Anda di halaman 1dari 44

Ruang Lingkup

Substansi Buku Pedoman ini terdiri dari:


Pertama:
Pendahuluan mengungkapkan Latar Belakang, Tujuan Penyusunan Buku, danRuang Lingkup.
Kedua:
Penyuluh Agama Katolik dengan menguraikan tentang pengertian PenyuluhAgama Katolik,
Tugas Pokok dan Fungsi Penyuluh Agama Katolik, Sasaran PenyuluhAgama Katolik, dan Materi
Penyuluhan.
Ketiga:
Laporan dengan menguraikan tentang Jenis Laporan yaitu Laporan Bimbingan atauPenyuluhan
dan Laporan Konsultasi, dan Bahan Laporan, meliputi bahan laporan MateriPenyuluhan, bahan
Laporan Kelompok Sasaran, dan bahan laporan Pelaksanaan Kegiatan.
Keempat:
Teknik Penyusunan Laporan Mingguan, yang meliputi teknik
penyusunan bimbingan atau penyuluhan bagi Penyuluh Agama Terampil dan Penyuluh Agama
Ahli,serta penyusunan Laporan Konsultasi Penyuluh Agama Terampil (perorangan
dankelompok), dan Laporan Konsultasi Penyuluh Agama Ahli (perorangan dan kelompok).
Kelima:
Penutup
Teknik Penyusunan Laporan Penyuluh Agama
Oleh Hj. Artina Burhan
Widyiswara Madya pada Balai Diklat Keagamaan Padang
Abstrak
Penyusunan laporan merupakan bagian integral dari kegiatan bimbingan dan penyuluhan
agama. Oleh karena itu setiap Penyuluh Agama perlu menguasai teknik penyusunan laporan,
kemampuan mengolah data dan informasi yang diperlukan dan menyajikan secara sistematis
Jenis Laporan Penyuluh Agama terdiri dari Laporan Bimbingan dan Laporan Konsultasi,
sedangkan bahan laporan terdiri dari: rencana kegiatan operasional (RKO), jadwal kegiatan
bimbingan/penyuluhan, memiliki buku catatan harian untuk menulis rincian kegiatan penyuluhan
yang dilakukan setiap hari, meliputi waktu, jenis, materi, sasaran, dan hasil penyuluhan, bundel
materi penyuluhan, bundel laporan.
Mekanisme Penyusunan Laporan Mingguan, Penyuluh Agama yang telah melaksanakan tugas
bimbingan atau penyuluhan selama satu minggu diwajibkan membuat laporan dibedakan
menurut klasifikasi kelompok binaan yaitu Laporan Mingguan untuk Kelompok Binaan Tetap.
Laporan Mingguan untuk kelompok Binaan Tidak Tetap , dan Laporan Layanan
Konsultasi, kegiatan Penyuluh Agama melakukan kegiatan konsultasi agama dan pembangunan
baik untuk perorangan maupun kelompok. Hasil dari kegiatan harus disusun dalam naskah
laporan hasil konsultasi perorangan atau kelompok. Pembuatan laporan dilakukan setiap bulan.
Kata Kunci: Laporan penyuluh agama, mingguan, bulanan.
Pendahuluan
Jabatan Fungsional Penyuluh Agama salah satu dari Jabatan Fungsional dalam Rumpun
Keagamaan. Hal ini berdasarkan Perpres nomor 87 tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan
Fungsional dalam Rumpun Keagamaan.
Menurut SKB Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 574
tahun1999 dan Nomor 178 tahun 1999 tentang jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka
Kreditnya. Dalam SKB tersebut ditetapkan bahwa Penyuluh Agama adalah Pegawai Negeri Sipil
yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan dan pembangunan melalui
bahasa agama.
Menurut SKB tersebut, bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan merupakan
salah satu tugas pokok Penyuluh Agama. Bimbingan atau penyuluhan agama terdiri dari
empat unsur kegiatan:
1. Persiapan bimbingan atau penyuluhan;

2. Pelaksanaan bimbingan atau penyuluhan;

3. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan hasil pelaksanaan bimbingan atau penyuluhan;

4. Pelayanan konsultasi agama dan pembangunan.

Setiap Penyuluh Agama harus memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada panggilan
tugas diserta dengan wawasan yang akurat tentang fungsi dan peranan yang mesti dijalankannya
di tengah masyarakat. Dedikasi dan wawasan dimaksud perelu dibangun dengan dilandasi
sepenuhnya oleh pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama, pemahaman dakwah dan
kepedulian terhadap problema aktual di masyarakat.

Penyusunan laporan merupakan bagian integral dari kegiatan bimbingan dan penyuluhan
agama. Selain merupakan kewajiban, penyusunan laporan atas pelaksanaan kegiatan tersebut
memiliki angka kredit tersendiri. Oleh karena itu setiap Penyuluh Agama perlu menguasai teknik
penyusunan laporan, kemampuan mengolah data dan informasi yang diperlukan dan menyajikan
secara sistematis.

Tulisan ini dibuat agar memberikan petunjuk praktis kepada para Penyuluh Agama
dilingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji sehingga
memiliki kesatuan pengertian, pola fikir dan bahasa mengenai berbagai segi yang terkait dengan
pelaksanaan tugas Penyuluh Agama, maka diharapkan proses pelaporan dapat berjalan secara
efektif dengan hasil yang terukur.

Penyusunan Laporan Penyuluh Agama


Laporan adalah suatu bentuk penyajian data agar dapat memberikan suatu gambaran atau
informasi kepada seseorang atau suatu organisasi dengan suatu cara yang efektif dan efisien dan
dapt dijadikan suatu informasi yang tepat, lengkap dan akurat.
Sedangkan sistem pelaporan adalah suatu bentuk kegiatan yang dilaksanakan secara terus
menerus dengan suatu cara tertentu yang lebih disepakati, untuk menyajikan suatu data sebagai
informasi yang dibutuhkan secara efektif, efisien dan akurat, sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan perencanaan lebih lanjut.
Sistem pelaporan mempunyai arti yang sangat penting dalam mendukung informasi dan
monitoring pelaksanaan kegiatan. Agar suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik dan dapat
dimonitor dengan baik, maka diperlukan suatu sistem pelaporan yang baik dan tepat pula.
Sistem pelaporan yang akan diterapkan dalam kegiatan bimbingan atau penyuluhan
agama dan pembangunan oleh Penyuluh Agama adalah sistem pelaporan dengan bentuk
campuran antara blanko isian dan uraian, ditinjau dari sisi waktu; periode mingguan dan tahunan
sesuai dengan wilayah menurut tingkat Jabatan Penyuluh Agama.
Blanko isian, diharapkan Penyuluh Agama dapat melaksanakan pelaporan dengan mudah
dan baik tanpa mengurangi kelengkapan informasi yang dibutuhkan dalam pelaporan tersebut,
sedangkan dengan uraian yang sederhana mungkin sebagai pendukung, diharapkan tidak
menyulitkan Penyuluh Agama.
Periode mingguan, diharapkan dapat memicu Penyuluh Agama untuk melaksanakan
tugas pokoknya secara rutin, teratur dan terencana.
Tingkatan wilayah, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas pokok bagi
masing-masing Penyuluh Agama sesuai dengan tingkat jabatannya.
A. Jenis Laporan
Jenis laporan Penyuluh Agama dikelompokkan dalam dua jenis:
1. Laporan Bimbingan atau Penyuluhan.
Laporan bimbingan atau penyuluhan adalah suatu bentuk penyajian data yang berisi
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Penyuluh Agama selama kurun waktu satu
minggu dalam melaksanakan bimbingan atau penyuluhan dibidang keagamaan dan
pembangunan kepada masyarakat muslim yang menjadi kelompok binaannya, baik
secara langsung bertatap muka atau melalui media massa.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Penyuluh Agama yang dimaksudkan disini
meliputi persiapannya, pelaksanaannya dan evaluasi.
2. Laporan Konsultasi
Yang dimaksud dengan laporan konsultasi adalah suatu bentuk penyajiann data yang
berisikan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Penyuluh Agama selama kurun
waktu satu minggu dalam memberikan arahan dan bimbingan langsung melalui dialog
dua arah dibidang keagamaan dan pembangunan kepada masyarakat muslim yang
membutuhkan konsultasi, baik secara perorangan maupun kelompok.
B. Bahan Laporan
Bahan laporan mingguan artinya laporan ini dibuat secara priodik sekali satu minggu
berdasarkan bahan yang tersedia. Bahan laporan akan dapat diperoleh secara cepat dan tepat
apabila telah disiapkan secara terencana, disiplin dan terawat.
Bahan-bahan yang dimaksud adalah;
1. Rencana kegiatan operasional (RKO)
2. Jadwal kegiatan bimbingan/penyuluhan
3. Memiliki buku catatan harian untuk menulis rincian kegiatan penyuluhan yang
dilakukan setiap hari, meliputi waktu, jenis, materi, sasaran, dan hasil penyuluhan.
4. Bundel materi penyuluhan
5. Bundel laporan
6. Memiliki fasilitas kantor/ruang kerja
7. Menata buku catatan, map-map seperti order, lemari.
Pada dasarnya ruang lingkup laporan Penyuluh Agama sbb:
1. Materi Penyuluhan
Laporan mingguan Penyuluh Agama berisikan materi penyuluhan atau bimbingan
baik bimbingan agama maupun pembangunan, materi dibuat hanya pokok bahasan
dan sub pokok bahasan.
Materi penyuluhan yang digunakan untuk penyuluhan dari berbagai kelompok
sasaran selama satu minggu terakhir.
Pokok bahasan dalam penyusunan laporan, yang harus dikemukakan oleh penyuluh
agama berkenaan dengan materi:
a. Rangkuman materi berupa pointer
b. Alasan pemilihan pokok bahasan untuk masing-masing kelompok
c. Target yang akan dicapai.
2. Kelompok Sasaran/Binaan
Kelompok sasaran/binaan adalah kelompok dalam masyarakat yang menjadi binaan
dalam melaksanakan bimbingan, yang dilaporkan adalah yangb erkaitan dengan jenis
kelompok sasaran, jumlah masing-masing kelompok binaannya baik jumlah
anggotanya maupun jumlah kehadirannya
3. Kegiatan yang dilaporkan yaitu bidang bimbingan atau penyuluhan agama dan
pembangunan yang meliputi unsur kegiatan:
a. Persiapan bimbingan atau penyuluhan
b. Pelaksanaan bimbingan atau penyuluhan
c. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan hasil pelaksanaan bimbingan atau
penyuluhan
d. Pelayanan konsultasi agama dan pembangunan.
Teknik Penyusunan Laporan Mingguan
A. Laporan Bimbingan atau Penyuluhan
Penyuluh Agama yang telah melaksanakan tugas bimbingan atau penyuluhan selama satu
minggu diwajibkan membuat laporan.
Bukti fisik kegiatan laporan mingguan adalah naskah laporan mingguan. Setiap naskah
laporan mingguan memperoleh nilai angka kredit yang berbeda sesuai tingkat jabatan
Penyuluh Agama yang membuatnya.
Penyusun Laporan Satuan Nilai Angka
Kredit
Penyuluh Agama Terampil Pelaksana Setiap naskah 0.008
Penyuluh Agama Terampil Pelaksana Setiap naskah 0.02
Lanjutan
Penyuluh Agama Terampil Penyelia Setiap naskah 0.04
Penyuluh Agama Ahli Pertama Setiap naskah 0.02
Penyuluh Agama Ahli Muda Setiap naskah 0.04
Penyuluh Agama Ahli Madya Setiap naskah 0.06
1. Mekanisme Penyusunan Laporan Mingguan
Mekanisme penyusunan laporan mingguan dibedakan menurut klasifikasi kelompok
binaan
a. Laporan Mingguan untuk Kelompok Binaan Tetap.
Penyuluh Agama yang mempunyai kelompok binaan tetap lebih dari satu, apabila
setiap kelompok binaan diberikan bimbingan atau penyuluhan sekurang-
kurangnya satu kali dalam seminggu, maka naskah laporan mingguan dibuat
sebanyak kelompok binaannya.
Akan tetapi apabila bimbingan atau penyuluhan diberikan kurang dari satu kali
dalam seminggu, maka laporan mingguan dibuat hanya satu naskah untuk seluruh
kelompok binaannya.
b. Laporan Mingguan untuk kelompok Binaan Tidak Tetap.
Pelaksanaan bimbingan atau penyuluhan kepada kelompok binaan tidak tetap
harus disertai dengan surat tugas dari pimpinan unit kerja Penyuluh Agama yang
bersangkutan.
Laporan mingguannya dibuat dalam satu naskah, walaupun dalam seminggu
Penyuluh Agama yang bersangkutan memberikan bimbingan atau penyuluhan
lebih dari satu kali.
2. Sistematika Penyusunan Laporan
Sistematikan Laporan mingguan Penyuluh Agama Terampil dengan Penyuluh Agama
Ahli hampir sama (lampiran), yang membedakan adalah adanya tambahan variabel
isian : evaluasi terhadap materi, peserta dan penyelenggara, masalah-masalah yang
ditemukan yang berkaitan dengan bimbingan atau penyuluhan, alternatif pemecahab
yang memungkinkan masalah-masalah tersebut dapat diatasi.
B. Laporan Layanan Konsultasi
Salah satu sub. unsur kegiatan Penyuluh Agama adalah melakukan kegiatan
konsultasi agama dan pembangunan baik untuk perorangan maupun kelompok. Hasil
dari kegiatan harus disusun dalam naskah laporan hasil konsultasi perorangan atau
kelompok. Pembuatan laporan dilakukan setiap bulan.
Bukti fisik penyusunan laporan hasil konsultasi perorangan atau kelompok adalah
naskah laporan. Naskah tersebut nilainya berbeda-beda sesuai tingkat jabatan
Penyuluh tersebut.
Penyusun Laporan Satuan Nilai Angka
Kredit
Penyuluh Agama Terampil Pelaksana Setiap naskah 0.001
Penyuluh Agama Terampil Pelaksana Setiap naskah 0.01
Lanjutan
Penyuluh Agama Terampil Penyelia Setiap naskah 0.02
Penyuluh Agama Ahli Pertama Setiap naskah 0.01
Penyuluh Agama Ahli Muda Setiap naskah 0.02
Penyuluh Agama Ahli Madya Setiap naskah 0.03
KESIMPULAN
Salah satu tugas Penyuluh Agama Fungsional adalah menyusun laporan baik laporan
bimbingan maupun laporan konsultasi. Penyusunan laporan ini tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan bimbingan penyuluhan agama. Kegiatan penyusunan laporan ini memiliki nilai angka
kredit.
Contoh Laporan Mingguan :
LAPORAN MINGGUAN
PENYULUH AGAMA AHLI
PELAKSANAAN BIMBINGAN ATAU PENYULUHAN AGAMA
MINGGU KE DUA APRIL TAHUN 2012
KEPADA KOMPLEK PERUMAHAN

OLEH :
Drs. Yusri Nurdin
NIP. 1985 1404 2006 2001
Penata Muda/Penyuluh Agama Pertama
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KAB. TANAH DATAR
TAHUN 2012
LAPORAN MINGGUAN
PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN AGAMA
MINGGU KEDUA APRIL 2012
Pendidikan iman Katolik anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki dan
sekolah

Tak kenal maka tak sayang


Pada tanggal 1 April 2010, kami di Katolisitas menerima pesan
yang sungguh tajam, yang diawali dengan kalimat demikian, “Salam
dari Sydney, Australia. Saya adalah bekas pengikut agama Katolik
yang sekarang pindah ke Kristen [Protestan]. Penyebabnya adalah
dikarenakan karena pengajaran agama Katolik tidak benar-benar
berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi….
hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari
Tuhan. Tetapi Alkitab adalah datang dari Tuhan. Mungkin hal ini
berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yang tidak pernah
tahu tentang sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian
terbuka.”
Demikianlah pesan yang kami terima dari Sherly, Australia.
Komentar ini merupakan awal dari dialog yang panjang antara dia
dengan kami di Katolisitas. Namun semua tanggapan-
tanggapannya malah menunjukkan suatu fakta bahwa
sesungguhnya, Sherly-lah yang belum sempat memahami ajaran
Gereja Katolik yang sebenarnya, sebelum ia memutuskan untuk
meninggalkan Gereja Katolik. Demikianlah, pandangan Sherly ini
menjadi pandangan umum yang mungkin dimiliki oleh banyak
orang yang pindah dari Gereja Katolik ke gereja- gereja non-
Katolik. Sayang memang, bahwa mereka pindah sebelum sungguh-
sungguh mengenal iman Katolik mereka. “Tak kenal maka tak
sayang”, nampaknya inilah yang terjadi. Banyak orang Katolik tidak
dengan sungguh mengenal iman Katolik, sehingga mereka dengan
mudah berpindah ke gereja- gereja lain.

Alasan orang pindah Gereja


Walaupun ada banyak alasan yang dikemukakan, namun
setidaknya, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa orang
Katolik berpindah ke gereja lain. Umumnya, alasannya adalah
karena mereka merasa imannya tidak bertumbuh di Gereja Katolik;
mereka berpikir bahwa ajaran Gereja Katolik itu salah/ tidak sesuai
dengan Alkitab; mereka merasa orang- orang Katolik hidupnya
tidak baik dan mereka merasa tidak diperhatikan di dalam Gereja
Katolik.
Alasan- alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan adanya
kerapuhan akar iman Katolik dalam diri orang yang bersangkutan,
di samping ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki dalam
kehidupan menggereja dan proses katekese di dalam Gereja
Katolik. Namun, adalah satu kenyataan, bahwa mereka tidak
sungguh- sungguh mengenal dan menghayati imannya, sehingga
mudah terpengaruh, gampang ragu, atau akhirnya apatis sambil
mengatakan, “ah, kan semua agama sama saja”. Secara obyektif
harus diterima, bahwa akar permasalahan ini sesungguhnya berawal
dari kurangnya pendidikan iman Katolik pada anak- anak Katolik,
sejak usia dini, baik di dalam keluarga, paroki maupun sekolah.
Sebab, jika iman sudah berakar sejak usia dini, sesungguhnya
seseorang tidak akan pernah meragukan imannya atau dengan
mudah berpindah gereja, atau bahkan berpindah agama.
Sekarang, mari kita lihat permasalahan pendidikan iman
Katolik, mulai dari menggambarkan kondisi ideal dan
membandingkannya dengan kondisi yang banyak dialami oleh
keluarga, paroki dan sekolah. Setelah itu, kita akan melihat secara
mendalam tentang tantangan di masing-masing tingkatan serta
usulan-usulan untuk memperbaikinya.

Idealisme dan kenyataan


1. Seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu
membahu
Adalah suatu impian dari Gereja, bahwa semua anggota dari
Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu menciptakan suatu
iklim, di mana setiap umat Allah dapat terus berjuang dalam
kekudusan, sehingga pada akhirnya seluruh umat Allah dapat
sampai pada Tanah Terjanji, yaitu Surga. Sungguh menjadi suatu
kondisi yang begitu ideal, jika keluarga -sebagai Gereja yang
terkecil- menjadi tempat di mana anak-anak mendapatkan pondasi
yang kokoh dalam iman Katolik dan anak-anak dapat belajar untuk
mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan kata lain,
keluarga menjadi tempat di mana anak-anak dapat bertumbuh
dalam kekudusan.
Situasi yang kondusif di dalam keluarga untuk bertumbuh
dalam kekudusan seyogyanya berlangsung terus-menerus, juga
ketika anak-anak berada di sekolah. Keluarga dan sekolah harus
bersama- sama melakukan pembentukan dan pembinaan karakter
anak- anak untuk menjadi seperti pribadi Kristus. Pendidikan
sekolah yang baik berfokus pada pembentukan anak-anak untuk
menemukan jati dirinya sebagai anak-anak Allah, dan membantu
anak-anak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan
pikiran. Kasih kepada Tuhan ini juga dimanifestasikan dalam
mengasihi sesama, yaitu anak-anak dilatih untuk menjadi seseorang
yang tidak hanya memikirkan kepandaian/ kebaikan sendiri,
namun juga mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Sekolah
menjadi suatu tempat, di mana anak-anak dapat memusatkan
perhatian pada sesuatu yang benar- benar baik, benar, dan indah
(the good, truth, and beautiful); dan bahwa di dalam kebersamaan,
sesuatu yang baik, benar dan indah tersebut, semakin
menampakkan buah- buahnya.
Selanjutnya, setelah mendapatkan pondasi iman di dalam
keluarga dan sekolah, maka Gereja di tingkat paroki memberikan
kesegaran kepada anak-anak dengan memperkuat pondasi iman,
menyegarkan dan menguatkan anak-anak dengan sakramen-
sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Anak-
anak yang mengikuti Bina Iman di paroki dilatih untuk mengetahui
dan mengasihi Sabda Allah dan iman Katolik. Pada saat yang
bersamaan, orang tua juga dapat memperdalam iman mereka
dengan mengikuti berbagai kegiatan pembinaan iman di paroki,
sehingga mereka dapat mengajarkan iman Katolik yang benar
kepada anak-anak mereka di dalam keluarga.
Dengan kondisi yang kondusif di keluarga, sekolah dan
paroki, anak-anak dapat dibentuk dan diarahkan untuk
memberikan dirinya kepada Tuhan, dan masyarakat sekitarnya,
sehingga pada akhirnya kekristenan dapat membentuk masyarakat
yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani.
2. Bagian-bagian dari Tubuh Mistik Kristus belum saling
mendukung.
Namun, sayangnya kondisi yang kondusif di keluarga, paroki
maupun di sekolah, seperti yang digambarkan di atas, sering tidak
kita jumpai; entah karena semua bagian kurang menjalankan
fungsinya atau hanya satu atau dua bagian yang menjalankan
fungsinya dengan baik. Betapa sering kita menjumpai keluarga-
keluarga, di mana orang tua, yang walaupun keduanya Katolik,
tidak memperhatikan pendidikan iman anak-anaknya, atau hanya
seolah-olah mencukupi kebutuhan fisik anak-anak. Hal ini
dipersulit dengan kondisi pekerjaan dan kemacetan di kota-kota
besar, sehingga orang tua kurang mempunyai waktu yang cukup
bagi anak-anaknya.
Kondisi yang kurang mendukung di dalam keluarga
diperparah dengan kondisi yang cukup memprihatinkan di dalam
pendidikan di sekolah. Sebagian sekolah non-Katolik tidak
memberikan pendidikan Katolik dengan baik, bahkan kadang-
kadang mengajarkan pokok-pokok iman yang bertentangan dengan
iman Katolik. Sekolah Katolik sendiri mulai kehilangan
identitasnya, di mana nama ‘Katolik’ seolah hanya diartikan sebatas
memberikan pelajaran agama Katolik seminggu sekali dan Misa
bersama sebulan sekali. Padahal sangatlah penting untuk
melakukan pendekatan yang holistik untuk menyampaikan
pendidikan iman yaitu: iman Katolik yang merasuk ke dalam sendi-
sendi kehidupan di sekolah, di setiap mata pelajaran, dan di setiap
kegiatan di sekolah untuk membentuk karakter anak dengan baik,
sehingga mereka tidak hanya bertumbuh dalam hal intelektual,
tetapi juga dalam hal kekudusan.
Kondisi yang kurang ideal dapat juga terjadi dalam kehidupan
menggereja di tingkat paroki. Secara umum, paroki-paroki
cenderung lebih menekankan akan banyaknya kegiatan tanpa
memperhatikan kesinambungan pembinaan iman secara terus-
menerus, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa.

Dikotomi dalam pendidikan iman Katolik


1. Kontinuitas vs hit and run
Kalau kita amati, ada banyak kegiatan-kegiatan di dalam gereja
yang bersifat hit and run, artinya program-program tersebut
diselenggarakan sesekali dalam satu tahun dan kemudian selesai
tanpa koordinasi dengan program-program yang lain, tanpa ada
tindak lanjut dari program tersebut setelah acara selesai. Program-
program seperti ini memang lebih mudah dilaksanakan dan
dikoordinasikan, namun hanya mempunyai efek sesaat. Sedangkan,
program-program yang bersifat berkesinambungan kurang
mendapat perhatian yang serius. Kemungkinan sebabnya adalah
karena program-program seperti ini membutuhkan komitmen yang
besar, dan umumnya kurang memperlihatkan efeknya dalam waktu
singkat, walaupun dapat memberikan efek jangka panjang yang
lebih efektif. Sebagai contoh, program-program seminar sehari di
paroki dengan topik yang bermacam-macam menjamur sepanjang
tahun. Namun, program-program seperti pendampingan
kehidupan perkawinan, pembinaan rohani komunitas basis,
pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi
dan komitmen yang terus menerus dari para pembinanya tidak
terlalu mendapatkan prioritas dalam kehidupan menggereja.
Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari
Kristus sendiri yang hadir dalam sakramen- sakramen, terutama
Ekaristi dan Sakramen Tobat. Maka pertanyaannya menjadi
semakin menjurus tajam: Sejauh mana paroki yang menginginkan
pertumbuhan iman umat mengadakan Adorasi Sakramen
Mahakudus? Adakah kapel adorasi di paroki? Sudahkah
menggiatkan umat untuk mengikuti Misa harian di paroki maupun
di Lingkungan? Sudahkah membuka kesempatan Pengakuan Dosa,
sedapat mungkin setiap hari? Sudahkah menggiatkan doa rosario
dan pendalaman Kitab Suci dalam keluarga? Tentunya, semua ini
harus didasari oleh katekese yang baik kepada umat, sehingga umat
dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka
peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia bagi kita semua melalui
doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang
bersumber pada Misteri Paska Kristus.
Demikian juga, gejala ‘hit and run’ terjadi dalam keluarga dan
sekolah. Lebih mudah bagi orang tua untuk mengirim anak-anak
mengikuti retret daripada membuat komitmen untuk setiap malam
membacakan Alkitab kepada anak- anak, karena hal ini menuntut
pengorbanan orang tua dalam hal waktu dan tenaga. Demikian juga
kondisi di sekolah, mengirim murid- murid untuk mengikuti
program live-in ke desa- desa akan terasa lebih mudah dilaksanakan,
daripada mengintegrasikan iman Katolik secara konsisten dalam
setiap sendi kehidupan sekolah. Padahal, bukankah penerapan
iman yang baik tidak semata dicapai dengan cara “hit and run“,
melainkan harus terus menerus menjadi bagian dari kehidupan
seseorang, atau mungkin lebih tepat, menjadi gaya hidup umat
beriman? Dan untuk menjadi gaya hidup, tidak ada cara lain,
kecuali bahwa nilai- nilai iman harus diterapkan secara konsisten
dari mulai hal-hal terkecil sampai ke hal-hal besar, di berbagai sendi
kehidupan, dan dimulai dari anak-anak sejak usia dini.
Pernahkah kita berfikir, mengapa ada sebagian umat Katolik
yang setelah mengikuti pelajaran agama selama satu tahun, namun
pengetahuan Alkitabnya kurang dibandingkan dengan sebagian
umat Kristen non Katolik yang tidak menjalani pelajaran agama
namun langsung diterima di dalam jemaat? Melihat fakta ini,
mungkin memang kualitas proses dan bahan katekese di Gereja
Katolik secara umum kurang memadai. Sementara gereja Kristen
non-Katolik giat melakukan proses pendidikan iman secara terus
menerus dengan menerapkan komunitas basis/ cell-group, Gereja
Katolik yang melakukan kegiatan katekese selama satu tahun itu
kurang menindaklanjutinya dengan pembinaan iman yang bersifat
terus menerus. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa
ada paroki-paroki yang telah menjalankan pembinaan umatnya
secara terus-menerus, namun adalah suatu tantangan agar semua
paroki di tanah air juga dapat menerapkan hal serupa, agar semua
umat Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman dan kekudusan,
sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V:
Panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.
2. Pembinaan spiritualitas vs aktivitas
Berapa sering kita mendengar diskusi yang seru untuk
menyusun program dan aktivitas di dalam pertemuan dewan paroki
harian maupun pertemuan besar dewan paroki pleno. Mereka
merencanakan diadakannya seminar, pertemuan rutin, retret
keluarga, dan segudang kegiatan lainnya. Program-program seperti
ini adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah pernah terlintas di
pikiran kita bahwa pada akhirnya semua kegiatan ini harus
mempunyai satu tujuan, yaitu membawa umat Allah untuk
bertumbuh dalam kekudusan, yang menuntun kita masuk ke dalam
Kerajaan Surga? Dengan demikian, apakah program-program
berikut ini pernah dipikirkan: Bagaimana agar umat dapat
terdorong untuk mengaku dosa secara teratur misalnya sebulan
sekali? Bagaimana agar umat dapat sesering mungkin berpartisipasi
dalam Sakramen Ekaristi? Bagaimana agar umat giat dalam
menggali Sabda Allah; dan bagaimana agar umat dapat bertumbuh
dalam kasih, dll?
3. Preventif vs kuratif
Ada banyak orang tua yang mengeluh, mengapa anaknya
menjadi sulit diatur. Para guru di sekolah mengeluh bahwa anak
jaman sekarang sungguh sulit dididik. Tidak ketinggalan romo
paroki mengeluh, umat sekarang senantiasa ingin dimanja dan
dituruti kemauannya. Para orang tua bertanya mengapa anaknya
melakukan kenakalan di luar kewajaran. Pihak sekolah bertanya-
tanya mengapa anak-anak tidak mempunyai semangat belajar dan
kurang bertanggungjawab serta menganggap iman Katolik hanya
sebatas slogan belaka. Dan pihak paroki mempertanyakan
mengapa umat seolah-olah lesu darah, kurang mau berpartisipasi
dalam kehidupan menggereja, terjadi pertentangan antara satu seksi
dengan seksi yang lain. Pada saat semua ini terjadi, maka yang
dilakukan adalah mulai mencari jalan bagaimana mengatasi
masalah-masalah yang terjadi. Dengan perkataan lain, kegiatan-
kegiatan lebih bersifat kuratif dan bukan preventif. Kegiatan
banyak yang bersifat jangka pendek, namun kurang memikirkan
strategi jangka panjang.
4. Dibangun di atas batu vs dibangun di atas pasir
Ada banyak contoh dari umat yang berpindah dari Gereja
Katolik ke gereja lain, karena mereka tidak benar-benar
mengetahui pengajaran Gereja Katolik dengan baik, seperti yang
ditunjukan oleh contoh di atas. Dalam konteks ini, maka seseorang
tidak boleh hanya menghafal doktrin, namun harus mengerti alasan
di balik doktrin Gereja Katolik, yang dapat dijelaskan dengan
prinsip tiga pilar kebenaran, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan
Magisterium Gereja.
Namun, untuk mengajarkan hal ini kepada umat diperlukan
pendekatan yang benar, dengan mempertimbangkan umur dan
kondisi orang yang bersangkutan. Dengan mengerti alasan yang
benar di balik pengajaran iman Katolik, maka seseorang tidak
mudah untuk diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran
lain, yang mungkin bertentangan dengan iman Katolik. Hanya tahu
dan hafal doktrin tanpa mengetahui alasannya secara mendalam
adalah sama saja dengan membangun rumah di atas pasir (lih. Mt
7:26-27). Dia tidak dapat bertahan terhadap hujan dan angin
pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik, karena tidak
mempunyai pondasi yang kuat.
Sebagai contoh, dalam buku “Ikutilah Aku” dari Pankat KAS,
hal 131 dituliskan alasan mengapa umat Katolik menghormati
Maria, yaitu: 1) Maria Bunda Allah, 2) Maria tetap perawan, 3)
Maria tanpa noda, 4) Maria diangkat ke Sorga. Penjelasan tersebut
tidak salah, namun kurang lengkap, sehingga kurang membekali
para calon baptis (katekumen) dengan pengertian yang baik. Empat
hal di atas memang menjelaskan tentang empat dogma tentang
Bunda Maria, namun kurang menjelaskan alasan mengapa umat
Katolik menghormati Bunda Maria. Apakah penghormatan kita
kepada Maria diukur dari apakah kita percaya bahwa Maria
diangkat ke Surga? Apakah umat Kristen non-Katolik dapat
menerima penjelasan umat Katolik dengan empat alasan di atas?
Mengapakah kurang ditekankan, bahwa kita menghormati Maria,
karena Allah telah terlebih dahulu memilih dan menghormatinya?
Mengapakah kurang diberitahukan dasar- dasar Alkitabiahnya yang
menyatakan hal itu, dan bahwa Gereja sejak abad- abad awal juga
telah menghormati Maria?
5. Isi vs cara
Sebenarnya isi dan cara bukanlah hal yang bertentangan,
namun keduanya saling mendukung. Yang penting, pada akhirnya
katekumen mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan
rencana keselamatan Allah ((Paus Yohanes Paulus II, Catechesi
Tradendae, 30-31)). Dalam konteks pendidikan iman Katolik kepada
anak-anak di keluarga, para orang tua yang telah memikirkan
tentang isi dan caranya sudah maju selangkah, karena ada sebagian
orang tua Katolik yang mungkin bahkan tidak memikirkan hal
tersebut. Namun, dalam konteks paroki, seharusnya isi dan cara
harus dipikirkan secara lebih serius, sehingga tercapai kualitas
pembinaan iman yang baik, entah di tingkat anak-anak, remaja
maupun dewasa, termasuk pasangan yang akan menikah. Apakah
kita pernah mendengar keluhan dari orang tua yang mengatakan
bahwa di Bina Iman anak hanya banyak diajari mewarnai dan
menggambar? Cara memang penting untuk mengajarkan iman
Katolik, sehingga anak-anak dapat mengerti iman Katolik dengan
baik. Namun, cara yang baik tanpa ditunjang isi yang berbobot
tidaklah dapat dibenarkan.
Dalam konteks katekese dewasa, kita dapat melihat bahwa
materi yang ada sekarang, sebenarnya kurang memadai untuk
memaparkan pokok-pokok iman Katolik secara menyeluruh. Hal
ini dapat terlihat bahwa setelah pembinaan satu tahun, banyak
umat masih belum memahami imannya dengan baik, sehingga
dengan mudahnya mereka terbawa pada pengajaran yang tidak
sesuai dengan iman Katolik. Ada yang mengusulkan bahwa cara
katekese harus diperbaiki, entah dengan drama, dll. Namun, dari
hasil pengamatan, sebetulnya cara-cara tersebut dapat menjadi
bumerang, karena dapat mengambil waktu pengajaran yang
memang jelas-jelas sangat minim. Sebagai contohnya, dalam
kurikulum “Ikutilah Aku”, pembahasan tentang Trinitas (bab 34,
hal. 100-102) hanya dilakukan satu sesi (sekitar 1-1,5 jam).
Bagaimana seseorang dapat memahami esensi Trinitas dalam satu
pertemuan yang harus ditambah dengan metode-metode yang
dipandang menarik. Bagaimana dengan pendidikan iman Katolik di
sekolah? Memang pendidikan iman Katolik di sekolah tetap harus
memperhatikan cara, namun isi pengajaran juga harus diperhatikan.
Memperhatikan cara lebih utama daripada isi adalah sama dengan
terlalu memperhatikan kemasan dibandingkan dengan isi yang
sebenarnya. General Catechetical Directory menegaskan bahwa tidaklah
cukup untuk membangkitkan pengalaman spiritual tanpa dibarengi
dengan perjuangan untuk mengerti keseluruhan kebenaran akan
rencana Allah ((lihat Congregation for the Clergy, Ad Normam Decreti,
General Catechetical Directory, 38)) dengan cara mempersiapkan umat
beriman untuk mengerti Kitab Suci dan Tradisi yang hidup dalam
Gereja. ((Ibid., 24))
6. Holistik vs sporadis
Salah satu kekuatan dari Gereja Katolik adalah hirarki yang
tersusun sangat rapi, baik di tingkat stasi, paroki, keuskupan, satu
negara dan tingkat dunia. Menjadi suatu kekuatan yang begitu
besar, kalau di banyak tingkat, terutama di tingkat keuskupan dan
seluruh keuskupan di negara yang sama dapat menyediakan materi
dan sumber yang benar-benar dapat membantu proses pendidikan
iman Katolik sejak usia dini. Namun, sering dijumpai bahwa
banyak dari antara guru bina iman, katekis merasa tidak
mempunyai materi yang memadai. Perlu dipikirkan bagaimana
menggali potensi yang ada di dalam Gereja Katolik, sehingga
memungkinkan kita mempunyai bahan dan metode pengajaran
iman Katolik yang dapat dijangkau oleh seluruh umat beriman dari
berbagai tempat. Yang perlu dipikirkan adalah memberikan
informasi selengkap mungkin, sehingga memungkinkan katekis
untuk memilih bahan yang ada dan menerapkannya secara kreatif
pada peserta yang mempunyai latar belakang, umur, budaya dan
pendidikan yang berbeda.

Kurangnya pendidikan iman anak sejak usia dini


Mari, kita melihat permasalahan dan tantangan ini secara lebih
mendalam. Hal kurangnya pendidikan iman anak sejak usian dini
terlihat tidak saja di rumah/ di tengah keluarga, tetapi juga di
sekolah, bahkan di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya
sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan, apakah sudah
cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik
yang meninggalkan Gereja Katolik.
1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah
hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk
dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu
yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika
berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang,
apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya
perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari
kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan
mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan
dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin
mendapatkannya dari permainan game di komputer/
internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger),
nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa
ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik
daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan
orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan
kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak
anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya
prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama
sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka.
Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya
menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda
dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita
orang tua hanya dapat mendoakan…. ’
Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah
mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah,
dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan
dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke
Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan karakter anak sampai
menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah,
merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh
para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan
sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat
komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan
orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan
bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat
wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah
mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah
malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua
mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka,
anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?
2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah
Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di
sekolah- sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah-
sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat
kita menjadikan sekolah- sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati
diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan iman
Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama
sekali seminggu, dan diadakannya Misa Kudus bagi semua murid
sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan
yang lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit
pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak
sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya
hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun kurang
menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan
mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak-
anak tidak atau kurang mempunyai hubungan yang pribadi dengan
Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai,
sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak
berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi
kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak
mengherankan jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius
merosot.
Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih
merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman
Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain,
mulai dari sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kesenian,
dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya
menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan
iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk
melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras
dari pihak pengajar dan koordinator kurikulum di sekolah, namun
jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.
3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di paroki
Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak- anak juga
mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi
oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi
oleh para pengajar/ katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan
Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak- anak se-efektif
mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/
katekis dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar
tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan mewarnai,
melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang
dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka
dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah
berikan kepada mereka.
Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi
secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang
tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar
iman Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para
katekis membutuhkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan
untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru- guru Bina Iman,
evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan
mereka untuk memperoleh bahan- bahan pengajaran (yang
lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian,
dari kisah- kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk
disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’
sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian,
diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya,
dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar,
di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.
Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan
iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama
sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada
beberapa paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau
merekomendasikan anak- anak ini untuk bergabung dengan dalam
komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya
sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung
dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di
paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya.
Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak-
anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus,
yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik.
Prosentase jumlah anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap
tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai kesulitan untuk
bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena
bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah
bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa
menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Bagaimana seharusnya?
Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani
(Gravissimum Educationis) menyatakan tujuan pendidikan secara
umum, dan pendidikan Kristiani secara khusus, demikian:
1. Secara umum
“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai
pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan
terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok
masyarakat, di mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan
bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas
kewajiban di dalamnya.” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum
Educationis, 1))
Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini adalah
kehidupan kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian,
pendidikan secara umum harus mengarah kepada
pembentukan (formation) pribadi manusia secara utuh, baik
dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi
manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan
ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga.
2. Secara khusus
a. Pendidikan Kristiani bertujuan untuk pendalaman misteri keselamatan,
iman, makna kekudusan, memberi kesaksian tentang pengharapan Kristiani.
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan
pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama
hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi
langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari
ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka
terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh
dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi;
supaya mereka dibina untuk menghayati hidup
mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan
kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan
demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat
pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13),
dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali
itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan
melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang
ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan
dunia menurut tata-nilai Kristiani …” ((Ibid))
b. Pendidikan Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam
hidup manusia
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan,
kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang
tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak
mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia.
Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang
kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi,
dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja,
yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia
daripada karena apa yang dia miliki.” ((Paus Yohanes Paulus
II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37))
Adalah suatu permenungan, sejauh manakah hal- hal yang
disebutkan di atas dilakukan di dalam keluarga, di sekolah dan di
paroki?

Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga


a. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada
anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius untuk mendidik
anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui
sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak
mereka” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga
KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36)). Dengan demikian, orang
tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk
mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi
Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak
mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan
kepada orang lain. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris
Consortio 36))
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak-
anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak
dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya. Orang
tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk
hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan
keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat
bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk
dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri
membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam
proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua
bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui
apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku-
buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di
sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya.
Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun
dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les.
Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan
pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang
mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak
untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national
plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir,
asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai.
Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru
les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun
orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik
utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit,
karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan
komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa
bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada
mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan
sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong
anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan,
memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap
merangkul dengan kasih, dst.
Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada pengaruh
media massa ke dalam kehidupan anak- anak. Terlalu banyak
menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi
jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua.
Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi
jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak-
tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung
merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan,
kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Tak kalah seru, adalah
kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak remaja. Jika
memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk
memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan
pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak
terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau
sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk
berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam
pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat
kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB
memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika
yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran
iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang-
orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan
mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer
tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa?
Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah
kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.
b. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan
pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup
manusia.
Dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang
esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini
menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran
Apostoliknya, Familiaris Consortio, adalah: 1) keadilan yang
menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang
termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan; 2) hukum kasih:
memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita, 3)
pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi
manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa; 4) pendidikan tentang
kemurnian (chastity); 5) pendidikan moral yang menjamin anak-
anak bertanggungjawab. ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris
Consortio 37)).
c. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di rumah
Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah
yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama,
sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak-
anak dapat ditumbuhkan ((Konsili Vatikan II, Gravissimum
Educationis 3)). Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak,
sehingga kasih itu harus menjiwai semua prinsipnya, disertai juga
dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan
dan pengorbanan ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris
Consortio, 36)). Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua
adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit
menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.
d. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk
menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah yang
memberikan teladan.
Keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk
menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti:
memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika
berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling
menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling
memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin,
saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota
keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua
selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut,
dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan
perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui
teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya
melalui perkataan saja.
e. Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat dilakukan
di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya ini tidak
harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti
membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih
hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain
tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar,
atau sama- sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan
diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan
dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun
dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman.
Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat
dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia
dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat
menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya
kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara
yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga
pergi menjenguk dan menghibur mereka.
Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran
tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya,
sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan
kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya,
misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan
ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu
untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup
dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua
maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal yang harus
dilakukan
Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa
bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari atau sore hari.
Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that prays together, stays
together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu bersama).
Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah
makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan,
doa rosario, atau doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan
dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan dengan renungan
Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua dapat melakukan sharing
iman sesuai dengan ayat- ayat yang direnungkan.
g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke
dalam Gereja
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur
diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman
yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk
membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam
kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan,
ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja.
Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga
diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus
memberikan dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian
dalam sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat.

Pendidikan iman Katolik di sekolah


Sekolah melaksanakan peran yang penting di dalam membantu
para orang tua mendidik anak- anak mereka. Dalam hal ini, sekolah
tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual
anak, tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak,
memilah hal- hal yang baik dan yang buruk, meneruskan tradisi
yang baik dari generasi sebelumnya, dan untuk mempersiapkan
anak- anak untuk kehidupan sesuai dengan profesi mereka di masa
datang.
Berikut ini adalah masukan tentang “Apakah yang menjadikan
suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?” yang kami peroleh dari
Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas. Maria
berdomisili di Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat
dalam penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik di sana:
“Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah
Katolik?
1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang bertujuan untuk membentuk anak
menjadi kudus
Tujuan dari sekolah tersebut adalah tidak hanya mengajar,
melainkan juga membentuk anak- anak menjadi pribadi yang utuh.
Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis, tetapi
juga untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada
kekudusan. Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, maka sekolah
Katolik yang baik harus tidak hanya mengisi ‘kepala’ murid-
muridnya dengan informasi, tetapi harus juga mengisi hati murid-
muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah Katolik harus
menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan
melayani: pelayanan kepada sesama, kepada negara dan kepada
Tuhan.
2. Semua guru/ pendidik di sekolah harus Katolik dan bekerja sama dengan
para orang tua murid untuk mendidik anak- anak, terutama dalam hal iman.
a. Semua guru di sekolah harus Katolik dan mereka harus
mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik dengan baik, dan
melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju
dan mengasihi semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus
mengejar kekudusan dalam kehidupan mereka sehari- hari.
b. Adalah ideal jika sekolah mempunyai juga imam pembimbing
rohani yang turut aktif membina sekolah tersebut. Atau suster
(biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan
ataupun biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata
pelajaran Agama atau mata pelajaran lain sesuai dengan keahlian
masing- masing- dapat menjadi tokoh panutan bagi murid- murid
dan membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.
c. Para guru juga harus menerapkan ajaran iman Katolik di dalam
pengajaran mereka di dalam setiap mata pelajaran. Mereka harus
mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman
dalam pengajarannya kepada murid- murid.
d. Setiap murid harus dihargai martabatnya sebagai anak Allah, dan
sebaliknya semua murid harus menghormati dan menaati para
gurunya.
e. Sekolah harus bersama- sama dengan orang tua mendidik anak-
anak dan membentuk karakter mereka, sebab pada akhirnya, orang
tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal
iman bagi anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru,
dan tidak cenderung mempunyai sikap curiga kepada guru yang
memberikan koreksi ataupun teguran kepada anaknya.
3. Kurikulum sekolah harus Katolik:
a. Liturgi harus dimasukkan di dalam kurikulum sekolah, seperti
perayaan Misa Kudus, adorasi Sakramen Mahakudus, dst.
b. Buku- buku yang dipergunakan harus baik secara akademis,
namun juga setia terhadap ajaran Gereja. Ini tidak berarti bahwa
semua buku harus merupakan buku- buku Katolik. Namun
demikian, buku- buku tersebut harus tidak bertentangan dengan
ajaran Gereja. Semua buku harus mengajarkan semua mata
pelajaran secara akademis dengan baik.
c. Kurikulum harus mengajarkan kepada para murid, “Bagaimana
untuk BELAJAR” dan “Bagaimana untuk BERPIKIR”, dan bukan
hanya sekedar memberikan kepada mereka banyak informasi.
Kurikulum harus mengajar anak- anak untuk berpikir kritis, analitis
dan jika memungkinkan secara filosofis. Pada akhirnya, setelah luus
SMA anak- anak harus dapat menjawab beberapa pertanyaan
fundamental, seperti: Siapakah aku? Mengapa saya ada di dunia?
Apakah tujuan hidupku? Siapakah Tuhan dan apakah rencana-Nya
bagi dunia dan saya?
d. Iman harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, di dalam semua
mata pelajaran. Semua mata pelajaran berhubungan dan saling
mendukung satu dengan lainnya. Sebagai contohnya, ketika mereka
belajar sejarah, mereka perlu juga melihat sejarah dari sudut
pandang Katolik. Kurikulum pelajaran sejarah harus juga
mengajarkan tentang sejarah keselamatan dari Tuhan, peran para
Santa/ Santo dalam kurun waktu/ sejarah tertentu.
e. Literatur dan buku- buku bacaan harus memasukkan buku- buku
Katolik dan kisah- kisah klasik yang mengajarkan nilai- nilai
kebajikan dan membedakan antara yang baik dari yang jahat, yang
benar dari yang salah. Di mata Tuhan, pada akhirnya orang- orang
yang baik akan menang dan mereka yang jahat selalu kalah.
Contohnya, buku kisah the Chronicles of Narnia adalah lebih baik
daripada Harry Potter, karena karena pada kisah Narnia, tokoh-
tokoh utamanya adalah anak- anak yang baik, dan bukan penyihir.
Dewasa ini banyak buku yang ingin mengacaukan konsep yang
baik dan yang jahat pada anak-anak. Kejahatan dapat kelihatan
bagus, menarik dan berani, namun kejahatan adalah kejahatan, dan
kita tidak dapat membungkusnya dengan gula- gula seolah- olah itu
baik.
f. Penekanan harus diberikan pada mata pelajaran dasar, seperti:
membaca, menulis dan artimetika (matematika). Sekolah harus
mengajarkan kepada anak- anak bagaimana membaca dengan baik,
terutama buku- buku dengan banyak tulisan (bukan buku berupa
komik yang memuat banyak gambar).
g. Contoh- contoh adalah sangat penting, terutama ketika guru
mengajarkan matematika dan ilmu pengetahuan. Anak- anak dapat
belajar dengan baik ketika mereka menggunakan indera mereka,
tidak hanya dengan mata, telinga dan otak, tetapi juga dengan alat
peraba (misalnya pengajaran penjumlahan, dipraktekkan dengan
menghitung koin, dst). Kurikulum harus mengkaitkan buku- buku
pelajaran dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, pengalaman
praktis adalah sesuatu yang baik. Contohnya, ajarkan mereka untuk
menghargai dan menyukai ilmu pengetahuan melalui pengalaman
keluar melihat alam sekitar, tidak saja dari buku. Saat -saat seperti
ini, adalah saatnya bagi para guru untuk mengajarkan tentang
Tuhan dan keajaiban alam ciptaan-Nya.
4. Lingkungan di dalam sekolah harus Katolik:
a. Harus ditekankan dan dipelihara, suatu lingkungan sekolah yang
menyatakan kasih dan saling menghormati, di antara para guru,
murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/
marah- marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru
dan murid- murid ataupun di antara para murid). Jika seorang
murid berbuat salah, jangan dipermalukan: tidak diperkenankan
mengkoreksi murid di hadapan para murid yang lain.
b. Para murid harus merasa bahwa mereka dikasihi dan dihargai.
Guru- guru ada di sana untuk membantu mereka untuk menjadi
seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
c. Tidak perlu menghargai mereka dengan banyak kado/ bingkisan.
Para murid seharusnya di harapkan untuk melakukan yang terbaik
menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang
terbaik dari diri mereka kepada Tuhan.
d. Para Santa/ Santo harus menjadi teladan mereka, dan bukan
para bintang film/ selebriti. Maka adalah tugas para guru untuk
memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.
e. Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana untuk berpikir
sendiri, dan untuk memberikan dorongan/ inspirasi agar mereka
menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama,
dan mencintai Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan
kebajikan. Ketentuan tersebut harus mendorong para murid untuk
menjadi semakin berbudi dan kudus.
f. Persaingan dalam sekolah harus tidak hanya di bidang akademis,
olah raga dan musik, tetapi juga dalam hal pembangunan karakter.
Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap
murid- murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/
rajin, dan suka menolong, dst.”
Dengan demikian, memang ada banyak hal yang dapat dilakukan
untuk menjadikan sekolah benar- benar sekolah Katolik, yang
sungguh- sungguh mengajarkan iman Katolik dan
mengintegrasikannya di dalam seluruh kegiatan belajar dan
mengajar di sekolah.
Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan di
Indonesia:
a. Doa bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa
Malaikat Tuhan (Angelus) pada jam 12 siang, dilanjutkan dengan
renungan singkat Kitab Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus
(Santa/ santo) pada hari itu sesuai dengan kalender liturgi Gereja.
b. Diadakan Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika
dapat diusahakan lebih sering lebih baik), dengan disediakannya
kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa
sebelum Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal sebulan sekali.
c. Diadakan kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli
harus dengan jujur membayar sesuai dengan jumlah yang dibeli).
Tentu anak- anak perlu dilatih untuk dapat memahami cara kerja
kantin ini.
d. Diadakan piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak-
anak saling melayani.
e. Pelajaran tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni
suara/ musik, seni lukis, menjahit, keramik, pidato dst.
f. Demikian juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari
menggunakan buku- buku yang tidak sesuai dengan ajaran iman
Katolik, seperti evolusi Darwin (makroevolusi), atau buku sejarah
yang mengatakan bahwa Abad Pertengahan adalah Abad
kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah terlalu
penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika
pemakaian buku- buku tersebut tidak dapat dihindari, minimal para
guru dapat memberikan penjelasan yang meluruskannya.
g. Pendidikan seksualitas pada anak- anak sesuai dengan umurnya,
dengan menyampaikan nilai- nilai Kristiani sesuai dengan ajaran
Gereja Katolik.

Pendidikan iman Katolik di paroki


Mengingat fakta secara umum, bahwa dewasa ini banyak orang
Katolik tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, maka
pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya
adalah, kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua.
Katekese anak dapat dilakukan melalui Bina Iman, yang dilakukan
sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun mungkin baik
dipikirkan jika terdapat buku panduan dari pihak keuskupan
setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan
pengajaran.
Alangkah baiknya, jika pastor paroki menghimbau dan mendukung
Bina Iman, juga dalam hal mencari para pengajar yang kompeten
untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat
dilibatkan dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam
pelatihan untuk menjadi guru- guru Bina Iman. Jika keuangan
paroki memungkinkan, dapat pula diusahakan adanya staf khusus
yang menangani hal katekese umat, dalam hal ini untuk menjadi
koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan pengarahan
kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali)
sebelum mereka mengajar; ataupun juga mengkoordinasikan para
katekis lainnya yang bertugas mengajar katekumen, calon Krisma
ataupun calon penerima Komuni pertama. Alangkah baiknya jika
dalam pendidikan iman anak- anak ini, pihak orang tua dilibatkan,
misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret
keluarga ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan
orang tua, ataupun yang disertai dengan acara rekreasi keluarga.
Di samping itu perlu diperhatikan adanya kesinambungan dalam
pendidikan iman Katolik dari masa kanak- kanak sampai usia
dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia Komuni
pertama sampai usia mudika maka perlu diusahakan komunitas
‘antara’ tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru, tetapi bisa
juga mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra-
Putri Altar, Legio Maria Junior, Kelompok koor anak/ remaja,
yang diberi pandampingan rohani.
Komunitas OMK atau pasangan muda juga dapat disemangati
dengan katekese tentang pendalaman iman Katolik. Selanjutnya,
kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru
Bina Iman Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga
pelatihan OMK untuk menjadi kelompok yang berguna bagi
kegiatan membangun kehidupan menggereja, seperti menjadi
relawan yang mengunjungi dan mendoakan umat paroki yang
sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman
dalam bahasa Inggris, menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible
Sharing untuk pendalaman iman, kelompok diskusi apologetik,
kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.
Hal yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas
katekisasi adalah prinsip sponsor/ pendukung dalam proses
katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan hal yang
baru, melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu,
dan kini diterapkan kembali di banyak paroki di negara- negara
lain. Dalam proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang
sponsor (dari salah seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu
pendukung yang mendampingi katekumen sepanjang proses
katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar
katekumen dapat semakin memahami iman Katolik, membantunya
menemukan motivasi yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan
mendampinginya dalam pergumulan yang mungkin dihadapi dalam
proses katekumenat. Maka para sponsor adalah “mereka yang telah
mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi
baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”. ((Rite of
Christians Initiantion for Adults, 10)). Kemungkinan, para lulusan
kursus evangelisasi di paroki dapat diarahkan untuk menjadi
sponsor bagi para katekumen. Selain sponsor, setiap katekumen
juga mempunyai wali baptis yang mendampinginya, membantu
pertumbuhan imannya dan selalu mendoakannya setiap hari. “Para
wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para katekumen
atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung
jawab dari para orang tua baptis untuk memperlihatkan kepada
para katekumen bagaimana mempraktekkan Injil di dalam
kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan mereka di saat-
saat mereka ragu/ enggan dan kuatir, untuk menjadi saksi dan
untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan
sebelum dan sesudah baptisan.” ((Rite of Christians Initiantion for
Adults, General Introduction, 11)). Karena peran sponsor dan para
orang tua baptis sangatlah penting, maka pentinglah pula
dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan tugas
ini. Diperlukan katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat
terpanggil untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan melakukan
tugas mereka dengan suka cita. Sponsor dan para katekis harus
bersama- sama saling bahu- membahu untuk mempersiapkan calon
baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi. Perlu
dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para
katekumen ke dalam kehidupan seluruh umat beriman dalam
liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the RCIA (Rites of Christian
Initiation of Adults) yang disusun berdasarkan the Order of
Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan oleh Paus
Paulus VI pada tahun 1972. Hal ini terlihat dalam beberapa ritual
dalam liturgi yang mencerminkan beberapa tahapan dalam masa
katekumenat, sejak masa penerimaan sampai dibaptis, seperti: Rite
of Acceptance, Rite of Welcoming, Rite of Election, Rite of the
Call to Continuing Conversion, Scrutinies, Sacraments of
Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat
di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke
dalam kehidupan menggereja. Untuk membantu umat yang baru
dibaptis, maka mistagogi juga harus disusun secara serius.
Para katekis awam juga perlu terus memperdalam
pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman Katolik, sehingga
mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium
Gereja; setelah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya
pribadinya sendiri. Alangkah baiknya jika seksi Katekese KWI
secara berkala mengadakan sesi pengajaran khusus tentang
beberapa topik khas Katolik secara mendalam (misalnya Maria,
tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua
katekis. Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami
ajaran iman Katolik, yang selalu mengambil dasar dari Kitab Suci
dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi Katekese KWI juga dapat
memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya menjadi
dasar untuk pemberian sertifikat mengajar kepada para katekis.
Selanjutnya, katekese lanjutan bagi kelompok umat yang baru
dibaptis juga sangat penting. Mereka yang baru dibaptis sebenarnya
adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan pembinaan
iman lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh.
Pembinaan lanjutan ini idealnya tidak hanya dilakukan satu atau
dua kali, tetapi seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor
bagi para calon baptis dalam angkatan berikutnya. Dengan
demikian, harapannya proses katekese dapat berjalan
berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses
tersebut.

Kesimpulan
Bahwa ada banyak umat Katolik yang tidak sungguh- sungguh
mengenali imannya, menjadi tantangan bagi kita untuk
memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik. Proses
katekese atau pendidikan iman ini harus dimulai sejak dini, baik di
keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses
tersebut, harus tetap dipahami dan diterapkan bahwa orang tua
merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka
dalam hal iman dan pembentukan karakter. Dalam melakukan
tugas ini, orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki
dan ketiga pihak ini harus bersama- sama berusaha untuk
membentuk anak untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan menjadi
pribadi yang bertanggungjawab di dalam hidup ini, agar kelak dapat
masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini ada begitu banyak
tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan
iman sejak usia dini, karena ada banyak tawaran dunia yang dapat
lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi muda. Maka orang
tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk bersama-
sama berusaha untuk malaksanakan tugas pendidikan iman ini,
dengan memperhatikan isi dan cara penyampaiannya. Jika usaha
terpadu ini dapat dilakukan secara berkesinambungan, dari usia
dini sampai dewasa, maka besar harapan kita bahwa semakin
banyak umat Katolik dapat mengenal dan mengasihi imannya, dan
dapat pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk
membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita lupa akan
prinsip dasar dalam hal pendidikan iman ini : “Jangan biarkan
dunia ini yang mendidik dan membesarkan anak- anak kita, sebab
sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah yang harus mendidik
anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita bersama
sebagai anggota Tubuh Kristus secara bahu membahu bekerja
bersama Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-
Nya yang “mengendaki supaya semua orang diselamatkan dan
memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Semoga
pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah
kepada pengetahuan akan kebenaran ini, yang menghantar kita
sampai kepada kehidupan kekal.
Catatan:
Artikel ini dibuat untuk acara Temu Darat Katolisitas 2, dengan
tema “Pendidikan anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki
dan sekolah”, yang diselenggarakan pada tanggal 29 Januari 2011 di
Paroki Hati Kudus – Kramat, Jakarta.

Lampiran:
Beberapa contoh yang diterapkan dalam Sekolah Katolik
St. Adalbert, Rosholt, Wisconsin, USA:
1. Liturgi:
a. Misa Kudus, (seminggu 3x)
b. Doa Rosario bersama (seminggu 2x)
c. Benediction/ penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus
(seminggu 1x)
d. Program berdasarkan kebajikan, menurut Santa/o dalam bulan
itu
e. Pengakuan Dosa (sebulan sekali)
2. Program khusus:

a. Hari Para Orang Kudus 2 November (presentasi, buku laporan, dengan


peragaan kostum para santa dan santo).
b. Menanam kebun sekolah (Planting garden for Mother Mary, bulan
May)
c. Operation Baby Bottle, memberikan donasi bagi kegiatan pro-life
sepanjang masa Prapaska (pada masa Adven).
d. Jalan salib/ Devosi Kerahiman Ilahi (Sepanjang masa Prapaska dan
Paska)
e. Field trip yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan (contoh: ke
Taman Kota, Kebun Binatang, dst)
f. Field trip yang berhubungan dengan iman (contoh ke tempat ziarah,
gua Maria, dst)
g. Field trip yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan sosial (contoh:
ke museum)
h. Minggu Kompetisi Sekolah (pameran ilmu pengetahuan, aneka
perlombaan, dst)
i. Pelayanan masyarakat (contohnya menanam pohon- pohon,
mengumpulkan sampah pada hari the Earth Day, mengumpulkan
sembako untuk dibagikan ke warga miskin, etc)
j. Mengundang pembicara untuk memberikan pengarahan (i.e. Pastor,
Polisi, pera petugas pelindung hutan, veteran/ pensiunan pegawai
negeri).
k. Perlombaan olah raga
l. Membuat/ mencetak buku sekolah (anak- anak SMA)
m. Malam Dana bagi Sekolah (Harvest Dinner, Church Picnic, bake sales,
dst)
n. Pertunjukan Natal
o. Pertunjukan bakat anak- anak

Anda mungkin juga menyukai