Anda di halaman 1dari 9

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinea Kruris


2.1.1. Definisi
Menurut Budimulja (1999), Siregar R.S. (2004), Graham-Brown (2008),
Murtiastutik (2009), dan Berman (2011) Tinea kruris adalah penyakit
dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk) yang
disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada daerah kruris (sela paha,
perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah sekitarnya.
Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya Tinea kruris :

(Siregar R.S., 2004)

Gambar 2.1. Predileksi Tinea Kruris

2.1.2. Epidemiologi
Menurut Berman (2011) dan Wiederkehr (2012), pria lebih sering terkena Tinea
kruris daripada wanita dengan perbandingan 3 berbanding 1, dan kebanyakan
terjadi pada golongan umur dewasa daripada golongan umur anak-anak.

Universitas Sumatera Utara


5

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis


Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita
adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin (Budimulja, 1999).
Menurut Emmons (1934) dalam Budimulja (1999), dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton.
Penyebab Tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum,
namun dapat pula oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan
Trichophyton verrucosum (Siregar R.S., 2004).
Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai
daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat
menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan
stratum basalis (Boel, 2003).
Menurut Rippon (1974) dalam Budimulja (1999), selain sifat keratofilik
masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali,
taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan
penyebab penyakit. Jamur ini mudah hidup pada medium dengan variasi pH yang
luas. Jamur ini dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan suatu kelainan
apapun di dalam berbagai organ manusia atau hewan. Pada keadaan tertentu sifat
jamur dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit bahkan ada
yang berakhir fatal.
Beberapa jamur hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang
lainnya terutama menyerang hewan (zoofilik) walau kadang-kadang bisa
menyerang manusia. Apabila jamur hewan menimbulkan lesi kulit pada manusia,
keberadaan jamur tersebut sering menyebabkan terjadinya suatu reaksi inflamasi
yang hebat. Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak dengan debris
keratin yang mengandung hifa jamur (Graham-Brown, 2002).

Universitas Sumatera Utara


6

2.1.4. Gambaran Klinis


Menurut Budimulja (1999), Nasution M.A. (2005), Berman (2011), dan
Wiederkehr (2012), gambaran klinis Tinea kruris khas, penderita merasa gatal
hebat pada daerah kruris. Ruam kulit berbatas tegas, eritematosa, dan bersisik.
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit
sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.
Berikut ini gambaran klinis dari Tinea kruris :

(Departemen Kesehatan Kulit & Kelamin FK Unair, 2009)

Gambar 2.2. Regio Inguinal Meluas ke Pubis

2.1.5. Faktor Risiko


Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko adalah faktor yang
dapat mempermudah timbulnya suatu penyakit. Peran faktor risiko itu dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu :
1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur.
2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang
menurun.
Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko yang
menyuburkan pertumbuhan jamur, antara lain :
1) Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan
keseimbangan antara jamur dan bakteri terganggu.

Universitas Sumatera Utara


7

2) Adanya penyakit diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana


yang menyuburkan jamur.
Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko yang
memudahkan invasi jamur ke jaringan, antara lain :
1) Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh
cairan yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki,
kencing pada pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur di
sudut mulut orang lanjut usia.
2) Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan,
diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang
menyuburkan jamur.
Menurut Nasution M.A. (2005) dan Berman (2011), pada penyakit kulit
karena infeksi jamur superfisial seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena
kontak langsung dengan jamur tersebut, atau benda-benda yang sudah
terkontaminasi oleh jamur, ataupun kontak langsung dengan penderita.
Menurut Adiguna (2001) dan Siregar R.S. (2004), Tinea kruris paling
banyak terjadi di daerah tropis, musim/iklim yang panas, lingkungan yang kotor
dan lembab, banyak berkeringat. Faktor keturunan tidak berpengaruh (Siregar,
2004).
Kebiasaan mengenakan celana ketat dalam waktu yang lama dan atau
bertukar pinjam pakaian dengan orang lain penderita Tinea kruris juga termasuk
faktor risiko infeksi awal maupun infeksi berulang Tinea kruris (Wiederkehr,
2012).

2.1.6. Diagnosis
Untuk menegakkan Tinea kruris, dibutuhkan penilaian asosiasi gambaran klinis
dengan uji diagnostik untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Bahan yang
diperiksa berupa kerokan kulit. Bahan harus diperoleh sesteril mungkin untuk
menghindari pencemaran jamur lain. Kemudian bahan dapat dilakukan
pemeriksaan secara langsung maupun secara biakan (Bagian Kesehatan Anak FK
UI, 2002).

Universitas Sumatera Utara


8

Menurut Goedadi (2001) dan Nasution M.A. (2005), untuk mengetahui


suatu ruam yang disebabkan oleh infeksi jamur, biasanya kita lakukan
pemeriksaan kerokan dari tepi lesi yang meninggi atau aktif tersebut. Spesimen
dari hasil kerokan tersebut kita letakkan di atas deck glass dan ditetesi dengan
larutan KOH 10-20 %. Kemudian kita tutup dengan object glass kemudian
dipanaskan dengan lampu Bunsen sebentar untuk memfiksasi, kemudian dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pemeriksaan mikroskopik secara
langsung menunjukkan hifa yang bercabang atau artospora yang khas pada infeksi
dermatofita. Sedangkan untuk mengetahui golongan ataupun spesies daripada
jamur dilakukan pembiakan dengan media yang standar yaitu Sabouraud
Dextrose Agar (SDA). Kadang-kadang kita perlukan juga mikobiotik. Setelah
kurang lebih dua minggu koloni daripada jamur mulai dapat kita baca secara
makroskopis.

2.1.7. Diagnosis Banding


Tinea kruris perlu dibedakan antara lain dengan intertrigo, eritrasma, dermatitis
seboroik, psoriasis, kandidiasis (Goedadi, 2001).

2.1.8. Penatalaksanaan
Terdapat banyak obat antijamur topikal untuk pengobatan infeksi dermatofit.
Lokasi ini sangat peka nyeri, jadi konsentrasi obat harus lebih rendah
dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat, asam benzoat, sulfur, dan
sebagainya. Obat-obat topikal ini bisa digunakan bila daerah yang terkena sedikit,
tetapi bila infeksi jamur meluas maka lebih baik menggunakan obat oral sistemik
(Graham-Brown, 2002).
Menurut Bagian Farmakologi FK UI (1995), Bagian Kesehatan Anak FK
UI (2002), dan Nasution M.A. (2005), obat-obat pada infeksi jamur pada kulit ada
2 macam yaitu :
1) Obat topikal, misalnya :
a) Golongan Mikonazole,
b) Golongan Bifonazole,

Universitas Sumatera Utara


9

c) Golongan Ketokonazole, dan sebagainya.


Pengobatan umumnya 2x/hari minimal selama 3 minggu atau 2 minggu
sesudah tes KOH negatif dan klinis membaik.
2) Obat per oral, misalnya :
a) Golongan Griseofulvin, dosis :
Anak : 10 mg/kgBB/hari (microsize).
5,5 mg/kgBB/hari (ultra-microsize).
Dewasa : 500-1000 mg/hari/
b) Golongan Ketokonazole, dosis :
Anak : 3-6 mg/kgBB/hari.
Dewasa : 1 tablet (200 mg)/hari.
c) Golongan Itrakonazole, dosis :
Anak : 3-5 mg/kgBB/hari.
Dewasa : 1 kapsul (100 mg)/hari.
d) Golongan Terbinafin, dosis :
Anak : 3-6 mg/kgBB/hari.
10-20 kg : 62,5 mg (¼ tablet)/hari.
20-40 kg : 125 mg (½ tablet)/hari.
Dewasa : 1 tablet (250 mg)/hari.

2.1.9. Pencegahan
Menurut Brooks (2001) dan Graham-Brown (2002), infeksi berulang pada Tinea
kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada
di tangan dan kaki (Tinea pedis, Tinea unguium). Jamur diduga berpindah ke sela
paha melalui kuku jari-jari tangan yang dipakai menggaruk sela paha setelah
menggaruk kaki atau melalui handuk. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah
yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi
serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama (Brooks, 2001).

Universitas Sumatera Utara


10

Menurut Nasution M.A. (2005), disamping pengobatan, yang penting juga


adalah nasehat kepada penderita misalnya pada penderita dermatofitosis,
disarankan agar :
1) Memakai pakaian yang tipis.
2) Memakai pakaian yang berbahan cotton.
3) Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat.
Oleh karena itu, berikan anjuran-anjuran pada pasien agar tidak terjadi
infeksi berulang. Anjurkan pasien menggunakan handuk terpisah untuk
mengeringkan daerah sela paha setelah mandi, anjurkan pasien untuk menghindari
mengenakan celana ketat untuk mencegah kelembaban daerah sela paha, anjurkan
pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas untuk menurunkan berat
badan, dan anjurkan pasien untuk memakai kaus kaki sebelum mengenakan
celana untuk meminimalkan kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha
(autoinokulasi). Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan
daerah sela paha, mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya Tinea
kruris (Wiederkehr, 2012).

2.1.10. Komplikasi
Pada penderita Tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh
organisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat
mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit menyebar
(Wiederkehr, 2012).

2.1.11. Prognosis
Prognosis Tinea kruris akan baik, asalkan kelembaban dan kebersihan kulit selalu
dijaga (Siregar, 2004).

2.2. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan


2.2.1. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

Universitas Sumatera Utara


11

terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran,


penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2011) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1) Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap
subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yakni :
1) Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2) Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4) Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara


12

5) Sintesis (synthesis), menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau


menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.2. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2011), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2011) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai tiga komponen pokok, yakni :
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Menurut Notoatmodjo (2011), sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2) Merespons (responding), berarti orang tersebut menerima ide.
3) Menghargai (valuing), apabila orang tersebut telah mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
4) Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.

2.2.3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2011), ada beberapa tingkat-tingkat tindakan, yakni :
1) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2) Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.
3) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan
baik.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai