Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SEMINAR BHP

“Aspek Etik, Agama dan Budaya pada Euthanasia”

TUTORIAL A-2

Fritta Aulia Sari 121 0211 146


Gani Rahmani Hanif 121 0211 058
Putry Andriany 121 0211 198
Lutfhi Khairul Umam 121 0211 185
Niko Nofian Nugroho 121 0211 078
Dea Novianda Geovani 121 0211 079
Argo Dwi Reza 121 0211 072
Vina Dwiningsih 121 0211 088
Alfi Ramadhanti 121 0211 187
Mutiara Dwi Sukma 121 0211 181
Dodi Saputra 101 0211 103

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2014

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan
selama kegiatan Seminar ini berlangsung dan juga kepada seluruh penyusun makalah
yang telah menyelesaikan makalah ini dengan baik sehingga makalah ini dapat kami
selesaikan.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas BHP. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam


penyusunan makalah ini, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar ke depannya makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih.

Jakarta, November 2014

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. 2

Daftar Isi .......................................................................................................................... 3

BAB I Pendahuluan ......................................................................................................... 4

BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7

BAB III Pembahasan ..................................................................................................... 16

BAB IV Kesimpulan ..................................................................................................... 18

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga
dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang
abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh
Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai
kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi
atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh
semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa
kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat
diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah
tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan
menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau
bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia
muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran maupun. Oleh karena itu, masalah ini
menarik perhatian kami untuk menulis makalah ini terkait dengan isu-isu etik tersebut,
baik dari segi agama maupun budaya

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama dan budaya ?
 Apa pengertian Euthanasia ?
 Apa saja jenis-jenis Euthanasia ?
 Apa alasan seseorang melakukan Euthanasia ?

4
 Bagaimana Euthanasia dari segi aspek etik kedokteran ?
 Bagaimana Euthanasia dari segi aspek agama ?
 Bagaimana Euthanasia dari segi aspek budaya ?

1.3 Tujuan
 Mengetahui masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama dan budaya.
 Mengetahui pengertian Euthanasia
 Mengetahui jenis-jenis Euthanasia
 Mengetahui alasan Euthanasia
 Mengetahui Euthanasia dari segi aspek etik
 Mengetahui Euthanasia dari segi aspek agama
 Mengetahui Euthanasia dari segi aspek budaya

1.4 Manfaat
 Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai Euthanasia
 Memahami mengenai aspek etik, agama dan budaya pada Euthanasia
 Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat
 Sebagai bahan latihan untuk menulis karya ilmiah

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Euthanasia

2.1 Sejarah Euthanasia

Setelah mengetahui mengenai metode dan kategori euthanasia, kita juga perlu
mengetahui sejarah asal-muasal istilah euthanasia. Sejarah ini saya dapatkan dari
wikipedia yaitu Kata etanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and
"thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan
obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam
sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

2.2 Definisi

Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara
yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan
mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang).

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,


maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah
bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan
memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan.

6
Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya.

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih


menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang
sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah
konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas
dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari
euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu
sendiri telah menjadi kabur.

2.3 Klasifikasi Euthanasia

2.3.1 Euthanasia ditinjau dari Sudut Cara Pelaksanaan

1. Eutanasia Aktif

Eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas


dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus
(Utomo, 2003;178).

2. Eutanasia pasif

Eutanasia Pasif adalah suatu tindakan dokter menghentikan pengobatan


pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi
dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian

7
pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi
pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat
tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu
lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176).

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,


orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita.
Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya (Utomo, 2003;177).

3. Eutanasia non agresif atau autoeuthanasia

Merupakan (eutanasia otomatis) yang termasuk kategori eutanasia


negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar
untuk menerima perawatan medis dan si pasien mengetahui bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan).
Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas
permintaan

2.3.2 Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin

1. Eutanasia di luar kemauan pasien

Suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien


untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.

2. Eutanasia secara tidak sukarela

8
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi
lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan
kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.

3. Eutanasia secara sukarela

Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe
yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya
sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.

2.3.3 Euthanasia ditinjau dari Segi Tujuannya

Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010),
yaitu:

1. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien,
umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit
yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya
menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.

2. Eutanasia hewan

Khusus dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang


sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan
memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa
kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang
kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan
kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di
suntik mati terlebih dahulu.

9
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter

Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan


atas persetujuan sang pasien sendiri.

2.4 Alasan Euthanasia

Berikut ini adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan.

1. Rasa sakit yang tudak tertahankan

Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si


pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini,
penuman semakin gencar untuk mengetasi rasa sakit tersebut, yang secara
langsung meningkatkan presentase “assistea suicede” berkurang. Euthanasia
memang sekilas merupakan jawaban dari stres yang disebabkan oleh rasa sakit
yang semakin menjadi. Namun ada juga yan g dinamakan “drugged state” atau
suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karean pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa
sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal
tersebut bisa dilakukan dengan mengirim seseorang kedalam keadan rasa sakit
tapi mereka tetap di euthanasiakan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dihilangkan,adapun yang sudah sebegitu parah
bisa dikurangi jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik.Tapi
euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut.Solusi terbaik untuk
masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan
dengan menginformasikan pada setiap pasien,apa saja hak-hak mereka sebagai
seorang pasien.
Meskipun begitu,beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain
management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit,sehingga mereka tidak
tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit
yang luar biasa. Jika hal ini terjadi,hendaklah pasien tersebut mencari dokter
lain.
Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol
rasa sakit itu,bukan yang akan membunuh sang pasien.Ada banyak spesialis

10
yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat
mengontrol rasa sakit fisik seseorang,namun juga dapat mengatasi depresi
penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.

2. Hak untuk melakukan bunuh diri


Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita
mengangkat hal paling dasar dari semuanya,yaitu “HAK” . Tapi jika kita teliti
lebih dalam,yang kita bicarakan disini bukanlah memberi hak untuk seseorang
yang di bunuh,tetepi memberikan hak kepada orang yang melakukan
pembunuhan tersebut. Dengan kata lain,euthanasia bukanlah hak seseorang
untuk mati,tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri
hidupnya,tapi sebaliknya,ini adalah persoalan mengubah hukum agar
dokter,kerabat,atauorang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup
seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri,hal seperti itu tidak
melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi,aksi sendiri. Euthanasia
bukanlah aksi pribadi,melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi
kematian orang lain. Inibisa mengarah ke suatu tindakan panyiksaan pada
akhirnya.

3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?


Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang
menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien
untuk tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien,menunda kematian
dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak
berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang
tanpa rasa kasihan,tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di
rumah,bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan
sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

11
2.5 SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA
Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuah
Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukan
Euthanasia, yaitu:

1) Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan
mengajukan permintaan tersebut dengan serius.
2) Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekat
dengan kematiannya.
3) Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.
4) Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.
5) Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya
6) Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi

2.6 Teori Aspek – Aspek Etik, Agama dan Budaya


2.6.1 Aspek Etik

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan
mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani
ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi
tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini
:

- Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.

- Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan
oleh akal.

- Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

12
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian
tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu
kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan
yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek
atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

3.6.1.1 Bioetik

Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang


harus selalu diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence,
auotonomy, dan justice) dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini
dapat bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya3.

Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus


selalu dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:

a) Beneficence

Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu


tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau
menghilangkan bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana
yang dialami pasien.4

Lebih khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus


berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar
pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari
prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus
mengambil langkah atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada
buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.

b) Non-maleficence

13
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter
haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan
point penting dalam prinsip non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada
kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat.

c) Autonomy

Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan


hak manusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi
hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan
keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus dihormati secara etik, dan di
sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan
bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah
dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis5.

Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis


secara tertulis.Informed consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih
dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka,
jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga manfaat dari tindakan
medis tersebut6.

d) Justice

Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam


bioetik. Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan
perlakukan yang adil untuk semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang
membeda-bedakan pasiennya berdasarkan tingkat ekonomi, agama, suku,
kedudukan sosial, dsb.

Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis


dengan adil agar ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien. Contoh dari
justice misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber
penghasilan seseorang untuk merawat orang tersebut.

14
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk
kelayakan minimal dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dari
seberapa penting masalah yang sedang dihadapi oleh pasien. Dengan
mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat
berlaku adil.

3.6.1.2 Kode Etik Kedokteran Indonesia

Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam


melaksanakan praktek kedokteran.Tertuang dalam SK PB IDI no
221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.

Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969
dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan
rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar
Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada
MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.

KEWAJIBAN UMUM
 Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter.
 Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standard profesi yang tertinggi.
 Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

15
 Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
 Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
 Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
 Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya..
 Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (
compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
 Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
 Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
 Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.

16
 Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik fisik
maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar benarnya.
 Pasal9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

 Pasal10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien.. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.
 Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
 Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

17
 Pasal14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
 Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

 Pasal16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
 Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi kedokteran/kesehatan.

2.6.2 Aspek Agama

AGAMA

 Pandangan dan prinsip hidup,


 Didasarkan pada kepercayaan,
 Akan adanya “Yang Mutlak”,
 Yang berkuasa terhadap kehidupan

2.6.3 Aspek Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karyaseni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung

18
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-
budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan social manusia.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren
untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.

19
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Aspek Etik Euthanasia


3.1.1 Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia
Euthansia merupakan upaya terakhir seseorang (dokter) untuk mempercepat
kematian seseorang yang sedang dalam kesakitan atau penderitaan hebat
menjelang kematiannya.. Dari segi etik kedokteran, tindakan ini harus
dipertimbangkan baik buruk dan indikasinya, berlandaskan beberapa pasal
dalam kodeki, yaitu :
o Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi.
o Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (
compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
“Bagaimana pun keadaan pasien, dokter harus senantiasa semaksimal
mungkin memberikan pelayanan medis, kasih sayang dan
penghormatan atas martabat manusia dengan tidak mudah membuat
keputusan sebelum ada ijin dari pihak terkait serta indikasi yang
kuat”

20
o Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
“Setiap manusia (pasien) ada haknya untuk sehat, hidup bahkan
mati. Sebagai dokter, harus tetap bijak & menghormati apapun hak
dari pasien. Terutama bila hal tersebut, memang yang
pasien/keluarganya inginkan. Tapi tidak mengindahkan juga hak
dokter, karena tindakan Euthanasia bukanlah hak seseorang untuk
mati,tetapi hak untuk membunuh. Dokter juga harus terus mencari
solusi terbaik & mengupayakan agar pasien tetap bertahan serta
adanya dukungan emosional & spiritual agar pasien nyaman dengan
sisa hidupnya.”
o Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.
“Setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan
dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya
seorang dokter tidak boleh melakukan: (1) Menggugurkan
kandungan (Abortus Provocatus), (2)Mengakhiri kehidupan seorang
pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan
sembuh lagi/(euthanasia). Terutama disini adalah Euthanasia aktif
yang dokter secara sengaja melakukan tindakan untuk mempercepat
kematian pasien. Hal ini perlu dilakukan pertimbangan dari pihak
pasien (keluarga) maupun pihak dokter serta terus mencari
alternative/solusi terbaik untuk pasien.”

3.1.2 Berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik Kedokteran


a) Beneficence
b) Non Malaficence
c) Autonomy
d) Justice

21
3.2 Aspek Agama (Islam) Euthanasia
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup
banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk
menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun
merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.

Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau


“nafs” itu adalah :

a) Surat Al-Hijr ayat 23 :

Artinya :

“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan


dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.

b) Surat Al-Najm ayat 44 :

Artinya :

“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan


menghidupkan”.

Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun


jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya
penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau
menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal
(qishash atau diyat).

Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa
seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui
firman-Nya dalam surat Al-An’am : 151

Artinya :

“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah,


melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”.

3.2.1 Aspek Agama Euthanasia Aktif (positif)


Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau
diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif).

22
Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan
manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan
dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi
dilepaskan dari kehidupannya.

Adapun pada euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan


dengan sangaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah
Haram, apapun alasan yang melandasinya. Islam tidak membenarkan dalam
situasi atau alasan apapun baik itu dengan alasan kasih sayang,
permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan
lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat untuk melepaskan nyawanya
hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk
berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan


Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Baqarah: 195), dan dalam ayat
lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS An-
Nisa: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan
membunuh dirinya sendiri.

Tapi, jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah
menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya
atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak
keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah
meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.

Adapun hukum Allah di dunia, maka dikembalikan kepada keluarga


pasien, berdasarkan dalil (QS.Al-Baqarah:178). Dan dalam hal ini keluarga
pasien mempunyai 3 opsi:

23
I. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan
dan ganti rugi
II. Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk
pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor unta atau yang
senilai dengannya berupa emas/perak atau 1000 dinar atau 12.000
dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar
setara 4,25 grm emas
III. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja
perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunya beberapa
hokum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam
buku-buku fiqh

Pada dasarnya mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas


dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak
sanggup, kembalikan kepada keluarga.

3.2.2 Aspek Agama Euthanasia Pasif (Negatif)

Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan


kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan
karena hakikat sebenarnya dari euthanasia pasif ini adalah tindakan
menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu
sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi
pasien/keluarga.

Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa


pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang
memberi kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu
dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak
(otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan
bagi pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien
berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah
satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS
yang lebih lengkap. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk
mempercepat kematian pasien.

24
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum
berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah?
Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan
pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah Haram.
Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti
menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh (
boleh, tapi lebih utama meninggalkannya ). Dan jika kita katakan berobat itu
hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan
(euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah.

Euthanasia pasif tidak diharamkan jika memang sudah dipastikan


(atau dugaan besar) si pasien sudah tidak bisa sembuh dan hidupnya dia
hanya akan menambah penderitaannya. Jika si dokter melakukannya maka
insya Allah dia tidak mendapatkan hukuman di akhirat. Hanya saja untuk
pelaksanaan euthanasia pasif ini tetap disyaratkan harus adanya izin dari
pasien, atau walinya, atau atau washi-nya (washi adalah orang yang
ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali atau washi, maka yang dimintai izin adalah pemerintah.

Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab

3.3 Aspek Budaya Euthanasia

25
BAB IV
KESIMPULAN

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003;177). Maksudnya adalah mengakhiri
hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering
disebut juga dengan mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif dan euthanasia
pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien sedangkan
Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras.

Dari Aspek Etik, yang berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia terdapat
pada pasal 2, 7a, 7c dan 7d. Dimana dokter harus senantiasa memberikan pelayanan dan
melaksanakan profesinya sebaik dan semaksimal mungkin dan mengupayakan agar
pasien tetap sehat serta menjunjung tinggi martabat manusia. Pada Euthanasia terutama
yang aktif, banyak hak-hak pasien dan kewajiban dokter yang tidak sesuai dengan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik
Kedoteran_____________________________________

26
Dari Aspek Agama (Islam), Euthanasia aktif berdasarkan dalil & kesepakatan
jumhur ulama hukumnya adalah tidak diperbolehkan/diharamkan baik dengan alasan
apapun, jika hal tersebut tetap dilakukan, maka si pasien menanggung dosa yang sangat
besar, dokter dan keluarganya pun ikut mendapat dosa. Sedangkan Euthanasia pasif
para ahli sepakat membolehkan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu
sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien/keluarga.
Dan hakikatnya yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah
Subhannallahu wata’ala

Dari Aspek Budaya ___________________________________

Daftar Pustaka

 Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana,
dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.),
Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002).

27
 Etika kedokteran dan hukum kesehatan EGC
 Samil,RS. Etika kedokteran Indonesia Yayasan Bina pustaka Sarwono.
Jakarta.2001
 Lebaron.Garn.2010.The Etics of Euthanasia

 Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding


euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7.

 Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia.
Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.

 Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing'


legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall.
Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota
Law Review 42:6 (May 1958).

 Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford
University Press, 1986.

28

Anda mungkin juga menyukai