Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PENELITIAN

Korelasi antara Burn Out dengan Kinerja

Karyawan Pengolahan Komponen Darah di UTD PMI Kota Semarang

Pada Tahun 2018

Disusun Oleh :

Asa Yosua Christandy (2016010002)

Djatmiko (2016010004)

The, Yuliana Dewi Susilo (2016010015)

TEKNOLOGI TRANSFUSI DARAH

POLITEKNIK BINA TRADA

SEMARANG

2018
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang Masalah

Faktor psikososial yang merupakan salah satu bahaya di tempat kerja kerap kali
tidak disadari oleh para pekerja maupun pihak manajemen. Perlu diketahui bahwa pekerja
sering mengalami situasi dan lingkungan kerja yang tidak kondusif, seperti bekerja dalam
shift, beban kerja yang berlebihan, bekerja monotoni, mutasi dalam pekerjaan, tidak
jelasnya peran kerja, serta konflik dengan teman kerja. Semua aspek tersebut merupakan
beberapa faktor psikososial yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik, mental
maupun emosional para pekerja, seperti gangguan muskuloskeletal, stres, dan penyakit
psikomatis yang menjadi penyebab meningkatnya penyakit akibat hubungan pekerjaan
(Kementerian Kesehatan, 2011). Salah satu factor psikososial yang sering timbul adalah
adanya burnout pada karyawan yang dapat menimbulkan penurunan kualitas kinerja
karyawan.

Burnout merupakan kejenuhan/kelelahan yang dialami seseorang. Beban kerja


berlebih hingga lingkungan kerja yang tidak mendukung dapat mendorong timbulnya
burnout pada seseorang. Seseorang yang mengalami burnout/kejenuhan pada tingkat
yang tinggi sebagian besar cendeung untuk menarik diri dari pekerjaannya sehingga hasil
dari pekerjaan yang telah dilakukannya pun tidak maksimal dan berimbas pada
kinerjanya.
Pada umumnya burnout lebih mudah terjadi pada individu yang telah
mengalami stres yang berkepanjangan yang terus menerus sebagai akibat dari adanya
perasaan tidak berdaya untuk mengubah situasi kerja. Kondisi burnout juga akan
berpengaruh terhadap menurunnya prestasi kerja dan perubahan sikap individu didalam
lingkungan kerja seperti : penarikan diri dari kerja dengan menjaga jarak (menurunnya
intensitas berelasi baik dengan klien atau rekan kerja), lebih banyak absen dan memiliki
turnover yang lebih tinggi dari pekerja lainnya. Burnout dan stres kerja berbeda, stres
kerja adalah suatu kondisi yang dialami seseorang individu dari hasil pemikiran atau
penghayatan subjektif individu tersebut berupa: interaksi antara individu dan lingkungan
tempat kerjanya yang dapat mengancam dan memberikan tekanan secara psikologis,
fisiologis, dan sikap individu yang dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir dan
kondisi individu. sedangkan burnout adalah jika seorang karyawan tidak dapat mengatasi
stres yang dialaminya maka lama kelamaan akan berpotensi menimbulkan burnout.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stress kerja dengan burnout,
tingkat stres kerja pekerja bagian pengolahan komponen darah, tingkat burnout pada
pekerja bagian pengolahan komponen darah dan peran stres kerja terhadap tingkat
burnout.
1.2. Rumusan Masalah

2. Apa yang dimaksud dengan Pengolahan Komponen Darah


3. Apa saja faktor Psikologi yang sering berada di lingkungan kerja Pengolahan Komponen
Darah?
4. Siapa saja yang membutuhkan produk darah ?
5. Kenapa Komponen darah diperlukan ?
6. Bagaimana resiko faktor Psikologis dan pengaruhnya terhadap keamanan dan kinerja para
pekerja Pengolahan komponen darah ?
7. Bagaimana hubungan antara beban kerja dengan intensitas turnover pada karyawan
Pengolahan Komponen Darah ?

1.3. Tujuan Penulisan

2. Memahami pengertian dari pengolahan komponen darah


3. Memahami apa saja faktor Psikologi yang ada di lingkungan kerja Pengolahan Komponen
Darah
4. Mengetahui siapa saja yang membutuhkan produk darah
5. Mengetahui alasan kenapa komponen darah diperlukan
6. Memahami resiko faktor psikologis dan pengaruhnya terhadap keamanan dan kinerja para
pekerja pengolahan komponen darah
7. Memahami hubungan antara beban kerja dengan intensitas turnover pada karyawan
Pengolahan Komponen Darah

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian

Darah

Darah merupakan komponen penting dalam penilaian kondisi fisiologis tubuh


(Mitruka dan Rawnsley, 1981). Darah terdiri dari plasma dan sel darah. Sel darah meliputi
eritrosit, leukosit, dan trombosit.

Komponen Darah
Komponen darah tersebut dapat diamati setelah dilakukan sentrifugasi sehingga
membentuk beberapa lapisan (Gambar 1). Plasma darah merupakan carian penyusun darah
yang mengandung sejumlah protein yang berperan sangat penting untuk menghasilkan
osmotik plasma (Isnaeni, 2006). Darah berfungsi untuk mengedarkan substansi yang
masuk ke dalam tubuh maupun yang dihasilkan tubuh dari proses-proses metabolisme
(Ihedioha dkk., 2012), sebagai pertahanan terhadap antigen, dan mengatur stabilitas suhu
tubuh (Sumardjo, 2008).

Gambar 1. Sampel darah setelah disentrifugasi (Sumber: Isnaeni, 2006).Keterangan: Volume darah
yang ditempati eritrosit disebut hematokrit.

Komponen darah memberikan pilihan pengobatan kepada klinisi dalam mengobati


pasien yang memberikan respon lebih baik terhadap komponen darah daripada terhadap
darah lengkap atau jika diperlukan untuk meminimalkan volume transfusi. Komponen
darah harus diolah dari darah yang diambil secara aseptik dari pendonor yang telah dinilai
dan telah memenuhi kriteria seleksi.

Perilaku Kerja

Perilaku Kerja menurut Robbins (2002 : 35 dan 39 ) Perilaku kerja yaitu dimana
orang-orang dalam lingkungan kerja dapat mengaktualisasikan dirinya melalui perilaku
dalam bekerja. (Robbins menekankan pada perilaku yang diambil oleh pekerja untuk
menentukan apa yang akan mereka lakukan di lingungan tempat kerja mereka).

Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial yang dijalani meliputi psikis pekerja,
mental dan juga fisik dalam sebuah perusahaan (Robbins, 2002). Ini nantinya akan
berpengaruh pada kinerja seseorang atau karyawan dalam melakukan segala tugasnya.
Manusia akan selalu bergantung pada keadaan atau lingkungan di sekitar dan keduanya
saling berkaitan dan saling mempengaruhi.

2.2. Faktor-Faktor Psikologi Lingkungan Kerja


Lingkungan psikis di lingkungan kerja dapat berdampak positif atau negative. Hal
ini sangat bergantung bagaimana individu menanggapinya. Faktor lingkungan psikis
merupakan hal-hal yang menyangkut hubungan social dan keorganisasian. Keith Davis
(1984), mengemukakan beberapa kondisi psikis yang mempengaruhi kepuasan kerja
seseorang yang meliputi :

 Pekerjaan yang berlebihan (Work Overload) : Pada umumnya pekerjaan yang


berlebihan merupakan hal-hal yang menekan dapat menimbulkan
ketegangan(tension). Pekerjaan yang berlebihan belum tentu menimbulkan stress,
sehingga pegawai belum tentu pula merasa kurang aman dalam menghadapi
pekerjaannya.

 Desakan waktu (Time urgency) : Waktu yang terbatas atau mendesak dalam
penyelesaian suatu pekerjaan merupakan hal-hal yang menekan yang dapat
menimbulkan ketegangan (tension). Waktu yang terbatas juga tidak cukup untuk
menimbulkan stress, apalagi tugas yang diselesaikan hanya sedikit.

 Sistem Pengawasan yang buruk (Poor quality of supervisor) : Sistem pengawasan


yang buruk, dapat menimbulkan ketidakpuasan. Seperti ketidakstabilan suasana
politik, kurangnya umpan balik prestasi kerja dan kuarng pemberian wewenang
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan.

 Kurang Tepatnya pemberian kewenangan sesuai dengan tanggung jawab yang


diberikan (Inadequate authority to match responsibilities)

 Kurangnya umpan balik prestasi kerja (insufficient performance feedback). Sistem


pengawasan yang buruk atau kurangnya umpan balik prestasi kerja dapat
menimbulkan ketidakpuasan kerja.Umpan balik prestasi kerja misalnya adalah
promosi.

 Ketidakjelasan peran (role ambiguity). Ketidakjelasan peran dapat berarti pula


ketidaksesuaian antara status kerja dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan.

 Perbedaan nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai yang dimiliki pekerja


(differences between company’s and employee’s). Kebijakan perusahaan kadang-
kadang sering bertolak belakang dengan diri pekerja. Hal ini merupakan sesuatu
yang wajar, karena pada dasarnya perusahaan lebih berorientasi pada keuntungan
(provit). Sedangkan pekerja menuntut upah tinggi, kesejahteraan serta adanya
jaminan kerja yang memuaskan.

 Frustasi (frustration). Frustasi sebagai kelanjutan daari konflik, pada terhambatnya


usaha mencapai tujuan. Misalnya harapan perusahaan tidak sesuai dengan harapan
pekerja. Hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan yang apabila berlangsung terus
menerus akan menimbulkan frustasi.

 Perubahan-perubahan dalam segala bentuk (change of anytipe). Perubahan-


perubahan yang terjadi dalam pekerjaan akan mempengaruhi cara-cara orang
bekerja. Hal ini berarti terjadinya ketidakstabilan pada situasi kerja. Perubahan
menuntut penyesuaian agar terjadi kestabilan pada situasi kerja dapat berupa
perubahan jenis pekerjaan, perubahan organisasi, pergantian pimpinan maupun
perubahan politik perusahaan.

 Perselisihan antar pribadi dan antar kelompok (interpersonal and intergroup


conflict). Perselisihan juga terjadi akibat adanya perbedaan tujuan antara nilai-nilai
yang dianut dua pihak. Dampak negative perselisihan adalah ,terjadinya gangguan
dalam komunikasi, kekompakan dan kerja sama. Sedangkan manfaatnya adalah
adanya usaha positif untuk mengatasi perselisihan, daya juang yang tinggi untuk
mencapai tujuan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
maupun tuntutan dari lingkungan. Situasi yang sering menimbulkan perselisihan di
tempat kerja antara lain : persaingan, ketergantungan pada tugas, ketidakjelasn
dalam pembagian wewenang, masalah status dan perbedaan individu.

 Suasana politik yang tidak aman (insecure political climate). Ketidakstabilan


suasana politik dapat terjadi di lingkungan kerja maupun di lingkungan lebih luas
lagi. Misalnya karena situasi politik, terjadi devaluasi di suatu Negara, sehingga
menimbbulkan ketidakstabilan perusahaan-perusahaan yang ada di Negara tersebut
dan sekaligus mempengaruhi oaring-orang yang bekerja disana.

2.3. Resiko Faktor Psikologis Dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan Dan Kinerja
Para Pekerja

Studi menunjukkan bahwa untuk 50% dari semua kecelakaan terjadi karena
kesalahan karyawan di tempat kerja atau factor manusia. Faktor risiko psikologis dalam
kecelakaan adalah potensi pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin terjadi sebagai
akibat dari peristiwa stres. Permasalahan psikologis ataupun stress yang terjadi pada
seseorang digolongkan kedalam 4 bidang kehidupan yaitu :

 PRIBADI

 Terjadi masalah keluarga misalnya perceraian, sakit, kematian dalam keluarga,


kehilangan pekerjaan, kecelakaan, pindah ke tempat yang baru
 Alkohol / penyalahgunaan obat

 Masalah keuangan

 Pernikahan

 Kelahiran anak

 Sekolah / kelulusan

 PEKERJAAN

 Pekerjaan Baru / transfer pekerjaan / promosi peker;jaan

 Adanya tanggung jawab Baru / harapan baru yang harus dipenuhi

 Adanya Pemotongan / perampingan tenaga kerja yang membuat beberapa teman


kehilangan pekerjaannya

 Masalah dengan rekan kerja atau supervisor (pelecehan, perbedaan budaya)

 SOSIAL

 Bencana alam: Api, banjir, gempa bumi, dll

 Terjadi Pencurian, perampokan, kerusuhan, penculikan

 Terjadinya depresi

 PENULARAN

Penularan adalah Reaksi terhadap suatu peristiwa yang tidak berhubungan


dengan diri sendiri seperti : Membaca tentang bencana / cakupan televisi yang
membuat seseorang menjadi sangat khawatir, Bencana yang menimpa teman atau
saudara, melaporkan bencana.

Stres akibat kerja mempunyai gejala-gejala sebagai berikut


(Kementerian Kesehatan, 2011) :

 Gejala fisiologis berupa otot tegang, jantung berdebar-debar, perut mual, dan
keringat dingin.

 Gejala psikologis berupa mudah marah, emosi meledak-ledak, serta mudah panik.

 Gejala psikosomatik berupa gangguan muskuloskeletal (nyeri otot, kram),


gangguan sistem pernapasan (asma, spasmus bronchitis), gangguan
kardiovaskuler (migrain, hipertensi), gangguan kulit (eksim, jerawat), gangguan
kelenjar endokrin (hipertiroid, diabetes, infertilitas), gangguan sistem saraf
(neurostenia), gangguanmata (glaucoma), gangguan gastrointestinal (gastritis,
peptic ulcer, diare), gangguan genitourinarial (dismenorhea, gangguan haid).

 Gejala perilaku berupa absensi, menghindari interaksi atau komunikasi dengan


orang lain, menghindari hal-hal yang biasa disukai, sulit tidur, perubahan
kebiasaan makan, banyak merokok, gangguan tidur, tidak masuk kerja, serta
penurunan prestasi kerja.

2.3.1. Burn Out (Kelelahan Berat/Kejenuhan)

Burn out merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan kelelahan


berat yang prosesnya bertahap dan dalam responnya terhadap stres maupun
ketegangan fisik, mental, dan emosional yang berkepanjangan, melepaskan diri dari
pekerjaan dan hubungan bermakna lainnya. Burnout adalah istilah psikologi yang
digunakan untuk menggambarkan perasaan kegagalan dan kelesuan akibat tuntutan
yang terlalu membebankan tenaga dan kemampuan seseorang. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974. Akibatnya, karyawan akan mudah
mengalami sinisme, kebingungan, perasaan yang terkuras, merasa tidak memiliki
sesuatu lagi untuk memberi, serta produktivitas menurun. Berikut contoh penyebab
burn out yang berkaitan dengan faktor psikososial (Kementerian Kesehatan, 2011 ):

1) Merasa hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada otoritas dalam
melaksanakan pekerjaannya.

2) Kurangnya pengakuan atau reward atas pekerjaan yang baik.

3) Ketidakjelasan fungsi atau tugasnya.

4) Terlalu menuntut atau mempunyai harapan yang lebih terhadap tempat dia
bekerja.

5) Melakukan pekerjaan yangmonoton dan dalam suasana tegang.

Selain faktor pekerjaan, gaya hidup seseorang juga berpengaruh terhadap


kelelahan saat bekerja karena (Kementerian Kesehatan, 2011) :

a) Bekerja terlalu banyak atau berat tanpa diimbangi dengan waktu untuk bersantai
atau hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan yang lain.

b) Menjadi seseorang yang mempunyai banyak figur bagi orang lain.

c) Mengambil cukup banyak tanggung jawab tanpa bantuan orang lain.

d) Kurang waktu tidur.

e) Hubungan yang kurang baik dengan orang terdekatnya, seperti keluarga.


f) Mempunyai beberapa kecenderungan kepribadian: perfeksionis, pesimistis dalam
melihat diri sendiri dan dunia, kebutuhan untuk berada pada posisi atas, keraguan
untuk mendelegasikan kepada orang lain, serta keinginan untuk selalu menjadi
yang tertinggi atau terbaik.

Beberapa gejala burn out antara lain : kecemasan dan depresi, sikap sinis,
sikap selalu curiga, penggunaan alkohol dan obat terlarang, penampilan terlalu
percaya diri, serta berulang-ulang merasa sakit secara fisik dengan masalah sakit
kepala, perut, masuk angin, dan lain sebagainya. Berikut empat tahapan burn out
(Kementerian Kesehatan, 2011) :

1) Phase 1: Kelelahan fiisk, mental, dan emosional.

2) Phase 2: Merasa malu dan penuh keraguan, serta semua hal terasa sulit.

3) Phase 3: Sinisme dan perasaan tidak nyamanberkepanjangan. Pada fase ini


seseorang hanya ingin dibiarkan sendiri, tidak punya energi atau merasa tidak
punya kepentingan lagi terhadap hal yang biasa dilakukan.

4) Phase 4: Merasa jadi orang yang gagal, tidak berdaya, dan berada dalam krisis
yang ditandai denganputus asa, kesal, marah, dan frustasi, serta kehilangan minat
atau motivasi yang mendorong untuk mengambil peran tertentu dalam pekerjaan
atau kehidupan.

2.4. Hubungan Burn Out dengan Kinerja pada karyawan Pengolahan Komponen
Darah

Berbagai penelitian yang mengangkat topik tentang burnout di kalangan pekerja


ataupun pegawai sudah banyak kita temukan baik di dalam maupun di luar negeri. Ada
beberapa penyebab mengapa para pekerja bisa mengalami sebuah burnout mulai dari
beban kerja yang berlebih hingga lingkungan kerja yang tidak mendukung. David
Ballard dalam Wisudaningrum (2009) menyatakan bahwa terdapat sepuluh tanda yang
menunjukkan seorang pekerja atau pegawai mengalami burnout dan salah satunya
adalah menurunnya kinerja. David Ballard menambahkan penurunan kinerja yang
berlangsung selama beberapa periode dapat dijadikan pertanda adanya burnout. Para
pegawai ataupun pekerja yang mengalami burnout/kejenuhan pada tingkat yang tinggi
sebagian besar cenderung untuk menarik diri dari pekerjaannya sehingga hasil dari
pekerjaan yang telah dilakukan pun tidak maksimal dan berimbas pada kinerjanya.

Kinerja merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian bagi suatu
perusahaan maupun instansi. Para pegawai yang bekerja langsung dibawah naungan
instansi maupun perusahaan memiliki andil dalam membangun dan membentuk citra
serta reputasi instansi maupun perusahaan tersebut. Oleh karenanya, kinerja sumber daya
manusia menjadi salah satu unsur yang penting dalam membantu kinerja sebuah instansi
maupun perusahaan.

Karyawan PMI bagian pengolahan komponen darah sebagai seorang pekerja


sosial juga tak luput dari ancaman burnout. Banyaknya beban kerja yang harus
ditanggung oleh seorang karyawan pengolahan komponen darah juga dapat
mengakibatktan timbulnya burnout pada karyawan tersebut. Berbagai penelitian
menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa burnout melanda banyak para pekerja
sosial tak terkecuali seorang karyawan pengolahan komponen darah.

Adapun faktor-faktor yang membuat mereka mengalami burnout dalam


pekerjaannya, diantaranya seperti kurangnya fasilitas untuk melaksanakan tugas,
pekerjaan cenderung membosankan, tidak ada kesempatan untuk menyampaikan saran
dan keluhan pada lingkungan kerja, serta kondisi yang kurang tepat dalam lingkungan
kerja.

UTD PMI Kota Semarang sebagai lembaga/instansi perlu untuk mencari apa
yang menjadi penyebab karyawan mengalami burnout mengingat burnout ini dapat
menjadi suatu masalah bagi pekerjaan serta dapat mempengaruhi kinerja. Penelitian yang
dilakukan oleh Sri Pahalendang Asi (2013) mengungkapkan adanya pengaruh burnout
terhadap kinerja. Dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Iklim Organisasi dan burnout
terhadap kinerja perawat RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya terhadap 106
responden menunjukkan adanya pengaruh signifikan berbanding terbalik antara burnout
terhadap kinerja perawat yang artinya semakin rendah burnout yang dialami maka
semakin tinggi kinerja perawat di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Data
tersebut semakin menjelaskan bahwa burnout dapat menjadi suatu masalah dalam
pekerjaan serta dapat mempengaruhi kinerja.

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama


Freudenberger. Freudenberger merupakan seorang ahli psikologi klinis pada lembaga
pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Pada awalnya,
Freudenberger mengamati perubahan perilaku pada diri relawan setelah bertahun-tahun
bekerja. Para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitemen dan
penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Istilah burnout ini diilustrasikan
seperti gedung yang terbakar habis. Gedung yang pada mulanya bagian dalam dan
luarnya tampak megah setelah terbakar habis akan nampak bagian luarnya saja. Pun
demikian dengan mereka yang terkena burnout. Tampak dari depan kelihatan utuh tapi di
dalamnya kosong dan mengalami masalah.

Riggio (2000) mengungkapkan burnout merupakan suatu kondisi yang


diakibatkan dari lamanya stres yang dialami pada suatu pekerjaan dan dampaknya dapat
membuat seseorang keluar dari organisasi. Kurangnya penghargaan atas kinerja dapat
menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang mengalami burnout dan hal ini
berujung pada penurunan komitmen atas pekerjaan sehingga membuat seseorang
mengundurkan diri ataupun menarik diri dari tugasnya. Proses pengunduran diri ini
dapat ditunjukkan dengan reaksi meningkatnya keterlambatan, ketidakhadiran serta
penurunan kinerja dan kualitas kerja. Riggio (2000) menambahkan mereka para pekerja
yang bersentuhan langsung dengan orang lain seperti dokter, perawat dan penyedia jasa
layanan masyarakat akan sangat rentan mengalami burnout.
Paulus (1991) mengkarakteristikan burnout menjadi empat yaitu:

1. Kelelahan fisik. Ditandai dengan gejala kekurangan energy dan merasakan


kelelahan sepanjang waktu

2. Kelelahan emosional. Ditandai dengan perasaaan tidak berdaya, depresi, dan


merasa terperangkap dengan pekerjaannya. Pada kondisi ini, rasa lelah muncul
begitu saja tanpa diawali oleh pengeluaran energi yang berarti. Selain itu rasa lelah
tidak dapat hilang meskipun individu melakukan istirahat selama beberapa hari.
Kelelahan ini menyebabkan individu cenderung ingin atau mudah marah tanpa
alasan yang jelas bila mulai mengerjakan pekerjaannya, merasa kesepian dan
terasing dari rekan sekerjanya, dan kehilangan semangat untuk bekerja.

3. Kelelahan perilaku. kondisi dimana individu menganggap individu yang


ditolongnya sebagai objek belaka. Pada kondisi ini individu menjadi tidak peka
atau kurang bersimpati dan bersikap sinis terhadap individu lain dan cenderung
bersikap masa bodoh terhadap diri sendiri, pekerjaan dan kehidupannya. Kelelahan
ini nampak dari sikap pilih kasih, acuh dan masa bodoh, menyalahkann dan kurang
toeransi terhadap individu lain yang ditolongnya.

4. Pencapaian diri yang rendah. kondisi pada diri individu yang ditandai dengan
adanya anggapan bahwa mereka mungkin tidak akan berhasil di masa mendatang.
Pada kondisi ini timbul perasaan tidak berdaya, sia-sia, dan tidak berarti sehingga
individu akan berhenti berusaha dan menjadi apatis.

Kinerja berasal dari kata job performance. Ada pula yang memberikan
pengertian job performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja
mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, melainkan juga
bagaimana proses pekerjaan itu berlangsung (Wibowo, 2009).

Menurut Simanjuntak (2005) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas


pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam
rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Menurut Armstrong dan Baron dalam
Wibowo (2009) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat
dengan tujuan strategis organisasi ataupun kepuasan konsumen. Sedangkan menurut
Bernardin (1993) Kinerja merupakan catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh atas
fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas selama periode tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan kinerja merupakan penampilan hasil karya
seseorang baik kuantitas maupun kualitas sebagai bentuk tanggung jawab dalam suatu
organisasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Bernardin (1993) menyatakan ada
enam dimensi dalam mengukur kinerja, yaitu:

1. Quality. Merupakan proses atau hasil dari pelaksanaan kegiatan mendekati ideal atau
mendekati tujuan yang diharapkan.

2. Quantity. Terkait dengan proses atau hasil mendekati ideal dalam memenuhi maksud
atau tujuan dan berdasarkan pada tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.

3. Timeliness merupakan sejauh mana penggunaan waktu yang digunakan dalam


menjalankan suatu kegiatan ataupun pekerjaan.

4. Cost-effectiveness. Terkait dengan tingkat penggunaan sumber-sumber organisasi


seperti uang, material, teknologi dalam mendapatkan atau memperoleh hasil serta
meminimalisir pemborosan.

5. Need for supervision. Terkait dengan kemampuan individu dapat menyelesaikan


pekerjaan atau fungsi-fungsi pekerjaan tanpa asistensi pimpinan atau intervensi
pengawasan pimpinan.

6. Interpersonal impact. Terkait dengan kemampuan individu dalam meningkatkan


perasaan harga diri, keinginan baik serta kerja sama diantara sesama pekerja.

Penilaian kinerja dapat bermanfat bagi suatu organisasi. Hal ini seperti apa
yang dikemukakan oleh Hariandja (2002) bahwa penilaian kinerja tidak hanya sekedar
menilai tapi lebih dari itu, yakni membantu pekerja untuk mencapai unjuk kerja yang
diharapkan oleh organisasi dan berorientasi pada pengembangan pekerja maupun
organisasi. Sementara itu, Siagian (1983) berpendapat bahwa penilaian kinerja memiliki
beberapa manfaat diantaranya seperti mendorong peningkatan kinerja para pekerja,
sebagai bahan pengambilan kepurtusan dalam pemberian imbalan, untuk kepentingan
mutasi pekerja, untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan dan untuk
membantu pekerja dalam menentukan rencana kariernya, bersama bagian kepegawaian
menyusun program pengembangan karier yang paling tepat, sesuai dengan kebutuhan
karyawan dan organisasi.

Dengan adanya sebuah penilaian kinerja, maka organisasi dapat mengetahui apa
yang sedang dihadapi dan target apa lagi yang harus dicapai. Sebagai suatu alat ukur,
penilaian kinerja selain bermanfaat bagi pekerja juga bermanfat bagi organisasi untuk
lebih memahami lagi kekuatan serta kelemahan yang dimilikinya.
Bekerja pada suatu instansi maupun perusahaan tentu akan melibatkan tak sedikit
tenaga serta pikiran ketika bekerja. Baik itu pekerjaan yang tidak langsung terlibat dengan
manusia maupun yang langsung terlibat dengan manusia ataupun klien dan pengguna
seperti dokter, perawat, hakim maupun pustakawan. Beban kerja yang berlebih yang
ditanggung oleh pekerja dapat mendorong timbulnya burnout pada diri pekerja. Seperti
yang diungkapkan maslach (1982) beban kerja yang berlebih seperti jam kerja, jumlah
individu yang dilayani, tanggung jawab yang harus dipenuhi, pekerjaan lain yang tidak
sesuai atau bahkan melebihi kapasitas individu dapat mendorong timbulnya burnout.

Adapun gejala atau tanda yang menunjukkan para pekerja mengalami burnout salah
satunya yaitu penurunan kinerja. David Ballard (dalam wisudaningrum, 2015)
mengungkapkan terdapat sepuluh tanda yang menunjukkan seorang pekerja mengalami
burnout yang salah satunya yaitu menurunnya kinerja. David menjelaskan penurunan
kinerja yang berlangsung beberapa periode dapat dijadikan pertanda adanya burnout. Hal
ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Potter. Potter dalam Mizmir (2011)
mengungkapakan diantara lima gejala seorang mengalami burnout salah satunya yaitu
kinerjanya menurun. Penurunan kinerja mengakibatkan bekerja menjadi lebih menyakitkan
dan kurang menguntungkan, selain itu ketidakhadiran juga akan meningkat dan tinggal
menunggu waktu sampai pada akhirnya terjadi penurunan kualitas kerja yang berujung pada
penurunan produktivitas. Konsekuensi dari burnout ini juga akan berdampak negatif bagi
para pekerja yang kemudian akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Paulus (1991)
berpendapat bahwa salah satu dampak negatif dari burnout adalah menurunnya kinerja.

Anda mungkin juga menyukai