Anda di halaman 1dari 11

PENCEMARAN TANAH

(Sawah Tercemar Limbah Pabrik, Beginilah Nasib Petani Rancaekek)

HANDOUT
Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Kimia Lingkungan

Dosen Pengampu:
Imelda Helsy, M.Pd.
Dr. Yulia Sukmawardani, M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok I / Pendidikan Kimia
Ai Nurdianti 1162080007
Dudi Fatul Jawad 1162080021
Ratu Fahira D 1162080058
Vina Malihah 1162080080

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala Puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan berbagai macam nikmat
terutama nikmat sehat wala’fiat. Sehingga atas berkat qudrat dan iradatnya penyusunan handout yang
berjudul “Pencemaran Tanah (Sawah Tercemar Limbah Pabrik, Beginilah Nasib Petani
Rancaekek)” telah terselesaikan.
Handout ini di buat sebagai salaha satu tugas terstruktur pada mata kuliah Kimia Lingkungan.
Kami berterimakasih kepada pihak yang telah membantu demi terselesaikannya pembuatan handout
ini.
Tentunya handout ini masih banyak kekurangannya dalam berbagai sisi, untuk itu kami
memohon saran dan kritik terhadap handout yang telah kami buat demi tercapainya handout yang lebih
baik.

Bandung, 8 November 2018

Penyususn
LATAR BELAKANG

Fenomena transformasi struktural dari pertanian ke industri, tanpa dibarengi dengan orientasi
terhadap lingkungan hidup, sehingga terjadi pencemaran lingkungan akibat limbah industri terjadi pada
lahan pertanian di Kawasan Rancaekek sejak 1991.

Lahan pertanian di Rancaekek, Jawa Barat, banyak rusak parah karena ulah pabrik yang
membuang limbah sembarangan. Warga menderita karena kualitas padi buruk, harga jatuh, dan
kesulitan mendapatkan air bersih.

Di tengah kesulitan warga ini, pemerintah daerah bukan mencari solusi memperbaiki lingkungan
malah menilai sawah tak produktif maka lebih baik menjadikan kawasan industri. Hal ini seperti
dilontarkan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar. Dia berwacana membuat kawasan industri di
Rancaekek, Bandung Timur. Dedi mengatakan, lahan pertanian Rancaekek sudah kritis dan tak
produktif.

Para petani Rancaekek pun protes dengan rencana itu, terlebih kerusakan lahan pertanian selama
ini dampak industri yang ada.

Nandang Supriyatna, warga Dusun Nyalindung, Desa Linggar Rancaekek mengatakan,


sebaiknya pemerintah fokus mengatasi pencemaran limbah tekstil daripada mewacanakan
pembangunan kawasan industri baru.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana gambaran pencemaran tanah yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat?

2. Apa penyebab utama terjadinya pencemaran tanah di Rancaekek, Jawa Barat?

3. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dari pencemaran tanah yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat?

4. Bagaimana Solusi untuk menanggulangi masalah pencemaran tanah yang terjadi di Rancaekek,
Jawa Barat?

5. Bagaimana tanggapan instansi pemerintah terhadap pencemaran tanah yang terjadi di Rancaekek,
Jawa Barat?
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah
lingkungan tanah alami (Veegha, 2008). Darmono (2001) menyatakan bahwa ada dua sumber utama
kontaminasi tanah yaitu kebocoran bahan kimia organik dan penyimpanan bahan kimia dalam bunker
yang disimpan dalam tanah, dan penampungan limbah industri yang ditampung dalam suatu kolam
besar yang terletak di atas atau di dekat sumber air tanah. Limbah industri yang bisa menyebabkan
pencemaran tanah berasal dari: pabrik, manufaktur, industri kecil, industri perumahan, bisa berupa
limbah padat dan cair.

a) Limbah industri yang padat atau limbah padat yang adalah hasil buangan industri berupa padatan,
lumpur, bubur yang berasal dari proses pengolahan. Misalnya sisa pengolahan pabrik gula, pulp,
kertas, rayon, plywood, pengawetan buah, ikan daging dan lain-lain.

b) Limbah cair yang adalah hasil pengolahan dalam suatu proses produksi, misalnya sisa-sisa
pengolahan industri pelapisan logam dan industri kimia lainnya. Tembaga, timbal, perak, khrom,
arsen dan boron adalah zat hasil dari proses industri pelapisan logam. (Sadrach, 2008).

Limbah yang telah mencemari lingkungan akan membawa dampak yang merugikan manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung, apabila pecemaran tersebut secara
langsung dan cepat dapat dirasakan akibatnya oleh manusia. Kerugian secara tidak langsung, apabila
pencemaran tersebut mengakibatkan lingkungan menjadi rusak sehingga daya dukung lingkungan
terhadap kelangsungan hidup manusia menjadi menurun. Kondisinya dapat lebih parah lagi apabila
daya dukung lingkungan sudah tidak mampu lagi menopang kebutuhan manusia, sehingga malapetaka
bagi kehidupan manusia tidak terhindar. Sebagai contoh adalah kesuburan tanah sangat menurun
sehingga mengganggu sektor pertanian yang berakibat menurunnya produksi pangan dan juga sumber
air minum yang sehat sudah sulit didapatkan sehingga masyarakat kekurangan air untuk kebutuhan
hidup sehari-hari.

2. Studi kasus

Fenomena transformasi struktural dari pertanian ke industri, membuat banyak lahan pertanian,
Ruang Terbuka Hijau (RTH) terkonversi menjadi lahan industri. Kondisi seperti ini menyebabkan
munculnya eksternalitas, baik positif maupun negatif. Eksternalitas positif yang paling dirasakan
berkaitan dengan lapangan kerja. Namun adanya sisi positif itu tidak dibarengi dengan orientasi
terhadap lingkungan hidup, sehingga eksternalitas negatif yang paling dirasakan yakni persoalan
limbah menjadi ancaman yang tidak hanya untuk saat ini, tapi dapat pula menjadi masalah yang lebih
serius lagi di masa yang akan datang. Disinilah diperlukan peran dari pemerintah untuk mengurus dan
merespon eksternalitas yang ada, terlebih jika eksternalitas negatif berupa limbah sudah lintas wilayah
administratif.

Sawah hancur dan rusak parah terkena limbah dari pabrik tekstil. Foto: Indra Nugraha

Adanya eksternalistas negatif, seperti limbah industri, dari suatu daerah pada daerah lain tentu
memerlukan responsiveness pemerintah daerah yang saling berkaitan agar dampak negatif tersebut
dapat dikendalikan sesuai dengan regulasi yang ada. Namun faktanya eksternalitas negatif sangat sulit
dikendalikan, terlebih jika sudah lintas administratif. Hal ini terjadi di Kawasan Rancaekek,
pencemaran terjadi dengan wilayah terdampak pencemaran berada di Kabupaten Bandung, sedangkan
sumber pencemarnya adalah pelaku usaha yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Sumedang Pencemaran limbah dan kerusakan lingkungan di Rancaekek sudah terjadi lebih dari 20
tahun lamanya, tepatnya mulai dari tahun 1991, khususnya di 4 (empat) desa, yang masuk dalam
administratif Kabupaten Bandung, yakni Desa Jelengong, Linggar, Bojongloa dan Sukamulya.
Menurut Greenpace.org (2015) dan BPS Kabupatn Bandung (2015) tercatat kurang lebih 93 industri
yang berdiri di Wilayah Rancaekek. Industri-industri yang ada menghasilkan limbah cair dengan total
lebih dari 959 litek/detik atau 7,31 ton/hari. Dari puluhan perusahaan di Kawasan Rancaekek justru
perusahaan yang berada di administratif Kabupaten Sumedang yang dianggap menjadi penyumbang
limbah terbanyak, terutama PT. Kahatex II, yang menyumbang debit limbah cair sebanyak 21.108
meter kubik perhari, ditambah PT. Five Star setidaknya 600 meter kubik pehari, dan PT. Insan
Sandang mencapai 1500 meter kubik perhari, maka total ketiga perusahaan tersebut menyumbang
debit limbah sebanyak 33,74% dari debit total 65.618 – 85.618 meter kubik perharinya. (BPLHD Jawa
Barat, 2015; BPLH Kabupaten Bandung, 2015; BLH Kabupaten Sumedang, 2015; dan Greenpeace,
2015).

3. Penyebab dan Dampak

Banyaknya limbah cair yang dibuang oleh perusahaan-perusahan yang ada tidak sebanding dengan
daya tampung dan debit air dari sungai yang dijadikan tempat dibuangnya limbah yakni Sungai
Cikijing, bagian hulu di Kabupaten Sumedang dan bagian hilir di Kabupaten Bandung, oleh
perusahaan-perusahaan yang masuk ke Kabupaten Sumedang. Menurut Kepala UPTB Laboratorium
Lingkungan Hidup BLH Kabupaten Sumedang, daya tampung sungai Cikijing, untuk PT. Kahatex II
yang setidaknya dalam satu hari menghasilkan debit limbah cair setidaknya 19.000 meter kubik
perharinya pun sudah dapat dikatakan tidak layak.

Berlarutnya permasalahan dapat dilihat dari lahan pertanian yang tercemar semakin meluas dari
415 Ha menjadi 752 Ha (BPLHD Jawa Barat, 2015; KLHK, 2015). Berbagai upaya memang telah
dilakukan sebagai bentuk respon pemerintah daerah dari mulai pengawasan hingga kesepakatan untuk
penyelesaian di luar pengadilan berupa pemulihan atas lahan tercemar namun tidak menuai hasil
signifikan, tidak ada kebijakan yang kemudian menjadi solusi. Diperlukan responiveness dari
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pemerintah Kabupaten
Sumedang, secara teknis dilakukan oleh badan teknis di bidang lingkungan hidup, yakni oleh Badan
Pengelolaan Lingkungan Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat, Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup (BPLH) Kabupaten Bandung, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabuaten Sumedang.
Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun, tidak ada peningkatan kualitas atau perbaikan atas wilayah
yang terkena limbah, yakni lahan petanian, malah semakin memburuk. BPLHD Provinsi Jawa Barat,
BPLH Kabupaten Bandung, dan BLH Kabupaten Sumedang seolah tidak menunjukan responsiveness
yang diharapkan sehingga penanggulangan dan pemulihan pencemaran limbah industri pada lahan
pertanian di kawasan Rancaekek tidak berjalan sebagaimana mestinya.
keadaan saat ini, di pabrik tekstil PT Kahatex, pekerja justru mayoritas pendatang. Limbah
dibuang mencemari lahan pertanian hingga rusak parah. “Biasa satu tumbak bisa menghasilkan 10 kg
padi. Sekarang paling empat kg. Kualitas padi juga tak bagus,” kata Darma, warga lain. Darma
memperlihatkan, padi dari sawah miliknya. Bulir padi tampak lebih kecil dan warna lebih hitam. Tidak
kuning cerah seperti kebanyakan padi. Hal ini, katanya, berimbas pada harga jual. Padi kualitas bagus
Rp700.00 per kuintal. Karena kualitas buruk, hanya Rp350.000 per kuintal. “Rasa nasi kaya’ makan
jagung atau sagon. Air disini juga jadi keruh. Kulit jadi gatal. Untuk minum dan masak harus beli.”
Menurut penelitian Greenpeace Asia Tenggara dan Walhi Jabar 2012, sawah tercemar seluas
1.215 hektar, ditambah 727 hektar saat banjir. Hal ini menyebabkan produktivitas sawah menurun 1-
1,5 ton per hektar tiap musim. Kerugian mencapai Rp3,65 miliar per tahun. “Wacana pemerintah
mengalihfungsikan dan membeli lahan produktif yang terpapar limbang B3 di Rancaekek merupakan
langkah tidak tepat. Karena hanya akan mengalihkan dan menambah masalah,” kata Ketua Paguyuban
Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), Adi M Yadi. Pawapeling mulai mengadvokasi warga
Rancaekek sejak 2007. Mereka berusaha membantu memulihkan kembali lahan pertanian warga.
Selama ini, pemerintah terkesan membiarkan masalah terjadi berlarut-larut. Seharusnya, ada upaya
penegakan hukum dan solusi permanen. “Alihfungsi sawah menjadi kawasan industri bukan solusi.
Ini tidak sesuai semangat pemerintah ingin mewujudkan swasembada pangan.”
4. Penanggulangan dan tanggapan instansi pemerintah
Upaya penyuburan lahan
Pawapeling melakukan bio remediasi di sawah milik masyarakat yang terpapar limbah. Lahan seluas
1.400 meter persegi di Desa Bojongloa jadi percontohan.
“Melalui bio remediasi, kami mencoba memulihkan kembali kontur tanah dari logam berat. Sebelum
cocok tanam, sebar kotoran hewan sapi dan kamping selama satu hari. Lalu ditraktor dan diberi pupuk
cair organik hasil olahan kita.” Proyek percontohan sudah berjalan dua setengah bulan. Secara fisik dan
kontur tanah ada perubahan.
Tanah yang keras, jadi lentur dan mulai subur. Ke depan, proyek ini akan disebarkan ke tiga desa lain,
yakni Sukamulya, Jelegong dan Linggar. “Secara bertahap. Kita juga ukur kemampuan, jadi gak bisa
serentak. Ini kegiatan sosial murni. Kita juga siapkan punyuluhan dan pendampingan sampai petani bisa
mandiri,” katanya.
Bio remediasi, katanya, jadi solusi mengatasi lahan sawah yang rusak. Ini jauh lebih ampuh
dibandingkan mengalihfungsikan sawah untuk industri. Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan
mengatakan, alihfungsi lahan pertanian di Rancaekek menjadi kawasan industri hanya menguntungkan
pengusaha besar.” Tanah dijual murah ke perusahaan. Ini mengancam petani. Alihfungsi akan sebabkan
perpindahan bajir ke daerah lain.” Dadan mengatakan, lahan pertanian di Rancaekek sebenarnya
produktif, hanya tercemar limbah industri. Untuk itu, harus dituntaskan penanganan pencemaran.
“Bukan malah mewacanakan alihfungsi kawasan.”
Seharusnya, katanya, upaya penegakan hukum berjalan. “Proses ganti rugi juga pemulihan
lingkungan. Hingga efek jera bagi perusahaan pencemar lingkungan.” Dodo Sambodo, Asdep
Pengaduan dan Penanganan Kasus Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mengatakan, pernyataan wagub tidak tepat. “Wagub harusnya berikan kepercayaan struktural ke bawah.
Karena ada mekanisme perencanaan pembangunan daerah melalui musrembangda. Dari tiap desa
berikan masukan. Jangan tiba-tiba bilang tata ruang mau diubah.” Alihfungsi lahan pertanian
Rancaekek menjadi kawasan industri, katanya, akan berdampak ancaman stok pangan di Jabar.
“Harusnya Wagub lihat contoh yang dilakulan Pawapeling. Lahan itu dengan proses bioremediasi bisa
diperbaiki.”
Solusi menyeluruh
Dodo mengatakan, mengatasi persoalan Rancaekek, tidak bisa dilihat dari sisi pencemaran.
Masalah dari hulu sampai ke hilir harus diperhatikan dan diselesaikan. “Untuk kasus Kahatex, di KLHK
ada perencanaan jangka panjang menengah. Kami bagi perencanaan ini atas kesepakatan pusat dan
daerah.” Dia menolak anggapan jika penyelesaian pencemaran air Kahatex mandek. “Proses terus
berjalan meski lamban.”
Menurut dia, mempertemukan berbagai pihak antara pusat dan daerah tidak bisa cepat. “Ada
proses terus dibangun dan tidak mudah. Masalah pencemaran antara pusat dan daerah saja selalu ada
tumpang tindih wewenang.” Saat ini, Kahatex sudah mau investasi perbaikan manajemen, seperti
perbaikan alat dan membangun IPAL. “Sudah mulai dipasang. Nanti tidak ada lagi pencemaran.
Tanggung jawab KLHK saat alat tidak dipasang, ada upaya penegakan hukum dan administrasi.”
Bagian lain, menangani masyarakat terdampak, paparan pencemaran dan peroses perhitungan ganti
rugi. “Sudah proses perdata yang terus berjalan.
Ada tim khusus menangani ini. Mereka bikin hitung-hitungan. Nanti ada kesepakatan ganti rugi,”
katanya. Bagian terakhir, kegiatan langsung berhubungan dengan masyarakat. “Ini paling susah.
Seringkali ada perbedaan pendapat dari masyarakat dalam melihat persoalan.”
“Dengan Pawapeling, meminta masyarakat bentuk kegiatan bersama seperti bioremediasi. Lalu
Walhi bantu advokasi. Semua harus berjalan beriringan.”
REDUCE, REUSE, RECYCLE
Reduce (Perlu ditekankan, bahwa dari tiga komponen 3R “mengurangi” (produksi
konsumsi dan limbah) adalah cara yang paling efektif untuk melestarikan sumber daya dan
menghasilkan limbah yang sedikit). Reuse (Hal berikutnya dalam hierarki 3R adalah
“menggunakan kembali”. Penggunaan ulang Produk ketika memungkinkan, bahkan lebih baik
daripada mendaur ulangnya karena produk tersebut tidak perlu diproses ulang sebelum dapat
digunakan lagi). Recycle (Komponen terakhir dalam prinsip 3R adalah “mendaur Ulang”.
Banyak item di sekitar kita dapat didaur ulang, dan banyak tempat, sudah memiliki fasilitas
dan sistem untuk barang-barang yang akan didaur ulang).
PENUTUP
1. KESIMPULAN

 Fenomena transformasi struktural dari pertanian ke industri, tanpa dibarengi dengan orientasi
terhadap lingkungan hidup, sehingga terjadi pencemaran lingkungan akibat limbah industri
terjadi pada lahan pertanian di Kawasan Rancaekek sejak 1991.Lahan pertanian di Rancaekek,
Jawa Barat, banyak rusak parah karena ulah pabrik yang membuang limbah sembarangan.
Warga menderita karena kualitas padi buruk, harga jatuh dan kesulitan mendapatkan air
bersih.

 Menurut Greenpace.org (2015) dan BPS Kabupatn Bandung (2015) tercatat kurang lebih 93
industri yang berdiri di Wilayah Rancaekek. Industri-industri yang ada menghasilkan limbah
cair dengan total lebih dari 959 litek/detik atau 7,31 ton/hari. Dari puluhan perusahaan di
Kawasan Rancaekek justru perusahaan yang berada di administratif Kabupaten Sumedang
yang dianggap menjadi penyumbang limbah terbanyak, terutama PT. Kahatex II, yang
menyumbang debit limbah cair sebanyak 21.108 meter kubik perhari, ditambah PT. Five Star
setidaknya 600 meter kubik pehari, dan PT. Insan Sandang mencapai 1500 meter kubik
perhari, maka total ketiga perusahaan tersebut menyumbang debit limbah sebanyak 33,74%
dari debit total 65.618 – 85.618 meter kubik perharinya. (BPLHD Jawa Barat, 2015; BPLH
Kabupaten Bandung, 2015; BLH Kabupaten Sumedang, 2015; dan Greenpeace, 2015).

 Menurut penelitian Greenpeace Asia Tenggara dan Walhi Jabar 2012, sawah tercemar seluas
1.215 hektar, ditambah 727 hektar saat banjir. Hal ini menyebabkan produktivitas sawah
menurun 1-1,5 ton per hektar tiap musim. Kerugian mencapai Rp3,65 miliar per tahun.
 Pawapeling melakukan bio remediasi di sawah milik masyarakat yang terpapar limbah. Lahan
seluas 1.400 meter persegi di Desa Bojongloa jadi percontohan. “Melalui bio remediasi, kami
mencoba memulihkan kembali kontur tanah dari logam berat. Sebelum cocok tanam, sebar
kotoran hewan sapi dan kamping selama satu hari. Lalu ditraktor dan diberi pupuk cair organik
hasil olahan kita.”
 Di tengah kesulitan warga ini, pemerintah daerah bukan mencari solusi memperbaiki
lingkungan malah menilai sawah tak produktif maka lebih baik menjadikan kawasan industri.
Hal ini seperti dilontarkan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, beberapa waktu lalu. Dia
berwacana membuat kawasan industri di Rancaekek, Bandung Timur. Dedi mengatakan,
lahan pertanian Rancaekek sudah kritis dan tak produktif. Para petani Rancaekek pun protes
dengan rencana itu, terlebih kerusakan lahan pertanian selama ini dampak industri yang ada.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan, alihfungsi lahan pertanian di
Rancaekek menjadi kawasan industri hanya menguntungkan pengusaha besar.” Tanah dijual
murah ke perusahaan. Ini mengancam petani. Alihfungsi akan sebabkan perpindahan bajir ke
daerah lain.” Dadan mengatakan, lahan pertanian di Rancaekek sebenarnya produktif, hanya
tercemar limbah industri. Untuk itu, harus dituntaskan penanganan pencemaran. “Bukan
malah mewacanakan alihfungsi kawasan.” Seharusnya, katanya, upaya penegakan hukum
berjalan. “Proses ganti rugi juga pemulihan lingkungan. Hingga efek jera bagi perusahaan
pencemar lingkungan.” Dodo Sambodo, Asdep Pengaduan dan Penanganan Kasus
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pernyataan wagub
tidak tepat. “Wagub harusnya berikan kepercayaan struktural ke bawah. Karena ada
mekanisme perencanaan pembangunan daerah melalui musrembangda. Dari tiap desa berikan
masukan. Jangan tiba-tiba bilang tata ruang mau diubah.”

2. Tanggapan Kelompok

Mengenai permasalahan pencemaran tanah lahan pertanian di Rancaekek, Jawa barat seharusnya
mendapatkan perhatian yang khusus dan tanggap, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya
berdampak pada lingkungan saja, namun juga terhadap pendapatan para petani yang menurun
drastis, akibat hasil panen yang rusak. Selain itu, instansi pemerintah harus lebih tegas dalam
memantau kinerja perusaahan dan memberikan sanksi pada perusahaan-perusahaan yang membuang
limbah tanpa pengolahan yang tepat. Kemudian, harus adanya komunikasi yang instensif dan
terbuka antara pemerintah, pihak perusahaan dan penduduk. Terutama, komunikasi antara
pemerintah pusat dengan badan di bawahnya yang bertugas mengelola tanah pertanian yang
tercemar menjadi produktif kembali.
REFERENSI

http://www.mongabay.co.id/2015/04/14/sawah-tercemar-limbah-pabrik-beginilah-nasib-petani-
rancaekek/

https://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_tanah

Anda mungkin juga menyukai