Aspek Etik Agama Dan Budaya Pada Euthanasia
Aspek Etik Agama Dan Budaya Pada Euthanasia
TUTORIAL A-2
FAKULTAS KEDOKTERAN
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan
selama kegiatan Seminar ini berlangsung dan juga kepada seluruh penyusun makalah
yang telah menyelesaikan makalah ini dengan baik sehingga makalah ini dapat kami
selesaikan.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas BHP. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga
dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang
abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh
Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai
kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi
atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh
semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa
kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat
diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah
tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan
menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau
bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia
muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran maupun. Oleh karena itu, masalah ini
menarik perhatian kami untuk menulis makalah ini terkait dengan isu-isu etik tersebut,
baik dari segi agama maupun budaya
4
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek etik kedokteran ?
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek agama ?
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek budaya ?
1.3 Tujuan
Mengetahui masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama dan budaya.
Mengetahui pengertian Euthanasia
Mengetahui jenis-jenis Euthanasia
Mengetahui alasan Euthanasia
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek etik
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek agama
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek budaya
1.4 Manfaat
Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai Euthanasia
Memahami mengenai aspek etik, agama dan budaya pada Euthanasia
Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat
Sebagai bahan latihan untuk menulis karya ilmiah
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Euthanasia
Setelah mengetahui mengenai metode dan kategori euthanasia, kita juga perlu
mengetahui sejarah asal-muasal istilah euthanasia. Sejarah ini saya dapatkan dari
wikipedia yaitu Kata etanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and
"thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan
obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam
sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
2.2 Definisi
Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara
yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan
mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang).
6
Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya.
1. Eutanasia Aktif
Eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
2. Eutanasia pasif
7
pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi
pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat
tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu
lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176).
8
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi
lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan
kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe
yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya
sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010),
yaitu:
Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien,
umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit
yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya
menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
2. Eutanasia hewan
9
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter
Berikut ini adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan.
10
yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat
mengontrol rasa sakit fisik seseorang,namun juga dapat mengatasi depresi
penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
11
2.5 SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA
Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuah
Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukan
Euthanasia, yaitu:
1) Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan
mengajukan permintaan tersebut dengan serius.
2) Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekat
dengan kematiannya.
3) Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.
4) Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.
5) Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya
6) Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan
mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani
ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi
tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini
:
- Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
- Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan
oleh akal.
- Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
12
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian
tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu
kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan
yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek
atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
3.6.1.1 Bioetik
a) Beneficence
b) Non-maleficence
13
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter
haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan
point penting dalam prinsip non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada
kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat.
c) Autonomy
d) Justice
14
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk
kelayakan minimal dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dari
seberapa penting masalah yang sedang dihadapi oleh pasien. Dengan
mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat
berlaku adil.
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969
dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan
rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar
Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada
MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter.
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standard profesi yang tertinggi.
Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
15
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya..
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (
compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.
16
Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik fisik
maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar benarnya.
Pasal9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Pasal10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien.. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.
Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
17
Pasal14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi kedokteran/kesehatan.
AGAMA
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karyaseni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
18
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-
budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan social manusia.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren
untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
19
BAB III
PEMBAHASAN
20
o Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
“Setiap manusia (pasien) ada haknya untuk sehat, hidup bahkan
mati. Sebagai dokter, harus tetap bijak & menghormati apapun hak
dari pasien. Terutama bila hal tersebut, memang yang
pasien/keluarganya inginkan. Tapi tidak mengindahkan juga hak
dokter, karena tindakan Euthanasia bukanlah hak seseorang untuk
mati,tetapi hak untuk membunuh. Dokter juga harus terus mencari
solusi terbaik & mengupayakan agar pasien tetap bertahan serta
adanya dukungan emosional & spiritual agar pasien nyaman dengan
sisa hidupnya.”
o Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.
“Setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan
dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya
seorang dokter tidak boleh melakukan: (1) Menggugurkan
kandungan (Abortus Provocatus), (2)Mengakhiri kehidupan seorang
pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan
sembuh lagi/(euthanasia). Terutama disini adalah Euthanasia aktif
yang dokter secara sengaja melakukan tindakan untuk mempercepat
kematian pasien. Hal ini perlu dilakukan pertimbangan dari pihak
pasien (keluarga) maupun pihak dokter serta terus mencari
alternative/solusi terbaik untuk pasien.”
21
3.2 Aspek Agama (Islam) Euthanasia
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup
banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk
menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun
merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Artinya :
Artinya :
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa
seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui
firman-Nya dalam surat Al-An’am : 151
Artinya :
22
Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan
manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan
dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi
dilepaskan dari kehidupannya.
Tapi, jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah
menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya
atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak
keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah
meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.
23
I. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan
dan ganti rugi
II. Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk
pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor unta atau yang
senilai dengannya berupa emas/perak atau 1000 dinar atau 12.000
dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar
setara 4,25 grm emas
III. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja
perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunya beberapa
hokum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam
buku-buku fiqh
24
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum
berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah?
Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan
pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah Haram.
Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti
menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh (
boleh, tapi lebih utama meninggalkannya ). Dan jika kita katakan berobat itu
hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan
(euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah.
25
BAB IV
KESIMPULAN
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003;177). Maksudnya adalah mengakhiri
hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering
disebut juga dengan mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif dan euthanasia
pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien sedangkan
Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras.
Dari Aspek Etik, yang berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia terdapat
pada pasal 2, 7a, 7c dan 7d. Dimana dokter harus senantiasa memberikan pelayanan dan
melaksanakan profesinya sebaik dan semaksimal mungkin dan mengupayakan agar
pasien tetap sehat serta menjunjung tinggi martabat manusia. Pada Euthanasia terutama
yang aktif, banyak hak-hak pasien dan kewajiban dokter yang tidak sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik
Kedoteran_____________________________________
26
Dari Aspek Agama (Islam), Euthanasia aktif berdasarkan dalil & kesepakatan
jumhur ulama hukumnya adalah tidak diperbolehkan/diharamkan baik dengan alasan
apapun, jika hal tersebut tetap dilakukan, maka si pasien menanggung dosa yang sangat
besar, dokter dan keluarganya pun ikut mendapat dosa. Sedangkan Euthanasia pasif
para ahli sepakat membolehkan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu
sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien/keluarga.
Dan hakikatnya yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah
Subhannallahu wata’ala
Daftar Pustaka
Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana,
dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.),
Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002).
27
Etika kedokteran dan hukum kesehatan EGC
Samil,RS. Etika kedokteran Indonesia Yayasan Bina pustaka Sarwono.
Jakarta.2001
Lebaron.Garn.2010.The Etics of Euthanasia
Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia.
Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.
Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford
University Press, 1986.
28