Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

POLA TANAM
POLIKULTUR DAN MONOKULTUR

OLEH:

NAMA : SANDRA LOEIKA


NO BP : 1710212005
KELOMOK : 8 (DELAPAN)
KELAS : AGRO A
ASISTEN : 1. RAMADINA
2. KEVIN NAGGOLAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pertanian, tanam dan pola tanam sangat diperlukan. Tanam dan pola
tanam yang berbeda dapat menentukan tingkat produksi dalam kualitas maupun
kuantitas. Ada banyak jenis pola tanam dalam dunia pertanian. Ada yang
menguntungkan kita namun merugikan alam, ada juga yang menguntungkan alam
namun bagi kita kurang menguntungkan dari segi kualitas maupun kuantitas. Kita
harus mengetahui berbagai macam tanam menanam serta pola nya yang baik bagi
kita namun tidak merusak lingkungan. Dalam makalah ini kami akan mengupas
tentang bagaimana menanam yang baik dan cara-cara pola tanam yang benar.
Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun
waktu tertentu. Tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya. Ada pola
tanam monokultur, yakni menaman tanaman sejenis pada satu areal tanam. Ada
pola tanam campuran, yakni beragam tanaman ditanam pada satu areal. Ada pula
pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis tanama
pada waktu berbeda di aeral yang sama. Pola tanam dapat digunakan sebagai
landasan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Hanya saja dalam
pengelolaannya diperlukan pemahan kaedah teoritis dan keterampilan yang baik
tentang semua faktor yang menentukan produktivitas lahan tersebut.
Biasanya, pengelolaan lahan sempit untuk mendapatkan hasil/pendapatan
yang optimal maka pendekatan pertanian terpadu, ramah lingkungan, dan semua
hasil tanaman merupakan produk utama adalah pendekatan yang bijak. Selain pola
tanam, ada juga istilah yang disebut pola hubungan tanaman. Yaitu hubungan
yang dibentuk antar individu-individu tanaman pada lahan yang telah ditanami.
Pola hubungan tanaman bertujuan untuk mengatur agar semua individu tanaman
dapat memanfaatkan semua lingkungan tumbuhnya agar tumbuh optimal dan
seragam, serta untuk pertimbangan teknis lainnya. Ada beberapa macam pola
hubungan tanaman. Pertama, pola hubungan barisan (row spacing), pola
hubungan ganda (double row spacing), pola hubungan sama sisi (square spacing),
dan pola hubungan segitiga sama sisi (equidistance spacing). Pola tanam adalah
gambaran rencana tanam berbagai jenis tanaman yang akan dibudidayakan dalam
suatu lahan beririgasi dalam satu tahun.
Tumpang sari adalah suatu bentuk pertanaman campuran (polyculture)
berupapelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam
waktu yang bersamaan atau agak bersamaan. Tumpang sari yang umum dilakukan
adalah penanaman dalam waktu yang hampir bersamaan untuk dua jenis tanaman
budidaya yang sama, seperti jagung dan kedelai, atau jagung dan kacang tanah.
Dalam kepustakaan, hal ini dikenal sebagai double-cropping. Penanaman yang
dilakukan segera setelah tanaman pertama dipanen (seperti jagung dan kedelai
atau jagung dan kacang panjang) dikenal sebagai tumpang gilir. Tumpang sari
dapat pula dilakukan pada pertanaman tunggal (monokultur) suatu tanaman
perkebunan besar atau tanaman kehutanan sewaktu tanaman pokok masih kecil
atau belum produktif. Hal ini dikenal sebagai tumpang sela (intercropping).
Jagung atau kedelai biasanya adalah tanaman sela yang dipilih. Dalam kehutanan
hal ini disebut sebagai wana tani. Suatu konsep serupa juga diterapkan bagi
budidaya padi dan ikan air tawar yang dikenal sebagai mina tani.
Lahan di bawah budidaya tanaman jagung manis berpotensi untuk digunakan
dalam membudidayakan tanaman pangan lain. Hal ini merupakan salah satu
bentuk efisiensi penggunaan lahan pertanian, karena pada saat ini kepemilikan
lahan pertanian oleh petani semakin terbatas. Sistem tumpangsari merupakan
solusi yang dapat digunakan oleh petani dalam mengelola lahan pertaniannya.
Kangkung sutera merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan dalam
sistem tumpangsari tersebut. Masa panen kangkung sutera singkat dan kangkung
sutera dapat tumbuh di bawah tegakan tanaman lain. Tumpangsari adalah bentuk
pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman dalam satuan
waktu tertentu, dan tumpangsari ini merupakan suatu upaya dari program
intensifikasi pertanian dengan tujuan untuk memperoleh hasil produksi yang
optimal, dan menjaga kesuburan tanah. Tujuan dari sistem tanam tumpang sari
adalah untuk mengoptimalkan penggunaan hara, air, dan sinar matahari seefisien
mungkin untuk mendapatkan produksi maksimum. Tumpang sari dari dua jenis
tanaman menimbulkan interaksi, akibat masing-masing tanaman membutuhkan
ruangan yang cukup untuk memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan
kompetisi, sehingga pada sistem tumpang sari ada beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, umur panen
tiap tanaman dan arsitektur tanaman Sistem tumpang sari akan meningkatkan
kompetisi dalam menggunakan faktor pertumbuhan, oleh karena itu untuk
mengurangi kompetisi itu maka perlu pengaturan waktu tanam dari tanaman yang
ditumpang sarikan. Hasil penelitian Marliah dkk (2010) menunjukan adanya
interaksi yang sangat nyata antara jarak tanam jagung manis dalam sistem
tumpang sari dengan varietas yang digunakan terhadap berat tongkol berkelobot.
Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan
pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini
meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri
pertanian intensif dan pertanian industrial. Monokultur menjadikan penggunaan
lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan pemanenan secara cepat
dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga kerja karena wajah
lahan menjadi seragam. Kelemahan utamanya adalah keseragaman kultivar
mempercepat penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT, seperti hama
dan penyakit tanaman). Cara budidaya ini biasanya dipertentangkan dengan
pertanaman campuran atau polikultur. Dalam polikultur, berbagai jenis tanaman
ditanam pada satu lahan, baik secara temporal (pada waktu berbeda) maupun
spasial (pada bagian lahan yang berbeda). Pertanaman padi, jagung, atau gandum
sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan. Dalam setahun,
misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya
hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode
penanaman berikutnya. Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan
monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam
berikutnya untuk memutus siklus hidup OPT sekaligus menjaga kesehatan tanah.
Istilah "monokultur" sekarang juga dipinjam oleh bidang-bidang lainnya, seperti
peternakan, kebudayaan (mengenai dominasi jenis aliran musik tertentu), atau
ilmu komputer (mengenai sekelompok komputer yang menjalankan perangkat
lunak yang sama).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk melihat hasil dari pengaruh
pola tanam polikultur antara jagung dan kangkung dan perbandingannya dengan
monokultur jagung
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Cropping system mengacu pada tanaman dan urutan tanaman dan
teknik-teknik manajemen yang digunakan pada bidang tertentu selama beberapa
tahun (Nafziger, 2009). Sistem pertanaman (Cropping system) dapat didefinisikan
sebagai komunitas tanaman yang dikelola oleh petani untuk mencapai berbagai
tujuan manusia (Pearson et al., 1995).
Dalam sistem pertanaman dikenal istilah pola tanam. Pola tanam merupakan
suatu urutan atau kombinasi tanam pada suatu bidang lahan dalam satu tahun
penanaman. Satu tahun penanaman tersebut sudah termasuk dengan pengolaan
tanah sampai suatu komoditas tanaman yang dipanen. Pola tanam merupakan
salah satu bentuk teknologi budidaya pertanian yang bertujuan untuk
mengoptimalkan semua potensi yang ada berkaitan dengan efisiensi penggunaan
lahan. Perbedaan kondisi lahan memungkinkan adanya beragam jenis pola tanam.
Selain untuk efisiensi penggunaan lahan, pola tanam juga dimaksudkan untuk
meminimalisir resiko kegagalan suatu jenis komoditas (Hidayat, 2013).
Pertanaman monokultur merupakan pola tanam dengan membudidayakan
hanya satu jenis tanaman dalam satu lahan pertanian selama satu tahun. Misalnya
pada suatu lahan hanya ditanami padi, dan penanaman tersebut dilakukan sampai
tiga musim tanam (satu tahun).
Kelebihan pola monokultur adalah (Hidayat, 2013):
 dapat mengintensifkan suatu komoditas pertanian
 lebih efisien dalam pengelolaan
 mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Kelemahan dari pola monokultur ini adalah (Hidayat, 2013):
 input yang digunakan lebih banyak agar didapatkan hasil yang banyak.
 menyebabkan meledaknya populasi hama yang membuat berkurangnya hasil
pertanian.
 tidak adanya nilai tambah komoditas lain
Usaha tani monokultur pada lahan relatif sempit kurang menguntungkan,
kegagalan panen berarti kerugian sangat besar. Polikultur dengan sistem pola
tanam yang tepat dapat mengatasi kerugian akibat gagal panen dari satu jenis
komoditas. Teknologi ini pada tanaman jarak pagar belum banyak diketahui.
Aspek teknis yang perlu diperhatikan adalah kompatibilitas antara tanaman pokok
dan tanaman sela, agar tidak ada pengaruh yang saling merugikan, persaingan
cahaya, air, hara, CO2, tidak terserang hama dan penyakit yang sama dengan
tanaman pokok, serta memiliki pengaruh yang saling menguntungkan dalam
memenuhi kebutuhan hara. Sedangkan untuk aspek lingkungan, perlu
dipertimbangkan pelestarian hayati agar tidak terjadi erosi, tetapi membentuk
reklamasi lahan ke kondisi yang lebih baik (Wahid, 1992).
Pertanaman polikultur adalah penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada
suatu lahan pertanian dalam waktu satu tahun. Penanaman lebih dari satu jenis
tanaman ini bisa dalam satu waktu atau juga bisa dalam beberapa waktu tetapi
dalam satu tahun. Dalam satu waktu
contohnya adalah penanaman jagung bersamaan dengan kacang tanah dalam satu
lahan dalam satu waktu tanam. Dalam beberapa waktu misalnya penanaman padi
pada musim pertama kemudian dilanjutkan penanaman jagung pada musim kedua.
Pemilihan pola polikultur dipengaruhi oleh ketersiediaan air. Umumnya, pada
daerah pertanian yang curah hujan tidak merata sepanjang tahun dan irigasi teknis
tidak tersedia, pola yang digunakan adalah pola polikultur. Untuk meminimalisir
gagal panen, maka pada musim di mana hujan sangat minim, lahan ditanami
dengan tanaman yang hanya membutuhkan sedikit air, seperti jagung atau kacang
hijau (Hidayat, 2013).
Pertanaman polikultur dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Tumpangsari (Intercropping)
Inter cropping adalah penanaman secara pola baris sejajar rapi dan
konservasi tanah dimana pengaturan jarak tanamnya sudah ditetapkan dan
pada format satu baris terdiri dari satu jenis tanaman dari berbagai jenis
tanaman (Kustantini, 2013). Atau lebih sederhananya yaitu Tumpang sari
adalah teknik budidaya tanaman yang membudidayakan lebih dari satu
tanaman pada satu lahan yang sama pada periode tanam yang sama (Hidayat,
2013). Kegunaan sistem ini yaitu biasanya digunakan pada tanaman yang
mempunyai umur berbuah lebih pendek, sehingga dalam penggolahan tanah
tidak sampai membongkar lapisan tanah yang paling bawah/bedrock,
sehingga dapat menekan penggunaan waktu tanam (Kustantini, 2013).

2. Tumpang Gilir (Multiple cropping)


Tumpang gilir adalah teknik budidaya tanaman dengan menanam lebih
dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan menanam lebih
dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang sama
dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah tumpang sari yang dilakukan
secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam (Hidayat, 2013).

3. Tanaman Bersisipan ( Relay cropping)


Tanaman bersisipan adalah pola tanam dengan menyisipkan satu atau
beberapa jenis tanaman, selain tanaman pokok. Tanaman bersisipan hampir
sama dengan tumpang sari, tetapi pada tanaman bersisipan penanaman bisa
dilakukan tidak serentak asal daur hidup tanaman pertama belum habis
sebelum tanaman yang lain ditanam (Hidayat, 2013). Kegunaan dari sistem
ini yaitu pada tanaman yang ke dua dapat melindungi lahan yang mudah
longsor dari hujan sampai selesai panen pada tahun itu (Kustantini, 2013).

4. Tanaman Campuran (Mixed cropping)


Tanaman campuran adalah teknik budidaya tanaman yang
membudidayakan lebih dari satu tanaman pada satu lahan yang sama pada
periode tanam yang sama tetapi jarak tanam dan barisan antar tanaman tidak
diperhatikan. Tanaman campuran adalah tumpang sari yang tidak
memperhatikan jarak tanam (Hidayat, 2013). Kegunaan sistem ini dalam
substansi pertanian adalah untuk mengatur lingkungan yang tidak stabil dan
lahan yang sangat variable, dengan penerapan sistem ini maka dapat
melawan/menekan terhadap kegagalan panen total. Pada lingkungan yang
lebih stabil dan baik total hasil yang diperoleh lebih tinggi pada lahan
tersebut, sebab sumber daya yang tersedia seperti cahaya, unsur hara, nutrisi
tanah dan air lebih efektif dalam penggunaannya (Kustantini, 2013).

5. Tanam Bergiliran (Sequential cropping)


Tanaman bergiliran adalah menanam lebih dari satu jenis komoditas yang
dilakukukan pada satu lahan pertanian dalam waktu yang tidak bersamaan
(bergiliran). Komoditas lain baru ditanam setelah satu komoditas dipanen.
Jadi, dalam satu periode tanam hanya menanam satu jenis komoditas
(Hidayat, 2013).
Kelebihan penanaman polikultur:
 Meningkatkan efisiensi penggunaan lahan karena pada tanaman yang jarak
tanamnya lebar terdapat ruang kosong, pada ruang kosong tersebut dapat
dimanfaatkan dengan penanaman polikultur.
 Dapat mengurangi ledakan populasi organisme pengganggu tanaman
(OPT). Tanaman yang beragam dalam suatu lahan membuat hama dan
penyakit tidak fokus menyerang satu komoditas, akibatnya OPT tidak
mengalami ledakan. Selain itu, seringkali suatu tanaman dapat mengusir
keberadaan hama untuk tanaman lain. Misalnya bawang daun dapat
mengusir hama aphid dan ulat pada tanaman kubis.
 Menambah kesuburan tanah. Tanaman legume (kacang-kacangan) dapat
menambat N sehingga dapat meningkatkan kandungan N dalam tanah.
Kelemahan penanaman polikultur:
 Persaingan tanaman untuk mendapatkan hara dan faktor pertumbuhan
lainnya akan semakin tinggi.
 Jenis hama yang ada semakin beragam, sehingga pengendaliannya sulit.
 Diperlukan banyak tenaga kerja, sehingga mengurangi efisiensi dalam
perawatan.
Tumpangsari adalah bentuk pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu
jenis tanaman dalam satuan waktu tertentu, dan tumpangsari ini merupakan suatu
upaya dari program intensifikasi pertanian dengan tujuan untuk memperoleh hasil
produksi yang optimal, dan menjaga kesuburan tanah (Prasetyo, Sukardjo, dan
Pujiwati, 2009). Jumin (2002 dalam Marliah, Jumini, Jamilah, 2010) menyatakan
bahwa tujuan dari sistem tanam tumpang sari adalah untuk mengoptimalkan
penggunaan hara, air, dan sinar matahari seefisien mungkin untuk mendapatkan
produksi maksimum.
Tumpang sari dari dua jenis tanaman menimbulkan interaksi, akibat masing-
masing tanaman membutuhkan ruangan yang cukup untuk memaksimumkan
kerjasama dan meminimumkan kompetisi, sehingga pada sistem tumpang sari ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain pengaturan jarak tanam, populasi
tanaman, umur panen tiap tanaman dan arsitektur tanaman (Sulivan, 2003 dalam
Suwarto dkk, 2005). Sistem tumpang sari akan meningkatkan kompetisi dalam
menggunakan faktor pertumbuhan, oleh karena itu untuk mengurangi kompetisi
itu maka perlu pengaturan waktu tanam dari tanaman yang ditumpang sarikan.
Hasil penelitian Marliah dkk (2010) menunjukan adanya interaksi yang
sangat nyata antara jarak tanam jagung manis dalam sistem tumpang sari dengan
varietas yang digunakan terhadap berat tongkol berkelobot.
Tumpang sari antara jagung manis dan brokoli dengan penanaman 14 hari
setelah penanaman bibit brokoli menghasilkan LER yang tertinggi yaitu 1,79
(Karina dkk, 2006).
Sistem tumpang sari mampu meningkatkan produktivitas lahan walaupun
terjadi penurunan hasil masing- masing komoditas akibat kompetisi, dan tumpang
sari ubi kayu dengan jagung varietas Arjuna, Pioner 4, dan Cargil 9 pada jarak
tanam yang berbeda menghasilkan NKL > 1,0 (Suwarto dkk, 2005).
Herlina (2011), bahwa pada periode tertentu tanaman sangat sensitif dan peka
terhadap kompetisi sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
tanaman tersebut, namun persaingan dapat ditekan sekecil mungkin, dengan cara
mengatur sumberdaya yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tersebut.
Faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi adalah cahaya
matahari.
Tumpangsari antara jagung dan kacang tanah, memperlihatkan tinggi
tanaman kacang tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi kacang tanah
yang ditanam secara monokultur, penyebabnya adalah tanaman yang dinaungi
akan memperbesar luas daun dan mempertinggi batang (Buhaira, 2007).
Silalahi (1991, dalam Prasetyo dkk, 2009) menyatakan bahwa sistem tanam
ganda dapat menekan biaya produksi karena lahan yang diusahakan dapat lebih
efisien, kelebihan pupuk yang diberikan pada satu tanaman dapat dimanfaatkan
oleh tanaman lain, dan dapat menekan serangan hama dan penyakit tanaman,
sehingga dapat meningkatkan hasil.
Jagung merupakan salah satu tanaman pangan penting kedua setelah padi
yang memiliki fungsi multiguna, tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan
melainkan dapat juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku industri.
Sejak tahun 1970-an, tanaman jagung mulai digunakan sebagai sumber energi
pakan. Permintaan jagung sebagai pakan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya industri pakan ternak (Tangedjaja, 2011).
Karima (2009), mengatakan bahwa komponen pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung tidak berbeda, hal ini disebabkan karena tanaman jagung lebih
tinggi dibandingkan dengan tanaman brokoli sehingga menjadi kompetitor yang
lebih kuat, terutama terhadap pemanfaatan cahaya matahari.
Mariani (2009) menyatkan bahwa sistem tumpangsari menguntungkan
dibandingkan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih tinggi
dan resiko kegagalan dapat diperkecil.
Erlangga (2008; Manurung, 2007 dalam Ekawati, Susila, dan Kartika, 2010)
melaporkan bahwa naungan dapat meningkatkan tinggi tanaman, panjang dan
lebar daun tanaman kunyit yang ditanam di bawah tegakan pohon. Hal ini
memberi kesempatan untuk meningkatkan efisiensi lahan di bawah tegakan
tanaman dengan budidaya sayuran. Ada beberapa jenis sayuran indegenous yang
dapat dikembangkan di bawah naungan tingkat sedang yaitu bayam, kangkung,
terung, cabai, tomat, kacang panjang, dan katuk.
Kangkung sutera (Ipomea reptans) merupakan jenis kangkung introduksi dari
Hawai yang memiliki batang tegak, silidris, dan berlubang. Waktu panen pada
umur 39 hari setelah tanam, dengan hasil 23 ton/ha dan cocok untuk ditanam di
dataran rendah (Setiawati, 2007 dalam Sofiari, 2009).
Kandungan klorofil kangkung lebih tinggi dibandingkan dengan klorofil
tanaman kemangi. Klorofil atau pigmen tumbuhan digunakan sebagai food
suplementen yang bermanfaat untuk mengoptimalkan fungsi metabolik tubuh
manusia, sistem imunitas, detoksifikasi, meredakan radang, dan menyeimbangkan
sistem hormonal tubuh . klorofil juga berperan dalam pembentukan darah
(Limantara, 2007; Anonim, 2008 dalam Setiari dan Nurchayati, 2009).
BAB III METODA PRAKTIKUM
A. Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai bulan Desember
2019 yang bertempat di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Padang.
B. Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, pisau, meteran,
kalkulator, timbangan, tali rafia, alat tulis menulis dan alat-alat lain yang
mendukung dalam pelaksanaan praktikum ini.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung manis,
benih kangkung, pupuk kandang, pupuk urea, air, kertas label, dan bahan-bahan
lain yang mendukung pelaksanaan praktikum ini.
C. Cara kerja
Dilakukan pembuatan bedengan dengan ukuran 150 cm x 100 cm
untuk lahan polikultur tumpangsari jagung dan kangkung, untuk lahan
monokultur jagung dilakukan pembuatan bedengan dengan ukuran 100
cm x 400 cm. Kemudian diolah tanah dengan sedemikian rupa. Setelah itu
dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang sapi dan di
diamkan selama 1 minggu. Setalah itu dilakukan penanaman dengan jarak
tanam jagung 75 x 40 dan kangkung dengan jaraj tanam 10 x 10. Lalu
pada minggu ke 3 setelah tanam tanamn diberikan puuk anorganik yaitu
pupuk urea. Lalu setiap minggu nya dilakukan pengamatan untuk
mendapatkan hasil.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Hasil
Tabel 1. Hasil produksi tanaman jagung dan kangkung
N
TANAMAN HASIL (Ton/Ha)
O
1. Jagung Polikultur 18, 6
2. Jagung Monokultur 43,25
3. Kangkung Polikultur 12,66
Tabel 2. Nilai NKL dan ESP
NO NILAI
1. NKL ESP
2. 0,708 0,601

B.Pembahasan
Penanaman beberapa jenis tanaman dalam system ganda (multiple cropping)
merupakan satu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian, dengan
memperhatikan pemilihan kombinasi tanaman yang tepat, sehingga tidak
menimbulkan medan persaingan antar tanaman yang ditumpangsarikan dalam hal
mendapatkan radiasi matahari, air dan nutrisi yang akan berpengaruh pada
pertumbuhan maupun hasil
Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa tanaman yang ditanam pada
lahan monokultur lebih besar hasil nya dari pada tanaman yang di tanam
pada lahan polikultur hal ini dapat di pengaruhi oleh berbagai macam
faktor, yaitu, adanya hama yang menyerang lahan polikultur hal tersebut
menyebabkan hasil yang didapat sedikit, setiap tanaman jagung memiliki
minimal 1 tongkol jagung dan ada beberapa batang jagung memiliki 2
tongkol. Tetapi akibat adanya hama dan hama tersebut tidak dikendalikan,
hasil yang didapatkan menjadi tidak maksimal. Sedangkan jagung pada
lahan monokultur, meniliki hasil yang tidak terlalu bagus karena tongkol
yang dipanen kebanyakan tidak berisi dan tongkolnya masih banyak yangt
kecil kecil hal ini dapat disebabkan oleh lahan yang di gunakan
kekurangan unsur hara atau lahan yang digunakan tidak terlalu bagus
untuk di tanami jagung. Pada lahan monokultur tekstur tanahmya basah
atau dapat dikatakan liat. Tanah ini tidak tertalu bagus digunakan budidaya
tanaman jagung. Karena akar tanaman jagung sulit tumbuh pada tanah
yang liat oleh karena itu tanaman jagung monokultur yang ditanam tidak
terlalu bagus pertumbuhannya.
Tanaman kangkung yang di budidayakan tumpang sari dengan jagung,
tumbuh dengan baik, hal ini di karenkan tanaman kangkung yang ditanam
seminggu sebelum tanaman jagung di tanam sehingga tanaman kangkung
masih mendapatkan sinar matahari yang cukup dan tidak adanya
persaingan dalam unsur hara. Tetapi untuk kangkung yang di tanam untuk
kedua kalinya tidak memperlihatkan hasil yang terlalu bagus, hal ini
disebabkan oleh tanaman kangkung bersaing hara dengan tanaman jagung
yang sudah berumur 3 minggu, kemudian tanaman kangkung tidak
mendapatkan cukup unsur hara. Hal ini disebabkan oleh tanaman jagung
sudah tinggi dan daun dari tanaman jagung sudah lebar dan menutupi
permukaan tanah sehingga tanaman jagung tidak terlalu banyak
mendapatkan cahaya matahari. Oleh karena itulah tanaman kangkung yang
kedua lebih sedikit menghasilkan dari pada tanaman yang pertama.
Dapat kita lihat pada tabel hasil, bahwa nilai NKL dari tumpangsari
jagung dan kangkung yaitu lebih kecil dari 1 hal tersebut mengartikan
bahwa, sebaiknya di lakukan budidaya dengan pola tanam monokultur hal
tersebut dikarenakan dengan pola tanam monokultur lebih menguntungkan
dari pada budidaya denga pola tanam polikultur pada kasus ini.
Sementara berdasarkan literatur dapat diketahui bahwa tumpang sari suatu
tanaman merupakan salah satu bentuk atau cara pengaturan tanaman dalam satu
lahan. Penanaman tumpang sari disamping dapat meningkatkan produk total, juga
meningkatkan pedapatan yang lebih besar dibandingkan dengan penanaman
monokultur. Selain itu, tumpang sari juga dapat meningkatkan daya guna zat hara
dalam tanah, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ruang dan cahaya,
mengurangi gangguan hama, penyakit dan gulma serta mengurangi besarnya
erosi. Dalam tumpang sari (intercropping) selain terjadi adanya persamaan
kebutuhan pertumbuhannya, maka pola pertanaman untuk tanaman bersamaan
waktu masaknya dapat memberikan total produksi yang lebih tinggi dibandingkan
pola tanam system monokultur.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam,
karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat
dan dominan menguasai ruang maka akan lebih mampu berkompetisi dalam
memperebutkan air, unsur hara dan cahaya dibandingkan dengan pertumbuhan
vegetatifnya yang lambat, akhirnya mempengaruhi produksi.
Dalam sistem tumpangsari waktu tanam juga mempunyai peranan yang
penting terutama pada tanaman yang peka terhadap naungan. Tumpangsari antara
jagung dan kangkung sering berakibat ternaungi kangkung oleh tanaman jagung
manis. Untuk mengurangi pengaruh tersebut, waktu tanam jagung dan kangkung
harus diatur agar pada periode kritis dari suatu pertumbuhan terhadap persaingan
dapat ditekan.
Pertumbuhan tanaman jagung polikultur dan monokultur sangat berbeda jauh.
Pada variabel tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun dan jumlah
daun memperlihatkan perbedaan yang berbeda nyata. Hasilnya memperlihatkan
bahwa tanaman jagung yang dibudidayakan pada lahan polikultur lebih bagus
pertumbuhannya dari pada tanaman jagung yang dibudidayakan pada pola tanam
monokultur tetapi tidak pada hasilnya yang di karenkan adanya hama pada lahan
polikultur.
Bedasarkan literatur seharusnya kangkung dapat ditanam bersamaan
dengan waktu tanam jagung manis, sampai dengan tiga minggu setelah
tanam jagung manis dan menguntungkan dalam pola tanam tumpangsari.
Tetapi pada praktikum ini faktor kesuburan tanah yang kendala sehingga
tanaman jagung yang di tanam pada pola tanam monokultur lebih banyak
hasilnya dari pada tanaman jagung yang di tanam dengan pola tanam
polikultur tumpang sari dengan kangkung.

BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
budidaya tanaman jagung dan kangkung baiknya dilakukan dengan pola
tanam monokultur. Karena dari hasil terlihat dengan pola tanam
monokultur lebih banyak menghasilkan dari pada dengan pola tanam
polikultur.
B.Saran
Sebaiknya sebelum praktikum dilaksanakan, praktikan sudah
diberikan materi terlebih dahulu agar praktikum berjalan lancar dan juga
sebaiknya praktikan diberikan modul dan mengetahui tujuan praktikum
agar praktikum berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Buhaira, 2007. Respon Kacang Tanah (Arachis hypogea, L) dan Jagung (Zea
mays, L) terhadap beberapa Pengaturan Tanam Jagung pada Sistem Tanam
Tumpangsari. J. Agron. 11(1) : 41 – 46.
Dewi, S.S., R. Soelistyono, dan A. Suryanto, 2014. Kajian Pola Tanam
tumpangsari Padi Gogo (Oryza sativa L.) dengan Jagung Manis (Zea mays
saccharata Sturt L). J. Produksi Tanaman Vol. 2 (2): 137-144.
Distan. 2012. Tanam padi sistem jajar legowo.
<http://distan.majalengkakab.go.id/bid-tp/index.php?
option=com_content&view=article&id=2:tanam-padi-sistem-jajar-
legowo&catid=2:berita>. Diakses 14 Desember 2019.
Edy, Tohari, D. Indradewa, dan D. Shiddieq, 2011. Respon Tanaman Jagung
Tumpangsari Kacang Hijau terhadap Perlakuan Parit pada Lahan Kering. J.
Agrotropika Vol. 16 (1): 38-44.
Ekawati, R., Susila, A. D., Kartika, J. G., 2010. Pengaruh Naungan Tegakan
Pohon terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Beberapa Tanaman sayuran
Indegenous. J. Hort. Indonesia Vol. 1 (1): 46 – 52.
Girsang, R., 2002. Nilai Produksi Lahan dan Indeks Persaingan Tumpangsari
Bawang Merah dengan Cabai Merah pada Tingkat Pemupukan yang Berbeda.
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.Herlina, 2011.
Kajian Variasi Jarak Tanam Jagung Manis dalam Sistem Tumpangsari Jagung
Manis dan Kacang tanah. Artikel Program Pasca Sarjana Universitas Andalas.
Padang.
Karima, S.,S., Nawawi, M., Herlina, N., 2013. Pengaruh Saat Tanam Jagung
dalam Tumpangsari Tanaman Jagung (Zea mays, L) dan Brokoli (Brassica
oleraceae, L var. botrytis). J. Produksi Tanaman Vol. 1 (3):1 – 7.
Marliah, A., Jumini, Jamilah, 2010. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan pada
Sistem Tumpangsari Beberapa Varietas Jagung Manis dengan Kacang Merah
terhadap Pertumbuhan dan Hasil. J. Agrista Vol. 14 (1): 30 – 38.
Nurhidayati, I. Pujiwati, A. Solichah, Djuhari, dan A. Basit. 2008. Pertanian
organik. suatu kajian sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan.
<http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2013/10/E-BOOK-
PERTANIAN-ORGANIK.pdf>. Diakses 14 Desember 2019

Pasau, P., P. Yudono, A. Syukur, 2008. Pergeseran Komposisi Gulma pada


Perbedaan Proporsi Populasi Jagung dan Kacang Tanah dalam Tumpangsari
pada Regosol Sleman. J. Ilmu Pertanian Vol. 16 (2):60-78.
Pinem, T., Z. Syarif, dan I. Chaniago, 2011. Studi Waktu Penanaman dan
Populasi Kacang Tanah terhadap Produksi Kacang Tanah dan Jagung pada
Pola Tanam Kacang Tanah dan Jagung. J. Jerami Vol. 4 (2): 102-108.
Polnaya, F., J. E. Patty, 2012. Kajian Pertumbuhan dan Produksi Varietas Jagung
Lokal dan Kacang Hijau dalam Sistem Tumpangsari. J. Agrologia Vol. 1 (1):
42-50. Prasetyo, Sukardjo, E. I., Pujiwati, H., 2009. Produktivitas Lahan dan
NKL pada Tumpangsari Jarak Pagar dengan Tanaman pangan. J. Akta
Agrosia Vo. 12 (1): 51 – 55.
Sasmita, I., Supriyono, dan S. Nyoto, 2014. Pengaruh Berbagai Varietas Jagung
secara Tumpangsari Additive Series pada Pertanaman Kacang Tanah terhadap
Pertumbuhan dan Hasil. J. Ilmu-ilmu Pertanian Vol. XXIX (1): 45-51.
Setiari, N., Nurchayati, Y., 2009. Eksplorasi Kandungan Klorofil pada beberapa
Sayuran Hijau sebagai Alternatif Bahan Dasar Food Suplement. J. Bioma
Vol. 11 (1): 6 – 10.
Sofiari, E., 2009. Karakterisasi Kangkung (Ipomea reptans) Varietas Sutera
Berdasarkan Panduan Pengujian Individual. Buletin Plasma Nutfah Vol. 15
(2): 49 – 53.
Surtinah, 2013. Analisis Data Penelitian Tanaman Budidaya. Unilak Press.
Pekanbaru.
Suwarto, Yahya, S., Handoko, Chozin, M.A., 2005. Kompetisi Tanaman Jagung
dan Ubi Kayu dalam Sistem Tumpangsari. Bul. Agron. Vo. 33 (2): 1 – 7.
Suwarto, A. Setiawan, dan D. Septariasari, 2006. Pertumbuhan dan Hasil Dua
Klon Ubi Jalar dalam Tumpangsari dengan Jagung. Buletin Agronomi Vol.
34 (2): 87-92.

Anda mungkin juga menyukai