Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

MOBILITAS PENDUDUK
Dosen Pengampu:
Dra. Suparmini, M.Si & Anik Widiastuti, M.Pd

Kelompok 5 :

1. Briliantikta Teha S. 14416241005


2. Winda Estri Dwi Jayanti 14416241012
3. Siska Rahayu 14416241030
4. Dian Kusuma Wardani 14416241033
5. Indah Susanti 14416241037
6. Rangga Ardianto 14416241039
7. Azola Hawa Mustika 14416241040

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 1
A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk di suatu Negara dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
fertilitas, mortalitas dan mobilitas penduduk. Dalam hal ini, peranan mobilitas
penduduk terhadap laju pertumbuhan penduduk antara satu wilayah dengan
wilayah yang lain berbeda-beda. Indonesia secara keseluruhan, tingkat
pertumbuhan penduduknya lebih dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat
fertilitas dan mortalitas, sebab migrasi neto dapat dikatakan nol. Dengan kata lain,
tidak banyak orang Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri, begiti juga
orang-orang yang ada di luar negeri yang bertempat tinggal menetap di Indonesia.
Berbeda halnya dengan beberapa provinsi yang ada di Indonesia, seperti
Lampung, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Bengkulu, Sumatera Barat, dan
Sulawesi Selatan. Sebab, beberapa provinsi tersebut banyak penduduk yang
melakukan migrasi, karena migrasi memegang peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan pertumbuhan penduduk.
Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan
program pemindahan penduduk dari Jawa menuju luar Jawa untuk memecahkan
tekanan penduduk yang ada di pulau Jawa. Disamping adanya perpindahan
penduduk yang diadakan oleh pemerintah, juga terdapat perpindahan yang
dilakukan penduduk secara pribadi. Misalnya perpindahan penduduk yang bukan
permanen dari suku Minangkabau, dan perpindahan suku Bugis-Makassar ke
daerah-daerah pantai di Indonesia.
Dengan demikian, makalah ini dibuat untuk membahas mengenai
perpindahan (mobilitas) penduduk dan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan perpindahan penduduk. Dalam hal ini, pembahasan secara rinci
akan dibahas sesuai dengan rumusan masalah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dan definisi dari mobilitas penduduk?
2. Bagaimana teori yang ada dalam mobilitas penduduk?
3. Apa saja sumber data dari mobilitas penduduk?
4. Bagaimana mobilitas penduduk secara permanen (migrasi) dan non-
permanen?
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan
mobilitas?

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 2


6. Bagaimana permasalahan dan upaya pencegahan dalam mobilitas
penduduk?

C. TUJUAN
1. Mengetahui konsep dan definisi dari mobilitas penduduk.
2. Mengetahui teori yang ada dalam mobilitas penduduk.
3. Mengetahui sumber data yang ada dalam mobilitas penduduk.
4. Mengetahui mobilitas penduduk secara permanen (migrasi) dan non-
permanen.
5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
melakukan mobilitas.
6. Mengetahui permasalahan dan upaya pencegahan dalam mobilitas
penduduk.

BAB II

PEMBAHASAN

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 3


A. KONSEP DAN DEFINISI MOBILITAS PENDUDUK
Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan
(movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu
tertentu (Ida Bagus Mantra: 157). Batas wilayah pada umumnya dipergunakan
batas administrasi misalnya provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau
pedukuhan.
Dalam buku yang berjudul Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka
karya Daldjoeni (1981:121) mengatakan bahwa dalam demografi dikenal adanya
tiga macam mobilitas (gerak) penduduk, pertama mobilitas fisik (mobilitas
geografis) merupakan berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat yang
lain, kedua mobilitas sosial dimana mereka yang bersangkutan berganti status
atau pekerjaan. Ini masih diperinci lagi atas jenis social climbing dan social
sinking, karena terdapatnya kenaikan atau penurunan atas status dibandingkan
dengan yang semula. Ketiga yaitu mobilitas psikis, mereka yang bersangkutan
mengalami perubahan sikap yang disertai tentunya dengan goncangan jiwa.
Disisi lain Ida Bagus Mantra dalam bukunya yang berjudul Demografi
Umum (2015:174) mengatakan bahwa mobilitas penduduk non-permanen
(sirkulasi, circulation) merupakan gerakan penduduk dari satu tempat ke tempat
lain dengan tidak berniat untuk menetap di daerah tujuan. Sifat dan perilaku
mobilitas sirkuler seperti semut. Apabila beberapa ekor semut menemukan sisa-
sisa makanan di atas meja makan, maka makanan tersebut tidak dimakan disana
tetapi dibawa beramai-ramai ke tempat liangnya. Mereka terus bekerja tidak
mengenal waktu sampai semua makanan terangkut.
Secara operasional, macam-macam bentuk mobilitas penduduk diukur
berdasarkan konsep ruang dan waktu, misalnya ulang alik. Ulang alik adalah
gerak penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dan
kembali ke daerah asal pada hari itu juga. Sedangkan mobilitas permanen diukur
dari lamanya meninggalkan daerah asal enam bulan atau lebih kecuali orang yang
sudah sejak semula berniat menetap di daerah tujuan seperti seorang istri
berpindah ke tempat tinggal suami.
Berikut ini digambarkan mengenai skema bentuk-bentuk mobilitas
penduduk.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 4


Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk
Sumber: Ida Bagoes Mantra (2015:175)

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, menurut definisi dari BPS,


seseorang disebut melakukan mobilitas penduduk apabila orang tersebut bergerak
melintasi batas provinsi menuju provinsi lain dan lama tinggal di provinsi baru
yaitu enam bulan atau lebih. Atau dapat pula dikatakan bahwa seseorang
melakukan mobilitas penduduk walaupun berada di provinsi tujuan kurang dari
enam bulan, tetapi orang tersebut berniat tinggal menetap atau tinggal enam bulan
atau lebih di provinsi tujuan.

B. TEORI-TEORI MOBILITAS PENDUDUK


Beberapa teori yang mengatakan mengapa seseorang mengambil
keputusan melakukan mobilitas, diantaranya:

1. Teori Kebutuhan dan Stress (Need and Stress)


Setiap individu mempunyai kebutuhan yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan ekonomi, sosial, politik, dan
psikologi. Apabila kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi maka terjadilah stress.
Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh individu berbanding terbalik
dengan proporsi pemenuhan kebutuhan.
Proses mobilitas itu terjadi apabila:
a. Seseorang mengalami tekanan (stress) baik ekonomi, sosial,
maupun psikologidi tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga suatu wilayah oleh seseorang

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 5


dinyatakan sebagai wilayah yang memenuhi kebutuhannya sedangkan
yang lain tidak.
b. Terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang
satu dengan tempat yang lain. Apabila tempat yang satu dengan tempat
yang lain tidak ada perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi
mobilitas.

2. Ervest S. Lee
Dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Migration
mengungkapkan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai
dengan tingkat keanekaragaman daerah di wilayaah tersebut. Di daerah asal
dan daerah tujuan ada faktor-faktor positif (+), negative (-) adapula faktor-
faktor netral (o) Faktor positif, yang menguntungkan apabila bertempat
tinggaldi daerah itu, misalnya di daerah tersebut terdapat sekolah, kesempatan
kerja, atau iklim yang baik. Faktor negatif, yang memberikan nilai negatif
pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat
tersebut karena kebutuhan tertentu tidak terpenuhi.
Menurut Lee proses migrasi itu dipengaruhi oleh empat faktor:
a. Faktor-faktor individu.
b. Faktor-faktoryang terjadi di daerah asal.
c. Faktor-faktor yang terdapat di aerah tujuan.
d. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan.

3. Robert Norris (1972)


Norris berpendapat bahwa faktor daerah asal merupakan faktor
terpenting. Di daerah asal seseorang lahir, dan sebelum sekolah orang itu
hidup di daerah tersebut. Dia tahu benar tentang kondisi lingkungan daerah
asal, penuh nostalgia ketika hidup dan berdomisili di daerah asal. Itulah
mengapa seseorang sangat terikat dengan daerah asal. Walaupun mereka
sesudah berumah tangga harus pindah dan berdomisili di daerah lain, mereka
tetap menganggap bahwa daerah asal (daerah tempat mereka dilahirkan)
merupakan home pertama, dan daerah tempat domisili sekarang merupakan
home kedua. Dapatlah dikatakan bahwa penduduk migran adalah penduduk
yang bersifat bi local population. Dimana mereka tinggal, pasti mengadakan
hubungan dengan daerah asal.
Hubungan migran dengan desa atau daerah asal di negara-negara
berkembang dikenal sangat erat (Connel, 1976) dan menjadi salah satu ciri
Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 6
fenomena migrasi di negara-negara berkembang. Hubungan tersebut antara
lain diwujudkan dengan pengiriman uang, pengiriman barang, bahkan
pembangunan ide-ide ke daerah asal secara langsung maupun tidak langsung.
Mantra (1979) melihat adanya hubungan timbal balik antara jarak dengan
intensitas hubungan. Semakin dekat dengan tempat tinggal migran, semakin
tinggi frekuensi kunjungan ke daerah asal, dalam migrasikaidah ini disebut
dengan “distance decay.”
Norris juga menjelaskan tentang wilayah kesempatan antara yang
dijadikan sasaran pertama pencari kerja dari daerah. Setelah mereka mapan
dan sudah ada sedikit modal mereka melompat ke kota yang lebih besar
dimana terdapat kesempatan berusaha yang lebih luas, dan kalau sudah
mapan lagi mereka lompat ke tempat lain. Terjadi lompat katak (leaping frog)
sebagai strategi meningkatkan usaha. Kejadian ini oleh Norris disebut step-
wise movers.

4. Mabogunje (1970)
Menurit Mabogunje (1970) hubunganmigran dengan desa dapat
dilihat dari materi informasi yang mengalir dari kota ke daerah tujuan ke desa
asal. Jenis informasi tersebut dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat
negatif. Informasi positif biasanya berasal dari migran yang berhasil di daerah
tujuan. Hal ini berakibat stimulus untuk pindah semakin kuat dan pranata
yang mengontrol mengalirnya warga desa keluar semakin longgar serta arah
pergerakan penduduk tertuju ke kota yang informasinya positif. Sementara itu
informasi negatif, biasanya datang dari para migran yang gagal atau kurang
berhasil sehingga mengakibatkan dampak sebaliknya.

5. Mitchell (1961)
Mitchell mengatakan bahwa ada beberapa kekuatan yang
menyebabkan orang-orang terikat pada daerah asal, dan ada juga kekuatan
yang mendorong orang-orang untuk meninggalkan daerah asal. Kekuatan
yang mengikat orang-orang untuk tinggal di daerah asal disebut dengan
kekuatan sentripetal dan sebaliknya kekuatan yang mendorong seseorang
untuk meninggalkan daerah asal disebut kekuatan sentrifugal. Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara dua kekuatan tersebut.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 7


6. Lee (1966), Todaro (1979), dan Titus (1982)
Para ahli di atas berpendapat bahwa motivasi seseorang untuk pindah
adalah motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena adanya
ketimpangan ekonomi antar daerah. Mobilitas ke daerah perkotaan
mempunyai dua harapan, yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan
memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh di
pedesaan. Dengan demikian, mobilitas desa-kota sekaligus mencerminkan
adanya ketidakseimbangan antara kedua daerah tersebut.
Meskipun demikian, ditentukan oleh beberapa faktor lain, seperti
faktor jarak, biaya, dan informasi yang diperoleh. Jarak tetap merupakan
faktor penting dalam penting dalam penentuan arah, setidaknya dalam
penentuan bentuk mobilitas penduduk. Kota atau daerah tujuan berjarak jauh
maka cenderung menghasilkan mobilitas permanen, sedangkan yang erjarak
sedang menghasilkan mobilitas nginap/mondok cukup dilakukan dengan
ulang-alik.

C. SUMBER DATA MOBILITAS PENDUDUK


Pada umumnya terdapat tiga sumber data mobilitas penduduk yaitu sensus
penduduk, registrasi penduduk, dan survey penduduk. Di bawah ini merupakan
penjelasan dari macam-macam sumber data yang berkaitan dengan mobilitas
penduduk :

1. Sensus Penduduk
Pada tahun 2002 di Indonesia pelaksanaan sensus penduduk dibagi
menjadi dua yaitu sensus lengkap dan sensus sampel. Sensus lengkap adalah
pencacahan seluruh penduudk dengan responden kepala rumah tangga.
Responden ini memberikan informasi mengenai karakteristik demografi
anggota rumah tangganya. Pertanyaan yang diajukan sangat sederhana.
Sebagai contoh, pertanyaan yang diajukan pada sensus penduudk tahun 1990
untuk sensus lengkap yaitu :
a. Nama-nama anggota rumah tangga dan masing-masing dari mereka
ditanyakan mengenai
b. Hubungan dengan kepala rumah tangga
c. Umur (tahun)
d. Jenis kelamin
e. Status perkawinan (BPS, 1989)

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 8


Untuk hal-hal yang spesifik, misalnya ketenagakerjaan, kesehatan,
pendidikan, ekonomi, pertanian dan mobilitas penduduk ditanyakan dalam
sensus sampel. Pencacahan sampel yaitu pencacahan terhadap penduduk yang
tinggal dalam rumah tangga terpilih. Untuk pencacahan sampel telah dipilih
sejumlah wilayah, kemudian dari setiap wilayah tersebut dipilih sejumlah
rumah tangga (BPS, 1989).
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa tujuan dari sensus adalah
untuk mengumpulkan informasi yang bersifat umum mengenai keadaan sosial
ekonomi dan demografi penduduk di suatu negara. Akan tetapi, kelemahan
dari sensus yaitu mobilitas cenderung meninggalkan daerah asal dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Kelemahan ini mengakibtakan jaringan-jaringan
migrasi penduduk yang dihasilkan dari sensus penduduk tidak mencakup
seluruh jaring-jaring migrasi penduduk yang ada.

2. Registrasi Penduduk
Registrasi penduduk digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian
(events) kependudukan yang terjadi pada setiap saat, misalnya kelahiran,
kematian, mobilitas penduduk keluar, dan mobilitas penduduk masuk, baik itu
permanen maupun non-permanent. Di antara mobilitas penduduk permanen
dan non-permanent, catatan mobilitas penduduk permanen lebih lengkap
dibanding dengan mobilitas penduduk non-permanent. Orang-orang yang
pindah domisili harus mempunyai surat pindah dari daerah asal, selanjutnya
disampaikan pada kantor kelurahan/desa dimana mereka akan menetap.
Sejak tahun 2003 diadakan penataan administrasi kependudukan
diantaranya penerbitan terhadap migran permanen dan non-permanent yang
datang dan yang masuk ke suatu wilayah. Mulai saat itu, mobilitas penduduk
di catat dengan resmi, dan sangat kecil kemungkinannya terjadi kelewat atau
tercacah lebih dari satu kali.

3. Survey Penduduk
Sumber lain dari data mobilitas penduduk ialah survey penduduk.
Jangkauan daerah penelitian pada survey penduduk ini biasanya terbatas

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 9


karena keterbatasannya dana, waktu, dan tenaga peneliti. Namun, terdapat
salah satu keuntungan yaitu cakupan permasalahan yang dapat dijangkau
lebih luas. Apabila dalam sensus penduduk informasi yang didapat hanya
mengenai volume dan arus mobilitas penduduk antar provinsi, tetapi dalam
survey penduduk informasi mengenai perilaku mobilitas penduduk dapat
ditanyakan secara mendetail.

D. MOBILITAS PENDUDUK PERMANEN (MIGRASI)


Secara garis besar migrasi penduduk dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Migrasi Internasional
Migrasi Internasional lebih peka daripada migrasi dalam negeri karena
sering menimbulkan masalah politik. Setiap negara membuat peraturan
tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negara asing yang ingin
masuk ke negara tersebut. Dengan adanya peraturan tersebut maka frekuensi
arus migrasi internasional antara negara di dunia sangat kecil.
Migrasi Internasional ada beberapa macam, yaitu (dalam skripsi Budi
Handriawan, 2011) :
a. Imigrasi yaitu masuknya penduduk ke negara lain dengan tujuan
menetap.
b. Emigrasi yaitu perpindahan penduduk atau keluarnya penduduk
dari negara satu ke negara lain dengan tujuan menetap.
c. Remigrasi yaitu kembalinya penduduk dari negara satu ke negara
asalnya.
Pada tahun 1935-1960 terjadi ketegangan politik antar negara,
akibatnya migrasi di berbagai negara tinggi. Para migran ke luar dari suatu
negara karena takut jiwanya terancam di negara tersebut atau harus
membayar pajak yang tinggi apabila tetap berdiam di negara tersebut. Negara
yang melakukan migrasi internasional pada saat itu adalah penduduk di
Jerman Timur yang berpindah ke Jerman Barat dan penduduk di Jepang.
Banyak lagi contoh migrasi internasional yang dipengaruhi oleh faktor
politik. Bentuk migrasi ini ada yang bersifat paksaan yang disebut repatriasi.
Disamping migrasi yang berbentuk paksaan atau repatriasi, ada juga migrasi
antar negara yang dilandasi suatu perjanjian atau peraturan tertentu. Misalnya
Australia, Canada, dan Amerika Serikat. Dari contoh-contoh tersebut dapat
disimpulkan bahwa arus migran yang tinggi dari suatu negara lain umumnya

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 10


di pengaruhi oleh faktor politik. Di luar faktor tersebut arus migrasi
internasional umumnya sangat rendah.

2. Migrasi Dalam Negeri


a. Transmigrasi
Di Pulau Jawa terdapat timpangan penyebaran penduduk, pulau
Jawa yang luasnya 6,9 persen dari seluruh luas daratan Indonesia, pada
tahun 1980 memberikan tempat tinggal lebih dari 60 persen penduduk
Indonesia. (Badan Pusat Statistik 1981:5). Ada beberapa pendapat
mengenai terjadinya pengelompokan penduduk di Pulau Jawa:
1) Mohr (1938) seorang ahli geologi dan tanah berkebangsaan
Belanda berpendapat bahwa kepadatan penduduk di Jawa
disebabkan karena keadaan tanahnya yang subur dan iklim yang
menguntungkan bagi pertanian.
2) Charles A (Hardjono, 1977), ahli geografi berkebangsaan
Inggris menambahkan bahwa penyebab terjadinya ketimpangan
distribusi penduduk antara Jawa dan luar Jawa karena peerintah
Belanda sudah sejak lama membangun pusat-pusat pertumbuhan
(misalnya pendidikan, perdagangan, pemerintahan), dan prasarana
pembangunan (transportasi, komunikasi dan irigasi) di Jawa.
Penyebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan
permasalahan, diantaranya terjadi kelebihan penduduk di Jawa yang
terwujud dalam sulitnya mendapatkan pasaran kerja, pendapatan
penduduk yang rendah, dan angka pengangguran meningkat. Di luar
Pulau Jawa sendiri banyak sumber daya alam yang belum sempat
dijamah manusia. Memperhatikan hal tersebut, Karl J. Pelzer (1945,197)
mengusulkan pemecahan masalah penduduk ini dengan memindahkan
penduduk dari Jawa menuju ke luar Jawa.
Gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan kekurangan
penduduk di luar Pulau Jawa telah disadari oleh pemerintah Belanda.
Menurut Soedigdo Hardjosoedarmo (1965) kesadaran pemerintah
Belanda tersebut dipengaruhi oleh lima hal:
1) Sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah
Belanda di Jawa pada abad yang lalu menyebarkan kemelaratan bagi
rakyat di Pulau ini.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 11


2) Sukses ekonomi yang dicapai oleh kaum liberal di negeri
Belanda terasa pula di Indonesia.
3) Pertambahan penduduk yang cepat di pulau Jawa,
menyebabkan pemilikan tanah per keluarga menjadi semakin
berkurang, taraf hidup penduduk makin menurun.
4) Pada tahun 1899 C. Th. Van Deventer melancarkan kritik
pedas terhadap kebijakan Pemerintah yang diwujudkan dalam sebuah
tulisan “A Debt of Honor”. Akibat dari kritik ini Pemerintah
melaksanakan politik ethis pada tahun 1900. Politik ethis bertujuan
untuk meningkatkan taraf hidup penduduk pulau Jawa melalui tiga
cara yaitu emigrasi, irigasi, dan edukasi.
5) Pertumbuhan penduduk yang cepat di Pulau Jawa sebagian
besar pergi ke daerah pegunungan menebang hutan dengan tujuan
memperluas daerah pertanian sehingga menganggu kelestarian
lingkungan. (Oey 1980, 2-3)
Sebagai realisasi dari politik ethis, pada tahun 1905 dipindahkan
155 keluarga dari Jawa menuju daerah kolonialiasai Gedong Tataan di
Lampung. Di daerah ini desa-desa kolonisasi didirikan, dan tiap-tiap
tahun ke daerah dikirim kolonis-kolonis dari Pulau Jawa. Akhir tahun
1921 jumlah kolonis di Gedong Tataan mencapai 19.572 orang. (Amral
Sjamsu 1960, 5)

1) Masa Transmigrasi antara Tahun 1905-1931


Masa 1905-1931 dapat dianggap sebagai masa eksperimen,
karena pada masa itu pemerintah Hindia Belanda belum lagi
memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap usaha
pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Tujuan utamanya
ialah memindahkan petani-petani dari daerah yang kebanyakan
penduduk di pulau Jawa ke pulau-pulau lain dan di sana
mengadakan kolonisasi pertanian.
Menurut Nathan Keyfitz dan Widjojo Nitisastro (1964, 116)
dalam penyelenggaraan pemindahan ini banyak kesalahan-
kesalahan yang dilakukan, diantaranya ialah tidak dilaksanakan
penyelidikan tanah serta pembuatan peta terlebih dahulu dan tidak

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 12


ada perencanaan daerah yang akan dijadikan desa, yang dijadikan
sawah dan rencana irigasi. Akibat kelalaian ini pembagian air tidak
merata, ada desa yang digenangi air pada musim hujan karena
letaknya terlalu rendah. Karena kesalahan ini maka beberapa tahun
kemudian sejumlah desa terpaksa dipindahkan ke tempat yang lebih
baik.

2) Masa Transmigrasi Antara Tahun 1931-1941


Kebijakan pemerintah Hindia Belanda berubah, pada
awalnya terjadi depresi pasar hasil ekspor yang mulai sulit dan
harga-harga hasil ekspor turun dengan cepat. Masyarakat desa di
Pulau Jawa terpaksa menerima kembali pekerja-pekerja perkebunan
di Jawa dan ditambah lagi dengan dikembalikannya ribuan pekerja-
pekerja perkebunan di Sumatra Timur.
Dengan berbagai alasan pengusaha-pengusaha perkebunan
di Sumatra Timur menghalangi penyelenggaraan kolonisasi
pertanian di tanah-tanah konsesi, sehingga ribuan pekerja kembali
ke Jawa. Pada masa itulah pemerintah Hindia Belanda menyadari
pentingnya kolonisasi pertanian bagi usaha meringankan tekanan
penduduk di pulau Jawa dan dipelajarinya kesalahan serta
pengalaman sejak kolonisasi Gedong Tataan.
Penyelenggaraan migrasi keluarga serta migrasi spontan di
pergiat; mereka tidak memperoleh sesuatupun dengan cuma-cuma
dari pemerintah kecuali sebidang tanah ongkos, alat-alat pertanian
dan rumah tangga, merupakan pinjaman dan harus di kembalikan
dalam waktu 2-3 tahun.

3) Usaha Transmigrasi dalam Zaman Kemerdekaan


Setelah Perang Dunia II, usaha pemindahan penduduk oleh
Pemerintah Republik Indonesia dimulai dengan mendirikan Jawatan
Transmigrasi dalam tahun 1947 yang merupakan bagian dari
Kemeterian Sosial. Kemudian menjadi bagian Kementerian
Pembangunan dari Pemuda pada tahun 1948, lalu dipindahkan ke
Kementerian Dalam Negeri. Baru setelah terbentuk Negara
Kesatuan dalam tahun 1950 Jawatan Transmigrasi yang merupakan

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 13


bagian Kementerian Sosial mulai memindahkan penduduk dari
Jawa ke luar Jawa. Adapun tujuan dari program transmigrasi adalah:
“…….. mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat dengan jalam mengadakan pemindahan pendudukan dari
suatu daerah (tempat) lainnya, yang ditujukan kea rah
pembangunan perekonomian dalam segala lapangan……..”
(Keyfitz, el al 1964, 122)
Jadi, transmigrasi merupakan salah satu usaha untuk
mengatasi kemiskinan yang ada di Jawa. Tujuan transmigrasi seperti
di atas berlaku hingga tahun 1960-an (Oey 1980, 8). Provinsi-
provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi adalah
Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimanta Timur, Sulawesi
Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya.

b. Mobilitas Penduduk Beberapa Suku di Indonesia


Mobilitas penduduk dari beberapa suku di Indonesia sudah
terjadi sejak dahulu. Mobilitas orang-orang Minangkabau ke kota-kota
Sumatera dan Jawa. Petualangan orang-orang Bugis-Makasar ke kota-
kota pelabuhan di beberapa pulau, migrasi spontan orang-orang Madura,
perpindahan suku Banjar ke Kalimantan Timur, metupakan contoh-
contoh dari mobilitas beberapa suku di Indonesia.
1) Mobilitas Suku Minangkabau
Merantau merupakan bentuk mobilitas penduduk suku
Minangkabau yang telah di lakukannya sejak dahulu. Dari segi
sosiokultural. Merantau berarti:
a. Pergi meninggalkan kampong halaman dan berinteraksi
dengan etnik lain,
b. Dengan suka rela dan atas kemauan sendiri,
c. Dalam waktu yang singkat atupun lama,
d. Dalam rangka mencari rejeki, menuntut ilmu, ataupun
menambah pengalaman,
e. Dengan keinginan untuk selalu kembali (non permanen)
dan,
f. Didorong oleh sistem sosial yang ada dan melembaga
(Mochtar Naim 1979)

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 14


Faktor-faktor yang mendorong orang Minangkabau untuk
mengadakan migrasi adalah faktor fisik, ekonomi, dan sosio–
kultural. Faktor fisik karena masih muda mereka ingin mendapat
rejeki di daerah rantau. Faktor sosio kultural dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, anjuran tradisional di mana orang Minang
menganggap bahwa seorang lelaki dianggap belum mejadi “orang”
sebelum mencari ilmu, dan rezeki di daerah lain. (Mochtar Naim
1979)

2) Mobilitas Suku Bugis.


Suku Bugis di Sulawesi Selatan telah lama terkenal dengan sifat
petualangan da pengembaraannya. Sejak akhir abad ke 17 mereka
telah tersebar sampai di wilayah Malaysia, di samping kota-kota
perdagangan di Indonesia. Pemerintah Belanda ingin memonopoli
perdagangan yang di jelajah oleh orang-orang Bugis, yang
merupakan pedagang mengarungi Nusantara yang dianggap menjadi
penghambat. Pertentangan antara pemerintahan Belanda dengan suku
Bugis tidak dapat dihindarkan sehingga sebagian besar pedagang
Bugis meningglkan daerahnya.
Tahun 1930 ditaksir sebesar 10% dari jumlah penduduk Sulawesi
Selatan (orang Bugis) bertempat tinggal di luar daerah. Di daerah
Pontianak dan Balikpapan, jumlah orang bugis mencapai 50% dari
seluruh penduduk. Peristiwa mobilitas penduduk di Indonesia sejak
lama menyebabkan komposisi penduduk menurut tempat lahir di
beberapa wilayah Indonesia sangat heterogin.

3) Migrasi Penduduk Sensus Hidup


Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 1971 dan 1980, di
Indonesia pada tahun 1971 terdapat 2.914.000 orang migran sesama
hidup, dan pada tahun 1980 jumlah tersebut meningkat menjadi
5.428.000 orang. Jadi selama 9 tahun dari 60% pulau tempat lahirnya
di Jawa, dan hanya 14% lahir di pulau Sumatra.
Persentase migran Jawa yang masuk ke Sumatera atau sebaliknya
mengalami penurunan. Kenaikan migran masuk ke Kalimantan ini
tidak hanya dari Jawa dan Sumatera saja, tetapi juga berasal pulau-

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 15


pulau lain. Dengan demikian, migran yang berasal dari pulau
Sulawesi nampak menyebar ke pulau-pulau di Indonesia. Fenomena
ini nampaknya berkaitan dengan sejarah persebaran suku Bugis-
Makasar.
Dari seluruh migran yang tinggal di Sumatera ternyata dari 90%
(baik tahun 1971 maupun 1980)) pulau tempat lahirnya di Jawa.
Sebaliknya, dari seluruh migran yang tinggal di pulau Jawa lebih dari
50% berasal dari Sumatera.
Jumlah migran berdasarkan provinsi tempat lahir tahun 1971 sebesar
5,7 juta (4,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia), sedangakan
tahun 1980 meningkat menjadi 10,2 juta (6,9 persen dari jumlah
penduduk Indonesia).
Berikut ini migrasi digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
a) Migrasi Masuk
Migrasi masuk pada tahun 1971 pada tahun 1980, hanya
terpusat pada dua daerah, yaitu Jakarta dan Lampung. Persentase
migrasi masuk ini memang sangat tinggi, dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lain di Indonesia. Dua daerah ini jelas
mempunyai daya tarik yang berbeda. Arus migran masuk ke
Lampung semakin membesar dan jarak antara Lampung dengan
Jawa sangat dekat menyebabkan banyak yang berpindah ke
Lampung.

b) Migrasi Keluar
Pada provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang
menduduki urutan tertinggi dalam hal mobilitas penduduk keluar.
Sebab, di provinsi ini banyak penduduk yang melakukan migrasi
keluar karena bagi suku minangkabau ini erat kaitannya dengan
merantau. Dengan demikian, di provinsi Sumatera Barat
khususnya di daerah Minangkabau tingkat migrasi keluarnya
sangat tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya.

c) Migrasi Neto
Migrasi neto diperoleh dengan jalan mengurangkan migrasi
masuk dengan migrasi keluar. Apabila diperoleh nilai negatif
berarti lebih banyak migran keluar daripada masuk. Sebaliknya,

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 16


apabila diperoleh nilai positif berarti lebih banyak migrain yg
masuk daripada keluar. Misalnya, Jakarta dan Lampung
mempunyai migrasi neto positif terbesar daripada provinsi lain.

E. MOBILITAS PENDUDUK NON PERMANEN


Dari hasil beberapa penelitian mobilitas penduduk yang disamakan di
Jawa dan dibeberapa tempat di Indonesia (HUGO 1975,Suharso et al 1976,
Mantra 1978, Koentjaraningrat 1957), didapatlah bahwa bentuk mobilitas
penduduk yang non permanen lebih banyak terjadi daripada mobilitas penduduk
yang permanen, selanjutnya didapat pula mobilitas non-permanen lebih banyak
yang terjadi daripada mobilitas permanen.
Tingginya frekuensi mobilitas penduduk harian dapat diamati apabila pada
pagi hari berdiri di pinggir jalan raya yang menghubungkan daerah pedesaan
dengan kota, dapat dilihat arus pekerja, pedagang, pegawai dan pelajar yang
menuju ke kota dan pada sore hari akan terlihat arus balik dari kota ke desa.
Hugo (1975) dalam penelitiannya mengenai mobilitas penduduk di Jawa
Barat mendapatkan pekerja yang bekerja di Jakarta, Bandung yang berasal dari
daerah pinggiran kota tersebut nglaju (commute) ketempat bekerja. Bagi mereka
yang bertempat tinggal di luar daerah tersebut (beyond commuting distance)
umumnya mondok di tempat mereka bekerja. Contohnya beberapa pekerja yang
berasal dari Yogyakarta yang bekerja di Jakarta, mondok di kota ini dan kembali
sebulan sekali di daerah asal menengok keluarganya sambil membawa uang gaji
mereka. Dari penelitian ini didapat juga bahwa migran sirkuler yang menuju ke
Jakarta berasal dari Kabupaten Banten, Bogor, Semarang, tetapi untuk kota
Bandung sendiri para migran sirkluler kebanyakan berasal dari Priangan Timur.

1. Faktor -Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Mobilitas Sirkuler


Ada beberapa macam penyebab mengapa mobilitas sirkuler lebih
banyak terjadi dibandingkan yang menetap, diantaranya yang akan
diperbincangkan disini ialah :
a. Faktor Sentripugal dan Sentripetal
Kekuatan sentripugal ialah kekuatan (Forces) yang terdapat
dalam suatu wilayah yang mendorong penduduk untuk meninggalkan
daerahnya, sedangkan kekuatan sentripetal adalah kekuatan yang
menyikat penduduk untuk tetap tinggal di daerah.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 17


Kurangnya kesempatan kerja di bidang pertanian dan non
pertanian serta terbataanya fasilitas pendidikan yang ada dapat
mendorong penduduk untuk pergi ke daerah dimana kesempatan-
kesempatan itu terdapat.
Hal -hal yang mengikat penduduk untuk tetap tinggal di desa
ialah :
a.Jalinan persaudaraan dan kekeluargaan antar masyarakat sangat
erat.
b. Sistem gotong royong pada masyarakat pedesaan sangat
erat pula.
c.Penduduk sangat terikat pada tanah pertanian.
d. Penduduk sangat terikat pada kepala desa dimana ia dulu
dilahirkan.
Memperhatikan kedua kekuatan (forces) di atas, terlihatlah
bahwa satu dengan yang lain saling bertentangan. Penduduk dihadapkan
pada dua keadaan yang sulit untuk dipecahkan: apakah tetap tinggal di
desa, tapi keadaan ekonomi yang sulit dan terbatasnya fasilitas
pendidikan ataukah berpindah ke daerah lain meninggalkan desa, sawah,
ladang dan sanak saudara. Konflik tersebut membuat penduduk
melaksanakan mobilitas sirkuler yang merupakan kompromi antara tetap
berdiam di daerah asal dan berpindah ke daerah yang lain.
b. Perbaikan Prasarana Transport
Dorongan untuk melaksanakan mobilitas sirkuler bagi para
migran di stimulir oleh perbaikan prasarana transport yang
menghubungkan desa dengan kota sejak 1970-an. Sebelumnya, bagi
penduduk yang bekerja di kota, mereka memondok di kota tersebut.
Akan tetapi, setelah jalan yang menghubungkan desa dengan kota sudah
diperbaiki dan banyaknya kendaraan umum yang melalui rute ini,
banyak dari mereka yang nglaju ke kota tempat mereka bekerja.
Dengan tersedianya prasarana angkutan yang relatif murah
banyak dari penduduk desa pergi ke kota (berdagang, berburuh, dan
sekolah). Begitu pula penduduk kota yang pergi ke desa. Ramainya lalu
lintas orang dan barang dari desa ke kota dan begitu pula sebaliknya
dapat dilihat dari tingginya frekuensi kendaraan yang menghubungkan

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 18


desa dengan kota, yang hampir setiap kali jalan penuh dengan
penumpang.
Jadi sesuai dengan perubahan yang terjadi, maka terlihatlah
adanya perubahan bentuk mobilitas penduduk, misalnya dari menetap
menjadi tidak menetap, dari mondok menjadi nglaju.
c. Kesempatan Kerja di Sektor Formal dan Informal
Tekanan penduduk yang tinggi di daerah pedesaan dan tidak
cukupnya lapangan kerja diluar sektor pertanian menyebabkan
masyarakat mencoba kehidupan di kota. Menurut Soeharso (1978, 21)
proses urbanisasi di Indonesia tidak diikuti dengan terjadinya perluasan
lapangan pekerjaan di kota. Akibatnya, banyak dari para pendatang
bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan tidak menentu.
Dari hasil penelitian Milan Titus di Jawa Barat, didapatkan
sekitar 60-65 persen dari pendatang yang terserap di sektor informal.
Semakin kecil suatu kota makin sedikit kesempatan kerja di sektor
formal.Kecilnya pendapatan penduduk yang bekerja di kota dan
tingginya biaya hidup, tidaklah mungkin bagi para migran untuk
bertempat tinggal di kota bersama keluarganya. Inilah sebabnya
mengapa sebagian dari mereka tetap tinggal di desa dan tiap hari nglaju
ke kota. Dengan tinggal di desa, disamping biaya hidup murah penduduk
dapat bekerja di sawah atau di ladang setelah bekerja di kota. Ini berarti
mereka dapat menambah penghasilan mereka.

2. Mobilitas Sirkuler Dan Pembangunan Regional


Mobilitas sirkuler merupakan sebuah penghubung antara desa dengan
kota. Dengan nglaju atau mondok di kota, orang-orang desa banyak
memperoleh pelajaran dan pengalaman di kota, misalnya cara-cara bekerja,
membangun rumah dan lingkungan yang baik dan hidup sehat. Pengalaman
yang berharga ini cepat dialirkan ke desa-desa. Disamping itu orang-orang
kota dapat mengetahui keadaan di desa misalnya taraf hidup penduduk,
kebutuhannya, dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dengan kata lain komunikasi antar desa dan kota dapat berlangsung dengan
lancar, hal ini tidak akan terjadi jika mobilitas sirkuler tidak terjadi dan para
migran menetap di kota.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 19


Tujuan dari nglaju dan mondok ke kota disamping sekolah adalah
untuk berdagang atau bekerja. Mereka ingin menaikkan pendapatan atau
meningkatkan taraf hidup. Dari hasil penelitian Graeme Hugo (1977,65)
sekitar 80% dari para migran sirkuler di 14 desa di Jawa Barat mengirimkan
uang dan barang (remmitances) untuk keluarganya.
Besarnya jumlah uang dan barang yang dibawa tergantung dari bentuk
mobilitas sirkuler. Bagi para penglaju yang biasanya bekerja secara tetap di
kota rata-rata 60% dari pendapatan keluarga datangnya dari hasil ini. Berbeda
keadaannya dengan migran sirkuler yang bekerja musiman di kota maka rata-
rata pendapatan keluarga yang berasal dari hasil bekerja di kota kurang dari
50%. Sebab, sebagian besar dari migran sirkuler bekerja di sektor informal
maka pendapatan mereka sangat berfluktuasi tergantung pada jenis pekerjaan
yang tersedia dan adanya peraturan pemerintah setempat.
Penggunaan uang yang dibawa disamping untuk makan banyak
digunakan untuk memperbaiki rumah, membeli pakaian, dan untuk upacara
selamatan. Di Dukuh Piring hampir semua rumah mempunyai pekerjaan tetap
di kota (pegawai, dagang, dan lain-lain). Maka sudah banyak rumah yang
diperbaiki sesuai dengan model rumah di kota, misalnya tata kamar, dan cara
pengaturan taman.
Menurut Mochtar Naim (1979:3) mobilitas sirkuler merupakan
mekanisme yang mengatur keseimbangan ekuilibrial antara kemampuan daya
dukung ekologis dari daerahnya yang perkembangan penduduknya padat dan
kemampuan daya dukung dari tanah yang terbatas, maka menyebabkan
tingkat dan intensitas migrasi sirkuler tinggi. Di daerah yang penduduknya
relatif masih jarang kemampuan daya dukung dari daya alam, memungkinkan
tingkat dan interaksi mobilitas sirkuler rendah. Selanjutnya, Mochtar Naim
mengatakan dari segi lain mobilitas sirkuler berfungsi sebagai “klep” yang
mengatur arus keluar-masuk dari yang pergi dan yang kembali.
Untuk menghindari konsentrasi sirkulasi ke kota tertentu, misalnya
Jakarta, Bandung dan Surabaya maka pembangunan kota dan pusat industri
sebagai pusat pertumbuhan (growth center) harus disebarkan sehingga arus
mobilĺtas sirkuler akan memencar. Di Jawa strategi ini sudah dikembangkan
dengan ditingkatkannya pembangunan kota-kota kecil.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 20


F. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SESEORANG MENGAMBIL
KEPUTUSAN MELAKSANAKAN MOBILITAS
Menurut Everett S. Lee (1970) terdapat empat faktor yang perlu
diperhatikan dalam studi migrasi penduduk:
1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal.
2. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan.
3. Rintangan
4. Faktor-faktor individu.
Diantara keempat faktor diatas, faktor individu merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Penilaian
positif atau negatif suatu daerah tergantung pada individu itu sendiri. Pada setiap
daerah terdapat faktor-faktor yang menarik seseorang untuk tidak meninggalkan
daerah tersebut (faktor positif), dan faktor-faktor yang tidak menyenangkan
sehingga menyebabkan seseorang meninggalkan daerah tersebut (faktor negatif).
Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan tertentu untuk dapat dipenuhi,
mempunyai aspirasi yang ingin terlaksana. Apabila disuatu wilayah kebutuhan
tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan terjadi stress pada orang tersebut. Stress
dapat muncul akibat adanya tekanan ekonomi dan psikologi sosial. Intensitas
tekanan atau stress dari seseorang tergantung pada besar kecilnya kebutuhan yang
dapat dipenuhi di daerahnya. Tekanan pada seseorang akan mengakibatkan
tegangan (strain). Tinggi rendahnya tegangan yang dialami seseorang terhadap
tekanan tertentu akan bervariasi tergantung pada tingkat emosi dan toleransi
seseorang terhadap tekanan tersebut.

1. Proses Migrasi Penduduk dari Asal ke Daerah Tujuan


a. Dalam memilih daerah tujuan, para migran cenderung memilih
daerah yang terdekat dengan daerah asal.
b. Kurangnya kesempatan kerja di daerah asal dan adanya
kesempatan kerja di daerah tujuan merupakan salah satu alasan seseorang
melaksanakan mobilitas penduduk.
c. Informasi yang positif dari sanak saudara, kenalan, yang datang
dari daerah tujuan merupakan sumber informasi yang penting dalam
pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi.
d. Informasi yang negatif yang datang dari daerah tujuan

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 21


menyebabkan orang enggan untuk bermigrasi.
e. Makin besar pengaruh daerah perkotaan terhadap seseorang, makin
tinggi frekuensi mobilitas orang tersebut.
f. Makin tinggi pendapatan seseorang, makin tinggi mobilitas orang
tersebut.
g. Seseorang akan memilih daerah tujuan di mana terdapat sanak
saudara atau kenalan yang telah berada di daerah tersebut.
h. Migrasi masih akan terjadi apabila di suatu daerah terjadi bencana
alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya).
i. Orang yang berumur muda dan belum berumah tangga lebih
banyak mengadakan mobilitas daripada orang yang sudah berumur lanjut
dan berstatus kawin.
j. Makin tinggi pendidikan seseorang makin banyak melaksanakan
mobilitas penuduk.

2. Migran di Daerah Tujuan


a. Awalnya datang di daerah tujuan migran memilih bertempat tinggal
di mana ada sanak saudara atau teman di daerah tersebut.
b. Kepuasan migran hidup di masyarakat, tergantung pada hubungan
baik migran dan masyarakat.
c. Kepuasan migran hidup di kota, tergantung pada kemungkinan
migran mendapat pekerjaan dan pendidikan bagi anak-anaknya.
d. Setelah beberapa lama bertempat tinggal di daerah tujuan, seorang
migran cenderung memilih tempat tinggal dekat dengan daerah dimana ia
bekerja.
e. Keinginan untuk kembali ke daerah asal tergantung pada besar
kecilnya kepuasan yang didapat di kota. Migran di kota merupaan
penolong utama bagi migran yang baru dalam mencari pekerjaan di kota.

G. MASALAH DAN PENCEGAHAN DALAM MOBILITAS


PENDUDUK
Berikut ini merupakan permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya
mobilitas penduduk disuatu daerah dan upaya penyelesaian yang dilakukan di
daerah tersebut.

1. Masalah yang Timbul


Menurut Sri Rahayu Sanusi, SKM, Mkes. (2003) permasalah yang
timbul dalam mobilitas penduduk yaitu pertumbuhan penduduk perkotaan
selalu menunjukan peningkatan yang terus menerus, hal ini disebabkan
Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 22
pesatnya perkembangan ekonomi dengan perkembangan industri,
pertumbuhan sarana dan prasarana jalan perkotaan.

2. Upaya Penyelesaian
Pertumbuhan penduduk di perkotaan periode 1971-1980 jauh
lebih pesat dibandingkan dengan periode 1980-1990, hal ini disebabkan
periode 1971-1980 pertumbuhan ekonomi masih terpusat didaerah
perkotaan, sehingga penduduk banyak pindah ke perkotaan untuk
memperoleh penghidupan yang lebih layak. Pada periode 1980-1990
pemeratan pembangunan mulai terasa sampai ke daerah pedesaan.
Keadaan ini memungkinkan penduduk tidak lagi membangun daerah
perkotaan, akan tetapi cendrung menciptakan lapangan pekerjaan sendiri di
pedesaan. (BPS, 1994:18)
Sejalan dengan arah pembangunan yang diharapkan persentase
penduduk perkotaan cendrung meningkat. Proyeksi yang diharapkan ada
peningkatan dari 31,10 persen tahun 1990 menjadi 41,46 % pada tahun
2000.
Menurut Prigno Tjiptoheriyanto upaya mempercepat proses
pengembangan suatu daerah pedesaan menjdadi daerah perkotaan yang
disesuaikan dengan harapan dan kemampuan masyarakat setempat. Untuk itu
diperlukan upaya peningkatan jumlah penduduk yang berminat tetap tinggal
di desa. Yang perlu diusahakan perubahan status desa itu sendiri, dari desa
"desa rural" menjadi "desa urban". Dengan demikian otomatis penduduk
yang tinggal didaerahnya menjadi "orang kota" daalam arti statistik
(Surabaya Post, 23 September 1996). Guna menekan derasnya arus
penduduk dari desa ke kota, maka pola pembangunan yang beroreantasi
pedesaan perlu digalakan dengan memasukan fasilitas perkotaan ke
pedesaan, sehingga merangsang kegiatan ekonomi pedesaan.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 23


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mobilitas penduduk adalah suatu perpindahan penduduk yang dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidupnya, baik karena paksaan
(perintah) maupun secara spontan (keinginan sendiri). Peranan mobilitas
penduduk terhadap laju pertumbuhan penduduk antara satu wilayah dengan
wilayah yang lain berbeda-beda. Secara operasional, macam-macam bentuk
mobilitas penduduk diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu.
Mobilitas penduduk dibagi menjadi dua yaitu mobilitas permanen dan
non-permanen. Mobilitas permanen atau yang sering dikenal dengan sebutan
migrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah asal (desa) ke daerah tujuan

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 24


(kota) untuk mencari pekerjaan dan berniat untuk tinggal menetap di daerah
tersebut dengan keluarganya. Sedangkan mobilitas non-permanen adalah suatu
perpindahan penduduk dare desa ke kota untuk mencari pekerjaan, tetapi tidak
menetap di daerah tujuan (nglaju).
Dalam masyarakat Indonesia, mobilitas penduduk secara non-permanen
lebih banyak terjadi daripada mobilitas penduduk yang permanen, khususnya di
daerah-daerah yang berdekatan dengan kota. Misalnya, Banten, Bogor dan
Semarang. Dengan demikian, mobilitas non-permanen sangat menguntungkan
bagi pekerja yang nglaju dari daerah asal karena lebih menghemat biaya.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 1994. Trend Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Jakarta: BPS

BPS. 1994. Proyeksi Penduduk Indonesia Per Kabupaten/Kodya 1990-

2000.Jakarta: BPS

Daldjoeni. 1981. Masalah Penduduk Dalam Fakta dan Angka. Bandung: Alumni.
Lucas, David. 1990. Pengantar Kependudukan. Yogyakara: Gadjah Mada

University Press.
Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Mantra, Ida Bagus. 2015. Pengantar Demografi Umum. Yogakarta: Pustaka

Pelajar.
Munir, Rozy. 1992. Dasar-dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Suharyanto, P Tji. 1996. Urbanisasi. Surabaya Post. 23 September 1996.

Sanusi, Sri Rahayu. 2003. Masalah Kependudukan di Negara Indonesia. Diunduh

pada http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-sri%20rahayu.pdf

tanggal 12-09-2016
Handriawan, Budi. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 25


Melakukan Mobilitas Non-Permanen Menjadi Tenaga Kerja Indonesia

(TKI) Di Malaysia (Studi Kasus TKI Yang Pulang Di Desa Tanjungsari

Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati). Skripsi Sarjana Ekonomi pada

Universitas Negeri Semarang.

Kelompok 5 | MOBILITAS PENDUDUK 26

Anda mungkin juga menyukai