukkan ke dalam gelas ukur yang telah berisi cairan yang akan diperiksa.

Catat angka yang bertanda tepat dipermukaan cairan. Angka tersebut

menunjukkan bobot jenisnya

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

43
A. DATA PENGAMATAN
1. Pengukuran bobot per mL menggunakan piknometer

No Sampel Berat pikno Berat pikno + Volume Bobot per mL

kosong (a) sampel pikno


1. Aquadest 1. 30,93 1. 81,39 51 1. 50,46
2. 27,00 2. 51,65 25 2. 24,65
2. Alcohol 1.
2.
3. Gliserin 1. 36,90 1. 93,75 51 1. 62,85
2. 27,01 2. 51,31 25 2. 24,30

2. Pengukuran bobot jenis menggunakan piknometer

No Sampel Berat pikno Berat pikno + Berat sampel Rata-rata

kosong (a) sampel (b) (b-a) berat

sampel
1. Aquadest 1.
2.
2. Alcohol 1.
2.
3. Gliserin 1.
2.

3. Pengukuran bobot jenis dengan hydrometer

No Sampel Bobot jenis Rata-rata bobot jenis

sampel
1. Aquadest 1. 1 1
2.
2. Alcohol 1. 0,88 0,88
2.
3. Gliserin I. 1,15 1,15
II.

44
BAB V

PEMBAHASAN

Dalam melakukan praktikum ini dilakukan penentuan bobot jenis dan bobot per

mL dari beberapa sampel, kemudian dihitung dengan rumus yang telah ditentukan.

Penentuan bobot jenis dan bobot per mL digunakan sebagai salah satu metode analisis

yang berperan dalam menentukan senyawa yang digunakan pula untuk uji identitas

dan kemurnian dari senyawa.

Dalam percobaan bobot jenis dan bobot per mL dilakukan dua percobaan yakni

percobaan menentukan bobot jenis dan bobot per mL.

Berat jenis adalah bilangan murni tanpa dimensi, yang dapat diubah menjadi

kerapatan dengan menggunakan rumus yang cocok. Berat jenis didefinisikan sebagai

perbandingan kerapatan dari suatu zat terhadap kerapatan air, harga kedua zat itu

45
ditentukan pada temperatur yang sama, jika tidak dengan cara lain yang khusus.

Istilah berat jenis, dilihat dari definisinya, sangat lemah, akan lebih cocok apabila

dikatakan sebagai kerapatan relatif.

Berat jenis dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai tipe piknometer,

neraca Mohr-Westphal, hidrometer dan alat-alat lain. Alat sesuai dengan prinsip

Archimedes adalah piknometer. Piknometer dapat digunakan untuk mengukur bobot

jenis zat semifluida. Cara penggunaan piknometer sangat mudah. Piknometer diisi

dengan zat yang akan diukur beratnya dan ditutup dengan penutupnya. Penutupnya

ditekan ke bawah hingga sebagian cairan keluar melalui lubang piknometer. Volume

sisa dalam piknometer dikalibrasikan dengan berat, ditimbang, kemudian dihitung

perbedaannya.

Penerapan penentuan bobot jenis dan bobot per mL dalam bidang farmasi dengan

mengetahui bobot jenis kita dapat mengetahui kemurnian dari suatu sediaan

khususnya yang berbentuk larutan. Disamping itu dengan mengetahui bobot jenis

suatu zat, maka akan mempermudah dalam memformulasi obat karena dengan

mengetahui bobot jenisnya maka kita dapat menentukan apakah suatu zat dapat

bercampur atau tidak dengan zat lainnya.

46
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bobot jenis adalah rasio bobot zat baku yang volumenya sama pada suhu

yang sama dan dinyatakan dalam desimal. Bobot jenis menggambarkan

hubungan antara bobot suatu zat terhadap bobot suatu zat baku. Dalam farmasi,

Bobot jenis adalah faktor yang memungkinkan pengubahan jumlah zat dalam

formula farmasetik dari bobot menjadi volume dan sebaliknya. Bobot jenis juga

digunakan untuk mengubah pernyataan kekuatan dalam konsentrasi persen.


Bobot per mL sampel aquadest menggunakan piknometer yaitu 50,46 , 24,65
Bobot per mL sampel gliserin menggunakan piknometer yaitu 62,85 , 24,30.
Bobot jenis sampel aquadest menggunakan hydrometer yaitu 1
Bobot jenis sampel alcohol menggunakan hydrometer yaitu 0,88
Bobot jenis sampel gliserin menggunakan hydrometer yaitu 1,15

47
B. SARAN
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang

diperoleh sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; jakarta

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia.

Kasta, Yongki. 2009. Penentuan Bobot Jenis dan Bobot Per mL.

http://YonkiKastanyaluthana. Wordpress.com. (6 Februari 2013).

48
49
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Suatu keadaan dimana zat padat berubah menjadi cairan dibawah tekanan 1

atmosfer dapat diartikan sebagai titik lebur dari suatu zat. Selain itu, titik lebur

juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadi keseimbangan antara fase

padat dengan fase cair lainnya pada suatu zat.

Titik lebur suatu zat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, zat

pengotor, penempatan pada termometer dan lain-lain sebagainya. Oleh karena itu

dalam percobaan penentuan titik lebur kita harus melakukannya dengan teliti dan

hati-hati agar hasil yang diperoleh dapat semaksimal mungkin.

Dalam bidang kefarmasian, titik lebur digunakan sebagai penentuan kualitas

dari suatu zat ataupun kemurnian dari suatu zat yang terdapat pengotoran yang

dapat menyebabkan penurunan nilai titik lebur dari suatu zat ataupun baaahan

obat dari titik lebur yang sebenarnya.

50
Untuk sediaan-sediaan farmasi berupa bahan obat, pada umumnya berbentuk

senyaw-senyawa kimia. Senyawa kimia tersebut memiliki sifat kelarutan yang

berbeda-beda. Maka dengan memahami titik lebur kita dapat mengetahui kapan

terjadinya keseimbangan antara zat padat dan bentuk cair dari bahan tersebut.

B. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan titik lebur dari zat padat yaitu asam salisilat dengan

menggunakan paraffin cair sebagai medium penghantar panas.

C. PRINSIP PERCOBAAN
penentuan titik lebur Aspirin dengan menggunakan labu tile berdasarkan titik

leburnya dengan menggunakan termometer dan parafin cair sebagai media

penghantar panasnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

51
Besarnya titik lebur suatu zat padat dipengaruhi oleh bentuk dan sifat ikatan

atom-atom sehingga dapat juga digunakan sebagai jalan untuk mengetahui

kemurnian suatu zat. Apabila suatu zat padat tercampur oleh bahan pengotor,

maka tentu saja akan mempengaruhi besarnya titik lebur zat murni. Dalam bidang

farmasi, suatu senyawa obat murni dapat ditentukan kemurniannya salah satunya

dengan jalan penentuan titik leburnya. Selain ini penentuan titik lebur dari suatu

bahan obat juga digunakan dalam pembuatan sediaan obat (terutama untuk obat

yang diberikan melalui rektal), dan diperlukan pada penentuan cara penyimpanan

suatu sediaan obat agar tidak mudah rusak pada suhu kamar tertentu. Melihat

kegunaan dari penentuan titik lebur suatu zat padat ini, maka diadakan praktikum

ini dengan maksud agar mahasiswa memahami cara penentuan titik lebur suatu

senyawa obat. Dalam praktikum ini akan ditentukan titik lebur dari asetosal. Titik

didih normal adalah temperatur dimana tekanan uap menjadi sama dengan

tekanan luar yaitu 760 mmHg (system terbuk). (Kosman,2005)


Titik didih suatu cairan ialah suhu pada saat tekanan uap jenuh cairan itu sama

dengan tekanan (tekanan yang digenakan pada permukaan cairan). Apabila

tekanan uap sama dengan tekanan luar, maka gelembung uap yang terbentuk

dalam cairan dapat mendorong diri ke permukaan menuju fase gas. Oleh karena

itu, titik didih suatu cairan bergantung pada tekanan luar (Anonim,2005). Jarak

lebur zat adalah jarak antara suhu awal dan suhu akhir peleburan zat. Suhu awal

dicatat pada saat zat mulai menciut atau membentuk tetesan pada dinding pipa

kapiler, suhu akhir dicatat pada saat hilangnya fase padat. (Anonim,1979).

52
Suhu lebur zat adalah suhu pada saat zat tepat melebur seluruhnya yang

ditunjukakkan pada saat fase padat tepat hilang (Anonim,1979). Titik beku atau

titik leleh dari senyawa murni adalah temperature dimana fase padat dan fase cair

berada dalam keseimbangan pada tekanan atm. Keseimbangan disini berarti

kecendrungan zat padat berubah wujud menjadi cair sama dengan kecendrungan

terjadinya proses sebaliknya, karena cairan dan padatan keduanya mempunyai

kecendrungan melepaskan diri yang sama (Martin,1990). Sekarang jika zat

terlarut dilarutkan dalam cairan pada titik tripel (air bebas udara, dimana zat

padat, zat cair dan uap ada dalam keseimbangan, terletak pada tekanan 4,58

mmHg dan temperature 0,0098°C), kecendrungan melepaskan diri atau tekanan

uap pelarut cair mengalami penurunan di bawah tekanan pelarut murni.

Temperatur harus turun dengan maksud menata kembali kesetimbangan antara

cair dan padat. Karena kenyataan ini, titik beku larutan selalu lebih rendah

daripada pelarut murni. Dianggap pelarut membeku dalam keadaan murni

daripada sebagai larutan padat yang mengandung zat terlarut. Apabila komplikasi

semacam ini muncul, perhitungan khusus, tidak diterangkan disini, harus

dilakukan (Martin,1990).
B. MONOGRAFI BAHAN
1. Asam Salisilat (anonim.1979.FI III Hal.56)
Nama Resmi : Acidum Salicylicum
Nama Lain : Asam salisilat
RM / BM : C7H6O3 / 138, 12
Titik Lebur : 158,5o – 161o C
Pemerian : Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna

putih; hapir tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.

53
Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol

(95%) P; mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P ;

larut dalam larutan amonium asetat P, dinatrium

hidrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrap P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan : Sebagai sampel

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Alat pengukur suhu lebur
b. Pipa kapiler
2. Bahan
a. Asam Salisilat
B. CARA KERJA
1. Perlakuan yang digunakan disini adalah penentuan titik lebur secara mikro.

54
2. Zat padat yang diperiksa harus kering dan digerus jadi serbuk dulu, kemudian

dimasukkan ke dalam pipa kapiler yang tertutup sebelah ujungnya, berdinding

setebal 0,10 - 0,15 mm. panjang kapiler secukupnya agar ujung yang terbuka

berada di atas permukaan cairan dalam alat tile dengan diameter sebelah

dalam 0,9 – 1,1 mm (untuk zat yang melebur dibawah 100°C) atau 0,8 – 1,2

mm (untuk zat yang melebur diatas 100°C) diisi dengan serbuk setinggi 2 – 4

mm.
3. Lekatkan pipa kapiler tersebut pada alat.
4. Panaskan dengan mengatur suhu pada alat sampai kurang lebih 15°C iawah

titik lebur diduga, kemudian dipanasi pelan-pelan dan teratur dengan

kecepatan kurang lebih 2°C per menit.


5. Bagian-bagian yang melekat pada dinding kapiler meleleh terlebih dahulu,

temperature dimana bahan di tengah pipa kapiler itu melebur semuanya

dicatat sebagai temperature titik leburnya. Jadi pembacaan thermometer sekali

saja, yaitu pada saat melebur.


6. Ulangi pekerjaan tersebut sekali lagi. Pakailah selalu pipa kapiler yang diisi

baru untuk setiap kali praktikum.

55
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

Nama Bahan Suhu Lebur Suhu Lebur Teoritis


Asam salisilat 170°C - 190°C 92°C - 96°C

B. PERHITUNGAN
% Rendemen = suhu lebur/suhu lebur teoritis X 100%
1. Suhu awal = 170°/92°C X 100% = 184,78 %
2. Suhu akhir = 190°C/96°C X 100% = 197,91%

BAB V

56
PEMBAHASAN

Menurut Farmakope Indonesia III jarak lebur zat adalah jarak antara suhu awal

dan suhu akhir peleburan zat. Suhu awal dicatat pada saat zat mulai menciut atau

membentuk tetesan pada dinding pipa kapiler, suhu akhir dicatat pada saat hilangnya

fase padat sedangakan suhu lebur zat adalah suhu pada saat zat tepat melebur

seluruhnya yang ditunjukkan pada saat fase padat tepat hilang.

Tinggi rendahnya suhu lebur pada suatu zat padat dipengaruhi oleh bentuk zat

padat tersebut dan kekuatan/jenis ikatan yang ada pada padatan tersebut. Pada suatu

padatan dengan bentuk kristal dan ikatan kovalen maka akan memiliki suhu lebur

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan padatan lain dengan ikatan van der Waals,

walaupun terdiri dari unsur yang sama.

Suhu lebur suatu padatan murni adalah spesifik, hal ini berarti dapat digunakan

untuk penentuan kemurnian suatu zat padat. Apabila terdapat zat pengotor yang larut

maka akan menyebabkan turunnya suhu lebur dari padatan murni tersebut, sedangkan

apabila terdapat zat pengotor yang tidak larut maka akan menyebabkan suhu lebur

semu atau suhu leburnya tidak tajam/tegas.

Sebelum dilakukan penotolan, terlebih dahulu asam salisilat digerus, sebab

penurunan titik lebur tidak hanya disebabkan oleh zat pengotor saja, tetapi juga

disebabkan oleh besar dan banyaknya kristal. Setelah digerus maka luas permukaan

akan bertambah dan lebih mudah menyerap panas.

57
Dalam percobaan ini akan diukur suhu lebur asam salisilat secara mikro dengan

menggunakan labu tile yang diisi dengan paraffin cair sebagai medium penghantar

panas.

Alasan digunakannya paraffin cair sebagai medium penghantar panas adalah

karena titik didihnya yang tinggi sehingga tidak akan mendidih/menguap sampai

tercapai suhu lebur dari sampel (asam salisilat). Apabila medium penghantar panas

mendidih maka akan terjadi floating yang akan mengganggu dan bisa saja medium

penghantar akan menguap habis sebelum tercapai suhu lebur dari salo dan timol.

Cairan lain yang dapat digunakan sebagai medium penghantar panas dalam

praktikum ini adalah asam sulfat pekat. Akan tetapi tidak digunakan karena sangat

berbahaya, sebab sifat dari asam sulfat pekat yang mudah menghasilkan panas dan

sifatnya sebagai asam kuat yang dapat merusak jaringan bila terkena tubuh.

Pada pemanasan dilakukan dibagian segitiga dari labu tile dimaksudkan agar

lebih mudah terjadi aliran panas sehingga suhu dalam labu tile lebih merata. Pada saat

peletakan termometer diberi split agar tekanan di sebelah dalam tetap sama dengan di

sebelah luar sehingga labu tile tidak meledak.

Jarak lebur dari zat yang didapatkan pada pengukuran di laboratorium harus

berada dikedua suhu jarak lebur yang terdapat dalam monografi, atau tidak boleh

berbeda lebih dari 2o dari suhu lebur yang tertera.

Dari hasil pengukuran didapatkan suhu lebur dari asam salisilat adalah 170oC -

190°C. Dan dengan rendamen adalah 184,78% - 197,91%. Cukup jauh berbeda

dengan yang ada di teori yang mana titik lebur asam salisilat yaitu 141 oC.

58
Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor kesalahan diantaranya adalah

ketidakmurnian bahan-bahan yang digunakan, selain kesalahan pada penimbangan

dan pengukuran juga dapat mempengaruhi jumlah kristal asam salisilat yang

didapatkan.

BAB VI

PENUTUP

59
A. KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan, bahwa :

Suhu awal = 170°/92°C X 100% = 184,78 %


Suhu akhir = 190°C/96°C X 100% = 197,91%
Data tersebut tidak memenuhi criteria titik lebur yang terdapat pada

farmakope Indonesia .

B. SARAN

1. Sebaiknya sebelum melakukan percobaan periksa bahan terlebih dahulu, yang

mana bahan yang diuji harus sama banyak serta tidak mengandung kotoran

yang melekat guna mendapatkan hasil ang akurat.

2. Lebih teliti dan hati-hati lagi untuk percobaan yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.1979.Farmakope Indonesia Edisi III.Depertemen Kesehatan

Republik Indonesia.Jakarta

Martin, Alfred dkk.1990.Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu

Farmasetik.Universitas Indonesia Press.Jakarta.

60
61
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rheologi meliputi pencampuran dan aliran dari bahan, pemasukan kedalam

wadah, pemudahan sebelum diunakan, apakah dicapai penuangan dari botol,

62
pengeluaran dari tube, atau pelawatan dari jarum suntik. Rheologi dari produk

tertentu yang dapat berkisar dalam konsentrasi dari bentuk cair kesemiloid sampai

kepadatan, dapat mempengaruhi penerimaan bagi sipasien, stabilitas fisika, dan

bahkan availabilitas diologis.


Sifat-sifat rheologi dari sistem farmaseutika dapat mempengaruhi pemilihan

alat yang akan digunakan untuk memproses produk tersebut dalam pabrinya.

Lebih-lebih lagi tidak adanya perhatian terhadap pemilihan alat ini akan berakibat

diperolehnya hasil yang tidak diinginkan.Paling tidak dalam karakteristik

alirannya. Aspek ini dan banyak lagi aspek-aspek rheologi yang diterapkan

dibidang farmasi.
Penggolongan bahan menurut tipe aliran dan deformasi adalah sebagai berikut

: sistem newtom dan sistem non Newton. Pemilihan bergantung pada sifat-sifat

alirannya apakah sesuai dengan hukum aliran dari newton atau tidak. Jika

karakteristik fisika masing-masing ini dirancang dan dipelajari secara objektif

menurut metode analisis dari rheologi, dapat diperoleh informasi yang berharga

untuk digunakan dalam mempermulasi produk-produk farmasi yang lebih baik.

B. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan cara penentuan jenis aliran dari sampel (Ultramilk, Fanta, dan

Suspensi Antasida) dengan menggunakan Viskometer Brookfield.

C. PRINSIP PERCOBAAN
Penentuan kecepatan aliran suatu zat cair (Ultramilk, Fanta, dan Suspensi

Antasida) dengan menggunakan Viskometer Brookfield dan factor-faktor yang

mempengaruhi kecepatan aliran suatu zat cair.

63
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI
Rheologi berasal dari bahasa yunani mengalir (Rheo) dan limu (Logos).

Sehingga rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aliran zat cair dan

deformasi. Ahli fisiologi menggunakan ilmu ini untuk memprediksi sirkulasi

darah. Para dokter menggunakan untuk menentukan aliran larutan injeksi,

sedangkan untuk ahli farmasi menggunakannya untuk menentukan aliran emulsi,

suspense dan salep. (Rahmat kosman,2006)

Penggolongan bahan menurut tipe aliran dan deformasi adalah sebagai berikut

:
1. System Newtonian
2. System non-newtonian
Pemilihan bergantung pada sifat-sifat alirannya apakah sesuai dengan

hokum aliran dari newton atau tidak jika karakteristik fisika masing-masing ini

dirancang dan dipelajari secara objektif menurut metode analisis dari rheologi,

64
dapat diperoleh informasi yang berharga untuk digunakan dalam memformulasi

produk-produk farmasi yang lebih baik.


Berdasarkan grafik sifat aliran cairan newton terbagi atas dua kelompok

yaitu : (Anonim,2007)
1. Cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi oleh waktu :
a. Aliran plastis
b. Aliran pseudoplastis
c. Aliran dilatan
2. Cairan yang sifat alirannya dipengaruhi oleh waktu :
a. Aliran tiksotropik
b. Aliran rheopeksi
c. Aliran viskoelastis

Ahli farmasi kemungkinan besar lebih sering menghadapi cairan Non-

newtonian dibanding dengan cairan biasa. Oleh karena itu mereka harus

mempengaruhi metode yang sesuai untuk mempelajari zat-zat kompleks ini.

Non-newtonian bodies adalah zat-zat yang tidak mengikuti persamaan aliran

newton : disperse heterogen cairan dan padatan seperti larutan koloid, emulsi,

suspense cair, salep, dan produk-produk serupa masuk kelas ini. Jika bahan-

bahan non-newton dianalisis dalam suatu Viskometer putar dan hasilnya diplot

diperoleh berbagai kurva konsistensi yang menggambarkan adanya tiga kelas

aliran yakni plastis, pseudoplastis, dan dilatan (AlfredMartin,1993).

Kurva aliran plastis tidak melalui titik (0,0) tapi memotong sumbu shearing

stress (atau akan memotong jika bagian lurus dari kurva tersebut

diekstrapolasikan ke sumbu) pada suatu titik tertentu yang dikenal dengan

sebagai harga yield. Cairan plastis tidak akan mengalir sampai shearing stress

65
dicapai sebesar yield value tersebut. Pada harga stress di bawah harga yield

value, zat bertindak sebagi bahan elastis (meregang lalu kembali ke keadaan

semula, tidak mengalir).

Aliran pseudoplastis ditunjukkan oleh beberapa bahan farmasi yaitu gom

alam dan sisntesis seperti dispersi cair dari tragacanth, natrium alginat, metil

selulosa, dan natrium karboksimetil selulosa. Aliran pseudoplastis diperlihatkan

oleh polimer-polimer dalam larutan, hal ini berkebalikan dengan sistem plastis,

yang tersusun dari partikel-partikel tersuspensi dalam emulsi. Kurva untuk

aliran pseudoplastis dimulai dari (0,0) , tidak ada yield value, dan bukan suatu

harga tunggal.

66
Aliran dilatan terjadi pada suspensi yang memiliki presentase zat padat

terdispersi dengan konsentrasi tinggi. Terjadi peningkatan daya hambat untuk

mengalir (viskositas) dengan meningkatnya rate of shear. Jika stress

dihilangkan, suatu sistem dilatan akan kembali ke keadaan fluiditas aslinya.

B. MONOGRAFI BAHAN
1. Fanta

67
Komposisi : Air berkarbonasi, gula, beverange Base fanta termasuk pengawet

natrium benzoat, pewarna kuning FCF Cl No. 1598 dan karmiosin CI No

14720.
No Reg : BPOM RI MD 250010032349
2. Sunquick
Komposisi : Gula, kosentrat jeruk, air, asam sitrat, pemantap (natrium alginat

dan peptin), vitamin C, pengawet (natrium benzoat dan nztrium sullfat),

pewarna (betakarotin Cl No 75130)


No Reg : BPOM RI MD 157310008017
3. Ultra Milk
Komposisi : Susu sapi segar, sukrosa, bubuk coklat, pemantap nabati, pensa

coklat
No Reg : BPOM RI MD 405710199022

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Gelas kimia/bekergelas

68
b. Viscometer Brookfield
2. Bahan
a. Fanta
b. Ultramilk
c. Suspense antasida

B. CARA KERJA
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dipasang spindle pada gantungan spindle
3. Diturunkan spindle sedemikian rupa sehingga batas spindle tercelup

kedalam cairan yang akan diukur viskositasnya.


4. Dinyalakan motor sambil menekan tombol on
5. Diatur tombol pengatur Rpm sesuai dengan yang dikhendaki dengan cara

ditekan tombol on lalu ditekan lagi dikembalikan ke speed lalu diatu speed

lalu diatur Rpm yang dikhendaki misalnya : 5, 10, 20, 30, 50, 60, 100 Rpm.

Setelah itu tombol speed dikembalikan ketengah dan tekan tombol on

kembali.
6. Dilihat dan catat Cp yang terlihat di alat tersebut
7. Dihitung dan dibuat grafiknya setelah itu ditentukan tipe alirannya.

69
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

Sampel Spindel Rpm (menit) Cp %


Suspensi R.4 5 2718,7 7,4

Antasida 10 1653,0 8,8


20 1017,5 10,5
30 758,3 11,6
50 519,5 13,8
60 454,2 13,7
100 312,7 15,8
R.5 5 2422,1 3,5
10 1548,6 4,2
20 983,6 5,1
30 739,5 5,6
50 507,9 6,3
60 444,6 6,7
100 295,8 7,4

70
BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktekum kali ini mahasiswa atau praktikan melakukan percobaan reologi

dengan menggunakan sampel yakni suspense antasida dan juga memakai alat yaitu

Viskometer. Rheologi erat kaitannya dengan viskositas. Viskositas merupakan suatu

pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir; semakin tinggi viskositas,

semakin besar tahanannya untuk mengalir. Viskositas dinyatakan dalam simbol η.


Dalam bidang farmasi, prinsip-prinsip rheologi diaplikasikan dalam pembuatan

krim, suspensi, emulsi, losion, pasta, penyalut tablet, dan lain-lain. Selain itu, prinsip

rheologi digunakan juga untuk karakterisasi produk sediaan farmasi (dosage form)

sebagai penjaminan kualitas yang sama untuk setiap batch. Rheologi juga meliputi

pencampuran aliran dari bahan, penuangan, pengeluaran dari tube, atau pelewatan

dari jarum suntik. Rheologi dari suatu zat tertentu dapat mempengaruhi penerimaan

obat bagi pasien, stabilitas fisika obat, bahkan ketersediaan hayati dalam tubuh

(bioavailability). Sehingga viskositas telah terbukti dapat mempengaruhi laju

absorbsi obat dalam tubuh.


Berdasarkan hasil praktikum dan data pengamatan yang didapat, bisa disimpulkan

bahwa viskositas suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa factor yakni : waktu

(lamanya pengocokkan atau pemutaran) dan Rpm (kecepatan putaran atau kekuatan

71
pengocokkan). Semakain lama waktu yang diperlukan untuk spindle berputar atau

pengocokkan (Rpm) maka semakin keil harga Cp dan sebaliknya persentasi akan

semkin besar.
Namun pada praktikum kali ini mahasiswa atau praktikan tidak sampai mencari

nilai Rate of Share, Shearing stress, nilai yield, dan viskositas. Dikarenakan ada

beberapa kendala selama praktikum berlangsung, maka dari itu pada praktikkum kali

ini yang dikerjakan hanya sampai di mendapatkan nilai Cp.

72
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Rheologi berasal dari bahasa yunani mengalir (Rheo) dan limu (Logos).

Sehingga rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aliran zat cair dan

deformasi. Ahli fisiologi menggunakan ilmu ini untuk memprediksi sirkulasi

darah. Para dokter menggunakan untuk menentukan aliran larutan injeksi,

sedangkan untuk ahli farmasi menggunakannya untuk menentukan aliran emulsi,

suspense dan salep. (Rahmat kosman,2006).


Semakin lama pemutaran spindle atau pengocokkan maka nilai Cp akan

semakin kecil, selain itu viskositas dipengaruhi oleh yakni : kekuatan putaran dan

lamanya pemutaran spindle.

B. SARAN
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang

diperoleh sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kosman, Rachmat, 2006, Farmasi Fisika, UMI ; Makassar

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisika, Universitas Indonesia ; Jakarta

73
74
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

75
Kelarutan suatu senyawa dalam zat pelarut tergantung sifat fisik dan kimia

dari zat terlarut tersebut. Salah satu sifat fisika yang dapat kita amati setiap saat

adalah peristiwa larutnya suatu zat padat dalam pelarut air. Konsentrasi zat

terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu disebut sebagai kelarutan.
Larutan merupakan suatu campuran homogen antara 2 zat dari molekul, atom

ataupun ion dimana zat yang dimaksud disini adalah zat padat, minyak larut

dalam air. Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi

zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia farmasi

karena suatu obat baru dapat diabsorbsi setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan

usus, sehingga salah satu usaha mempertinggi efek farmakologi dari sediaan

adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya. Selain itu dapat membantu para

ahli farmasi dalam membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk

obat atau kombinasi obat, dapat membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu

yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis dan lebih jauh lagi dapat

bertindak sebagai standar uji kemurnian, pengetahuan yang lebih mendetail

mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga memberikan

informasi mengenai struktur obat dan gaya antarmolekul obat. Kelarutan dari

suatu senyawa bergantung pada sifat kimia dan fisika zat terlarut dan pelarut, juga

bergantung pada factor temperatur, tekanan, pH dan untuk jumlah yang lebih kecil

bergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Dalam percobaan ini akan dilakukan

uji kelarutan asam benzoat dan asam borat dalam pelarut air.

B. TUJUAN PERCOBAAN

76
Adapun tujuan praktikum ini adalah untuk :
1. Menentukan kelarutan Asam Benzoat dan Asam Borat suatu zat secara

kuantitatif
2. Menentukan kelarutan asam borat dan asam benzoate dalam pelarut air pada

suhu 25℃,45℃ dan 60℃

C. PRINSIP PERCOBAAN
Penentuan kelarutan dari zat padat yaitu asam borat dan asam benzoat pada

suhu kamar, suhu 45o C dan 60o C dengan cara melarutkan, menyaring,

mengeringkan dan menimbang residu zat yang tidak larut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan

jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang

berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam

cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas,

pembentukan kristal campuran) (Voight, 1994).

77
Kelarutan dalam Farmakope Indonesia, diartikan dengan kelarutan pada suhu

200C (FI III) atau 250C (FI IV) dinyatakan dalam satu bagian bobot zatpadat atau

1 bagian volume zat cair dalam bagian volume tertentu pelarut, kecuali

dinyatakan lain.

Perubahan kelarutan dengan tekanan tak mempunyai arti penting yang praktis

dalam analisis anorganik kualitatif, karena semua pekerjaan dilakukan dalam

bejana terbuka pada tekanan atmosfer, perubahan yang sedikit daritekanan

atmosfer tak mempunyai pengaruh yang berarti atas kelarutan. Terlebih penting

adalah perubahan kelarutan dengan suhu (Svehla, 1979).

Suhu merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelarutan suatu obat

dan dalam mempersiapkan larutannya. Kebanyakan bahan kimia menyerap panas

bila dilarutkan dan dikatakan mempunyai panas larutan negative, yang

menyebabkan meningkatnya kelarutan dengan menaikkan suhu. Segolongan kecil

bahan kimia mempunyai panas larutan positif dan menunjukkan berkurangnya

kelarutan dengan suatu kenaikan suhu. Disamping suhu, faktor-faktor lain juga

mempengaruhi kelarutan. Ini meliputi bermacam-macam bahan kimia dan sifat-

sifat fisika lainnya dari zat terlarut dan pelarut, faktor tekanan, keasaman atau

kebasaan dari larutan, keadaan bagian dari zat terlarut, dan pengadukan secara

fisik yang dilakukan terhadap larutan selama berlangsungnya proses melarut.

Kelarutan suatu zat kimia murni pada suhu dan tekanan tertentu adalah tetap;

tetapi, laju larutnya yaitu kecepatan zat itu melarut, tergantung pada ukuran

partikel dari zat dan tingkat pengadukan. Makin halus bubuk makin luas

78
permukaan kontak dengan pelarut, makin cepat proses melarut. Juga makin kuat

pengadukan, makin banyak pelarut yang tidak jenuh bersentuhan dengan obat,

makin cepat terbentuknya larutan (Ansel, 1989).

Kelarutan suatu senyawa dinyatakan dalam gr/lt. Besarnya kelarutan suatu

senyawa adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan yang larut dalam

sejumlah pelarut tertentu pada suatu suhu tertentu dan merupakan larutan jenuh

yang ada dalam kesetimbangan dengan bentuk padatnya (Roth, 1988).

Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi

maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu

pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya

melarutnya, larutan ini disebut larutan jenuh. Agar supaya diperhatikan berbagai

kemungkinan kelarutan diantara dua macam bahan kimia yang menentukan

jumlah masing-masing yang diperlukan untuk membuat larutan jenuh, disebutkan

dua contoh sediaan resmi larutan jenuh dalam air, yaitu larutan Topical Kalsium

HIdroksida, USP (Calcium Hydroxide Topical Solution, USP), dan larutan oral

Kalium Iodida, USP (Potassium Iodida Oral Solution, USP). Larutan yang

pertama dibuat dengan mencampur kalisihidroksida dalam jumlah yang tepat

dengan air murni, mengandung hanya 140 mg zat terlarut yang larut per 100 ml.

Lrutan pada suhu 250 C, sedangkan larutan yang berikutnya mengandung kira-

kira 100 g zat terlarut per 100 ml larutan, lebih dari 700 kali sebanyak zat terlarut

yang terdapat dalam larutan topikal kalsium hidroksida (Ansel, 1989).

79
Larutan Jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam

kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir

jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di

bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur

tertentu. Suatu larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat

terlarut dalam konsentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada

temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang tidak larut. Keadaan lewat

jenuh mungkin terjadi apabila inti kecil zat terlarut yang dibutuhkan untuk

pembentukan kristal permulaan adalah lebih mudah larut daripada kristal besar

sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk (Martin, 1990).

Dalam istilah fisika kimia, larutan dipersiapkan dari campuran yang mana saja

dari tiga keadaaan zat yaitu padat, cair, dan gas. Dalam istilah farmasi, larutan

yang didefinisikan sebagai sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat

kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air yang karena bahannya, cara

peracikan atau penggunaannya dalam golongan produk lainnya. Sesungguhnya

banyak produk farmasi melarut prinsip kimia fisika merupakan campuran

homogen dari zat terlarut yang dilarutkan dalam pelarut, menurut prinsip farmasi

digolongkan ke dalam jenis produk lain (Ansel, 1989).

Metode sederhana untuk menentukan kelarutan sebagian besar senyawa atau

bahan campuran adalah mengocok dengan lama zat bubuk halus dengan zat

terlarut pada temperatur yang diperlukan hingga tercapai keseimbangan. Larutan

itu kemudian disaring dan untuk menentukan bahan yang melarutkan dengan

80
metode yang cocok seperti metode fisika dan kimia atau dengan menggunakan

sifat fisika, larutan sebagai indeks bias.

Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh poaritas dari pelarut, yaitu oleh

dipol momennya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya.

Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan

melarutkan gula dan senyawa polihidroksi yang lain (Martin, 2008).

Aksi pelarut dari cairan nonpolar, seperti hidrokarbon, berbeda dengan zat

polar. Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion

elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut

juga tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi

lemah karena pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen

dengan nonelektrolit. Oleh karena itu zat terlarut ionik dan polar tidak larut atau

hanya dapat larut sedikit dalam pelarut nonpolar (Martin, 2008).

Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat

polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehingga menjadi dapat larut

dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan.

Kenyataanya, senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang

dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu,

aseton menaikkan kelarutan eter di dalam air (Martin, 2008).

B. MONOGRAFI BAHAN

81
1. Asam benzoat (Anonim.1979.FI III Hal.49)

Nama resmi : Acidum benzoicum

Nama lain : Asam benzoate

RM/BM : C7H6O2 / 122

Pemerian : Hablur halus dan ringan, tidak berwarna, tidak

berbau.

Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 350 bagian air, dalam lebih

kurang 3 bagian etanol (95%) P, dalam 8 bagian

kloroform P dan dalam 3 bagian eter.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat : Antiseptikum ekstern, antijamur

Kegunaan : Sebagai sampel

2. Asam borat (Anonim.1979.FI III. Hal.49)

Nama resmi : Acidum boricum

Nama lain : Asam borat

RM / BM : H3BO3 / 61,83

Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap,

tidak berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak asam

dan pahit kemudian manis.

Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air , dalam 3 bagian air

mendidih , dalam 16 bagian etanol (95 %) P dan

dalam 5 bagian gliserol P.

82
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat : Antiseptikum ekstern

Kegunaan : Sebagai sampel

3. Air suling (Anonim.1979. FI III. Hal.96)

Nama resmi : Aqua destilata

Nama lain : Air suling

RM / BM : H2O / 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan : Sebagai pelarut

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat

a. Baskom

b. Gelas ukur 100 ml dan 50 ml

c. Batang pengaduk

83
d. Oven

e. Botol semprot

f. Pipet tetes

g. Cawan porselin

h. Corong kaca

i. Termometer

j. Erlenmeyer

k. Timbangan analitik

l. Gelas kimia 100 ml

2. Bahan
a. Asam benzoat
b. Asam borat
c. Aquadest,

B. CARA KERJA

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

2. Timbang kertas saring kosong sebanyak 6 lembar pada timbangan analitik

3. Asam benzoate ditimbang sebanyak 0,5 gram sebanyak 3 kali

4. Asam benzoate yang telah ditimbang,dimasukan kedalam gelas kimia 250 ml

kemudian tambahkan air 150 ml

5. Kemudian diaduk selama 30 detik ,pada suhu kamar.

6. Panaskan diatas penangas sampai mencapai suhu 45 ℃ ,setelah itu

turunkan dan aduk selama 5 menit (pada suhu 60 ℃ perlakuannya sama

dengan suhu 45 ℃ ).

84
7. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring ( sesuai dengan

suhunya masing-masing)

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

N
Sampel Suhu Berat Sampel (g) Berat Residu (g)
o
0,5 gram 0,21 gram
1. Asam Benzoat Suhu kamar 0,5 gram 0,22 gram
0,5 gram 0,28 gram
0,5 gram 0,07 gram
2. Asam Benzoat 45oC 0,5 gram 0,11 gram
0,5 gram 0,08 gram
0,5 gram 0,05 gram
3. Asam Benzoat 60oC 0,5 gram 0,06 gram
0,5 gram 0,10 gram

85
B. PERHITUNGAN

a. Gram zat terlarut

X = Berat sampel – berat residu

1) Asam Benzoat

a. Suhu kamar : X1 = 0,5 gram - 0,21 gram = 0,29 g = 290 mg

X2 = 0,5 gram - 0,22 gram = 0,28 g = 280 mg

X3 = 0,5 gram - 0,28 gram = 0,22 g = 220 mg

b. Suhu 45oC : X1 = 0,5 gram - 0,07 gram = 0,43 g = 430 mg

X2 = 0,5 gram - 0,11 gram = 0,39 g = 390 mg

X3 = 0,5 gram - 0,08 gram = 0,42 g = 420 mg

c. Suhu 60oC : X1 = 0,5 gram - 0,05 gram = 0,45 g = 450 mg

X2 = 0,5 gram - 0,06 gram = 0,44 g = 440 mg

X3 = 0,5 gram - 0,10 gram = 0,40 g = 400 mg

b. Kelarutan

X=

1) Asam Benzoat

a) Suhu kamar : X1 = = 1,93 mg/ml

86
X2 = = 1,86 mg/ml

X3 = = 1,467 mg/ml

Rata-rata (X) = 1,75 mg/ml

b) Suhu 45oC : X1 = = 2,86 mg/ml

X2 = = 2,6 mg/ml

X3 = = 2,8 mg/ml

Rata-rata (X) = 2,75 mg/ml

c) Suhu 60oC : X1 = = 3 mg/ml

X2 = = 2,93 mg/ml

X3 = = 2,66 mg/ml

Rata-rata (X)= 2,863 mg/ml

87
BAB V

PEMBAHASAN

Kelarutan dalam besaran kuantitatif didefinisikan sebagai konsentrasi zat

terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, sedangkan secara kualitatif

didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk

dispersi molekuler homogen. Menurut U.S. Pharmacopeia dan National Formulary

definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut di mana akan larut 1 gram zat

terlarut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah pH, temperatur, jenis

pelarut, bentuk dan ukuran partikel, konstanta dielekrik pelarut, dan surfaktan, serta

efek garam. Semakin tinggi temperature maka akan mempercepat kelarutan zat,

semakin kecil ukuran partikel zat maka akan mempercepat kelarutan zat, dan dengan

adanya garam akan mengurangi kelarutan zat.

Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

kelarutan antara lain oleh temperatur, luas permukaan, jenis pelarut, serta bentuk dan

88
ukuran partikel. Pada percobaan ini akan ditentukan kelarutan asam benzoat dan asam

borat dalam pelarut air pada suhu kamar, 45ºC dan 60ºC. Asam borat ditimbang 2

gram yang dilarutkan dalam 25 ml akuades dan asam benzoat ditimbang 0,5 gram

yang kemudian dilarutkan dalam 50 ml air. Pada suhu 45ºC, aquades terlebih dahulu

dipanaskan sampai mencapai suhu 45ºC yang diukur menggunakan termometer,

kemudian sampel dimasukkan ke dalamnya sambil diaduk selama 5 menit. Sama

seperti perlakuan pada suhu 45ºC, pada suhu 60ºC aquades terlebih dahulu

dipanaskan sampai mencapai suhu 45ºC yang diukur menggunakan termometer,

kemudian sampel dimasukkan ke dalamnya sambil diaduk selama 5 menit. Gelas

yang berisi larutan asam tersebut baik pada suhu kamar, suhu 45ºC dan suhu 60ºC,

sampel disaring dengan corong dan kertas saring. Kertas saring tersebut dilipat dan

diletakkan dia atas cawan uap, lalu dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada

suhu 100ºC. Dikeringkan pada suhu ini dikarenakan air menguap pada suhu 100ºC.

Kemudian larutan didinginkan selama 3 menit lalu ditimbang residu yang terdapat

pada kertas saring dan residu tersebut dianggap sebagai residu zat yang tidak larut.

Tujuan dari pengadukan yaitu untuk mempercepat difusi antar partikel sehingga

mempercepat kelarutan.

Dalam percobaan ini alasan zat dilarutkan yaitu untuk melihat tingkat

kelarutan asam borat dan asam benzoat dalam pelarut air. Kertas saring sebelumnya

dipanaskan dalam oven pada suhu 100ºC dengan tujuan agar kandungan air yang

terdapat di dalam kertas saring hilang sehingga tidak mempengaruhi hasil akhir

pengamatan. Diperoleh berat kertas saring yang konstan. Setelah itu pada proses

89
penyaringan bertujuan untuk menyaring zat yang tidak terlarut dalam pelarut yang

digunakan. Sedangkan pengeringan dilakukan untuk mengubah endapan menjadi

bentuk yang susunannya tetap sebelum ditimbang dan menghilangkan kandungan air

dalam endapan di kertas saring sehingga diperoleh zat yang lebih murni bukan berat

dari pelarut yang melekat pada kertas saring.

Berdasarkan kelarutannya asam borat merupakan senyawa yang larut dalam

20 bagian air sedangkan asam benzoat larut dalam 350 bagian air. Sehingga dapat

diketahui bahwa asam borat lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan asam

benzoat. Hal inilah yang mendasari bahwa pada percobaan ini meskipun asam borat

yang digunakan 2 gram dengan pelarut 25 mL mudah larut dalam jika dibandingkan

dengan asam benzoat 0,5 gram dengan pelarut yang lebih banyak dari asam borat

yaitu 150 mL. Kelarutan asam borat dalam air mendidih 3 bagian. Hal ini

menunjukkan peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kelarutan asam borat.

Dari hasil percobaan yang dilakukan, maka diperoleh data untuk kelarutan

asam benzoat pada suhu kamar adalah 1,75 mg/mL, pada suhu 45ºC adalah 2,75

mg/mL dan pada suhu 60ºC 2,863 mg/mL. Sedangkan kelarutan asam borat pada

suhu kamar adalah 78,6 mg/mL, pada suhu 45ºC adalah 79,86 mg/mL dan pada suhu

60ºC adalah 80 mg/mL.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pelarutnya

maka semakin tinggi pula kelarutan asam benzoate dalam pelarut air. Hal ini sesuai

dengan teori yaitu semakin tinggi temperature maka kelarutan suatu zat semakin

besar.

90
Pada praktikum kali ini kami hanya menggunakan salah satu sampel yaitu

asam benzoate sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan kelarutan antara asam

benzoate dan asam borat seperti tujuan praktikum.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleah maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Kelarutan dari sampel Asam Benzoat

Pada suhu kamar = 1,75 mg/ml

Pada suhu 45°C = 2,75 mg/ml

Pada suhu 60°C = 2,863 mg/ml

2. Semakin tinggi temperatur maka semakin tinggi kelarutan suatu zat.

B. SARAN
Sebaiknya dalam parktikum ini kita menggunakan lebih dari satu sampel

sehingga kita dapat mengetahui dan membandingkan kelarutan antara kedua

sampel seperti pada tujuan praktikum

91
DAFTAR PUSTAKA

Kosman, Rachmat, 2006, Farmasi Fisika, UMI ; Makassar

Martin, Alfred, 1993, Farmasi Fisika, Universitas Indonesia ; Jakarta

92
93
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fenomena distribusi merupakan salah satu hal yang penting bagi farmasis,

ditambah berbagai faktor yang mempengaruhi cabang ilmu tersebut. Lebih khusus

pengaruhnya terhadap distribusi obat didalam tubuh manusia. Hal-hal yang

termasuk didalam koefisien partisi ialah kerja obat pada tempat organ target serta

distribusi dan absorbsinya ke seluruh bagian tubuh sampai memberikan efek

terapeutik.

Koefisien distribusi didefenisikan sebagai suatu perbandingan kelarutan suatu

zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta

merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu.

Fenomena distribusi termasuk di dalamnya adalah koefisien distribusi yang

erat hubungannya dengan ilmu farmasi (ilmu resep). Satu hal penting dari

fenomena distribusi adalah sifat senyawa obat itu agar dapat melalui membran sel

yang terdiri dari lipoprotein atau suatu lapisan hidrofil dan hidrofob.

94
Pada percobaan ini dilakukan penentuan koefisien partisi dengan cara

mencampur dua zat yang bersifat saling bertolak belakang/tidak

saling bercampur. Dengan percobaan ini, diharapkan dapat diketahui tentang

fenomena distribusi suatu obat jika terdapat dalam tubuh.

B. TUJUAN PERCOBAAN

menentukan koefisiensi partisi asam benzoate dalam pelarut air serta dalam

pelarut minyak kelapa yang tidak saling bercampur.

C. PRINSIP PERCOBAAN

Penentuan koefisiensi distribusi/koefisiensi partisi dari asam benzoate

berdasarkan perbandingan kelarutan satu zat dam dua pelarut yang tidak saling

bercampur yakni dalam minyak dan air.

95
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI
Suatu zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya

tidak salingbercampur. Jika ada kelebihan cairan atau suatu zat padat ditambahkan

kedalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusikan

diri diantara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu

ditambahkan kedalam pelarut tidak bercampur dalam jumlah yang tidak cukup

untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan didistribusikan diantara kedua

lapisan dengan konsentrasi tertentu


Jika kelebihan cairan atau zat pelarut ditambahkan ke dalma campuran dari

dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase

sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam

pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan

larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan

perbandingan konsentrasi tertentu (Martin, 1993).


Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam

pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut

lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi

lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan

96
air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal

tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada

tempat absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar

dari teori pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat

merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi

dari efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian

(Ansel,2005).
Pengetahuan tentang koefisien partisi atau koefisien distribusi sangat penting

diketahui oleh seorang farmasis. Prinsip dari koefisien ini sangat banyak

berhubungan dengan ilmu farmasetik, termasuk disini adalah pengawetan system

minyak-air, kerja obat di tempat yang tidak spesifik, absorbsi dan distribusi obat

ke seluruh tubuh (Martin,1993).


Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut.

Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua

fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut (Martin,1993).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau

hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan

interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik

dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1993).


Apabila ditinjau dari suatu zat tunggal yang tidak tercampur dalam suatu

corong pisah maka dalam system tesebut akan terjadi suatu keseimbangan sebagai

suatu zat terlarut dalam fase bawah dan zat terlarut dalam fase atas. Menurut

hokum Termodinamika, pada keadaan seimbang dan rasio aktivitas species

97
terlarut dalam kedua fase itu merupakan suatu ketetapan atau konstanta. Hal ini

disebut sebagai Hukum Distribusi Nerst. Nilai K tergantung pada suhu bukan

merupakan fungsi konstanta absolute zat atau volume kedua fase itu.
Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan,

yaitu :
1. Temperature

Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 kenaikan suhu 10 C

2. Kekuatan ion

Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil

3. Konstanta Dielektrik

Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionic diekstrapolarkan

sampai pengenceran tak terbatas, yang mempengaruhi kekuatan ionnya.

Untuk reaktan tersebut adalah positif dan kekuatannya bermuatan berlawanan

maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang

muatannya sama maka laju distribusinya negative.

4. Katalisis

98
Katalisis dapat menurunkan laju-laju distribusi ( katalis negative ). Katalisis

dapat juga menurunkan energy aktivitas dengan mengubah mekanisme reaksi

sehingga kecepatan bertambah.

5. Katalis Asam Basa Spesifik

Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju

peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hydrogen atau

hidroksi

6. Cahaya Energi

Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlakukan untuk

terjadi reaksi.

B. MONOGRAFI BAHAN
1. Aquadest (anonim.1979.FI III Hal.96)

Nama resmi : Aqua destillata

Nama lain : Aquadest, air suling

Rumus molekul : H2O

Berat molekul : 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak

berasa

99
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai pelarut, media distribusi

2. Asam benzoat (anonim.1979.FI III Hal.49)

Nama resmi : Acidum bonzoicum

Nama lain : Asam benzoat

Rumus molekul : C7H6O2

Berat molekul : 122,12

Pemerian : Hablur halus dan ringan, tidak berwarna, tidak berbau

Kelarutan : Larut dalam kurang lebih 350 bagian air, dalam kurang lebih

3 bagian etanol (95 %) P. Dalam 8 bagian kloroform P, dalam 3 bagian eter P

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat : Antiseptikum ekstern

Kegunaan : Sebagai sampel

BAB III

PROSEDUR KERJA

100
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
 Batang pengaduk
 Buret
 Corong pisah
 Gelas kimia
 Erlenmeyer 250 ml
 Gelas ukur 50 ml
 Statif dan klem
 Timbangan analitik
2. Bahan
 Asam benzoate
 Indicator fenolftalein
 Minyak kelapa
 NaOH 0,1 N
B. CARA KERJA
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang 100 mg asam benzoate diatas timbangan analitik, lalu masukkan

dalam erlenmeyer 250 ml.


3. Dilarutkan dengan aquadest secukupnya hingga tidak ada partikel sampel

yang tertinggal pada dasar (melarut seluruhnya), kemudian dicukupnya

volume larutan hingga 100 ml dengan aquadest.


4. Diambil 25 ml dari larutan tesebut, di masukkan dalam corong pisah, dan

ditambahkan dengan 25 ml minyak kelapa ke dalam corong pisah tesebut.


5. Dikocok selama beberapa menit campuran di dalam corong pisah tadi, dan

didiamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan memisah satu sama lain.
6. Dibuka tutup corong pisah, lalu ditampung cairan yang berada sebelah bawah

corong pisah dalam sebuah Erlenmeyer 250 ml, cairan lainnya dibuang.
7. Dititrasi larutan titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan

warna dari bening menjadi merah muda, sebelumnya ditambahkan indicator

PP 2-3 tetes

101
8. Diambil 25 ml larutan no. 2di atas, kemudian dititrasi dengan larutan baku

NaOH 0,1 N, serta ditambahkan indicator PP hingga terjadi perubahan warna

bening menjadi merah muda.


9. Titrasi dihentikan stelah dicapai titik akhir titrasi, ditandai dengan perubahan

warna bening menjadi merah muda.


10. Dicata volume titrasi yang digunakan.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

No Asam Benzoat
Dengan minyak Tanpa minyak
1. 0,9 ml 1
2. 0,9 ml 1

B. PERHITUNGAN
1. Pembakuan
a. Diketahui

G1 : 0,118 Vt1 :5,8

G2 : 0,113 Vt2 : 5,6

Mr : 204,2

b. Ditanyakan :N?

102
c. Penyelesaian

g 1000
N 1= +
Mr Vt

0,118 1000
N 1= +
204,2 5.8

1,8
N 1= =0,0996 N
1184,36

0,113 1000
N 2= +
204,2 5,6

1,3
N 2= =0,0988 N
204,2

0,0996 N +0,0988 N
N rata−rata= =0,0992 N
2

2. Penetapan kadar
a. Diketahui
1) Dengan penambahan minyak

V1 :0,9 ml Bst :61,84

Vt2 : 0,9 ml fp :4

N : 0,0992 N Bs : 100

2) Ditanyakan : % ?
3) Penyelesaian

103
v X N X Bst X fp
C=%K = X 100
Bs X fk

0,9 X 0,00992 N X 61,83 X 4


%K1= X 100
100 X 1

%K1=22,08

0,9 X 0,00992 N X 61,83 X 4


%K2= X 100
100 X 1

%K2=22,08

22,08 X 22,08
CA %K rata−rata= =22,08
2

b. Tanpa penambahan minyak


1) Diketahui

V1 :1 ml Bst :61,84

Vt2 : 1 ml fp :4

N : 0,0992 N Bs : 100

2) Ditanyakan : % ?
3) Penyelesaian

v X N X Bst X fp
C=%K = X 100
Bs X fk

1 X 0,00992 N X 61,83 X 4
%K1= X 100
100 X 1

104
%K1=24,53

0,9 X 0,00992 N X 61,83 X 4


%K2= X 100
100 X 1

%K2=24,53

24,53 X 24,53
CB%K rata−rata= =24,53
2

24,53 −22,08
koef . Distribusi=CB−CA=
2

CA = 1,225

= 0,111 minyak dalam air

105
BAB V

PEMBAHASAN

Koefisien distribusi adalah perbandingan konsentrasi kesetimbangan zat

dalam dua pelarut yang berbeda yang tidak saling bercampur. Faktor yang

mempengaruhi koefisien distribusi adalah pelarut pertama dan pelarut kedua.

Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa

antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan

kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul.

Sedangkan, Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi kesetimbangan zat

dalam dua pelarut yang berbeda yang tidak bercampur.

Pada percobaan menentukan koefisien partisi. Pertama-tama timbang asam

benzoat sebanyak 100 mg, kemudian masukkan kedalam erlenmeyer 250 ml,

larutakan dengan aquadest sebanyak 100 ml, kemudian ambil 25 ml dari larutan

tersebut, masukkan larutan tersebut ke dalam corong pisah, dan tambahkan 25 ml

minyak kelapa. Setelah itu, dikocok selama 5 menit campuran di dalam corong pisah,

diamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan memisah satu sama lain.

Selanjutnya buka tutup corong pisah, pisahkan air dari minyak dengan menampung

air dalam erlenmeyer, tambahkan indikator fenolftalein sebanyak 2-3 tetes ke dalam

106
erlenmeyer, titrasi larutan dengan larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan

warna dari bening menjadi merah muda. Kemudian diambil 25 ml larutan asam

benzoat yang telah dicukupkan dengan aquadest,.

Asam benzoate digunakan karena asam borat dan asam benzoate dapat larut

dalam air dan minyak, dan karena asam borat dan asam benzoate memiliki dua sifat

yaitu sifat polar dan nonpolar.

Alasan penggunaan air dan minyak kelapa dalam percobaan dengan

menggunakan partisi karena kedua pelarut ini tak dapat larut satu sama lain

tetapisampel asam borat dapat larut dalam minyak dan air. Hal ini disebabkan karena

air merupakan pelarut polar sedangkan minyak kelapa merupakan pelarut non polar

dan karena pada minyak terdapat karbon sehingga menyebabkan bentuk

streokimianya simetris sehingga tidak memiliki momen dipol.

Asam benzoat ditambahkan ke dalam minyak kelapa dan air kemudian

dimasukkan ke dalam corong pisah kemudian setelah itu di lakukan pengocokan,

karena agar zat dapat mengadakan keseimbangan antara yang larut dalam air dan

yang larut dalam minyak kelapa. Pada percobaan ini dilakukan pengocokan selama 5

menit agar gugus polar dan non polar dari asam borat maupun dari asam benzoat

dapat bereaksi dengan air dan minyak sehingga dapat dilihat pada pelarut mana

kelarutannya paling besar.

107
Tujuan dari campuran dalam corong pisah didiamkan selama 10-15 menit, karena

agar pemisahan antara minyak dan air bisa sempurna. Alasan mengapa yang

dilakukan titrasi hanya pada fase air saja. dikarenakan bila lapisan minyak yang

dititrasi maka akan terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan).

Metode titrasi yang digunakan dalam percobaan ini adalah alkalimetri yang

dilakukan berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel asam yang dititrasi dengan

titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga dapat diperoleh titik

akhir titrasi dengan melihat perubahan warna larutan dari bening menjadi merah

muda.

Mekanisme perubahan warna yang terjadi pada titrasi alkalimetri yang

digunakan adalah pada larutan titer yang bersifat asam yang telah ditambahkan

indikator fenolftalein dititrasi dengan titran yang bersifat basa, dimana akan terjadi

reaksi antara sampel asam yaitu asam borat atau asam benzoat dengan titran basa

yaitu NaOH membentuk larutan garam. Hal ini akan terus terjadi hingga larutan asam

tepat telah habis bereaksi dengan NaOH dan disebut titik ekuivalen. Pada titik

ekuivalen ini, belum terjadi perubahan warna tetapi kelebihan satu tetes saja larutan

NaOH akan menyebabkan terjadinya perubahan warna dari bening menjadi merah

muda yang berasal dari reaksi antara kelebihan titran basa dengan

indikatorfenolftalein.

108
Pada percobaan ini didapat kadar asam benzoat tanpa partisi adalah 24,53%

dan dengan partisi adalah 22,08%. Jadi koefisien distribusinya adalah 0,111minyak

dalam air

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

Penentuan kadar asam benzoat tanpa partisi adalah 24,53% dan dengan partisi

adalah 22,08% . Koefisien distribusinya adalah 0,111

B. SARAN

Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang

diperoleh sesuai yang diharapkan.

109
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; jakarta

Martin, Alfred. 1993. Farmasi Fisik jilid I Edisi III. Universitas Indonesia Press :

Jakarta

110
111
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada masa sekarang ini, disamping perkembangan tekhnologi yang sangat

pesat, juga adanya selalu penemuan-penemuan dari para pakar atau ahli kimia

dalam meneliti, diantaranya system koloid. Dalam kehidupan sehari-hari kita

sering menemukan sistem koloid yang bahkan kita tidak ketahui kalau itu adalah

system koloid.

Banyak para pelajar yang kurang mengetahui apa itu system koloid, dan

mungkin mereka tidak memperdulikan bagaimana system koloid itu ada. Mereka

hanya selalu ingin mencari sesuatu yang asyik, seperti main game, dll.

Melihat kesuksesan para pakar ahli kimia dalam meneliti suatu objek, muncul

keinginan untuk mengikuti jejak mereka. Itulah acuan kita untuk menuju

kesuksesan

B. TUJUAN PERCOBAAN
Menganalisa volume sedimentasi dan derajat flukolasi sediaan suspense dan

uji redispersi.

112
C. PRINSIP PERCOBAAN
Berdasarkan Hukum Stokes: Bahwa sedimentasi berkaitan dengan ukuran

partikel dari zat terdispersi dan bergantung pada viskositas fase pendispersi.

113
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI
System terdispersi terdiri dari partikel kecil yang dikenal sebagai fase

terdispersi, terdistribusi keseluruh medium kontinu atau medium dispersi. Bahan-

bahan yang terdispersi bias mempunyai jangkauan ukuran dari partikel-partikel

yang ukurannya diukur dalam milliliter. Oleh karena itu, cara yang paling muda

untuk menggolongkan system terdispersi adalah berdasarkan garis tengah partikel

rata-rata dari bahan terdispers. Umumnya dibuat tiga golongan ukuran, yaitu

disperse molekuler, disperse koloid dan disperse kasar.

Golongan Jangkauan Sifat system Contoh

ukuran partikel
Dispersi Kurang dari 1,0 Partikel tidak terlihat dalam Molekul

molekuler nm mikroskop electron, dapat oksigen, ion-

melewati ultrafiltrasi dan ion umumnya

membrane semi permeable, glukosa

mengalami difusi cepat


Dispersikoloid 0,5 µm – 1,0 nm Partikel tidak terlihat oleh Sol perak

mikroskop biasa walaupun koloidal,

partikel tersebut mungkin di polimer alam

deteksi di bawah dan polimer

ultramikroskop, terlihat dalam sintetik

114
mikroskop electron, dapat

melewati kertas saring tapi

tidak dapat melewati

membrane semipermeable,

difusi berlangsung lambat


Dispersi kasar Lebih besar dari Partikel terlihat di bawah Butir-butir

0,5 µm mikroskop, tidak dapat pasir, emulsi

melewati kertas saring normal dan suspense

atau mendialisis melalui farmasetik

membrane semipermeable, umumnya, sel

partikel tidak mendifusi darah merah.

B. MONOGRAFI BAHAN
1. Lotio faberi
Komposisi : acid salicylic 1,talk venet 10, oxyd zink 10, amyl. oryzae 10,

apiritus ad. 200cc


2. Antasida suspense
Komposisi : Al(OH)2, Mg(OH)2

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Gelasukur 10 ml
b. Stopwatch

115
c. Mortar dan stamper
2. Bahan
a. Lotiofaberi
b. Antasida suspense

B. CARA KERJA
1. Uji Volume sedimentasi dan derajat flukolasi
a. Tuang sediaan yang homogeny ke dalam gelas ukur 10 ml (Vo).
b. Amati volume pengendapan pada setiap rentang waktu tertentu (Vu) sampai

pengendapan konstan.
c. Hitung volume sedimentasi ( F= Vu / Vo ) dan derajat flokulasi( β = Vu / V~ )
2. Uji redispersi
a. Tuangkan sediaan antasida sebanyak 100 ml ke dalam botol
b. Diamkan selama 1-3 jam
c. Lakukan pengocokan (tekan stopwatch)
Catat waktu yang diperlukan sediaan untuk terdispersi

116
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

N WAKTU Vo Vu (ml) F Β F rata” Β rata”

O (Menit) (ml

)
1 1 10 8, 10 0,8 1 2,6 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 4 4 4 8 9 3 2
2 2 10 7, 10 0,7 1 2,2 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 2 5 4 8 9 3 2
3 3 10 6, 10 0,6 1 1,8 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 0 0 7 4 8 9 3 2
4 4 10 5, 10 0,5 1 1,6 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 2 2 4 8 9 3 2
5 5 10 4, 9, 0,4 0.9 1,4 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 6 8 6 8 3 2 8 9 3 2
6 6 10 4, 9, 0,4 0,9 1,3 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

117
ml 2 8 2 8 2 2 8 9 3 2
7 7 10 3, 9, 0,3 0,9 1,1 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 8 8 8 8 8 2 8 9 3 2
8 8 10 3, 9, 0,3 0,9 1,0 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 4 6 4 6 6 2 8 9 3 2
9 9 10 3, 9, 0,3 0,9 1,0 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 6 2 6 6 2 8 9 3 2
10 10 10 3, 9, 0,3 0,9 1,0 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 6 2 6 6 2 8 9 3 2
11 11 10 3, 9, 0,3 0,9 1,0 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 6 2 6 6 2 8 9 3 2
12 12 10 3, 9, 0,3 0,9 1,0 1,0 0,9 0,4 1,5 1,0

ml 2 6 2 6 6 2 8 9 3 2

Ket : WarnaMerah : LotioFaberi


WarnaHitam : Suspense Antasida

BAB V

PEMBAHASAN

Sistem dispersi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang salah satu zatnya

adalah fase terdispersi kedalam zat atau fase pendispersi. Klasifikasi sistem dispersi

118
dalam farmasi dilakukan berdasarkan keadaan fisik medium dispersi, fasa terdispersi,

serta ukuran partikel fasa terdispersi. Klasifikasi ketiga sistem dispersi dibatasi pada

medium cair berdasarkan interaksi antara fasa terdispersi dan medium dispersi.

Sistem terdispersi terdiri dari partikel-partikel kecil yang dikenal sebagaifase

terdispersi yang terdistribusi secara merata keseluruh medium kontinu atau medium

dispersi. Bahan-bahan yang terdispersi bisa saja memiliki ukuran partikel berdimensi

atom atau molekul sampai partikel yang dapat diukur dengan satuan milimeter. Oleh

karena itu, cara paling mudah untuk menggolongkan system dispersi adalah

berdasarkan diameter dari partikel rata-rata dari bahan yang terdispersi. Umumnya,

sistem dispersi digolongkan menjadi tiga, yaitu:

Dispersi Molekular atau biasa disebut larutan

Dispersi Koloidal

Dispersi Kasar

Pada sistem iyofilik terdapat afinitas antara fasa terdispersi dan medium cair.

Dalam sistem iyofobik terdapat hanya sedikit tarik-menarik antara kedua fasa, seperti

belerang dan magnesium stearat dalam air. Jika cairan adalah air, maka di pakai

terminologi hidrofobik. Kelompok ketiga dari klasifikasi ini adalah molekul, yang

mempunyai baik gugus hidrofolik maupun hidrofobik, yang dinamakan ampifil.

Molekul ini membentuk agregat dimensi koloidal yang dalam medium despersi

dinamakan misel, seperti surfaktan dalam air.

119
Berdarkan hasil praktikum mengenai system disperse, dilakukan pengujian

volume sedimentasi pada anatasida suspensi dengan lotio faberi dengan variasi

konsentrasi yang sama dari setiap kelompoknya. Didalam literature hasil pengujian

volume sedimentasi (F) untuk semua sediaan baik blanko lotio faberi maupun

antasida suspensi dengan variasi konsentrasi berbeda untuk evaluasi stabilitas fisik

suspense, dijelaskan bahwa volume sedimentsi harus ± 1, karena jika tidak sediaan

suspensi yang dibuat akan tidak stabil.

Berdasarkan hasil praktikum yang lakukan nilai dari volume sedimentasi dari

sediaan lotio faberi untuk F rata-rata adalah 0,49 dan antasida suspensi adalah 0,982

sedangka untuk β rata-rata dari sediaan lotio faberi adalah 1,53 dan sediaan suspensi

adalah 1,022.

Hasil pengamatan dimana Y = F (Volume sedimentasi), dan X = Waktu

volume sedimentasi pada lotio faberi terbentuk pada pengamatan menit pertama

dengan volume sedimentasi (F) sebesar 0,84 ml. Setelah diamati selama 10 menit

volume sedimentasi yang terbentuk adalah 0,32ml. Sedangkan pada anatasida

terbentuk pada pengamatan menit pertama dengan nilai yang sama sebesar 1 ml.

Namun, pada pengamatan selama 10 menit volume sedimentasi antasida suspense

berubah menjadi 0,96 ml.

Akan tetapi, setelah kedua suspense diamati, volume sedimentasi (F)

menunjukan nilai yang berbeda yakni sebesar 0,32 ml dan 0,96 ml

Setelah kedua sediaan didiamkan, kemudian dilakukan uji redispersibilitas

120
dengan melakukan pengocokan sebanyak tiga kali dengan waktu selama 1 menit 24

detik untuk lotio faberi dan antasida suspensi selama 46 detik di dapatkan bahwa

Setelah didiamkan kembali ternyata sedimen yang terbentuk dari kedua sediaan

tersebut mudah membentuk dan mudah terdispersi kembali membentuk campuran

homogennya.

Selain itu, blanko suspensi lotio faberi dan antasida suspensi menunjukan nilai

F mendekati sama dengan 1. Artinya anatasida suspense dan lotio faberi yang dipakai

dengan volume yang digunakan ( 10 ml ) merupakan suspense yang baik (stabil).

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum system disperse, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

121
 Sistem dispersi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang salah satu zatnya

adalah fase terdispersi kedalam zat atau fase pendispersi.


 Volume pengendapan pada setiap rentang waktu tertentu (Vu ) pada menit

ke-10 di dapatkan bahwa nilai untuk lotio faberi 3,2 ml dan untuk

antasida suspensi 9,6 ml


 Untuk redispersi di butuhkan waktu selama 1 menit 24 detik untuk lotio

faberi dan 46 detik untuk antasida suspensi.

B. SARAN
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang

diperoleh sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; jakarta

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit

Universitas Indone

122
123
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan

erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam bidang

industri farmasi, perkembangan teknologi farmasi sangat berperan aktif dalam

peningkatan kualitas produksi obat-obatan. Hal ini banyak ditunjukan dengan

banyaknya sediaan obat-obatan yang disesuaikan dengan karakteristik dari zat

124
aktif obat, kondisi pasien dan peningkatan kualitas obat dengan

meminimalkan efek samping obat tanpa harus mengurangi atau mengganggu

dari efek farmakologis zat aktif obat.

Sekarang ini banyak bentuk sediaan obat yang kita jumpai dipasaran.

Emulsi merupakan salah satu contoh dari bentuk sediaan cair, yang secara

umum dapat diartikan sebagai sistem dispersi kasar dari dua atau lebih cairan

yang tidak larut satu sama lain.

Sistem emulsi dijumpai banyak penggunaannnya dalam farmasi.

Dibedakan antara emulsi cairan, yang ditentukan untuk kebutuhan dalam

(emulsi minyak ikan, emulsi parafin) dan emulsi untuk penggunaan

luar.Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air

Emulsi sangat bermanfaat dalam bidang farmasi karena memiliki

beberapa keuntungan, satu diantaranya yaitu dapat menutupi rasa dan bau

yang tidak enak dari minyak. Selain itu, dapat digunakan sebagai obat luar

misalnya untuk kulit atau bahan kosmetik maupun untuk penggunaan oral.

Pada percobaan ini kita akan mempelajari cara pembuatan emulsi

dengan menggunakan emulgator dari golongan surfaktan yaitu Tween 80 dan

Span 80. Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan

faktor yang penting untuk diperlihatkan karena mutu dan kestabilan suatu

emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan.

B. Tujuan Praktikkum

125
1. Menghitung jumlah elmugator golongan surfaktan yang digunakan dalam

pembuatan emulsi.
2. Membuat emulsi menggunakkan elmugator golongn surfaktan.
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi.
4. Menentukan nilai HLB butuh minyak yang digunakkan dalam pembuatan

emulsi.
C. Prinsip Percobaan
Penentuan dan pembuatan emulsi dengan menggunakan emulgator dari

golongan surfaktan (Span 80 dan Tween 80) dengan variasi Konsentrasi

elmgator (Span 80 dan Twe


en 80) serta HLB butuh yang telah ditentukan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat air atau

distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok.

(Anonim,1979;9)

Emulsi adalah sistem dua fase dimana salah satu cairannya terdispersi

dalam cairan yang lain dalam bentuk tetesan-tetesan kecil. (Anonim,1995;6)

Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air.

Berdasarkan fasa terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu :

1. Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fasa minyak terdispersi di

dalam fasa air.

126
2. Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fasa air terdispersi di dalam

fasa minyak.

Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan

faktor yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu

emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu

emulgator yang aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan.

Mekanisme kerjanya adalah menurunkan tegangan antarmuka permukaan air

dan minyak serta membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fasa

terdispersinya. HLB adalah nomor yang diberikan bagi tiap-tiap surfaktan.

Daftar dibawah ini menunjukkan hubungan nilai HLB dengan bermacam-

macam tipe system :

Nilai HLB Tipe Sistem


3–6 A/M emulgator
7–9 Zat Pembasah (wetting agent)
8 – 18 M/A emulgator
13 – 15 Zat Pembersih (detergent)
15 – 18 Zat Penambah Pelarutan (solubilizer)

Makin rendah nilai HLB suatu surfaktan maka akan makin lipofil

surfaktan tersebut, sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan akan makin

hidrofil.

Cara menentukan HLB ideal dan tipe kimi surfaktan dilakukan

dengan eksperimen yang prosedurnya sederhana, ini dilakukan jika kebutuhan

HLB bagi zat yang diemulsi tidak diketahui. Ada 3 fase:

127
a. Fase I
Dibuat 5 macam atau lebih emulsi suatu zat cair dengan

sembarang campuran surfaktam, dengan klas kimi yang sama,

misalnya campuran Span 20 dan Tween 20. Dari hasil emulsi

dibedakan salah satu yang terbaik diperoleh HLB kira-kira. Bila

semua emulsi baik atau jelek maka percobaan diulang dengan

mengurangi atau menambah emulgator.


b. Fase II
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai HLB di sekitar

HLB yang diperoleh dari fase I. dari kelima emulsi tersebut

dipilih emulsi yang terbaik maka diperoleh nilai HLB yang ideal.
c. Fase III
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai HLB yang ideal

dengan menggunakan bermacam-macam surfaktan atau campuran

surfaktan.dari emulsi yang paling baik, dapat diperoleh campuran

surfaktan mana yang paling baik (ideal).

B. Monografi Bahan
1. Span 80 (4:567)
Nama resmi : Sorbitan monooleat
Nama lain : Sorbitan atau span 80
RM : C3O6H27Cl17
Pemerian : Larutan berminyak, tidak berwarna, bau

karakteristik dari asam lemak.

Kelarutan : Praktis tidak larut tetapi terdispersi

dalam air dan dapat bercampur dengan alkohol.

128
Kegunaan : Sebagai emulgator dalam fase minyak

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

2. Tween 80 (4: 509)

Nama resmi : Polysorbatum 80

Nama lain : Polisorbat 80, tween

Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berwarna,

hampir tidak mempunyai rasa.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%)P

dalam etil asetat P dan dalam methanol P,

sukar larut dalam parafin cair P dan dalam

biji kapas P

Kegunaan : Sebagai emulgator fase air

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

3. Minyak Kelapa
Nama resmi : Oleom cocos
Bobot jenis : 0,845 – 0,905 g/ml
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna atau kuning pucat; bau

khas, tidak tengik.

129
Kelarutan : Larut dalam 2 bagian etanol (95%) P pada suhu 60 0C;

sangat mudah larut dalam kloroform P dan juga mudah larut

dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di

tempat sejuk.
Kegunaan : Sebagai fase minyak.

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. Alat Dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah batang pengaduk,

botol semprot, cawan porselen, gelas kimia 250ml, gelas ukur 100ml,

mixer, penangas air, pencatat waktu, pipet tetes, termometer, tissue roll,

timbangan analitik.

130
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah aluminium foil,

aquadest, span 80, tween 80 dan minyak kelapa.

B. Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Tween 80 dan span 80 ditimbang dalam cawan porselen sesuai

perhitungan untuk membuat emulsi dengan HLB butuh 12, HLB butuh 13,

HLB butuh 14.


3. Dimasukkan 86 ml air suling ke dalam gelas piala 100 ml kemudian

ditambahkan tween 80 yang telah ditimbang dengan HLB butuh 12, lalu

diaduk dan dipanaskan air hingga suhunya 70oC(dinyatakan sebagai fase

air).

4. ke dalam cawan porselen yang berisi span dituangkan minyak kelapa

sebanyak 10 ml kemudian diaduk dan dipanaskan di atas penangas air

sampai suhu 70oC (dinyatakan sebagai fase minyak).

5. Setelah mencapai suhu 70oC pemanasan dihentikan, dan fase minyak

diemulsikan ke dalam fase air sedikit demi sedikit lalu diaduk dengan

pengaduk elektrik (mixer) secara intermitten shaking.

6. Emulsi dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml

7. Cara yang sama dilakukan untuk HLB 13 dan 14 dengan volume air suling

masing-masing 85 ml dan 84 ml.

8. Dilakukan pengamatan selama 5 hari.

131
9. Ditentukan kestabilan emulsi berdasarkan perubahan warna, perubahan

volume dan pemisahan fase.

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. Data Pengamatan

Variasi Konsentrasi Tween 80, Span 80, & Minyak Kelapa


HLB butuh 12 HLB butuh 13 HLB butuh 14

sebanyak 4 gram sebanyak 5 gram sebanyak 6 gram


@100ml emulsi
@100ml emulsi @100ml emulsi
Volume Tween 80 : Volume Tween 80 : Volume Tween 80 :

2,87ml 4,06ml 5,4ml


Volume Span 80 : Volume Span 80 : Volume Span 80 :

1,12ml 0,93ml 0,56ml


Volume Minyak Volume Minyak Volume Minyak

Kelapa : 10ml Kelapa : 10ml Kelapa : 10ml


Volume air : 86ml Volume air : 85ml Volume air : 84ml

132
B. Perhitungan

HLB Span 80 : 4,3

HLB Tween 80 : 15,0

Rumus :

( X−HLBb)
A= x 100
(HLBa−HLBb)

B=(100 − A)

Keterangan :

X = Harga HLB yang diminta (HLB butuh)

A = Harga HLB yang tinggi

B = Harga HLB yang rendah

1. HLB butuh 12 sebanyak 4 gram @100ml emulsi :

( 12−4,3 ) 7,7
Tween 80= x 100 = x 100 =71,96
( 15−4,3 ) 10,7

71,96
Bobot Tween 80= x 4 g=2,87 ml
100

Span 80=( 100 −71,96 )=28,04


28,04
Bobot Span 80= x 4 g=1,12 ml
100
Minyak Kelapa 10% : 10/100 x 100ml = 10ml
Air : 100ml – (10ml + 2,87ml + 1,12ml) = 86 ml

2. HLB butuh 13 sebanyak 5 gram @100ml emulsi :

133
(13−4,3) 8,7
Tween 80= x 100 = x 100 =81,31
(15−4,3) 10,7
81,31
Bobot Tween 80= x 5 g=4,06 ml
100
Span 80=100 −81,31 =18,69
18,69
Bobot Span 80= x 5 g=0,93 ml
100
Minyak kelapa 10% : 10/100 x 100ml = 10ml
Air : 100ml – (10ml + 4,06ml + 0,93ml) =85ml
3. HLB butuh 14 sebanyak 6 gram @100ml emulsi:
(14−4,3) 9,7
Tween 80= x 100 = x 100 =90,65
(15−4,3) 10,7
90,65
Bobot Tween 80= x 6 g=5,4 ml
100
Span 80=100 −90,65 =9,35
9,35
Bobot Span 80= x 6 g=0,56 ml
100
Minyak kelapa 10% : 10/100 x 100ml = 10ml
Air : 100ml – (10ml + 0,56ml + 5,4ml) = 84ml

BAB V

134
PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini praktikkan membuat suatu elmulsi dari campuran 2

elmugaotor dari golongan surfaktan, yakni Tween 80 dan Span 80, namun

dikarenakan terbatasnnya bahan praktikkum (Span 80 tidak terdapat dalam

Laboratorium), maka praktikkan hanya sampai menghitung volume atau menghitung

perbandingan jumlah elmugator yang digunakkan.


Dari hasil perhitungan perbandingan antara Tween 80 dan Span 80, Tween 80

memiliki bobot yang lebih dari pada Span 80 dalam pembuatan elmugator yang HLB

butuhnya telah ditentukkan, hal ini dikarenakan nilai HLB Tween 80 lebih besar dari

pada Span 80 (HLB Tween 80 = 15,0 ; HLB Span 80 = 4,3), jadi HLB butuh adalah

HLB yang ingin dibuat, jika membuat suatu elmugator dengan tipe-tpe tertentu,

misalkan jika HLB butuh = 12 maka tipe elmugator yang ingin dibuat adalah

elmugator tipe M/A atau O/W ; dan jika HLB butuh = 3 maka tipe elmugator yang

ingin dibuat adalah elmugator tipe A/M atau W/O.

BAB VI

135
PENUTUP

A. Kesimpulan
Semakin besar nilai HLB yang dihasilkan maka akan bersifat M/A

atau O/W, dan semakin kecil HLB yang dihasilkan maka akan bersifat A/M

atau W/O.

B. SARAN
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil

yang diperoleh sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA
 Anief, Moh., 2005, Ilmu Meracik Obat Cetakkan XII, Gadja Mada University

Press ; Yogyakarta
 Anonim., 1979, Farmakope Indonesia Edisi-III, Departemen Kesehatan RI ;

Jakarta
 Anonim., 1995, Farmakope Indonesia Edisi-IV, Departemen Kesehatan RI ;

Jakarta
 Syamsuni, H., 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Penerbit

Buku Kedokteran EGC ; Jakarta

136
137
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagian besar komponen penting yang diperlukan dalam peningkatan

kesehatan adalah obat. Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun

nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan bahkan

mencegah penyakit. Proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam

larutan pada suatu medium disebut disolusi.


Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa

merancang sediaan obat supaya mampu merancang terobosan baru dalam

menciptakan suati produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat

maupun efek yangditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai seorang farmasis

kitaharus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obatdari berbagai

segi. Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi. Preformulasi

merupakan metode perancangan suatu riset dalamrangka menyusun konsep baru

yang nantinya harusmampumenghasilkan suatu maha karya yang bernilai


Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan

padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya

138
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut

melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Obat yang telah

memenuhi persyaratan baik dari waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot,

dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek

terapi. Karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau

kapsul.
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam

air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat

tersebutumumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju

absorpsinya.Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah

atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut

menjadi tidak sempurna.


B. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan konstanta kecepatan disolusi tablet amoksisilin dengan

menggunakan air suling sebagai medium disolusi dengan menggunakan alat

disolusi.
C. PRINSIP PERCOBAAN
Penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin 500 mg

berdasarkan kadar amoksisilin yang terdisolusi dalam medium air suling

menggunakan alat disolusi dan penentuan kadarnya dengan menggunakan titrasi

alkalimetri dengan penambahan indikator fenolftalein yang dititrasi dengan

larutan baku NaOH 0,0731 N hingga terjadi perubahan warna dari bening menjadi

merah muda pada menit ke 5, 10 dan 15.

BAB II

139
TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan

padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi

ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke

dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus

diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau

salep. Agar suatu obat diasorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan

pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral

dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel

obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam

hal dimana kelautan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau

medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan

dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi.

Bila suatu tablet atau sediannya obat lainnya dimasukan dalam saluran cerna,

obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet

tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi

granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-

partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara

serentak dengan melepasnya suatu obat dalam bentuk dimana obat tersebut

140
diberikan. Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau

reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami

dua langkah berturut-turut:

1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap

atau film di sekitar partikel.


2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

B. MONOGRAFI BAHAN
Amoxillin ( FI edisi IV halaman 95 )

Pemerian : serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau.

Kelarutan :sukar larut dalam air dan methanol, tidak larut dalam
benzene, dalam karbon tetraklorida dan dalam
kloroform.
pH : antara 3,5dan 6,0
Khasiat : antibiotikum
Penyimspanan :dalamwadahtertutuprapat,padasuhukamarterkendali

BAB III

PROSEDUR KERJA

A. ALAT DAN BAHAN

141
1. Alat
a. Disolution Tester
b. Erlenmeyer 250 ml
c. Gelas piala
d. Gelas ukur
e. statif dan klem
f. Buret
g. pipet volume 10 ml.
2. Bahan
a. air suling
b. indikator fenolftalein
c. amoksisilin
B. CARA KERJA
1. Bak disolusi diisi dengan aquadest hingga ¾ nya.
2. Suhu diatur 37˚C
3. Alat diaktifkan (on/off suhu)
4. Panaskan 900 ml aquadest sampai suhu 37˚C
5. Air dimasukkan ke dalam labu disolusi
6. Sampel dimasukkan ke dalam keranjang
7. Alatnya dinyalakan (on/off kecepatan)
8. Batang pengaduk mulai bergerak, mulai dihitung waktunya.
9. Digunakkan beberapa waktu : menit ke -5,15,25,35,45
10. Sampel dipipet 10 ml dengan pipet volume, dimasukkan ke dalam

erlenmeyer
11. Dihitung kadarnya dengan NaOH yang sebelumnya ditambah PP
12. Titrasi dilakukan duplo
13. Setelah dipipet, dicukupkan isi buret dicukupkan lagi dengan NaOH

142
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

A. DATA PENGAMATAN

Menit Volume NaOH


5
10
15

Ket :
Hanya melakukan pengamatan sederhana

BAB V

PEMBAHASAN

143
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat melarut. Dalam penentuan

kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat berbagai macam proses disolusi

yang melibatkan zat murni supaya partikel padat terdisolusi. Molekul solut pertama-

tama harus memisahkan diri dari permukaan padatan, kemudian bergerak menjauhi

permukaan memasuki pelarut, tergantung pada kedua proses ini dan cara bagaimana

transport berlangsung. Perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Ada 3 dasar

model fisika yang dapat menggambarkan mekanisme kecepatan disolusi yang terlibat

dalam zat murni, yaknimodel lapisan difusi (diffusion layer model), model halangan

antar muka (interfacial barier model), dan model dankwert (Dankwert model).
Laju disolusi intrinsic dapat didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat

aktif murni yang diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa

mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju

pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang digunakan. Dengan

demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat aktif tidak dipengaruhi oleh faktor

formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran kelarutan inharen obat tersebut di dalam

medium disolusi.
Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang

mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam

mg/cm2 menit. Obat-obat tersebut umumnya meliputi obat-obat yang kecepatan

disolusinya sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat lambat

yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat kecil.

144
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

145
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat melarut. Laju disolusi

intrinsic dapat didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif murni yang

diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa mempengaruhi laju

disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju pengadukan, pH, dan

kekuatan ionik dari medium disolusi yang digunakan.


Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang

mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam

mg/cm2 menit.

B. SARAN
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang

diperoleh sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI; jakarta

Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit

Universitas Indonesia.

146

Anda mungkin juga menyukai