Anda di halaman 1dari 32

Perkembangan Regulasi di Sektor Publik

Regulasi di sektor publik dibagi dalam dua bagian besar, yaitu


perkembangan regulasi yang terkait dengan organisasi nirlaba dan instansi
pemerintahan. Sifat regulasi disektor publik setiap jenis bersifat lebih
spesifik untuk setiap organisasi. Pada instansi pemerintah, regulasi yang
digunakan cenderung lebih rumit dan detail.
2.1.1 Perkembangan Regulasi Terkait Organisasi Nirlaba
A. Regulasi Tentang Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang
sosial, keagaamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Dengan kegiatan yayasan yang terkait dengan kesejahteraan sosial
masyarakat luas, regulasi yang detail diperlukan untuk mengatur
pelaksanaan yayasan. Regulasi yang terkait dengan yayasan adalah
undang – undang RI Nomor 16 Tahun 2001, yang dimaksudkan untuk
menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan dapat berfungsi
sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarat.
Berikut isi Undang – Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
1. Ketentuan Umum Yayasan yang meliputi pengertian yayasan beserta
organ-organ yang membentukknya, persyaratan kegiatan usaha yang
dapat dilakukan dan kekayaan yayasan
2. Tata cara pendirian Yayasan sejak pengajuan pendirian, pembuatan
akta,sampai dengan permohonan pengesahannya ke Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia
3. Tata cara perubahan Anggaran Dasar Yayasan
4. Kewajiban pengumuman akta pendirian yayasan dalam tambahan berita
negara republik Indonesia
5. Kekayaan yayasan
6. Organ yayasan yang terdiri atas pembinam pengurus dan pengawas
7. Laporan tahunan yang harus disampaikan
8. Tata cara pemeriksaan dan pembubaran yayasan
Undang-undang ini diperbarui dalam beberapa aspek dengan UU
no. 24 tentang perubahan atas UU. No. 16 Tahun 2001 tentang yayasan.
Berikut beberapa hal yang diubah pada UU 28/2004
1. Memperjelas larangan pengalihan atau pembagiaan kekayaan yayasan.
Pada UU 28/2004 ini ditambahkan bahwa kekayaan yayasan dilarang
dialihkan atau dibagikan baik gaji, upah maupun honorarium atau bentuk
lain yang dapat dinilai dengan uang dengan beberapa pengecualiaan yang
diatur lebih detail.
2. Perubahan proses perolehan status badan hukum. Pada UU 28/2004
permohonan diajukan kepada notaris yang mebuat akta pendirian
yayasan. UU ini juga menjelaskan secara lebih detail dalam hal perspektif
waktu tata cara pengesahan pendirian yayasan.
3. Ketentuan baru mengenai tanggung jawab secara tanggung renteng oleh
pengurus yayasan untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus
atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum.
4. Jangka waktu pengumuman pendirian yayasan yang telah disetujui
diperpendek dari jangka waktu 30 hari (UU 16/2001) menjadi 14 hari
(UU 28/2004) terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan disahkan.
5. Pembagian kekayaan sisa hasil likuidasi yayasan sebelumnya diatur
hanya diberikan pada yayasan lain yang memiliki kesamaan kegiatan atau
diserahkan kepada negara. UU 28/2004 mengatur tambahan bahwa jika
tidak diberikan pada yayasan lain yang memiliki kesamaan kegiatan, sisa
hasil likuidasi yayasan dapat diberikan pada badan hukum lain yang
memiliki kesamaan kegiatan sebelum opsi diserahkan pada negara.
Selain undang-undang nomor 16 tahun 2001 dan undang-undang
nomor 28 tahun 2004 untik lebih menjamin kepastian hukum pemerintah
juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
pelaksanaan undang-undang tentang yayasan. PP ini memberikan
penjelasan yang lebih detail dan aplikatif dari ketentuan yang telah diatur
dalam Undang-undang tetang yayasan, antara lain:
1. Pemakaian nama yayasan
2. Kekayaan awal yayasan
3. Tata cara pendirian yayasan oleh orang asing
4. Tata cara perubahan anggaran dasar
5. Syarat dan tata cara pemberian bantuan negara kepada yayasan
6. Syarat dan tata cara yayasan yang melakukan kegiatan di Indonesia
7. Syarat dan tata cara penggabungan Yayasan.
B. Regulasi tentang Partai Politik
Regulasi tentang partai politik mulai berkembang pesat sejak era
eformasi dengan sistem multipartainya. Undang-undang yang pertama ada
setelah era reformasi adalah undang-undang nomor 2 tahun 1999 tentang
partai politik. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan perubahan
sistem ketatanegaraan yang dinamis diawal-awal era reformasi, undang-
undang ini diperbarui dengan Undang-undang nomor 31 tahun 2002
tentang partai politik.
UU no. 31 tahun 2002 mengatur pondasi dan hal-hal pokok
mengenai partai politik antara lain:

1. Pembentukkan partai politik


2. Asas, ciri, tujuan fungsi, hak dan kewajiban partai politik
3. Keanggotaan dan kedaulatan anggota partai politik
4. Kepengurusan partai politik
5. Peradilan perkara jika terjadi masalah dipartai politik
6. Keuangan
7. Larangan-larangan untuk partai politik
8. Penggabungan partai politik
9. Pengawasan partai politik
Undang-undang 31/2002 kembali diperbarui dengan undang-
undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang sifatnya lebih
melengkapidan menyempurnakan UU 31/2002. Menurut UU 2/2008
partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok WNI secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-
cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan poliitik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Undang – undang 31/2002 belum memiliki ketentuan mengenai
kewajiban partai politik untuk menyusun laporan pertanggungjawaban
keuangan, sedangkan UU 2/2008 mengatur bahwa rekening kas umum
partai politik dan kewajiban penggurus disetiap tingkatan organisasi
untuk menyusun laporan pertanggung jawaban penerimaan dan
pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berakhir dan bersifat
terbuka untuk diketahui masyarakat. Hal ini sejalan dengan semakin
tingginya tuntutan akuntabilitas dan transparansi keuangan partai politik
dari masyarakat.
C. Regulasi tentang Badan Hukum Milik Negara dan Badan Hukum
Pendidikan
Badan Hukum Milik Negara ( BHMN ) adalah satah satu bentuk
badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk untuk mengakomodasi
kebutuhan khusus dalam rangka “privatisasi” lembaga pendidikan yang
memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski
berstatus sebagai badan usaha.
Penetapan sebuah universitas menjadi berstatus BHMN ditetapkan
melalui peraturan pemerintah. Universitas yang ditetapkan berstatus
BHMN oleh pemerintah:
1. Universitas Indonesia (UI) tahun 2000
2. Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 2000
3. Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2000
4. Institut Tekhnologi Bandung (ITB) tahun 2000
5. Universitas Sumatera Utara (USU) melalui Peraturan Pemerintah No. 56
tahun 2003
6. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung melalui Peraturan
Pemerintah No. 6 tahun 2004
7. Universitas Airlangga (Unair) Surabaya melalui peraturan pemerintah
No. 30 tahun 2006
Ciri-ciri BHMN adalah sebagai berikut
1. Memiliki Majelis Wali Amanat (MWA)
Majelis Wali Amanat adalah organ universitas yang berfungsi
mewakili pemerini\\tah dan masyarakat. MWA memiliki kewenangan
yang besar dan menjadi lembaga normatif yang sangat menentukan,
termasuk mengangkat dan memberhentikan pimpinan, melakukan
penilaian kinerja pimpinan, serta nmemberikan masukan dan pendapat
kepada menteri tentang pengelolaan universitas. MWA merupakan unsur
terpenting yang membedakan BHMN dengn jenis universitas lain.
2. Memiliki Senat Akademik (SA)
Senat Akademik adalah organ universitas yang terdiri atas
perwakilan tiap-tiap fakultas dan memiliki tanggung jawab yang lebih
terfokus pada aspek akademik.
3. Memiliki Otonomi Manajemen dana dan Akademik
BHMN memiliki ottonomi dalam mengelola kekayaan atau sumber
dananya dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan akuntabilitas.
Hal ini tentu berbeda dengan universitas negeri yang pengelolaan dananya
diatur secara terpusat.
Pada akhir tahun 2008, disahkannya Undang-Undang tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP). BHP adalah badan hukum penyelenggaraan
pendidikan formal dengan berprinsip nirlaba yang memiliki kemandirian
pengelolaannya dengan tujuan memajukan satuan pendidikan.
Dalam pengelolaannya, BHP mendasarkan pada sepuluh prinsip
berikut:
1. Nirlaba 6. Layanan Prima
2. Otonom 7. Akses yang berkeadilan
3. Akuntabel 8. Keberagaman
4. Transparan 9. Keberlanjutan
5. Penjaminan Mutu 10. Partispasi atas tanggung jawab negara
Berdasarkan amanat pasal 65,66 dan 67 UU BHP, diatur beberapa
mekanisme perubahan uiversitas menjadi BHP sebagai berikut:
1. Untuk Perguruan Tinggi yang
a. Didirikan oleh pemerintah, harus berubah menjadi BHPP (badan Hukum
Milik Pemerintah) dalam waktu 4 tahun (selambat-lambatnya tanggal 16
januari 2013)
b. Berbentuk BHMN harus berubah menjadi BHPP dalam waktu 3 tahun
(selambatnya tanggal 16 januari 2012)
2. Untuk perguruan tinggi yang berada dalam naungan yayasan,
perkumpulan, maupun badan lainnya akan berubah menjadi BHP
penyelenggara dan harus diubah tata kelolanya dalam waktu 6 tahun
(selambat-lambatnya tanggal 16 januari 2015)

D. Regulasi tentang Badan Layanan Umum


Badan Layanan Umum (BLU) adalah instasi dilingkungan
pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakt berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan. BLU dibentuk untuk
mempromosikan peningkatan layanan publik melalui fleksibelitas
pengelolaan keuangan BLU yang dikelola secara profesional dengan
menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas.
Yang dapat menjadi BLU adalah satuan kerja pemerintah
operasional yang melayani publik seperti layanan kesehatan, pendidikan,
pengelolaan kawasan, pengelolaan dana bergulir untuk usaha kecil dan
menerngah, lisensi dan lain-lain. Kriteria yang lebih lengkap bagi suatu
satuan kerja untuk dapat menjadi BLU adalah:
1. Bukan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan sebagai satuan kerja
instansi pemerintah
2. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisien dan produktivitas ala
korporasi
3. Berperan sebagai agen dari meneteri/pimpinan lembaga induknya:
a. Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja
b. Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas kebijakan layanan
hendak dihasilkan
c. BLU bertanggung jawab menyajikan layanan yang diminta.
BLU dalam tataran pengatur regulasi diatur oleh Direktorat
Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU yang ada dibawah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan yang ada di Departement Keuangan. BLU dalam
regulasi disebutkan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang
perbedaharaan negara. Yang lebih khusus dijelaskan pada peraturan
pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.

2.1.2 Perkembangan Regulasi Terkait Keuangan Negara


A. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan
Negara
Pengertian dan Ruang Lingkup
Pengertian Keuangan Negara secara umum merupakan, semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Namun jika ditinjau dari sudut pandang sebagai obyek, subyek, proses dan
tujuan memiliki pengertian yang berbeda pula, yakni : .Dari
sisi obyekyang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
seluruh obyek yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintahan
pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan dengan pengelolaan obyek, mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Ruang lingkup keuangan Negara, mencakup beberapa hal yakni ;
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara/Daerah;
d. Pengeluaran Negara/Daerah;
e. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah;
f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
g. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Ruang lingkup terakhir dari Keuangan Negara tersebut dapat
meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan
kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian
negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Asas-Asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Azas – azas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan
keuangan negara, yaitu : (1). Azas tahunan, (2). Azas universalitas, (3).
Azas kesatuan, (4). Azas spesialitas. Serta tambahan azas – azas baru
sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah yang baik) dalam
pengelolaan keuangan negara, antara lain :
1. Azas akuntabilitas berorientasi pada hasil
2. Azas profesionalitas
3. Azas proporsionalitas
4. Azas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara
5. Azas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri.
Dengan dianutnya azas – azas umum tersebut di dalam undang –
undang tentang keuangan negara, maka pelaksanaan undang – undang ini
selain menjadi acuan dalam reformasi manajeman keuangan negara
sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah.
Untuk membantu presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud,
sebagian kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku
Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementrian Negara/lembaga yang
dipimpinnya. Pada hakekatnya menteri keuangan adalah Chief Financial
Officer (CFO) sementara setiap menteri/pimpinan lembaga adalah Chief
Operational Officer (COO).
Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan
ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan
pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Ketentuan
mengenai penyusunan dan penetepan APBN/APBD dalam undang –
undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran
pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses
penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas
kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran,
penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka
menengah dalam penyusunan anggaran.
Hubungan keauangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pemerintah dan lembaga asing, perusahaan Negara, perusahaan
daerah, perusahaan swasta serta badan pengelolaan dana
masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan
pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan
keuangan antara pemerintah dan lembaga – lembaga infra/supranasional.
Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral
ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam
penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam
hubungan dengan pemerintah daerah, undang – undang ini menegaskan
adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan
kepada pemerintah daerah. Undang – undang ini mengatur pula perihal
penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara
pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan
swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa
pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada
dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah
mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang – undang,
pelaksanaanya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai
pedoman bagi kementrian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang – undang
yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak
menyangkut hubungan administratif antar kementrian negara/lembaga di
lingkungan pemerintah.
Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip –
prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi
pemerintah yang telah diterima secara umum. Dalam rangka akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/
bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam
undang – undang tentang APBN/Peraturan daerah tentang APBD, dari
segi manfaat/hasil (outcome). Sebagai konsekuensinya, dalam undang –
undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/
gubernur/bupati/walikota serta pimpinan unit organisasi kementrian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam undang –
undang tentang APBN/Peraturan daerah tentang APBD. Selain itu perlu
ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi
wewenang untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau
menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara
bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi
dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan
negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur
pengendalian intern yang andal.
UU 17 tahun 2003 adalah tonggak sejarah penting yang mengawali
reformasi keuangan negara kita menuju pengelolaan keuangan yang
efisien dan modern berikut beberapa hal penting yang diatur dalam
undang-undang ini.
1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara
2. Penyusunan dan penetapan APBN
3. Penyusunan dan penetapan APBD
4. Hubungan Keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral,
pemerintah daerah serta pemerintah/lembaga asing
5. Hubungan Keuangan antara pemerintah dan perusahaan
negara,perusahaan daerah, perusahaan swasta, serta badan pengelola dana
masyarakat
6. Pertaggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD
B. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Undang – undang tentang perbendaharaan negara ini dimaksudkan
untuk memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan
negara. Dalam Undang – undang Perbendaharaan Negara ini ditetapkan
bahwa “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan
yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD“. Sesuai
dengan kaidah – kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara,
Undang – undang Perbendaharaan Negara ini menganut azas kesatuan,
azas universalitas, azas tahunan, dan azas spesialitas. Ketentuan yang
diatur dalam Undang – undang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan
pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah. Oleh Karena itu Undang – undang Perbendaharaan
Negara ini selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan reformasi
pengelolaan keuangan negara pada tingkat pemerintah pusat, berfungsi
pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Menteri Keuangan
sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan pada hekekatnya
adalah Chief Financial Officer (CFO) pemerintah Republik Indonesia,
sementara setiap Menteri/Pimpinan Lembaga pada hakekatnya adalah
Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu
pemerintahan. Konsekuensi pembagian tugas antara menteri keuangan
dan para menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk
meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji
(check and balance) dalam proses pelaksanaan anggaran perlu dilakukan
pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif
dengan pemegang kewenangan kebendaharaan. Penyelenggaraan
kewenangan administratif diserahkan kepada kementrian negara/lembaga,
sementara penyelenggaraan kewenangan kebendaharaan diserahkan
kepada kementrian keuangan.
Dilain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum
Negara bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan
penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran
penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri keuangan selaku
Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti
seutuhnya, yang berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan,
dan manajer keuangan.
Pejabat perbendaharaan Negara
Kementrian keuangan: berwenang & bertanggungjawab atas
pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional. Kementerian
negara/lembaga: berwenang bertanggungjawab atas penyelenggaraan
pemerintahan sesuai dengan tugas & fungsi masing-masing.
Penerapan kaidah pengelolaan keuangan yang sehat di lingkungan
pemerintah
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan
negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan negara
dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang
terbatas secara efisien. Fungsi Perbendaharaan tersebut meliputi,
terutama,perencanaan kas yang baik, pencegahan agar tidak sampai
terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang
paling murah dan pemanfaat dana yang menganggur (idle cash) untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.
Dalam Undang – undang Perbendaharaan Negara ini juga diatur
prinsip – prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi – fungsi
pengelolaan kas, perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan
utang piutang dan investasi serta barang milik negara/daerah yang selama
ini belum mendapat perhatian yang memadai.
Penatausahaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran
Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti
standar akuntansi pemerintahan. Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan
ketentuan yang mengatur mengenai hal – hal tersebut agar :
1. Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi
2. Laporan keuangan pemerintah disajikan sesuai Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
Laporan Arus Kas, catatan atas laporan keuangan.
3. Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disampaikan kepada
DPR/DPRD selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
4. Laporan keuangan pemerintah diaudit oleh lembaga pemeriksa ekstern
(BPK) yang independen & profesional. Sejalan dgn pasal 30 & 31 UU No
17 Thn 2003
5. Laporan keuangan pemerintah diaudit oleh lembaga pemeriksa ekstern
yang independen dan professional sebelum disampaikan kepada DPR
6. Laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistic keuangan
yang mengacu kepada manual statistic keuangan pemerintah
(Government Finance Statistic/GFS)
Standar akuntansi pemerintah ditetapkan dalam suatu peraturan
pemerintah dan disusun oleh suatu komite standar akuntansi pemerintah
yang independen yang terdiri dari para profesional. Agar informasi yang
disampaikan dalam laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi prinsip
transparansi dan akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP)
yang dilaksanakan oleh kementrian negara/lembaga. Dalam undang –
undang ini juga mengatur penyampaian laporan pertanggungjawaban
keuangan pemerintah secara tepat waktu kepada DPR/DPRD. Mengingat
bahwa laporan keuangan pemerintah terlebih dahulu harus diaudit oleh
Badan Pemerintah Keuangan, maka Badan Pemerintah Keuangan
memegang peranan yang sangat penting dalam upaya ketepatan
penyampaian laporan keuangan pemerintah tersebut kepada DPR/DPRD.
Penyelesaian Kerugian Negara
Dalam Undang – undang Perbendaharaan Negara ini ditegaskan
bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang
bersalah. Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementrian
negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera
melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam instansi
yang dipimpinnya telah terjadi kerugian. Pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. Dengan penyelesaian kerugian
tersebut negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dapat
dibentuk badan layanan umum yang bertugas memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
diperlukan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kekayaan badan layanan umum
merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, berkenaan dengan itu
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja badan
layanan umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
kementrian Negara/lembaga/pemerintah daerah.
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Badan Layanan Umum bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang diperlukan
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
C.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan
evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan professional
berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan,
kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.
Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat
pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan
kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan pertangungjawaban.
Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah
untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan,
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Lingkup Pemeriksaan
1. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab
keuangan negara.
2. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
3. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsure
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan
public berdasarkan ketentuan undang-undang laporan hasil pemeriksaan
tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor 1
dan 2 diatas terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
6. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas
laporan keuangan.
7. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek
ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.
8. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah
pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada nomor (6) dan (7).
9. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (3)
dan (4) dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan.
10. Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
nomor (9) disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
Pelaksanaan Pemeriksaan
1. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan
pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan,
serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara
bebas dan mandiri oleh BPK.
2. Dalam perencanaan tugas pemeriksaan, BPK
memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan.
3. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan
pendapat sebagaimana dimaksud pada nomor (2), BPK atau lembaga
perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi.
4. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam nomor (1), BPK dapat mempertimbangkan informasi
dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat.
5. Pemanfaatan Kinerja Aparat Pemeriksa Intern :
a. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan intern pemerintah.
b. Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil
pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.
c. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan
pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas
nama BPK.
6. Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan
a. Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara;
b. Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, asset, lokasi,
dan segala jenis barang atau dokumen dalam penugasan atau kendali dari
entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang
perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
c. Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara;
d. Meminta keterangan kepada seseorang; (dapat melakukan pemanggilan
kepada seseorang).
e. Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan;
f. Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa
melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan system pengendalian
intern pemerintah.
7. Investigasi dan Temuan Kasus Pidana
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigative guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsure
pidana.
1. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsure pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah.
Hasil Pemeriksaan dan Tindak lanjut
Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah
pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat
menyusun laporan interim pemeriksaan.
1. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat
opini.
2. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi.
3. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2
(dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah
pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah
daerah.Laporan hasil pemeriksaan disampaikan pula kepada
Presiden/gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/
DPRD sesuai dengan kewenangannya.Laporan hasil pemeriksaan dengan
tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan
kewenangannya.Laporan hasil pemeriksaan disampaikan pula kepada
Presiden/gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Tata
cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan diatur bersama oleh BPK
dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.
Pemeriksaan keuangan Negara meliputi pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan Negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab
keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan
pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta
penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas
dan mandiri oleh BPK.
Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa
melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian
intern pemerintah. Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/ daerah
dan/atau unsur pidana. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur
pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah
pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat
menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan
kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan
kewenangannya.
Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil
pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada
BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil
pemeriksaan. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan
BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.

D. Perkembangan Regulasi Terkait Otonomi Daerah


Selama tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah
menyadari masih terdapat banyak aspek yang menjadi kelemahan
sekaligus celah dalam peraturan perundangan yang sering menimbulkan
kerancuan, disamping itu UU Nomor 22 Tahun 1999 sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggara
otonomi daerah yang lebih efisien. Dengan demikin dikeluarkanlah UU
pengganti berikut:
1. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan
2. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Daerah.
Perkembangan Undang-Undang Otonomi Daerah

E. Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana Perimbangan


Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuang yang
proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas
pembagian kewenangan pemerintah antara pemerintrah pusat dengan
pemerintah daerah, maka telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbanagn Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999.
Peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 mengatur tentang
pembagian dana perimbangan, sumber-sumber dana bagi hasil,
mekanisme pengalokasian dana bagi hasil, mekanisme pengalokasian
dana alokasi umum, mekanisme pengalokasian dana alokasi khusus,
pemantauan serta evaluasi.
F. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah
Dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat serta potensi
pemanfaatannya secara luas, hal tersebut membuka peluang bagi berbagai
pihak untuk mengakses, mengelola, dan mendayagunakan informasi
secara cepat dan akurat untuk lebih mendorong terwujudnya
pemerintahan yang bersih, transparan, serta mampu menjawab tuntutan
perubahan secara efektif.
Untuk menindaklanjuti terselenggaranya proses pembangunan yang
sejalan dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance),
pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk
meningkatkan kemmapuan mengelola keuangan daerah, dan menyalurkan
Informasi Keaungan Daerah kepada pelayanan publik.
Peraturan pemerintah Nomor 56 tahun 2005 mengatur tentang
prinsip-prinsip informasi keuangan daerah, isi dari keuangan daerah, batas
waktu penyampaian informasi keuangan daerah, tujuan dari
penyelenggaraan sistem informasi keuangan daerah secara nasioanal dan
di daerah, sanksi atas tidak disampakainnya informasi keuangan daerah.
G. Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2005 tentang Hibah kepada
daerah
Peraturan pemerintah nomor 57 tahun 2005 mengatur tentang
sumber-sumber hibah, bentuk hibah, pengelolaan hibah,
pertanggungjawaban dan pelaporan hiabh. Prinsip kebijakan perimbangan
keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004, adalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang merupakn suatu sistem yang menyeluruh dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi,
dan Tugas Pembantuan. Sumber pendanaan penyelenggaraan asas
desentralisasi di daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dan
Perimbangan, Pinjaman Daaerah dan Lain-lain Pendapatan. Salah satu
komponen lain-lain pendapatan yang dinyatakan dalam pasal Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai bentuk hubungan keungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah hibah.
Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah
negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional,
pemerintah, badan/lembaga dalam lembaga atau perorangan, baik dalam
bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli
dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah digunakan untuk
menunjang peningkatan fungsi pemerintah dan layanan dasar umum, serta
pemberdayaan aparatur daerah.
H. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan daerah
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, diaman timbul hak dan daerah
yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud merupakan
subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan
elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Selain kedua undang-undang di atas, terdapat beberapa pratuaran
perundang-undangan yang menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah
yang telah terbit lebih dulu. Undang-undang dimaksud adalah Undang-
undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, Undang-undang
Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keunagn Negara dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencnaan Pembangunan Nasional.
2.2 Standar Internasional Akuntansi Sektor Publik
Saat ini, banyak entitas yang termasuk dalam kategori organisasi
sektor publik yang telah mengimplementasikan akuntansi dalam sistem
keuangannya. Akan tetapi, praktik akuntansi yang dilakukan oleh entitas-
entitas tersebut memiliki banyak perbedaan khususnya dalam proses
pelaporan keuangan. Hal tersebut sangat dimungkinkan oleh belum
banyaknya pemerintah suatu negara yang menerbitkan standar baku
akuntansi untuk mengatur praktik akuntansi bagi organisasi sektor publik.

Berdasarkan kebutuhan tersebut, International Federation of


Accountants-IFAC (Federasi Akuntan Internasional) membentuk sebuah
komite khusus yang bertugas menyusun sebuah standar akuntansi bagi
organisasi sektor publik yang berlaku secara internasional yang kemudian
disebut International Public Sector Accounting Standards-IPSAS
(Standar Internasional Akuntansi Sektor Publik). Dalam pelaksanaannya,
komite tersebut tidak hanya menyusun standar tetapi juga membuat
program yang sistematis yang mendorong aplikasi IPSAS oleh entitas-
entitas publik di seluruh dunia.

IPSAS meliputi serangkaian standar yang dikembangkan untuk


basis akrual (accrual basis), namun juga terdapat suatu bagian IPSAS
yang terpisah guna merinci kebutuhan untuk basis kas (cash basis).
Dalam hal ini, IPSAS dapat diadopsi oleh organisasi sektor publik yang
sedang dalam proses perubahan dari cash basis ke akrual basis. Jika
demikian, maka organisasi sektor publik yang telah memutuskan untuk
mengadopsi basis akrual menurut IPSAS, harus mengikuti ketentuan
waktu mengenai masa transisi dari basis kas ke basis akrual yang diatur
oleh IPSAS.
Pada akhirnya, cakupan yang diatur dalam IPSAS meliputi seluruh
organisasi sektor publik termasuk juga lembaga pemerintahan baik
pemerintah pusat, pemerintah regional (provinsi), pemerintah daerah
(kabupaten/kota), dan komponen-komponen kerjanya (dinas-dinas).

IPSAS adalah standar akuntansi bagi organisasi sektor publik yang


berlaku secara internasional dan dapat dijadikan acuan oleh negara-negara
di seluruh dunia untuk mengembangkan standar akuntansi khusus sektor
publik di negaranya.

IPSAS bertujuan ;

1. meningkatkan kualitas dari tujuan utama dalam melaporkan keuangan


sektor publik,

2. menginformasikan secara lebih jelas pembagian alokasi sumber daya


yang dilakukan oleh entitas sektor publik

3. meningkatkan transparasi dan akuntabilitas entitas sektor publik

International Federation of Accountants Public Sector Comitte


(IFAC – PSC) merupakan lembaga yang didirikan di Munich pada tahun
1977 terdiri atas organisasi akuntan internasional yang telah menerbitkan
International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) yang terdiri
dari :

1. IPSAS 1 (presentation of financial statements)

2. IPSAS 2 (cash flow statements)

3. IPSAS 3 (Accounting Policies, Change in accounting estimates adn


errors)

4. IPSAS 4 (the effects of changes in foreign exchange rates)

5. IPSAS 5 (borrowing cost)

6. IPSAS 6 (consilidated financial statements and accounting for controlled


entities)

7. IPSAS 7 (Accounting for investment in associates)


8. IPSAS 8 (financial reporting of interest in joint venture)

9. IPSAS 9 ( revenue from exchange Transactions)

10. IPSAS 10 (Hyperinflationary economies)

11. IPSAS 11 (Construction Contracts)

12. IPSAS 12 (Inventories)

13. IPSAS 13 (Leases)

14. IPSAS 14 (Event After the Reporting Date)

15. IPSAS 15 (Financial Instruments : Disclosure and Presentation)

16. IPSAS 16 (Investment Property)

17. IPSAS 17 (Property, Plan, and Equipment)

18. IPSAS 18 (segmen Reporting)

19. IPSAS 19 (Provisions, Contingent Liabilities and Contingent Assets)

20. IPSAS 20 ( Related Party Disclosures)

21. IPSAS 21 (Impairment of Non-Cash-Generating Assets)

22. IPSAS 22 (Disclosures of Finncial Information)

23. IPSAS 23 (Revenue from Non-Exchange Transactions(Taxes and


Transfer)

24. IPSAS 24 ( Presentation of Budget Information in Financial Statement)

25. IPSAS 25 (Employee Benefit)

26. IPSAS 26 (Impairment of Cash and Generating Asset)

2.3 Perkembangan Standar Akuntansi Pemerintahan


Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) memerlukan
waktu yang lama. Awalnya, dengan berlakunya Undang Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, daerah diberi kewenangan
yang luas untuk menyelenggarakan pengelolaan keuangannya sendiri. Hal
ini tentu saja menjadikan daerah provinsi, kabupaten, dan kota menjadi
entitas-entitas otonom yang harus melakukan pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangannya sendiri mendorong perlunya standar
pelaporan keuangan. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 yang
merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam
pasal 35 mengamanatkan bahwa “penatausahaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan
pemerintah”, meskipun belum ada standar akuntansi pemerintahan yang
baku.

Belum adanya standar akuntansi pemerintahan yang baku memicu


perdebatan siapa yang berwenang menyusun standar akuntansi keuangan
pemerintahan. Sementara itu, pelaporan dan penyajian keuangan harus
tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundangan meskipun standar
belum ada. Untuk mengisi kekosongan sambil menunggu penetapan yang
berwenang menyusun dan menetapkan standar akuntansi pemerintahan
dan terutama upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan
daerah yang transparan dan akuntable maka pemerintah dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan mengambil
inisiatif untuk membuat pedoman penyajian laporan keuangan. Maka
lahirlah sistem akuntansi keuangan daerah dari Departemen Keuangan
yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
355/KMK.07/2001 tanggal 5 Juni 2001. Dari Departemen Dalam Negeri
keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tanggal
18 Juni 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertangungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Derah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

Kedua keputusan ini bukanlah standar akuntansi sebagaimana


dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 maupun
standar akuntansi pada umumnya. Menteri Keuangan sebenarnya
mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 308/KMK.012/2002
tanggal 13 Juni 2002 yang menetapkan adanya Komite Standar Akuntansi
Pemerintah Pusat dan Daerah (KSAPD). Keanggotaan Komite ini terdiri
dari unsur Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Organisasi Profesi Akuntan
IAI, dan juga kalangan perguruan tinggi. Dalam keputusan tersebut juga
diatur bahwa standar akan disusun oleh KSAPD tetapi pemberlakuannya
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. KASPD bekerja dan
menghasilkan Draft Publikasian Standar Akuntansi berupa Kerangka
Konseptual dan tiga Pernyataan Standar. KSAPD melakukan due process
atas keempat draft ini sampai dengan meminta pertimbangan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK berpendapat belum dapat memberikan persetujuan atas Draft


SAP tersebut karena belum mengakomodasi seluruh unsur yang
semestinya terlibat dan penyusun tidak independen karena diangkat hanya
dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan. Perkembangan berikutnya,
KSAPD tetap bekerja dengan menambah pembahasan atas delapan draft
baru yang dianggap diperlukan dalam penyusunan laporan keuangan
pemerintah. Draft ini juga mengalami due process yang sama seperti
sebelumnya. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan negara yang mengamanatkan perlunya standar
akuntansi, KSAPD terus berjalan. Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa bentuk dan isi laporan
pertanggunggjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan
sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

Selanjutnya pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003


menyebutkan bahwa standar akuntansi pemerintahan disusun oleh suatu
komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari BPK.
Kemudian pada tahun 2004 terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan negara kembali mengamanatkan penyusunan
laporan pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan
standar akuntansi pemerintah. Pasal 56 ayat 4 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan
bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem
pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah
diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Pasal 57
ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi
pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntasi Pemerintahan. Pasal 57
ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun standar
akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang
berlaku umum. Pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
menyebutkan bahwa pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan masa kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.

Komite standar yang dibentuk oleh Menteri Keuangan sampai


dengan pertengahan tahun 2004 telah menghasilkan draf SAP yang terdiri
dari Kerangka konseptual dan 11 pernyataan standar, kesemuanya telah
disusun melalui due procees. Proses penyusunan (Due Process) yang
digunakan ini adalah proses yang berlaku umum secara internasional
dengan penyesuaian terhadap kondisi yang ada di Indonesia. Penyesuaian
dilakukan antara lain karena pertimbangan kebutuhan yang mendesak dan
kemampuan pengguna untuk memahami dan melaksanakan standar yang
ditetapkan.

Tahap-tahap penyiapan SAP yaitu (Supriyanto:2005):

a. Identifikasi Topik untuk Dikembangkan Menjadi Standar

b. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di dalam Komite


c. Riset Terbatas oleh Kelompok Kerja

d. Penulisan draf SAP oleh Kelompok Kerja

e. Pembahasan Draf oleh Komite Kerja

f. Pengambilan Keputusan Draf untuk Dipublikasikan

g. Peluncuran Draf Publikasian SAP (Exposure Draft)

h. Dengar Pendapat Terbatas (Limited Hearing) dan Dengar Pendapat Publik


(Publik Hearings)

i. Pembahasan Tanggapan dan Masukan Terhadap Draf


Publikasian

j. Finalisasi Standar

Dari proses tersebut dihasilkanlah Exposure Draft Standar


Akuntansi Sektor Publik yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Sektor Publik-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Ada enam exposure draft
yang dikeluarkan:

1. Penyajian Laporan Keuangan

2. Laporan Arus Kas

3. Koreksi Surplus Defisit, Kesalahan Fundamental, dan Perubahan


Kebijakan Akuntansi

4. Dampak Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Luar Negeri

5. Kos Pinjaman

6. Laporan Keuangan Konsolidasi dan Entitas Kendalian

Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1


Tahun 2004, penetapan Komite SAP dilakukan dengan Keputusan
Presiden (Keppres) setelah diterbitkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan pada Tanggal 5 Oktober 2004, yang telah diubah dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 Tanggal 5
Januari 2005.

KSAP bertugas mempersiapkan penyusunan konsep Rancangan


Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
sebagai prinsip-prinsip akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun
dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah.

Dengan demikian, KSAP bertujuan untuk mengembangkan


program-program pengembangan akuntabilitas dan manajemen keuangan
pemerintahan, termasuk mengembangkan SAP dan mempromosikan
penerapan standar tersebut. Dalam mencapai tujuan tersebut, SAP telah
disusun dengan berorientasi pada IPSAS. Selain itu dalam
penyusunannya, SAP juga telah diharmoniskan dengan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia.

Dalam menyusun SAP, KSAP menggunakan materi yang diterbitkan


oleh:

1. International Federation of Accountant (IFAC).

2. International Accounting Standards Committee (IASC).

3. International Monetary Fund (IMF).

4. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

5. Financial Accounting Standards Board (GASB).

6. Perundang-undangan dan peraturan pemerintah lainnya yang berlaku di


Republik Indonesia.

7. Organisasi profesional lainnya di berbagai negara yang membidangi


pelaporan keuangan, akuntansi, dan audit pemerintahan.

Pengembangan SAP mengacu pada praktik-praktik terbaik di


tingkat international, dengan tetap mempertimbangkan kondisi di
Indonesia, baik peraturan perundangan dan praktik-praktik akuntansi yang
berrlaku maupun kondisi sumber daya manusia. Selain itu, strategi
peningkatan kualitas pelaporan keuangan pemerintahan dilakukan dengan
proses transisi menuju basis akrual. Saat ini, pendapatan, belanja, dan
pembiayaan dicatat berbasis kas; sementara aktiva, kewajiban, dan ekuitas
dana dicatat berbasis akrual.

SAP diterapkan di lingkup pemerintahan, baik di pemerintah pusat


dan departemen-departemennya maupun di pemerintah daerah dan dinas-
dinasnya. Penerapan SAP diyakini akan berdampak pada peningkatan
kualitas pelaporan keuangan di pemerintah pusat dan daerah. Ini berarti
informasi keuangan pemerintahan akan dapat menjadi dasar pengambilan
keputusan di pemerintahan dan juga terwujudnya transparansi serta
akuntabilitas.

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) ini terdiri atas sebuah


kerangka konseptual dan 11 pernyataan, yaitu:

1. PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan

2. PSAP 02 Laporan Realisasi Anggaran

3. PSAP 03 Laporan Arus Kas

4. PSAP 04 Catatan atas Laporan Keuangan

5. PSAP 05 Akuntansi Persediaan

6. PSAP 06 Akuntansi Investasi

7. PSAP 07 Akuntansi Aset Tetap

8. PSAP 08 Akuntansi Konstruksi dalam Pengerjaan

9. PSAP 09 Akuntansi Kewajiban

10. PSAP10 Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan


Peristiwa Luar Biasa

11. PSAP 11 Laporan Keuangan Konsolidasi

Anda mungkin juga menyukai