Anda di halaman 1dari 29

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Status gizi masyarakat merupakan salah satu indikator pembangunan kesehatan
di Indonesia dikatakan berhasil. Oleh, sebab itu, pemerintah mencanangkan visi
pembangunan gizi, yakni “Mewujudkan keluarga mandiri sadar diri untuk mencapai status
gizi masyarakat atau keluarga yang optimal” (Wahyu, 2009).
Bahkan hingga saat ini pun, Indonesia masih menghadapi banyak permasalahan
status gizi, utamanya pada kelompok usia balita dan anak. Permasalahan gizi yang
terjadi pada kelompok usia balita dan anak tidak hanya gizi kurang (Underweight),
kekerdilan (Stunting), ataupun kekurusan (Wasting) namun juga gizi lebih (Overweight)
yang biasa dikenal dengan sebutan obesitas. Padahal kita ketahui bahwa masa balita
merupakan proses pertumbuhan anak yang pesat dimana anak sangat memerlukan
perhatian dan kasih saying dari orang tua serta lingkungannya. Selain itu, balita pun
sangat membutuhkan asupan zat gizi yang seimbang supaya status gizinya baik, serta
proses tumuh kembangnya tidak terhambat.
Namun, sayangnya berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, diperkirakan
prevalensi balita di Indonesia mengalami gizi lebih dan kegemukan (obesitas) yaitu
sebesar 14,2 %. Angka ini mengalami peningkatan yang sangat drastis. Berdasarkan
Laporan Nasional Riskesdas Tahun 2007, persentase balita yang mengalami gizi lebih
yaitu sebesar 12,2 %.
Permasalahan obesitas tidak dapat dianggap mudah begitu saja, karena obesitas
dan kegemukan pada anak berpotensi meningkatkan resiko timbulnya berbagai
gangguan kesehatan. Sehingga, sangat perlu pemerintah menekan angka prevalensi
obesitas pada balita sedini mungkin dengan beberaa program dan juga pemerintah
diharapakan lebih menegaskan pada masyarakat untuk ikut berperan yaitu dengan
meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
Dan saat ini pun, pemerintah telah mencanangkan program SUN (Scalling Up Nutrition)
yaitu suatu program gerakan yang difokuskan pada Percepatan Perbaikan Gizi pada
1000 hari pertama kehidupan.

Subsistem Status Gizi | 1


1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana fenomena obesitas atau kegemukan pada anak balita di Indonesia ?
1.2.2. Upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam menekan angka prevalensi
obesitas atau kegemukan pada anak balita ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui fenomena obesitas atau kegemukan pada anak balita di
Indonesia.
1.3.2. Untuk mengetahui dan memahami upaya yan dilakukan pemerintah dalam
menekan angka prevalensi obesitas atau kegemukan pada anak balita.

Subsistem Status Gizi | 2


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi


2.1.1. Pengertian Status Gizi
Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia (RI, 2012). Gizi sangat berperan
penting dalam alur daur kehidupan karena di setiap tahap daur kehidupan, semua orang
membutuhkan nutrien yang sama namun dalam jumlah yang berbeda sesuai dengan
kebutuhan setiap orang. Sedangkan WHO mengartikan ilmu gizi sebagai ilmu yang
mempelajari proses yang terjadi pada organisme hidup, yang mana proses tersebut
mencakup pangambilan dan pengolahan zat padat dan cair dari makanan yang
dibutuhkan untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan dan untuk menghasilkan energi.
Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi.
Status gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Status gizi
tidak seimbang dapat diprestasikan dalam bentuk gizi kurang dari yang dibutuhkan.
Sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Sehingga
status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2003).
Status gizi ini menjadi sangatlah penting karena merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas. Status gizi berkontribusi terhadap kesehatan
seseorang, dimana seseorang dengan status gizi yang baik maka kesehatannnya pun
baik, selain itu kalaupun kondisi seseorang tersebut mengalami kesakitan maka status
gizi yang baik juga akan berkontribusi terhadap kemampuan seseorang tersebut dalam
pemulihan.
Status gizi tidak dapat ditentukan begitu saja tanpa mengetahui dan memahami
ukuran baku atau yang disebut dengan reference. Baku antropometri yang sering
digunakan di Indonesia adalah World Health Organizations – National Centre for Health
Statistics (WHO – NCHS). Berdasarkan reference tersebut, status gizi dibagi menjadi
empat: Pertama, gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas. Kedua,
gizi baik untuk well nourished. Ketiga, gizi kurang untuk underweight yang mencakup mild
dan moderat, PCM (Protein Calori Malnutrition). Keempat, gizi buruk untuk severe PCM,
termasuk marasmus, marasmik-kwarshiorkor dan kwarshiorkor (Supariasa, 2002).
Namun, terdapat beberapa kelompok rentang gizi. Kelompok rentan gizi
merupakan suatu kelompok di dalam masyarakat yang paling mudah menderita
gangguan kesehatannya atau rentan karena kekurangan gizi. Kelompok-kelompok
rentang gizi ini terdiri dari:

Subsistem Status Gizi | 3


a. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun.
b. Kelompok di bawah lima tahun (balita), umur 1-5 tahun.
c. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun.
d. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun.
e. Kelompok ibu hamil dan menyusui.
f. Kelompok usia (usia lanjut). (Notoatmodjo, 2003).
Maka status gizi sangatlah penting utnuk diketahui untuk mengontrol dan
mengawasi status gizi kelompok-kelompok yang rentang gizi dikarenakan mereka
merupakan kelompok yang sangat mudah terkena penyakit jika kekurangan gizi.

2.1.2. Faktor Determinan Status Gizi


UNICEF (1988) menyatakan bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor penyebab kurang gizi dapat
dilihat pada bagan sebagai berikut:

Sumber : (UNICEF, 1988) oleh Direktorat Gizi Masyarakat

Subsistem Status Gizi | 4


a. Penyebab Langsung
Dilihat dari bagan UNICEF, terdapat dua penyebab yang secara langsung
dapat mempengaruhi status gizi yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi. Gizi
kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga
dikarenakan penyakit infeksi. Anak yang mendapa cukup makan tetapi sering
menderita sakit, pada akhirnya pun akan menderita gizi kurang. Demikian pula
pada anak yang tidak memperoleh cukup makan maka daya tahan tubuhnya
akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Imunisasi yang tidak
dilakukan secara lengkap dapat berpengaruh pada anak, karena dapat
menyebabkan anak tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit
infeksi, akibtanya pun anak akan jatuh sakit sehingga status gizinya turun. Hal ini
dikarenakan penyakit infeksi berhubungan erat satu sama lain dengan asupan
makanan dalam pengaruhnya terhadap status gizi.
b. Penyebab tidak Langsung
Pada bagan UNICEF, dapat dilihat adanya tiga faktor penyebab tidak
langsung terhadap status gizi seseorang. Dikatakan faktor penyebab tidak
langsung karena ketiga faktor ini tidak langsung mempengaruhi keadaan status
gizi seseorang. Ketiga faktor tersebut diantaranya yaitu ketidak cukupan
ketersediaan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, dan sanitasi air bersih
atau pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
 Ketersediaan pangan keluarga
Ketersediaan pangan keluarga yang dimaksud adalah ketahanan pangan
keluarga. Ketahanan pangan keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup,
baik cukup jumlahnya maupun mutu gizinya. Ketahanan pangan ini terkait
dengan ketersediaan pangan, baik dari hasil produksi senidir maupun dari pasar
ataupun dari sumber lain, serta terkait dengan harga pangan dan daya beli
keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
 Pola pengasuhan anak
Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dan masyarakat
untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak, agar anak
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental maupun
sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga
kebersihan, member kasih sayang dan sebagainya. Semua hal tersebut
berikatan erat dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status

Subsistem Status Gizi | 5


gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pola pengasuhan yang baik dan
benar,serta peran dalam keluarga atau masyarakat,.
 Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan
Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersedianya ar
bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap
keluarga yang membutuhkan keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air
bersi dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, pendidikan kesehatan dan gizi, penimbangan
anak serta sarana pelayanan kesehatan seperti posyandu, puskesmas, praktek
bidan atau dokter dan rumah sakit. Semakin cukup ketersediaan air bersih untuk
keluarga serta semakin dekat dengan jangkauan keluarga terhadap pelayanan
dan sarana kesehatan ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan,
maka semakin kecil resiko anak terkena penyakit infeksi dan mengalami gizi
kurang.

2.2. Balita
2.2.1. Pengertian Balita
Balita adalah kelompok anak usia dibawah lima tahun. Masa balita merupakan
periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar pada masa balita ini
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan
kemampuan bahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensinya berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Soetjiningsih, 1995).
Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun dan anak prasekolah 3-5
tahun. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan
berjalan sudah bertambah baik. Namun, kemampuan lain masih terbatas. (Budi Sutoma,
2010).
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa masa balita merupakan periode
penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di
masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat
dan tidak akan pernah terulang, karena tu sering disebut golden age atau masa
keemasan.

2.2.2. Karakteristik Balita


Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1 – 3
tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan

Subsistem Status Gizi | 6


konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju
pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan
jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang
usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering.
Pada usia pra-sekolah anak mulai enjadi konsumen aktif. Hal ini dikarenakan
mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Selain itu, pada usia ini anak
mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak
mengalami beberapa perubahan dalam perilakunya. Pada masa ini pula lah anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap
setiap ajakan yang tidak mereka inginkan. Pada masa ini berat badan anak pun
cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan
maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relatif
lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki.

2.2.3. Perilaku Makan Anak Balita


Perillaku dan kebiasaan orangtua dalam hal makanan yang dipengaruhi oleh
faktor budaya akan mampengaruhi sikap suka dan tidak suka seorang anak terhadap
makanan. Orangtua dan saudara kandung yang lebih tua memiliki pengaruh paling besar
terhadap perilaku anak yang berhubungan dengan makanan dan pilihan makanan
selama masa usia sekolah. Orangtua masih tetap memegang peranan penting sebagai
model atau contoh bagi anak-anaknya dalam hal perilaku makan yang sehat. Orangtua
bertanggungjawab terhadap masalah makanan di rumah, jenis-jenis makanan pa yang
tersedia dan kapan makanan tersebut disajikan juga harus memberikan petunjuk
mengenai hal-hal yan penting kepada anak-anak sehingga mereka mampu menentukan
makanan yang sehat di saat mereka jauh dari rumah (Sulistiyoningsih, 2011).
satu keluarga sebaiknya berusaha untuk makan bersama. Makan bersamadalam
satu keluarga dapat dijadikan sebagai salah satu wadah untuk menjalin komunikasi antar
anggita keluarga, ketika di waktu lain masing-masing disibukkan oleh aktivitas di luar.
Sebuah studi yang dilakukan terhadap sekelompok anak usia 9-14 tahun menunjukkan
terdapat hubungan yang positif antara kegiatan makan malam bersama dalam keluarga
dengan kualitas diet anak secara menyeluruh. Persentase jumlah anak yang makan
malam bersama keluarga menurun dengan bertambahnya umur anak dengan persentase
tertinggi pada kelompok anak umur 9 tahun. Anak yang biasa makan bersama keluarga
mempunyai asupan energy, serat, kalsium, folat, zat besi dan vitamin-vitamin B6, B12, C
dan E yang lebih tinggi. Anak-anak ini juga mengonsumsi buah dan sayur-sayuran lebih

Subsistem Status Gizi | 7


banyak, dan saat mereka tidak di rumah lebih sedikit makan makanan yang digoreng
serta minum soft drinks lebih sedikit (Sulistiyoningsih, 2011).
Pola makan anak juga dipengaruhi oleh media massa dan lingkungan (guru,
teman sebaya). Anak-anak ingin mencoba makanan-makanan yang diiklankan di media
televise. Pengaruh teman sebaya juga menjadi besar karena anak usia sekolah lebih
banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya dibandingkan dengan
keluarganya. Peningkatan pengaruh teman sebaya berdampak terhadap perilaku pola
dan jenis makanan pilihan mereka. Anak secara tiba-tiba meminta suatu jenis makanan
baru atau menolak makanan pilihan mereka terdahulu, akibat rekomendasi dari teman-
teman sebayanya. Pengaruh guru juga besar terhadap sikap seorang anak terhadap
jenis dan pola makan. Apa yang dipelajari di dalam kelas tentang kesehatan dan
makanan bergizi harus ditunjang dengan makanan yang tersedia di kafetaria sekolah
(Sulistiyoningsih, 2011).

2.2.4. Kebutuhan Gizi pada Anak Balita


Kebutuhan masing-masing zat gizi untuk kelompok balita dan anak dapat dilihat
pada Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (Lampiran 1). Selain zat gizi esensial,
kebutuhan cairan juga harus diperhatikan karena penting bagi anak untuk mencegah
dehidrasi selama bergerak dan berolahraga, karena anak-anak beresiko stress akibat
dehidrasi dan panas. Anak-anak berkeringat dan semakin kepanasan saat bergerak.
Beberapa jenis olahraga seperti sepakbola dan hoki, membutuhkan pertahanan khusus,
yang mencegah tubuh lemas. Anak0anak yang melakukan jenis olahraga tersebut harus
minum air sebelum, selama dan sesudah latihan. Mekanisme haus mungkin tidak bekerja
selama anak-anak latihan, dan anak-anak bisa tidak menyadari bahwa mereka
membutuhkan air. Sebaiknya tidak memberikan soft drinks dan jus buah yang tidak
diencerkan kepada anak-anak karena pemberian karbohidrat tinggi dapat menyebabkan
kram perut, mual dan diare. Konsumsi softdrinks anak tidak sebanyak yang dikonsumsi
anak remaja namun lebih banyak dari yang dikonsumsi anak balita, hal ini
memperlihatkan bahwa konsumsi softdrinks semakin meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur. Softdrinks yang berlebihan tidak dianjurkan bagi anak-anak usia
sekolah karena tidak mengandung kalori dan menyebabkan kerusakan gigi
(Sulistiyoningsih, 2011).

2.2.5. Penentuan Status Gizi Balita


Ada dua jenis antropometri yang digunakan dalam mengidentifikasi status gizi,
yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kedua ini disajikan dalam bentuk indeks
dan rasio berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan

Subsistem Status Gizi | 8


rasio berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Status gizi yang diukur dengan rasio
BB/U mencerminkan status masa sekarang. Karena, berat badan mencerminkan kondisi
outcome tentang status gizi pada masa sekarang. Tinggi badan merupakan outcome
kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat sekarang sehingga rasio TB/U mampu
mencerminkan status gizi masa lalu.
Di masa lalu, rujukan pertumbuhan dikembangkan menggunakan data dari satu
negara dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa memperhatikan
cara hidup dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World Health Organization
(WHO) telah mengembangkan standar pertumbuhan yang berasal dari sampel anak-
anak dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman dan Amerika Serikat.
WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk
menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan
cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan
tidak merokok). Penelitian tersebut mengikuti bayi normal dari lahir sampai usia 2 tahun,
dengan pengukuran yang sering pada minggu pertama. Kelompok anak-anak lain umur
18 sampai 71 bulan, diukur satu kali. Data dari kedua kelompok umur tersebut disatukan
untuk menciptakan standar pertumbuhan anak umur 0 sampai 5 tahun.
Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai status pertumbuhan anak
dengan mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan hasil pengukuran. Dalam modul ini
akan dijelaskan cara melakukan penilaian status pertumbuhan berdasarkan empat
indikator berikut:
 Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur
 Berat Badan Menurut Umur
 Berat Badan Menurut Panjang/Tinggi Badan
 Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Umur

Untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan (BB)
dapat dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Prinsipnya adalah anak yang sehat,
bertambah umur bertambah berat badan. Menurut Standar WHO BB ideal anak laki-laki
usia 2 tahun adalah 12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. untuk seterusnya setelah usia
2 tahunsampai 5 tahun, pertambahan BB rata-rata 2-2,5 kg per tahun. Pemntauan
panjang / tinggi badan juga perlu agar dapat diketahui keadaan tau status gizi yang lebih
akurat.

Subsistem Status Gizi | 9


Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score

Indikator Pertumbuhan
Z-score BB/PB atau
PB/U atau TB/U BB/U IMT/U
BB/TB
Sangat gemuk Sangat gemuk
Di atas 3 Lihat Catatan 1
(Obes) (Obes)

Gemuk Gemuk
Di atas 2 Lihat (Overweight) (Overweight)
Catatan 2

Risiko Gemuk
Risiko Gemuk
Di atas 1 (Lihat
(Lihat Catatan 3)
Catatan3)

0
(Angka
Median)

Di bawah -1

BB Kurang
Pendek (Stunted) Kurus
Di bawah -2 (Underweig Kurus (Wasted)
(Lihat Catatan 4) (Wasted)
ht)
BB Sangat
Sangat Pendek Kurang Sangat Kurus
Sangat Kurus
Di bawah -3 (Severe Stunted) (Severe (Severe
(Severe Wasted)
(Lihat Catatan 4) Underweig Wasted)
ht)
Sumber: Modul C Pelatihan Penilaian Pertumbuahan Anak WHO 2005

Catatan:
1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak
menjadi masalah kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami gangguan
endokrin seperti adanya tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuklah
anak tersebut jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi
sekali menurut umurnya, sedangkan tinggi orang tua normal).
2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada katagori ini, kemungkinan mempunyai
masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator
BB/PB atau BB/TB atau IMT/U.

Subsistem Status Gizi | 10


3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya
menuju garis Z-score 2 berarti risiko lebih pasti.
4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila
mendapatkan intervensi gizi yang salah.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor resiko yang paling
berhubungan paling dominan dengan status gizi balita (BB/U) adalah penyakit diare
setelah dikontrol oleh sumber air minum, ketersediaan jamban, status sosial ekonomi,
jumlah anggota keluarga, jenis kelamin dan pemanfaatan yankes, penyakit ISPA,
pekerjaan ibu dan lama pemberian ASI sampai 2 tahun. Sedangkan variabel yang paling
dominan berhubungan dengan malnutrisi menurut indikator (TB/U) adalah ketersediaan
jamban setelah dikontrol oleh kebiasaan cuci tangan, status sosial ekonomi, sumber air
minum, lama pemberian ASI sampai 3 tahun, penyakit diare, jumlah anggota dan jenis
kelamin. Jenis kelamin setelah dikontrol oleh umur, sumber air minum, jarak serta waktu
menuju pelayanan kesehatan terdekat, variabel pemanfaatan pelayanan kesehatan dan
penyakit ISPA merupakan faktor resiko yang paling dominan pada status BB/TB.
Status BB/TB balita yang menggambarkan kekurangan gizi akut yang terjadi
dalam waktu yang singkat dan mempengaruhi keadaan status gizi seseorang. Misalnya
saja terserang penyakit infeksi, hal ini tentu saja akan berpengaruh langsung kepada
status gizi anak, atau mungkin saja kerena kekurangan asupan makanan yang bisa di
pengaruhi oleh status ekonomi, pengetahuan ibu yang kurang terhadap masalah gizi,
dan pola asuh yang mengakibatkan baik balita yang BBLR ataupun yang normal dapat
menjadi balita yang berbadan kurus. Sedangkan TB/U menggambarkan keadaan kronis
balita, menunjukkan keadaan yang sudah terjadi sejak lama, atau dengan kata lain
merupakan outcome kumulatif status gizi sejak lahir hingga sekarang. Bayi yang lahir
dengan berat badan rendah menandakan kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi pada
saat kehamilan atau karena sebagai akibat dari ibu yang juga menderita KEK.

2.3. Kegemukan dan Obesitas


2.3.1. Pengertian Kegemukan dan Obesitas
Kegemukan dan obesitas saat ini merupakan masalah gizi berlebih yang kian
marak dijumpai hamper pada anak di seluruh negeri. Kegemukan pada anak merupakan
konsekuensi dan akibat dari asupak kalori (energi) yang melebihi jumlah kalori yang
dilepaskan atau dibakar melalui proses metabolisme di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan kalori yang tidak terbakar disimpan di dalam tubuh sampai akhirnya
melebihi batas seharusnya.
Kegemukan (obesitas) ternyata berbeda dengan kelebihan berat badan
(Oberweight). Kegemukan dapat diartikan penimbunan lemak tubuh yang berlebihan

Subsistem Status Gizi | 11


sehingga berat badan anak balita jauh di atas normal dan dapat membahayakan
kesehatan anak. Overweight adalah suatu keadaan berat badan anak balita yang
melebihi berat badan normal atau seharusnya. Dengan demikian, anak yang menderita
kegemukan pasti mengalami kelebihan berat badan, tetapi anak yang mengalami
kelebihan berat badan belum tentu menderita kegemukan (Obesitas) (Dina Agoes, 2003).
Kasus lainnya, seorang anak balita yang mempunyai berat badan lebih besar dari
teman seusianya, belum tentu menderita kegemukan karena kemungkinan anak tersebut
mempunyai rangka tulang dan otot yang besar, bukan karena kelebihan timbunan lemak.
Biasanya, anak tersebut disebut bongsor. Selain itu, kita ketahui bahwa lemak sangat
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup setiap manusia. Jumlah minimumnya 3% dari
berat badan atau disebut dengan lemak esensial. Di dalam tubuh, lemak esensial
terdapat di beberapa organ tubuh, seperti sumsum tulang belakang, sekitar jantung,
membrane sel paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Jika jumlah lemak esensial dalam tubuh
melebihi 3% berat badan disebut timbunan lemak. Fungsi timbunan lemak memeng
berguna untuk melindungi organ tubuh, tetapi jika jumlahnya berlebihan, hal ini dapat
menyebabkan kegemukan (Dina Agoes, 2003).
Kegemukan dan obesitas pada anak dapat dinilai melalui berbagai metode atau
teknik pemeriksaan. Salah satunya adalah pengukuran indeks massa tubuh atau Body
Mas Index (BMI). Pengukuran BMI dilakukan dengan cara membagi nilai berat badan
(kg) dengan nilai kuadrat dari tinggi badan (m). nilai ini kemudian diplot pada kurva
pertumbuhan anak, yang disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia anak. BMI ini
merupakan metode yang mudah dan paling banyak digunakan di seluruh penjuru negeri
untuk menilai timbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh secara tidak langsung.
Namun, BMI tidak dapat digunakan pada setiap individu, Misalnya, pada atlet maupun
binaragawan. Hal ini dikarenakan para atlet dan binaragawan memiliki nilai BMI tinggi,
disebabkan oleh indeks massa otot yang besar dan bukan karena timbunan lemak yang
berlebihan. Selain itu, kegemukan dan obesitas dapat pula dinilai dengan teknik
densitometry, Analisis Impedansi Multifrekuensi (MIA) serta teknik pencitraan melalui
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun, teknik pemeriksaan ini relative rumit dan
tidak mudah diterapkan dalam praktik dokter sehari-hari, mengingat biaya pemeriksaan
yang mahal dan keterbatasan persediaan alat-alat pemeriksaan (Wahyu, 2009).

2.3.2. Tipe dan Jenis Obesitas


Menurut Hirsch dan Knittle (1970) dalam Dina Agoes (2003), menyatakan bahwa
berdasarkan selnya, kegemukan dapat digolongkan dalam beberapa tipe.
1) Tipe hiperplastik

Subsistem Status Gizi | 12


Kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan
kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya dengan ukuran sel normal. Tipe ini biasa
terjadi pada masa anak-anak. Upaya menurunkan berat badan ke kondisi normal di
usia anak-anak akan lebih sulit.
2) Tipe hipertropik
Kegemukan ini tejadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran
sel normal, tapi jumlah sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan
upaya untuk menurunkan berat badan akan lebih mudah dibandingkan tipe
hiperplastik.
3) Tipe hiperplastik dan hipertropik
Kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal.
Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan berlangsung tersu setelah
dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan paling sulit dan paling beresiko
terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit degeneratif.

2.3.3. Penyebab Obesitas pada Anak Balita


Secara umum, penyebab kegemukan dan obesitas pada anak belum diketahui
secara pasti hingga saat ini. Namun, berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa
penyebab kegemukan dan obesitas pada anak bersifat mulitifakor. Dan terdapat
beberapa faktor yang dipengaruhi berperan besar meningkatkan resiko terjadinya
kegemukan dan obesitas pada anak, yakni faktor genetik (keturunan), pola aktivitas ,
faktor hormonal (metabolisme), faktor psikologis dan pola makan.
Faktor Genetik (Keturunan)
Kegemukan atau obesitas pada anak merupakan kensekuensi dari asupan kalori
(energi) yang melebihi jumlah kalori yang dibakar pada proses metabolisme di dalam
tubuh. Kemungkinan seorang anak beresiko menderita kegemukan sebesar 80%, jika
kedua orangtuanya menderita kegemukan sebesar 40%, jika salah satu orangtuanya
menderita kegemukan (Dietz, 1995). Keterlibatan faktor genetik ini dalam meningkatkan
resiko kegemukan dan obesitas diketahui berdasarkan fakta yang ada , yaitu adanya
perbedaan kecepatan metabolisme tubuh antara satu individu dan individu lainnya.
Individu yang memiliki kecepatan metabolisme lebih lamnat memiliki resiko lebih
besar menderita kegemukan dan obesitas. Berbagai penelitian pun mengungkapkan
fakta bahwa beberapa gen terlibat dalam resiko terjadinya obesitas pada anak.
Selain itu, latar belakanh ras juga berkaitan dengan perbedaan kecepatan
metabolisme tubuh. Di Amerika serikat, ras kulit putih pada periode prapubertas memiliki
kecepatan metabolisme yang lebih besar dibandingkan sebaya mereka dari ras kulit

Subsistem Status Gizi | 13


hitam. Ras kulit hitam di Amerika Serikat cenderung lebih menderita kegemukan dan
obesitas dibandingkan ras kulit putih (Wahyu, 2009).
Namun, tidak sedikit para ahli kesehatan yang menilai bahwa faktor genetik
bukanlah hal utama dalam peningkatan resiko kegemukan dan obesitas pada anak. Hal
ini mengacu pada fakta bahwa tidak terdapat perubahan genetik yang bermakna pada
manusia selama kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, sedangkan peningkatan prevalensi
kegemukan dan obesitas di seluruh negeri menunjukkan fenomena sebaliknya. Dan fakta
bahwa genetik bukanlah faktor resiko utama bagi kegemukan dan obesitas pada anak,
member pasan kuat bagi para orangtua di seluruh negeri untuk tidak bersikap pasif dan
cenderung menyalahkan garis keturunan terkait kegemukan dan obesitas pada anak.
Sebaliknya, para orangtua mesti lebih aktif mencegah kegemukan dan obesitas pada
anak-anak mereka dengan cara membatasi asupan kalori dalam menu hariannya, serta
memotivasi mereka untuk lebih aktif bergerak dan berolahraga (Wahyu, 2009).
Faktor Aktivitas
Pola aktivitas anak yang minim berpengaruh besar dalam peningkatan resiko
kegemukan dan obesitas pada anak, hal ini dikarenakan mereka enggan melakukan
aktivitas sehari-hari sehingga menyebabkan tubuhnya kurang membakar kalori yang ada
dalam tubuhnya. Oleh karena itu, jika asupan energi berlebih tanpa diimbangi dnegan
aktivitas fisik yang seimbang maka seorang anak akan mudah menderita kegemukan.
Dampak kemajuan teknologi menyebabkan anak-anak cenderung menggemari
permainan yang kurang menggunakan energi, seperti menonton televise, permainan
dengan menggunakan remote control, play station, atau game di computer. Selain itu,
kebiasaan menonton televise berjam-jam pada anak dengan menyediakan berbagai
makanan camilan, dapat menyebabkan kebiasaan ngemil pada anak yang tanpa
disadarinya dapat memicu terjadinya kenaikan berat badan anak. Berikut ini criteria
makanan yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi anak, yaitu (1) makanan dengan kadar
kalori tinggi yang dapat menyebabkan kegemukan, (2) makanan dengan kadar garam
yang tinggi, jika dikonsumsi dalam jangka waktu panjang dapat meningkatkan tekanan
darah, dan (3) makanan dengan kadar gula yang tinggi, dapat merusak gigi dan
menderita kegemukan dalam jangka waktu tertentu serta menyebabkan diabetes mellitus
dalam jangka panjang dengan bertambahnya usia (Dina Agoes, 2003).
Padahal diketahui bahwa aktivitas bermain bagi anak sangat bermanfaat.
Bermain bagi anak semestinya bukan hanya sekedar aktivitas fisik biasa, melainkan
dapat menjadi sarana belajar yang menyenangkan dan berolahraga secara tidak
langsung bagi anak.
Terdapat beberapa hal penting yang arus diperhatikan oleh orangtua ataupun
para pengasuh yaitu sikap cermat dalam memilih jenis permainan yang sesuai dengan

Subsistem Status Gizi | 14


jenis kelamin dan usia. Selain itu yang tidak kalah penting yaitu permainan tersebut harus
terjamin keamanannya dan juga menyehatkan bagi anak, tidak menyebabkan timbulnya
penyakit pada anak. Dan umumnya permainan tradisional memenuhi seluruh kriteri ini.
Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kini anak-anak cenderung
beralih pada permainan modern dan meninggalkan permainan tradisional.
Kurangnya kebiasaan aktivitas fisik pada anak ini juga dipengaruhi oleh
tersedianya sarana transportasi sehingga anak-anak jarang melakukan aktivitas jalan
kaki, meskipun jaraknya dekat atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki untuk ukuran
anak-anak. Selain itu, sempitnya lahan atau tempat bermain anak-anak menyebabkan
anak kurang leluasa untuk bermain di tempat terbuka untuk berlari-larian, bersepeda,
atau sekedar berjalan-jalan.
Faktor Hormonal
Kegemukan bisa juga disebabkan oleh faktor hormonal, misalnya menurunnya
fungsi kelenjar tiroid dalam tubuh. Akibatnya, metabolisme dalam tubuh menjadi lambat,
artinya kalori atau energi yang dikeluarkan tubuh berkurang sehingga terjadi peningkatan
timbunan lemak dalam tubuh. Berat badan pun bertambah. Jika kondisi ini tidak
diimbangi dengan upaya penurunan berat badan, misalnya dengan aktivitas fisik kusus
untuk baita, cepat atau lambat, kegemukan pun pasti terjadi.
Hormon insulin yang diproduksi oleh pancreas dipicu secara berlebihan
(hiperinsuline) karena konsumsi makanan sehari-hari dalam jumlah berlebihan,
khususnya makanan berkadar kalori tinggi. Peningkatan hormone insulin menyebabkan
sintesis lemak dalam tubuh semakin meningkat, yang berarti timbunan lemak dalam
tubuh juga meningkat sebagai penyebab terjadinya kegemukan.
Penurunan aktivitas kelenjar kelamin atau disebut hipogonadisme juga
menyebabkan lambatnya metablisme tubuh. Hal ini berarti tubuh sangat hemat dalam
mengeluarkan kalori sehingga terjadi peningkatan timbunan lemak tubuh. Hiperaktivitas
atau hiperfungsi dari kelenjar adrenal kortikal juga menyebabkan kelainan metabolisme
(sindrom cushing), ternyata dapat menyebabkan kegemukan yang sering terjadi pada
anak-anak (Dina Agoes, 2003).
Faktor Psikologis
Faktor psikologis mempengaruhi kebiasaan makan anak, misalnya kepuasan
anak dengan mengonsumsi makanan yang sedang tren, yaitu fast food (fried chicken,
pizza, atau hamburger). Tentu saja, kegemaran anak-anak mengonsumsi fast food yang
tinggi kalori secara berlebihan dapat menyebabkan kenaikan berat badan disertai dengan
kenaikan timbunan lemak tubuh.
Aspek psikologis dari orangtua juga dapat memicu terjadinya kegemukan pada
anak, misalnya adanya anggapan bahwa anak yang gemuk adalah anak yang sehat dan

Subsistem Status Gizi | 15


menunjukkan keadaan sosial ekonomi keluarga. Di samping itu, anggapan bahwa
mengonsumsi fast food menjadi bagian gaya hidup dan dapat meningkatkan gengsi
sehingga mereka cenderung membiarkan anak-anaknya menggemari bahkan menjadi
pola makan sehari-hari (Dina Agoes, 2003).
Pola Makan
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumbya, terdapat satu faktor juga
yang ikut berpengaruh dalam peningkatan resiko kegemukan pada anak, yakni faktor
pola makan.Jika seorang anak mengonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai
yang dibutuhkan tubuhnya oleh sebab itu maka tidak ada energi yang disimpan.
Sebaliknya, jika anak mengonsumsi energi melebihi yang dibutuhkan tubuh maka
kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi.
Cadangan energi secar berkesinambungan ditimbun setiap hari yang akhirnya
akan menimbulkan kegemukan. Konsumsi zat energi yang berlebihan pada anak balita
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
a. Pergeseran pola makan masyarakat
Saat ini, pola makan masyarakat kita, terutama yang tinggal di kota-kota besar
telah mengelami pergeseran. Mereka cenderung enggan mengonsumsi makanan
tradisional seperti gado-gado, lotek, dan sebagainya yang kaya serat dan gizi serta
rendah kadar kalorinya.
Alasan ketidakpraktisan mungkin menjadi salah satu pertimbangan masyarakat
kota meninggalkan makanan tradisional. Masyarakat kota besar lebih gemar
mengonsumsi makanan cepat saji serta produk makanan dalam kemasan yang dapat
disajikan secara instan. Selain itu, citra kuno yang melekat pada produk makanan
maupun minuman tradisional, membuat sebagian masyarakat di perkotaan enggan
menjadikan makanan yang sehat ini sebagai bagian dari gaya hidup modernnya.
Makanan dan minuman tradisional dianggap tidak menunjang gaya hidup metropolitan
(Wahyu, 2009).
b. Pola makan atau gaya hidup
tidak dapat dipungkiri, kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang
ebkerja dan tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup yang serba cepat dan
instan. Peluang ini dimanfaatkan secara jeli oleh para produsen makanan cepat saji.
Oleh karena itu, tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah perkotaan, bak
cendawan di musim hujan. Hal yang lebih mencemaskan ialah saat ini restoran-restoran
cepat saji juga kian mudah dijumpai tidak hanya di kota besar namun juga dijumpai di
daerah pinggiran kota besar (suburban). Bahkan, telah merambah di daerah pedesaan
(rural). Masyarakat di daerah-daerah tersebut pun secara perlahan kini mulai beradaptasi
dengan pola makan cepat saji ini.

Subsistem Status Gizi | 16


Selain itu, beberapa restoran cepat saji membidik anak-anak sebagai salah satu
sasaran utama penjualan produk mereka. Berbagai menu disajikan khusus untuk anak-
anak. Mulai dai kemasan bergambar tokoh-tokoh kartun yang disukai anak-anak hingga
iming-iming hadiah berupa mainan anak-anak. Ironisnya, pemerintah tampak tidak
berdaya membatasi gempran iklan produsen makanan junk food ini, terutama bagi
kalangan anak. Sikap diam pemerintah secara tidak langsung menunjukkan
ketidakberpihaan terhadap pola makan sehat bagi anak. Kondisi ini sangat bertolak
belakang dnegan langkah serius peerintah di negara maju dalam mebatasi segala bentuk
promosi makanan cepat saji yang ditujukan bagi kalangan anak. Hal ini telah dilakukan
pemerintah Swedia, Yunani, dan beberapa negara lain (Wahyu, 2009).
c. Pengetahuan yang kurang
Kurangnya pengetahuan ibu tentang makanan anak balita yang seimbang sesuai
dengan angka kecukupan gizinya. Hal ini berdampak pada perilaku ibu dalam pemberian
makanan pada anaknya. Misalnya saja bayi yang diberikan susu setiap kali menangis.
Padahal, bayi yang menangis belum tentu merasa lapar atau haus. Oleh karena itu,
seorang ibu harus tahu kapan dan saat waktu yang tepat untuk memberikan makanan
pada anaknya. Bahkan terkadang dijumpai pemberian makanan tambahan dengan kalori
tinggi pada abayi yang usianya masih teralu dini (Dina Agoes, 2003).
d. Kemampuan atau daya beli
Meningkatnya kemampuan atau daya beli menyebabkan banyak keluarga muda
yang memanjakan anaknya, termasuk dalam pemberian makanan yang berlebihan,
khususnya tinggi kalori dan lemak seperti pemberian susu formula sebagai pengganti
ASI.
e. Promosi produk makanan
Dampak promosi di media massa cukup berpengaruh, baik cetak maupun
elektronik berupa iklan-iklan menarik yang menawarkan berbagai produk-produk
makanan yang bekalori dan berlemak tinggi. Iklan tersebut punya andil yang cukup besar
sehingga mempengaruhi perilaku makan anak sehari-hari dengan kadar gizi tidak
seimbang (Dina Agoes, 2003).

2.3.4. Resiko Obesitas pada Anak Balita


Kegemukan dan Obesitas pada anak dapat meningkatkan resiko timbulnya
berbagai keluhan dan penyakit pada anak. Secara sederhana, gangguan kesehatan yang
terjadi pada anak penderita kegemukan dan obesitas terbagi tiga, yakni gangguan klinis,
mental dan sosial (Wahyu, 2009).
Berbagai Gangguan kesehatan klinis pada anak penderita kegemukan dan obesitas
a. Kegemukan dan obesitas pada anak dan kencing manis (DM tipe 2)

Subsistem Status Gizi | 17


Kencing manis atau disebut juga Diabetes Melitus tipe 2(DM tipe 2) merupakan
penyakit yang ditandai dengan ketidakmampuan hormone insulin mengontrol kadar gula
darah dalam batas normal. Insulin berperan mengubah kadar gula di dalam darah
(glukosa), yang meningkat setelah makan, menjadi cadangan gula di dalam otot
(glukagon). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kadar gula di dalam darah tetap normal,
sebagai bahan baku energi yang utama pada berbagai proses metabolisme tubuh.
Namun, karena berbagai sebab, kerja insulin dapat mengalami gangguan.
Fenomena ini disebut sebagai resistensi insulin. Resinstensi insulin merupakan kondisi
ketika jumlah insulin yang diproduksi memadai, tetapi tidak mampu mengontrol kadar
gula di dalam darah dalam batas normal. Kondisi semacam ini banyak dijumpai pada
anak penderita kegemukan dan obesitas, juga pada anak yang kurang beraktivitas fisik
maupun berolahraga. Resistensi insulin yang tidak segera ditangani dengan tepat dapat
berkembang menjadi penyakit DM tipe 2.
Resistensi insulin menjadi fase penentu (kritis) bagi anak untuk berkembang
menjadi DM tipe 2 atau kembali menjadi sehat. Pada fase ini, pembatasan asupan kalori,
serta upaya untuk meningkatkan aktivitas fisik anak sangat penting untuk dilakukan. Jika
tidak, anak akan menderita DM tipe 2. Hal penting yang perlu dicatat dan dipahami yaitu
usia penderita DM tipe 2 di seluruh negeri kini tidak lagi dimonopoli oleh kaum manula.
Namun, juga dewasa muda dan remaja. Pergeseran pola makan ke arah yang tidak
sehat, dan kian malasnya remaja bergerak disinyalir sebagai penyebab utamanya. Usia
penderita DM tipe 2 yang kian bergeser ke arah dewasa muda dan remaja menjadi
keprihatinan kita semua karena berpotensi mengurangi generasi usia produktif yang
sehat di masa depan sebagai pemeran utama pembangunan nasional (Wahyu, 2009).
b. Kegemukan dan Obesitas pada anak dan asma bronkhiale
Asma Bronkhiale atau lebih dikenal dengan asma atau mengi merupakan
kelainan sistem pernapasan yang ditandai dengan penyempitan pada saluran napas
(bronkhus) yang bersifat sementara dan dapat sembuh secara spontan tanpa
pengobatan. Asma terjadi dalam tiga derajat yakni, ringan, sedang, maupun berat.
Kelainan asma ringan tidak berbahaya bagi kesehatan dan dapat sembuh secara
spontan. Namun, kelainan ini sangat mengganggu aktivitas akibat arsa sesak yang
ditimbulkannya. Sementara itu, asma derajat sedang dan berat umumnya memerlukan
terapi jangka panjang, bahkan mungkin perlu menjalani rawat inap.
Kegemukan dan obesitas pada anak meningkatkan resiko timbulnya asma
bronkiale, terutama setelah beraktivitas fisik maupun olahraga yang melelahkan. Hal ini
terungkap dari hasil penelitian Sara Rosenkraz, mahasiswi program doctoral ilmu gizi
anak yang dipublikasikan Kansas State University pada 12 Desember 2008 lalu.
Penelitian Sara menunjukkan bahwa anak penderita kegemukan dan obesitas yang

Subsistem Status Gizi | 18


kurang beraktivitas fisik maupun olahraga, cenderung mangalami serangan mirip asma
bronkhiale pasca-berolahraga dan beraktivitas. Penelitian ini melibatkan 40 siswa
sekolah dasar dengan rentang usia 8-10 tahun. Para siswa yang diteliti merupakan anak
dalam kondisi sehat dan tidak sedang mengonsumsi obat-obatan tertentu, serta tidak
memiliki riwayat penyakit asma bronkhiale sebelumnya.
Para siswa usia sekolah dasar ini kemudian diminta untuk berolahraga selama
interval waktu tertentu. setelah itu, mereka diuji dengan alat uji napas yang disebut
spirometer untuk menilai ada atau tidaknya penyempitan saluran napas setelah
berolahraga. Mereka juga diminta untuk mengisi kuesioner untuk dinilai apakah mereka
termasuk anak yang aktif berolah raga atau tidak sebelumnya. Peneliti juga mengukur
kadar lemak para siswa tersebut. Dan kesimpulan dari penelitian tersebut ialah siswa
yang memiliki kadar lemak lebih tinggi dan kurang aktif berolahraga sebelumnya
cenderung lebih mengalami serangan sesak napas akibat penyempitan saluran napas.
Gejala ini mirip dengan serangan asma meskipun diperlukan penelitian lanjutan,
penelitian Sara menunjukkan bahwa kegemukan dan obesitas pada anak yang kurang
beraktivitas fisik maupun berolahraga meningkatkan resiko timbulnya serangan sesak
napas yang mirip penyakit asma bronkhiale.
c. Kegemukan dan obesitas pada anak dan hipertensi
Tekanan darah meruapakn salah satu penanda kesehatan anak. Tekanan darah
yang normal memungkinkan terjadinya sirkulasi O 2, CO2, makanan dan hasil
metabolisme, serta zat-zat yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh dapat berdistribusi
seacra optimal. Sala satu kelainan pada tekanan darah yaitu hipertensi, yang mana
dapat terjadi atau diderita oleh siapapun, tanpa mengenal jenis kelamin dan usia. Anak-
anak pun dapat menderita hipertensi.
Peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak di seluruh negeri
ikut mendongkrak prevalensi hipertensi pada anak, terutama hipertensi primer. Obesitas
diketahui merupakan salah satu faktor yang meningkatkan resiko hipertensi primer pada
anak. Oleh karena itu, upaya menurunkan prevalensi kegemukan dan obesitas akan
menurunkan prevalensi hipertensi pada anak secara tidak langsung. Hipertensi pada
anak merupakan fenomena yang mencemaskan karena dapat menimbulkan kerusakan
pada berbagai organ tubuh seperti ginjal, jantung, saraf mata, serta kelainan fungsi otak
dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya pencegahan hipertensi dan kegemukan serta
obesitas pada anak mesti segera dilakukan.
d. Kegemukan dan obesitas pada anak dan Sleep Apnea
Kegemukan dan obesitas pada anak juga berpotensi menimbukan gangguan
pada saluran napas ketika tidur, yang dikenal dengan istilah sleep apnea. Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya bahwa anak yang menderita obesitas berpotensi

Subsistem Status Gizi | 19


mengalami sleep apnea. Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa kelainan sleep
apnea dijumpai pada sekitar 7% anak penderita obesitas. Meskipun hubungan antara
obesitas dan sleep apnea belum jelas, diduga penderita obesitas memiliki saluran (jalan)
napas yang lebih sempit akibat penumpukan lemak berlebih di beberapa otot yang
berada di sekitar jalan napas. Selain itu, pangkal lidah mereka juga diperkirakan lebih
mudah terdorong ke arah belakang dan menyumbat jalan napas ketika tidur.
e. Kegemukan dan Obesitas pada anak dan gangguan tulang serta sendi
Kegemukan danobesitas pada anak berpotensi menimbulkan kelainan bentuk
dan ukuran (deformitas) tulang, ketidakseimbangan , maupun rasa nyeri yang sangat
kuat baik ketika anak berdiri, berjalan, maupun berlari. Kegemukan dan obesitas pada
anak diduga memberikan tekanan dan regangan yang lebih besar terutama pada tulang
kaki, dibandingkan anak dengan berat badan normal. Fakta ini terbukti melalui beberapa
penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Stewart Morriso dkk dari University of East
London yang dimuat di situs Bio-Medicine pada 2006, melibatkan 200 anak dari kota
Glasgow. Sebanyak 54 anak penderita obesitas berat, 15 anak penderita obesitas, dan
30 anak lainnya mengalami kegemukan, dan sisanya memiliki berat badan normal.
Kemudian para peneliti melakukan penelitian lanjutan yang melibatkan 44 anak
dengan usia 9-11 tahun, setengah dari jumlah sampel mengalami obesitas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak penderita obesitas membutuhkan waktu lebih lama
untuk menyeimbangkan kakinya ketika berdiri, beralan, maupun berlari dibandingkan
anak dengan berat badan normal. Melalui dua penelitian tersbeut, para peneliti
menyimpulkan bahwa anak penderita obesitas maupun obesitas berat cenderung tidak
seimbang (imbalans) dan tidak dapat berjalan maupun berlari secara efisien.
Penelitian Stewart dkk menarik untuk dikemukakan karena secara tidak langsung
menyatakan bahwa merekomendasikan anak penderita obesitas untuk lebih aktif
bergerak bukanlah alternative terbaik, mengingat keterbatasan kondisi telapa kaki
mereka. Para peneliti juga menyebutkan bahwa meskipun segala keluhan ini dapat
diterapi dengan terapi ortopedi terbaru, tindakan pencegahan kegemukan dan obesitas
pada anak tetaplah yang terbaik. Hal ini dikarenakan upaya pencegahan labih mudah,
murah dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi anak.
Gangguan Kesehatan Mental pada anak penderita obesitan dan kegemukan
Anak penderita kegemukan dan obesitas juga rentan mengalami gangguan
kejiwaan seperti depresi. Hal ini antara lain disebabkan oleh ejekan atau cemoohan dari
teman sebayanya, terutama ketika mereka mulai memasuki usia sekolah. Depresi yang
terjadi pada anak penderita kegemukan dan obesitas bisa ringan maupun berat. Para
orangtua maupun pengasuh harus mengenali gejala-gejala ringan maupun berat agar
dapat segera membawa anak berobat ke dokter ahli kesehatan jiwa (psikiater) ataupun

Subsistem Status Gizi | 20


ahli ilmu perilaku (psikolog). Gejala depresi ringan tidak boleh dibiarkan begitu saja,
karena penyakitnya dapat berlanjut menjadi depresi berat. Dan gejala depresi berat ini
diitandai dengan adanya keinginan untuk bunuh diri.
Gangguan Sosial pada Anak penderita kegemukan dan Obesitas
Selain gangguan klinis dan masalah kejiwaan yang mungkin akan dialami oleh
anak penderita kegemukan dan obesitas, kendala hubungan sosial terutama dengan
teman sebayanya juga berpotensi mengancam mereka. Anak penderita obesitas dengan
konsep diri buruk, diperburuk dengan adanya penolakan sosial yang berlangsung lama,
membuat mereka rentan terjebak dalam berbagai gangguan kejiwaan seperti depresi
ringan maupun berat. Oleh karena itu, dukungan orangtua seperti mendengar keluh
kesah anak penderita kegemukan dan memberikan semangat kepada mereka, memang
terlihat remeh namun sebenarnya dukungan seperti inilah yang sangat berpengaruh
pada mereka.

2.4 Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan


Saat ini, pemerintah bersama organisasi profesi dan organisasi masyarakat
sedang melakukan inisiatif baru dalam bentuk suatu gerakan untuk menanggulangi
perbaikan gizi baik kekurangan maupun kelebihan gizi, yang mana memfokuskan pada
Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scalling Up
Nutrition (SUN) (2012).
Sasaran dari gerakan ini yang ingin dicapai pada akhir tahun 2025 yang disepakati
yaitu sebagai berikut :
1. Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 persen
2. Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5
persen.
3. Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 persen
4. Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih
5. Menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 persen
6. Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan paling
kurang 50 persen
Dan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan untuk penunjang program 1000 Hari Pertama
Kehidupan dibagi menjadi dua yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi
spesifik merupakan tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan
khusus untuk kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu
relatif pendek.

Subsistem Status Gizi | 21


Jenis-jenis intervensi gizi spesifik yang cost efektif adalah sebagai berikut :
Ibu Hamil
1. Suplementasi besi folat

2. Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK

3. Penanggulangan kecacingan pada ibu hamil

4. Pemberian kelambu berinsektisida dan pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria
Kelompok 0 – 6 Bulan
1. Promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)
Kelompok 7 – 23 Bulan
1. Promosi menyusui

2. KIE perubahan perilaku untuk perbaikan MP – ASI

3. Suplementasi Zink

4. Zink untuk manajemen diare

5. Pemberian Obat Cacing

6. Fortifikasi besi

7. Pemberian kelambu berinsektisida dan malaria


Sedangkan intervensi sensitif Berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor
kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK.
Namun apabila direncanakan secara khusus dan terpadu dengan kegiatan spesifik,
dampaknya sensitif terhadap keselamatan proses pertumbuhan dan perkembangan 1000
HPK. Dampak kombinasi dari kegiatan spesifik dan sensitif bersifat langgeng
(“sustainable”) dan jangka panjang. Intervensi gizi sensitif meliputi :
1. Penyediaan air besih dan sanitasi
2. Ketahanan pangan dan gizi
3. Keluarga Berencana
4. Jaminan Kesehatan Masyarakat
5. Jaminan Persalinan Dasar
6. Fortifikasi Pangan
7. Pendidikan gizi masyarakat
8. Intervensi untuk remaja perempuan
9. Pengentasan Kemiskinan
Peran pemerintah dalam program ini merupakan sebagai inisiator, fasilitator dan
motivator terlaksananya dengan baik program tersebut. Namun, dalam pelaksanaan
program pemerintah in, pemerintah bekerjasama oleh banyak pihak, diantaranya mitra
pembangunan, lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, serta mitra pembangunan
(Organisasi PBB).

Subsistem Status Gizi | 22


BAB 3. PEMBAHASAN

3.1. Fenomena Kegemukan dan Obesitas di Indonesia


Hingga hari ini, Indonesia masih menghadapi paradox dalam hal kesehatan gizi
masyarakat, terutama pada kelompok usia anak. Paradoks yang dimaksud ialah
persoalan kekurangan gizi (malnutrisi) di satu sisi dan peningkatan prevalensi
kegemukan dan obesitas di sisi lainnya, terutama di kota-kota besar di Indonesia, seperti
Jakarta, Bandung, Surabaya,dan sebagainya.
Meskipun tidak mudah mendapatkan data yang akurat mengenai jumlah dan
prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak di Indonesia, penelitian yang dilakukan
oleh Dr. Damayanti bersama koleganya yang tergabung dalam Masyarakat Pediatri
Indonesia dapat menjadi gambaran mengenai fenomena ini.
Penelitian dilakukan terhadap anak-anak sekolah dasar di sepuluh kota besar
Indonesia periode 2002-2005dengan metode acak. Hasilnya, prevalensi kegemukan
pada anak-anak usai sekolah dasar secara berurutan dari yang tertinggi ialah Jakarta
(25%), Semarang (24,3%), Medan (17,75%), Padang (7,1%), Manado (5,3%),
Yogyakarta (4%), dan Solo (2,1%). Rata-rata prevalensi kegemukan di sepuluh kota
besar tersebut mencapai 12,2%.
Fenomena peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak di
Indonesia sangat mencemaskan. Fenomena yang banyak dijumpai pada anak terutama
di kota-kota besar pada masyarakat kelas menengah dan atas ini terjadi akibat
rendahnya kesadaran masyarakat dalam mendidik anak-anak mereka untuk hidup lebih
sehat dengan cara mencukupi kebutuhan asupan serat hariannya, banyak beraktivitas
dan cukup berolahraga, serta menghindari mengonsumsi makanan-makanan cepat saji
dan sebagainya.
Selain itu, disesalkan pula minimnya upaya pemerintah dan institusi kesehatan
dalam melakukan komunikasi, menyebarkan informasi, serta edukasi yang intensif pada
masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat, serta bahaya kegemukan dan obesitas
pada anak serta langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun
mengobati gizi berlebih ini sehingga dapat menekan prevalensi kegemukan dan obesitas
pada anak di Indonesia.
Kegemukan dan obesitas pada anak merupakan bom waktu yang siap
meledakkan sejumlah persoalan kesehatan di kemudian hari. Untuk itu, diperlukan upaya
sungguh-sungguh dari masyarakat, pemerintah, instansi kesehatan, dan para pemangku
kepentingan di bidang kesehatan lainnya untuk secara bersama-sama menekan
prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak di Indonesia.

Subsistem Status Gizi | 23


3.2. Pembahasan Artikel
Masalah gizi di Indonesia tidak hanya masalah kekurangan gizi namun juga
kelebihan gizi yang ternyata dinilai juga dapat mengakibatkan kematian utamanya di
Indonesia. Berdasarakan data Riskesdas, diketahui sekitar 14,2% prevalensi anak balita
mederita kegemukan. Angka prevalensi ini meningkat, dari angka prevalensi terakhir yaiti
12,2% yang tercatat pada Riskesdas tahun 2007.
Hal ini merupakan suatu hal yang mencemaskan. Meskipun Indonesia telah
mampu mencapai target untuk menurunkan angka prevalensi gizi buruk, namun dengan
adanya peningkatan prevalensi kegemukan maka Indonesia belum dapat dikatakan
berhasil dalam pencapaian MDG’s.
Menurut kami, peningkatan prevalensi ini terjadi tidak hanya disebabkan oleh
faktor genetik, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain. Saat ini, anak-anak yang
seharusnya bisa aktif bermain, telihat duduk santai dengan cemilan dan permainan
modernnya. Permainan zaman sekarang membuat anak semakin malas beraktivitas,
sangat berbeda dengan permainan-permainan tradisional sebelumnya.Kurangnya
aktivitas anak inilah yang juga berpengaruh dalam meningkatkan resiko terkena
kegemukan dan obesitas. Bagaimana tidak hal ini bisa terjadi ? Asupan makanan yang
mereka konsumsi sehari-harinya selalu menghasilkan kalori dan energi, yang mana
bagaimanapun juga harus dibakar oleh proses metabolisme tubuh. Namun,
kenyataannya saat ini anak-anak sulit bermain dengan leluasa, mereka hanya
menghabiskan waktu bermainnya di depan layar komputer, ipad, games dan masih
banyak lainnya. Hal tersebut menyebabkan tidak terbakarnya kalori-kalori yang masuk
dalam tubuh kita. Sebenarnya kalori yang tidak terbakar, bukan merupakan penyebab
langsung terjadinya obesitas dan kegemukan pada anak, namun karena seringnya anak
diberi asupan makanan yang tinggi kalori dan diberikan permainan modern maka terjadi
penumpukan kalori yang nantinya menjadi tumpukan lemak. Hal ini yang masih belum
disadari oleh masyarakat.
Obesitas dan kegemukan pada balita merupakan tanggung jawab orang tua, di
mana orangtua harus memiliki pengetahuan yang baik, sehingga para orangtua tidak
perlu terus-menerus memberikan aupan tinggi kalori ataupun makanan yang cepat saji,
yang mana kedua tipe makanan seperti itu sampai saat ini sering diberikan oleh para ibu
kepada anak balitanya. Kebanyakan para orangtua mengungkapkan alasan mereka
seringnya menggunakan makanan cepat saji dikarenakan tidak memerlukan waktu
banyak untuk membuatnya. Hal in banyak terjadi pada kelompok ekonomi kelas atas.
Banyaknya iklan di tv mengenai makanan cepat saji, seperti fast food, junk food,
ataupun softdrinks semakin membuat anak-anak tertarik untuk membeli dan
mengonsumsi. Apalagi saat ini sudah banyak produsen makanan cepat saji yang

Subsistem Status Gizi | 24


membidik sasarannya yaitu kelompok anak-anak dengan pemberian hadiah dan masih
banyak lainnya. Hal ini pula yang meningkatkan keinginan anak untuk mengonsumsinya.
Disinilah lagi-lagi peran orangtua sangat dibutuhkan yaitu orangtua harus mampu
memberikan pengetahuan dan informasi kepada anak mengenai makanan cepat saji
tersebut, selain itu orangtua tidak seharusnya menjadikan makanan cepat saji sebagai
salah satu menu makanan anak sehari-hari. Namun, pada permasalahan ini, tidak hanya
peran orang tua yang diharapkan dapat tegas mencegah permasalahan ini, namun juga
pemerintah yang seharusnya bisa tegas memperingatkan produsen yang amsih
memproduksi makanan cepat saji utamanya mereka yang membidik kelompok anak-anak
untuk produknya.
Hal ini sangat berkebalikan jauh dengan yang terjadi di negara lain. Di negara kita,
Indonesia, mengonsumsi makanan cepat saji dianggap suatu hal yang membanggakan
sehingga para anak-anak terus menerus masih tetap ingin mengonsumsi makanan cepat
saji tersebut. Sedangkan di luar negeri, mengonsumsi makanan cepat saji merupakan
suatu hal yang sangat memalukan, sehingga banyak dari mereka yang menghindari
konsumsi makanan cepat saji.
Tidak hanya itu, perlu kita ketahui bahwa kegemukan dan obesitas dapat
menyebabkan beberapa gangguan tidak hanya pada fisik, namun juga psikis anak serta
sosialnya. Utamanya pada anak yag menderita kegemukan dan obesitas, mereka mudah
sekali mengalami gangguan psikis maupun sosial. Gangguan fisik yang diakibatkan oleh
kegemukan dan obesitas yakni menderita diabetes mellitus tipe 2, asma atau
penyempitan saluran napas, hipertensi dan sebagainya. Jika saja anak-anak Indonesia
sejak balita sudah menderita kegemukan dan obesitas, hal ini semakin mempersulit
keadaan dimana kegemukan dan obesitas sejak lahir berpotensi menderita kegemukan
dan obesitas lagi di usia remaja ataupuan usia dewasanya nanti. Hal ini dapat
mengurangi jumlah generasi penerus bangsa.
Namun saat ini, pemerintah telah berupaya dalam menekan angka prevalensi
kegemukan dan obesitas pada anak balita yaitu dengan program suatu gerakan yang
dititikberatkan pada percepatan perbaikan gizi pada 1000 hari pertama keidupan.
Gerakan ini mengintegrasikan intervensi langsung dan tidak langsung yang mana
diselenggarakan oleh berbagai sector pembangunan.
Oleh sebab itu, sangat dihrapakan upaya tegas pemerintah dalam pelaksanaan
program ini. Selain itu, pemerintah juga seharusnya mampu bersikap tegas kepada para
produsen makanan cepat saji, serta memberikan pengetahuan dan informasi khususnya
kepada para ibu muda, supaya nanti mereka dapat mencegah terjadinya obesitas dan
kegemukan pada anakn-anak mereka.

Subsistem Status Gizi | 25


BAB 4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
 Kegemukan (obesitas) berbeda dengan kelebihan berat badan (Oberweight).
Kegemukan yaitu penimbunan lemak tubuh yang berlebihan sehingga berat badan
anak balita jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan anak. Dan
overweight adalah suatu keadaan berat badan anak balita yang melebihi berat
badan normal atau seharusnya.
 Hingga hari ini, Indonesia masih menghadapi paradox dalam hal kesehatan gizi
masyarakat, terutama pada kelompok usia anak yaitu mengenai persoalan
kekurangan gizi (malnutrisi) di satu sisi dan peningkatan prevalensi kegemukan
dan obesitas di sisi lainnya, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
 Saat ini, pemerintah bersama organisasi profesi dan organisasi masyarakat
sedang melakukan inisiatif baru dalam bentuk suatu gerakan untuk menanggulangi
perbaikan gizi baik kekurangan maupun kelebihan gizi, yang mana memfokuskan
pada Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scalling
Up Nutrition (SUN).

4.2. Saran
Dalam upaya menekan angka prevalensi kegemukan dan obesitas pada ank,
diharapkan tidak hanya keluarga yang berperan ataupun hanya pemerintah saja yang
berperan, namun dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, dan peran dari yang
lainnya. Hal ini ditujukan agar target penurunan angka prevalensi kegemukan dan
obesitas pada anak dapat tercapai secepatnya.

Subsistem Status Gizi | 26


DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Budi Sutoma, Dwi Yanti Anggraini. 2010. Menu Sehat Alami untuk Batita dan Balita.
Jakarta : Demedia, 2010.
Dietz, WH. 1995. Childhood Obesity, Text book of Pediatriies Nutrition. New york : Raven
Press, 1995.
Dina Agoes, Maria Poppy. 2003. Mencegah dan Mengatasi Kegemukan pada Balita.
Jakarta : Puspa Swara, 2003.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Kesehatan MAsyarakat : Ilmu dan Seni. Yogyakarta : PT
Rineka Cipta, 2003.
RI, UU. 2012. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Jakarta : s.n.,
2012.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC, 1995.
Sulistiyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2011.
Supariasa, I Nyoman Dewa, Bachtiar Bakri, Ibnu Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi.
s.l. : EGC, 2002.
Syarifah, Fitri. 2013. Liputan 6. Liputan 6.com. [Online] Maret 02, 2013. [Cited: April 21,
2013.] http://health.liputan6.comread525236menkes-obesitas-pada-
balitapenyebab-kematian-utama-di-indonesia.htm.
Uripi. 2004. Pengaruh Penyuluhan Gizi terhadap Perilaku Ibu dalam Pemenuhan Gizi
Seimbang pada Balita. s.l. : Universitas Sumatera Utara, 2004.
Wahyu, Genis Ginanjar. 2009. Obesitas pada Anak. Yogyakarta : Penerbit B First, 2009.
2012. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan. Jakarta : s.n., 2012.

Subsistem Status Gizi | 27


LAMPIRAN

1) Tabel Angka Kecukupan Gizi bagi Orang Indonesia

Subsistem Status Gizi | 28


2) Artikel
17 April 2013 | 22:26:48

Menkes: Obesitas Pada Balita,Penyebab Kematian Utama di Indonesia


oleh Fitri Syarifah
Posted: 02/03/2013 11:05

Menkes Nafsiah Mboi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta : Masalah gizi adalah hal yang sangat penting dan
mendasar dari kehidupan manusia. Namun, ternyata bukan hanya masalah kekurangan
gizi yang menjadi masalah di Indonesia tapi kelebihan gizi yang dinilai juga merupakan
penyebab kematian utama Indonesia.
Seperti dicatat dari data Riskesdas, tahun 2010 prevalensi gizi kurang pada balita
di Indonesia masih sebesar 17,9 persen dan stunting masih 35,6 persen.
Di samping itu, diperkirakan 14.2% balita di Indonesia mengalami gizi lebih dan
kegemukan (obesitas). Bahkan, pada kelompok dewasa, prevalensi gizi lebih telah
mencapai 21%.
“Kelebihan gizi merupakan risiko utama penyakit tidak menular (PTM) yang juga
merupakan salah satu penyebab utama kematian di Indonesia”, ujar Menteri Kesehatan,
Nafsiah Mboi seperti dikutip dari siaran Pers, Sabtu (2/3/2013).
Menurut Menkes, walaupun Indonesia sudah berhasil menurunkan angka gizi
buruk, tapi masih butuh usaha ekstra untuk mencapai target MDG’s. “Kita sudah berhasil
menurunkan angka gizi buruk. Tetapi untuk menurunkan membutuhkan extra effort untuk
mencapai target MDGs”, kata Menkes.
Seperti diketahui, kekurangan gizi di Indonesia selain dapat menimbulkan masalah
kesehatan (morbiditas, mortalitas dan disabilitas), juga menurunkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) suatu bangsa. Bahkan, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi
ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa.
Untuk menanggulangi perbaikan gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi, saat
ini pemerintah bersama organisasi profesi dan organisasi masyarakat, sedang
melakukan inisiatif baru dalam bentuk suatu gerakan yang difokuskan pada Percepatan
Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scaling Up Nutrition (SUN).
"Gerakan ini mengintegrasikan intervensi langsung dan intervensi tidak langsung yang
diselenggarakan oleh berbagai sektor pembangunan,"tambah Nafsiah. (Syarifah, 2013)

Subsistem Status Gizi | 29

Anda mungkin juga menyukai