Anda di halaman 1dari 20

Referat

Gangguan Obsesif Kompulsif

Penyusun :

Nuramalina binti Reman 11-2016-183

Pembimbing :
dr. Evalina Asnawi, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT, CIBUBUR
PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA 3
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 24 SEPTEMBER 2018-27 OKTOBER 2018
JAKARTA

1
PENDAHULUAN

Pada dasarnya setiap orang pernah memiliki pemikiran yang negatif atau
mengganggu. Seorang individu akan mudah memunculkan pemikiran-pemikiran
yang negatif dan perilaku-perilaku yang kaku dan berulang ketika mereka
mengalami distress. Hal yang membedakan dengan orang yang mengalami
gangguan obsesif-kompulsif adalah bahwa orang-orang yang normal akan mampu
menghentikan pemikiran-pemikiran negatif tersebut sehingga tidak sampai
mengganggu dirinya; sedangkan penderita gangguan obsesif-kompulsif tidaklah
demikian.
Gangguan obsesif-kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan
yang berulang yang menghabiskan waktu atau menyebabkan distress dan hendaya
yang bermakna. Orang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif tidak akan
merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam keseharian hidupnya. Kompulsi
yang seringkali dilakukan sebagai jawaban dari pikiran obsesi biasanya akan
muncul cukup sering sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari atau
menimbulkan distress yang signifikan. Hal ini tentu saja dapat menyebabkan
keterlambatan, membuang-buang waktu dan mungkin sekali akan merugikan orang
lain.
Individu dengan gangguan ini memiliki pengertian umum bahwa sesuatu
yang mengerikan dapat terjadi jika ritual tertentu tidak dilakukan, dan kegagalan
untuk melakukan ritual dapat menyebabkan kecemasan berat atau perasaan jengkel
yang sangat tidak nyaman. Walaupun aksi kompulsif mempengaruhi usaha untuk
menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan obsesinya, hal ini tidak
selamanya berhasil. Tetapi, aksi kompulsif malah dapat meningkatkan kecemasan.
Kecemasan juga meningkat ketika orang menahan kompulsinya.

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide atau sensasi yang menganggu
(intrusive). Suatu kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan
dan rekuren, seperti menghitung, memeriksa atau menghindari. Seseorang dengan
gangguan obsesif-kompulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan
merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.(Kaplan) Obsesi
meningkatkan kecemasan seseorang sedangkan melakukan kompulsi menurunkan
kecemasan seseorang tetapi jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu
kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan karena obsesi dapat
menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas
normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan
dengan teman dan anggota keluarga.
Menurut Maramis, terdapat beberapa persamaan antara obsesi dan
kompulsi, yaitu:
1. Suatu pikiran atau dorongan mendesak ke alam sadar secara gigih dan terus
menerus.
2. Timbul perasaan takut yang hebat dan penderita berusaha untuk menghilangkan
pikiran atau dorongan itu.
3. Obsesi dan kompulsi itu dirasakan sebagai asing, tidak disukai, tidak dapat
diterima dan tidak dapat ditekan.
4. Penderita tetap sadar akan gangguan ini, ia tetap mengenal bahwa hal ini tidak
wajar dan tidak rasional, biarpun obsesi atau kompulsi itu sangat hebat.
5. Penderita merasakan suatu kebutuhan yang besar untuk melawan obsesi dan
kompulsi itu.

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif kompulsif pada populasi umum
diperkirakan adalah 2 sampai 3 persen. Sejumlah peneliti memperkirakan bahwa

3
gangguan ini ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik
psikiatri. Gambaran ini membuat gangguan obsesif-kompulsif menjadi diagnosis
psikiatri keempat terbanyak setelah fobia, gangguan terkait zat, dan gangguan
depresif berat (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010). Prevalensi gangguan obsesif
kompulsif di Amerika Serikat sebesar 2,5 % dan berada di rentang 1,7 – 4%
(Greenberg, W.M. and David, B., 2015). Lebih dari 2% populasi di Amerika Serikat
sekurangnya 1 dari 40 orang didiagnosis mengalami gangguan obsesif kompulsif
selama kehidupannya (NAMI, 2015).
Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama mungkin terkena; tetapi
untuk remaja, laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif
dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun walaupun
laki-laki memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata sekitar usia 19 tahun)
dibandingkan wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira dua
pertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15
persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan obsesif
kompulsif dapat memiliki onset pada remaja atau masa anak-anak pada beberapa
kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena
gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun temuan
tersebut kemungkinan mencerminkan kesulitan yang di miliki pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan. Gangguan
obsesif-kompulsif ditemukan lebih jarang diantara golongan kulit hitam
dibandingkan kulit putih walaupun tersedianya jalur ke pelayanan kesehatan dapat
menjelaskan sebagian besar variasi tersebut ketimbang perbedaan prevalensi antara
ras-ras.
Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada
pasien dengan gangguan obsesif kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan untuk
fobia sosial adalah 25 persen. Diagnosis psikiatrik komorbid lainnya pada pasien
dengan gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan pengaruh alkohol, fobia
spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan.

4
Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif biasanya merupakan orang-
orang yang sukses, pemalu, keras kepala, perfeksionis, suka menghakimi, sangat
berhati-hati, kaku dan pencemas yang kronis yang menghindari keintiman dan
hanya menikmati sedikit kesenangan dalam hidupnya. Mereka suka bimbang dan
banyak permintaannya dan sering kali dianggap sebagai orang yang dingin,
pendiam, dan tidak ramah.

C. ETIOLOGI
1. Faktor Biologis
a. Neurotransmiter serotonin.
Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan menyokong hipotesis bahwa
suatu disregulasi serotonin terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan
kompulsi pada gangguan ini. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih
efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Tetapi
tidak jelas apakah serotonin terlibat sebagai penyebab gangguan obsesif-kompulsif
(Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
b. Neurotransmitter noradrenergik.
Baru-baru ini, lebih sedikit bukti yang ada untuk disfungsi sistem
noradrenergik pada gangguan obsesif kompulsif. Laporan tidak resmi menunjukkan
sejumlah perbaikan gejala gangguan obsesif-kompulsif dengan klonidin oral
(Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010).
c. Neuroimunologi.
Terdapat hubungan positif antara infeksi streptokokkus dengan gangguan
obsesif kompulsif. Infeksi streptokokkus grup A beta hemolitik dapat menyebabkan
demam reumatik dan sekitar 10-30% pasien mengalami chorea sydenham dan
menunjukkan gejala obsesif kompulsif. Awitan infeksi biasanya terjadi pada usia
sekitar 8 tahun untuk menimbulkan gejala sisa itu. Keadaan ini disebut pediatric
autoimmune neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infection
(PANDAS) (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010). Beberapa penelitian
melaporkan kejadian gangguan obsesif-kompulsif dengan atau tanpa gejala tik pada
anak dan dewasa muda mengikuti infeksi streptokokkus grup A. Sedikit laporan

5
yang menyampaikan bahwa virus herpes simpleks menjadi penyebab timbulnya
gangguan obsesif kompulsif (Greenberg, W.M. and David, B., 2015).
d. Penelitian pencitraan otak.
Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai contoh PET (
positron emission tomography), telah menunjukkan peningkatan aktifitas
(contohnya, metabolisme dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis
(terutama kaudatus), dan cingulum pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif. Terapi farmakologis dan perilaku dilaporkan dapat membalikkan
abnormalitas ini. Baik tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi
magnetik (MRI) telah menemukan berkurangnya ukuran kaudatus bilateral pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Prosedur neurologis yang melibatkan
singulum kadang-kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif (Sadock B.J. and Virginia, A.S., 2010). Temuan ini
menunjukkan hipotesis bahwa gejala OCD didorong oleh gangguan penghambatan
intracortical dari sirkuit orbitofrontal-subkortikal spesifik yang menengahi emosi
yang kuat dan respon otonom untuk emosi (Greenberg, W.M. and David, B., 2015).
e. Genetika
Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan obsesif-
kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih
tinggi secara bermakna pada kembar monozigotik dibandingkan kembar dizigotik.
Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif kompulsif telah menemukan
bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan obsesif-kompulsif
juga menderita gangguan.

2. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus
yang relatif netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui proses
pembiasaan responden dengan memasangkannya dengan peristiwa yang secara
alami adalah berbahaya atau menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang
sebelumnya netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan
kecemasan atau gangguan.

6
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa
tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran
obsesional. Jadi, strategi menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsif
atau ritualistik dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Secara bertahap,
karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan dorongan sekunder yang
menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola
perilaku kompulsif yang dipelajari.

3. Faktor Psikososial
a. Faktor kepribadian
Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif-kompulsif tidak
memiliki gejala kompulsif pramorbid. Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut
tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-
kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-
kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.
b. Faktor psikodinamika
Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan psikologis utama
yang menentukan bentuk dan kualitas gejala dan sifat karakter obsesif-kompulsif;
isolasi, meruntuhkan (undoing), dan pembentukan reaksi.
1) Isolasi
Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang
dari afek dan impuls yang mencetuskan kecemasan. Jika terjadi isolasi,
afek dan impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan dari
komponen idesional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi berhasil
sepenuhnya, impuls dan afek yang terkait seluruhnya terepresi, dan
pasien secara sadar hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek
yang berhubungan dengannya.
2) Undoing
Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa impuls mungkin
dapat lolos dari mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi

7
pertahanan sekunder diperlukan untuk melawan impuls dan
menenangkan kecemasan yang mengancam keluar ke kesadaran.
Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan operasi
defensif yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan
mengendalikan impuls dasar yang belum diatasi secara memadai oleh
isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adalah
mekanisme meruntuhkan (undoing). Seperti yang disebutkan
sebelumnya, meruntuhkan adalah suatu tindakan kompulsif yang
dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan akibat yang
secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls
obsesional yang menakutkan.
3) Pembentukan reaksi
Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi
dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan
impuls dasar. Seringkali, pola yang terlihat oleh pengamat adalah sangat
dilebih-lebihkan dan tidak sesuai.

D. GEJALA KLINIS
Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:
1. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan
terus-menerus ke dalam kesadaran seseorang.
2. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi sentral
dan seringkali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan melawan
gagasan atau impuls awal.
3. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien), yaitu dialami sebagai
suatu yang asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai
makhluk psikologis.
4. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau kompulsi tersebut,
orang biasanya menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk akal.
5. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan suatu
dorongan yang kuat untuk menahannya.

8
Gambaran obsesi dan kompulsi adalah heterogen pada dewasa, pada anak-
anak dan remaja. Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan berubah
dengan berjalannya waktu, tetapi gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola
gejala yang utama. Pola yang paling sering ditemukan adalah suatu obsesi tentang
kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai penghindaran obsesif terhadap objek
yang kemungkinan terkontaminasi. Objek yang ditakuti seringkali sukar untuk
dihindari, sebagai contoh feses, urin, debu atau kuman. Pasien mungkin secara
terus-menerus menggosok kulit tangannya dengan mencuci tangan secara
berlebihan atau mungkin tidak mampu pergi keluar rumah karena takut akan
kuman. Walaupun kecemasan adalah respon emosional yang paling sering terhadap
objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga sering ditemukan.
Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi ditularkan
dari objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan. 3
Pola kedua yang sering adalah obsesi keragu-raguan, diikuti oleh
pengecekan yang kompulsi. Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan,
seperti lupa mematikan kompor atau tidak mengunci pintu. Pengecekan tersebut
mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke rumah untuk memeiksa
kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional, saat
mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu. 3
Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan pikiran semata-mata pikiran
obsesional yang mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut biasanya
berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang dicela oleh
pasien. 3
Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau
ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah
menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya.
Penumpukan obsesi dan kompulsi religius adalah sering pada pasien obsesif-
kompulsif. Trichotillomania (menarik rambut kompulsif) dan menggigit kuku
mungkin merupakan kompulsi yang berhubungan dengan gangguan obsesif-
kompulsif. 3

9
Terdapat juga beberapa gangguan yang biasa merupakan bagian
merupakan bagian dari atau dengan kuat dihubungkan dengan spectrum GOK
(gangguan obsesif kompulsif)
1. Gangguan dismorfik tubuh (body Dysmorphic Disorder)
Pada gangguan ini orang terobsesi dengan keyakinan bahwa mereka buruk
rupa atau bagian tubuh mereka berbentuk tidak normal.
2. Trikhotilomania
Orang dengan Trikhotilomania terus menerus mencabuti rambut mereka
sehingga timbul daerah-daerah botak.
3. Sindrom Tourettes
Gejala sindrom Tourettes meliputi gerakan yang pendek dan cepat, tik dan
ucapan kata-kata kotor yang tak terkontrol. 2

E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM V:
A. Adanya obsesi, kompulsi atau keduanya; gejala obsesi ditandai dengan (i)
dan (ii):
i. Pikiran, keinginan, dan gambaran yang persisten dan rekuren yang dialami,
dalam waktu tertentu, gangguan ini sangat instrusif dan tidak diinginkan,
dan dapat menyebabkan individu tersebut mengalami kecemasan dan
penderitaan.
ii. Individu yang mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran,
keinginan dan gambaran tersebut, atau menetralkannya dengan beberapa
pikiran dan aksi lain (dengan melakukan kompulsi).

Sedangkan, gejala kompulsi ditandai dengan (i) dan (ii):


i. Perilaku repetitif (contoh: mencuci tangan, menata sesuatu, mengecek
sesuatu) atau aksi mental (contoh: berdoa, menghitung, mengulang kata)
yang membuat individu tersebut harus melakukan obsesinya atau menurut
ke peraturan yang harus dia terapkan.

10
ii. Perilaku atau aksi mental dilakukan bertujuan untuk mencegah atau
menurunkan cemas atau penderitaan, atau mencegah kejadian
menyeramkan; bagaimanapun juga, perilaku dan aksi mental ini dilakukan
tidak dengan cara yang realistis dengan apa yang mereka telah rencanakan
untuk menetralisasikan atau mencegahnya, atau sangat berlebihan.
B. Gejala obsesi dan kompulsi sangat membuang-buang waktu (contoh:
memakan waktu lebih dari 1 jam/hari) atau menyebabkan distress klinis atau
gangguan sosial ditempat kerjanya, atau area-area lain.
C. Gejala obsesif-kompulsif tidak diakibatkan oleh afek fisiologis (contoh:
drug abuse, obat-obatan) atau kondisi medis lain.
D. Gangguan ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai ganggaun mental lain
(contoh: cemas berlebihan seperti pada gangguan cemas menyeluruh;
preokupasi dengan penampilan, seperti pada body dysmorphic disorder;
mencabut rambut seperti pada trikotilomania; skin-picking seperti dalam
ekskoriasi; stereotipik seperti dalam gangguan pergerakan stereotipik;
perilaku makan khusus seperti dalam gangguan makan; preokupasi akan
sesuatu seperti dalam substance-related dan gangguan adiktif; dorongan dan
fantasi seks seperti dalam gangguan parafilik; impuls yang disruptif seperti
dalam ganggauan konduksi impuls; perenungan rasa bersalah seperti dalam
gangguan depresi berat; thought insertion atau delusi persepsi dalam
skizofrenia dan gangguan psikotik; atau perilaku repetitif dalam gangguan
autisme.

Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:


1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua
minggu berturut-turut.
2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas
penderita.
3. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.

11
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekadar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas)
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
4. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi.
penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif,
dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-
pikiran obsesif selama episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal
tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara
paralel dengan perubahan gejala obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan
tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan
depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya
tidak adayang menonjol, maka baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang
primer. Pada gangguan menahun maka prioritas diberikan pada gejala yang paling
bertahan saat gejala yang lain menghilang.
5. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom
Tourette, atau gangguan mental organk, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi
tersebut. 6

F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan


Pedoman Diagnostik
1. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan
perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien)
2. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu
menyebabkan penderitaan (distress) 6
F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif (obsesional ritual)

12
Pedoman Diagnostik
1. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya mencuci
tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap
berpotensi bahaya terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan. Hal tersebut
dilatarbelakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau
bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan
tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut.
2. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam
dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil
keputusan dan kelambanan. 6
F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
Pedoman Diagnostik
1. Kebanyakan dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif
serta tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan bialmana kedua hal tersebut
sama-sama menonjol, yang umumnya memang demikian.
2. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya dinyatakan dalam
diagnosis F42.0 atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap
pengobatan. Tindakan kompulsif lebih respondif terhadap terapi perilaku. 6

F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya


F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT 6

F. TERAPI
1. Farmakoterapi
a. Penggolongan
1) Obat Anti-obsesif kompulsif trisiklik
Contoh: Clomipramine.
2) Obat Anti-obsesif kompulsif SSRI (Serotonin Reuptake
Inhibitors)
Contoh: Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine,
Fluoxetine, Citalopram.7

13
b. Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran (target syndrome): Sindrom Obsesif
Kompulsif.
Butir-butir diagnostik Sindrom Obsesif Kompulsif:
1) Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami
gejala-gejala obsesif kompulsif yang memiliki ciri-ciri berikut:
a) Diketahui/disadari sebagai pikiran, bayangan atau impuls
dari diri individu sendiri;
b) Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (ego-distonik);
c) Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran, bayangan
atau impuls tersebut diatas bukan merupakan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau ansietas);
d) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak
berhasil dilawan/dielakkan, meskipun ada lainnya yang tidak
lagi dilawan/dielakkan oleh penderita;

2) Gejala-gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress)


atau menggangu aktivitas sehari-hari (disability)

Respon penderita gangguan obsesif kompulsif terhadap farmakoterapi


seringkali hanya mencapai pengurangan gejala sekitar 30%-60% dan kebanyakan
masih menunjukkan gejala secara menahun. Namun demikian, umumnya penderita
sudah merasa sangat tertolong. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih
baik, perlu disertai dengan terapi perilaku (behavior therapy). 7
Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai
50 mg sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari
setiap dua sampai tiga hari, sampai dosis maksimum 250 mg sehari atau tampak
efek samping yang membatasi dosis. Karena Clopramine adalah suatu obat trisiklik,

14
obat ini disertai dengan efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi seksual
dan efek samping antikolinergik, seperti mulut kering.3
SSRI. Penelitian tentang Fluoxetine dalam gangguan obsesif-kompulsif
menggunakan dosis sampai 80 mg setiap hari untuk mencapai manfaat terapeutik.
Walaupun SSRI mempunyai efek seperti overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala,
insomnia, mual, dan efek samping gastrointestinal, SSRI dapat ditoleransi dengan
lebih baik daripada obat trisiklik. Dengan demikian, kadang-kadang SSRI
digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan gangguan obsesif
kompulsif. 3
Obat lain. Jika pengobatan dengan Clomipramine atau SSRI tidak
berhasil, banyak ahli terapi menambahkan lithium (Eskalith). Obat lain yang dapat
digunakan dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif adalah inhibitor
monoamin oksidase (MAOI = monoamine oxidase inhibitor), khususnya
Phenelzine (Nardil). 3

2. Terapi perilaku
Walaupun beberapa perbandingan telah dilakukan, terapi perilaku
sama efektifnya dengan farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif.
Dengan demikian, banyak klinisi mempertimbangkan terapi perilaku
sebagai terapi terpilih untuk gangguan obsesif-kompulsif. Terapi perilaku
dapat dilakukan pada situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan
perilaku utama pada gangguan obsesif-kompulsif adalah pemaparan dan
pencegahan respon. Desensitisasi, menghentikan pikiran, pembanjiran,
terapi implosi, dan pembiasaan tegas juga telah digunakan pada pasien
gangguan obsesif kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-
benar menjalankannya untuk mendapatkan perbaikan. 3

3. Psikoterapi
Psikoterapi suportif jelas memiliki bagiannya, khususnya untuk
pasien gangguan obsesif-kompulsif, walaupun gejalanya memiliki
berbagai derajat keparahan, adalah mampu untuk bekerja dan membuat

15
penyesuaian sosial. Dengan kontak yang kontinu dan teratur dengan
tenaga yang profesional, simpatik, dan mendorong, pasien mungkin
mampu untuk berfungsi berdasarkan bantuan tersebut, tanpa hal tersebut
gejalanya akan menyebabkna gangguan. Kadang-kadang jika ritual dan
kecemasan obsesional mencapai intensitas yang tidak dapat ditoleraansi,
perlu untuk merawat pasien di rumah sakit sampai tempat penampungan
institusi dan menghilangkan stres lingkungan eksternal menurunkan gejala
sampai tingkat yang dapat ditoleransi. 3
Anggota keluarga pasien seringkali menjadi putus asa karena
perilaku pasien. Tiap usaha psikoterapik harus termasuk perhatian pada
anggota keluarga melalui dukungan emosional, penentraman, penjelasan
dan nasihat tentang bagaimana menangani dan berespons terhadap pasien.
3

4. Terapi lain
Terapi keluarga seringkali berguna dalam mendukung keluarga,
membantu menurunkan percekcokan perkawinan yang disebabkan
gangguan, dan membangun ikatan terapi dengan anggota keluarga untuk
kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna sebagai sistem pendukung bagi
beberapa pasien. 3

5. Cognitive Behavior Therapy


Cognitive Behavior Therapy untuk mengatasi gangguan Obsesif-
Kompulsif. Mendasarkan pada perspektif kognitif dan perilaku, teknik yang
umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif adalah
exposure with response prevention. Pasien dihadapkan pada situasi dimana
ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang
biasa dilakukannya namun mereka cegah untuk tidak melakukan ritual itu.
Jika klien dapat mencegah untuk tidak melakukan ritual tersebut dan
ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi. Hal ini dapat membantu

16
dalam mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual. Teknik lain
berupa terapi kognitif dimana mengajarkan jalan terbaik dan efektif untuk
merespon pikiran obsesif tanpa perlu sampai ke kompulsif. 8

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Kondisi medis
Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam diagnosis
banding adalah gangguan Tourette, gangguan tik lainnya, epilepsi lobus
temporalis, dan kadang-kadang komplikasi trauma dan pascaensefalitik.
Gejala karakteristik dari gangguan Tourette adalah tik motorik dan vokal
yang sering dan hampir setiap hari terjadi. 3
2. Kondisi psikiatrik
Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding
gangguan obsesif-kompulsif adalah skizofrenia, gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif, fobia, dan gangguan depresif. Gangguan obsesif
kompulsif biasanya dapat dibedakan dari skizofrenia oleh tidak adanya
gejala skizofrenik lain, oleh kurang kacaunya sifat gejala, dan oleh tilikan
pasien terhadap gangguan mereka. Gangguan kepribadian obsesif-
kompulsif tidak memiliki derajat gangguan fungsional yang berhubungan
dengan gangguan obsesif-kompulsif. Fobia dibedakan dengan tidak
adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsi. Gangguan depresif
berat kadang-kadang dapat disertai oleh gagasan obseisf, tetapi pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif saja tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat. 3
Kondisi psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan
gangguan obsesif-kompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik
tubuh, dan kemungkinan gangguan impuls lainnya, seperti kleptomania
dan judi patologis. Pada semua gangguan tersebut pasien memiliki pikiran
yang berulang, sebagai contoh permasalahan tentang tubuhnya, atau
perilaku yang berulang sebagai contoh mencuri. 3

17
H. PROGNOSIS
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan penyakit yang kronik dengan
perode dari gejala-gejala yang seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami
peningkatan. Penderita gangguan ini tidak biasanya sembuh sempurna atau bebas
dari gejala. Walaupun demikian dengan pengobatan, banyak orang yang mengalami
perbaikan. Perbaikan tersebut berupa gejala yang berbeda seperti cara
merealisasikan suatu obsesif yang berbeda. Diagnosis awal dan terapi yang
dilakukan secepatnya akan memberikan hasil yang lebih baik di mana penekanan
onset usia dini adalah hal yang patut untuk segera didiagnosis. Selain itu, mereka
yang bergerak di bidang kesehatan mesti memahami perbedaan antara gangguan
obsesif-kompulsif dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang mana
untuk jenis gangguan kepribadian biasanya dimulai pada saat dewasa muda, yaitu
umur di atas 20 tahun sedangkan untuk gangguan obsesif kompulsif biasanya
dimulai pada usia anak-anak.1,9,10

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan obsesif–kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai


dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana membutuhkan
banyak waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan penderitaan
(distress). Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala–gejala obsesif atau tindakan
kompulsif atau kedua–duanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2
minggu berturut–turut. Beberapa faktor berperan dalam terbentuknya gangguan
obsesif-kompulsif diantaranya adalah faktor biologi seperti neurotransmiter,
pencitraan otak, genetika, faktor perilaku dan faktor psikososial, yaitu faktor
kepribadian dan faktor psikodinamika. Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan
untuk penatalaksanaan gangguan obsesif–kompulsif antara lain terapi farmakologi
(farmakoterapi) dan terapi tingkah laku. Prognosis pasien dinyatakan tidak bisa
sembuh sempurna. Dengan pengobatan bisa memberikan pengurangan gejala.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hudak R, Dougherty DD. Clinical Obsessive-Compusive Disorders in Adults and


Children: Cambridge University Press. 2011

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. 2rd rev. ed. Kusuma M, translator. Jakarta:
Erlangga; 2010, 56-67 p.

Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2rd rev. ed. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009, 312-313 p.

Greenberg, W.M. and David, B., 2015. Medscape. Obssesive-Compulsive


Disorder. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1934139-
overview#a5 [Accessed 24th September 2015].

National Alliance on Mental Illness (NAMI), 2015. Obsessive-Compulsive


Disorder. Available at: https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-
Conditions/Obsessive-Compulsive-Disorder/Overview [Accessed 24th September
2015].

19
Tomb DA. Buku Saku Psikiatri (Psychiatry). 6th rev. ed. Nasrun MWS, translator.
Yogyakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004, 238-239 p.

Berger FK. Obsessive-Compulsive Disorder. MedlinePlus. 2012 Jul 03. Diakses


pada tanggal 19 Mei 2013 di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000929.htm

4. Katona C, Cooper C, Robertson M. At a Glance Psikiatri. 4th rev. ed. Noviyanti


C dan Hartiansyah Vidya, translator. Jakarta: Erlangga; 2012, 31 p.

6. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
– III. 1st ina. ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – UNIKA Atmajaya;
2001, 76-77 p.

7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). 3rd rev. ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – UNIKA
Atmajaya; 2001, 47-48 p.

8. Robinson L, Smith M, Segal J. Obsessive-Compulsive Disorder (OCD).


Helpguide. 2013 Apr. Diakses pada tanggal 19 Mei 2013 di
http://www.helpguide.org/mental/obsessive_compulsive_disorder_ocd.htm

9. National Colaborating Centre for Mental Health, National Institute for Health
and Clinical Excellence. Obsessive-Compulsive Disorder: Core interventions in
the treatment of obsessive-compulsive disorder and body dysmorphic disorder.
National Clinical Practice Guideline. 2006; 31: 19-20.

10. Rogge T. Obsessive-Compulsive Personaliy Disorder. MedlinePlus. 2012 Nov


11. Diakses pada tanggal 19 Mei 2013 di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000942.htm

20

Anda mungkin juga menyukai