DISUSUN OLEH
TIM BLOK KKD 2
EDITOR
dr. Hendra Wana Nur’amin, M.Sc
BLOK
KETERAMPILAN KLINIK DASAR 2
1. PENDAHULUAN
Blok keterampilan klinik dasar 2 akan dilaksanakan pada semester 4 dalam waktu 18
minggu. Selama 18 minggu ini, mahasiswa diharapkan memiliki keterampilan teknik
komunikasi efektif dan teknik pemeriksaan terkait keluhan dan penyakit beberapa sistem.
Pada modul ketiga ini akan dipelajari beberama keterampilan yang berkaitan dengan sistem
sensoris dan integumentum selama 6 minggu.
Program pembelajaran aktif yang akan dilaksanakan yaitu dengan melakukan
pengembangan dan inovasi dalam dunia pendidikan kedokteran. Salah satu yang telah
disepakati untuk dikembangkan adalah program pembelajaran dan pelatihan kemampuan
keterampilan sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia. Program ini bertujuan
untuk memaparkan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan keterampilan klinik kepada
mahasiswa kedokteran sedini mungkin.
2. TUJUAN BLOK
Setelah menyelesaikan blok ini, mahasiswa diharap mampu:
a. Melakukan anamnesis keluhan dan penyakit kulit
b. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan pada penyakit mata
c. Melakukan anamnesis keluhan dan keterampilan pemeriksaan penyakit THT
d. Melakukan pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) kerokan kulit, kuku, dan rambut
3. PRAKTIK KETERAMPILAN
Skill lab terdiri atas pembelajaran kemampuan dan keterampilan anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnostik, pemeriksaan penunjang, keterampilan prosedural, dan
keterampilan terapeutik. Pada blok ini masing-masing keterampilan dilatihkan sebanyak 2
kali selama 3 jam.
4. PENILAIAN
a. Formatif
Prasyarat ujian:
• Kehadiran skill lab & OSCE Komprehensif : 100%
• Etika pada skill lab & OSCE Komprehensif : sufficient (berbasis checklist)
b. Sumatif, terdiri atas:
• Pretest : 10%
• Postest : 15 %
• Nilai harian skills lab : 20%
• OSCE Komprehensif : 55% ( NBL Ujian OSCE Komprehensif = 70)
c. Standar Penilaian
Penilaian Acuan Patokan (PAP)/ criterion-reference dengan nilai patokan berdasarkan
aturan institusi
A = 80-100 C = 60-64,99
B+ = 75-79,99 D+ = 55-59,99
B = 70-74,99 D = 50-54,99
C+ = 65-69,99 E = 0-49,99
d. Remediasi
Jika nilai mahasiswa berada di bawah NBL OSCE Komprehensif maka dilakukan 1 kali
remedial di minggu remedial pada akhir semester dengan ketentuan nilai maksimal remedial
Kurikulum Berbasis Kompetensi FK ULM TA 2017/2018 hal 2
Modul KKD 2 Blok Keluhan Berkaitan dg Sistem Sensoris & Integumentum
OSCE Komprehensif yang diperoleh adalah 70. Apabila setelah dilakukan 1 kali remediasi
OSCE Komprehensif, nilai yang diperoleh masih berada di bawah nilai lulus, maka nilai yang
diambil adalah nilai yang tertinggi.
5. TATA TERTIB
a. Mahasiwa wajib mengikuti seluruh proses kegiatan skill lab dan OSCE Komprehensif
100%
b. Ketidakhadiran skills lab & OSCE Komprehensif hanya diperkenankan apabila:
1. Sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan sakit dari dokter
2. Mendapat musibah kematian keluarga inti dengan surat keterangan dari orangtua/wali
3. Mendapat tugas dari fakultas/universitas dengan surat keterangan dari Ketua Program
Studi/Wakil Dekan/Dekan/Rektor
c. Apabila tidak hadir pada kegiatan skill lab/ OSCE Komprehensif dengan alasan selain
yang tercantum pada poin (b) diatas maka akan mendapat nilai nol (0)
d. Apabila tidak hadir pada kegiatan skill lab/ OSCE Komprehensif dengan alasan seperti
yang tercantum pada poin (b), mahasiswa dapat mengganti waktu skills lab/OSCE
Komprehensif sesuai dengan ketentuan administrasi yang telah ditetapkan oleh MEU dan
diwajibkan mengerjakan tugas tambahan. Apabila mahasiswa tidak hadir pada pertemuan
pertama skills lab, maka tidak berhak mengikuti pertemuan kedua materi skills lab
tersebut.
e. Bagi mahasiswa yang tidak hadir pada kegiatan skills lab dengan alasan selain yang
tercantum pada poin (b), maka mahasiswa tidak berhak mendapatkan penggantian waktu
dan nilai skills lab yang ditinggalkan tersebut adalah 0 (nol). Apabila mahasiswa tidak
hadir pada pertemuan pertama, maka mahasiswa tersebut juga tidak dapat mengikuti
pertemuan kedua skills lab materi tersebut dan nilai pertemuan kedua adalah 0 (nol).
f. Bagi mahasiswa yang tidak hadir pada kegiatan OSCE Komprehensif dengan alasan yang
tercantum pada poin (b), maka mahasiswa berhak mengganti waktu OSCE Komprehensif
yang akan dilaksanakan bersamaan dengan jadual remedial OSCE Komprehensif. Nilai
maksimal OSCE Komprehensif per station adalah nilai rata-rata kelas station tersebut.
Apabila mahasiswa mendapatkan nilai diatas rata-rata kelas station tersebut, maka nilai
yang diperoleh mahasiswa adalah 80% dari nilai asal.
g. Bagi mahasiswa yang tidak hadir pada kegiatan OSCE Komprehensif dengan alasan
selain yang tercantum pada poin (b), maka mahasiswa tidak berhak mendapatkan
penggantian waktu, dan nilai OSCE Komprehensif adalah 0 (nol)
h. Apabila mahasiswa tidak hadir pada jadual remedial OSCE Komprehensif yang telah
ditentukan, maka nilai OSCE Komprehensif station tersebut adalah nilai asal.
i. Pada saat OSCE Komprehensif mahasiswa harus sudah hadir 30 menit sebelum OSCE
Komprehensif dilaksanakan sesuai jadwal
j. Bagi mahasiswa yang terlambat hadir pada saat OSCE Komprehensif maksimal 10 menit
maka tidak akan diperkenankan ikut OSCE Komprehensif
k. Remedial OSCE Komprehensif hanya ditujukan bagi mahasiswa yang mendapat nilai di
bawah ketentuan blok dan secara administratif tidak ada pelanggaran (kehadiran, etika)
l. Bagi mahasiswa yang melanggar ketentuan administratif dan etika maka dinyatakan tidak
lulus blok dan wajib mengulang pada tahun-tahun berikutnya
6. TIM BLOK
Koordinator : dr. Hendra Wana Nur’amin, M.Sc
7. SUMBER REFERENSI
1. Browse NL, Black J, Burnand KG, Thomas WEG. Browse's Introduction to The
Symptoms and Signs of Surgical Disease. Taylor & Francis Group, 2015.
2. Busam KD. Dermatophatology: a volume in the series foundation in diagnostic
pathology. US: Saunders Elsevier, 2010
3. Darce J, Kopelinann P. A Handbook of clinical skills. London: Hanson, 2004
4. Goodheart HP. Diagnosis fotografik & penatalaksanaan penyakit kulit Ed 3. Jakarta:
EGC, 2013
5. Guyton and Hall. Textbook of medical physiology Ed. 10. Elsevier Sauders, 2011
6. Lucente FE, Har-El G. Ilmu THT essensial Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011
7. Lynn P. Taylor's Clinical Nursing Skills: A Nursing Process Approach 3rd Ed. Wolters
Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins, 2011
8. Markam S. Dasar-dasar Neurospsikologi Klinis. Sagung Seto, 2009
9. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit : Pengantar menuju kedokteran klinis.
Jakarta: EGC, 2010
10. McPhee SJ. Current medical diagnosis & treatment. 46 th ed. New York: Mc Graw Hill,
2007
11. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC,
2006
12. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's: General ophthalmology. 16 th ed.
Boston, McGraw Hill, 2004
Latar Belakang
Sebagian besar penyakit kulit yang sering ditemukan tidak berhubungan dengan
gangguan pada system lain, sehingga melakukan anamnesis pada pasien dengan erupsi atau
pertumbuhan kulit akan berbeda dari yang digunakan pada anamnesis secara umum. Baik
pasien maupun dokter biasanya dapat melihat keluhan yang dirasakan tanpa melakukan
teknik khusus. Gejalanya dapat hanya berupa keluhan minor seperti gatal dan nyeri atau
keluhan tidak nyaman. Dokter, oleh karena itu, harus memperhatikan morfologi dan
perubahan yang terlihat yang terjadi selama perjalanan penyakit, dan bagaimana variasi
gambaran ini terhadap terapi yang didapatkan dan hal lainnya. Dengan cara ini, diagnosis
klinis sementara atau diagnosis banding diperoleh, dan dikonfirmasi selanjutnya dengan
menggunakan teknik seperti biopsi kulit, uji kulit, uji cahaya dan mikologi, sebagai tambahan
dari berbagai pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan lain yang biasa dilakukan.
Anamnesis
Lebih diutamakan untuk melakukan anamnesis secara lengkap sebelum pemeriksaan
fisik. Keinginan untuk segera melakukan pemeriksaan fisik harus dihindarkan. Penting untuk
mengetahui apakah tempat lesi primer merupakan kulit yang terbuka atau tertutup terhadap
dunia luar dan untuk menentukan hubungan dari tempat lesi ini dengan kemungkinan kontak
dengan alergen atau iritan dan untuk mengetahui distribusi dari berbagai penyakit kulit.
Apakah tempat lesi primer ini tidak lagi terkena harus juga diyakinkan. Hal ini
mengindikasikan ada factor lain yang terlibat. Sebagai contoh, dermatitis kontak tahap awal
dapat memicu atopic atau reaksi seboroik; alternatifnya, sensitivitas alergi terhadap
kandungan dalam obat yang digunakan untuk terapi awal dapat bertanggung-jawab terhadap
perubahan dari lokasi lesi primer. Distribusi selanjutnya dari erupsi sering menunjukkan arah
diagnosis; gangguan pada daerah presternal dan interskapular pada dermatitis seboroik
dengan atau tanpa keterlibatan daerah lipatan; likenifikasi pada lipatan lengan atas pada
dermatitis atopic; dan keterlibatan garas pada eritema nodosum.
Informasi harus diperoleh apakah reaksi atau keluhan ini berlangsung temporer
dengan episode kesembuhan parsial atau total, dan apakah ini terjadi sebagai hasil
pengobatan atau sembuh dengan sendirinya, dan apakah keluhan ini menetap dengan
fluktuasi tingkat keparahan seperti halnya yang ditemukan pada psoriasis kronis; apakah ada
serangan dari bentuk yang sama atau yang lain dari penyakit kulit, dan apakah ada respon
terhadap pengobatan. Penting untuk mencatat factor pekerjaan dan keadaan di rumah yang
berhubungan dengan kontak alergi atau iritan. Riwayat atopi individu (asma, eksema, hay
fever) atau allergen harus ditanyakan. Riwayat penyakit saat ini dan di masa lalu serta riwayat
pengobatan harus diperhatikan. Hal ini penting dalam menentukan kemungkinan erupsi obat
dan penanda penyakit sistemik pada kulit.
Riwayat keluarga adalah hal yang penting untuk diperhatikan meskipun kurang
penting jika dibandingkan dengan riwayat pribadi. Petunjuk dapat diperoleh sebagai penyakit
sekarang atau penyakit kulit yang dasar seperti dermatitis atopi, atau penyakit umum seperti
diabetes (moniliasis, vaskulitis kutaneus), rematoid arthritis (psoriasis), dan penyakit
autoimun – sebagai contoh anemia pernisiosa atau tiroiditis (vitiligo dan alopesia areata) –
dan apakah apakah ada infeksi atau infestasi kulit pada keluarga.
Untungnya, kemampuan kulit terbatas dalam menyebabkan perubahan morfologi
yang biasanya mengarahkan pada diagnosis klinis yang akurat. Pada pemeriksaan kulit dinilai
hasil pemeriksaan inspeksi kulit, kuku, rambut, dan mukosa (lokasi, distribusi lesi, bentuk/
susunan lesi, batas lesi, ukuran lesi, efloresensi primer & sekunder).
1. Perubahan permukaan: bersisik, berkeropeng, penebalan/likenifikasi, ekskoriasi,
keterlibatan rambut, eksudasi, ulkus, darah
2. Warna
3. Eritema; monomorfik atau polimorfik (macula, papula, nodul) dengan atau tanpa edema
4. Urtikaria: papula, angioedema
5. Blister: vesikel, bula, hemoragis, gambaran seperti terbakar
6. Perdarahan: petikie, purpura, ekimosis
Untuk membedakan dengan tumor, harus diperhatikan:
1. Distribusi : tunggal atau multiple
2. Onset : mendadak atau bertahap
3. Letak : dalam kulit (dermal dan atau epidermal), sub kutan atau lebih dalam
4. Perubahan gambaran : ukuran, bentuk (menyebar ke perifer, satelit), warna, permukaan
(pembentukan tanduk/nodul/ulserasi/perdarahan), konsistensi (indurasi)
5. Gejala : nyeri/gatal
DAFTAR TILIK
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN GANGGUAN DAN PENYAKIT KULIT
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama pasien (gatal, nyeri, rasa tidak
nyaman, perubahan kulit)
3 Menanyakan lokasi pertama keluhan yang muncul pada tubuh
• Menanyakan apakah ada penyebaran
• Arah penyebarannya
• Lesi di tempat awal sebelum menyebar (sembuh atau
tidak)
4 Menanyakan apakah keluhan ini menetap atau berlangsung
sementara saja
5 Menanyakan perubahan kulit:
• Permukaan (bersisik, keropeng, menebal, darah, darah,
penebalan, dll)
• Perubahan warna kulit (merah, pucat, hitam, dll)
6 Menanyakan apakah pernah mengalami keluhan yang serupa
7 Menggali riwayat apakah ada anggota keluarga yang memiliki
keluhan yang sama
8 Menggali riwayat penyakit/pengobatan:
• Ada tidaknya penyakit sistemik (diabetes, hipertensi, dll)
• Ada tidaknya penggunaan obat topical dan sistemik
9 Menilai hasil pemeriksaan inspeksi kulit, kuku, rambut dan
mukosa
• Jumlah: tunggal atau multiple
• Ukuran
• Lokasi
• Warna
• Permukaan
• Konsistensi
• Distribusi lesi
• Bentuk/susunan lesi
• Batas lesi
• Ukuran lesi
Latar Belakang
Manusia disebut juga sebagai makhluk visual karena 80% informasi sensorik
diperoleh dari penglihatan. Sebanyak 30% serabut saraf sensorik yang menuju ke otak berasal
dari organ mata. Terdapat berbagai macam penyakit mata yaitu kelainan (anomali) refraksi,
penyakit infeksi, penyakit degeneratif, penyakit alergi dan autoimun, kelainan herediter,
neoplasma dan trauma mata. Penyakit mata tersebut dapat muncul dengan berbagai macam
tanda dan gejala klinis. Gejala klinis yang sering ditemukan antara lain berupa penglihatan
kabur (visus turun), penglihatan ganda (diplopia), mata merah, mata berair dan nyeri pada
mata.
Tujuan utama dari pemeriksaan mata adalah untuk mendeteksi tanda-tanda dan gejala-
gejala klinis penyakit mata, untuk membuat evaluasi awal pada pasien dan menentukan
apakah memberikan pertolongan pertama (kasus trauma kimia mata), memberikan terapi atau
merujuk pasien ke dokter spesialis mata sesuai dengan tingkat kegawatan serta berat
ringannya penyakit mata. Untuk mencapai tujuan ini penting untuk membiasakan diri dengan
gejala umum pada penyakit mata dan teknik dasar pemeriksaan mata.
Anamnesis
Pertanyaan harus diarahkan pada deskripsi pasien tentang keluhan utama penyakit
mata antara lain:
1. Mata kabur (penurunan atau kehilangan penglihatan)
Penurunan atau kehilangan penglihatan dapat melibatkan satu atau kedua mata,
yang dapat terjadi secara berperlahan-lahan atau mendadak, dapat mengenai daerah
penglihatan sentral atau perifer lapang pandang. Penyebabnya bisa akibat kelainan
refraksi, kekeruhan pada media refrakta, kelainan pada retina dan persarafan mata
(nervus optikus dan kortek visual). Distorsi penglihatan sentral biasanya
mengindikasikan gangguan retina pada daerah makula. Kekeruhan vitreus sering
ditemukan pada mata miopia atau setelah perdarahan kecil di retina akibat gangguan
vaskular retina atau setelah trauma tumpul. Mata kabur bisa diutarakan pasien dalam
berbagai keluhan seperti; kabur saat membaca tulisan di papan tulis, kabur saat membaca
buku/koran/sms di hp, kesulitan mengenali wajah dari jarak jauh, pandangan berkabut,
penglihatan berasap, seperti melihat dibalik air terjun, seperti terhalang tirai, dan lain-
lain.
2. Mata merah
Mata merah merupakan salah satu gejala tersering pada penyakit mata. Mata
merah terjadi akibat dari pelebaran pembuluh darah pada konjungtiva. Penyakit-penyakit
mata yang ditandai dengan mata merah antara lain adalah konjungtivitis (radang
konjungtiva), keratitis (radang kornea), uveitis (radang uvea), skleritis (radang sklera)
dan glaukoma akut. Pada konjungtivitis dan skleritis gejala mata tidak diikuti dengan
penurunan penglihatan, sedangkan pada keratitis, uveitis dan glaukoma akut diikuti
dengan penurunan penglihatan. Pada skleritis dan glaukoma akut, mata merah disertai
dengan keluhan nyeri pada mata.
3. Nyeri mata
Nyeri pada mata dapat timbul akibat peradangan pada mata atau akibat
peningkatan tekanan intraokular mendadak. Nyeri mata hebat dengan kehilangan
penglihatan yang nyata dengan onset mendadak merupakan gejala khas glaukoma akut.
Nyeri menusuk disertai dengan mual, nyeri kepala ‘buta’, cahaya berkedip-kedip, dan
kadang-kadang kehilangan penglihatan sebagian (parsial) ipsilateral dideskripsikan
sebagai migren. Kehilangan lapang penglihatan yang berulang atau menetap memerlukan
pemeriksaan neurologis lengkap.
4. Penglihatan ganda (diplopia)
Penglihatan ganda yang terjadi pada satu mata disebut diplopia monokular di
mana katarak merupakan penyebab paling sering. Diplopia pada dua mata disebut
dengan diplopia binokular yang terjadi akibat aksis penglihatan tidak sejajar yang terjadi
secara mendadak. Ketidaksejajaran aksis diakibatkan oleh kelemahan (paresis) otot
ekstraokular pada salah satu mata terjadi karena trauma, invasi tumor, penyakit diabetes
& hipertensi.
5. Mata berair (efipora)
Mata berair terjadi akibat produksi air mata yang berlebihan (lakrimasi) akibat
iritasi pada permukaan mata yang merangsang sekresi air mata. Mata berair juga terjadi
akibat adanya hambatan aliran air mata ke cavum nasi melalui duktus nasolakrimalis.
Hal ini biasanya terjadi pada usia sangat muda (atresia kongenital) dan pada usia dewasa
akibat infeksi kantung air mata berulang yang sering disertai dengan terdapatnya sekret
mukoid atau mukopurulen. Mata merah, berair, terdapatnya sekret, disertai rasa tidak
nyaman pada mata merupakan gejala konjungtivitis.
6. Keluhan utama lainnya: mata gatal, kotoran mata, silau, benjolan pada kelopak mata,
rabun senja, kabur saat membaca, rasa mengganjal, kelilipan, ada bintik putih dimata,
mata menonjol, takut sinar, tidak bisa membuka mata, tidak bisa menutup mata, mata
juling, seperti mata kucing.
Riwayat penyakit sekarang digali untuk menentukan sejak kapan keluhan utama
berlangsung (durasi penyakit), onset terjadinya keluhan (perlahan-lahan, mendadak),
keluhan penyerta (mata kabur disertai mata merah dan nyeri), hal-hal apa saja yang dapat
memperberat atau meringankan keluhan utama, sifat keluhan (menetap, bertambah atau
berkurang) terhadap perjalanan waktu dan usaha pengobatan apa saja yang telah dilakukan
berserta hasilnya.
Riwayat trauma mata dan sekitar mata perlu digali untuk mencari keterkaitan
kelainan mata yang terjadi saat ini dengan trauma.
Riwayat penggunaan kacamata perlu digali terutama pada kasus penyakit dengan
keluhan utama mata kabur ataupun pada kasus kelainan dengan faktor risiko kelainan
refraksi.
Riwayat keluarga penting untuk digali karena beberapa penyakit mata bersifat
herediter dengan bermacam sifat pewarisan.
Riwayat medis umum/ penyakit sistemik berhubungan dengan kelainan mata
karena sejumlah gangguan pada mata merupakan manifestasi penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, hipertensi, arthritis, penyakit autoimun, infeksi HIV, infeksi Rubella,
Kurikulum Berbasis Kompetensi FK ULM TA 2017/2018 hal 11
Modul KKD 2 Blok Keluhan Berkaitan dg Sistem Sensoris & Integumentum
infeksi TORCH dan lain-lain. Pasien harus ditanyakan secara spesifik tentang obat sistemik
dan topikal yang sedang digunakan serta penyalahgunaan tembakau (merokok) dan alkohol
(penyakit neuropati optik toksik).
KEPUSTAKAAN
Ganong, WF., 1999, Review of Medical Physiology, 19Th Edition, Lange Medical Publication,
Los Altos, California, pp. 406-14; 518-20.
Guyton, A.C. 1997. Text Book of Medical Physiology, 9Th Edition. W.B. Saunders Company,
Philadelphia.
Hartono, Faisal, M.A., Meida, N.S. 2011. Ilmu Penyakit Mata dalam Bentuk Tanya Jawab
Essai. Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.
DAFTAR TILIK
ANAMNESIS PADA PENYAKIT MATA
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek Komunikasi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Mendengarkan secara aktif
3. Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4. Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5. Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6. Menunjukkan empati
Aspek Anamnesis
1. Menanyakan Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan
2. Menanyakan Keluhan Utama (mata kabur/ kehilangan
penglihatan, mata merah, penglihatan ganda, mata berair,
nyeri mata)
3. Menggali Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Keluhan Utama: Mata kabur/ penglihatan menurun /
kehilangan penglihatan:
• Durasi (sejak kapan/ sudah berapa lama)
• Onset (mendadak atau perlahan-lahan)
• Mata yang sakit (kiri, kanan atau kedua mata)
• Keluhan lain (disertai mata merah, mata nyeri, kotoran
mata, dan lain-lain)
• Riwayat pengobatan penyakit ini (dimana, obat apa,
hasilnya bagaimana)
• Riwayat trauma mata/sekitar mata
Keluhan Utama: Mata merah
• Durasi (sejak kapan/ sudah berapa lama)
• Onset (mendadak atau perlahan-lahan)
• Mata yang sakit (kiri, kanan atau kedua mata)
• Keluhan lain yg menyertai:
-Disertai penurunan penglihatan atau tidak
-Disertai sekret atau tidak (serus, mukoid, purulen)
-Disertai nyeri atau tidak
• Riwayat pengobatan penyakit ini (dimana, obat apa,
hasilnya bagaimana)
• Riwayat trauma mata/sekitar mata
Keluhan Utama: Penglihatan ganda/ dobel
• Durasi (sejak kapan/ sudah berapa lama)
• Onset (mendadak atau perlahan-lahan)
• Mata yang sakit (kiri, kanan atau bila melihat dengan
kedua mata)
• Keluhan lain yg menyertai:
-Disertai penurunan penglihatan atau tidak
-Disertai sekret atau tidak (serus, mukoid, purulen)
PEMERIKSAAN MATA
dr. Muhammad Ali Faisal, Sp.M, M.Sc
I. Pendahuluan
Pemeriksaan mata lengkap secara sistematis meliputi:
1. pemeriksaan Visus
2. pemeriksaan Gerakan Bola Mata (otot ekstraokular)
3. pemeriksaan Lapang Pandang (tes konfrontasi)
4. pemeriksaan Palpebra dan Apparatus lakrimalis
5. pemeriksaan Segmen Anterior Mata (konjungtiva, kornea, KOA, iris pupil dan lensa)
6. pemeriksaan Segmen Posterior Mata (vitreus, papil n. optikus dan retina)
7. pemeriksaan Tekanan Intraokular.
Pemeriksaan gerakan okular dan pemeriksaan lapang pandang sudah dibahas pada
materi skill lab blok keluhan dan penyakit neurosensoris.
I. Bola Mata
Bola mata dibagi menjadi bagian depan (segmen anterior) dan bagian belakang
(segmen posterior). Bagian depan segmen anterior dibatasi oleh kornea yang jernih, serta
lensa dan penggantung lensa di belakangnya. Segmen posterior terletak di belakang lensa.
Segmen anterior sendiri terbagi dua, yaitu ruangan yang terletak di antara lensa dan iris
disebut sebagai camera oculi posterior (COP), dan ruangan yang di antara iris dan kornea
disebut camera oculi anterior (COA). COA dan COP keduanya berisi humor aquous.
Kedalaman COA adalah 3,4 mm dan volumenya adalah 0,3 mL. Pada tepi COA terdapat
sudut iridokorneal dengan kanal Schlemm pada apeksnya. COA dihubungkan dengan kanal
Schlemm lewat anyaman trabekulum (trabeculum Meshwork). Kanal Schlemm ini kemudian
berhubungan dengan vena episklera lewat kanal-kanal pembuangan yang disebut sebagai
kanal kolektor. COP dilewati oleh zonula Zinnii yang merupakan penggantung lensa mata.
COA dan COP berhubungan lewat celah melingkar antara tepi pupil dan lensa.
Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea. Sklera merupakan dinding bola
mata yang paling keras. Sklera tersusun atas jaringan fibrosa yang padat, yang terdiri dari
kolagen tipe 1, proteoglikan, elastin, dan glikoprotein. Berbeda dengan kornea, susunan
jaringan fibrosa kornea relatif tidak teratur dibandingkan kornea, sehingga ia tidak bening
seperti kornea. Tebal sklera pada polus posterior 1 mm dan ekuator 0,5 mm.
Uvea terdiri atas iris, badan silier, dan koroid yang secara anatomis tak terpisah-pisah;
namun untuk kepentingan klinis dipisahkan satu sama lain. Uvea merupakan lembaran yang
tersusun oleh pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, jaringan ikat, otot, dan bagian
depannya (iris) berlubang, yang disebut pupil. Iris berbentuk membran datar dan merupakan
kelanjutan ke depan dari badan silier. Iris berarti pelangi dan disebut demikian karena warna
iris berbeda-beda sesuai etnik (ras) manusia. Warna iris menentukan warna mata.
Di tengah iris terdapat pupil yang berperan penting dalam mengatur jumlah cahaya
yang masuk ke dalam mata (diafragma). Secara normal tepi pupil bersentuhan dengan lensa,
namun tak melekat dengan lensa. Pada iris terdapat dua macam otot yang mengatur besarnya
pupil, yaitu musculus dilatator pupillae (yang melebarkan pupil/ midriasis) dan musculus
sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil/ miosis).
Garis tengah pupil normal berkisar antara 3 hingga 4 mm. Lebar sempitnya pupil
dipengaruhi banyak faktor. Secara normal pupil menyempit pada cahaya terang dan melebar
pada suasana redup atau gelap. Penyempitan pupil juga dipengaruhi oleh impuls saraf,
misalnya pada keadaan tidur pupil akan mengecil karena turunnya tonus simpatis. Beberapa
penyakit pada mata bisa mengubah ukuran pupil. Pupil akan mengecil pada iritis atau
iridosiklitis dan melebar pada glaukoma akut. Dalam pengaturan fokus, pupil akan
menyempit saat kita melihat dekat dan akan melebar saat melihat jauh. Obat-obatan juga
mempengaruhi ukuran pupil. Pupil akan mengecil pada pemakaian miotika atau golongan
morfin dan melebar pada pemberian midriatika. Pupil kanan dan kiri yang normal kira-kira
sama ukurannya dan dan kesamaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kiri dan kanan
tidak sama maka disebut sebagai anisokoria.
Badan silier (corpus siliaris) merupakan bagian uvea yang terletak di antara iris dan
koroid. Batas belakangnya adalah ora serrata retina. Badan silier banyak mengandung
pembuluh kapiler dan vena dan prosessus siliaris yang menghasilkan humor aquous.
Lensa merupakan bangunan bikonveks yang terdiri dari 3 bagian yaitu: (a) kapsul,
yang bersifat elastis; (b) epitel, yang merupakan asal serabut lensa; dan (c) substansi lensa
yang lentur dan pada orang muda dapat berubah, tergantung tegangan kapsul lensa.
Diameter bagian ekuator lensa mata adalah 9 mm. Permukaan posterior memiliki radius
kurvatura lebih besar daripada permukaan anterior. Secara klinis lensa terdiri dari kapsul,
korteks, nukleus embrional, dan nukleus dewasa. Lensa tergantung ke badan silier oleh
ligamentum suspensorium lentis (zonula Zinnii).
Lensa berfungsi sebagai media refrakta (pembiasan). Kekuatan bias lensa kira-kira +20
D. Pada anak dan orang muda, lensa dapat berubah kekuatan dioptrinya (akomodasi) saat
melihat dekat, agar mampu menempatkan bayangan tepat pada retina. Semakin tua seseorang
maka makin berkurang kekuatan akomodasi dan akan hilang setelah usia 60 tahun.
Aspek terpenting dalam fisiologi lensa adalah mekanisme kontrol keseimbangan cairan
dan elektrolit, juga sangat penting terhadap kejernihan lensa. Gangguan hidrasi seluler dapat
dengan cepat menimbulkan kekeruhan pada lensa karena kejernihan lensa sangat tergantung
pada komponen struktural dan makromolekul.
Badan kaca (vitreus) merupakan bagian yang terbesar dari isi bola mata yaitu sebesar
4/5 dari isi bola mata. Badan kaca merupakan masa gelatinosa dengan volume 4,3 cc. Badan
kaca bersifat transparan, tak berwarna, dengan konsistensi seperti gelatin (agar-agar) dan
avaskular. Badan kaca terdiri dari 99% air dan 1% kombinasi kolagen dan asam hialuronat.
Badan kaca dikelilingi oleh membran hyaloid. Membrana hyaloidea melekat pada kapsul
posterior lensa, zonula, pars plana, retina, dan papil nervus II. Badan kaca berfungsi memberi
bentuk bola mata dan merupakan salah satu media refrakta (media bias). Badan kaca
berhubungan dengan retina dan hanya terdapat perlekatan yang lemah. Badan kaca ini
mempunyai perlekatan erat dengan diskus optikus dan ora serrata. Basis vitreus adalah suatu
area pada vitreus (3 – 4 mm) yang melekat pada retina tepat di belakang ora serrata.
Koroid (uvea) merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak antara retina dan
sklera, terdiri atas anyaman pembuluh darah. Lapisan koroid dari luar ke dalam berturut-turut
adalah suprakoroid, pembuluh darah koriokapiler, dan membran Bruch. Karena koroid
banyak mengandung pembuluh darah dan retina itu jernih, maka koroid dapat dilihat dengan
oftalmoskop dan tampak berwarna merah. Refleks fundus merah cemerlang berasal dari
warna koroid.
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina merupakan lapisan
terdalam dari bola mata dan tebalnya kira-kira 1 mm. Retina merupakan membran tipis,
bening, berbentuk seperti jaring (karenanya disebut juga sebagai selaput jala), dan
metabolisme oksigen-nya sangat tinggi. Retina sebenarnya merupakan bagian dari otak
karena secara embriologis berasal dari penonjolan otak.
Retina berfungsi menerima cahaya dan merubahnya jadi sinyal elektrokimiawi, untuk
selanjutnya meneruskan sinyal tersebut ke otak. Retina terdiri dari 3 macam sel saraf
(neuron) yang berestafet dalam meneruskan impuls penglihatan. Sel-sel tersebut adalah sel –
sel fotoreseptor (konus dan basilus), sel horizontal dan sel bipolar, serta sel ganglion.
Pada retina terdapat daerah yang penting untuk diskriminasi visual yang disebut makula
lutea (bintik kuning), atau disebut sebagai fovea, yang terletak 3,5 mm di temporal papil N II.
Makula lutea mempunyai serabut saraf yang sangat banyak yang menuju ke papil N II yang
disebut sebagai berkas papilomakular.
Cairan akuos sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokular/ TIO).
Tekanan intraokular normal adalah 10 – 20 mmHg, TIO ini meningkat pada keadaan
peningkatan produksi, penurunan drainase, maupun kombinasi keduanya. Kenaikan TIO
secara umum disebut sebagai glaukoma. TIO yang naik terus-menerus akan mendesak
struktur bagian dalam dinding bola mata (retina) dan nervus optikus sehingga akan terjadi
kerusakan.
II. Adneksa
Adneksa atau alat tambahan meliputi palpebra, kelenjar air mata dan salurannya.
1. Palpebra
Palpebra berfungsi melindungi bola mata dari segala trauma, mencegah penguapan air
mata, menjaga kelembaban mata, dan estetika. Palpebra termasuk komponen eksternal mata
yang berupa lipatan jaringan yang mudah bergerak. Kulit palpebra sangat tipis sehingga
mudah membengkak pada keadaan-keadaan tertentu. Pada tepi palpebra terdapat bulu mata
(silia) yang berguna untuk proteksi mata terhadap sinar, juga terhadap trauma-trauma minor.
Di dalam palpebra terdapat tarsus, yaitu jaringan ikat padat bersama dengan jaringan elastik.
Lapisan otot palpebra tersusun atas muskulus orbikularis okuli, muskulus levator
palpebra, muskulus tarsalis superior dan inferior. Muskulus orbikularis okuli berfungsi untuk
menutup kelopak mata (berkedip), diinervasi oleh saraf fasial (nervus facialis) dan
parasimpatis. Muskulus levator palpebraberfungsi untuk membuka mata, diinervasi oleh saraf
okulomotor. Muskulus tarsalis superior (Mulleri) dan inferior yang berfungsi untuk
memperlebar celah mata, mendapat inervasi dari serabut saraf pasca ganglioner simpatis
yang mempunyai badan sel di ganglion servikal superior.
Bagian belakang palpebra ditutupi oleh konjungtiva konjungtiva palpebra yang
merupakan lanjutan konjungtiva bulbi, yaitu konjungtiva yang melapisi sklera bagian depan.
Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lendir) yang melapisi palpebra bagian dalam
dan sklera. Konjungtiva dibagi menjadi konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra, dan
konjungtiva forniks. Konjungtiva bulbi melapisi bagian depan berupa lapisan tipis,
transparan, dan pembuluh darahnya tampak. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam
palpebra dan melekat erat pada tarsus sehingga tidak dapat digerakkan. Konjungtiva forniks
terletak di antara konjungtiva bulbi dan palpebra, dan berada pada forniks. Pada konjungtiva
juga terdapat bangunan plika semilunaris dan karunkula (jaringan epidermoid) yang juga
terdapat pada kantus internus.
Stroma konjungtiva mengandung 2 jenis kelenjar, yaitu yang memproduksi musin dan
yang merupakan kelenjar lakrimal tambahan. Kelenjar yang memproduksi musin terdiri atas
sel goblet yang terletak di lapisan epitel, terpadat di bagian inferonasal; kripte Henle yang
terletak di sepertiga atas konjungtiva palpebra superior dan sepertiga bawah konjungtiva
palpebra inferior; serta kelenjar Manz yang berada di sekeliling limbus, tepi kornea, dan batas
kornea konjungtiva.
Pada kelopak juga terdapat septum orbita. Pada palpebra terdapat empat macam
kelenjar, yaitu kelenjar Meibom, Zeis, Moll, dan aksesoria. Kelenjar Meibom (glandula
tarsalis) terdapat di dalam tarsus, bermuara dalam tepi kelopak. Pada palpebra atas terdapat
25 buah kelenjar dan pada palpebra bawah terdapat 20 kelenjar. Kelenjar Meibom
menghasilkan sebum (minyak) yang merupakan lapisan terluar air mata. Kelenjar Zeis
berhubungan dengan folikel rambut dan juga menghasilkan sebum. Kelenjar Moll merupakan
kelenjar keringat. Kelenjar lakrimal tambahan (aksesoria) terdiri atas kelenjar Krause dan
kelenjar Wolfring yang keduanya terdapat di bawah konjungtiva palpebra. Mereka
menghasilkan komponen air yang merupakan lapisan tengah air mata.
b. Aparatus Lakrimalis
Aparatus lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal, kelenjar lakrimal aksesoria (Krause
dan Wolfring), pungtum lakrimal, kanalikulus lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus
nasolakrimal.
Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar penghasil air mata (komponen air/ lapisan
akuos). Kelenjar ini terletak pada bagian antero-supero-temporal orbita. Duktus
sekretoriusnya bermuara pada forniks superior. Kelenjar lakrimal terdiri dari dua bagian
yaitu: (i) bagian orbital, yang merupakan bagian superior dan yang lebih besar (ii) bagian
palpebral, atau bagian inferior dan merupakan bagian yang lebih kecil. Air mata yang
dihasilkan akan mengalir ke bawah untuk membasahi bagian dalam kelopak, kornea, dan
konjungtiva bulbi. Kelenjar lakrimal aksesoria berupa kelenjar Krause dan Wolfring.
Kanalikulus lakrimal ada 2 buah, yaitu pada palpebra atas dan bawah. Kanalikulus ini
dimulai dari pungtum lakrimal. Daerah pungtum lakrimal ini agak pucat karena relatif
avaskular. Kedua pungtum tadi menghadap ke belakang, sehingga hanya terlihat apabila
palpebra dieversi. Sekitar pungtum agak menonjol dan disebut papila lakrimalis. Papila
lakrimalis ini lebih menonjol lagi pada orang tua. Kedua kanalikuli bertemu dan pada
pertemuan tadi melebar, dan pelebaran ini disebut ampula. Sakus lakrimalis merupakan
kantong (bagian yang melebar) dan terdapat pada fossa lakrimalis. Di sini kanalikulus
superior dan inferior bertemu.
Duktus nasolakrimalis merupakan saluran dari sakus lakrimalis yang bermuara pada
meatus nasi inferior. Pada ujung akhir duktus ini terdapat katup Hasner (plika semilunaris).
Air mata setelah membasahi mata akan masuk ke rongga hidung lewat kanalikuli, sakus
lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.
c. Otot-Otot Ekstraokular
Mata dapat bergerak hampir ke semua arah dengan kecepatan yang bervariasi dan
dikoordinasi oleh 6 otot ekstraokular (OEO). OEO juga menstabilkan letak bola mata di
dalam orbita. Keenam OEO berinsersi pada sklera dan berorigo pada anulus Zinnii, kecuali
m.oblik inferior yang berorigo pada dasar orbita.
Kedua mata selalu bergerak secara terkoordinasi agar obyek dapat jatuh pada retina
yang sesuai pada kedua mata. OEO mata kanan dan kiri kadang-kadang bekerja sama
(sinergis) dan kadang bekerja berlawanan (antagonis) untuk tujuan yang sama. Misalnya
apabila kedua mata melirik ke kanan, maka m.rektus lateral mata kanan dan m.medial mata
kiri bekerja sama. Sebaliknya apabila melihat dekat (kovergensi), kedua mm.rekti medial
mata kanan dan kiri bekerja sama. Ini semua disebabkan adanya hubungan antara nukleus
ototo-otot ekstraokular sepihak atau antara nukleus otot-otot ekstraokular kanan dan kiri oleh
fasikulus longitudinalis medialis di batang otak. Di samping itu nukleus-nukleus ini juga
mempunyai hubungan dengan nukleus vestibularis dan serebelum.
a. Retina
Agar suatu obyek dapat dilihat maka harus terjadi bayangan di retina, tepatnya terfokus
di makula lutea. Agar bayangan jelas, maka dibutuhkan media refrakta yang jernih dengan
kekuatan refraksi yang cocok dengan panjang sumbu bola mata, serta retina sebagai
penangkap bayangan yang baik.
b. Nervus Optikus
Bayangan dari retina akan dibawa mula-mula oleh saraf optik. Nervus optikus tersusun
oleh ± 1,2 juta akson yang berasal dari sel-sel ganglion di retina. Nervus optikus adalah
serabut saraf yang terletak antara papil nervus optikus sampai khiasma optikum.
Nervus optikus memiliki panjang kira-kira 50 mm dari bola mata hingga khiasma
optikum, dan dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian intraokular (disebut sebagai papil
nervus optikus), bagian intraorbita, bagian intraosea, dan bagian intrakranial. Papil N II
(diskus optikus, optic disc, optic nerve head, atau bintik buta) merupakan tempat
berkumpulnya serabut-serabut saraf yang berasal dari sel-sel ganglioner dari seluruh
permukaan retina. Panjang papil saraf optik adalah 1 mm, dengan diameter 1,5 mm. Bentuk
papil tergantung pada besarnya foramen skleralis posterior (kanalis skleralis). Nervus optikus
intraorbita panjangnya kira-kira 20 – 30 mm, memanjang antara bola mata sampai foramen
optikum, berbentuk huruf S dengan diameter 3 – 4 mm. Karena bentuknya seperti huruf S
dan panjang, maka bola mata bisa bergerak bebas tanpa menyebabkan ketegangan nervus
optikus. Nervus optikus intraosea (intrakanalikular) adalah nervus optikus yang berjalan pada
kanalis optikus, dan panjangnya kira-kira 5 mm. Nervus optikus intrakranial merupakan
bagian nervus optikus setelah keluar dari kanalis optikus ke kavum kranii sampai khiasma
optikum, dan panjangnya kira-kira 10 mm.
c. Kiasma Optikum
Ukuran anteroposterior khiasma kira-kira 8 mm, dan ukuran kanan-kirinya kira-kira 12
mm, serta tingginya 4 mm. Khiasma optikum merupakan setengah silang (hemidekusasio)
nervus optikus kanan dan kiri. Pada khiasma ini serabut saraf dari retina temporal tidak
menyilang, sedangkan yang dari nasal mengadakan persilangan. Pada khiasma tidak terjadi
pergantian neuron.
d. Traktus Optikus
Kedua traktus optikus mulai dari tepi posterior khiasma, kemudian berjalan divergen,
melingkupi pedunkuli serebri untuk berakhir pada korpus genikulatum laterale.
e. Korpus Genikulatum Lateral
Korpus genikulatum lateral merupakan akhir serabut aferen lintasan visual anterior. Di
sini serabut yang menyilang maupun tidak tersusun sebagai lapisan berselang-seling. Dari
korpus genikulatum lateral akan terdapat neuron visual akhir yang akan membentuk radiasio
optika (traktus genikulokalkarina) untuk menuju korteks visual primer di fissura kalkarina.
f. Radiasio Optika
Radiasio optika berjalan menyebar dari korpus genikulatum laterale inferior,
melingkupi bagian depan kornu temporal ventrikel lateral, kemudian ke belakang dan
berakhir pada korteks kalkarina atau area striata di lobus oksipital.
g. Korteks Visual
Pada fissura kalkarina lobus oksipital terdapat korteks visual atau area 17. Di sinilah
berakhir impuls dari retina. Fungsi korteks visual primer adalah untuk deteksi organisasi
ruang dan pemandangan visual, yaitu deteksi bentuk obyek, kecerahan bagian-bagian obyek,
bayangan, dan sebagainya. Pada korteks visual terdapat penataan retinotopik, artinya bahwa
titik-titik tertentu pada retina mempunyai hubungan yang pasti dengan titik-titik tertentu pada
korteks visual primer. Separuh kanan kedua retina berhubungan dengan korteks visual kanan,
dan separuh kiri kedua retina berhubungan dengan korteks visual kiri. Selanjutnya makula
sesuai dengan polus oksipital dan retina perifer sesuai dengan daerah konsentris di depan
polus oksipital. Bagian atas retina sesuai dengan bagian atas korteks visual dan bagian bawah
sesuai dengan bagian bawah korteks visual.
h. Tingkat Kesadaran Penglihatan
Tingkat kesadaran penglihatan belum jelas benar, mungkin di korteks serebri tertentu,
atau mungkin juga secara difus atau juga ada asosiasinya dengan korteks temporal. Mungkin
juga proses psikologis ikut berperan dalam kesadaran penglihatan.
Setelah seluruh proses melihat ini berlangsung maka akan timbul kesadaran akan
adanya obyek yang dilihat dan obyek tadi akan bersifat lebih besar (sesuai obyeknya), tegak
lurus, tiga dimensi, dan berwarna-warni. Selain itu juga dikenal namanya, kegunaannya, dan
seterusnya.
V. Pemeriksaan Visus
Visus atau lengkapnya visual acuity atau acies visus atau tajam penglihatan ditentukan
oleh bayangan di retina yang paling kecil yang bentuknya masih dapat dikenal. Visus ini
diukur dengan obyek terkecil yang dapat dilihat dengan jelas pada jarak tertentu. Untuk
membedakan bentuk obyek maka bagian-bagian obyek tadi harus dapat dibeda-bedakan.
Visus diuji dengan optotip Snellen yang tersusun atas huruf-huruf atau angka yang
disusun berdasarkan daya pisah sel konus (kerucut) di retina. Optotip Snellen diletakkan pada
jarak 6 meter (20 ft) untuk pemeriksaan masing-masing mata. Setiap huruf pada deretan
huruf optotip dari Snellen dibuat dengan ketentuan sudut penglihatan sebesar 1 menit untuk
setiap lebar balok dan 5 menit untuk setiap panjang balok, untuk setiap jarak tertentu yang
biasanya tertulis di samping setiap deretan huruf pada optotip.
d
Visus = -----------------
D
Keterangan :
V = visus
d = jarak antara orang coba dengan optotip (6 m)
D = deretan huruf pada optotip yang dapat dibaca
dengan jelas (60 m, 30 m, 20m, 15 m, 12 m, 9 m, 7,5 m, 6 m, 5 m).
Pemeriksaan visus dilakukan pada masing-masing mata secara terpisah. Pada saat
memeriksa visus mata kanan (visus OD/ VOD) maka mata kiri harus ditutup dengan telapak
tangan kiri pasien atau dengan bantuan okluder. Pada saat memeriksa visus mata kiri (visus
OS/ VOS) maka mata kanan harus ditutup dengan telapak tangan kanan pasien atau dengan
bantuan okluder.
Huruf teratas (terbesar) pada optotip Snellen mempunyai lebar balok 1,8 cm,
sedangkan huruf yang harus bisa dibaca orang normal pada jarak 6 meter (huruf ke delapan)
mempunyai lebar balok 1,8 mm. Huruf teratas pada jarak 60 meter mempunyai lebar balok
sesuai dengan sudut visual 1 menit. Sedangkan panjang balok mempunyai sudut visualis 5
menit. Demikian pula untuk huruf-huruf lain, besar sudutnya adalah 1 menit dan 5 menit
apabila dilihat dari jarak yang tertulis dalam kartu Snellen.
Gambar 6. Pemeriksaan visus mata kanan (mata kiri ditutup) dengan kartu Snellen
Untuk memeriksa visus, mata diperiksa satu per satu, mata kanan terlebih dahulu
diperiksa, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan telapak tangan atau penutup mata
(occluder) yang dipasang pada bingkai kaca uji coba. Apabila pada jarak 6 meter (kamar
periksa) pasien mampu melihat huruf atau angka urutan:
1. Pertama (paling atas), maka visusnya 6/60
2. Kedua dari atas, maka visusnya 6/30
3. Ketiga dari atas, maka visusnya 6/21, begitu seterusnya kalau dapat melihat urutan:
4. Kedelapandan dari atas, maka visusnya 6/6 (normal).
5. Kesembilan dari atas, maka visusnya 6/5.
Penulisan visus tidak boleh disingkat, akan tetapi harus ditulis sebagai bilangan pecahan
dengan pembilang (d) yang tetap yaitu 6 (enam). Sebagai contoh visus 6/30, artinya pasien
hanya mampu membaca dengan benar huruf-huruf pada optotip Snellen pada baris ke 2,
sedangkan huruf-huruf pada baris dibawahnya tidak mampu dibaca oleh pasien. Visus 6/30
juga mengandung arti bahwa pasien hanya mampu melihat huruf-huruf Snellen baris ke dua
pada jarak 6 meter, padahal seharusnya pada orang normal mampu melihatnya pada jarak 30
meter.
Kalau huruf paling atas dari optotip Snellen tidak dapat dibaca, artinya visus pasien
kurang dari 6/60, maka pasien diperiksa dengan cara menghitung jari pemeriksa. Pasien
diminta menghitung jari pada jarak 5 meter, 4 meter, 3 meter, 2 meter, dan 1 meter. Apabila
pasien dapat melihat jari pada jarak 3 meter, berarti visusnya adalah 3/60 dan apabila hanya
mampu menghitung jari pada jarak 1 meter, maka visusnya adalah 1/60. Apabila pasien tidak
mampu menghitung jari pada jarak 1 meter, berarti visusnya lebih buruk dari 1/60.
Pemeriksaan harus dengan lambaian tangan. Pasien diminta menunjukkan arah lambaian
tangan, kiri ke kanan atau atas ke bawah. Apabila pasien mampu menyebutkan arah lambaian
tangan dengan benar, maka visusnya adalah 1/300. Apabila pasien tidak mampu
menunjukkan arah lambaian tangan karena pasien tidak mampu melihatnya, berarti visusnya
< 1/300. Pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan rangsang cahaya sentolop (senter)
pada jarak 1 meter. Apabila pasien bisa melihat cahaya senter, maka visusnya adalah 1/~
(seper tak terhingga) disebut juga dengan light perception (LP). Apabila pasien tidak mampu
melihat cahaya dari sorotan senter, maka visusnya adalah 0 (nol), disebut juga dengan no
light perception (NLP).
Beberapa istilah yang perlu diketahui:
1. AV = acies visus; sering disingkat dengan V = visus
2. VOD = visus oculi dextra
3. VOS = visus oculi sinistra
4. VOU = visus oculi unite, artinya visus pada saat kedua mata diperiksa secara bersamaan=
VODS
5. CF1 = counting fingers 1 meter, atau visus 1/60
6. HM 1 = hand motion atau hand movement 1 atau visus 1/300
7. LP = light perception atau visus 1/~ (seper tak terhingga)
8. NLP = no light perception atau visus 0 (nol).
1. Emetrop adalah suatu keadaan dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga
(yang berasal dari obyek yang berjarak sama atau lebih panjang dari 6 meter) difokuskan
tepat di retina dalam keadaan mata tanpa akomodasi.
2. Miop atau miopia adalah suatu keadaan dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga (yang berasal dari obyek yang berjarak sama atau lebih jauh dari 6 meter)
difokuskan di depan retina, sehingga sinar yang sampai di retina adalah sinar yang sudah
disebarkan kembali (pasca fokus). Kelainan ini dapat dikoreksi dengan lensa sferis minus
(-) terkecil yang memberikan visus terbaik.
3. Hipermetrop atau hipermetropia adalah suatu keadaan dimana sinar sejajar yang datang
dari jarak tak terhingga (yang berasal dari obyek yang berjarak sama atau lebih jauh dari
6 meter) difokuskan maya di belakang retina dalam keadaan mata tanpa akomodasi,
sehingga sinar yang jatuh di retina adalah sinar yang belum terfokus (pre fokus). Kelainan
ini sering masih dapat diatasi dengan akomodasi, sehingga tidak menyebabkan keluhan
penglihatan kabur. Hipermetrop yang masih dapat diatasi dengan akomodasi disebut
hipermetrop fakultatif. Hipermetrop yang tidak dapat diatasi dengan akomodasi disebut
hipermetrop absolut. Hipermetrop fakultatif bersama-sama dengan hipermetrop absolut
disebut sebagai hipermetrop manifes. Hipermetrop laten adalah hipermetrop yang
secara fisiologis diatasi oleh tonus otot siliaris. Gabungan antara hipermetrop manifes dan
hipermetrop laten disebut sebagai hipermetrop total. Kelainan ini dapat dikoreksi
dengan lensa sferis plus (+) terbesar yang memberikan visus terbaik.
4. Astigmat atau astigmatisma adalah suatu keadaan dimana sinar sejajar yang datang dari
jarak tak terhingga tidak difokuskan berupa satu titik, akan tetapi berupa suatu garis. Hal
ini disebabkan oleh karena adanya kelainan pada kelengkungan (kurvatura) pada meridian
dari kornea mata. Kelainan ini dikoreksi dengan lensa silindris sesuai dengan aksisnya.
Adanya kelainan ini perlu dipikirkan, jika pada koreksi dengan lensa sferis (+) maupun
lensa sferis (-) tetapi visus tidak dapat mencapai 6/6. Visus membaik dengan koreksi
lensa silinder sesuai dengan aksisnya.
Status Refraksi
1.Emetrop
Seseorang yang memiliki visus 6/6 belum tentu status refraksi matanya adalah
emetrop. Untuk mengetahui emetrop atau bukan, maka pasanglah lensa sferis positif (+) 0,50
Dioptri. Jika setelah dipasang lensa visus S+ 0,50 menjadi kurang dari 6/6, maka refraksi
mata orang tersebut betul-betul emetrop, sedangkan jika visus masih tetap 6/6 setelah
dipasang lensa S+ 0,50 berarti ada akomodasi pada waktu melihat jauh (hipermetrop
fakultatif).
DAFTAR TILIK
PEMERIKSAAN VISUS
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bias dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek persiapan pemeriksaan
1 Menyiapkan kertas Optotip Snellen pada jarak 6 m
2 Mengatur penerangan yang cukup
Aspek pemeriksaan
1 Meminta pasien menutup mata yang tidak diuji ditutup
menggunakan tangan (tidak boleh ditekan), mata kanan
diperiksa terlebih dahulu
2 Meminta pasien untuk membaca huruf yang tertulis pada
optotip Snellen mulai dari deretan yang paling atas ke
bawah sampai deretan huruf terkecil yang masih dapat
dibaca tanpa melakukan kesalahan.
3 Mengulangi untuk mata yang lain
4 Menginterpretasikan hasil pemeriksaan
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
DAFTAR TILIK
PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR MATA, TEKANAN BOLA MATA
DAN SEGMEN POSTERIOR MATA
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek persiapan pemeriksaan
1 Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan
2 Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan pada jarak dalam
jangkauan lengan pemeriksa
Aspek pemeriksaan palperbra dan apparatus lakrimlis
1 Periksa keadaan kulit palpebra, fissura palpebra,
simetrisitas, arah dari margo palpebra.
2 Periksa bulu mata superior dan inferior (teratur atau tidak,
ada kotoran?), arah pertumbuhan bulu mata
3 Perika muara saluran lakrimal (punctum lakrimal) pada
margo palpebra bagian nasal (atas dan bawah), ada atau
tidak, membuka atau tertutup
4 Periksa kulit diatas sakus lakrimalis, apakah terdapat
benjolan (nyeri tekan atau tidak), tanda radang, fistula
Aspek pemeriksaan Segmen Anterior
1 Mintalah pasien memandang luruh kedepan, kemudian
periksa konjungtiva bulbi
2 Periksa konjungtiva palpebra inferior, mintalah pasien
melihat ke atas, tekan kelopak mata bawah ke arah bawah
dengan jempol pemeriksa
3 Periksalah konjungtiva palpebra superior, mintalah pasien
melihat ke arah bawah, gunakan jempol dan telunjuk
pemeriksa untuk membalik kelopak superior
4 Periksalah kornea dengan menggunakan cahaya senter
dari depan dan dari samping
5 Periksalah bilik mata depan (KOA) dengan cahaya senter
dari depan dan dari samping
6 Periksalah pupil, refleks pupil direk dan indirek.
Refleks direk mata kanan diperiksa dengan menyorotkan
cahaya senter ke mata kanan dan amati pupil akan miosis
pada mata tersebut.
Refleks indirek mata kanan diperiksa dengan menyorotkan
cahaya senter pada mata kiri, amati pupil mata kanan akan
miosis
Kurikulum Berbasis Kompetensi FK ULM TA 2017/2018 hal 29
Modul KKD 2 Blok Keluhan Berkaitan dg Sistem Sensoris & Integumentum
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
Referensi
AAO. 2004 - 2005. Fundamentals of Ophthalmology. BCSC Sec-2. AAO - San Francisco
Agni AN, Kanapsiah MS, Claramita M, Luthansa N. 2009. Communication for Sensitive
Case & Examination of The Eye. Skills Laboratory Manual 5th Edition. FK UGM,
Yogyakarta.
Berry M, Bannister LH, Standring SM. 1996. Gray’s Anatomy: Nervous System. CV Mosby
Company, St. Louis.
Hartono, Suhardjo. Editor. 2009. Ilmu Kesehatan Mata. FK UGM Press. Yogyakarta.
Hartono, Ali-Faisal M, Meida NS. 2011. Ilmu Penyakit Mata dalam Bentuk Tanya Jawab
Essai. Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.
Olver J, Cassidy L. 2005. Ophthalmology at Glance. Blackwell Science Asia Pty Ltd, 550
Swaston street, Carlton Victoria 3053, Australia.
Pepose JS. 1992. The Cornea. In Hart WM (Ed): Adler’s physiology of the eye: Clinical
application, 9th edition. St. Louis: The CV Mosby.
Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. 1992. General ophthalmology, 9th ed. Lange Medical
Publication, Los Altos, California.
Nyeri Telinga
Pendahuluan
Nyeri telinga merupakan keluhan yang sering ditemukan pada pelayanan praktek
primer, baik untuk anak maupun dewasa. Pada sampel random dari 411 orang di Finlandia,
7,5% laki-laki dan 23,4% perempuan pernah mengalami nyeri telinga yang tidak
berhubungan dengan infeksi telinga dalam 6 bulan. Penyebab nyeri telinga mungkin dapat
berasal dari telinga, di sekitar telinga atau nyeri hantar dari tempat lain. Pada sebagian besar
kasus, anamnesis yang tepat mempersempit kemungkinan factor penyebab. Pemeriksaan fisik
sangat penting. Sebagian besar penyebab nyeri telinga local menghasilkan temuan fisik yang
spesifik, sedangkan pemeriksaan telinga dan struktur langsung di sekitarnya pada umumnya
normal pada kasus nyeri hantar.
Sebagian besar kasus, penyebab nyeri telinga dapat dilokasisakan dan terbagi dalam
masalah telinga luar dan masalah telinga dalam. Masalah telinga luar berlokasi di luar
membran timfani. Masalah ini bisa berupa otitis eksterna, benda asing di liang telinga,
serumen dan mastoiditis. Kadang-kadang, furunkel dapat menyebabkan nyeri telinga.
Masalah telinga dalam terletak pada membran timfani atau lebih dalam. Masalah ini termasuk
otitis media akut - penyebab utama nyeri telinga -, disfungsi tuba eustachii. Cedera
membrane timfani, yang dapat terjadi akibat barotraumas atau cedera langsung pada telinga
juga dapat menyebabkan nyeri telinga.
Nyeri telinga dapat berasal dari tempat yang jauh. Pada beberapa kasus, nyeri yang
menjalar ke telinga berasal dari saraf. Persarafan sensoris telinga adalah hal yang kompleks,
melibatkan saraf vagus, glosofaringeus, trigeminus, fasialis, dan komponen akar saraf
sensoris servikal (C2 dan C3). Hal ini menyebabkan berbagai kondisi dapat menyebabkan
nyeri yang menjalar ke telinga termasuk disfungsi sendi temporo-madibular, proses pada gigi,
gangguan saraf cranial, dan penyakit di dasar lidah, laring atau hipofaring.
Anamnesis
▪ Seperti biasa, pendekatan awal harus open-ended. Biarkan pasien atau orangtua
menceritakan keluhannya.
▪ Dengan anak-anak, orang tua atau perawatnya dapat menjadi sumber anamnesis.
Tanyakan mengapa dia yakin bahwa anak tersebut mengalami nyeri telinga.
▪ Pastikan lama nyeri telinga, gejala yang berhubungan dan factor pencetus karena
berbagai penyebab nyeri telinga sering dapat dibedakan dari 3 faktor ini.
Penting untuk membedakan nyeri telinga akut dan sub akut dari nyeri telinga kronis.
Secara umum, pasien dengan nyeri hantar mengeluhkan nyeri selama berbulan-bulan atau
tahunan. Pengecualian untuk nyeri hantar dari abses molar 3, yang memiliki onset akut.
Karena beberapa penyebab umum nyeri telinga adalah infeksi, pertimbangkan infeksi
pada awal anamnesis. Adanya demam mempersempit kemungkinan diagnosis. Adanya gejala
lain dari infeksi saluran napas atas (seperti nyeri tenggorokan, kongesti hidung, atau batuk)
mengindikasikan otitis media atau otitis serous. Alergi musiman dapat menjadi faktor
predisposisi pada otitis serous dan otitis media yang membahayakan fungsi tuba eustachii.
Umur pasien adalah pertimbangan yang penting dalam menentukan kemungkinan
penyebab paling mungkin dari nyeri telinga. Otitis media akut sampai saat ini merupakan
penyebab utama nyeri telinga pada anak tetapi jarang ditemukan pada orang dewasa. Nyeri
hantaran sangat jarang pada anak, tetapi relatif sering pada orang dewasa dan meningkat
sesuai dengan usia.
Kehilangan Pendengaran
Pendahuluan
Kehilangan pendengaran merupakan kondisi kronis paling sering ketiga pada orang
Amerika usia tua setelah hipertensi dan arthritis. Prevalensinya meningkat sesuai dengan
usia; antara 25% dan 40% pasien berusia lebih dari 65 tahun terkena. Penyebab utama
kehilangan pendengaran - presbikusis dan kehilangan pendengaran akibat bising – jarang
dilaporkan, jarang terdiagnosis dan jarang diterapi. Penyebab kehilangan pendengaran ini,
jarang dikenali, dapat menyebabkan penurunan fungsi, isolasi social, dan depresi.
Pendekatan pada kehilangan pendengaran melibatkan 2 langkah kunci. Pertama,
menentukan adanya kehilangan pendengaran dan keparahannya menggunakan kuisioner.
Kedua, memfokuskan pada gejala yang membahayakan dan menentukan etiologi melalui
serangkaian pertanyaan spesifik.
Kehilangan pendengaran dikategorikan menjadi 2 tipe utama: konduktif dan
sensorineural. Sebagian besar pasien dewasa dengan kehilangan pendengaran di AS
mengalami tuli neurosensoris (>90% kasus). Presbikusis sejauh ini merupakan penyebab
utama tuli neurosensoris, diikuti dengan tuli akibat kebisingan. Tuli konduktif terjadi pada
<10% kasus ketulian. Penyebab utama tuli konduktif adalah serumen, otoskelorosis,
kolesteatoma, dan perforasi membrane timfani akibat otitis media kronis.
Anamnesis
▪ Pertama, mintalah pasien untuk mendeskripsikan tentang tuli yang dia alami.
▪ Kuisioner The Hearing Handicap Inventory for The Elderly Screening(HHIE-S)
merupakan alat standar untuk mengkonfirmasi dan mengetahui tingkat ketulian.
Diperlukan 2-5 menit untuk mengisi dan divalidasi dengan menggunakan audiometri.
Gunakan kuisioner ini dan nilai total mengindikasikan tingkat keparahan ketulian.
▪ Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pertanyaan global: “apakah anda mengalami
gangguan pendengaran?” mungkin lebih efektif dari HHIE-S dalam mengidentifikasi
ketulian pada orang tua.
▪ Sebelum menanyakan pertanyaan khusus, lihat kembali latar belakang pasien, yang
memungkinkan factor predisposisi tipe tertentu dari ketulian, seperti: umur, jenis kelamin,
dan factor lain (riwayat penyakit dahulu, pengobatan, riwayat keluarga, riwayat social dan
factor risiko presbikusis).
Tinnitus
Pendahuluan
Tinnitus adalah gejala yang umum ditemukan di pelayanan kesehatan, dengan
heterogenitas yang besar dalam hal kondisi, tingkat keparahan, dan etiologi. Tinnitus
dilaporkan oleh pasien sebagai berdering, berdengung, bersuit, berdenyut, bergumam, atau
bunyi pluit. Tinnitus dapat menyebabkan insomnia; kesulitan mendengar, kecemasan,
gangguan, frustasi, dan merasakan tidak adekuat, kecemasan social, atau kehilangan control.
Hanya 4-8% pasien dengan tinnitus melaporkan tinnitus sedang-berat yang mempengaruhi
kehidupan harian mereka.
Persepsi tinnitus sangat umum terjadi pada semua kelompok umur. Secara keseluruhan,
9% populasi di AS melaporkan tinnitus yang meningkat sesuai dengan usia. Tinnitus dan
ketulian berhubungan erat, meskipun ketulian 2-3 kali lebih banyak daripada tinnitus.
Tinnitus sangat berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan gangguan kepribadian lainnya.
Tetapi, masih belum jelas apakah depresi merupakan reaksi terhadap kecacatan yang
berhubungan dengan tinittus, atau jika depresi membuat persepsi terhadap tinnitus menjadi
makin buruk. Persepsi tinnitus pada pasien berubah oleh suara, tingkat stress, dan tingkat
bising.
Kerusakan system pendengaran konduktif dapat menyebabkan tinnitus bilateral jika
penyebabnya adalah lingkungan (paparan terhadap bising yang lama) atau sistemik (obat
yang merusak rambut kohlear). Biasanya, penyebab ini berhubungan dengan ketulian.
Tinnitus unilateral dengan tuli konduktif terjadi akibat kerusakan membran timfani, infeksi
telinga unilateral berulang, kerusakan tulang pendengaran, atau trauma. Tuba eustaschii
mencembung menyebabkan tinnitus tiup, karena membran timfani bergerak saat siklus
respirasi.
Beberapa gangguan kohlear berhubungan dengan tinnitus, seperti Meniere disease dan
labirintitis post infeksi kohlear. Selain itu, beberapa obat dapat merusak stereosilia kohlear.
Kerusakan stereosilia kohlear dapat bersifat revesibel. Emisi otoakustik spontan kohlea dapat
didengar dengan menempatkan mikrofon kecil pada saluran telinga pasien.
Semakin dekat fokal patologi ke telinga, semakin besar kemungkinan tinnitus terjadi
unilateral. Sebagai contoh; tumor yang tumbuh dari myelin saraf cranial 8 menyebabkan
tinnitus unilateral dan ketulian neurosensoris progerif. Lesi myelin atau akson otak dapat
menyebabkan tinnitus bilateral, ketika jalur auditorius bergabung dengan korteks, kondisi ini
sering ditemukan dengan deficit neurologis lainnya.
Setelah trauma kepala atau infeksi saraf pusat, tinnitus dapat terjadi karena sensitivitas
sesudah reorganisasi korteks. Normalnya, manusia menjadi terbiasa dengan kebisingan
melalui mekanisme umpan balik sentral negative; sehingga disinhibisi auditori dapat
menyebabkan tinnitus bilateral sentral. Tinnitus sesudah paparan bising dapat menyebabkan
dukungan pada emosi negative (takut, cemas dan tegang), memicu system limbic dan saraf
otonom, menyebabkan episode takut berulang. Akhirnya, kadar serotonin yang rendah dapat
berperan pada tinnitus dan depresi.
Anamnesis
▪ Pertanyaan awal harus pertanyaan terbuka
▪ Biarkan pasien atau (orangtua) bercerita
▪ Selama anamnesis, tentukan apakah tinnitus bilateral atau unilateral, berdenyut atau tidak.
Tentukan apakah pasien mengalami ketulian. Pada riwayat pengobatan, ingatlah bahwa
baik kecemasan maupun depresi telah berhubungan dengan tinnitus persepsi. Tanyakan
riwayat infeksi telinga kini atau masa anak. Tentukan kondisi yang berhubungan seperti
aterosklerosis. Apakah pasien hamil? Jika mungkin, minta pasien untuk membawa
seluruh obat yang dikonsumsi termasuk obat yang dibeli bebas dan obat tradisional. Pada
riwayat social, tentukan hobby pasien, music yang disenangi, dan pekerjaan. Tentukan
tingkat, kekerasan dan tingkat kronisitas paparan terhadap bising dan apakah pasien
menggunakan alat pelindung telinga. Pada anamnesis kerja, tentukan apakah pasien
terpapar terhadap bahan kimia ototoksik. Kadang-kadang, riwayat keluarga dapat
menunjukkan otosklerosis atau sindrom neurofibromatos.
Nyeri Tenggorokan
Pendahuluan
Nyeri tenggorokan merupakan alas an ke enam tersering untuk mencari perawatan
oleh pasien rawat jalan tahun 2000, 2,1% dari seluruh pasien rawat jalan di AS. Meski istilah
nyeri tenggorokan dihubungkan dengan faringitis, nyeri tenggorokan sering disebabkan oleh
sebab lain. Sebagian besar kasus adalah jinak dan dapat sembuh sendiri, tetapi nyeri
tenggorokan dapat menunjukkan gejala dari kondisi yang dapat mengancam jiwa dan
berbahaya.
Identifikasi dan pengobatan faringitis akut oleh streptococcus B hemoliticus group A
(GAS) mencegah gejala sisa supuratif yang jarang (abses peritonsiler, infeksi parafaring,
abses retrofaring, otitis media, sinusistis dan mastoiditis), mengurangi transmisi infeksi ini,
dan memperpendek waktu sakit 1-2 hari. Tetapi, meski tanpa antibiotic, sebagian besar kasus
faringitis GAS dapat sembuh setelah 7-10 hari. Faringitis GAS dapat menyebabkan demam
rematik akut (ARF) dan antibiotic telah terbukti menurunkan risiko ini. Glomerulonefritis
paska streptococcus adalah komplikasi yang sangat jarang akibat faringitis GAS, tetapi
antibiotic belum terbukti menurunkan insidensi ini.
Gejala klasik faringitis GAS adalah onset mendadak nyeri tenggorokan, odinofagi,
demam >1010F, nyeri abdomen, nyeri kepala, mual dan muntah. Batuk, rinorrhoea, dan diare
tidak ditemukan. Pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah faring eritem
dengan eksudat, petike pada palatum, dan adenopati servikal. Sayangnya, ada manifestasi
klinis yang tumpang tindih antara faringitis GAS dan non streptococcus.
Diagnosis banding untuk nyeri tenggorokan sangat banyak. Prevalensi untuk semua
kasus belum diketahui dengan baik. Sebagian besar kasus faringitis non GAS bersifat jinak,
tetapi ada pengecualian yang sering dilupakan. Dokter harus memperhatikan bahwa gejalanya
kompleks. Komplikasi infeksi orofaring supuratif berat dapat memunculkan gejala nyeri
tenggorokan. Biasanya ada riwayat infeksi mulut dan faringitis. Infeksi ini biasanya dapat
menyebar ke ruang peritonsil, ruang parafaring, ruang sub mandibula dan ruang retrofaring.
Penyebab nyeri tenggorokan non infeksi adalah iritasi asam pada faring dan laring karena
penyakit refluk gastroesofaeal, post nasal drip (karena sinusitis atau rhinitis alergi) dan
keganasan leher dan kepala. 15-50% pasien mengeluh nyeri tenggorokan paska operasi.
Anamnesis
▪ Gunakan pertanyaan terbuka untuk menentukan gejala dan kronologis penyakit
▪ Jika pasien mengeluhkan demam, rinorrhoe, adenopati, malaise, mialgia atau sakit kepala,
pikirkan kemungkinan infeksi. Arahkan pertanyaan kita untuk menentukan penyebab
infeksi spesifik dan keparahan penyakit:
• Tanyakan tentang gejala yang mengancam (contoh trismus, hipersalivasi, dan napas
pendek)
• Tanyakan tentang riwayat hubungan seks untuk menentukan apakah pasien memiliki
risiko terkena penyakit akibat seks (herpes, go, sifilis, HIV akut)
• Lakukan pemeriksaan sistemik untuk mendeteksi gejala lain yang mungkin
berhubungan dengan penyakit sistemik yang menyerupai penyakit infeksi.
▪ Selalu tanyakan riwayat pengobatan di masa lampau, dan riwayat social termasuk
penggunaan obat, tembakau, dan bahan lainnya.
DAFTAR TILIK
ANAMNESIS GANGGUAN DAN PENYAKIT THT
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama pasien (nyeri telinga, penurunan
pendengaran, tinnitus dan nyeri tenggorokan)
3 Nyeri telinga:
▪ Apakah bersifat akut atau kronis?
▪ Apakah ada demam, ISPA dan anak menarik telinga?
▪ Apakah nyeri :
o Nyerinya hebat? Akibat penjalaran?
o Apakah ada nyeri pada sendi rahang?
o Apakah disertai bengkak di belakang telinga?
▪ Apakah keluar cairan?
▪ Apakah ada riwayat trauma?
▪ Apakah ada tanda yang membahayakan (penurunan berat badan,
cairan telinga yang menetap, kaku rahang)?
4 Penurunan pendengaran:
▪ Apakah bersifat mendadak atau perlahan-lahan?
▪ Apakah satu atau dua sisi?
▪ Apakah disertai demam?
▪ Apakah ada riwayat trauma?
5 Tinnitus:
▪ Apakah berdenyut atau tidak?
▪ Apakah satu atau kedua sisi?
▪ Apakah menetap atau temporer?
▪ Apakah ada gangguan saraf otak?
▪ Apakah ada tanda-tanda infeksi telinga?
▪ Apakah disertai dengan penurunan pendengaran? Berlanjut atau
menetap?
6 Nyeri tenggorokan:
▪ Apakah ada tanda-tanda infeksi faring?
▪ Apakah aktif secara seksual?
7 Menggali riwayat penyakit/pengobatan:
• Ada tidaknya penyakit sistemik (diabetes, hipertensi, dll)
• Ada tidaknya penggunaan obat topikal dan sistemik
8 Membuat resume anamnesis
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
TELINGA
A. INSPEKSI TELINGA LUAR (AURIKULA ATAU PINNA)
Kedua telinga harus simetris dalam hal kesejajarannya pada kepala dan ukuran serta
bentuknya. Perhatikan telinga sebagai salah satu pasangan dan kemudian periksa setiap
telinga secara tersendiri lihat gambar 1 (untuk terminologi anatomis dan hubungan
normalnya). Telinga luar sebagian besar tersusun dari tulang rawan yang tertutup dengan
kulit dan merupakan struktur yang setengah kaku. Lobus telinga bebas dari tulang rawan dan
dibuat dari jaringan penyambung lunak dan kulit. Amati adanya pembengkakan, kemerahan,
atau lesi kulit. Lihat dengan cermat di belakang tiap aurikula adanya retakan, eritema atau
ekskoriasi. Penampilan telinga luar (aurikula/ pinna)sangat bervariasi
Sedikit tidak simetris merupakan hal yang biasa. Sejumlah malformasi kongenital tidak
mempunyai arti dalam fungsi. Hal ini meliputi pinna yang sangat kecil (makrotia), protrusi
kedua pinna pada sudut kanan kepala, dan variasi-variasi dalam bentuk dari masing-masing
bagian-bagian telinga luar. Normalnya, manipulasi pada pinna tidak normal.
Pendengaran secara normal sama pada kedua telinga. Dengan melengkapi riwayat
medis, pemeriksa harus mempunyai perasaan yang baik tentang ketajaman pendengaran
pasien, baik dari diskusi langsung tentang persoalan dan dari pengamatan yang dibuat selama
riwayat. Jika dari pertanyaan tentang ketajaman pendengaran, pemeriksaan secara kasar dapat
menyokong adanya kehilangan pendengaran; tugas kemudian berubah utnuk menentukan
apakah kehilangan pendengaran ini bilateral atau unilateral dan apakah ini berhubungan
dengan kerusakan saraf disfungsi osikel, atau penyakit pada telinga tengah. Ingat bahwa
beberapa penurunan pendengaran biasanya ditemukan akibat penuaan; keadaan ini menjadi
lebih dari suatu variasi yang normal bila mengganggu fungsi pasien. Gangguan pendengaran
pada orang dewasa sehat yang paling sering adalah disebabkan oleh akumulasi serumen
(lilin) dalam saluran telinga. Variasi yang normal ini dengan mudah ditemukan dan
diperbaiki selagi pemeriksaan otoskopik dimulai.
C. PEMERIKSAAN OTOSKOPIK
C.1 Saluran Telinga
Saluran telinga merupakan perluasan kedalam dari pinna, kurang lebih 2,5 cm
panjangnya. Saluran ini berakhir sebagai jalan buntu yang diblok oleh membran timpani.
Inspeksi awal dengan penarikan pinna ke atas dan ke belakang serta ujung spekulum otoskop
tepat pada pinggir saluran akan menampakkan lapisan halus saluran yang normal berwarna
merah muda. Ketajaman sudut pada saluran telinga bervariasi menurut individu, dan jadi
jumlah “tarikan” pinna dan manipulasi-spekulum (selalu di bawah pengawasan langsung)
akan bervariasi. Tidak ada bagian dari pemeriksaan ini yang nyeri. Jika nyeri, berarti
tekniknya tidak benar, spekulum yang digunakan terlalu besar, atau kondisi patologik. Jika
pandangan saluran dihambat oleh serumen yang sangat lunak dan cair, serumen itu dapat
dikeluarkan dengan halus dengan memakai ujung kapas lidi. Jika serumen masih tidak dapat
dikeluarkan dengan cara seperti itu dan masih menghalangi pandangan saluran dan atau
membran timpani, prosedur sebagai berikut dapat diindikasikan: (a) pengeluaran serumen
yang mengental dengan spatula telinga; atau (b) perlunakan serumen dengan zat kimia
dengan produk seperti Debrox dan sesudahnya irigasi air hangat dengan semprit. Tidak ada
dari prosedur ini untuk dilakukan oleh pemeriksa yang tidak berpengalaman tanpa supervisi
langsung dari seorang yang berpengetahuan banyak tentang metode-metode ini,
kontraindikasi potensial untuk penggunaannya, serta komplikasi-komplikasinya.
Sebuah spekulum otik ditempatkan dimuka otoskop. Pasien diperingatkan bahwa pada
pemeriksaan ini diperlukan penginserasian spekulum dan diminta untuk memberitahukan jika
merasa tidak enak (Gambar 2). Pemeriksaan liang telinga pada orang dewasa mulai dengan
memegang heliks aurikula dan menariknya ke arah belakang atas. Kedua pergerakan ini
menurunkan lengkungan liang telinga luar untuk memudahkan pemasukan spekulum otik dan
memberikan petunjuk terhadap adanya nyeri tekan yang menunjukkan adanya peradangan
saluran telinga. Dengan aurikula yang cukup teregang, spekulum dimasukkan, dibawah
pengamatan yang langsung dan tetap, melalui apertura ke dalam liang telinga (Gambar 3).
untuk mengadakan gerakan sekeliling struktur lunak saluran anterior, spekulum pada awalnya
diarahkan 10 derajat posterior terhadap bidang koronal dan digeser sebagaimana ditunjukkan
oleh angulasi saluran sampai membran timpani (gendang telinga) terlihat (Gambar 4).
Selagi saluran telinga dilewati, diinspeksi adanya sisik, eritema, titik perdarahan, atau
sekret. Serumen setiap saat dapat sebagian atau seluruhnya menghalangi pandangan terhadap
saluran atau membran timpani.
Gambar 2. Posisi otoskop pada inspeksi telinga; perhatikan traksi keatas dan kebawah, pada
aurikula untuk memudahkan insersi spekulum kedalam liang telinga luar
melintasi liang telinga dan memisahkan bagian telinga luar dengan telinga tengah. Berwarna
abu-abu coklat sampai merah muda putih, dengan ujung tulang maleus (umbo) terlihat
sebagai titik pusat yang putih terang. Pada arah inferoanterior dari umbo adalah refleks
cahaya membran timpani normal yang berbentuk kerucut. Hal ini juga terlihat sebagai
“sepotong pie” yang putih dan bersinar yang memancar dari “cheri putih” yang terbentuk
pada apeks maleus. Anterio-superior terhadap handle maleus merupakan bagian flasid dari
membran, sementara pada bagian posterior terhadap handle maleus terletak pars tensa.
Istilah-istilah ini menerangkan mobilitas dibandingkan dengan struktur-struktur yang secara
anatomis benar-benar terpisah (Gambar 4). Inspeksi liang telinga dan membran timpani harus
meliputi pengamatan terhadap warna, translusen dengan opasitas, petunjuk anatomis normal
yang dapat dilihat, nyeri pada manipulasi, sekret, atau perbedaan antara satu sisi dengan sisi
lainnya yang dapat dilihat gambaran ketidaksimetrisan.
HIDUNG
Kisaran bentuk normal hidung sangat luas, dengan hidung yang menjadi satu dari
karakteristik wajah yang menampilkan rupa tersendiri. Hidung yang “bengkok” dapat
kongenital atau akibat dari fraktur lama. Tes penciuman akan membantu untuk menentukan
apakah dan dimana deviasi hidung telah menyebabkan deviasi disfungsi (obstruksi) dari satu
jalan napas dan diindikasikan secara khusus jika septum terlihat tidak di tengah. Kedua
cuping hidung harus kurang lebih sama dalam hal potensi untuk jalan udara. Diskrepansi
menunjukkan pemeriksaan untuk menginspeksi dengan cermat adanya deviasi septum yang
ekstrim, polip, atau konka yang melebar sebagai dasar gangguan pergerakan udara.
Mukosa hidung normal berwarna merah muda dan bercahaya. Kubah hidung
mempunyai bulu yang terlihat, tetapi harus tidak ada sekret selain daripada lapisan tipis dari
mukus yang jelas pada permukaan mukosa. Selama infeksi saluran napas atas, mukosa
hidung dapat bengkak dan nampak teriritasi dengan adanya mukus kuning bilateral; rinitis
alergika tampak sebagai mukosa yang sangat pucat dan sembab dengan peningkatan sekret
encer. Konka berwarna sama dengan mukosa di sekelilingnya dan harus tidak cukup besar
untuk mengobstruksi jalan napas. Pembesaran konka tidak simetris yang nyata dapat,
sesungguhnya, menjadi polip ketika pemeriksaan yang lebih cermat dengan spekulum. Pus
dalam rongga hidung memberi kesan adanya sinusitis purulenta.
Hidung memungkinkan lewatnya, pelembaban, dan penghangatan udara yang dihirup
ke dalam nasofaring; sensor pada hidung mengirimkan data kepada saraf olfaktorius
mengenai bau; merupakan jalan keluar dari drainase sinus paranasal dan nasolakrimalis.
INSPEKSI
Perhatikan hidung akan sentralitasnya, konfigurasi umum, dan permukaan kulitnya.
Hidung jarang simetris sebagai struktur dari wajah. Sebagian besar hidung berdeviasi ringan
pada satu sisi atau sisi lainnya atau mempunyai sebuah tonjolan tulang atau tulang rawan
pada garis tengah. Dokter memperhatikan septum nasi dan hubungannya dengan jalan udara
bebas pada kedua sisi. Dengan menekan masing-masing lubang hidung secara bergantian dan
meminta pasien untuk menghirup udara melalui lubang hidung sebelahnya yang terbuka
dibuat perkiraan kepatenan hidung. Lubang hidung diperhatikan akan adanya sekret atau lesi
kulit.
Inspeksi jalan napas dipermudah dengan meminta pasien untuk menengadahkan
kepalanya kebelakang selagi pemeriksa dengan lembut menekan ujung hidungnya keatas.
Tindakan ini akan membentangkan cuping hidung dan melebarkan lubang hidung. Cahaya
yang disorotkan kedalam lubang hidung akan menampakkan warna dan konsistensi mukosa
hidung, deviasi septum mayor, dan sekret mukosa.
Inspeksi lebih lanjut rongga hidung dapat dilakukan dengan spekulum hidung
berujung tumpul-juga ditambahkan plastik sekali pakai yang dimasukkan pada lampu optik
atau spekulum logam terpisah dengan sumber cahaya eksternal. Lubang hidung dengan
lembut dibentangkan dan selanjutnya dilakukan pengamatan :
• Mukosa : akan warna, sekret, tempat perdarahan
• Septum : akan sentralitas atau deviasi, akan integritas, akan karakteristik mukosa.
• Dinding lateral : akan konka; kedua konka yang terletak di bawah (konka inferior dan
konka medial) biasanya terlihat. Meatus di bawah tiap-tiap konka dipelajari untuk
mendeteksi adanya sekret. Karakteristik mukosa diperhatikan juga.
(Perhatikan : Pemeriksaan sinus-sinus wajah tidak dipertimbangkan secara umum sebagai
bagian dari pemeriksaan penyaring pada orang dewasa yang asimtomatik).
Gambar 5.A. Anatomi hidung luar, B. Gambar dinding lateral dari hidung bagian kanan
untuk menggambarkan hidung dan struktur yang berhubungan
TENGGOROKAN
LIDAH
Permukaan dorsal lidah yang normal sangat bervariasi. Papil pada beberapa lidah
menonjol; pada lainnya berbentuk beludru yang merata. Lidah yang disebut lidah geografik
merupakan satu variasi lidah yang mempunyai penampilan seperti sebuah peta – dengan
bercak-bercak putih permukaan lidah yang atrofi yang tersebar di antara daerah papil-papil
yang berwarna merah muda. Berdasarkan pengalaman, dengan inspeksi variasi yang normal
ini dapat dibedakan dari lidah berlapis dengan bercak-bercak karena jamur atau glositis yang
terlihat lainnya. Alur yang dalam dan tidak teratur pada permukaan dorsum lidah juga terlihat
sebagai variasi anatomis; pasien akan dapat melaporkan bahwa lidahnya selalu terlihat seperti
ini.
Sisi bawah lidah halus dan berkilau, dengan muara saluran kelenjar ludah yang
terlihat sebagai karunkula merah muda pada dasar frenulum. Bebasnya penjuluran dan
pengangkatan lidah merupakan fungsi dari panjangnya lidah dan perlekatannya pada mulut.
Individu yang lahir dengan frenulum yang pendek mungkin menjadi “lidah yang terikat”,
yaitu, mempunyai penjuluran yang terbatas. Hanya jika frenulum yang ketat dan pendek
menghambat cara bicara labial karena ketidakmampuan untuk menempatkan lidah dibelakang
gigi atas, maka kelainan ini harus dipertimbangkan untuk dikoreksi. Pada setiap kejadian,
penjuluran lidah harus simetris dan pada garis tengah. Pada keadaan,vena-vena kecil dan
berwarna hitam-ungu (kadang-kadang disebut “bintik-bintik kaviar”) dapat menonjol pada
sisi bawah lidah; ini dianggap normal kecuali jika ada dalam konteks indikasi lain obstruksi
vena lokal atau sindrom vena kava superior.
PALATUM
Mukosa atap dari mulut secara keseluruhan berwarna merah muda pucat berkilau.
Harus tidak ada lesi yang terlihat pada palatum. Suatu perkecualian adalah torus palatinus,
sebuah pertumbuhan tulang berlebihan yang jinak pada garis tengah palatum, biasanya terjadi
sejak masa anak-anak. Uvula, anggota palatum molle posterior yang menggantung dengan
panjang yang bervariasi dan biasanya pada garis tengah, kadang-kadang sebagian membelah
sebagai anomali kongenital (yang sangat berhubungan dengan submukosa palatum yang
membelah dalam berbagai derajat). Uvula mempunyai warna dan permukaan halus yang
sama seperti bagian palatum molle lainnya.
Gambar 6. Struktur anatomi rongga mulut seperti yang terlihat pada inspeksi
Inspeksi dan palpasi struktur mulut membutuhkan : (a) sumber cahaya yang terang,
juga lampu senter yang dapat dipegang atau lampu lantai; (b) spatel lidah untuk retraksi
jaringan lunak; (c) kasa segi empat untuk membantu inspeksi lidah; dan (d) sarung tangan
untuk palpasi struktur mulut.
Pasien duduk setinggi mata pemeriksa, dan sumber cahaya yang terang harus
dipersiapkan. Persediaan harus siap terletak dalam jangkauan.
Langkah-langkah inspeksi sebagai berikut :
1. Mulut pasien sedikit terbuka, bibirnya diinspeksi warnanya, lesi dan perdarahan.
Perhatikan sudut mulut akan integritas hubungan mukosa.
2. Mulut pasien terbuka lebar, rongga mulutnya dinilai sinar yang diarahkan ke belakang
menuju tenggorokan. Perhatikan permukaan dorsal lidah, palatum, durum dan
palatum molle, serta permukaan gingiva medial.
3. Gunakan spatel lidah, periksa tiap kuadran mukosa bukal dan gingiva. Perhatikan
juga keadaan umum gigi. Apakah ada karies atau bukti lainnya adanya perawatan gigi
yang buruk? Apakah ada permukaan mukosa yang pecah? Adakah eksudat?
4. Dengan cahaya yang disorot kepusat, minta pasien untuk mengangkat lidahnya
menuju atap mulut. Perhatikan warna dan vaskulator permukaan bawah mulut. Amati
adanya ulkus atau lapisan yang mengalami perubahan warna pada daerah ini dan pada
dasar mulut yang terpajan.
5. Dengan cahaya yang disorotkan ke posterior, pasien diminta untuk bernapas pendek
atau mengatakan “haaat”, dengan maksud untuk mengangkat palatum molle dan
mengkontraksikan otot orofaring.
6. Kenakan sarung tangan. Dengan tangan yang tidak dominan, pegang lidah dengan
kasa segi empat dan gerakkan lidah ke lateral untuk mengamati permukaan lateralnya
.
Langkah-langkah palpasi adalah sebagai berikut :
1. Dengan jari pemeriksa yang bersarung tangan, lidah dipalpasi untuk mengetahui
adanya pembengkakan, ketidakteraturan, atau nyeri tekan.
2. Pasien diminta untuk mengangkat lidahnya menuju atap mulut, dan dasar mulut
secara sistematik dipalpasi untuk mengetahui adanya massa atau nyeri tekan.
3. Jari telunjuk menyusuri sepanjang gingiva dan tepi palatum, mencari adanya massa
atau nyeri tekan yang sebelumnya tidak terdeteksi.
Orofaring
Orofaring merupakan penandaan suatu bentuk bulatan yang merupakan bagian
posterior dari rongga mulut yang dibatasi pada bagian anterior oleh arkus tonsilaris, inferior
oleh dasar lidah, posterior oleh otot-otot faring, dan superior oleh palatum molle dan
nasofaring. Seluruh permukaan mukosa yang terlihat halus berwarna merah muda, berkilau,
dan tidak mempunyai lesi maupun eksudat. Pada beberapa orang dewasa normal jaringan
tonsil yang masih ada terlihat menonjol dari belakang arkus tonsilaris anterior. Jaringan
massa limfoid ini dapat berbintik-bintik dengan kripta-kripta yang terlihat tetapi harus tidak
bereksudat (purulen) atau menjadi merah dan tidak mempunyai pembuluh darah yang
mencolok pada permukaan. Selama menderita penyakit infeksi virus saluran pernapasan atas,
mungkin didapatkan pembengkakan mukosa faring posterior dengan sedikit bercak-bercak
jaringan limfoid reaktif (adenoid). Hal-hal ini harus menghilang setelah infeksi sembuh,
walaupun pada beberapa orang dewasa jaringan kecil adenoid residual terlihat masih ada.
Sekret purulen yang jatuh ke dinding posterior faring memberi kesan adanya patologi pada
sinus atau nasofaring yang tidak terlihat.
Orofaring orang dewasa biasanya tanpa jaringan tonsil atau adenoid yang bermakna.
Arkus tonsilaris anterior memberi batas terpenting rongga mulut di mana tonsil terletak.
Biasanya, ada sedikit jaringan glandular atau tidak ada sama sekali pada penekanan di mana
pada satu waktu menjadi tempat tonsil. Faring posterior biasanya halus, berkilau, dan
berwarna merah muda. Elevasi subepitel yang ada pada dinding faring posterior biasanya
menunjukkan hiperplasi limfoid sekunder akibat infeksi virus lokal yang baru.
INSPEKSI
Perhatikan warna mukosa faring poterior, adanya vaskular hiperemi atau eksudat, dan
kehalusan permukaan mukosa.
PEMERIKSAAN
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan Telinga, Hidung, Mulut dan
Tenggorok disamping beberapa jenis instrumen (alat-alat) tertentu juga beberapa
persyaratan tertentu diantaranya:
1. Tempat / ruangan yang agak gelap.
Hal ini berbeda dengan pemeriksaan fisik pada umumnya dimana dibutuhkan tempat
yang cukup terang, tetapi untuk pemeriksaan THT yang terdiri dari bagian-bagiah
tubuh yang kecil dan letaknya tersembunyi, maka disamping diperlukan teknik
pemeriksaan yang tertentu, tempatnyapun harus agak gelap.
2. Seberkas sinar.
Hal ini dapat diperoleh dari alat-alat seperti:
a. Lampu kepala, besar kecilnya berkas sinar dapat diatur dengan lensa.
b. Cermin kepala, suatu Cermin sedikit cekung dengan lobang ditengah dan dilengkapi
dengan lampu. Kerugiannya dengan alat ini kita kurang dapat melihat dimensi
yang sempurna karena melihat hanya dengan satu mata
c. Alat-alatnya sendiri dilengkapi dengan lampu, yaitu merupakan alat pemeriksaan
secara langsung (direct) diantaranya Otoskopi Elektrik, Nasopharyngoskop,
Laryngoskop,Bronchoskop dan Oesophagoskop.
3. Posisi penderita dan pemeriksa.
Penderita dan pemeriksa duduk di kursi berhadapan menyerong dengan kedua lutut
masing-masing rapat. Penderita cukup memutar badan/kepala saja ke samping ke arah
sesuai dengan posisi yang diperlukan.
4. Fiksasi penderita.
Untuk memudahkan pemeriksaan perlu fiksasi penderita. Hal ini dapat dikerjakan
oleh pembantu atau dapat memakai headrest. Untuk penderita anak-anak apalagi yang
tidak kooperatif, fiksasi penderita penting selama pemeriksaan, demikian juga untuk
penderita bayi. Cara fiksasi penderita anak-anak yaitu :
▪ Anak dipangku oleh pembantu menghadap pemeriksa.
▪ Kedua kaki anak dirapatkan dan ditahan oleh kaki pembantu dengan cara menjepitnya
supaya tidak bergerak.
▪ Kedua tangan anak dipegang oleh satu tangan pembantu dengan cara menempatkan
kedua tangan tersebut dibelakang badan penderita, sedangkan satu tangan pembantu
yang lain memegang kepala anak pada posisi pemeriksaan yang diperlukan.
5. Alat-alat (instruments)
Pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok diperlukan alat-alat tertentu
tergantung pada jenis pemeriksaannya.
I. Telinga
1. Pemeriksaan morfologis
a. Bagian luar : inspeksi dan palpasi
b. Bagian dalam, otoskopi merupakan pemeriksaan canalis auditorius extemus
dan membrana tympani (Gambar 9).
2. Pemeriksaan fungsional, meliputi:
a. Tes pendengaran, terdiri dari :
▪ Voice test (tes bisik).
▪ Instruments test, terdiri dari Tes Garpu Tala berupa Tes Weber, Tes Rinne dan Tes
Schwabach, Audiometri dan Tympanometri
b. Tes keseimbangan, meliputi Tes statik, Tes kinetik dan Tes Rotasi
c. Tes fungsi tuba, meliputi Tes Valsave dan Tes Toynbee
3. Pemeriksaan penunjang, misalnya : Rontgenografi
Rhinoskopi posterior, yaitu pemeriksaan rongga hidung dari belakang (nares posterior).
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan hidung dan sinus paranasal di antaranya
lampu kepala, cermin tenggorok, spekulum hidung, spatel lidah, pinset hidung, lampu spiritus,
tang tampon, retractor palatum, pompa isap, dan spray tenggorok
2. Pemeriksaan sinus paranasal
a. Inspeksi dengan Rhinoskopi anterior, Rhinoskopi posterior dan Inspeks (cavum oris)
b. Palpasi dan perkusi
c. Alat elektrik dan rontgenologi berupa Transilluminasi/Diaphanoskopi dan Rontgen
foto sinus paranasal
.
Gambar 11. Palpasi dasar mulut, lidah dan leher
DAFTAR TILIK
PEMERIKSAAN THT
I. Persiapan
SKOR
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1. Mengetahui tempat ruangan pemeriksaan
2. Menggunakan sumber cahaya (lampu kepala)
3. Mengatur posisi pemeriksa dan fiksasi penderita
4. Mengenal alat-alat dan penggunaannya
sublingualis
2. Menekan 2/3 bagian depan lidah dengan spatula, tanpa
lidah harus di keluarkan dari mulut
3. Lakukan pemeriksaan Orofaring dan Nasofaring
Perhatikan : dinding belakang faring, hiperami, granula,
uvula, plica tonsilaris anterior et post, tonsila palatina,
peri tonsila infiltrat, peritonsilair absces, tumor cavum
oris
4. Lakukan pemeriksaan refleks muntah dengan membuka
Orofaring dengan menekan menggunakan spatula
kemudian menyentuhkan kapas pada daerah uvula dan
area palatummole
Keterangan :
2 = dilakukan dengan benar .
1 = dilakukan, tetapi kurang benar
0 = tidak dilakukan
Pendahuluan
Jamur atau fungi merupakan mikroorganisme bersifat parasit yang dapat
menyebabkan berbagai kelainan dan penyakit pada manusia, yang dikenal sebagai mikosis
(mycosis). Mikosis yang mengenai kulit dan jaringan di bawahnya ada dua bentuk yaitu
mikosis superfisialis dan mikosis subkutis.
Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang menyerang lapisan korneum dari
kulit, kuku dan rambut. Penyebab mikosis superfisialis ini terbagi menjadi jamur
dermatofitosis dan nondermafitosis. Jamur penyebaba dermatofitosis (kadas, kurap, ringworn,
tinea) terbagi menjadi 3 genus, yaitu:
a. Trichophyton (menyerang kulit, kuku, rambut).
b. Microsporum ( menyerang rambut dan kulit).
c. Epidermophyton (menyerang kulit dan kuku).
Mikosis subkutis adalah infeksi jamur yang menyerang lapisan kulit, mukosa dan
jaringan di bawah kulit, misalnya:
a. Phycomikosis subcutis, disebabkan oleh Basiodobolus ranarum dan B. meristophorus.
b. Mycetoma disebabkan oleh jamur golongan Schizomycophyta dan Eumycophyta.
c. Sporotrichosis oleh jamur Sporotrichum schenkii.
d. Chromomycosis oleh jamur golongan Dematiceae.
e. Rhinosporidiosis oleh jamur Rhinosporodium.
Pemeriksaan mikroskopik berperan penting dalam diagnosis infeksi jamur. Semua
bahan pemeriksaan untuk pembiakan jamur harus diperiksa secara mikroskopik untuk
melihat elemen jamur. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan informasi dini mengenai
kemungkinan jamur penyebab infeksi, sehingga dapat merencanakan penatalaksanaan lebih
lanjut, sambil menunggu hasil biakan jamur. Spesimen pemeriksaan tergntung dari tipe
penyakitnya. Spesimen untuk mikosis superfisialis dapat berupa kerokan kulit, potongan
kuku dan rambut, Spesimen untuk mikosis subkutis berupa pus (mycetoma) dan biopsi
(mycetoma, phycomikosis).
Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) merupakan pemeriksaan penunjang pada
jamur kulit. Prinsip larutan KOH adalah melarutkan keratin kulit, kuku atau rambut. Jenis
larutan KOH yang dipakai berupa KOH 10% (untuk kulit), KOH 20% (untuk rambut dan
kuku), KOH 10% dengan campuran tinta parker super-chroom blue black (untuk lesi kulit
yang diduga Pitriasis versikolor).
Pemeriksaan KOH bertujuan untuk melihat infeksi kulit oleh jamur sehingga pada
sediaan KOH diharapkan ditemukan hifa atau spora. Pemeriksaan KOH ini dapat dilakukan
oleh dokter, perawat atau teknisi laboratorium.
g. Cover glass
h. Bisturi nomor 20
i. Pinset
j. Lampu spirtus
k. Selotip transparan (celophan tape)
l. Pensil 2B atau marker permanen
m. Mikroskop cahaya (lensa objektif 10x dan 40x)
Prosedur Pemeriksaan
- Keroklah bagian bawah kuku yang rusak atau pada permukaan kuku yang rusak, bila
perlu guntinglah kuku yang rusak tersebut.
- Letakan hasil kerokan kuku atau hasil guntingan kuku di atas object glass.
- Beri keterangan pada preparat (nama dan lokasi pengambilan sampel)
c. Rambut
- Rambut yang sakit dicabut sampai akarnya dengan pinset.
- Letakan rambut tersebut diatas object glass atau petri disk
- Beri keterangan pada preparat (nama dan lokasi pengambilan sampel)
3. Pembuatan sediaan
- Teteskan 1-2 tetes larutan KOH di atas kerokan kulit/kerokan kuku/rambut yang ada
di atas object glass yang berisi sediaan yang hendak diperiksa.
- Tutup dengan cover glass.
- Diamkan selama 15 menit untuk melarutkan jaringan, atau untuk mempercepat
proses ini dapat dilakukan pemanasan sediaan di atas api kecil.
- Bila dilakukan pemanasan, panaskan dengan hati-hati, dengan melewatkan preparat
beberapa kali (biasanya 2-4 kali) di atas api lampu spirtus. Pada saat mulai keluar
uap (timbul gelembung pertama) dari preparat, pemanasan dihentikan. Bila terjadi
penguapan maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga hasil pemeriksaan tidak
sesuai tujuan yang diinginkan.
- Khusus untuk pemeriksaan Pitirisasis versikolor, dapat digunakan selotip
transparan untuk pengambilan sediaan. Caranya adalah melakukan penempelan–
pelepasan (stripping) berulang selotip transparan di atas lesi yang akan diperiksa,
setelah itu teteskan larutan KOH 10% dengan campuran tinta parker super-chroom
blue black di atas object glass yang sudah disiapkan, kemudian tempelkan selotip
transparan tadi diatas object glass tersebut. Untuk preparat dengan selotip transparan
tidak boleh dilakukan pemanasan di atas api.
- Preparat siap diperiksa dengan mikroskop.
4. Pemeriksaan sediaan
- Menggunakan lensa objektif 10x kemudian pembesaran 40x
- Cari apakah ada hifa dan spora yang tampak.
- Spora adalah alat reproduksi dari jamur. Spora tampak seperti bola-bola kecil dan
memiliki indeks bias yang berbeda dengan sekitarnya.
- Pada sediaan kulit dan kuku yang dicari adalah adanya hifa panjang bersepta dan
spora.
5. Interpretasi Hasil
Adanya infeksi jamur dapat terlihat jika pada sediaan didapatkan sel ragi, spora
dan/atau hifa.
Gambar preparatsediaan dari kulit
Spora
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. In : Djuana A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 2011. p. 34-42.
2. Wolf K, Goldsmith LA, I.Katz S, A.Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. Wolf K, Gilchrest BA, Paller AS, J.Leffel D, editors. New York: Mc Graw;
2008.
3. Cappucino JG, Sherman N. Microbiology, a laboratory manual. 10th Ed. Pearson
Benjamin Cummings, USA, 2013.
4. Larone DH. Medically Important Fungi, A Guide To Identification. 5t d Ed. American
Society forMicrobiology, Washington DC, 2011.
DAFTAR TILIK
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN KALIUM HIDROKSIDA (KOH)
KEROKAN KULIT, KUKU, DAN RAMBUT
Nilai
No. Aspek yang Dinilai
0 1 2
A. Persiapan Pengambilan Kerokan
Kulit/Kuku/Rambut
1 Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang
prosedur tindakan pengambilan kerokan
kulit/kuku/rambut, mintalah kesediaan lisan pasien
untuk pemeriksaan ini.
2 Siapkanlah semua alat dan bahan yang diperlukan di
atas meja dekat pasien
3 Tuliskanlah nomor register/data pasien pada bagian
belakang atau bagian buram kaca benda, cawan petri
atau di bagian luar lipatan kertas steril.
4 Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring
(tergantung pada lokasi pengambilan specimen)
5 Lakukanlah cuci tangan rutin/medis
6 Pasanglah sarung tangan steril
B. Teknik pengambilan sampel
1 a. Kulit
- Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan
baik
- Ambillah kapas alkohol 70% yang baru dan
lakukanlah disinfeksi kulit daerah sekitar lesi
mulai dari arah luar ke dalam, untuk
menghilangkan lemak, debu dan kotoran lainnya.
- Sampel diambil dan dipilih dari bagian lesi yang
aktif, yaitu daerah pinggir lesi. Lakukan kerokan
kulit pada lesi yang terdapat skuama, diutamakan
dari bagian yang masih berwarna merah, dengan
memakai bagian atas dari bisturi pada skuama lesi
dikerok tetapi jangan sampai berdarah.
- Keroklah dengan skapel dengan arah dari atas ke
bawah (cara memegang skapel harus miring
membentuk sudut 30-45⁰)
- Jika tidak ada kelainan, ambil kerokan kulit dari
sela jari kaki. Jangan menggunakan usap kapas
untuk mengambil bahan, karena mirip dengan
hifa, sehinggan sulit membedakannya.
- Letakan hasil kerokan kulit (skuama) di atas
object glass yang sebelumnya telah ditetesi
dengan Kalium Hidroksida (KOH) 10% lalu
tetesi dengan Metylen blue, tutup dengan deck
glass.
- Beri keterangan pada preparat (nama dan lokasi
pengambilam sampel)
Kurikulum Berbasis Kompetensi FK ULM TA 2017/2018 hal 58
Modul KKD 2 Blok Keluhan Berkaitan dg Sistem Sensoris & Integumentum
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi tidak benar/tidak lengkap
2 = dilakukan dengan benar