Bentuk Pola Tanam Sistem Agroforestry Di
Bentuk Pola Tanam Sistem Agroforestry Di
OLEH :
MOHAMMAD AQSA
G511 03 701
KONSENTRASI TANAMAN
PROGRAM STUDI SISTEM-SISTEM PERTANIAN
P R O G R A M PA S C A S A R J A N A
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2003
I. PENDAHULUAN
Luas daratan indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta
hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera,
Kalimantan , Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan tersebut, 123
juta hektar berupa lahan/tanah kering dan selebihnya 34 juta hektar berupa lahan/tanah
basah, baik berupa rawa pasang surut maupun rawa lebak (Hakim, dkk., 1986)
untuk dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia terluas, yaitu
mencapai 52,5 Juta Ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 Juta Ha), Sumatera
(14,8 Juta Ha), Kalimantan (7,4 Juta Ha), Sulawesi (5,1 Juta Ha), Maluku dan Nusa
Tenggara (6,2 Juta Ha) dan Irian Jaya (11,8 Juta Ha) (Pusat Penelitian Tanah dan
Meskipun areal lahan kering luas, namun daya guna sumberdaya tanah tersebut
sangat bervariasi dimana ditentukan oleh keadaan fisik lingkungan, pembatas sifat
Dari segi tanah, potensial lahan kering sangat tergantung dari jenis-jenis tanah.
Sebagain besar lahan kering di Indonesia terdiri dari jenis podsolik, dimana dari segi
sifat tanah termasuk golongan marginal yang memerlukan teknologi pengelolaan yang
kemampuan dari lahan yang ada. Namun dengan peningkatan jumlah penduduk yang
terus –menerus menuntut para petani untuk meningkatkan produksinya, sehingga lahan-
lahan dengan kelas kemampuan IV, V, VI dengan kelas kesesuaian S3 dan N1 yang sudah
jelas merupakan lahan marginal untuk tanaman pangan juga menjadi sasaran
pemanfaatan. Akibat model pertanian seperti ini menyebabkan degradasi unsur hara,
teknologi baru. Teknologi baru ini selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman,
efisien, mampu memperbaiki dan mengkonversi sumberdaya lahan dan air, teknologi ini
juga harus mempunyai manfaat yang berkelanjutan. Menurut Sutanto (2002), yang
sesuatu dalam jangka pendek, jangka menengah, demikian selanjutnya jangka panjang.
Penekanan diberikan pada sistem yang stabil sesuai dengan kondisi lingkungan
setempat dan tidak mudah berubah karena perubahan yang tiba-tiba (iklim dan pasar).
marginal dalam hal ini lahan kering yang tingkat kesuburannya rendah, maka
diperlukan suatu teknologi yang tepat, dimana selain memiliki fungsi produksi juga
sebagai proteksi atau konservasi lingkungan. Kedua fungsi diatas dapat ditemui pada
Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan salah satu bentuk pola tanam
dalam agroforestry yang dapat diterapkan pada lahan kering yaitu pola tanam alley
cropping berikut peluang dan kendala dalam penerapannya, keunggulan dan kelemahan
serta cara minimasi dan maksimasi pengaruhi negatif dan positif dari pola tersebut.
II. BENTUK POLA TANAM DALAM SISTEM AGROFORESTRY
lahan dapat memperoleh hasil tanaman pangan atau tanaman agronomi lain, tanaman
pakan ternak dan hasil kayu, secara simultan, serta dapat melestarikan sumberdaya
lahan tersebut. Dalam sistem agroforestry ada beberapa pola tanam, diantaranya adalah
bentuk pola tanam tiga strata, multistorey cropping, alley cropping, dan sebagainya
(Sutidjo, 1986).
Salah satu pola tanam yang populer dari sistem agroforestry yang mempunyai
ciri produktivitas tinggi dan dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang luas adalah
pola tanam tumpangsari berlorong atau lebih dikenal dengan istilah alley cropping.
lahan berlereng dengan menanam tanaman lorong atau pagar, yang dari tanaman
tersebut kita tidak hanya mengurangi resiko erosi melainkan kita juga memperoleh
manfaat lain dari tanaman lorong tersebut, misalnya mulsa (sisa-sisa tanaman yang
sangat cepat membusuk dan menjadi penyubur lahan), bahkan mungkin tanaman lorong
satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di
antara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Tanaman
pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan
mempunyai pengaruh negatif yang rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama
- Jika erosi menjadi masalah utama, maka Flemingia congesta menjadi pilihan utama
- Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau
congesta.
- Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah <50 cm di atas batu kapur, maka Gliricidia
- Jika ketinggian tempat >500 m dari permukaan laut, maka Calliandra calothyrsus
menjadi pilihan utama dan sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia
congesta.
%, yang terdiri atas 48 % disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8%
disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4 % oleh penanaman secara kontour
(Haryati, 2003).
III. PELUANG DAN KENDALA POLA TANAM
ALLEY CROPPING DI LAHAN KERING
A. PELUANG
Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang
langka, maka Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras
bangku. Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman
penguat teras, memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon
untuk lebih mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini merupakan peluang
kering juga dapat menjadi pendorong kuatnya motivasi petani untuk menerapkan Alley
rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar
barisan tanaman pohon atau tanamn semusim. Menurut Shancez (1995) Alley cropping
lebih baik diterapkan pada kondisi dimana tanah cukup subur tanpa keterbatasan unsur
hara makro, curah hujan cukup selama masa pertanaman, lahan sangat miring dan erosi
tinggi, tenaga kerja banyak tersedia dan lahannya luas, serta status pemilikan tanah yang
aman
Pada daerah-daerah seperti Flores dan Lombok, pola tanam alley cropping cocok
untuk diterapkan, karena dengan cara demikian evapotranspirasi tanaman tidak terlalu
tinggi atau dapat dikurangi, dan mikroklimat serta kesuburan tanah dapat diperbaiki.
Pada lahan yang berlereng, lamtorogung dapat ditanam pada guludan-guludan yang
dibuat mengikuti arah lereng sehingga sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi
(Sutidjo, 1986). Hal ini sejalan pula dengan pendapat Samosir (1996), Untuk
pada lahan kering dapat memelihara kelembaban dan kadar air serta mengurangi erosi
B. KENDALA
persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman Lamtoro, biaya sosial
tinggi untuk daerah marginal kritis, prioritas petani masih berorientasi pada keamanan
pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari masyarakat itu sendiri,
dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan petani yang
Selain hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong
mengurangi areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan usaha
tani sangat sempit. Penyediaan benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar
juga menjadi kendala apabila sistem ini akan diterapkan pada skala luas.
IV. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN
POLA TANAM ALLEY CROPPING
A. KEUNGGULAN
pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan kemiringan lahan.
Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan pada
disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai
mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan, dan pemadatan tanah oleh
sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya
menurunkan erosi.
organik dari hasil pangkasan secara periodik ke tanah. Alley cropping juga
sifat fisik tanah, Alley cropping juga dapat meningkatkan unsur hara di dalam
organisme di dalam tanah yang ditunjukkan oleh gradient spatial dan temporal
dari aktivitas casting cacing tanah. Alley cropping dengan tanaman utama
tahun-tahun kering.
sifat kimia tanah dan aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang
Alley cropping lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Alley cropping.
Tabel 3. Hasil Tanaman Jagung, Kacang Tunggak dan Ubikayu pada Alley
Croppin
Hasil tanaman (ton/ha)
Perlakuan
Jagung Kacang tunggak Ubikayu
Kontrol 2,8 0,7 23,0
Alley cropping :
~ Leucaena leucocephala - - -
~ Glirisidia sepium 4,4 0,8 25,0
~ Acioa barterii 3,2 - -
Sumber : Kang et al. (1984) ; keterangan : tanda (-) berarti tidak ada perlakuannya.
d. Tanaman pagar dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan
cropping tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset
ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman dan resiko perkembangan pasar
yang sulit diperkirakan. Dalam tabel berikut diperlihatkan rincian pendapatan rata-
B. KELEMAHAN
sebagai berikut :
pangan/semusim :
b. Kompetisi hara dan air : sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal
akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air,
~ Memilih tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk
~ Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk
bahan organik.
Pengaruh positif dalam sistem Alley cropping dapat dimaksimalkan dengan cara
memilih tanaman pohon yang sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim,
berdasarkan :
Pohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tetapi padat tidak akan memberikan
terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim tanam. Sebaliknya,
pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan memungkinkan cahaya
menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam mengendalikan gulma setelah
organik yang cepat terdekomposisi. Serasah dengan kualitas yang rendah dan lambat
Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi akan meningkatkan
sinkronisasi dari pelepasan hara dari residu organik dengan kebutuhan tanaman.
~ Kemampuan pertumbuhan
Alley cropping merupakan salah satu pola tanam sistem agroforestry dimana
yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Alley cropping efektif
mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah,
pada sistem usaha tani di lahan kering. Dan untuk lebih mendayagunakannya, Alley
pakan ternak. Kendala adopsi Alley cropping adalah kebutuhan tenaga kerja yang
tinggi, keterbatasan nilai tambah terhadap pendapatan usaha tani, sertra kurangnya
pengelolaan yang baik hal ini dapat diatasi. Kombinasi kompetisi di bagian atas
(naungan) dan bawah tanah (air dan hara) yang dapat diminimasi dengan cara
cropping.
DAFTAR PUSTAKA
Alegre, J.C., and M.R. Rao. 1996. Soil and Water Conservation by Countour Ledging
in The Humid Tropics of Peru. Elsevier Science. BV.
Anonim. 2003. Teknologi Konservasi Tanah dan Air dengan Alley cropping. On line
(www.bi.go.id/sipuk/lin/ind/alleycropping/htm). Di akses 7 Januari 2003.
Foth, H.D., 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah; Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
Hakim, N.,Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong, G.B., dan
Bailey, H.H., 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung,
Lampung.
Haryati, U. 2003. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Alley cropping Serta Peluang
dan Kendalanya di lahan Kering. On line (Umiharyati@yahoo.com). Diakses 7
Januari 2003.
Kang, B.T., G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative
to Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA).
Ibadan, Nigeria.
Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of Alley cropping on Soil Agregate
Stability of a Tropical Alfisol. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Sutidjo, D., 1986. Pengantar Sistem Produksi Tanaman Agronomi. Buku Kuliah
Disusun Dalam Rangka Kerjasama Institusional Fakultas Pertanian Unila-Institut
Pertanian Bogor.