Appendicogram
Appendicogram
Pemeriksaan radiografi seperti sekarang ini cenderung mulai meninggalkan tradisi pemeriksaan radiologi
konvensional, hal ini dapat dilihat dari berbagai diagnosis yang memerlukan keterampilan khusus di dalam
melakukan pemeriksaannya. Seperti pemberian media kontras dalam keperluan diagnostic imejing seperti CT-Scan,
MRI, IVP dan lain sebagainya.
Maka dari itu seorang radiographer sebagai mitra kerja radiologist harus mampu mengetahui berbagai aspek di
dalam pemeriksaan dengan media kontras, salah satunya yakni pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis (usus
buntu) atau disebut apendicography.
Melihat pentingnya hal tersebut di atas dalam dunia kerja sebagai radiographer, maka dalam kesempatan kali ini
penulis akan menyajikan makalah mengenai teknik pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis.
1.3. Tujuan
Dilihat dari latar belakang penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan tujuan penulisan makalah ini menjadi dua
yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
TINJAUAN TEORI
Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis (Pierce dan Neil, 2007). Apendisitis merupakan kasus
laporotomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang
barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens
semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan
disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih
tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai berumur 1-2 tahun jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).
Diagnosis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera dilakukam, keterlambatan penanganan menyebabkan
penyulit perforasi dan berbagai akibatnya (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
Anatomi dan Fisiologi Appendix
Pada neonatus, apendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring
pertumbuhan dan distensi caecum, appendix berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah
valva ileocaecal (Lawrence, 2006). Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang tepat
karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Appendix merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10
cm (3-15 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, appendix
berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung (Syamsuhidajat, 1997). Ontogenitas berasal dari
mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan. Macam-macam letak appendix :
retrocaecalis, retroilealis, pelvicum, postcaecalis, dan descendentis (Budiyanto, 2005).
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke
umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc
Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS
sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut (Budiyanto, 2005).
Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan
selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GULT yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendix adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi
(Syamsuhidajat, 1997).
Etiologi Apendisitis
Penyebabnya hampir selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang mengeras),
parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing, karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007,
Price dan Wilson, 2006).
Patofisiologi
Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat karena sel mukosa
mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh darah sehingga perfusinya menurun
akhirnya mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix segera terjadi setelah
dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltrat-infiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin
tertimbun di dalam lapisan serosa. Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan
dari mukosa appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan pencemaran abdomen oleh tinja
(Subanada, dkk, 2007; Chandrasoma, 2006).
Gambaran Klinis
Nyeri di sekitar umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun), nausea, dan sebagian dengan
muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh
ringan (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di daerah pinggang
bagian bawah, bila terletak pelvical rasa nyeri dirasakan di hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila terletak
retrocaecal bisa mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul.
Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk
adanya perforasi (Subanada, dkk, 2007).
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding (Pierce dan Neil, 2007):
limfadenitis mesenterica terutama pada anak-anak.
penyakit pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista korpus luteum, endometriosis
externa.
lebih jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia kanan bawah.
jarang : perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid
Diagnosis
Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan
yang baik. Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa komplikasi
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata
(Syamsuhidajat, 1997).
Komplikasi
1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan
peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai
menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.
Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam,
lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan
Wilson, 2006).
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya
massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa
apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih
tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang
telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis,
teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus.
Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.
Pencegahan
2.2. Patology
3.1. Appendikografi
DEFINISI :
Appendikografi : Teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan appediks dengan menggunakan kontras
media positif barium sulfat .
Dapat dilakukan :
Secara oral
Ecara anal
PERSIAPAN PASIEN
48 jam sebelum pemeriksaan dianjurkan makan makanan lunak tidak berserat. Misal : bubur kecap
12 jam atau 24 jam sebelum pem pasien diberikan 2/3 Dulcolac untuk diminum
Pagi hari pasien deberi dulkolac supositoria melalui anus atau dilavement
4 jam sebelem pemeriksaan pasien harus puasa hingga emeriksaan berlangsung
Pasien dianjurkan menghindari banyak bicara dan merokok
PERSIAPAN ALAT
Pesawat sinar-X yg dilengkapi fluoroskopi & dilengkapi alat bantu kompresi yg berfungsi untuk memperluas
permukaan organ yg ada didaerah ileosaekal / memodifikasi posisi pasien supine mjd prone
Kaset + film
PERSIAPAN BAHAN
PA/AP PROJECTION
Posisi Pasien : Pasien pada posisi pone atau supine, dengan bantal di kepala.
Posisi Objek :
Central Ray :
Colon bagian transversum harus diutamaka terisi barium.pada posisi PA dan terisi udara pada posisi AP
dengan teknik double contrast.
Seluruh luas usus harus nampak termasuk flexure olic kiri.
Posisi Pasien : 35 to 45o menuju right dan left porterior oblique (RPO atau LPO), dengan bantal pada bantal
Posisi Objek :
CENRAL RAY :
LPO – colic flexura hepatic kanan dan ascending & recto sigmoid portions harus tampak terbuka tanpa
superimposition yang significant. RPO- colicflexure kiri dan descending portions harus terlihat terbuka
tanpa superimposition yang significant.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan makalah ini antara lain :