Anda di halaman 1dari 11

TEORI DASAR ULUMUL QURAN

(Novan Hariansyah: 18205010046)

I. PENDAHULUAN

Alquran merupakan kitab yang paling banyak dimiliki oleh umat manusia di muka bumi
ini. Hampir setiap muslim didunia ini pasti memiliki sebuah mushaf didalam rumahnya. Bahkan
satu rumah terkadang memiliki lebih dari satu buah mushaf quran. Sehingga tidak salah jika kita
mengatakan bahwa al-quran dalam bentuk mushaf yang berbentuk buku adalah produk yang
paling banyak dimiliki di muka bumi ini, meskipun belum ada penelitian yang dilakukan
mengenai hal tersebut.

Sebagai kitab suci yang diyakini otentisitasnya oleh kaum muslimin, al-Quran menjadi
rujukan dalam setiap problematika yang dihadapi oleh kaum muslimin. Didalamnya terdapat
hukum-hukum yang mengatur segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia dalam
kehidupannya. Untuk memahami kandungan yang terdapat didalam al-quran dengan baik,
diperlukan sebuah ilmu, yaitu ulumul quran.

Menurut Manna‟ al-qattan ulumul quran adalah ilmu yang pokok bahasannya berkaitan
dengan alquran, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, proses pengumpulan dan kodifikasi
alquran, Makkiyah Madaniyah, Nasikh mansukh, Muhkam mutasyabihat, dan hal-hal lainnya
yang berhubungan dengan al-quran. Ilmu ini juga biasa disebut sebagai ilmu ushulu tafsir.1

Sedangkan menurut Muhammad Abu Syuhbah adalah ilmu yang mempunyai bahasan
yang berhubungan dengan al-Quran seperti proses penurunannya, penertibannya, penulisannya,
kodifikasinya, qiraat-qiraat yang ada didalamnya, tafsirnya, I‟jaznya, Nasikh dan Mansukh,
Muhkam mutasyabih dan pembahasan-pembahasan lain yang disebutkan dalam ilmu ini.2

Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa teori dasar yang ada dalam ulumul
quran diatas. Beberapa teori dasar yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana
proses turunnya alquran, asbabun nuzul, Makiyah madaniyah, dan juga pengisahan dalam al-
Quran.

1
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran, (Kairo, Maktabah Wahbah, cet. Ke-7, 1997) hal. 11
2
Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasat al-Quran al-Karim, (Riyadh, Darul Liwa’, cet. Ketiga, 1987) hal.
24-25

1
II. PEMBAHASAN

A. PROSES TURUNNYA AL-QURAN

Al-quran turun kepada Nabi Muhammad Saw melalui beberapa proses yang cukup
panjang. Proses penurunannya tidak seperti yang terjadi pada kitab-kitab samawi sebelumnya.
Jika kitab samawi sebelumnya diturunkan dalam satu paket, kemudian disampaikan oleh Para
Rasul yang membawanya kepada umatnya. Beda halnya dengan al-Quran yang diturunkan satu
paket ke baitul izzah baru kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw.

Sebagian sarjana barat beranggapan bahwa didalam al-Quran ada unsur-unsur lain dalam
pembentukannya. Mereka menyatakan bahwa al-Quran telah mengadopsi ajaran-ajaran yang ada
dalam tradisi Yahudi dan Kristiani. Sehingga pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa al-
Quran bukanlah kalamullah karena adanya unsur-unsur tersebut. Namun sebagian dari mereka
juga ada yang tidak sependapat dengan anggapan tersebut, seperti Stefan Wild.3

Oleh karenanya pembahasan mengenai proses turunnya al-quran sangatlah penting,


karena ia merupakan dasar untuk meyakini bahwa al-Quran adalah kalamullah, dan dasar untuk
mempercayai kenabian Muhammad Saw, serta membuktikan kebenaran Islam. Ia juga
merupakan landasan pokok bagi cabang ulumul quran lainnya.4

Menurut az-Zurqani proses turunnya al-Quran melalui tiga fase:5

1. Pertama; al-Quran diturunkan secara keseluruhan di lauh mahfudz, adapun dalil yang
menguatkannya adalah firman Allah; “Bahkan (yang didustakan itu) ialah al-Quran yang
mulia, yang (tersimpan) dalam tempat yang terjaga (Lauh Mahfudz) (Q.S: al-Burj: 21-22).
2. Kedua; proses turunnya al-Quran dari Lauh mahfudz ke baitul izzah di langit dunia yang
terjadi pada malam laitul Qadar, sebagaimana dikuatkan dalam firman Allah berikut;
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi‟‟(Q.S: ad-Dukhan: 3).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam Qadar” (Q.S: al-Qadar:

3
Moh. Achwan Baharudin, Konsep Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Stefan Wild dalam Jurrnal Suhuf. Vol. 08, No. 1,
Juni 2015, hlm. 162
4
Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulumil Quran, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1995), juz. 1, hal.
37
5
Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulumil Quran… juz. 1, hal. 39-42

2
1). “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan al-Quran” (Q.S: al-
Baqarah: 185)
3. Ketiga; proses penyampaian al-quran yang telah ada di baitul izzah kepada Nabi Muhammad
Saw secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun lamanya. Proses penyampaiannya
melalui malaikat jibril, sebagaimana yang tersebut dalam al-Quran, “Yang dibawa turun oleh
ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (Q.S: as-Syuara: 193-195).

Sedangkan menurut Manna‟ al-Qattan dalam bukunya mabahis fi ulumil quran, fase
turunnya al-quran hanya terbagi menjadi dua fase. Fase turunnya al-quran yang telah ada di
lauhil mahfudz ke baitul izzah pada malam laitul qadar. Fase kedua turunnya al-quran dari baitul
izzah kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur.6 Dan pendapat inilah yang menurut
penulis lebih tepat. Karena segala sesuatu yang ada di alam ini semuanya telah tertulis di lauhul
mahfudz termasuk al-Quran sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fase akhir penurunan al-Quran
terjadi secara berangsur-angsur. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan al-Quran
diturunkan bertahap kepada Nabi Muhammad. Dua diantaranya terkait dengan pribadi Nabi
sebagai penerima al-Quran. Faktor yang pertama adalah untuk menetapkan hati dan menghibur
Nabi dalam menghadapi kaumnya. Faktor lain yang melandasinya adalah untuk memudahkan
Nabi dalam menghafalnya dikarenakan kondisi Nabi yang ummi tidak dapat membaca dan
menulis, tidak seperti nabi-nabi sebelumnya yang mempunyai kemampuan untuk membaca dan
menulis sehingga kitab-kitab sebelumnya diturunkan kepada mereka sekaligus dalam satu
waktu.7

Proses turunnya al-Quran yang bertahap ini menunjukkan sumber dari al-Quran itu
sendiri. Bahwa ia bersumber dari wahyu ilahi, bukan dari diri Muhammad sebagaimana
anggapan sebagian para orientalis. Hal ini dapat dilihat saat terjadinya peristiwa yang dikenal
dalam sejarah sebagai haditsatul ifki. Yaitu peristiwa fitnah yang menimpa istri Nabi, Aisyah Ra.
Pada saat itu beliau sangat membutuhkan dukungan wahyu al-Quran untuk membuktikan bahwa
istri tersayangnya tidak bersalah. Akan tetapi wahyu al-Quran baru turun kurang lebih sebulan

6
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,…hal. 30
7
Subhi Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (Beirut: Darul Ilmi lil Malayin, cet: ke-10, 1977), hal. 52-56

3
lamanya setelah kejadian tersebut. Kalaulah al-Quran adalah ciptaan Muhammad, maka
seharusnya saat itu juga setelah kejadian ia bisa menyanggah hal tersebut dengan “al-Quran
buatannya”, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi, yang menunjukkan bahwa ia tidak punya kuasa
untuk menyampaikan al-Quran sebelum datang perintah dari Rabb-Nya untuk
menyampaikannya.8

Hal lain yang menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah buatan Muhammad, adalah adanya
ayat-ayat dalam al-Quran yang dimulai dengan kata “Qul”. Subhi shalih mencatat setidaknya ada
sekitar lebih dari 300 kata “Qul” didalam al-Quran, yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
tidak lebih dari sekedar penyampai pesan dari Zat yang memberi perintah “Qul” kepadanya
untuk disampaikan kepada umat manusia.9

Proses turunnya al-Quran yang berangsur-angsur menjawab berbagai macam pertanyaan


para sahabat dan tantangan yang ada saat itu berimplikasi pada munculnya satu cabang ilmu
dalam ulumul quran, yang saat ini kita kenal dengan ilmu asbabun nuzul. Pada bab berikutnya
akan dibahas mengenai ilmu asbabun nuzul.

B. ASBABUN NUZUL
Menurut az-Zurqani, sebagaimana yang dinukilnya dari al-Burhan karya az-Zarkasyi, dan
al-Itqan Karya Suyuthi, al-Quran terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang
turun secara langsung tanpa adanya sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.
Dan yang kedua adalah bagian yang turun dilatarbelakangin oleh sebab yang khusus, baik itu
sebuah pertanyaan ataupun peristiwa.10
Bagian pertama mempunyai porsi yang lebih banyak daripada bagian kedua didalam al-
Quran. Kebanyakan ayat-ayat yang termasuk dalam bagian pertama adalah ayat-ayat yang
berkaitan dengan akidah, kisah-kisah orang-orang terdahulu dan juga kisah para nabi, serta ayat-
ayat yang berbicara tentang peristiwa hari akhir. Ayat-ayat tersebut turun tanpa ada sebab khusus
yang melatarbelakanginya, akan tetapi ia turun karena sebab umum diturunkannya al-Quran,

8
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,…hal. 36
9
Subhi Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Quran,…hal. 30
10
Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulumil Quran,…hal. 89

4
yaitu sebagai petunjuk bagi umat manusia, membentuk tatanan kehidupan yang baik dan
menunjukkan mereka hal-hal yang baik untuk kebaikan mereka.11
Adapun bagian kedua yang ada didalam al-Quran mempunyai porsi yang lebih sedikit
jika dibandingkan dengan bagian pertama tadi. Ayat-ayat yang ada didalam bagian kedua ini
biasanya adalah ayat-ayat tentang hukum-hukum dalam ibadah, hubungan sosial antara manusia,
keterangan tentang halal dan haram, perang dan jihad, ketetangan tentang kepribadian seseorang
dan hak-hak sipil, dan perjanjian-perjanjian kenegaraan. Kebanyakan dari ayat-ayat mengenai
hal-hal tersebut mempunyai latar belakang yang mendasari turunnya ayat tersebut.12
Asbabun nuzul dapat diartikan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi
Muhammad Saw (masa turunnya al-Quran), atau pertanyaan yang diajukan kepadanya, yang
menyebabkan turunnya satu atau lebih ayat al-Quran yang berbicara mengenai peristiwa tersebut
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.13
Menurut Bassam Jamal Ilmu asbabun nuzul baru mulai muncul sebagai sebuah disiplin
ilmu pada abad kelima hijriah. Hal itu ditandai dengan munculnya karya al-Wahidi yang berjudul
asbabun nuzul yang secara khusus membahas tentang asbabun nuzul dalam al-Quran.
Pembahasan asabun nuzul sendiri sebelumnya masuk dalam pembahasan tafsir yang ada dalam
kitab-kitab tafsir ulama abad ketiga hijriah. Al-Wahidi sendiri banyak mengambil riwayat-
riwayat asbabun nuzul dari kitab tafsir ath-Thabari dan juga kitab tafsir miliknya yang dikarang
sebelum kitab asbabun nuzul. 14
Hal ini tentu berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh az-Zarkasyi dan juga as-
Suyuthi yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengarang tentang asbabun nuzul adalah Ali
ibnu Madani, guru dari Imam Bukhari yang hidup pada abad kedua hijriah. Pendapat ini
dikuatkan dengan tidak ditemukannya buku “kitab at-tanzil” yang disebut oleh mereka berdua
sebagai karangan ibnu madani dalam ilmu asbabun nuzul.15
C. MAKIYAH MADANIYAH

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa al-Quran diturunkan berangsur-angsur


selama 23 tahun lamanya kepada Nabi Muhammad Saw. Proses turunnya dimulai dari saat nabi

11
Abdullah Mahmud Syahatah, ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo, Daar Ghoriib, 2002) hal. 88
12
Abdullah Mahmud Syahatah, ‘Ulum al-Qur’an,… hal. 88
13
Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulumil Quran,…hal. 89
14
Bassam Jamal, Asbab an-Nuzul, (Beirut: Markaz ats-Tsaqofi al-Arabi, cet. Pertama: 2005), hal 84-86
15
Bassam Jamal, Asbab an-Nuzul,… hal 87

5
berada di Makkah, sampai Nabi dan para sahabat berada di Madinah hingga wafatnya Beliau
Saw. Ayat-ayat yang turun kepada Nabi Muhammad tidak turun di satu tempat, melainkan di
beberapa tempat sesuai dengan keberadaan Nabi. Ada yang turun saat Nabi berada di Makkah,
ada yang turun saat Nabi sedang dalam perjalanan, dan ada juga yang turun saat Nabi telah
berada di Madinah. Sehingga muncullah ilmu Makki dan Madani yang mengklasifikasikan ayat
al-Quran menjadi Madaniyah dan Makiyah.

Pembagian Makkiyah dan Madaniyah yang dilakukan oleh ulama ulumul quran dibagi
berdasarkan tiga hal pokok, yang pertama adalah pembagian berdasarkan waktu turunnya, yang
kedua berdasarkan tempat turunnya, dan yang ketiga adalah berdasarkan objek turunnya al-
quran.16

Pengetahuan tentang Makki dan Madani memang tidak pernah diajarkan langsung dari
Nabi Muhammad, karena Ia memang tidak diperintahkan untuk menyampaikan hal tersebut.
Akan tetapi jika ditelusuri lebih lanjut pengetahuan tentang Makki Madani ini bersumber dari
pengetahuan sahabat tentang dimana dan kapan saja al-quran diturunkan. Hal tersebut dapat
dilihat dari perkataan sahabat ibnu Mas‟ud: “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Ia,
sungguh tidak ada satu pun ayat didalam al-Quran yang diturunkan, melainkan aku mengetahui
pada siapa ia diturunkan dan kapan ia diturunkan”. Selain ibnu Mas‟ud, Ali bin Abi Thalib pun
diketahui pernah berkata serupa dengan perkataan ibnu Mas‟ud ini.17

Dalam mengklasifikasikan Makki dan Madani, para ulama menggunakan setidaknya dua
metode, metode riwayat dan juga metode ijtihad. Metode pertama menggunakan riwayat-riwayat
yang sohih yang diambil dari para sahabat dan para tabiin yang mendengar langsung dari para
sahabat. Sedangkan metode kedua, dengan melihat karakteristik ayat-ayat yang ada untuk
dikelompokkan ke dalam karakteristik Makkiyah ataupun Madaniyah.18 Maka tidak heran jika
pada akhirnya terdapat perselisihan pendapat dalam menentukan Makkiyah atau Madaniyah
suatu ayat ataupun surat dalam al-Quran. Setidaknya dari 114 surat yang ada didalam al-Quran,

16
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,… hal. 48
17
Subhi Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Quran,… hal. 178
18
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,… hal. 56-57

6
ada 20 surat Madaniyah yang disepakati, 12 surat yang ulama berbeda pendapat mengenainya,
dan sisanya sebanyak 82 surat Makkiyah.19

Pengetahuan tentang Makki dan Madani dianggap penting oleh sebagian besar ulama,
karena terdapat banyak manfaat yang dapat diambil dengan mengetahui dan mempelajari Makki
dan Madani, di antaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Quran, sebab dengan mengetahui tempat
turunnya ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran
yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umumnya. Berdasarkan hal ini
seorang mufasir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, apabila
diantara kedua ayat tersebut terdapat makna yang bertentangan.

Kedua, mengambil manfaat dari gaya bahasa al-Quran dengan menggunakannya dalam metode
dakwah. Karena setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Salah satu kekhasan al-Quran
adalah unsur balaghahnya yang cukup tinggi, dan salah satu poin penting dari balaghah adalah
menyampaikan sesuatu sesuai dengan kondisi dari objek yang diajak bicara. Karakteristik gaya
bahasa Makki dan Madani dalam al-Quran dapat memberikan pelajaran yang penting bagi kita
untuk selalu memperhatikan kondisi objek dakwah kita. Jika kita perhatikan dengan seksama
terdapat perubahan gaya bahasa pada setiap periode karena terdapat perubahan pada individual,
akidah dan keadaan lingkungannya. Sehingga sangat jelas sekali perbedaan gaya bahasa al-
Quran ketika menyapa orang-orang mukmin, munafik, musyrikin dan juga ahlu kitab.

Ketiga, memberikan gambaran sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Quran, sebab turunnya
wahyu kepada Rasulullah Saw. sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwanya, baik
dalam periode ketika Nabi berada di Mekah ataupun di Madinah. Sejak permulaan turunnya
wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Quran merupakan
sumber pokok bagi para sejarawan yang menulis tentang kehidupan Rasulullah Saw.20

Keempat, Mempermudah dalam mengetahui ayat nasikh dan mansukh, khususnya jika ada dua
ayat yang menerangkan hukum suatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya bertentangan satu
sama lain. Ketika diketahui bahwa satu ayat diturunkan Makkah dan yang lainnya diturunkan di

19
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,… hal. 50
20 Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,…hal. 55-56

7
Madinah, maka kita dapat menghukumi bahwa ayat yang diturunkan di Madinah sebagai nasakh
ayat yang diturunkan di Makkah, karena ayat-ayat Madaniyah turun lebih akhir daripada ayat-
ayat Makkiyah.

Kelima, Memberikan sebuah pengetahuan dan pengertian tentang sejarah syariat Islam, yang
penerapannya dilakukan secara bertahap.

Keenam, Meningkatkan keyakinan kita terhadap, kemurnian dan keaslian al-Quran. Hal tersebut
dapat dilihat dari perhatian para ulama terhadap al-Quran, sampai mereka mencari tahu dan
menurunkannya secara turun temurun pengetahuan tentang ayat-ayat yang turun sebelum dan
sesudah hijrah.21

Meskipun memiliki banyak manfaat ilmu Makki dan Madani menurut Subhi Shalih harus
diteliti lagi riwayat-riwayat yang ada didalamnya, serta harus dikaji lebih mendalam lagi agar
dapat memberikan manfaat yang lebih luas.22

D. PENGISAHAN DALAM AL-QURAN


Didalam al-Quran banyak sekali dimuat kisah-kisah masa lalu, yang tersebar didalam 35
surat dan 1600 ayat.23 Ayat-ayat tersebut mendominasi isi al-Quran. Kisah-kisah yang ada
didalamnya disampaikan dengan bahasa yang sangat variatif. Perintah ataupun ajaran moral
disampaikan secara tidak langsung sehingga pesan yang disampaikan kepada manusia sebagai
penikmat sekaligus sasaran kisah ini akan lebih mengena.24
Gaya bahasa seperti ini nampaknya sangat relevan sekali jika digunakan di jaman modern
seperti sekarang ini, ketika hak asasi individu mendapat perhatian yang sangat tinggi. Manusia
pada umumnya dengan ego yang melekat pada dirinya, akan menolak informasi yang menggurui
dan langsung menyinggung dirinya sekalipun informasi tersebut sangat berguna bagi dirinya.25
Yang dimaksud dengan kisah dalam alquran adalah kisah-kisah umat terdahulu, kisah
para nabi yang datang sebelumnya, kisah tentang kejadian yang telah terjadi di masa lampau.
Kisah-kisah dalam al-Quran menceritakan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dan

21 Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahil Irfan fi Ulumil Quran,… hal 167
22
Subhi Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Quran,… hal. 167
23
Dr. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Quran, Makna di Balik Kisah Ibrahim, (Yogyakarta, LKIS, Cet. Ke-I, 2009), hal.
1 dinukil dari A. Hanafi, Segi-segi kesusastraan pada kisah-kisah al-Quran hal. 22
24
Dr. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Quran, Makna di Balik Kisah Ibrahim,… hal. 1-2
25
Dr. Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Quran, Makna di Balik Kisah Ibrahim,… hal. 2

8
mengandung sebuah kebenaran. Nama-nama yang ada dalam kisah tersebut merupakan
gambaran yang nyata dan sosok yang benar-benar ada.26
Secara Umum kisah-kisah dalam al-Quran dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
1. Kisah para Nabi: yang berisi tentang dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat
yang Allah berikan kepada mereka untuk membuktikan kebenaran mereka, sikap orang-
orang yang menolak dakwah mereka, fase dakwah mereka dan perkembangannya, serta
akibat yang diperoleh oleh orang-orang yang beriman maupun yang kafir terhadap dakwah
para nabi, seperti kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa dan lain sebagainya.
2. Kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan kisah orang-
orang shalih selain para nabi. Seperti kisah Thalut dan Jalut, kisah dua anak adam, kisah
ashabul kahfi, Kisah Maryam, Kisah pasukan bergajah, dan lain sebagainya
3. Kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad
Saw. Seperti kisah tentang terjadinya perang Badr dan Uhud pada surat Ali Imran, Perang
tabuk yang terdapat pada Surat at-Taubah, Perang Ahzab yang terdapat pada surat al-Ahzab,
tentang Hijrah dan juga peristiwa isra mi‟raj, dan lain sebagainya.27
Adapun manfaat dimasukkannya kisah-kisah umat terdahulu dalam alquran, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad, karena kisah-kisah yang ada ini adalah suatu
kabar yang ghaib jika dihubungkan dengan kepribadian Nabi Muhammad yang ummi, yang
tidak mampu membaca dan menulis.
2. Menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah ajaran yang sama
seperti yang dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya, yang menunjukkan bahwa semua risalah
yang dibawa oleh semua nabi adalah berasal dari sumber yang sama.
3. Menetapkan hati Nabi Muhammad untuk tetap teguh dalam menyampaikan risalah yang ia
bawa kepada umat manusia, meskipun berbagai macam rintangan harus dihadapinya,
sebagaimana yang telah terjadi juga pada nabi-nabi sebelumnya yang diceritakan dalam
kisah-kisah tersebut.
4. Menetapkan hati orang-orang yang beriman bersama Nabi Muhammad, dengan menanamkan
keyakinan pada diri mereka bahwa pertolongan dari Allah pasti akan datang. Juga sebagai

26
Dr. Musa Syahin Lasyin, Al-Laali al-Hisan fi Ulumil Qur`an, (Kairo, Dar el-Syuruq, cet. Ke-I: 2002), hal. 219
27
Manna' al-Qattan, Mabahits fi Ulumil Quran,…hal. 301

9
hiburan untuk orang-orang yang beriman dengan menyajikan keadaan orang-orang yang
beriman dan juga orang-orang yang kafir terhadap risalah yang dibawa oleh para rasul pada
kisah-kisah umat terdahulu.28

III. KESIMPULAN

Kajian mengenai ulumul quran sangatlah penting. Setiap cabang dari masing-masing
ulumul quran mempunyai peran tersendiri dalam upaya memahami kandungan yang terdapat
dalam al-quran. Para ulama kita telah melakukan sekian banyak kajian mengenai hal tersebut,
maka sudah sepatutnya bagi kita untuk mempelajari dan mendalami apa-apa yang sudah dikaji
oleh pendahulu kita.

Meskipun kajian-kajian tentang teori dasar ulumul quran telah dilakukan oleh para ulama,
namun masih banyak hal yang perlu dikaji lagi, khususnya ilmu asbabun nuzul dan juga ilmu
Makki Madani. Perlu diadakan verifikasi terhadap riwayat-riwayat yang berhubungan dengan
kedua kajian tersebut.

28
Dr. Musa Syahin Lasyin, Al-Laali al-Hisan fi Ulumil Qur`an,… hal. 264-265

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna‟ , Mabâhist Fi „ Ulûm al-Quran, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. XIV, 2007.

Abu Syahbah, Muhammad al-Madkhal li Dirasat al-Quran al-Karim, Riyadh, Darul Liwa‟, cet.
Ketiga, 1987

As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fii „Ulumil Qur‟an. Beirut: Muassah Risalah, 2008.
Al-Zurqani, Muhammad Abdul „Adzim, Manâhilul Irfân Fi „Ulûm al-Quran, jilid 1, Dar el-
Hadist, Kairo, 2001.
Baharudin, Moh. Achwan, Konsep Pewahyuan Al-Qur‟an Menurut Stefan Wild, Jurrnal Suhuf.
Vol. 08, No. 1, Juni 2015

Jamal, Bassam, Asbab an-Nuzul, Beirut: Markaz ats-Tsaqofi al-Arabi, cet. Pertama: 2005

Lasyin, Dr. Musa Syahin, Al-Laali al-Hisan fi Ulumil Qur`an, Kairo, Dar el-Syuruq, cet. Ke-I:
2002

Qalyubi, Syihabuddin, Stilistika al-Quran, Makna di Balik Kisah Ibrahim, Yogyakarta, LKIS,
Cet. Ke-I, 2009

Shalih, Subhi Mabâhist Fi „ Ulûm al-Quran, Beirut: Darul Ilmi lil Malayin, cet: ke-10, 1977

Syahatah, Abdullah Mahmud, „ Ulûm al-Quran, Kairo, Daar Ghoriib, 2002

11

Anda mungkin juga menyukai