Anda di halaman 1dari 5

Ribuan Liter Oli Cemari Lingkungan, Potret Buruknya Pengelolaan Limbah Industri di

Kawasan Bandung
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengenalan Teknik Kimia yang di ampu oleh Ibu
Lina Troskialina, B.Sc., M.Sc

Oleh :
Ayu Nurul Mausufy 171431005
Dila Dilalah 171431007
Shalihatunnisa 171431024
Shopi Turdini 171432026
Siti Fauziah 171431029

JURUSAN TEKNIK KIMIA


PROGRAM D3 ANALIS KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2019
Pengelolaan limbah industri kembali menjadi sorotan publik, setelah mesin steam
bloiler (ketel uap) milik PT Central Georgette Nusantara Printing (CGNP) pecah. Ribuan liter oli
tumpah mencemari Sungai Cibingbin yang bermuara ke Waduk Saguling di Kampung Cibingbin
RT 1 RW 4 Desa Laksanamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Pada tanggal 23 Maret 2017, Kepala RW 4, Rosandi menerima laporan dari warga terutama
petani penggarap yang terancam gagal tanam. Hal ini karena adanya tumpahan oli yang terbawa
aliran sungai sejauh kurang lebih 1 kilometer. Aliran sungai tersesbut berwarna hitam pekat
dengan bau oli bekas pemakaian. Kondisi itu menyebabkan 2 hektar lahan sawah yang dikelola
rusak. Selain itu juga, belasan kuintal ikan milik warga banyak yang mati keracunan. Pihak industri
mengakui bahwa kebocoran oli tersebut benar terjadi bersedia membayar ganti rugi sesuai
permintaan masyarakat. Rosandi menyebutkan kerugian dari pencemari sawah sekitar Rp4 jutaan.
Kerugian itu terhitung mulai dari biaya traktor hingga nandur (penanaman benih padi).

Kepala Bagian Personalia dan Umum PT CGNP Dwi Wahyudi menegaskan peristiwa yang
terjadi murni musibah, tidak ada unsur sengaja membuang oli atau adanya kebocoran di tangki.
Penanganan mulai dilakukan oleh pihak pabrik pada tanggal 30 Maret 2017 lalu. Menurutnya, ada
beberapa kendala yang menghambat untuk segera melakukan tindakan penyedotan, salah satunya
faktor sampah yang berserakan di aliran sungai. Kemudian terkait pencemaran di Sungai
Cibingbin, pihaknya telah mengupayakan penyedotan berkoordinasi dengan Dinas Pemadam
Kebakaran KBB.

Detox Campaigner Greenpeace Indonesia, Achmad Ashov Birry, mengatakan bahwa


kebanyakan industri dalam pengolahan limbahnya tidak dilakukan sesuai aturan tetapi langsung
dibuang ke sungai. Pihak industri sering berdalih proses pengeolahan limbah yang mahal dan
membutuhkan waktu yang lama. Ditambah lagi baik industri maupun pemerintah tidak terbuka
dan tidak membuka informasi data pembuangan limbah termasuk limbah beracun
berbahaya. Sehingga sulit memastikan pengelolaan limbah industri telah berjalan ideal atau tidak.
Sistem yang dimiliki oleh Indonesia saat ini tidak bisa menjamin industri taat mengelola
limbahnya sesuai baku mutu. Bahkan tidak bisa juga menjamin industri mengelola limbahnya
sesuai dengan ketetapan yang dibuat pemerintah sendiri.

Pemerintah juga harus mulai menggunakan pendekatan pencegahan dengan prinsip kehati-
hatian seperti manajemen bahan kimia beracun berbahaya dengan membuka data-data
pencemaran industri detail per pabrik, per bahan kimia, volume buangan dan pembuang
limbahnya.

Kasus pencemaran ini telah ditindaklanjuti oleh Polres Cimahi dan sudah melakukan
pengecekan dan pengambilan sempel air ke lokasi. Terkait penyelidikan, pihak kepolisian telah
mengamankan barang bukti berupa katup besi, tempat pengaliran storage oli, berikut dengan
patahannya. Sejauh ini belum dihitung terkait jumlah oli yang tumpah mencemari sungai,
meskipun pencemarannya sudah berlangsung sekitar seminggu.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jabar, Dadan Ramdan, melihat adanya keterlambatan
terkait penanganan kasus limbah. Kasus pencemaran ini seperti perkara biasa, nyatanya ini sangat
merugikan dan menyebabkan lingkungan tercemar.
Bagaimana seharusnya masalah itu ditangani dan peran apa yang dapat diambil oleh
mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung dalam penanganan masalah
tersebut?

Jawab :

Pencemaran limbah minyak terbagi menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Pencemaran akut terjadi
karena jumlah tumpahan minyak dalam jumlah besar, masif, dan mendadak. Misalnya minyak di
laut tumpahan dari tanker, sumur dasar laut, industri oil and gas, atau pipa minyak bawah laut yang
pecah. Sedangkan pencemaran minyak yang kronis, terjadi karena tumpahan dalam jumlah yang
kecil tapi berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Contohnya, buangan minyak ke muara-
muara sungai, kampung nelayan, dan ceceran BBM.
Tumpahan minyak di laut bisa memutus rantai makanan, bahkan pada akhirnya mencemari yang dimakan
manusia juga. Karena minyak itu walaupun sifatnya organik, bisa mengandung muatan logam, apalagi
produk minyak olahan. Sementara jika tumpahan minyak terjadi di darat atau tanah, akan mengakibatkan
hilangnya kesuburan tanah yang terpapar.
Penanganan tumpahan minyak di darat, untuk yang sifatnya akut dilakukan dengan cara mekanis,
mengambil lapisan minyak, jika yang tumpah minyak mentah. Lain halnya kalau yang tumpah produk
olahan minyak, yang langsung meresap ke dalam tanah, meski sebagian menguap ke udara. Namun, jika
tumpahan itu sifatnya kronis, baik minyak mentah maupun minyak olahan, dampaknya sama, akan
menghilangkan kesuburan tanah. Selain itu, ketika suhu meningkat, maka minyak yang ada di dalam tanah
akan terkonsolidasi dan muncul ke permukaan. Ketika suhu turun, minyak pun kembali ke dalam tanah.

Cara mengatasi pencemaran minyak dapat menggunakan proses bio, salah satunya dengan
alat Biodispersant. Jika jumlahnya cukup besar, tidak bisa diatasi dengan Biodispersant, maka
dilakukan melalui Land Farming, yaitu teknologi awal untuk Bioremediasi.
Pada minyak, juga terdapat unsur logam berat. Untuk menetralisir logam berat tersebut, tekniknya
akan berbeda-beda. Pada prinsipnya, logam berat harus disimpan, tekniknya disebutnya
‘Fitoremediasi’.
Untuk mengumpulkan minyak tumpah yang sifatnya kronis mencemari tanah, ada proses mekanik
kalau masih memungkinkan. Sebelumnya dilakukan mapping terlebih dahulu, untuk memetakan
pencemaran minyak yang akan ditanggulangi. Ada juga yang blocking di satu lokasi. Misalnya
total equivalence untuk Carbon syaratnya harus di bawah 1000 PPM (Part Per Mill). Ini kita
turunkan sehingga teknologinya menggunakan bakteri setempat yang sesuai dengan lingkungan,
tidak harmful tapi mampu memotong rantai karbon itu. Maka itulah dikembangkan
teknologi Land Farming. Land Farming adalah suatu metode di mana barang-barang yang
tercemar dikumpulkan, diproses dengan tanah yang ada, diberi bakteri, dan diaduk.
Kemudian untuk mempercepat proses dapat menggunakan Bioreactor, semua proses yang
dilakukan tanpa sentuhan tangan manusia, semuanya mesin. Cara kerjanya, limbah disedot, masuk
ke dalam tanker atau kontainer, lalu ‘diolah’, lalu dimasukkan ke kontainer berikutnya, dan mulai
proses anaerob. Kemudian ditambah beberapa jenis bakteri. Kemudian, masuk ke kontainer lain
untuk di-treatment. Tujuannya untuk menurunkan kadar Carbon dari 17.000 PPM atau berapapun,
tergantung kondisinya, sampai kadar Carbon-nya di bawah 1000 PPM. Total waktu yang
dibutuhkan adalah 21 hari. Bahkan hasil pengembangan terakhir, waktu yang diperlukan untuk
proses remediasi atau fitoremediasi hanya 14 hari. Output dari proses itu adalah pupuk.
Karenanya, teknologi itu disebut Blue Economy, tadi tidak boleh ada limbah atau zero waste.
Untuk membuktikan setelah dilakukan bioremediasi dan fitoremediasi pada lahan yang tercemar
minyak, dilakukan uji lab untuk mengukur Total Petro Hydrocarbon (TPH) pada tanah yang yang
sudah di-treatment, yang sebelumnya mencapai 50% atau lebih, menjadi hanya 1%. Kemudian, di
lahan itu ditanami beberapa jenis tanaman yang sangat rentan terhadap penurunan tingkat
kesuburan tanah. Hasilnya tanaman-tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Artinya, tingkat
kesuburan tanah yang sebelumnya tercemar minyak, sudah pulih.

Anda mungkin juga menyukai