Anda di halaman 1dari 85

16/9/2018 BAMBANG S.

OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Oleh Syafran Sofyan

Pendahuluan.

Notaris itu adalah Pejabat Umum yang satu-satunya  berwenang


membuat akta otentik, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan
perundang-undangan yang berlaku; yang kewenangannya diberikan
oleh Negara, sebagian urusan keperdataan, yang bersifat independen,
dan statusnya bukan pegawai negeri sipil, dan bukan pejabat Negara,
maka itu Notaris tidak digaji, atau mendapat tunjangan pensiun.
Ketika seseorang memangku Jabatan Notaris,  ia tidak perlu lagi
mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh
Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk
dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab
sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris
otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan
kewenangan membuat akta di bidang pertanahan (Pasal 15 ayat 2f
UUJN).
   
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris mengenai PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN
NOTARIS berbunyi selengkapnya:

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum,
atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 1/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan


dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada
dalam penyimpanan Notaris.
 (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Majelis Pengawas Daerah (MPD), di dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya, haruslah perpedoman kepada Peraturan Menkumham
Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta
Akta dan Pemanggilan Notaris.  Dalam hal ini apabila penyidik,
penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses peradilan
mengambil fotokopi minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada minuta atau protokol Notaris dalam penyimpanan
Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis
Pengawas Notaris Daerah (MPD) ; Permohonan tersebut tembusannya
di sampaikan kepada Notaris; dan permohonan sebagaimana tersebut
di atas harus memuat alasan pengambilan fotokopi Minuta Akta
dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris. Izin pemeriksaan
terhadap notaris hanya berlaku dalam kapasitasnya sebagai seorang
notaris saja, artinya izin pemanggilan hanya diperlukan jika dugaan
tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris, seperti yang telah diatur di dalam Peraturan
Menkumham Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang
Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.  Adapun
pengaturan di dalam Permenkumham tersebut yang berkaitan
dengan adanya dugaan tindak pidana, yang dapat disetujui oleh
MPD, adalah apabila ada dugaan tindak pidana (keterangan palsu) 
berkaitan langsung dengan minuta dan atau surat-surat yang
dilekatkan  dengan minuta atau protokol, ada ahli waris  pembuat
akta yang menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan akta pembuat
akta telah meninggal dunia, di samping belum daluwarsa
penuntutannya menurut KUHP (Pasal 76 s/d Pasal 82), ada
penyangkalan keabsahan tandatangannya, ada dugaan pengurangan
atau penambahan  dari minuta atau ada dugaan Notaris melakukan
pemunduran tanggal Akta (antidatum), diluar hal-hal tersebut maka
MPD harus menolak atau tidak menyetujui terhadap Surat

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 2/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Permohonan dari Penyidik, Jaksa, atau Hakim tersebut. Sebelumya


Notaris yang bersangkutan juga harus didengar keterangannya,
dengan menunjukan bukti-bukti formil dalam kaitannya dengan Akta
yang telah dibuatnya.

Permasalahan
Permasalahan sekarang, antara lain masih adanya pemanggilan
terhadap Notaris oleh penyidik, penuntut umum, dan atau hakim
melalui  MPD yang kedua kalinya, dalam kasus yang sama, padahal
dalam panggilan pertama, sudah ada keputusan MPD, bahwa surat
permohonan dari penyidik tersebut tidak disetujui?
Sekali lagi perlu ditegaskan,  bahwa  di Era globalisai dan dalam
masyarakat  modern yang  semakin kompleks, alasan  bahwa akta
notaris seolah-olah tidak dapat diproses, digugat atau dituntut
(untouchable) dan harus dilindungi hukum “at all cost” karena
notaris dalam memberikan pelayanan hanyalah merupakan pihak
yang menuangkan keinginan para pihak yang menghadap 
kepadanya, bukan kehendak dirinya sendiri dan bersikap netral atau
tidak berpihak  kepada salah satu penghadap,  memang harus
ditegakkan, kecuali notaris telah melakukan hal-hal negatif seperti
turut melakukan atau menganjurkan atau membantu terjadinya 
suatu tindak  pidana. Dengan demikian alasan klasik tersebut harus
dinilai kasus-per-kasus atas dasar “concrete and circumstancial
evidences” sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.  Notaris
sebagai “pejabat umum” yang memiliki kualitas intelektual yang
memadai dan bukan sekedar “tukang” atau “juru tulis” semata-mata 
harus juga berkewajiban menegakkan prinsip “good governance” atau
asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of good
administration) yang meliputi : asas-asas yang mengutamakan
kepastian hukum; tertib peyelenggaraan negara; kepentingan umum;
keterbukaan; profesionalitas; proporsionalitas; efisisensi, efektivitas
dan akuntabilitas.    
          Hal ini terutama dalam membuat akta relaas atau akta pejabat
(ambtelike akten) yang hanya ditandatangani notaris dan tetap
bersifat otentik sekalipun tidak ditandatangani oleh para pihak
misalnya laporan RUPS ,  sesuai dengan pengertian “relaas” sebagai
“bericht, verslaag” atau  “report, written account” (laporan atau

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 3/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

proses verbal seorang pejabat). Dalam hal terjadi kesalahan, hal ini
bisa merupakan malpraktek (negligence) dengan parameter di atas
akibat kurang pengetahuan atau kurang pengalaman dengah
konsekuensi sanksi admnistrasi, perdata atau etik, namun bisa
berakibat dengan konsekuensi sanksi pidana menurut KUHP apabila
memenuhi syarat-syarat pemidanaan tersebut di atas atas dasar
kecurangan yang sengaja dilakukan notaris, karena notaris harus
“jujur, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum”.
Pembahasan
Pasal 1868 KUHP Perdata Jo. Pasal 1 angka (1) UUJN yang
menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang mempunyai
wewenang umum untuk membuat akta otentik. Menurut Pasal 1 ayat
(7) UUJN Jo. Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata akta otentik adalah
alat pembuktian yang sempurna dan merupakan bukti yang lengkap
dan mengikat karena kebenaran  dari yang tertulis di dalamya; jadi
kalau ada orang atau pihak lain, termasuk Penyidik menyangkal atas
kebenaran dari akta tersebut, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan sebaliknya, apa-apa yang ia sangkalkan terhadap akta
tersebut.
Pasal 16 huruf (a) UUJN menegaskan bahwa notaris diharapkan
dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga
kepentingan pihak yang tekait dalam perbuatan hukum; Notaris juga
adalah jabatan kepercayaan yang wajib menyimpan rahasia mengenai
akta yang dibuatnya, kecuali undang-undang memerintahkannya
untuk membuka rahasia kepada yang memintanya. Hal ini dilindungi
oleh Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf  e UUJN yang
mengatur “hak ingkar” (verschoningsrecht); Dalam kaitan dengan
menjaga rahasia isi akta, juga berlaku juga kepada MPD, di dalam
hasil pemeriksaannya (Pasal 71 huruf c UUJN); jadi MPD harus juga
dapat merahasiakan hasil pemeriksaannya terhadap notaris kepada
pihak lain, termasuk berkas-berkas, dan atau fotocopi
minuta/salinan yang diminta dari notaris untuk keperluan
pemeriksaan. Untuk menghindari hal-hal tersebut diatas, sebaiknya
dalam pemeriksaan terhadap notaris yang terindikasi adanya dugaan
tindak pidana oleh penyidik, sebaiknya cukup Minuta akta, dan atau
salinan akta diperlihatkan saja oleh notaris kepada MPD, dan atau

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 4/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

penyidik. Dalam praktek masih ada MPD yang setiap pemeriksaan


terhadap notaris meminta minuta akta dicopikan terlebih dahulu dan
dilegalisir oleh notaris untuk diserahkan ke MPD? Hal tersebut
menurut saya sudah dapat dikategorikan melanggar UUJN,
khususnya tentang rahasia jabatan notaris, dan juga harus di ingat,
bahwa MPD juga merupakan Subjek TUN, yang mana kalau tidak
berhati-hati, juga dapat dituntut oleh pihak-pihak yang
berkepentingan yang merasa dirugikan.
Jadi dalam kaitan dengan adanya permintaan terhadap Grosse Akta,
salinan Akta, dan Kutipan akta (Pasal 54 UUJN), maka baik Notaris,
maupun MPD, haruslah berhati-hati di dalam memenuhi permintaan
tersebut, kalau tidak tentunya dapat digugat atau dituntut oleh para
pihak; Dalam hal ini Notaris hanya dapat memberikan,
memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, salinan
Akta atau Kutipan Akta, hanya kepada orang yang berkepentingan
langsung pada akta (para pihak), ahli waris, atau yang memperoleh
hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Jadi dalam hal ini, khususnya kepada MPD, harus berhati-hati, dan
selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, di dalam mengambil keputusan, maupun di dalam
menanggapi permohonan penyidik, jaksa, atau hakim, termasuk
terhadap laporan masyarakat.  Jangan sampai pula masing-masing
anggota MPD, termasuk Ketua sekalipun mengambil keputusan di
luar prosedur, maupun keputusan lain diluar rapat pleno, karena
setiap anggota MPD mempunyai hak yang sama, dan setiap
keputusan berdasarkan kolektif, kolegial, hasil dari rapat pleno.
           Bagaimana pemanggilan terhadap Notaris oleh MPD yang
kedua kalinya, dalam kasus yang sama, padahal dalam panggilan
pertama, sudah ada keputusan MPD, bahwa surat permohonan dari
penyidik tersebut tidak disetujui?
Terhadap Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPD) yang telah
memeriksa Notaris dalam memenuhi panggilan penyidik, Penuntut
Umum, atau Hakim, dan telah diputus oleh MPD, maka kasus
tersebut tidak dapat diajukan kedua kalinya (asas ne bis in idem),
agar adanya kepastian hukum. Keputusan MPD tersebut bersifat
final, dan mengikat, untuk itulah pula agar MPD di dalam mengambil
keputusan haruslah hati-hati, cermat, teliti, dan harus sesuai dengan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 5/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Notaris juga


dalam hal ini dapat menjelaskan kepada MPD, bahwa kasus tersebut
sudah pernah diperiksa, dan diputus, agar tidak perlu lagi untuk
memenuhi permintaan pihak penyidik tersebut. MPD dalam peristiwa
ini agar segera  menjelaskan melalui surat tertulis kepada pihak
penyidik bahwa terhadap kasus yang sama terhadap orang yang
sama, kasus tersebut tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya
(asas nebis in idem), sebab kalau tidak, maka pihak penyidik dapat
menggunakan aturan yang memberlakukan kalau lewat 14 hari dari
surat diterima, maka pihak MPD dianggap menyetujui, berarti
penyidik dalam hal ini dapat segera memanggil langsung Notaris yang
bersangkutan.
Keberadaan Jabatan PPAT
Berbagai cara telah dilakukan untuk menemukenali permasalahan
dan sumber permasalahan pertanahan serta solusi penyelesaiannya,
namun konflik dan sengketa pertanahan tersebut masih terus
berlangsung. Kegelisahan dan kegalauan merasuki benak kita semua,
kenapa permasalahan yang paling pokok dalam keberlangsungan
kehidupan manusia itu tidak pernah terselesaikan dengan baik. 
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan misalnya, lebih sering
menimbulkan ekses lain, seperti perlawanan dari pihak yang kalah,
bahkan tidak jarang terjadi tindakan anarkis dalam setiap
pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dalam kondisi demikian, Prof. Maria S.W
Sumardjono,dalam bukunya Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Jakarta
tahun 2008 halaman 123, menyarankan agar perlu terus diupayakan
penyelesaian melalui cara-cara penyelesaian sengketa alternatif.
Upaya penyelesaian melalui jalur Pengadilan seyogyanya ditempuh
sebagai upaya terakhir bila semua upaya telah gagal.
 Salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah pertanahan,
adalah ketidakmampuan UUPA menjadi landasan hukum untuk
mengatasi berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sendiri,
sehingga menganggap perlu untuk segera dibentuk Undang-Undang
Pertanahan yang baru, yang dianggap dapat menjadi solusi
penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. Walaupun
sesusungguhnya beberapa pendapat yang mengemuka, bahwa UUPA

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 6/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

masih dianggap relevan untuk menjadi dasar hukum pertanahan


nasional, sehingga yang dibutuhkan hanyalah penyempurnaan
peraturan pelaksanaannya tanpa harus menggantinya dengan
undang-undang yang baru. Misalnya, adanya inisiatif dari Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengajukan RUU tentang Hak
atas Tanah sebagai salah satu bagian dari UUPA, yaitu Hak-hak atas
Tanah.

Selain identifikasi tentang penyebab dan upaya penyelesaian konflik


pertanahan, salah satu tema yang dianggap penting dan juga terkait
dengan masalah pertanahan, adalah keberadaan profesi PPAT di
tengah kontroversi payung hukum. Tema tersebut menjadi menarik
menyusul keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" Undang-undang No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat
UUJN), yang menyatakan bahwa "Notaris berwenang pula membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan". Penjelasan dari Pasal 15
ayat (2) huruf "f" UUJN tersebut dinyatakan cukup jelas.
Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari
berbagai kalangan, khususnya pihak yang berkepentingan seperti
Pemerintah, DPR, Notaris dan PPAT, serta Badan Pertanahan
Nasional sendiri maupun masyarakat secara luas. Padahal, tujuan
dibuatnya suatu undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya dimaksudkan untuk dapat memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan.

Demikian juga dengan PPAT sebagai jabatan yang memang sejak


semula dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan
hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut.
Eksistensi PPAT harus memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas
sehingga akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan tersebut,
tidak dipermasalahkan di kemudian hari dan tidak menimbulkan
kerugian kepada masyarakat yang berhubungan dengan jabatan
tersebut.
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak
berlakunya Peratusan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 7/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan


Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA), walaupun tidak
disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut
sebagai Pejabat/ Namun jika melihat cakupan kewenangan dari
Pejabat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah tersebut
semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah.
Sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang dimaksud adalah
Pejabat yang bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan.
Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk
dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semual telah
ditentukan dalam PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam PP tersebut dikenal dengan istilah pejabat dengan lingkup
kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No 10 Tahun
1961) yang mengatur mengenai Pejabat, yaitu:
1. Pasal 19: "Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah. menggadaikan
tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai
Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria".
2. Pasal 38: "Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib
menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya,
menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib
pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.
Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah no 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 (TLN 2344).
Dalam Pssal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut, disebutkan bahwa
yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 8/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Departeman Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang


cukup tentang peraturan- peraturan Pendaftaran Tanah dan
peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan
peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang
pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh
Menteri Agraria.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, belum
disebut secara eksplisit bahwa Pejabat yang dimaksudkan disebut
dengan nama PPAT. Penyebutan secara eksplisit pertama kali
ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria No 10
Tahun 1961: ".....apabila untuk suatu kecamatan belum ditunjuk
seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana "ambsthalve" menjadi
Pejabat Pembuat Akta Tanah.....".
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai
peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut diatur secara
detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan "pejabat".
Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan
formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dnegan
ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala
Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tecetak hanya
dapat dibeli di kantor-kantor pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena
jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar
dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk
pengisian formulir atau blangko akta tersebut.
Peraturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Menurut peraturan ini
disebutkan bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus
dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah
dicetak 
lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 9/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh


Badan PertanahanNasional.
Mengapa demikian? Sebab fungsi blangko akta PPAT secara tegas
dinyatakan sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan Menteri Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga
syarat ini harus disesuaikan dengan maksud pelaksanaan tugas
Jabatan PPAT tersebut.
Pasal dalam UUPA yang terkait dengan keberadaan Jabatan PPAT
tersebut dapat ditemukan di Pasal 26 ayat (1) UUPA dan Pasal UUPA.
Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual-beli, tukar-menukar
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang
menginstruksikan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, yang kemudiandiganti dengan PP No. 24 Tahun
1997.
UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT,
namun penyebutan tentang adanya Pejabat yang akan bertindak
untuk membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai
tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 PP No 10 Tahun 1961, sebagai
peraturan pelaksanaan UUPA. Dengan menggunakan metode
interpretasi sistematis, serangkaian ketentuan yang berkaitan satu
sama lain tersebut sudah cukup untuk memberikan pemahaman,
bahwa keberadaan Jabatan PPAT bersumber pada UUPA, sehingga
memiliki landasan hukum yang kuat. Metode interpretasi sistematis
adalah penafsiran yang menghubungkan antara pasal yang satu
dengan pasal yang lainnya dalam suatu peraturan perundang-
undangan atau dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
serta membaca penjelasannya sehingga dapat dipahami maksudnya.
Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai
pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai
berikut:

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 10/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,


memuat ketentuan tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur
dalam PAsal 10 ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak
sebagaimanan ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta
PPAT yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan
Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud alam Pasal Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan: "Sebagai bukti bahwa
telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat
Pembuat AKta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan
tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran
peraliran hak dalam pewarisan cukup didasarkan pada surat
keterangan kematian pewaris atau surat wasiat atau surat
keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Di dalam UU Rumah Susun yang baru, yaitu UU Nomor 20 tahun
2011 tentang Rumah Susun tidak ditemukan penyebutan PPAT
dalam pasal-pasalnya. Penyebutan PPAT ada di pasal penjelasannya
saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa proses jual-beli yang
dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan
melalui akta jual-beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu disebutkan
bahwa AJB dibuat dihadapan "notaris PPAT" untuk SHM Sarusun,
dan "notaris" untuk SKBG (sertifikat kepemilikan bangunan gedung)
Sarusun sebagai bukti peralihan hak.
2. Undang-Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Peroleh Hak atas
Tanah dan Bangunan. Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa
PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak
atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak  menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
(selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) menegaskan siapa PPAT
dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 4, yaitu: "Pejabat Pembuat  Akta Tanah (PPAT) yaitu
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 11/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut


peraturan perundang-undangan yang berlaku".
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah
No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai pejabat
umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
tentang Pandaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961,
juga menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 24: "Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya
disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah tertentu".
6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37
Tahun 1998) menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat
umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang
dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas secara
tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum dalam Pasal 1
angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, yaitu: "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini".
Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya
mempertegas kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud
dengan pejabat umum dalam UU tersebut tidak dijelaskan. Istilah
pejabat umum diterjemahkan dari istilah "openbare Ambtenaren"
yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia
(reglement op het Notaris-ambt in Indonesie) S.1860-3 sebagaimana
telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101
dan pasal 1868 BW.
Menurut E.Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Ikhtiar,

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 12/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Jakarta, tahun 1963, halaman 159, "jabatan" (ambt) adalah suatu


lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang
diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan
umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
"lingkungan pekerjaan tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang
sebanyak-aanyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat
mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat
duurzam (tidak dapat diubahbegitu saja). Oleh karena itu, maka
jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan
tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi diberikankepada
jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan
kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak
dan kewajiban, walaupun pejabatnya berganti-ganti.
Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang
Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37
Tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada
Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997, yang berinduk pada UUPA,
bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah". Di dalam pasal 7 ayat (1) PP
Nomor 24 tahun 1997 disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri.

Sedangkan "Peraturan Pemerintah" yang dimaksud adalah Peraturan


Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat AKta Tanah, serta peraturan pelaksanaannya yang diatur di
dengan Peraturan menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 tahun 1999
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta Tanah.
Pada Konsideran Menimbang huruf "b" PP No. 37 Tahun 1998
tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan
Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan
pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 13/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

pendaftaran.
Dengan demikian, maka pembentukan PP No. 37 Tahun 1998
tersebut adalah memberikan dasar hukum dalam rangka
pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk membantu sebagian kegiatan
pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 37
Tahun 1998, yaitu: "PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan
dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu".
Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37/1998, yaitu:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Dalam ketentuan dalam pasal selanjutnya dinyatakan bahwa untuk
melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas
mengenai hak atas atas dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
yang terletak di dalam daerah kerjanya. Sedangkan "PPAT Khusus"
hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang
disebut secara khusus dalam penunjukkannya.
Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah
itu disebutkan di dalam pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997
yaitu, "Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan."
Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 14/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas, semakin


mengukuhkan kedudukan Jabatan PPAT sebagai suatu jabatan
tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai
peraturan perundang-undangan.
KONTROVERSI PAYUNG HUKUM  
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya
keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu
jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan
kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam
peraturan perundangundangan.
Menyusul diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004,
kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena dinyatakan
telah melekat secara otomatis pada Jabatan Notaris berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut. Ketentuan hukum
tersebut menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-
undangan yang mengatur kewenangan PPAT sebagai pejabat yang
diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah atau yang berkaitan
dengan tanah.
Dengan demikian jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang
sama, dapat diselesaikan dengan menggunakan asas hukum, yaitu:
a. Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang-
undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atu undang-
undang yang lama yang mengatur hal yang sama.
b. Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi
dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
Kedua asas hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan
peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya,
apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPA kedudukannya lebih
rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah.
Tetapi di sisi lain, dapat juga menggunakan asas hukum "lex
specialis derogate legi generale", sehingga peraturan khusus akan
mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama.
Artinya PP No. 37 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur Jabatan
PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
Dalam kondisi demikian, mana yang harus diikuti, tidak memberikan
penyelesaian dan kepastian hukum. Untuk itu memang dibutuhkan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 15/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

adanya harmonisasi  hukum dalam pembuatan suatu peraturan


perundang-undangan.
Kontroversi terhadap kedudukan PPAT sebagai jabatan inhern dalam
Jabatan Notaris dipicu oleh keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f"
UUJN tersebut. Ini kelihatannya akan segera berakhir karena dalam
RUU Jabatan Notaris pengganti Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, ketentuan tersebut sudah dihapus
dalam Panja V tanggal 9 Januari 2012. Sementara itu Fraksi Partai
Golkar tidak setuju dan menghendaki tetap pada rumusan UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam
UUJN tersebut, walaupun sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan
Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah
berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua
jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada
umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun
selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN
sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang
menyatakan:
"Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, menyimpan akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang".
Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN
sendiri mengaku keberadaan suatu jabatan tertentu yang telah
ditetapkan dengan undang-undang. Misalnya pembuatan akta yang
pemindahan hak atas tanah dan/atau akta pembebanan Hak
Tanggungan yang telah ditentukan dalam UU Hak Tanggungan yang
harus dibuat dengan akta PPAT.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris,

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 16/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

pada huruf "g" yang melarang Notaris merangkap jabatan sebagai


Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.

Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat


perbedaan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT. Pengakuan
adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam
Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15
ayat (2) huruf "f" itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis
melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga
wilayah jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga
tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat
(2) huruf "f" maka sendirinya kita akan mengakui bahwa pada
jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan
yang diberikan oleh UUJN tersebut.
Penjelasan pasal tersebut yang menyatakan "cukup jelas", membawa
pesan bahwa ketika seseorang telah diangkat menjadi Notaris, maka
secara otomatis dalam jabatan Notaris juga melekat kewenangan
untuk membuat akta di bidang pertanahan, yang selama ini menjadi
kewenangan PPAT.

Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan


Notaris, maka ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu
yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan
kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat dalam
Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai
pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta
di bidang pertanahan.
Namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat
(2) huruf "f" tidak memberikan kepastian hukum. karena tidak
mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang
dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan
bagaimana kewenangan di bidang pertanahan itu dilaksanakan.
Karena penjelasan pasal tersebut menyatakan sudah jelas. Padahal
beberapa pertanyaan dapat saja muncul, misalnya, apakah wilayah
jabatan Notaris secara otomatis juga menjadi wilayah jabatan PPAT.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 17/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Jika demikian, mengapa harus ada lagi ketentuan Pasal 17 huruf "g"
dalam UUJN tersebut.
Selain itu secara kelembagaan, juga akan menimbulkan
permasalahan, sebab selama ini dua jabatan tersebut berada pada
instansi pemerintahan yang berbeda termasuk pengangkatan dan
pemberhentiannya serta hal hal yang terkait dengan pelaksanaan
jabatan tersebut, termasuk pengawasannya.

Memang dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan


menimbulkan penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal
tersebut, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai maksud
pasalnya karena dianggap cukup jelas, termasuk bagaimana
ketentuan itu dilaksanakan secara operasional. 
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f"
tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan
Notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya
menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud
dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang
pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang
berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT.
Misalnya, Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa.

Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN, sampai saat ini tidak
dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan
perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama. Dalam
kondisi demikian, maka terjadi kondisi "contra conseutudinem non
obligat" yaitu peraturan yang bertentangantidak mengikat.
Bagaimanapun kontroversi harus diakhiri, sehingga kita harus
sepakat untuk membedah polemik ini secara jernih berdasarkan
kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik. Apalagi saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU Jabatan
Notaris sebagai penggnati UU No. 30 Tahun 2004. Demikian halnya
jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka
memang sudah pada saatnya kita merekomendasikan untuk

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 18/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

mengajukan RUU Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh
pertimbangan yang emosional atas reaksi dari adanya polemik
terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan
bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas
eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum
masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf "e" Undang-
undangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang harus berisi"pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarkat".
Selain itu, suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti
yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011, yaitu:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.
Sementara materi peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantraan, bhinneka tunggal ika, keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keteritban
dan kepastian hukum, dan/ atau keseimbangan, keserasian dan
keselarasan (Pasal 6).
Jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa Jabatan PPAT tetap terpisah dengan
Jabatan Notaris, 
sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan
otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat
jabatan PPAT.
Penutup.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 19/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

               Didalam menyikapi terhadap pemanggilan dari Penyidik,


Penuntut Umum, atau Hakim adanya dugaan tindak pidana kepada
Notaris, melalui MPD setempat, hendaklah Notaris didalam hal
tersebut tidak usah terlalu takut, sepanjang Notaris tersebut telah
menjalankan jabatan profesinya secara baik dan benar. Kedepan
perlu kiranya agar Notaris, dan juga penyidik, mempelajari, dan
mengetahui sejauh mana tugas dan kewenangannya, agar tidak
melakukan kesalahan, atau perbuatan melanggar hukum, sehingga
diharapkan akan terjalin hubungan yang serasi. Dan juga buat MPD
yang duduk sebagai anggota, didalam menjalankan tugas, jabatannya
haruslah berpegang/berdasarkan UUJN, dan Permenkumham, agar
betul-betul memahami terhadap peraturan tersebut, dan juga
mengetahui tugas dan kewenangan Notaris/PPAT didalam
menjalankan tugas jabatannya tersebut, sehingga di dalam memutus
kalau ada surat permintaan dari penyidik, penuntut umum atau
hakim adanya dugaan tindak pidana terhadap notaris/PPAT, betul-
betul dapat dijalankan dengan baik, berdasarkan peratur perundang-
undangan yang berlaku, dan tidak mudah mendapat tekanan,
ancaman, dari pihak manapun. Perlu juga kedepan ditingkatkan
peran dari Organisasi Profesi (INI) agar memberikan sosialisasi
kepada semua anggota dalam kaitan dengan proses penyidikan, baik
di MPD, maupun di Kepolisisan, dan Pengadilan, dan juga di dalam
menjalankan jabatannya Notaris juga mematuhi Kode Etik Profesi, di
samping Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Kepada para penyidik Polri, juga harus memperhatikan Tugas, dan
kewenangan Notaris/PPAT, sesuai Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, dan MOU yang telah dibuat oleh kedua Organisasi
antara INI, IPPAT, dengan Kapolri, agar terjalin kerja-sama yang
harmonis, khususnya dalam menjalankan penegakan hukum.

[1] Cerama Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Pertanahan, Oktober,


Tahun 2012 di Bareskrim Mabes Polri.
[1] Nara-Sumber Lemhannas RI,Tenaga Profesional Bidang Hukum &
HAM Lemhannas RI, Dosen Pasca sarjana Hukum Univ.Jayabaya,
Dosen Magister Kenotariatan Univ Brawijaya, Dosen/Nara Sumber di
Kemhan, MA/Pengadilan, Mabes TNI (S2/Pasca Hukum), Dosen

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 20/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Fak.Hukum Univ.Semarang,Dosen Diklat Perbankan/BUMN,Nara-


Sumber Jimly School at Law & Government, P
MACAM2 JENIS PENIPUAN !!
PASAL 378 KUHP Tentang PENIPUAN
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Unsur-unsur penipuan pokok tersebut dapat dirumuskan:
a. Unsur-unsur objektif:
1. perbuatan: menggerakkan atau membujuk;
2. yang digerakkan: orang
3. perbuatan tersebut bertujuan agar:
a) Orang lain menyerahkan suatu benda;
b) Orang lain memberi hutang; dan
c) Orang lain menghapuskan piutang.
4. Menggerakkan tersebut dengan memakai:
a) Nama palsu;
b) Tipu muslihat,
c) Martabat palsu; dan
d) Rangkaian kebohongan.
b. Unsur-unsur subjektif:
1. Dengan maksud (met het oogmerk);
2. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
3. Dengan melawan hukum.
2. Penipuan Ringan (379)
Penipuan ringan telah dirumuskan dalam pasal 379 KUHP yang berbunyi:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang diserahkan
itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang atau piutang itu tidak lebih
dari Rp. 250,00 dikenai sebagai penipuan ringan, dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900,00
Dalam masyarakat kita binatang ternak dianggap mempunyai nilai yang
lebih khusus, sehingga mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi dari

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 21/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

binatang lainnya. Akan tetapi, apabila nilai binatang ternak tersebut


kurang dari Rp. 250, 00,- maka bukan berarti penipuan ringan.
Adapun yang dimaksud hewan menurut pasal 101 yaitu:
- Binatang yang berkuku satu: kuda, keledai dan sebagainya.
- Binatang yang memamah biak: sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan
sebagainya.
Sedangkan harimau, anjing dan kucing bukan merupakan hewan yang
dimaksud dalam pasal ini.
Unsur-unsur penipuan ringan adalah:
a. Semua unsur yang merupakan unsure pada pasal 378 KUHP
b. Unsur-unsur khusus, yaitu:
1. benda objek bukan ternak;
2. nilainya tidak lebih dari Rp. 250, 00-
Selain penipuan ringan yang terdapat menurut pasal 379 di atas, juga
terdapat pada pasal 384 dengan dinamakan (bedrog) penipuan ringan
tentang perbuatan curang oleh seorang penjual terhadap pembeli adalah
dengan rumusan:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383 dikenai pidana paling lama 3
bulan dan denda paling banyak Rp. 900,00- jika jumlah keuntungan tidak
lebih dari Rp. 250.00.
3. Penipuan dalam Jual Beli.
Penipuan dalam hal jual beli digolongkan menjadi 2 bentuk, yaitu;
penipuan yang dilakukan oleh pembeli yang diatur dalam pasal 379a dan
kejahatan yang dilakukan oleh penjual yang diatur dalam pasal 383 dan
386.
a. Penipuan yang dilakukan oleh pembeli.
Menurut pasal 379a yang berbunyi:
Barang siapa menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan untuk
membeli benda-benda, dengan maksud supaya dengan tanpa pembayaran
seluruhnya, memastikan kekuasaanya terhadap benda-benda itu, untuk
diri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama
4 tahun.
Dalam bahasa asing kejahatan ini dinamakan flessentrekkerij. Dan baru
dimuat dalam KUHP pada tahun 1930. Kejahatan ini biasanya banyak
terjadi di kota-kota besar, yaitu orang yang biasanya membeli secara bon

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 22/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

barang-barang untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan maksud


sengaja tidak akan membayar lunas.
Model yang dilakukan biasanya dengan mencicil atau kredit. Dengan
barang yang sudah diserahkan apabila pembeli tidak membayarnya lunas,
sehingga merugikan penjual. Dalam hukum perdata hal ini disebut wan
prestasi. Akan tetapi, apabila sudah dijadikan mata pencaharian atau
kebiasaan seperti maksud semula tidak ingin membayar lunas, maka
disebut tindak pidana.
Unsur-unsur kejahatan pembeli menurut pasal 379a yaitu:
a. Unsur-unsur objektif:
1. Perbuatan membeli;
2. Benda-benda yang dibeli;
3. Dijadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.
b. Unsur-unsur Subjektif:
1. Dengan maksud menguasai benda tersebut untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain;
2. Tidak membayar lunas harganya.
Agar pembeli tersebut bisa menjadikan barang-barang tersebut sebagai
mata pencaharian maka setidaknya harus terdiri dari dua perbuatan dan
tidaklah cukup apabila terdiri dari satu perbuatan saja. Akan tetapi, hal ini
tidak muthlak harus terdiri dari dari beberapa perbuatan.
b. Penipuan yang dilakukan oleh penjual.
Adapun bunyi pasal 383 adalah:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan,
seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk
dibeli;
2. mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan,
dengan menggunakan tipu muslihat.
Yang dimaksud dari menyerahkan barang lain daripada yang disetujui
misalnya; seseorang membeli sebuah kambing sesuai dengan kesepakatan.
Akan tetapi, penjual mengirimkan kambing tersebut dengan kambing yang
lebih jelek. Sedangkan yang dimaksud dari pasal 383 (2) yaitu: melakukan
tipu muslihat mengenai jenis benda, keadaan benda atau jumlah benda.
Dan apabila keuntungan yang diperoleh oleh penjual tidak lebih dari Rp.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 23/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

250,00. Maka penipuan tersebut masuk pada penipuan ringan.


c. Penipuan yang dilakukan oleh penjual kedua.
Hal ini disebutkan dalam pasal 386 yang merumuskan sebagai berikut:
1. barang siapa menjual, menyerahkan, atau menawarkan barang
makanan, minuman atau obat-obatan, yang diketahui bahwa itu dipalsu,
dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
2. bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika nilainya atau
faidahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan bahan lain.
Adapun yang ditekankan dalam pasal ini adalah apabila setelah
dicampurnya barang makanan, minuman, atau obat-obatan tersebut
berkurang nilai atau faidahnya, atau bahkan nilai atau faidah barang
tersebut hilang sama sekali, maka kasus ini termasuk dalam kasus pidana
dan termasuk pemalsuan barang. Oleh karena itu, tidak menjadi kasus
pidana apabila setelah dicampur tidak berkurang atau hilang nilai dan
faidahnya, maka tidak melanggar pasal ini.
Unsur-unsur dari kejahatan penipuan ini adalah:
a. Unsur-unsur objektif:
1. perbuatan: menjual, menawarkan, dan menyerahkan.
2. objeknya : benda makanan, benda minuman dan benda obat-obatan
3. benda-benda itu dipalsu.
4. menyembunyikan tentang palsunya benda-benda itu.
b. Unsur-unsur subjektif:
Penjual yang mencampur tersebut mengetahui bahwa benda-benda itu
dipalsunya. Dalam hal ini penjual tidak dikenai hukuman apabila ia
mengutarakan bahwa benda yang dipalsukan tersebut diberitahukan
terhadap pembeli dan pembeli membeli barang tersebut berdasarkan
kemauannya.
Adapun perbedaan antara pasal 383 dan 386 adalah:
1. kejahatan dalam pasal 386 adalah khusus hanya mengenai barang
berupa: bahan makanan dan minuman atau obat-obatan, sedang dalam
pasal 383 mengenai semua barang.
2. pasal 386 mengatakan tentang “menjual, menawarkan atau
menyerahkan” barang (belum sampai menyerahkan barang itu sudah dapat
dihukum), sedangkan pasal 383 mengatakan “menyerahkan”, (supaya

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 24/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

dapat dihukum barang itu harus sudah diserahkan).


Selain itu, juga melanggar pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang salah satu poinnya berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan
atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.”
Juga melanggar pasal 11 Undang-Undang yang sama, yang berbunyi:
“Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu; menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-
olah tidak mengandung cacat tersembunyi; tidak berniat untuk menjual
barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang
lain; tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah
yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; tidak menyediakan
jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjual jasa yang lain; menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa
sebelum melakukan obral.
4. Penipuan dalam Karya Ilmiah dan Lain-Lain
Tindak pidana membubuhkan nama atau tanda palsu pada karya-karya di
bidang sastra, di bidang ilmu pengetahuan dan di bidang seni telah diatur
dalam pasal 380 KUHP, yang menyatakan:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda
paling banyak lima ribu rupiah: (1) barang siapa menaruh nama atau tanda
secara palsu di atas atau di dalam sebuah kesusastraan, keilmuan,
kesenian, atau memalsukan nama atau tanda yang asli dengan maksud
untuk menimbulkan kesan bahwa karya tersebut berasal dari orang yang
nama atau tandanya ditaruh di atas atau di dalam karya tersebut, (2)
barang siapa dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan,
mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia karya-
karya sastra, ilmiah, seni atau kerajinan yang di dalam atau di atasnya
dibubuhi nama atau tanda palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 25/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

telah dipalsu seakan-akan itu benar-benar buah hasil orang yang nama
atau tandanya telah ditaruh secara palsu
-----------------------------------------------------------
Ketika Transaksi Perdata Jadi Pidana (2)
Dari suatu hubungan perdata yang kemudian menjadi perkara
pidana seringkali memang awalnya murni hubungan bisnis yang
dilandasai itikad baik. Namun, ketika bisnis sedang surut dan mulai
terjadi default (gagal bayar), tak sedikit yang lantas memilih melapor
ke polisi ketimbang mengajukan gugatan di pengadilan. Padahal
tujuan dari pemidanaan bukan untuk mendapatkan ganti rugi. Maka
dari itu, kenali upaya hukumnya.
Pada prinsipnya suatu perjanjian hutang piutang adalah hubungan
keperdataan antara debitur dengan kreditur. Dalam hal pihak yang
berhutang kemudian melanggar janji pengembalian uang, maka hal
tersebut merupakan peristiwa ingkar janji (wanprestasi).
Wanprestasi ini pada dasarnya dapat terjadi karena 4  hal:

1. Melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan


berdasarkan perjanjian;
2. Terlambat memenuhi kewajiban;
3. Melakukan kewajiban (misalnya pembayaran) namun masih
kurang atau baru sebagian; atau
4. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam


ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan
Curang. Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan
penipuan adalah:

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 26/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan


melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau
supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan
(memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat,
rangkaian kebohongan)

Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama


untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai penipuan. Hal ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang
menyebutkan:
“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada
cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk
menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Dalam kasus yang terkait dengan adanya perjanjian, maka harus
diketahui apakah niat untuk melakukan kejahatan dengan
menggunakan suatu nama palsu, tipu daya atau rangkaian
kebohongan, sudah ada sejak awal, sebelum dibuatnya perjanjian
(atau diserahkannya uang tersebut). Apabila terjadi pelanggaran
terhadap kewajiban dalam perjanjian setelah dibuatnya perjanjian itu,
maka hal tersebut merupakan wanprestasi.

Beberapa contoh kasus Perdata jadi Pidana

1.     Pinjaman modal usaha digunakan untuk membeli mobil

Praktik penyalahgunaan uang yang dipinjam namun tidak sesuai


dengan peruntukannya, dapat juga dituntut dengan tindak pidana
penggelapan. Misalnya, jika kesepakatan awal pinjaman uang untuk
modal usaha, namun ternyata digunakan untuk membeli mobil
pribadi, maka si penerima uang yang membeli mobil tersebut dapat
dituntut atas dasar dugaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372
KUHP).
       2.    Pengurusan Izin Tidak Dilakukan, Uang tidak
dikembalikan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 27/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dalam beberapa kasus, suatu kewajiban dalam perjanjian yang tidak


berhasil dipenuhi, namun uang pembayaran tidak dikembalikan juga
dapat menjadi perkara dugaan tindak pidana penipuan dan/atau
penggelapan. Sebagai contoh, apabila ada pihak yang berjanji akan
mengurus suatu izin usaha, namun hingga waktu yang telah
ditetapkan ternyata izin usaha yang dijanjikan tidak kunjung terbit,
dan ternyata uang pembayaran izin tersebut tidak dikembalikan, hal
tersebut juga dapat diajukan tuntutan dugaan tindak pidana
penipuan dan atau penggelapan.
       3.    Memberikan Cek kosong, yang sejak awal diketahui tidak
ada dananya.
Misalnya Allen memberikan pinjaman dana kepada Brodi, kemudian
Brodi akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan
menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati (tanggal
mundur) antara Allen dan Brodi. Apabila Brodi menerbitkan cek yang
disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada dananya,
padahal dia telah menjanjikan kepada Allen bahwa cek tersebut ada
dananya, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai
perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat.
Hal tersebut tidak akan sampai ke ranah pidana, apabila Brodi tahu
cek tersebut memang ada dananya pada saat diterbitkan. Namun
ketika jatuh tempo dananya tidak ada, maka perbuatan Brodi dapat
dikategorikan sebagai wanprestasi.
Dari uraian kasus-kasus di atas, perkara pidana yang di-
kamuflasekan dengan perjanjian bisnis, selalu berawal dari niat jahat
dan itikad tidak baik dari si pelaku. Hal ini tentu akan berbeda
dengan suatu pihak yang menjadi berhutang karena adanya
kegagalan dalam bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu
mengembalikan hutang.
Namun demikian, apabila si pihak berhutang beritikad baik untuk
membayar hutangnya tersebut, maka sangat disarankan untuk
membuat kesepakatan penyelesaian pembayaran hutang dan jangan
malah menghindari atau melarikan diri. Karena itikad tidak baik
tersebut, sangat berpotensi menjadi persoalan pidana.

Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 28/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam KUHP diatur pada


Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, yaitu berupa
penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda
yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap
harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur
subyektif.

Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai


berikut :
Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus
pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki /
mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran
orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
Unsur benda / barang;
Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus
merupakan milik orang lain;
Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan
perbuatan yang dilarang;
Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan
yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :


 Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan
maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga
olehnya” dan sebagainya; dan
Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam
perumusan pasal maupun tidak.

Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan


terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395
KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak
pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 29/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun


menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling larna 4 (empat) tahun”.

Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis delik
penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
    Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu
orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan
kata-kata : “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
arang lain secara melawan hukum"; dan
    Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b)
Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut
menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan
piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan
memakai nama palsu / martabat atau sifat palsu / tipu muslihat /
rangkaian kebohongan.

Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku


kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan
pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah
benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-
unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur
obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur
subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan
(opzet) secara teori adalah mencakup makna  willen en
witens(menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat
dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :

 bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara


melawan hukum
    “menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui / menyadari” bahwa
perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan
orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda /
memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).
    “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk
menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda /
memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 30/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu
muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya


tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih lagi jika
antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula memang
meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian
murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan
bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini
hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif
kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin
menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan
tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut
menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi,
harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang
bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak
menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis
tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang
bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan


adalah merupakan delik formil - materiel, maka secara yuridis teoritis
juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam
menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut,
haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh
cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378
KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek
pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus
wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik
(sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah


mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada
dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP.
Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak
pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 31/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“

Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara


yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok
berupa :
  Unsur Subyektif Delik
  berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang
lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata :
“dengan sengaja”; dan
  Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
  (a) Unsur barang siapa;
  (b) Unsur menguasai secara melawan hukum;
  (c) Unsur suatu benda;
Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan,


Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan
membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri
dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak
pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur
obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya,
kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-
implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa
memang :

    “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda


secara melawan hukum
  “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu
adalah sebuah benda
    “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau
seluruhnya adalah milik orang lain
    “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena
kejahatan.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 32/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut


perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus
dipahami juga sebagai berikut :

          Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda


yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur
melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang
harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain
tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van
Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal
ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan
dalam pergaulan masyarakat”.
          Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai
pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek
cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya
dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda
bergerak”.
          Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan,
sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah
mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus
ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan
benda yang dikuasainya.

Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan


wan prestiasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat
ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam realitas
kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan
berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan
prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang
hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual
indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara
proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan
“pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun
penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau
tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi
perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan
pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 33/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah


dipraktekkan.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG


PERBEDAAN WAN PRESTASI, PENIPUAN DAN PENGGELAPAN

Oleh: M. Abdul Kholiq, SH.MHum.

 ) Ketua Departemen Pidana dan Staf Pengajar pada Fakultas


Hukum UII Yogyakarta
Pendahuluan
Manusia, selain merupakan makhluk pribadi dengan segala
keunikan personality-nya,
ia adalah makhluk sosial yang secara kodrati tercipta untuk
berkehidupan bersama. Kehidupan yang saling membutuhkan, bahu
membahu dan bekerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
untuk tujuan  survive, adalah realitas yang menunjukkan bahwa
manusia merupakan makhluk yang  dependen  (salingbergantung)
dengan sesama.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 34/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan hukum yang


dilakukan oleh setiap manusia sebagai subyek hukum untuk tujuan
di atas, baik antara dua orang atau lebih, dapat terjadi dalam segala
bentuk, patut atau tidak patut menurut parameter nilai susila, legal
atau illegal menurut kriteria hukum dan lain sebagainya.
Secara yuridis, suatu hubungan hukum yang dilakukan
seseorang dengan orang lain yang semula sangat bersifat keperdataan
(individual contract), seringkali dapat berkembang menjadi problem
yang kompleks karena mengandung aspek yuridis lain, misalnya
dimensi kepidanaan. Peristiwa hukum berupa perjanjian atau
hubungan hutang piutang yang dilakukan antara dua orang misalnya,
ketika realisasi dari perjanjian atau hubungan hukum hutang piutang
tersebut tidak sesuai rencana semula atau terjadi "pengkhianatan" di
antara mereka, seringkali berubah menjadi kasus-kasus pidana
sebagai penipuan, penggelapan, dan sebagainya. Jika sudah
demikian, maka pengetahuan dan kehati-hatian tentang aspek-aspek
hukum dalam suatu tindakan hukum menjadi sangat urgen untuk
dipahami oleh setiap manusia sebagai subyek hukum.
Sesuai dengan tema tulisan yang diminta yakni mengenai
Perspektif Yuridis tentang Perbedaan Wan Prestasi, Penipuan, dan
Penggelapan, maka untuk menguraikannya dalam ini kiranya perlu
dikemukakan ilustrasi kasus yang menggambarkan kemungkinan
terjadinya kompleksitas persoalan hukum terkait suatu tindakan
hukum yang dilakukan seseorang. Kasus tersebut adalah sebagai
berikut :
Sekitar 6 (enam) bulan yang lalu yakni pada April 2010, Ali pernah
memberikan modal usaha kepada temannya bernama Budi. Awalnya,
Budi datang kepada Ali dengan rangkaian informasi usaha bisnis yang
meyakinkan, sehingga akhirnya Ali tergerak untuk memberikan modal
sebesar Rp: 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk membuka
usaha Budi tersebut. Dalam perbincangan, antara lain Budi
menyatakan bahwa setelah satu bulan kemudian, dia akan
memberikan keuntungan dari usahanya itu kepada Ali sebesar 40%
dari modal yang diberikan, dan jika tidak ada untung modal Ali akan
tetap di kembalikan oleh Budi setelah satu bulan kemudian. Untuk
lebih membangun komitmen usaha dan mengikat perjanjian, butir-butir
kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian di atas kertas

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 35/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

bermaterai Rp. 6.000,-. Tapi kenyataannya, hingga saat sekarang ini


(yakni bulan September 2010), usaha Budi tidak ada keuntungan dan
modal Ali belum juga dikembalikan. Bahkan Budi selalu "menghilang"
saat hendak dikonfirmasi oleh Ali terkait modal dan usaha bisnisnya
tersebut. Melihat realitas dan gelagat yang demikian, Ali melaporkan
Budi ke aparat kepolisian dengan tuduhan telah melakukan Penipuan.
Bahkan dalam laporan tersebut Ali melapisi tuduhannya kepada Budi
dengan dakwaan sebagai pelaku tindak pidana Penggelapan.

Dalam kasus di atas, terlihat Ali sama sekali tidak


mempedulikan bahwa awal mula hubungan dan tindakan hukum
yang terjadi antara dirinya dengan Budi sesungguhnya adalah
hubungan hukum keperdataan yakni perjanjian yang tidak dapat
dipenuhi dengan baik oleh Budi. Namun, apakah secara yuridis sikap
Ali yang langsung Budi sebagai pelaku kejahatan Penipuan dan
Penggelapan tersebut, memang bisa dan tepat untuk dilakukan?
Tidakkah hakekat kasus di atas adalah masalah wan prestiasi dalam
suatu perjanjian? Apa sesungguhnya batas-batas hal yang
membedakan antara perbuatan wan prestasi dengan perbuatan
penipuan dan penggelapan yang sudah merupakan suatu kejahatan /
tindak pidana? Berikut paparan singkat tentang hal-hal tersebut.

Wan Prestasi
Dalam perspektif hukum perdata, masalah wan prestasi bisa
diidentifikasi kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter
sebagai berikut :
      Dilihat dari Segi Sumber Terjadinya Wan Prestasi
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk
mendalilkan suatu subjek hukum telah melakukan wanprestasi,
harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW / KUHPerdata
yang pada pokoknya menyatakan bahwa: "Supaya terjadi
persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat
syarat yaitu : adanya kesepakatan para pihak yang
mengikatkan dirirrya; adanya kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang
disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang."

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 36/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Secara umum, wan prestasi biasanya terjadi karena debitur


(orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu
sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah
disepakati, yaitu :
a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau
b. tidaktepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau
c. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang
dijanjikan.

      Dilihat dari Segi Timbulnya Hak Menuntut Ganti Rugi


Penuntutan ganti rugi pada wan prestasi diperlukan terlebih
dahulu adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari
kreditor (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio,
ingeberkestelling). Hal ini penting karena Pasal 1243 BW /
KUHPerdata telah menggariskan bahwa “perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk
tidak berbuat sesuatu”. Kecuali jika  ternyata dalam perjanjian
tersebut terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur
langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan
somasi(summon)  atau peringatan. Ketentuan demikian juga
diperkuat oleh salah  satu Yurisprudensi Mahkamah Agung
tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan  "apabila perjanjian
secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan
perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan
alpa memenuhi kewajiban (baca: wan prestasi) sebelum hal itu
secara tertulis oleh pihak kreditur ".[1]

      Dilihat dari Segi Tuntutan Ganti Rugi


Mengenai perhitungan tentang besaranya ganti rugi dalam
kasus wan prestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat
terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237B
W / KUHPerdata yang menegaskan bahwa : "Pada suatu
perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu meniadi
tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai
untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang
itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 37/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

tanggungannya".Selanjutnya ketentuan Pasal 1246 BW /


KUHPerdata menyatakan,  "biaya, ganti rugi dan bunga, yang
boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya".
Berdasarkan pasal 1246 BW / KUHPerdata tersebut, dalam wan
prestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur
berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian
kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian
tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst). Dengan
demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wan
prestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci
dan jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan
masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan melawan
hukum. Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus
sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 BW / KUHPerdata, yakni
tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan
tidak perlu perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada
hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril.
Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan
kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel
in de oorpronkelijke toestand),  herstel in de vorige toestand).
Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak
diperlukansecara terinci, beberapa Yurisprudensi Mahkamah
Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi
dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum  ini, seperti
terlihat pada Putusan tertanggal 7 Oktobet 1976 yang
menyatakan“besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan
hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni
didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua
belah pihak.”[2]Demikian pula Putusan Mahkamah Agung
tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa  "soal
besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal
kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan
suatu ukuran".[3]

Deskripsi Ringkas tentang Penipuan dan Penggelapan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 38/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam KUHP diatur


pada Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, yaitu
berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta
benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana
terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan
unsur subyektif.
Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal
sebagai berikut : (1) Unsur
perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus
pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki /
mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran
orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya; (2) Unsur benda /
barang; (3) Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda
yakni harus merupakan milik orang lain; (4) Unsur upaya-upaya
tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;
(5) Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya
perbuatan yang dilarang.
Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas : (l) Unsur
kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan
maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga
olehnya” dan sebagainya; dan (2) Unsur melawan hukum baik yang
ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.
[4]
Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan
terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395
KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak
pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun
dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun" .
Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis
delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : 1.
Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 39/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan


kata-kata :  “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
arang lain secara melawan hukum"; dan 2. Unsur Oyektif Delik yang
terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang
lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi
hutang / menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan
orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat atau sifat
palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.
Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai
pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus
melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan
meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut
telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur
subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks
pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan
pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna  willen
en witens  (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat
dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :[5]
a.         bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum
b.                “menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui / menyadari”
bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk
menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan
suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang
kepadanya (pelaku delik).
c.          “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk
menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda /
memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah
dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu,
tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan
sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya.
Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula
memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu
perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana
dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik
penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 40/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin


menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan
tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut
menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi,
harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang
bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak
menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis
tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang
bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana
penipuan adalah merupakan delik formil - materiel, maka secara
yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan
dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku
tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan
disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan
dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana
dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula
realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara
simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan
penipuan.
Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah
mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada
dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP.
Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak
pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam
memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara
yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok
berupa : 1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan petaku untuk
menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal
undang-undang melalui kata :  “dengan sengaja”;  dan 2. Unsur
Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur
menguasai secara melawan hukum; (c) Unsur suatu benda; ( d) Unsur

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 41/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan (e) unsur benda
tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku
penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan
pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah
benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-
unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif
maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur
subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet),
melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar
fakta hukum) terdakwa memang :[6]
a.        “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu
benda secara melawan hukum
b.        “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia
kuasai itu adalah sebuah benda
c.        “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian
atau seluruhnya adalah milik   orang lain
d.        “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan
karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan,


menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang
harus dipahami juga sebagai berikut :
1.  Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda
yang milik orang lain tersebut secara   melawan hukum. Unsur
melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan
hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda
milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula
dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna
secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan
sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan
masyarakat”.[7]
  Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku
penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung
terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat
dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah  “benda
bergerak”.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 42/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

3.    Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan,


sebagian atau seluruhnya        merupakan milik orang lain,
adalah mengandung arti (menurut berbagai  Arrest Hoge Raad)
bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata
antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat


perbuatan wan prestiasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka
dapat ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam
realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan
berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan
prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang
hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual
indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara
proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan
“pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun
penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau
tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi
perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan
pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang
signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah
dipraktekkan.
Wallahu a'lamu bis showwaab.

Yogyakarta, 30 September 2010

M. Abdul Kholiq,SH.MHum.

[1] ) Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 186.


K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959
[2] )  Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 196.
K/Sip/1974 tertanggal 7 Oktober 1976

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 43/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

[3] )  Lihat Putusan Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1226.


K/Sip/1977 tanggal 13 April 1978
[4] ) Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda, Bayu
Media Publishing, Malang, 2006
[5] ) P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap
Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989, Hlm. 142
[6] ) Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Edisi Ke-5, PT. Radja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hlm. 106.
[7]  )  Ibid,  Hlm. 108. R. Soesilo dalam  KUHP serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,  Penerbit Politeia, Bogor,
1981, HLM. 223, lebih jauh menjelaskan bahwa perbuatan pelaku
penggelapan yang menjadikan ia dapat dinilai secara yuridis telah
berlaku “memiliki” barang yang ada padanya tersebut (baca:
menguasai) ialah jika ia telah memperlakuan barang tadi seolah
miliknya sendiri. Misal menjual, menggadaikan, memakan, dan lain
sebagainya. Lihat pula Arrest Hoge Raad tanggan 16 Oktober 1905
dan tanggal 26 Maret 1906.

Rabu, 19 Januari 2011


Pertanyaan:
Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan
Jabatannya
Unsur-unsur dan/atau aspek-aspek pidana apa sajakah yang
dihadapi oleh seorang notaris dalam menjalankan jabatannya? Terima
kasih.
dwi yanti
 
 
Jawaban:
Amrie Hakim, S.H.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan


Notaris(“UUJN”)  tidak memuat ketentuan pidana bagi notaris. Tapi,
hal itu tidak berarti notaris kebal hukum ketika melakukan
pelanggaran hukum dalam menjalankan jabatannya.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 44/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dari pemberitaan di  hukumonline.com, diketahui bahwa dalam


menjalankan jabatannya notaris berpotensi melakukan beberapa
tindak pidana di antaranya:
1.            Pemalsuan dokumen atau surat  (pasal 263  dan  pasal
264KUHP).
Contoh 1: Pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas
tanah dan bangunan (“BPHTB”) dan surat setoran pajak (SSP).
Lebih jauh simak artikel  Dirjen Pajak Lakukan Pembersihan
terhadap Notaris Nakal

Contoh 2: Membuat akta padahal mengetahui syarat-syarat untuk


membuat akta tersebut tidak dipenuhi. Misalnya, dalam
pembuatan perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Notaris
tetap membuat akta perjanjian tersebut, meskipun tidak
memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah. Konsekuensi
pembuatan akta seperti itu oleh notaris bisa menyebabkan
seseorang hilang hak. Lebih jauh simak artikel  Ketika Notaris
Dipanggil Polisi)

2.            Penggelapan  (pasal 372  dan  pasal 374 KUHP). Misalnya,


penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien. Lebih jauh simak
artikel Tak Ada Hukuman Buat Notaris Nakal).

3.      Pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan


dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modusnya,
pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat
dalam akta notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku
pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika berbentuk
saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga
mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana.
Karenanya, notaris sebagai profesi bertugas membuat akta
pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai
kemungkinan terjadinya pencucian uang. Lebih jauh simak artikel-
artikel  Organisasi Notaris Harus Buka Akses Luas kepada
PPATKdan  Notaris Diminta Waspadai Pencucian Uang Lewat
Pembelian Saham.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 45/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

4.      Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (pasal 242


KUHP). Contohnya, kasus keterangan palsu yang diberikan
seorang notaris di Jawa Timur yang menjadi saksi dalam sebuah
perkara pidana. Lebih jauh simak artikel  Majelis Pengawas
Notaris Pusat Putuskan Perkara Pertama.

Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No. 732)
2.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3.            Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

NOTARIS PELAKU TINDAK PIDANA


PASAL 266 ayat  (1) KUHP Jo. PASAL 55 ayat (1) ke-1 KUHP ?

Oleh: Alvi Syahrin

I.                        Menarik untuk menyimak Putusan Mahkamah Agung


RINomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak
Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi
hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, yang
menjatuhi hukuman yang lebih tinggi dan menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Medan No. 3036 / PID.B / 2009 / PN. Mdn dan
menambah hukuman bagi sang notaris dari hukumannya 1 (satu)
tahun menjadi 2 (dua) tahun.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 46/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap sang Notaris, yaitu


Primair melanggar Pasal diancam pidana dalam Pasal 266 Ayat (1) jo
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dan Subsidair melanggar Pasal 263
Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1KUH Pidana.

Tulisan ini, tidak sampai masuk kedalam pokok perkara,


namun hanya membahas isu hukumnya, yaitu mungkinkah seorang
Notaris yang membuat Akte Para Pihak (Akte partie) dapat di jatuhi
hukuman pidana berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55
ayat (1) ke- 1 KUHP?

II.         Pasal 266 ayat (1) KUHP,  berbunyi:


                  “Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya
harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat
menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”

Pasal 55 ayat (1)ke-1  KUHP, berbunyi:


“1.  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1                      mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan
yang turut serta melakukan perbuatan.”;

Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun


yang menjadi  unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa; b Menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik; c.
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran,
kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu: a, mereka
yang melakukan, b. Mereka yang menyuruh melakukan, dan c.
Mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
   Barang siapa;

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 47/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

      Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta


otentik;
   Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta
itu seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran;
   Pelakunya:
      Mereka yang melakukan;
      Mereka yang menyuruh melakukan
      Mereka yang turut melakukan.

Berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP, kemudian dikaitkan dengan Putusan Mahkamah
Agung  RINomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang
menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut
dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Medan  Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari
2010,tersebut dapat dikemukakan, “barangsiapa” sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP dan pelaku tindak pidana
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
tersebut adalah Notaris. Apakah sudah tepat bahwa yang dimaksud
sebagai pelaku dalam Pasal 266 ayat (1) adalah seorang Notaris?

III.            Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek
(pelaku), yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan
kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting
(bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal
ini Notaris, ia (notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP, akan tetapi  para pihak pembuat akte
otentiktersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah
yangsebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.

                   Pejabat notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku


(menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi
ia hanyalah “orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan
Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh
memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik,
sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 48/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek),


sedangkan pada  yang disuruh tidak terdapat kehendak  untuk
memasukkan keterangan palsu dan seterusnya.

Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang


datang menghadap notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus
dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau
memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang
bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta notaris sebagai akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga
para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya
dan notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat
di hadapan atau oleh notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau
menyatakan akta notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai
atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau
pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
merupakan pejabat umum    yang diantaranya mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik. Selanjutya, Notaris dalam
menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan
demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan
tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN
merupakan  lex specialis  dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris
dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869
KUHPerdata.

Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas


jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para
penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan
memperhatikan aturan hukum yang berlaku”. Kemudian
Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702
K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris
fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan
dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut.
Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil
apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan
notaris tersebut”;
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 49/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dengan demikian, menjadikan perbuatan notaris dalam


melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara
pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalahanpahaman atau
salah menafsirkan tentang kedudukan notaris dan juga akta notaris
adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang


diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris
untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang
menghadap notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan
keinginan dari para pihak tidak mungkin notaris untuk membuat
akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu
dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan
akta tersebut palsu, serta tidak berarti notaris memasukkan atau
mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara
materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para
pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan
adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan
perdata.

Menafsirkan atau menerapkan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55


ayat (1) ke -1 KUHP tentang kedudukan Pejabat Notaris sebagai
“pelaku” turut serta menyuruh menempatkan  keterangan palsu ke
dalam akta autentik, merupakan suatu kekeliruan (karena telah
terjadi  error in persona). Kedudukan Pejabat Notaris sebagaimana
dalam dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP) tidak lebih sebagai “orang yang disuruh melakukan”. “Orang
yang disuruh melakukan” menurut ilmu hukum pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, sehingga oleh
karenanya tidak dapat dihukum.

Unsur  “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266


ayat (1) KUHP, harus diartikan sebagai pelaku atau subyek    tindak
pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pelaku atau subjek dari tindak
pidana Pasal 266 ayat (1) KUHP, yaitu yang menyuruh memasukkan
keterangan palsu kedalam suatu akta autentik ...”. “Yang
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 50/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

menyuruh”memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte


otentik” ditafsirkan ada pada si penyuruh (pelaku/subjek) dalam hal
ini para pihak yang membuat akta autentik tersebut, sehingga
pembuat akta otentik (notaris) hanyalah sebagai “orang yang disuruh
melakukan memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
autentik ...”, sebab dalam dunia notaris dikenal adagium bahwa setiap
orang yang datang menghadap notaris telah benar berkata tidak
berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu
kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi
tanggung jawab yang bersangkutan.

Pejabat Notaris, akan membuat akta (akta partie) dari para


pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak,
notaris tidak akan dapat membuat akta apapun, dan
notaris membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau
keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau
diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan notaris. Akta
yang dibuat oleh Notaris tersebut merupakan akta partie atau akta
yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak agar notaris
mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh
pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang
dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau
dituangkan dalam suatu akta notaris

Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh


melakukan” dalam membuat akta otentik yang dibuat tersebut berupa
akta partie, oleh karena tidak mungkin seorang notaris akan
menyuruh dirinya sendiri untuk melakukan perbuatan
“menyuruhmenempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik ...”, kalaupun terjadi “adanya keterangan palsu yang
dimasukkan ke dalam suatu akta autentik”, notaris hanya dapat
dinyatakan sebagai “orang yang disuruh melakukan”.

 Unsur “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266


ayat (1) KUHP adalah “orang yang menyuruh melakukan
memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. “Orang yang
menyuruh melakukan memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”
dalam akta partie yaitu para pihak dalam akta  partie tersebut,
sedangkan notaris hanya sebagai “orang yang disuruh melakukan
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 51/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

memasukkan keterangan palsu dalam akta ...”. Penerapan hukum


yang benar mengenai unsur barang siapa dalam Pasal 266 ayat (1)
KUHP, tidak dapat dikenakan kepada seorang Notaris. Notaris tidak
dapat dinyatakan sebagai “orang” yang memenuhi unsur “barang
siapa” menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, artinya notaris dalam hal ini
hanyalah sebagai “orang yang di suruh melakukan” bukan “orang
yang menyuruh melakukan”.

Selanjutnya, “penyertaan” sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1)


ke-1 KUHP yang kemudian dihubungan dengan Pasal 266 ayat (1)
KUHP, menunjukkan telah terjadi kekeliruan  menerapkan  peraturan
hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana
mestinya.Ketentuan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, mengklasifikasikan
“pelaku tindak pidana” yaitu mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang ikut serta melakukan tindak pidana.
Sehingga jika seorang Notaris didakwakan sebagai pelaku
“Penyertaaan” yang dihubungkan dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP,
maka dapat dikontruksikan bahwa Notaris tersebut adalah sebagai
pelaku:
          “melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam
suatu akta otentik ....”;
     “menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu
ke dalam suatu akta otentik ...”;
          “ikut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam
suatu akta otentik ...”.

Jika seorang Notaris dinyatakan sebagai “orang yang melakukan


menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik ...”, adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang
Notaris, oleh karena:
      akta yang dibuat berupa akta partie, yaitu akta    yang dibuat oleh
notaris berdasarkan atas permintaan para pihak untuk mencatat atau
menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan
dengan tindakan hukum.
   “orang yang menyuruh melakukan” menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP, yaitu adalah mereka yang melakukan semua unsur tindak
pidana, artinya:
        jika dikaitkan dengan kedudukan seorang notaris yang membuat
akte partie, adalah suatu hal yang berlebihan dan tidak mungkin bisa
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 52/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

dilakukan, sebab tidak mengkin terdakwa akan menyuruh ke dua


belah pihak untuk menempatkan keterangan palsu di dalam akta
otentik yang dibuat oleh notaris tersebut.
    jika Notaris, dinyatakan sebagai “orang yang menyuruh melakukan
menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik ...”, juga suatu hal yang mustahil dilakukan oleh seorang
Notaris, oleh karena ke dua belah pihak yang datang kepada Notaris
untuk membuatkan akta tersebut, dan hal tersebut merupakan
kesepakatan ke dua belah pihak untuk dituangkan di dalam akta,
serta suatu hal yang aneh juga notaris sebagai pejabat yang
berwenang merupakan orang yang mempunyai kehendak melakukan
tindak pidana menyuruh ke dua belah pihak untuk menempatkan
keterangan palsu pada akta yang mereka kehendaki bersama, karena
keterangan yang ada di dalam akta   merupakan kesepakatan ke dua
belah pihak.
    jika Notaris dinyatakan sebagai “orang yang turut serta menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik...”, juga
suatu hal yang mustahil dilakukan, oleh karena menempatkan
keterangan palsu tersebut harus ada kesadaran kerjasama antara
Notaris dengan para pihak, dan kerjasama tersebut harus secara fisik.
Suatu pertanyaan bahwa mungkinkah para pihak pembuat akta akan
mau disuruh Notaris untuk menempatkan keterangan palsu dalam
akta yang mereka buat dan akta itu merupakan kesepakatan mereka
bersama yang merupakan kehendak para pihak, dan apa untungnya
maupun apa yang menjadi motifasi Notaris tersebut untuk menyuruh
menempatkan keterangan palsu dalam akta tersebut.

IV.                  Menjatuhkan hukuman terhadap seorang Notaris yang


membuat akta partie berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP (apalagi di
junctokan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP), merupakan keliruan
dalam menerapkan hukum dan telah terjadi kriminalisasi terhadap
pekerjaan/tugas notaris.

 
 

MEKANISME PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG DIDUGA


MELAKUKAN TINDAK PIDANA
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 53/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Oleh:
BRIGADIR JENDERAL POLISI Drs. ZULKARNAIN ADINEGARA
(KAROWASSIDIK BARESKRIM POLRI)

I. PENDAHULUAN
Notaris merupakan profesi yang sangat terhormat dimata masyarakat
dengan kewenangannya yang spesifik dalam membuat akta-akta autentik,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang, tentunya dalam
membuat akta-akta autentik tersebut seorang Notaris telah memahami dan
mempelajari dengan seksama sesuai apa maksud kehendak dari para pihak
yang menghadapnya dengan mempedomani Standar Operasional Prosedur
(SOP) dalam pembuatan akta autentik dimaksud, sehingga menghasilkan
produk berupa akta autentik yang valid dan sesuai dengan keinginan para
pihak.
Namun demikian dalam implementasinya adakalanya Notaris khilaf atau
bahkan berbuat ekstrim, untuksengaja demi memenuhi kepentingan-
kepentingan pribadinya, seperti memasukkan keterangan palsu dalam akta
autentik yang berkaitan langsung dengan minuta atau surat-surat yang
dilekatkan dengan minuta atau protokol, atau bila ada ahli waris pembuat
akta yang menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan akta tersebut,
yangbersangkutan sesungguhnya telah meninggal dunia atau ada
penyangkalan atas tanda tangan para pihak dll,akibatnya produk akta
autentiknya tersebut dikemudian hari menjadi bermasalah dan menjadi
ranah perbuatan pidana, sehingga harus dilakukan proses penyidikan oleh
penyidik Polri.
Dalam melaksanakan penyidikan tersebut, penyidik seyogyanya melakukan
penyelidikan terlebih dahulu atas peristiwa yang diduga terkait dengan
profesi Notaris dimaksud guna memastikan bahwa memang telah terjadi
peristiwa pidana dengan saksi A, B, C, D dan terlapor atau tersangka yang
berkaitan dengan profesi Notaris. Proses penyelidikan tersebut diakhiri
dengan produk yang bernama Laporan Hasil Penyelidikan (LHP), yang mana
dalam kesimpulan akhirnya akan mengatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan peristiwa pidana ataukah merupakan bukan peristiwa
pidana.Apabila peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 54/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

akan dihentikan proses penyelidikannya, sedangkan apabila peristiwa


tersebut merupakan tindak pidana, maka selanjutnya penyidik akan
meningkatkan statusnya dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan
dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan menentukan
siapakah tersangkanya serta membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) yang akan dikirimkan ke Kantor Jaksa Penuntut Umum
(JPU) dimana yurisdiksi darilocus delicti peristiwa tersebut terjadi.
Dalam proses penyidikan dilakukan antara lain: pemanggilan, pemeriksaan,
penggeledahan, penyitaan, pemberkasan dan pengiriman berkas perkara ke
Kejaksaan. Yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah peran Notaris
pada saat ada dugaan melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan
profesinya, yaitu dalam hal pemeriksaan, baik sebagai saksi maupun
sebagai tersangka dan proses penyitaan terhadap minuta akta yang ada
dalam protokol Notaris. Bagaimana penyidik melakukan pemeriksaan
terhadap Notaris untuk mencari bukti materiil, baik sebagai saksi maupun
sebagai tersangka. Selanjutnya bagaimana penyidik akan melakukan
penyitaan terhadap barang bukti berupa akta atau surat-surat yang
dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris.
II. MEKANISME PENYIDIKAN
1. Penyidikan secara umum
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam haldan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Secara umum dalam pelaksanaan proses penyidikan dapat dilihat sesuai
dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Penyidik Polri dalam melaksanakan
penyidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana, akan
bekerja dengan kegiatan:
a. Penyelidikan, meliputi:

1. pengolahan TKP;
2. pengamatan (observasi);
3. wawancara (interview);
4. pembuntutan (surveilance);
5. penyamaran (undercover);

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 55/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

6. pelacakan (tracking) dan 


7. penelitian/analisis dokumen

b. Penyidikan, meliputi:

1. penyelidikan;
2. pengiriman SPDP;
3. upaya paksa;
4. pemeriksaan;
5. gelar perkara;
6. penyelesaian berkas perkara;
7. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum
8. penyerahan tersangka dan barang bukti, dan
9. penghentian penyidikan

2. Penyidikan terhadap Notaris saat ini


Terdapat perbedaan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana yang
berkaitan dengan profesiNotaris, terutama dalam hal pemanggilan
danpemeriksaannya.Bedanya pada tata cara atau mekanisme
pemanggilannya, yaitupenyidik harus minta persetujuan Majelis
Kehormatan Notaris (MKN) untuk memeriksa Notaris yang diduga
melakukan tindak pidana. Ada tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk
memperoleh sinyal jawaban “persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris
(MKN). Saat ini untuk memanggil Notaris, maka penyidik harus merujuk
pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 66
yang mengatakan:
a. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau
hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris, berwenang:

1. Mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang


dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris, dan
2. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta atau protokol Notaris yang berada dalam

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 56/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

penyimpanan Notaris.

b. Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan;
c. Majelis Kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima
atau menolak permintaan persetujuan;
d. Dalam hal Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan
Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
Tempo 30 (tiga puluh) hari yang diberikan Undang-Undang kepada Majelis
Kehormatan Notaris (MKN) tersebut adalah waktu yang final, artinya dalam
tempo 30 (tiga puluh) hari tersebut MKN harus secara maratonmemeriksa
dan mengklarifikasi Notaris dimaksud guna menentukan “disetujui” atau
“tidak disetujui” permintaan pemeriksaan oleh penyidik atas Notaris
dimaksud. Apabila disetujui apa kriterianya dan kalau tidak disetujui apa
alasannya, ini yang harus terukur dan dapat diterima secara akal sehat
serta sesuai fakta hukum yang ada. Padahal seperti diketahui bersama
bahwa salah satu azas hukum dalam Hukum Acara Pidana kita adalah
“Equality Before The Law”, yaitu adanya persamaan hak dimuka hukum
terhadap setiap orang, sebelum yangbersangkutan diputus bersalah oleh
Hakim.
Namun demikian, mengingat Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan
Peraturan Menterinya sampai saat ini belum terbentuk sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 66 dan 66 A Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris, demikian pula Peraturan Pelaksanaannya
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 91B Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, juga belum dibuat, maka penyidikan
terhadap Notaris saat ini masih berlaku seperti pada peraturan
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris ditambah dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
49/PUU-X/2013, tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut pasal 66 ayat (1),
khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan
dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini akhirnya juga berkaitan
dengan tidak berlakunya lagi ketentuan dalam pasal 14 ayat (1) Peraturan
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 57/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT.0310 tahun 2007 yang mengatur
tentang hal yang sama.
Hasil putusan ini dianggap sangat merugikan hak para Notaris dan
semakin membebani tugas para Notaris dalam menjalankan tugas dan
jabatannya dalam pembuatan akta-akta autentik. Dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, maka banyak timbul kegelisahan dari para
praktisiNotaris, karena hak istimewa untuk diperlakukan dan dilindungi
dalam melaksanakan tugas dan jabatannya atas nama negara sebagai
Notaris menjadi hilang.
Dengan demikian saat ini penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap
Notaris, sementara MKN dan Peraturan pelaksanaannya belum terbentuk
(sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014) dan
Undang-Undang Jabatan Notaris yang lama (Undang-Undang Nomor 30
tahun 2004) tidak ada lagi mekanisme ijin dari Majelis Pengawas Daerah
(MPD) sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga
penyidik dapat langsung memanggil Notaris untuk diperiksa demikian pula
penyidik dapatlangsung melakukan penyitaan terhadap fotokopi minuta
akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol
Notaris.
III. PEMERIKSAAN TERHADAP NOTARIS SAAT INI
1. Pelaku dan alat bukti dalam tindak pidana
Suatu peristiwa pidana yang diduga melibatkan profesi Notaris, maka
penyidik akan mengkaji lebih dalam tentang keterlibatan Notaris dimaksud,
apakah hanya sebagai saksi saja, ataukah sudah menjurus kearah sebagai
“dader” atau pelakunya. Untuk itu penyidik pasti akan melihat sejauh
mana “peran” dari Notarisdalam peristiwa pidana tersebut. Selanjutnya
penyidik membuat anatomi kasus posisi sesuai kronologisnya dan fakta
hukum, disertai oleh dokumen-dokumen pendukungnya sebagai alat bukti.
Berbicara mengenai pembuktian dalam hukum pidana, maka hanya ada 5
(lima) alat bukti yang sah, yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 58/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Dengan fakta-fakta diatas yang dirangkai menjadi satu dan didukung oleh
keterangan para saksi disertai alat bukti,maka akan tergambarlah
konstruksi kasusdimaksud yang sesungguhnya dengan memetakan peran
dari masing-masing pihak yang terkait.Peran inilah yang dapat menentukan
apakah seorang Notaris terlibat atau tidak dalam peristiwa pidana tersebut,
sehingga menjadi tugas utama penyidik untuk terus menggali peran
masing-masing pihak. Peran ini hanya bisa didalami dari adakah niat jahat
(mensrea) dari pelakudan apakah niat jahat tersebut sudah direalisasikan
menjadi perbuatan jahat (actus reus), selanjutnya timbul apa yang
dinamakan dengan perbuatan melawan hukum (wederechtelijk), sehingga
perbuatan pidana tersebut dapat dirumuskan telah melanggar delik formal
(tindakan yang dilarang) maupun delik materiil, yang selain daripada
tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang
timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana
tersebut sepenuhnya (voltooid).
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan profesi Notaris
Tindak pidana yang seringkali terjadi terkait dengan profesi Notaris adalah:

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat


palsu/yang dipalsukan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 263
ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Melakukan pemalsuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 264
KUHP;
3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akta autentik,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) dan (2);
4. Mmelakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 jo pasal 263, 264 atau
266 KUHP;
5. Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 56 jo pasal 263, 264 atau 266 KUHP

Dalam pasal 66 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014


tentang Jabatan Notaris, tidak menyebutkan tentang status Notaris yang
akan diperiksa oleh penyidik,apakah diperiksa selaku “saksi” ataukah
selaku “tersangka”. Hal ini penting dijelaskan, karena kedua status tersebut
sangat berbeda konsekwensinya dalam penyidikan tindak pidana. Kalau
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 59/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

diperiksa sebagai “saksi”, maka jelas apa yang menjadi hak dan
kewajibannya memberikan kesaksian. Demikian pula kalau Notaris
diperiksa sebagai tersangka, maka hak dan kewajibannyapun akan
berbeda, terutama kewajiban untuk didampingi oleh Penasehat Hukum
dalam setiap tahap pemeriksaan dan mengajukan saksi yang meringankan
bagi dirinya.
Dalam pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana disebutkan tentang definisi dari saksi, bahwa Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Pemanggilan terhadap Notaris sebagai “Saksi” adalah hal yang biasa
dialami oleh kebanyakan orang, tidak akan berpengaruh terhadap
reputasinya sebagai Notaris, sehingga dalam makalah ini tidak perlu
dibahas secara mendalam, akan tetapi kalau seorang Notaris dipanggil
sebagai “Tersangka”, maka otomatis akan mempengaruhi kinerjanya
demikian pula reputasinya, sehingga perlu dibahas lebih lanjut.
3. Pemanggilan Notaris
Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap Notaris, sesuai dengan
ketentuan, maka Notaris tersebut harus dipanggil terlebih dahulu melalui
Surat Panggilan yang resmi dikeluarkan oleh penyidik, dengan syarat:

1. Penyidik menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan


memperhatikan tenggang waktu yang wajar diterimanya
panggilan dan bila tidak datang maka penyidik dapat memanggil
sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa
kepadanya, sebagaimana diatur dalam pasal 112 Hukum Acara
Pidana;
2. Apabila tersangka dan saksi bertempat tinggal di luar daerah
hukum penyidik, maka pemeriksaan dapat dilakukan di tempat
tinggal tersangka atau saksi sebagaimana diatur dalam pasal 119
Hukum Acara Pidana;
3. Pemanggilan dilaksanakan paling lambat 3 (tga) hari
sebelumnya, sebagaimana diatur dalam pasal 227 Hukum Acara
Pidana;

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 60/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

4. Bilamana seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi


alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada
penyidik yang melakukan pemeriksaan, maka penyidik itu
datang ke tempat kediamannya, sebagaimana diatur dalam pasal
113 Hukum Acara Pidana.

Adapun mekanisme pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap


Notaris oleh penyidik adalah sebagai berikut:

1. Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Kehormatan Notaris


(MKN) dengan menyebutkan untuk keperluan apa atau alasan
apa sampai dilakukan pemanggilan, apakah mengambil fotokopi
minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta
akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau
keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan
yang berkaitan dengan minuta akta yang dibuatnya ataukah
protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris;
2. Menjelaskan dengan kalimat yang mudah dimengerti, singkat
dan jelas tentang perkara apa dan siapa tersangkanya;
3. Setelah dalam tempo 30 (tiga puluh) hari, maka penyidik akan
mendapatkan keputusan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN)
untuk “memberikan persetujuan” atau “tidak memberikan
persetujuan” atas permintaan dari penyidik tersebut.

Apabila MKN memberikan persetujuan, maka penyidik akan melanjutkan


dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukanoleh penyidik. Namun apabila MKN tidak memberikan
persetujuan pemeriksaan atau menolak, maka pihak MKN harus
memberikan klarifikasi dengan alasan yang sesuai dengan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Disinilah nantinyadiprediksi
akan terjadi “adu argumentasi” antara penyidik dengan MKN, karena
masing-masing akan membela kepentingannya. Untuk mengatasi hal ini
diharapkan masing-masing pihak untuk saling memahami dan mengerti
tugas dan kewajiban masing-masing pihak demi terselenggaranya proses
penyidikan ini secara profesional, jujur, tidak memihak dan tidak arogansi.
Dalam hal tempo 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat permintaan
persetujuan dari penyidik kepada MKN terlampaui, maka dianggap pihak
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 61/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

MKN telah menyetujui atas pemeriksaan terhadap Notarisdimaksud. Hal ini


tidak sulit bagi penyidik untuk memutuskan memanggil kembali Notaris
dimaksud dan menentukan tanggal pemeriksaannya.
Namun demikian perlu dilakukan kesepakatan bersama tentang teknis dari
pemeriksaan terhadap Notaris yang:
a. Disetujui pemeriksaannya:

1. Apakah pihak MKN akan membuat surat persetujuan


pemeriksaan tersebut bersama dengan surat penghadapan
dengan menentukan waktu pemeriksaannya;
2. Apakah pihak MKN hanya membuat surat persetujuan
pemeriksaan saja, selanjutnya waktu pemeriksaan diserahkan
kepada penyidik, sehingga penyidik harus memanggil ulang
Notaris dimaksud dengan menentukan waktu pemeriksaannya.

b. Tidak disetujui pemeriksaannya:

1. Apakah pihak MKN akan membuat surat kepada penyidik


tentang penolakannya disertai alasan yang sesuai dengan hukum
dan peraturan perundangan;
2. Apakah pihak MKN akan membuat surat kepada penyidik untuk
meminta waktu lebih guna mendalami keterlibatan Notaris, baik
dari aspek disiplin, kode etik maupun pidana.

c. Terlampaui waktu 30 (tiga puluh) hari kerja:

1. Apakah pihak MKN akan membuat surat untuk meminta


tambahan waktu lagi kepada penyidik guna mendalami
pemeriksaan internNotaris dimaksud;
2. Apakah pihak MKN memberikan kesempatan kepada penyidik
untuk memanggil langsung kepada Notaris dimaksud.

Hal-hal tersebut diatas perlu dilakukan kajian dalam rangka


memudahkanmasing-masing pihak untuk bekerja sesuai dengan
koridornya.
Saat ini, Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan Peraturan Menterinya
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 66 dan 66 A Undang-Undang

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 62/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang baru, belum terbentuk,
demikian pula Peraturan Pelaksanaannya sebagaimana amanat pasal 91 B
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris juga belum
ada, sehingga mekanisme penyidikan terhadap Notaris masih mengacu
pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang
lama. Padahal Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan
Notaris lama telah diralat dengan adanya putusan dari Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013, tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut
pasal 66 ayat (1), khususnya pada frasa tentangkewajiban untuk
mendapatkan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini
akhirnya juga berhubungan dengan tidak berlakunya lagi ketentuan dalam
pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
M.03HT.0310, tahun 2007 yang mengatur tentang hal serupa.
Dengan demikian saat ini realisasinya dalam proses pemanggilan oleh
penyidik terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana, ataupun
sebagai saksi biasa, maka mekanisme pemanggilannya dapat langsung
kepada Notaris yang bersangkutan, tanpa melalui MPD ataupun MKN.
IV. PENYITAAN TERHADAP PROTOKOL NOTARIS
1. Dasar hukum penyitaan Protokol Notaris
Landasan hukum penyitaan terhadap Protokol Notaris adalah sama dengan
dasar hukum dalam pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Notaris, yaitu
melalui persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sesuai dengan pasal
66 UU RI No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Disamping itu dasar hukum lain adalah sama dengan mekanisme
penyitaan pada umumnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yaitu penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapat surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya.
2. Mekanisme penyitaan Protokol Notaris
mekanisme proses penyitaan terhadap protokol Notaris prinsipnya adalah

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 63/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

sama dengan mekanisme dalam pemanggilan dan pemeriksaan terhadap


Notaris, yaitu melalui persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN)
sebagaimana diatur dalam pasal 66 UU RI No 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris.
Dalam rangka melakukan penyitaan terhadap fotokopi minuta akta
dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol
Notaris, maka yang perlu diperhatikan oleh penyidik adalah sebagai
berikut:

1. Memastikan benda apa yang akan disita, yaitu fotokopi minuta


akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Agar disebut
secara singkat dan jelas nama, nomor dan tanggal dari akta serta
siapa nama Notarisnya;
2. Kelengkapan administrasi penyidikan yang harus disiapkan oleh
penyidik, antara lain: Surat perintah Penyitaan dan Surat Ijin
Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat;
3. Berkoordinasi dengan pihak Majelis Kehormatan Notaris (MKN);
4. Membuat Surat “Permintaan Persetujuan” untuk melakukan
penyitaan dimaksud;
5. Pihak MKN wajib memberikan jawaban disetujui atau ditolak
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, bila watu tersebut
terlampaui, maka MKN dianggap telah menerima permintaan
persetujuan dari penyidik tersebut;
6. Setelah dilakukan penyitaan, maka penyidik wajib membuat
Berita Acara Penyitaan dan membuat Surat Tanda Penerimaan
atas fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan
Notaris yang telah disita;
7. Fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan
Notarisyang disita tersebut dapat dikembalikan kepada Notaris,
bilamana:
1. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan
lagi;

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 64/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

2. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup


bukti atau ternyata bukan merupakan tindak pidana;
3. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang
dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana;
4. Perkara sudah diputus, maka fotokopi minuta akta
dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaristersebut,
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut
putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau jika fotokopi minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol
Notaris dalam penyimpanan Notaris tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Seperti halnya dalam proses pemanggilan dan pemeriksaan, maka


mekanisme penyitaan terhadap fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat
yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris, dimana MKN
belum terbentuk, Peraturan Menteri Hukum dan HAM belum ada serta
Peraturan Pelaksanaannyapun juga belum ada, maka penyidik dapat
langsung melakukan penyitaan terhadap fotokopi minuta akta dan/atau
surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris
dimaksud, sebagaimana amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-X/2013, tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut pasal 66 ayat (1),
khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan
dari MPD.
3. Pendampingan terhadap Notaris
Bahwa ketika seorang Notarisberhadapan dengan hukum, yaitu harus
memenuhi upaya paksa seperti memenuhi surat panggilan dan
pemeriksaan serta penyitaan dari penyidik, makayang diperlukan adalah
me-review kembali dan mencatat apa yang telah dilakukan saat kejadian
tersebut, tentunya dikuatkan dengan dokumen-dokumen pendukungnya.
Bilamana perlu untuk menambah percaya diri, dapat menunjuk seorang

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 65/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

“Penasehat Hukum” guna mendampingi pada tahap pemeriksaan maupun


di sidang Pengadilan.Pendampingan disini maksudnya adalah mereka yang
mengerti hukum acara dan mempunyai ijin untuk ber”acara” di depan
sidang Pengadilan, bukan diartikan adalah mereka yang duduk di pengurus
Notaris, baik di pusat maupun daerah.
Kalau pendampingan dilakukan oleh pengurus Notaris, maka ia tidakakan
bisa melakukan pendampingan secara formal, baik di tingkat penyidikan,
penuntutan maupun Peradilan, karena pasti akan ditanya tentang ijin
resmi dan surat kuasa sebagai seorang “Penasehat Hukum” dalam
mendampingi kliennya. Penasehat hukum akan mempelajari dan
mengevaluasi serta menyiapkan pembelaan terhadap bukti materiel yang
telah dipersangkakan oleh Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum. Karena
Notaris itu bukan Penasehat Hukum. Untuk itu seyogyanya Notaris yang
bersangkutan dapat menunjuk Penasehat Hukum sesuai dengan bobot
kasus dan instuisinya
V. PENUTUP
Demikian makalah singkat ini dibuat sebagai bahan perbandingan untuk
diskusi dan kerjasama saling pengertian antara Ikatan Notaris Indonesia
(INI) dengan penyidik Polri.
Jakarta, 15 Januari 2015
KAROWASSIDIK BARESKRIM POLRI
Drs. ZULKARNAIN
BRIGADIR JENDERAL POLISI

PROSEDUR DAN PROSES BERACARA DALAM PEMERIKSAAN DAN


PENJATUHAN SANKSI DISIPLINER TERHADAP NOTARIS OLEH
MAJELIS PENGAWAS NOTARIS SERTA UPAYA HUKUM BAGI
NOTARIS SELAKU TERLAPOR

INI & MPN

ISYANA W. SADJARWO SH., MH.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 66/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

MAJELIS PENGAWAS PUSAT NOTARIS


Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan
Tlp/Fax. 021 – 52920460
I. Pendahuluan (1)
Pertama-tama kami atas nama Majelis Pengawas Pusat
Notaris mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada penyelenggara, yang telah
menyelenggarakan forum ini.
Makalah ini disampaikan dalam rangka pembekalan/
pelatihan pendampingan anggota bagi Pengurus Wilayah INI
diseluruh Indonesia dan Pengurus Daerah INI se-
Jabodetabek.
Forum ini diharapkan dapat dijadikan ajang penyamaan
persepsi, pencerahan dan sinergi dalam hal pendampingan
anggota bagi pengurus pusat, pengurus wilayah maupun
pengurus daerah dengan majelis pengawas unsur notaris di
semua jajaran khususnya dalam proses beracara di majelis
pengawas, baik ditingkat daerah, wilayah maupun pusat.
Pendahuluan (2)
Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
Prosedur dan proses beracara dalam pemeriksaan 
Penjatuhan sanksi disipliner terhadap notaris oleh majelis
pengawas notaris serta upaya hukum bagi notaris selaku
terlapor.
Upaya Hukum.
Dalam pembahasan tersebut akan disampaikan hal-hal yang bersifat
normatif berdasarkan UU No.30/2004 Tentang Jabatan Notaris dan UU
No.2/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30/2004 tentang Jabatan
Notaris dan Permen Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004
II. Pengawasan oleh Menteri (1)
(Pasal 67 UU No 2/2014 Perubahan Atas UUJN)
Pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri.
Menteri membentuk Majelis Pengawas.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 67/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang


mempunyai kewenagan dan kewajiban untuk melaksanakan
pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris.
Majelis Pengawas berjumlah 9 orang terdiri atas unsur :

1. Pemerintah 3 orang.
2. Organisasi Notaris/INI 3 orang.
3. Ahli/Akademisi 3 orang.

- Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur pemerintah, keanggotan


dalam Majelis Pengawas diisi unsur lain yang ditunjuk menteri.
Kompetensi Pengawasan
Majelis Pengawas Notaris (2)
(Pasal 67 UU No 2/2014 Perubahan Atas UUJN)
Pengawasan terhadap:
Dugaan Pelanggaran Jabatan 
- acuannya adalah UU Jabatan Notaris (UU No. 30/2004 Jo. 2/2014).
Dugaan Pelanggaran Perilaku
- acuannya kode etik Notaris
Majelis Kehormatan Notaris (3) 
(Pasal 66 A UU No 2/2014 Perubahan Atas UUJN)
Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk
Majelis kehormatan Notaris
Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri
atas unsur:
Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang dan 
Ahli/akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri
III. Prosedur dan Proses Beracara
Majelis Pengawas Daerah
(Pasal 13 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan
oleh Ketua, wakil ketua atau salah satu anggota berdasarkan
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 68/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

keputusan rapat MPD


Kewenangan tersebut antara lain:
Menerima laporan masyarakat mengenai adanya
dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris.
Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan
yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris. (Pasal 14 ayat 5)
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan adalah proses menguji fakta untuk suatu
kebenaran hukum atas adanya pelanggaran jabatan dan
perilaku notaris guna penjatuhan sanksi
Tata cara pemeriksaan adalah ketentuan mengenai proses
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran jabatan atau
perilaku notaris
Tata Cara Pemeriksaan (1) 
(Pasal 20 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, Majelis
Pengawas membentuk Majelis Pemeriksa Daerah, Majelis
Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat dari
masing-masing unsur
Majelis pemeriksa wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat
berwenang memeriksa dan memutus laporan yang diterima
Majelis pemeriksa dibantu satu orang sekretaris
Pembetukan Majelis pemeriksa paling lambat 5 hari kerja
setelah laporan diterima
Majelis pemeriksa wajib menolak untuk memeriksa notaris
yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan
darah
Dalam hal pemeriksa mempunyai perkawinan maupun
hubungan darah ketua Majelis Pengawas menunjuk
penggantinya
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 69/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Pengajuan Laporan (2) 


(Pasal 21 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Disampaikan secara tertulis disertai bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dugaan pelanggaran kode etik Notaris / pelanggaran
pelaksanaan jabatan notaris disampaikan kepada MPD.
Selain dugaan pelanggaran kode etik dan pelanggaran
jabatan notaris disampaikan kepada MPW.
Laporan yang disampaikan kepada MPW diteruskan kepada
MPD yang berwenang.
Laporan yang disampaikan kepada MPP diteruskan kepada
MPD yang berwenang.
Pemanggilan (3)
(Pasal 22 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap
pelapor dan terlapor.
Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam
waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang.
Dalam keadaan mendesak pemanggilan dilakukan melalui
faksimili yang segera disusul dengan surat panggilan.
Pemanggilan (4)
(Pasal 22 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Dalam hal terlapor telah dipanggil secara sah dan patut,
tetapi tidak hadir maka dilakukan pemanggilan kedua.
Apabila terlapor tetap tidak hadir, maka pemeriksaan
dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor.
Dalam hal pelapor telah dipanggil secara sah dan patut tidak
hadir, maka dilakukan pemanggilan yang kedua. Apabila
pelapor tetap tidak hadir, maka Majelis Pemeriksa
menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.
IV. Pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah (1) 
(Pasal 23 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 70/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Pemeriksaan dilakukan tertutup untuk umum.


Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kalender setelah laporan diterima.
Pemeriksaan dan penyampaian hasil pemeriksaan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
laporan diterima.
Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan ditandatangani oleh ketua dan sekretaris.
Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan
disampaikan kepada MPW, dengan tembusan kepada
pelapor, terlapor, MPP dan Pengurus Daerah Organisasi
Notaris.
Pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah (2)
(Pasal 24 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Pembacaan laporan dan mendengarkan keterangan pelapor.
Penyampaian tanggapan terlapor.
Pengajuan bukti oleh pelapor dan terlapor.
Pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Wilayah (1) 
(Pasal 25 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Pemeriksaan bersifat tertutup untuk umum.
Putusan diucapkan dalam sidang yang bersifat terbuka
untuk umum.
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion)
diantara sesama MPW, maka perbedaan tersebut dimuat
dalam putusan.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Wilayah (2)
(Pasal 26 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan MPD.
Pemeriksaan dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kalender
sejak berkas diterima dari MPD.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 71/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

MPW berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk


didengar keterangannya.
Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak berkas diterima.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Wilayah (3)
(Pasal 27 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang
cukup untuk menjatuhkan putusan.
Putusan ditandatangani oleh Ketua, anggota dan sekretaris
Majelis Pemeriksa Wilayah.
Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, laporan
dinyatakan ditolak dan terlapor direhabilitasi nama baiknya.
Dalam hal laporan dapat dibuktikan, terlapor dijatuhi sanksi
sesuai dengan tingkat pelanggaran.
Salinan putusan disampaikan kepada Menteri, Pelapor,
Terlapor, MPD, PP Organisasi Notaris, dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak
putusan diucapkan.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Pusat (1)
(Pasal 28 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Pemeriksaan dan pembacaan putusan dilakukan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion)
di antara sesama Majelis Pemeriksa Pusat, maka perbedaan
pendapat tersebut dimuat dalam putusan.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Pusat (2)
(Pasal 29 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Majelis Pemeriksa Pusat memeriksaan permohonan banding
atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah.
Pemeriksaan dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kalender
sejak berkas diterima.
Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil pelapor dan
terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 72/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

keterangannya.
Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30
hari kalender sejak berkas diterima.

Pemeriksaan Majelis Pengawas Pusat (3)


(Pasal 29 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang
cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan.
Putusan ditandatangani oleh Ketua, anggota dan sekretaris
Majelis Pemeriksa Pusat.
Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada
Menteri dan salinannya disampaikan kepada pelapor,
terlapor, MPD,MPW,PPINI dalam jangka waktu 30 hari
kalender terhitung sejak putusan diucapkan.
Pemeriksaan Majelis Pengawas Pusat (3)
(Pasal 30 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding
dianggap cukup beralasan oleh Majelis Pemeriksa Pusat,
maka putusan Majelis Pengawas Wilayah dibatalkan.
Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding
dianggap tidak beralasan oleh Majelis Pemeriksa Pusat,
maka putusan Majelis Pengawas Wilayah dikuatkan.
Majelis Pemeriksa Pusat dapat mengambil putusan sendiri
berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan.
V. Penjatuhan Sanksi Disipliner (1)
(Pasal 31 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Dalam hal putusan Majelis Pemeriksa Wilayah dikuatkan
oleh Majelis Pemeriksa Pusat memutuskan terlapor terbukti
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini, maka
terhadap terlapor dikenai sanksi.
Sanksi dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 73/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.
Penjatuhan Sanksi Disipliner (2)
(Pasal 32 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Dalam hal Majelis Pemeriksa Notaris menemukan dugaan
adanya unsur pidana yang dilakukan oleh terlapor, maka
Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis
Pengawas Notaris.
Dugaan unsur pidana yang diberitahukan kepada Majelis
Pengawas Notaris wajib dilaporkan kepada instansi yang
berwenang.
VI. Upaya Hukum atas Putusan 
Majelis Pemeriksa Wilayah (1)
(Pasal 33 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Pelapor dan atau terlapor yang merasa keberatan atas
putusan Majelis Pemeriksa Wilayah berhak mengajukan
upaya hukum banding kepada Majelis Pengawas Pusat.
Upaya hukum banding dinyatakan dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kalender terhitung sejak
putusan diucapkan.
Dalam hal pelapor dan/atau terlapor tidak hadir pada saat
putusan diucapkan, maka pelapor dan/atau terlapor dapat
menyatakan banding dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kalender terhitung sejak putusan diterima.
Upaya Hukum atas Putusan 
Majelis Pemeriksa Wilayah (2)
(Pasal 34 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Pembanding wajib menyampaikan memori banding.
Penyampaian memori banding paling lambat 14 (empat
belas) hari kalender terhitung sejak banding dinyatakan.
Memori banding wajib disampaikan kepada terbanding
paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak diterima oleh
Sekretariat Majelis Pengawas Wilayah.
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 74/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Upaya Hukum atas Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah (3)


(Pasal 34 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Terbanding dapat menyampaikan kontra memori banding
paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak memori
banding diterima oleh terbanding.
Memori banding dan kontra memori banding disampaikan
oleh Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat melalui surat kilat
tercatat kepada pembanding dan terbanding.
Dalam hal pembanding tidak menyampaikan memori
banding dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender
maka pernyataan banding diputuskan oleh Majelis
Pemeriksa Pusat, tidak dapat diterima.
Upaya Hukum atas Putusan 
Majelis Pemeriksa Wilayah (3)
(Pasal 35 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Majelis Pemeriksa Pusat dapat menguatkan, merubah, atau
membatalkan putusan Majelis Pemeriksa Wilayah, dan
memutus sendiri.
Putusan Majelis Pemeriksa Pusat bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan tentang
pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan
tidak hormat kepada Menteri.
Putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa
pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri,
disampaikan oleh Majelis Pemeriksa Pusat dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung
sejak putusan diucapkan.
Upaya Hukum atas Putusan 
Majelis Pemeriksa Wilayah (4)
(Pasal 35 Permen M.02.PR.08.10 Th 2004)
Putusan Majelis Pemeriksa Pusat yang amarnya memberikan
sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat, wajib
diajukan kepada Menteri.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 75/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Menteri memberi putusan terhadap usul pemberian sanksi


pemberhentian dengan tidak hormat, dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kalender terhitung sejak usulan diterima.
Putusan Menteri disampaikan kepada pelapor, terlapor,
MPP, MPW, MPD, dan PP INI.
VII Beberapa Kasus (1) 
Beberapa kasus yang pernah ditangani oleh Majelis Pemeriksa Pusat antara
lain :
a. Pelanggaran Pasal 9 ayat 1 butic c dan d UU No. 2 /2014 Perubahan atas
UUJN yaitu,
Notaris melakukan perbuatan tercela 
Notaris melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan
larangan jabatan serta kode etik notaris.
*Sanksi dapat berupa pemberhentian sementara dari jabatan.
b. Pelanggaran Pasal 16 ayat 1 butir a UU No. 2/2014 Perubahan atas
UUJN yaitu, 
Tidak bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak terkait dalam
perbuatan hukum.
* Sanksi dapat berupa : 
- peringatan tertulis
- pemberhentian sementara
- pemberhentian dengan tidak hormat
c. Pelanggaran Pasal 16 ayat 1 butir m UU no. 2/2014 Perubahan atas
UUJN yaitu akta harus dibacakan oleh Notaris dihadapan para pihak.

* Sanksi dapat berupa :


- peringatan tertulis
- pemberhentian sementara
- pemberhentian dengan tidak hormat
d. Pelanggaran Pasal 17 UU No. 2/2014 Perubahan atas UUJN yaitu Notaris
menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya.
* Sanksi dapat berupa :
- peringatan tertulis
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 76/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

- pemberhentian sementara
- pemberhentian dengan tidak hormat

Pelanggaran Wilayah Jabatan Notaris

Syafran Sofyan, SH., Sp.N., M.Hum (Dr. Cand)


Pertanyaan
Yth. Bapak Syafran Sofyan,
Saya A, seorang pegawai Bank BUMN di Jakarta, bagian legal kredit, ingin
menanyakan tentang wilayah kerja Notaris-PPAT, yang mana saat ini
banyak Notaris-PPAT luar Jakarta, yang melakukan penanda-tanganan dan
pembacaan akta di Jakarta.
Adapun yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Apakah akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tetap menjadi


akta otentik?
2. Bagaimana kalau, di dalam komparisi akta disebutkan seolah-
olah para pihak berada/untuk sementara ditempat kedudukan
Notaris tersebut?
3. Adakah solusinya agar perbuatan Notaris tersebut tidak
melanggar hukum?

Jawaban
Salam hormat, A di Jakarta.
Saudara A di Jakarta, terhadap pertanyaan saudara dapat saya jelaskan
sebagai berikut:
Pasal 1  Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN): Notaris
adalah Pejabat Umum yang    untuk membuat akta otentik
dan kewenagan lainnya sebagai mana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.berwenang
Pembuatan akta otentik dihadapan Notaris selain
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 77/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

berlaku juga karena dikehendaki oleh para pihak.


Jadi Notaris mempunyai  kewenangan penuh  dalam hal
pembuatan akat-akta otentik sebagai bukti yang terkuat dan
terpenuh sepanjang tidak dikhususkan kepada pejabat
umum lainnya, dan atau  tidak dilarang oleh undang-
undang/Peraturan perundang-undanganlainnya.
Notaris suatu Jabatan Publik;

1. Sebagai Jabatan; UUJN merupakan unifikasi di bidang


pengaturan Jabatan Notaris; Jabatan Notaris merupakan suatu
lembaga yang diciptakan oleh negara, untuk keperluan dan
kewenangan tertentu; semua kewenangan notaris haruslah
berdasarkan undang-undang/diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu; setiap wewenang yang
diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya (Pasal 15
ayat 1,2,3 UUJN; dst...)

Beberapa asas atau nilai yang harus dijaga seorang notaris yaitu :

1. Jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
2. Memberikan pelayanan sesuai dengan UU, kecuali ada alasan
untuk menolaknya;
3. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta;
4. Unsur professional lain “good faith”, taat pada kebenaran
(fidelity, fairness and integrity); 

Pertanyaan pertama, apabila Notaris menjalankan


pekerjaannya/membacakan aktanya di luar wilayah kerjanya, maka
bertentangan dengan ketentuan UUJN, UU No. 2 Tahun 2014, Pasal 17
UUJN, Notaris Dilarang:
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatan;
b. dst...
Dijelaskan pula dalam pasal 18 ayat (2) bahwa wilayah kerja/wilayah
jabatan notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 78/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

kedudukannya.  Artinya, notaris tersebut berwenang untuk membuat akta


sepanjang perbuatan hukum tersebut dilakukan masih dalam wilayah
kerjanya, yang meliputi seluruh propinsi di tempat kedudukan notaris yang
bersangkutan.
Sebagai contoh:
Seorang notaris yang berkedudukan di Jakarta Selatan, berhak untuk
membuat dan membacakan akta di hadapan para pihak di seluruh wilayah
Propinsi DKI Jakarta, Namun, dia tidak berhak untuk
membuat/membacakan akta di luar DKI Jakarta, begitu sebaliknya, notaris
diluar DKI Jakarta, dilarang membuat dan membacakan akta di seluruh
wilayah DKI Jakarta. Yang dimaksud dengan “membuat akta” di sini adalah
hadir di hadapan para penghadap (subjek perjanjian), membacakan dan
menanda-tangani akta tersebut.
Begitupun terhadap PPAT, wilayah kerjanya hanya dibatasi sampai dengan
satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.Kemudian,
mengenai wilayah kerja PPAT, disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) PP
37/1998 bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Pasal 1868 BW : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh/dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Pasal 1869 BW : Akta otentik terdegradasi menjadi kekuatan pembuktian di
bawah tangan dengan alasan:

1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan;


2. Tidak mempunyai pejabat umum yang bersangkutan;
3. Cacat dalam bentuknya; atau karena akta Notaris dibatalkan
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.

* Menjadi dasar untuk menggugat Notaris sebagai perbuatan melawan


Hukum. 
Kedudukan Akta Notaris sebagai akta di bawah tangan/batal demi hukum;
tidak berdasarkan akta Notaris, tidak memenuhi syarat subjektif dan
objektif, dalam hal ini: Syarat sah Perjanjian sesuai pada Pasal 1320 KUH
Perdata; agar terpenuhi unsur Subjektif dan Objektif:
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 79/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

Unsur Subjektif:

1. Kesepakatan kehendak atau Sepakat mereka yang mengikatkan


dirinya;
2. Cakap;

Unsur Objektif:

1. Perihal tertentu atau Mengenai suatu hal tertentu.


2. Kausa yang legal atau suatu sebab yang halal.

Dalam kaitan dengan Kewenangan seorang Notaris dalam menjalankan


profesinya, masuk dalam unsur Subjektif, yakni syarat adanya Wenang
berbuat atau Kecakapan untuk membuat suatu akta.
Kewenangan bertindak:

1. Ketidakwenangan absolut,
2. Ketidakwenangan relatif,
3. Kewenangan dengan persyaratan/kualifikasi.

Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan


kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang
akan datang kemudian (iusconstituendum). Wewenang notaris yang akan
ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahwa : yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam
undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara
umum yang dikeluarkan Lembaga yang berwenang, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga
mengikat secara umum.
Jika terbukti bahwa perjanjian/akta tersebut dibuat atas dasar suatu hal
yang dilarang Undang-undang (Pasal 17 (a)), maka dalam hal ini Notaris
tersebut dianggap tidak berwenang untuk membuat akta Notariil tersebut,

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 80/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

maka aktanya tersebut tidak hanya menjadi akta dibawahtangan, namun


juga dapat dibatalkan.
Pertanyaan kedua, Bagaimana kalau di dalam komparisi akta disebutkan
seolah olah para pihak berada ditempat kedudukan Notaris tersebut?
Hal tersebut tentunya melanggar UUJN, Asas Kepatutan, bahkan KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana), antara lain di dalam Pasal 16
UUJN, notaris itu harus jujur, seksama, mandiri dan tidak
memihak.  Sekarang beberapa penyidik sudah mulai cermat mencari celah
cacat pada akta notaris, maka kita harus teliti dan membaca dan
memahami betul UUJN, dan semua Peraturan perundang-undangan
lainnya; di dalam UUJN sudah jelas dari kewajiban dan larangan, bentuk
akta, cara merenvoi, membetulkan kesalahan ketik dengan berita acara,
dan lain-lain.
Segala kejadian formal yang sebenarnya terjadi ya harus di tuangkan dalam
akta, terkadang kita menggampangkannya saja, contohnya seorang notaris
Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat, dalam kenyataannya tanda tangan
dan pembacaan di wilayah DKI Jakarta, atau sebaliknya, tetapi dalam akta
disebutkan seolah-olah para pihak di Kabupaten Bogor/tempat kedudukan
notaris tersebut, jika akta terjadi masalah dan disidik oleh penyidik, dan
dari keterangan saksi-saksi semua bilang tanda tangan di wilayah Jakarta
dan semua penghadap tidak pernah sekali pun ke Kabupaten Bogor, bisa-
bisa kita kena pidana karena apa yang kita ketik tidak sesuai kenyataannya
(membuat atau memberikan keterangan palsu); jadi akta tersebut tidak
hanya dapat dibatalkan, namun juga notaris yang bersangkutan dapat
dipidana, dengan memberikan keterangan palsu.
*Adakah solusinya agar perbuatan Notaris tersebut tidak melanggar hukum
?
Adapun untuk mengatasi hal tersebut di atas agar tidak terjadi pelanggaran
UU yang menyebabkan akta tersebut menjadi akta dibawahtangan, atau
bahkan dapat dibatalkan, maka Pimpinan Bank yang berkedudukan di
Jakarta tersebut memberikan surat kuasa kepada Pimpinan Bank (luar
Jakarta), misalnya Kabupaten Bogor/tempat domisili notaris yang
bersangkutan, dan Perjanjian Kredit, serta akta-akta asesoirnya (Akta
Jaminan) ditanda-tangani di tempat keberadaan Notaris/PPAT setempat
(sesuai wilayah kerja). Atau tetap menggunakan Notaris di Jakarta, tanda-

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 81/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

tangan di Jakarta terhadap objek tanah yang di luar Jakarta/wilayah kerja


PPAT, dengan menggunakan akta SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan), terhadap pengikatan jaminan yang objeknya di luar
Jakarta/wilayah kerja PPAT tersebut, dan APHT tetap dibuat didaftarkan
oleh PPAT tempat objek jaminan tersebut untuk didaftarkan di kantor
pertanahan setempat dengan dasar akta Surat Kuasa Memasang Hak
Tanggungan (SKMHT) tersebut.

Published On: Selasa, 20 Desember 2014 | 02:19:38 WIB


Editor : Notaries Digest
Bank Berlindung di Belakang Cover Note Notaris
Syafran Sofyan, SH., Sp.N., M.Hum (Dr. Cand)
Cover note  berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata,
yaknicover  dan  note, dimana  cover  berarti tutup dan  note  berarti tanda
catatan. Maka  cover note  berarti tanda catatan penutup. Dalam istilah
kenotariatan arti dari  cover note  adalah surat keterangan, yakni surat
keterangan yang dikeluarkan oleh seorang Notaris yang dipercaya dan
diandalkan atas tanda tangan, cap, dan segelnya guna untuk menjamin
dan sebagai alat bukti yang kuat.
Cover note dikeluarkan oleh Notaris karena Notaris belum tuntas
pekerjaannya dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangannya untuk
menerbitkan akta otentik. Jika dicermati tugas dan kewenangan Notaris
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak ada satu pasalpun yang
menegaskan bahwa Notaris dapat mengeluarkan cover note untuk
menerangkan bahwa akta yang akan dikeluarkan masih dalam proses
berjalan.
Untuk menerangkan bahwa sertifikat hak tanggungan sebagai rumusan
atau prasyarat lahirnya perjanjian ikatan jaminan dari perjanjian pencairan
http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 82/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

kredit oleh Bank, kemudian Bank dapat melakukan pencairan kredit.


Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris: 

1. Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di


bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus.
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya.
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
g. Membuat akta risalah lelang
Tidak ada satu pasal pun yang dapat ditafsirkan sebagai kewenangan
Notaris untuk mengeluarkan surat keterangan yang disebut sebagai Cover
note. Oleh karena itu jika dilihat bagaimana kekuatan mengikatnya, dengan
hanya melihat cover note yang biasa dijadikan jaminan oleh Bank. Cover
note bukan akta otentik, oleh karena tidak ditegaskan dalam undang-
undang perihal kewenangan Notaris, untuk mengeluarkan akta otentik.
Apalagi dalam UUJN tidak pernah ada satu pasal yang mengindikasikan
sebagai akta otentik, tetapi ia hanya berupa surat keterangan. Sehingga
jika dipandang secara hukum memang pada kenyataannya cover note tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan sempurna. 
Menurut penulis, mestinya bank jangan segampang itu mencairkan kredit,

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 83/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

atas dasar cover note notaris, tetapi Bank tetap berpegang pada prinsip


kehati-hatian; yakni Prinsip 5C (Character, Capital, Capacity, Collateral,
Condition of Economy), Prinsip 4-P (Personality, Purpose, Prospect , Payment),
Prinsip 3-R (Return, Repayment, Risk Bearing Ability). Oleh karena itu Bank
biasanya mencari sumber, history, kejelasan bukti kepemilikan, bahkan
oleh Bank mendapat keterangan dari tanah yang menjadi objek hak
tanggungan tersebut melalui permintaan tanda tangan dari semua pemilik
yang berdekatan dengan batas-batas tanah tersebut, selebihnya juga
mendapat keterangan melalui tanda tangan dari kepala desa/ camat/ lurah
dimana tanah yang menjadi objek jaminan tersebut terletak .Pastikan dulu
proses persertifikatan, baik data fisik, maupun yuridis sudah dijalankan
secara sempurna, minimal sampai terbit SK. Cover note hanya berisi surat
keterangan maka ia adalah bukan produk hukum sebagai bukti agunan
seperti sertifikat APHT dan Fidusia. Sehingga cover note tidak mungkin
memilki kekuatan hukum yang mengikat secara hukum (legal binding) bagi
debitur pemberi hak tanggungan dan kreditur pemegang hak tanggungan. 
Cover note hanya dapat dikatakan mengikat secara moral yang muncul
berdasarkan praktik dan kebutuhan, dan mengikatnya itu hanya mengikat
Notaris apabila Notaris tersebut tidak menyangkal tanda tangannya. Cover
note bukan bukti agunan kredit, hanya keterangan Notaris/ PPAT selaku
pejabat yang membuat akta tersebut bahwa telah terjadi pengikatan kredit
atau jaminannya, untuk itulah sebaiknya cover note tersebut harus diuji
oleh bank, terhadap kebenarannya; dan sebaiknya didukung data-data
formil lainya sesuai kebutuhan, dan pihak bank dapat menolak, jika
Covernote tersebut ternyata tidak benar. Apabila hal-hal yang telah
dibuat/dinyatakan dalam cover note tidak benar, maka hal tersebut
menjadi tanggungjawab Notaris sepenuhnya, dengan segala akibat
hukumnya. Notaris dalam membuat dan mengeluarkan Cover note tersebut
di luar kewenangan sebagai notaris. Cover note Notaris tidak memiliki
kekuatan hukum sebagai ambtelijke acte, sehingga tidak memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna, melainkan hanya memiliki kekuatan
pembuktian sebagai petunjuk ke arah pembuktian atau dapat dipakai
sebagai alat bukti tambahan, dan sepenuhnya tergantung kepada penilaian
hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 ayat 2 KUH
Perdata,Cover note tidak diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 84/85
16/9/2018 BAMBANG S. OYONG (Notaris-PPAT Kota Banjarmasin): DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS

(UUJN), maka akibat yang ditimbulkan oleh adanya cover note berlaku


ketentuan hukum umum, baik secara perdata maupun pidana. 
Oleh karenanya bentuk pertanggungjawaban yang dapat dituntut kepada
Notaris akibat dari kegagalan cover note yang disebabkan oleh adanya
kesalahan atau kelalaian Notaris, adalah pertanggungjawaban perdata
berdasarkan perbuatan melawan hukum atau berdasarkan wanprestasi.
Pertanggung jawaban pidana hanya dapat dituntut kepada Notaris apabila
adanya tindakan hukum dari Notaris yang secara sengaja dengan penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh Notaris bersama debitor
bahwa cover note yang diterbitkan tersebut untuk dijadikan suatu alat
melakukan, turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu
kebohongan/memberikan keterangan yang tidak benar yang dapat
merugikan pihak bank. Bank hendaknya juga tidak berlindung
dibawahcover note notaris, untuk melakukan pembenaran dalam pencairan
kredit.
Notaris-PPAT, hendaknya pula tidak gampang mengeluarkan covernote,
apalagi covernote tersebut dipakai untuk pencairan kredit; pastikan dulu
data-data, identitas formil para pihak sudah lengkap, dan dapat diikat
secara yuridis sempurnah. Walaupun, tanggub-jawab notaris-ppat secara
formal, namun harus tetap dipegang prinsip kehati-hatian, dan harus
berani jujur, untuk mengatakan hal yang sebenarnya, bila masih ada
syarat-syarat formal tidak dapat diikat secara yuridis sempurna.
Sebaiknya, ke depan agar semua system Pendaftaran, pengecekan
sertifikat, sudah melalui online, agar dapat diketahui dini, kalau ada
permasalahan hukum, disamping lebih cepat dan efisien.

http://bambangoyong.blogspot.com/2016/06/dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html 85/85

Anda mungkin juga menyukai