Kata kunci : aktifitas perburuan rente, cost recovery, liberalisasi, kinerja industri,
sektor migas, Undang-Undang Migas.
ABSTRACT
KHOERUL IMAM FATWANI. Analysis of the Oil and Gas Sector liberalization
On the Management of Oil and Gas in Indonesia: a Political Economy Perspective.
Supervised by DIDIN S. DAMANHURI
Keywords: cost recovery, industry’s performance, Law no. 22 of 2001 on Oil and
Gas, liberalisation, oil and gas Sector, rent seeking activity.
ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP
PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:
PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 8
Ekonomi Politik 9
Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas” 11
Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) 13
Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente) 14
Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor
Migas di Indonesia 16
Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa) 18
Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC 19
Penelitian Terdahulu 20
Kerangka Pemikiran 21
METODOLOGI PENELITIAN 23
Wilayah Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis Data 24
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26
Republik Indonesia 26
Kondisi Geografis dan Kependudukan 26
Kondisi Perekonomian 27
Sektor Migas dan Industri Migas Nasional 29
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan
Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Migas. 35
Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan
Pengelolaan Migas di Indonesia. 39
Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di
Indonesia. 44
SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 55
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
1. Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun
2012 4
2. Ringkasan Generasi PSC di Indonesia 16
3. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993) 35
4. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) 36
5. Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar
Rupiah) 37
6. Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012 38
7. Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak
Tahun 1995-2007 39
8. Hasil Uji Stationeritas 41
9. Output Uji Heteroskedastisitas 42
10. Output Uji Autokorelasi 42
11. Hasil Estimasi Model 43
12. Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil
Sektor Migas tahun 2004-2012 46
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Salah satu hal yang membuat Indonesia terkenal di dunia selain kekayaan
budayanya adalah kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Negara yang
terletak di sepanjang garis khatulistiwa yang beriklim tropis ini begitu banyak
keistimewaannya. Mulai dari tanahnya yang subur, lautan yang luas, serta
melimpahnya hasil bumi yang berbentuk mineral dan energi, membuat Indonesia
semakin dikagumi oleh negara lain.
Dalam mengatur kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia mempunyai
landasan kontitusi yang sangat kuat, yaitu adanya pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 ayat (2) dan (3).1 Kedua pasal tersebut mengamanatkan bahwa Negara harus
bisa mengatur kekayaan sumber daya alamnya untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia. Lalu apakah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan (3) itu
amanatnya sudah dilaksanakan adalah pertanyaan besarnya.
Jika dikaji secara cermat, sejauh ini ada beberapa kebijakan yang kurang
sejalan dengan amanat konstitusi mengenai pengelolaan hasil bumi di Indonesia.
Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas,
yang mana dengan ditetapkan undang-undang tersebut menjadikan 70% energi
nasional dikuasai oleh asing, kontrak kerjasama lebih banyak menguntungkan
pihak asing, dan pengelolaan energi nasional dijalankan dengan prinsip
liberalisasi ekonomi, 2 atau ringkasnya sektor Migas di Indonesia telah di
privatisasi oleh asing. Jadi dapat dikatakan bahwa pasal 33 UUD 1945 ayat (2)
dan (3) realisasinya masih jauh dari semestinya.
Indonesia sendiri bukanlah negara yang anti terhadap investasi asing.
Indonesia begitu terbuka terhadap investasi asing yang mana hal itu merupakan
realisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Asing serta dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang
bertugas untuk mempromosikan Indonesia agar para investor melakukan investasi
di Indonesia.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal selama
tahun 2012 di Indonesia didominasi oleh investor asing. Dari total investasi
sebesar Rp. 313.2 triliun, Rp. 221 triliunnya disumbangkan oleh investor asing.
Hal tersebut jauh melebihi target yang ditentukan untuk tahun 2012, yaitu sebesar
Rp. 283.5 triliun untuk total investasi dan Rp. 206.8 triliun untuk PMA. Dari total
investasti asing yang masuk ke Indonesia, 18% nya adalah untuk sektor
pertambangan, 12% masuk ke sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi,
11,5% masuk ke industri kimia dasar dan farmasi, 10% masuk ke sektor industri
1
Pasal 33 UUD 1945: (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi air dan kekayaan yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
2
Makna dikuasi disini adalah dalam hal penguasaan pengelolaan sektor migas. Pendapat tersebut
disampaikan oleh Enny Sri Hartati (Direktur INDEF) dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun
“Integritas Nasional Dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” Rabu (19/12/2012),
Megawati Institute.
2
logam, 7% masuk ke sektor alat angkutan dan transportasi, dan 42% masuk ke
sektor lainnya (lihat Gambar 2).
(Triliun rupiah)
350
300
250
PMDN
200
PMA
150
TOTAL
100
50
0
TW 1 TW II TW III TW IV TOTAL
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi, yang mana pada
pasal tersebut kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua,
yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak-kontrak lainnya.3 Pencetus ide sistem kontrak
bagi hasil ini sebenarnya sudah lama diungkapkan oleh direktur utama Pertamina
yang pertama yaitu Ibnu Sutowo.4
Alasan kenapa Indonesia memakai sistem bagi hasil tersebut adalah industri
minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan
penuh ketidakpastian (resiko). Sehingga Indonesia mengundang investor-investor
luar negeri serta perusahan-perusahan minyak multinasional supaya terjadi
transfer teknologi yang nantinya diharapkan Indonesia dapat mengelola minyak
dan gas buminya secara mandiri. Selain itu, sistem kontrak bagi hasil yang
digagas oleh Ibnu Sutowo tersebut menekankan bahwa pengelolaan migas ada di
tangan Indonesia (yang diwakili pemerintah/BUMN) sendiri, kita mau barter atau
mau dijual sendiri, yang penting kita menjadi tuan di rumah sendiri.
Gagasan Ibnu Sutowo tentang sistem kontrak bagi hasil ini ternyata lebih
berhasil dilaksanakan oleh Malaysia. Terbukti Petronas sekarang menjadi
perusahaan migas multinasional yang besar dan mandiri. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 tentang ranking perusahaan minyak dunia berdasarkan cadangan
minyaknya. Petronas (Malaysia) menduduki peringkat 20 dunia dengan cadangan
minyak sebesar 7.876 juta barel, jauh diatas Pertamina (Indonesia) yang
menempati urutan 44 dengan cadangan minyaknya yang hanya 1.505 juta barel.
Untuk cadangan minyak sendiri, sebenarnya Indonesia memiliki persediaan
minyak yang cukup bahkan berlebih. Untuk sumur blok Cepu saja yang sekarang
dikelola oleh Exxon Mobil (US) mempunyai cadangan minyak sebesar 1-2
milyar barel. 5 Padahal dulu ketika Exxon Mobil berupaya memperpanjang
kontraknya untuk mengelola sumur blok Cepu ini yang jatuh tempo pada tahun
2010, cadangan minyak yang diketahui adalah hanya sekitar 600 juta barel.
Perundingan perpanjangan kontrak tersebut awalnya tidak disetujui oleh Kwik
Kian Gie yang dulu menjabat sebagai Menko Ekoin, tetapi akibat adanya lobi-lobi
dari perusahaan Exxon Mobil yang diwakilkan oleh Dubes Ralph Boyce ditambah
adanya intervensi Presiden Amerika saat itu, George W. Bush akhirnya
penguasaan sumur blok Cepu tersebut jatuh ke tangan Exxon Mobil sampai tahun
2030. 6
3
Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Aspek Hukum Kontrak
Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas
[Laporan Penelitian]. Yayasan Alumni Universitas Dipenogoro, Fakultas Hukum Universtitas
Semarang. Hal 11
Ide ini bermula ketika Permina (sebelum terbentuk Pertamina) sedang membutuhkan modal
4
untuk mengembangkan perusahaan, Ibnu Sutowo yang pada waktu itu menjabat sebagai dirut
Permina melakukan kontrak kerjasama dengan Jepang. Isi perjanjian tersebut adalah terbentuknya
sistem kontrak kerjasama yang mana Permina sebagai perusahaan negara memegang tanggung
jawab pengawasan, pengelolaan dan manajemen secara penuh. Maka lahirlah istilah sistem-
Kontrak Bagi Hasil. Lihat KH Ramadhan. 2008. Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita. National
Press Club of Indonesia: Jakarta. Hal 179-188
5
Sugiaryo. 2011. Globalisasi: Intervensi kekuatan politik dan Ekonomi dalam Pembentukan
Hukum dan Pengusahaan Migas di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi
Oktober 2011. hal 232
6
Loc.cit
4
Cadangan
Kepemilikan
Ranking Perusahaan Negara Minyak (juta
Pemerintah (%)
barel)
1 Saudi Aramco Saudi Arabia 100 264.200
2 NIOC Iran 100 138.400
3 INOC Irak 100 115.000
4 KPC Kuwait 100 101.500
5 PDVSA Venezuela 100 99.377
6 ADNOC UEA 100 52.800
7 LNOC Libya 100 30.700
8 CNPC China 100 22.447
9 NNPC Nigeria 100 21.700
10 Rosneft Russia 75 17.513
11 Lukoil Russia 12.527
12 Pemex Mexico 100 12.187
13 Sonatrach Algeria 100 11.400
14 Exxon Mobil US 11.074
15 CP Qatar 100 10.624
16 British Petroleum UK 6.541
17 Petrobras Brazil 56 9.581
18 Gazprom Russia 50 9.195
19 Surgutneftegas Russia 7.929
20 Petronas Malaysia 100 7.876
....
43 CNOOC China 64 1.564
44 Pertamina Indonesia 100 1.505
Sumber: Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 149
Apabila dikaji dari kasus tersebut, Pertamina sebagai perusahaan minyak
nasional bisa saja mendapatkan hak pengelolaan sumur blok Cepu tersebut dan
mengelolanya secara mandiri. Tetapi sejak awal berdirinya republik sampai
dengan sekarang, Indonesia (dalam hal ini Pertamina) belum bisa mengelola
migas secara mandiri. Hal ini diakibatkan banyaknya lobi-lobi dan intervensi
pihak asing dalam menguasai pengelolaan migas di Indonesia.
Selain itu masih banyaknya pandangan-pandangan kaum teknokrat
Indonesia yang menganggap Pertamina dirasa belum pantas mengelola migas di
Indonesia dengan alasan masih minimnya teknologi dan modal yang dimiliki.
Menurut Lubiantara:7
“...rupanya kita (Indonesia) masih terpaku pada sistem paron, yang secara
tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan-jangan
memang tidak pernah terpikirkan kelak suatu saat NOC (National Oil
Company/ Pertamina) sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi
kalau saat ini kontribusi Pertamina masih 25%, tentu bukanlah hal yang
mengherankan”.
Banyaknya intervensi dan lobi-lobi yang datang dari pihak perusahaan
migas multinasional dan intervensi dari pihak keuangan dunia seperti IMF dan
World Bank semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 sangat berpengaruh juga terhadap pengelolaan migas nasional. Kondisi
tersebut diperparah oleh karakter industri migas dalam negeri yang sangat tertutup
7
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 151
5
dan ekslusif, termasuk soal harga dan pengelolaan, serta tidak ada mekanisme
pengawasan yang ketat menjadikan maraknya rent seeking activity 8 (aktifitas
perburuan rente) pada industri migas.9
Aktivitas perburuan rente pada industri migas di Indonesia banyak sekali
macamnya. Salah satu kasus pada sektor migas yang baru-baru saja terungkap
adalah kasus suap yang melibatkan Rudi Rubiandini sebagai Kepala Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau yang lebih dikenal SKK
Migas. Rudi tertangkap basah oleh KPK dengan uang US$ 400 ribu, US$ 90 ribu,
dan Sin$ 127 ribu di rumah dinasnya yang diduga berasal dari Direktur PT Kernel
Oil, Simon Gunawan dan Direktur PT Parna Raya, Artha Meris Simbolon agar
Rudi bersedia memberika rekomendasi penurunan formula harga gas.10 Sebagai
kepala SKK Migas, Rudi seharusnya menjaga agar jatah minyak mentah
pemerintah dari pembagian hasil dengan kontraktor bisa memberikan pemasukan
sebesar-besarnya bagi negara. Tetapi ironisnya, jabatan tersebut disalahgunakan
untuk mengejar keuntungan pribadi.
Selain kasus suap tersebut, masih banyak masalah pada sektor migas. Salah
satunya dari segi manipulasi cost recovery,11 yang mana tingginya cost recovery
pada sektor migas menjadi salah satu penyebab Indonesia pada tahun 2011
diduga menanggung kerugian sebesar Rp. 152.96 triliun.12
Adanya manipulasi pada cost recovery tersebut dapat terjadi karena
kurangnya pengawasan yang menyebabkan assymetric information dan moral
hazard di kalangan birokrat industri migas. Sebesar apapun produksi minyak
Indonesia apabila cost recovery-nya sangat tinggi maka negara tidak dapat
menikmati keuntungan dari produksi tersebut. Keuntungan ini jelas mengalir
kepada pelaku-pelaku pemburu rente baik yang individual, birokrat serta
perusahaan-perusahaan minyak multinasional. Istilah ini biasa disebut dengan
goldplatting, yaitu kecenderungan (oknum) perusahaan/birokrat untuk melakukan
8
Dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang diterima penguasa
melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Lihat
Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313 dan Ahmad
Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit
Erlangga: Jakarta. Hal 107
9
Firdaus Ilyas. 2013. Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus [berita]. Indonesia
Corruption Watch: 20 Agustus 2013. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-migas-kartel-misteri-yang-harus-ditembus
10
Tempo.co. 2013. Skandal SKK Migas, Jero Wacik Dibidik. Diakses pada tanggal 3 Februari
2014 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/26/063507370/Opini-Tempo-Skandal-SKK-Migas-
Jero-Wacik-Dibidik
Cost recovery adalah mekanisme biaya dalam kontrak hulu migas, yang mana
11
perusahaan/kontraktor mengajukan biaya penggantian kepada pemerintah atas semua biaya yang
perusahaan/kontraktor (pada kegiatan industri hulu) terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-
kapital, dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membayar
lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau bisa ditangguhkan pada
tahun berikutnya. Lihat : Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial
Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172
12
Sabir Laluhu. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun [berita].
Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-diduga-rugikan-negara-
rp152-96-t
6
Perumusan Masalah
Minyak dan gas bumi merupakan komoditi strategis dan energi yang tak
terbarukan yang memegang peranan penting dalam pembangunan suatu negara,
termasuk Indonesia. Bahkan pada zaman orde baru (1960-1980) sektor migas
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan dan perekonomian
Indonesia mengingat sektor migas pada waktu itu menjadi sumber devisa utama
Indonesia. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, semenjak adanya penurunan
harga minyak dunia yang terjadi pada tahun 1980-an, atau biasa disebut dengan
“boom minyak”.16
Adanya kasus “boom minyak” secara tidak langsung mengubah kebijakan
pengelolaan migas pada waktu itu yang mana mekanisme PSC generasi pertama
(1964-1975) yang digagas Ibnu Sutowo, harus disesuaikan dengan kondisi migas
dunia dan lahirlah PSC generasi kedua (1976-1988) dan PSC generasi ketiga
(1988-sekarang).
Penyesuaian desain kontrak PSC sebenarnya tidak menjadi masalah, yang
penting selama itu tidak merugikan negara. Yang menjadi masalah adalah ketika
kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan amanat konstitusi, yaitu UUD
1945. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina jelas
menimbulkan pertanyaan besar. Fungsi Pertamina yang awalnya berkedudukan
sebagai manajer dari perusahaan-perusahaan migas (kontraktor) harus digantikan
perannya oleh BP Migas/SKK Migas dan peran Pertamina adalah sebagai
13
Lubiantara, Benny. 2012. Op.cit. hal 173
14
Sabir Laluhu. 2013. Op.cit.
15
Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 107
16
Boom minyak ini terjadi ketika gagalnya mekanisme harga yang ditetapkan oleh OPEC.
Gagalnya mekanisme harga ini disebabkan antara lain maraknya nasionalisasi yang dilakukan oleh
negara-negara timur tengah dan meningkatnya produksi negara-negara non-OPEC sehingga
pasokan minyak bertambah dan harga turun. Lihat Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 205-209
7
Selain itu, sisi lain dari terungkapnya kasus tersebut harapannya dapat
memberikan celah bagi penegak hukum untuk masuk ke dalam “lingkaran setan”
sektor migas yang mana bisa mengungkap kasus-kasus perburuan rente lainnya
dan mengungkap para birokrat-birokrat serta perusahaan migas yang mencoba
mengambil keuntungan pribadi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan masa
depan sektor dan industri migas nasional.
Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat,
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia
sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
2. Bagaimana dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas
Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.
3. Bagaimana aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan
migas di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Politik
Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
19
23
Ibid. Hal 22-23
24
Ibid. Hal 37-39
25
Ibid. Hal 44
26
Ibid. Hal 54-55
27
Ibid. Hal 305
11
28
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 102
29
Pendapat tersebut didasari pada konsep ekonomi kalkulasi yang menganggap sumber daya
selalu terbatas dan tujuan yang hendak dicapai selalu dapat dipastikan. Sehingga harus adanya
penyesuaian diri dengan kondisi perubahan dan pengembangan. Lihat Caporaso dan Levine. 1992.
Op.cit. Hal 39-40
30
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.cit. Hal 389
12
proses alokasi (sumber daya) secara efisien tanpa memperhatikan proses distribusi.
Selain itu amanat konstitusi (UUD 1945) mengisyaratkan bahwa kekayaan bumi
Indonesia dipegang oleh negara bukan oleh pasar.
Menurut Hafsari: 31
“Dalam kebijakan luar negeri, liberalisme erat kaitannya dengan
pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan
tekanan ekonomi, diplomasi, dan intervensi militer. Pembukaan pasar
merujuk pada perdagangan bebas. Konsep liberalisme secara umum
berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel
pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini
mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik
minimum. Liberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan
intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah
sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan”.
Pada era globalisasi yang akan segera dihadapi oleh dunia, paham
liberalisme akan semakin memperkuat para kapitalis-kapitalis dan perusahaan
multinasional untuk menguasai perekonomian lewat teknologi dan modalnya.
Apabila kita menganggap bahwa modal dan teknologi ini sebagai hambatan, maka
mereka (MNC) melihatnya sebagai suatu keuntungan agar menancapkan sayapnya
secara kuat. Apabila kita memandang pasar sebagai sumber kekuasaan dalam
perekonomian, ketika pasar tersebut dikuasai oleh MNC karena segala kelebihan
yang dipunyainya, maka dapat dikatakan liberalisasi ini secara tidak sadar tengah
membangun organisasi sosial yang tengah menggantikan negara sebagai lembaga
ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia.32
Apabila dilihat dari pengertian liberalisasi sebagai pembukaan jalur modal
dan kapital luar negeri untuk masuk ke sektor migas di Indonesia, hal tersebut
sudah lama terjadi pada saat Pertamina lahir dengan sistem kontrak bagi hasilnya.
Tetapi pada era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas, makna
liberalisasi ini dapat diartikan sebagai pembebasan pengelolaan migas di
Indonesia oleh perusahaan dalam negeri maupun luar negeri dengan tidak harus
melakukan kontrak dengan Pertamina (seperti era Undang-Undang Nomor 8 tahun
1971) tetapi melalui BP Migas (SKK Migas) baik dalam bentuk kontrak bagi hasil
atau kontrak lainnya. Dengan begitu liberalisasi ini memberikan makna bebas
mengelola bukan bebas menguasai. Hal ini sering menjadi perdebatan di berbagai
kalangan.
Makna “bebas mengelola” ini dinilai merupakan permainan kata semata
karena apabila diganti dengan makna “bebas menguasai” maka hal itu akan dinilai
inkonstitusi atau bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3. Peran BP
migas juga dinilai hanya sebagai lembaga “jadi-jadian” agar sektor migas ini tetap
dikuasai oleh negara. Namun karena kedudukannya yang bukan entitas bisnis
melainkan lembaga perwakilan pemerintah, kontrak kerjasama yang pada konsep
awalnya dilakukan antar entitas bisnis (melalui Pertamina) atau B to B menjadi B
to G.33
31
F. H Hafsari. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di Indonesia [skripsi].
FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal 25
32
Puji Rianto. 2004. Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi [jurnal]. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, November 2004 (161-180). Hal 164
33
Hasil wawancara dengan Komaidi Notonegoro (peneliti Reforminer Institute): 16 Juli 2014
13
34
Peter Evans dalam Akira Suehiro. 2008. Catch-Up Industrualization. University of Hawaii
Prses. Hal 161
35
Ibid. Hal 162
36
Muhammad Findi Alexandi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi di Indonesia:
Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri Tepung Terigu Nasional (Periode
1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok. Hal.
37
Profil Badan Usaha Milik Negara dalam KPK. 2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi.
37
Bagi para ekonom, rente merupakan kependekan dari "rente ekonomi" yang
mana mempunyai makna sebagai jumlah keuntungan yang dibayarkan kepada
seseorang atas apa yang dilakukan untuk mendapatkan alternatif terbaik. 38
Apabila dilihat dari makna tersebut, rente dapat dikatakan sesuatu yang “netral”
karena merupakan sesuatu hal yang biasa dan diterima karena pemahaman
tersebut masih terlalu sempit.
Pada teori neoklasik, setiap individu akan selalu beusaha mencapai tingkat
kepuasan tertinggi dalam memenuhi kebutuhan individu tersebut dengan kendala
adanya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang tersedia sebagai alat pemenuhan
kebutuhan sehingga muncul konsep “pilihan yang dibatasi” (constrained chioce)
dengan begitu individu tersebut harus menentukan pilhan yang tepat untuk
mencapai tingkat kepuasaan tertingginya. Sebagai ilustrasi, apabila ada barang A
memberikan kepuasan sebesar 90, kemudian barang B sebesar 70 dan barang C
sebesar 50, maka individu akan memilih barang A karena memberikan tingkat
kepuasan yang lebih dari barang B dan C. Dengan konsisten juga individu
tersebut akan mengurutkannya sesuai nilai kepuasannya (A>B>C). Konsep ini
disebut dengan pilihan rasional (rational choice).39
Apabila ide tersebut masih dalam tingkat individu, maka Caporaso dan
Levine menjelaskan bahwa dalam tingkatan kelompok, kesejahteraan akan dicapai
ketika dua syarat terpenuhi yaitu: 1) tindakan individu dalam kelompok tersebut
akan mempengaruhi individu lain yang tidak melakukan tindakan yang sama
dalam kelompok tersebut. 2) individu satu menyediakan peluang bagi individu
lain untuk peningkatan kesejahteraan bersama dengan melakukan pertukaran.40
Pada syarat yang pertama hal itu sering disebut dengan konsep eksternalitas.
Yang mana dampak dari tindakan individu tersebut (eksternalitas) ada yang positif
dan negatif. Untuk syarat yang kedua, apabila ditinjau dari konsep pilihan rasional,
para pelaku rasional tersebut bertindak dan memberikan peluang bagi pelaku
rasional lainnya dan keduanya diuntungkan maka disebut dengan keseimbangan
rasional (rational equilibrium). 41 Konsep tersebut bisa diilustrasikan dengan
adanya pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan perusahaan yang mempunyai
38
Paolo Mauro. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues. International Monetary
Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol. 6. Hal 2
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.Cit. hal 184-186
39
40
Ibid. Hal. 189-190
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 104
41
15
42
Ibid. Hal 107
43
Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313
44
Paolo Mauro. 1997. Op.cit. hal. 5
16
Sumber: Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 47-48
45
Yuyus Bahtiar. 2010. Relevansi Model PSC Modifikasi Revenue To Cost Index (R/C) Pada
Kerjasama Migas di Indonesia. [skripsi]. Institut Teknologi Bandung: Bandung. Hal 1
46
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal (1) angka 19.
47
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 43-47
17
Adapun yang membedakan periode I dan II pada PSC generasi ketiga adalah
pada periode I Pertamina masih memegang alih seluruh kegiatan pengelolaan
migas di Indonesia, sedangkan pada periode II (setelah Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001) fungsi kegiatan pengawasan dan pembinaan pada sistem PSC
menjadi tanggung jawab BP Migas (sekarang SKK Migas), 48 sehingga peran
Pertamina menjadi pengelola perwakilan negara (karena 100% masih dikuasai
negara) yang harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan migas multinasional.
Karakteristik dalam kontrak bagi hasil , semua resiko ada di kontraktor.
Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi.
Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk
eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi
milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO)
untuk kontraktor migas.49
Berdasarkan kontrak bagi hasil, diatur bahwa kontraktor migas harus
menjual bagiannya paling banyak 25% ke dalam negeri. 50 Ini bertujuan untuk
menjamin ketersediaan BBM di pasar dalam negeri. Namun berdasarkan hasil uji
materi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), ketentuan tersebut diubah menjadi wajib 25% (dari
paling banyak). Harga yang ditetapkan bisa berdasarkan harga pasar atau harga
tertentu. Ketentuan ini dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO).
Kontraktor akan mendapatkan DMO fee atas hal ini.51
Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor
sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). Namun perhitungan
secara detail diatur dalam perjanjian masing-masing. Untuk biaya cost recovery,
konsep bagi hasil yang dianut oleh Indonesia akan mengganti biaya kontraktor
migas sebesar 100% (termasuk biaya investasi). Tidak ada pembatasan atas
biaya-biaya yang bisa diganti oleh pemerintah. Namun ketentuan ini sudah
berubah. Hasil audit BPK menemukan adanya biaya-biaya yang tidak sepatutnya
jika diganti oleh pemerintah (misal biaya yang terkait dengan kegiatan CSR
perusahaan) ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM no 22 tahun 2008
yang mengatur biaya-biaya yang tidak bisa di ganti oleh pemerintah (non cost
recovery) antara lain pembebanan dana community development pada masa
eksploitasi, technical training untuk ekspatriat, biaya konsultan pajak.52
Secara garis besar perhitungan PSC di Indonesia dapat dijelaskan oleh
Gambar 3.
Ibid. hal 50
48
49
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 14 dan 15
50
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 22 angka 1
51
Iswahyudi Sondi,. 2010. Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia [artikel].
Kompasiana: 26 April 2010. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-pengelolaan-migas-di-
indonesia-126745.html
52
Ibid.
18
Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa)
Sistem PSC tentu bukanlah satu-satunya sistem yang ada pada industri dan
pengelolaan migas di dunia. Ada beberapa sistem yang banyak dipakai oleh
negara-negara dalam alokasi produksi migas yang mengatur perjanjian antara
pemerintah dan kontraktor. Ada sistem konsesi dan sistem service contract
(kontrak jasa) yang banyak dipakai oleh negara-negara pengahasil minyak selain
sistem PSC.
Pada sistem konsesi, pemerintah hanya mendapatkan keuntungan hanya dari
pajak dan royalty. Karakteristik sistem konsesi ini adalah semua hasil produksi
dalam wilayah yang digarap oleh perusahaan tersebut menjadi milik perusahaan,
pemerintah tidak dapat mendapatkan dari hasil produksi tersebut, tetapi hanya
menerima penerimaan dari pajak/royalti saja. Oleh karena itu sistem konsesi
sering disebut juga sebagai sstem royalty/tax.53 Sistem ini merupakan sistem yang
paling tua dan masih banyak digunakan pada saat ini. Pada sistem konsesi
tradisional, keterlibatan pemerintah (negara) dibatasi atau bahkan tidak ada
ditambah jangka waktu kontrak yang lama serta luasnya wilayah yang dapat
dimiliki oleh perusahaan/kontraktor tersebut.54
Pada sistem konsesi modern, telah terjadi beberapa perubahan. Diantaranya
adalah meningkatnya bagian pemerintah (negara) dari pajak dan royalti tersebut
ditambah adanya pajak-pajak khusus terhadap keuntungan perusahan yang
53
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 14
Ibid. Hal 6-7
54
19
Pada sistem PSC cost recovery adalah biaya operasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan/kontraktor yang terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-kapital,
dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
membayar lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau
bisa ditangguhkan pada tahun berikutnya. 57 Konsep cost recovery sebenarnya
tidak hanya ada pada sistem PSC, pada sistem konsesi dan kontrak jasa juga
terdapat konsep yang sama dengan cost recovery tetapi pada sistem konsesi
55
Loc.cit
56
Metode buy-back ini digunakan oleh negara Iran dalam menarik perusahaan/kontraktor untuk
berinvestasi di Iran.
57
Benny Lubiantara,. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas.
Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172
20
disebut dengan cost deductions dan pada sistem kontrak jasa adalah
reimbursement.58
Menurut Lubiantara,59 mekanisme cost recovery pada PSC adalah:
“kontraktor akan menerima sejumlah volume hasil produksi yang menjadi
bagiannya (contractor entitlement) yang terdiri dari profit share dan cost
recovery. Sistem PSC di Indonesia memberlakukan FTP, dimana FTP
tersebut dibagi dengan kontraktor, disamping itu ada juga kewajiban
memasok sejumlah volume untuk kebutuhan domestik (Domestic Market
Obligation) dengan harga diskon. Adanya FTP dan DMO ini tentu juga
mempengaruhi besarnya total contractor entitlement tersebut”
Cost recovery merupakan salah satu komponen cost entitlement, sejumlah
volume produksi tertentu akan diklaim oleh kontraktor sebagai pengembalian
biaya operasi. Sebagai ilustrasi, biaya operasi perusahaan A adalah Rp. 1 juta
rupiah, rata-rata harga minyak adalah Rp. 100/barel, maka volume yang
diperlukan untuk mengganti biaya tersebut adalah Rp. 1.000.000/ Rp.100/barel=
10.000 barel.
Adanya mekanisme pembayaran cost recovery ini sering membuat
pandangan bahwa cost recovery dijadikan ladang mark-up baik itu yang dilakukan
oleh pihak birokrat pemerintahan maupun dari pihak perusahaan/kontraktor. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan ketegasan dari pihak yang
berwenang sehingga memungkinkan adanya kesempatan untuk melakukan
kecurangan yang merugikan negara dan perusahaan itu sendiri.
Penelitian Terdahulu
58
Loc.Cit
59
Ibid. Hal 194
60
Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Op.cit
61
Yuyus Bahtiar. 2010. Op.cit
21
Kerangka Pemikiran
62
Syamsul Ma’arif. 2007. Ekonomi politik kebijakan Migas tarik ulur perubahan Undang-undang
Migas pasca Orde Baru 1998-2004 [tesis] .Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
63
A. R. M Umar. 2012. Ekonomi Poltik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan Liberalisasi
Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 16.
22
Selain itu sistem PSC generasi ke III ini dinilai sangat memanjakan para
kontraktor migas. Dimana adanya aturan cost recovery dan penghindaran atas
pajak menyebabkan negara merugi. Kerugian negara tidak hanya disana, adanya
oknum-oknum pemerintah/perusahaan yang melakukan aktivitas rent seeking dan
gold platting/ Mark up semakin memperparah kerugian pada pengelolaan migas di
Indonesia.
Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5
METODOLOGI PENELITIAN
Wilayah Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series.
Untuk data-data mengenai industri migas (output industri, jumlah tenaga kerja
sektor migas, nilai antara) didapat dari data statistik pertambangan minyak bumi
dan gas bumi Badan Pusat Statistik66. Selain itu penulis juga menambahkan data
sekunder lain yang diperoleh secara tidak langsung dari dari buku, literatur,
berita, arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) serta instansi-instansi lain yang bersangkutan. Untuk
memperkuat analisis juga penelitian ini dilengkapi oleh wawancara mendalam
(indepth interview) kepada berbagai narasumber yang dinilai mempunyai
kapabilitas dibidangnya.67
64
Bambang Juanda. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor. Hal.
24
65
Ibid. Hal 197
66
Data Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dipakai terdiri dari dua data
industri yaitu data industri pertambangan minyak bumi dan gas bumi serta industri pengilangan
minyak bumi dan gas bumi Badan Pusat Statistik Indonesia.
67
Daftar informan yang diwawancarai dicantumkan di lembar lampiran
24
Pada penulisan karya tulis ini metode penulisan yang digunakan adalah
jenis metode analisis ekonometrika dan analisis deskriptif kualitatif. Analisis
ekonometrika yang digunakan adalah analisis dampak liberalisasi sektor migas
terhadap pertumbuhan output industri migas di Indonesia. Metode yang digunakan
adalah regresi berganda dengan metode estimasi OLS (Ordinary least square).
Sedangkan analisis deskriptif kualitatif akan digunakan untuk menganalisis
fenomena-fenomena yang sedang terjadi di masyarakat yang mana hal tersebut
bukan diperoleh dari pengolahan data/angka tetapi dari informasi yang didapat
dari media cetak, media online dan narasumber secara langsung untuk mendukung
penilitian ini.
Y = F(K,L) (1)
25
Y = F(K, L x E) (2)
E= = (3)
Y = F(K, n + g) (4)
Keterangan:
Yt : Pertumbuhan output / GO (persen)
β0 : Intercept
1, 2,3, : Konstanta masing-masing variabel bebas
ε : error term
t : Tahun penelitian, yaitu tahun 1993-2012
GK : Pertumbuhan Kapital / biaya input (persen)
GL : Pertumbuhan Tenaga Kerja (persen)
GT : Pertumbuhan Kemajuan Teknologi (persen)
DLIB : Variabel dummy liberalisasi, 0 ≤ 2001, 1> 2001
menguasai metode produksi dengan asumsi bahwa ketika teknologi tersedia maka akan
meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Lihat N. Gregory Mankiw. 2006. Macroeconomics. Sixth
Edition. Worth Publisher: New York. Hal 217
26
Republik Indonesia
69
Hasan Mustafa. 2000. Teknik Sampling. Hal 9. Diakses pada tanggal 20 Januari 2014 pada
alamat http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc.
70
Loc.cit
27
provinsi dengan laju pertumbuhan sebesar 1.49 dari tahun 2000-2010.71 Hal ini
menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang bagus untuk dikembangkan.
Kondisi Perekonomian
71
Badan Pusat Statistik.2014. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan Laju Pertumbuhan
penduduk Indonesia Menurut Provinsi. Diakses dari web resmi Badan Pusat Statistik Indonesia
http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=12 pada tanggal 3 Mei 2014
28
berkurang 0.89 juta jiwa dari 30.02 menjadi 29.13 juta jiwa. Bahkan ketimpangan
pendapatan (Gini ratio) meningkat sampai mencapai angka 0.41.
Gambar 9 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia (juta jiwa) dan Gini Ratio
Indonesia tahun 2000 sampai 2012
Sumber: Katalog BPS: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosio-Ekonomi
Indonesia Tahun 2012 (diolah)
29
72
PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation Guide 2012. PwC Indonesia. Hal
5
73
Ibid. Hal 6
30
Regulasi
Pada sektor migas, regulasi yang mengatur tentang eskploitasi, eskplorasi
sampai perdagangan pasca produksi telah mengalami beberapa perubahan.
Dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi yang mengakhiri sistem konsesi di sektor
migas dengan munculnya sistem kontrak karya. Setelah itu beberapa tahun setelah
muculnya sistem PSC yang dikenalkan oleh Ibnu Soetowo pada tahun 1966,
lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. Ketika Undang-
Undang tersebut dikeluarkan, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur
syarat-syarat kerjasama hingga pada tahun 1994 dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah Nomor 35 tentang syarat syarat dan pedoman kerjasama kontrak bagi
hasil minyak dan gas bumi.75
Setelah 30 tahun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 ini bertahan dan
berhasil membawa Pertamina sebagai salah satu perusahaan minyak (milik
pemerintah) terbesar di dunia, munculah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
yang tidak jarang menimbulkan perdebatan pada waktu itu. Tujuan pembentukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 seperti yang tercantum pada pasal 3
adalah:
1. Menjamin eksplorasi dan eksploitasi yang efektif, efisien, berdaya saing
dan berkelanjutan
2. Menjamin proses akuntabel, transportasi, penyimpanan dan usaha
komersial melalui persaingan usaha yang sehat dan transparan.
3. Menjamin pasokan minyak dan gas bumi yang efisien dan efektif dalam
pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
74
Ibid. Hal 7
75
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 41-44
31
76
Angka 313 juta barel per tahun diambil dari perhitungan produksi minyak bumi (lifting) per hari
pada tahun 2012, yaitu sebesar 859 ribu barel per hari dikalikan 365 (1 tahun)
77
Angka 3 TSCF per tahun diambil dari perhitungan produksi gas per hari Indonesia pada tahun
2012 yaitu sebesar 8,1 juta SCF per hari dikalikan 365 (1 tahun)
78
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi (pasal 1 ayat 16 UU no. 22 tahun 2001) ;Misal di
daerah Kepulauan Natuna di bagi dalam beberapa wilayah kerja dengan beberapa kontraktor PSC
yang mengolahnya.
33
79
Profil Badan Usaha Milik Negara dalam KPK. 2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Hal 8
35
Sektor minyak dan gas di Indonesia merupakan salah satu sektor vital dan
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal itu dapat terlihat
selama kurun waktu tahun 1992 sampai tahun 1999, kontribusi sektor migas pada
Produk Domestik Bruto Indonesia selalu berada diatas angka 8% (tabel 3)
Tabel 3 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993)
Penurunan kontribusi ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor migas pada
tahun 2000 yaitu 14.2% menjadi 5.29% pada tahun 2012 (tabel 4). Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah penurunan alami cadangan
minyak bumi karena proses eksploitasi yang berlebihan, semenjak tahun 2004
Indonesia menjadi negara Net Oil Importer karena ketidakmampuan produksi
domestik untuk memenuhi konsumsi BBM yang semakin meningkat serta
realisasi pengeboran eksplorasi di blok-blok baru sejak keberadaan Undang-
Undang Migas terus anjlok.
Menurut Kurtubi:82
“Penemuan cadangan/lapangan baru menjadi langka. Lifting minyak terus
turun karena hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua.
Sasaran lifting dalam APBN setiap tahun, pasca- Undang-Undang Migas,
nyaris tidak pernah tercapai. Indonesia berubah dari negara pengekspor
minyak yang tergabung dalam OPEC jadi negara pengimpor minyak netto.
Indonesia harus keluar dari OPEC.”
Tabel 4 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000)
PDB migas
PDB migas
Tahun terhadap PDB
(Miliar Rp)
nasional (%)
ke kisaran Rp. 984,276/barel. Sedangkan untuk gas bumi, pada tahun 1992
harganya berada pada kisaran Rp. 8,724/scf dan pada tahun 2012 harganya
melonjak ke kisaran Rp. 170,239/scf (tabel 6). Hal tersebut disebabkan banyak hal
diantaranya semakin menurunnya produksi dunia dan permintaan semakin
meningkat, selain itu dipengaruhi oleh iklim ekonomi dunia yang berdampak pada
pembentukan harga komoditi migas ini.
Tabel 5 Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar
Rupiah)
PPh Penerimaan Minyak Gas
Tahun Migas Migas Bumi Alam Total
1992 - 15,331 12,092 3,239 30,662
1993 - 12,503 9,447 3,056 25,006
1994 - 13,537 10,004 3,533 27,074
1995 - 16,055 11,964 4,091 32,110
1996 - 20,137 14,783 5,354 40,274
1997 - 31,208 22,913 8,295 62,416
1998 - 41,368 25,957 15,411 82,736
1999 - 28,603 15,070 13,533 57,206
2000 18,652 66,661 50,953 15,708 151,974
2001 23,102 81,041 58,950 22,091 185,184
2002 17,469 60,011 47,686 12,325 137,491
2003 18,963 61,502 42,969 18,533 141,967
2004 22,947 85,259 63,060 22,199 193,465
2005 35,143 103,762 72,822 30,940 242,667
2006 43,188 158,086 125,145 32,941 359,360
2007 44,001 124,784 93,605 31,179 293,569
2008 77,019 211,617 169,022 42,595 500,253
2009 50,044 125,752 90,056 35,696 301,548
2010 58,873 152,733 111,815 40,918 364,339
2011 73,096 193,491 141,304 52,187 460,078
2012* 60,671 157,325 114,392 42,934 375,322
Sumber: Kementrian Keuangan (diolah)
*angka sementara
Peningkatan penerimaan pemerintah ini juga diikuti oleh peningkatan biaya
cost recovery. Secara teknis, harusnya ketika terjadi penurunan produksi, biaya
yang dikeluarkan juga semestinya turun karena cost recovery merupakan biaya
yang dikeluarkan pemerintah untuk mengganti biaya operasional/biaya produksi
yang dikeluarkan oleh kontraktor. Hal tersebut disebabkan oleh masih tingginya
ketergantungan kontraktor terhadap sumur-sumur tua sehingga biaya produksi
semakin tinggi dan biaya pemeliharaan yang juga tinggi.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur tua adalah
dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR).83 Meskipun biaya untuk proyek
EOR ini tinggi, tetapi resiko kontraktor tidak sebesar untuk melakukan kegiatan
83
Fauzia Seftyandra. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) Sektor Migas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hal 42
38
84
Kurtubi. 2012. Migas Untuk Kemakmuran Rakyat. Loc.Cit
39
Proporsi Eksplorasi
Penemuan Minyak
Tahun Terhadap Total
(MMBL)
Investasi
1995 9% 41
1996 8% 55
1997 11% 98
1998 13% 66
1999 6% 76
2000 5% 15
2001 5% 6
2002 4% 26
2003 5% 19
2004 5% 20
2005 7% 31
2006 6% 14
2007 5% 15
Sumber: BP Migas dalam ReforMiner’s Policy Review Edisi: #1, Juli 2012. Hal 2
Pernyataan tersebut sesuai dengan data pada tabel 7 yang mana penemuan
minyak semakin menurun tetapi harga minyak (pada tabel 6) menunjukan
kenaikan yang sangat drastis. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, selain
faktor kualitas data geologi, koordinasi yang buruk, dan tumpang tindih lahan,
faktor masih tingginya angka korupsi Indonesia serta tata kelola yang buruk
menjadi penyebab utamanya. Tata kelola sistem perminyakan di Indonesia
menempatkan Indonesia sebagai negara ke-114 dari 135 negara yang di survei
oleh Fraser Institute Canada dalam laporannya, "Global Petroleum Survey 2011".
Di kawasan Asia-Oceania, sistem tata kelola migas di Indonesia paling buruk,
lebih buruk daripada semua negara tetangga, termasuk Timor Leste.85
Analisis Deskriptif
Indikator kinerja migas dilihat dari variabel-variabel yang digunakan pada
model yang telah disebutkan di bab metodologi penelitian yang mana variabel-
varaibel tersebut adalah variabel pertumbuhan output (GO) yang merupakan
85
Loc.cit
40
oleh peningkatan ouput secara signifikan. Meskipun begitu selama kurun waktu
tahun 1993-2001, laju pertumbuhan output (GO) tidak pernah bernilai negatif.
Pada Gambar 18 variabel-variabel indikator kinerja sektor migas cenderung
mengalami penurunan. Variabel pertumbuhan output (GO) sempat mengalami
kenaikan sampai pada tahun 2004, setelah itu mengalami penurunan. Salah satu
penyebabnya adalah pada tahun 2004 Indonesia menjadi negara Net Oil Importer
karena tingginya permintaan domestik terhadap BBM yang menyebabkan
produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Variabel
pertumbuhan modal (GK) mengalami kenaikan pada tahun 2003. Hal itu diduga
disebabkan oleh transformasi Pertamina menjadi Perseroan Terbatas (PT) dan
sektor hilir migas diliberalisasi yang menyebabkan banyaknya perusahaan asing
yang mulai masuk dan berinvestasi pada sektor hulu dan hilir migas. Tetapi
kenaikan tersebut tidak berlangsung lama karena setahun setelahnya (tahun 2004)
laju pertumbuhan modal turun drastis.
Variabel kemajuan teknologi (GT) juga mengalami hal serupa pada tahun
2004 meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami kenaikan.
Penurunan kemajuan teknologi ini diduga disebabkan oleh kontraktor-kontraktor
bagi hasil yang hanya berproduksi pada sumur tua sehingga efektifitas tenaga
kerja menjadi berkurang. Variabel pertumbuhan tenaga kerja sempat mengalami
kenaikan pada tahun 2004 tetapi pada tahun-tahun berikutnya tidak ada kenaikan
pertumbuhan tenaga kerja yang signifikan bahkan setelah tahun 2007
pertumbuhannya terus negatif.
B. Autokorelasi
Pada uji autokorelasi, setelah diuji menggunakan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test didapatkan nilai yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen,
yaitu sebesar 0.2452 sehingga dapat disimpulkan model ini bebas dari masalah
autokorelasi.
Tabel 9 Output Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
C. Uji Normalitas
Dari histogram pada gambar 19 nilai Jarque-Bera (JB) model ini sebesar
0,545668 dan lebih besar pada taraf nyata 10%. Dari histogram juga terlihat
bahwa eror menyebar normal .
5
Series: Residuals
Sample 1993 2012
4 Observations 20
Mean 2.89e-15
3 Median -1.385280
Maximum 11.48435
Minimum -10.65671
2 Std. Dev. 5.916163
Skewness 0.371526
Kurtosis 2.679572
1
Jarque-Bera 0.545668
Probability 0.761219
0
-10 -5 0 5 10
Hasil Estimasi
Setelah dilakukan regresi berganda dengan metode estimasi OLS didapatkan
hasil output seperti yang tertera pada Tabel 10. Model tersebut mempunyai nilai
R-Squared sebesar 0.896787 yang artinya bahwa sebesar 89.67 persen persamaan
tersebut dapat dijelaskan oleh variabel-variabel di dalam model dan sisanya yaitu
sebesar 10.33 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistic
sebesar 0.00000 dan lebih kecil dari taraf nyata manapun (baik 10%, 5%, dan 1%)
yang berarti model ini signifikan.
Dari keempat variabel independen tersebut, variable yang secara signifikan
mempengaruhi pertumbuhan output adalah variabel pertumbuhan tenaga kerja
(GL) dan variabel kemajuan teknologi (GT), sedangkan variabel pertumbuhan
kapital (GK) dan variabel dummy tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan
output pada taraf nyata manapun.
Nilai koefisien variabel GK sebesar 0.046237 dengan nilai koefisien yang
positif berarti ketika laju pertumbuhan modal naik sebesar 1 persen maka akan
meningkatkan laju pertumbuhan ouput sebesar 4.62 persen dengan asumsi cateris
paribus dan variabel tersebut signifikan. Kecilnya pengaruh variabel
pertumbuhan modal ini diduga disebabkan oleh investasi yang masuk menjadi
modal tidak terlalu meningkatkan output karena kecilnya investasi pada sektor
eksplorasi yang menyebabkan kegiatan produksi hanya fokus terhadap sumur-
sumur tua yang menghabiskan biaya yang besar dengan hasil yang tidak terlalu
besar.
Tabel 10 Hasil Estimasi Model
86
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 110
45
87
Pendapat tersebut dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 halaman 35
yang mana posisi Ichsanuddin Noorsy sebagai Ahli dalam persidangan Mahkamah.
88
Sri-Edi Swasono dalam KH Ramadhan. 2008. Op.cit. hal 514
89
Kurtubi. 2001. HINDARI KEHANCURAN SISTEM PERMINYAKAN NASIONAL.
KOMPAS, Senin, 02-07-2001. Halaman: 32
90
Sugiaryo. 2011. Op.Cit. hal 227
46
Tabel 16 Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil Sektor
Migas tahun 2004-2012
Jumlah
Tahun Temuan Potensi Kerugian Negara (US Dollar)
2004 1 1 635 513 163
2005 0 0
2006 0 0
2007 2 1 318 577 701
2008 0 0
2009 4 56 637 864
2010 5 181 149 411
2011 3 50 917 828
2012 8 74 412 066
Total 23 3 317 208 033
Sumber: Laporan Audit BPK-RI tahun 2004-2012 (diolah)
Dari data tabel 16 diatas dapat terlihat meskipun sektor migas telah
diliberalisasi tetapi rent seeking activity di sektor migas masih tetap ada dan
semakin banyak yang terungkap. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yang
pertama apabila dianalisis dari lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
itu sendiri yang mana regulasi tersebut merupakan hasil lobi para pemburu rente
(MNOC dan lembaga internasional lainnya) kepada pemerintah sehingga regulasi
tersebut banyak menimbulkan distorsi. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan
Krueger dalam Yustika yang mana dia menjelaskan bahwa ketika adanya lobi-lobi
pemburu rente untuk mendapatkan lisensi dari pemerintah (atau dalam hal ini lobi
MNOC untuk perancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) maka hal itu
akan mendistorsi alokasi sumber daya alam sehingga tidak efisien.91
Dalam kasus sektor migas disini, distorsi tersebut adalah ketika regulasi itu
memaksakan sektor migas agar diliberalisasi tetapi disisi lain hal itu bersebrangan
dengan ideologi ekonomi negara Indonesia khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3 dan
tetap dipaksakan sehingga menghasilkan liberalisasi yang semu. Maksud
liberalisasi semu disini adalah liberalisasi yang diterapkan tidak sepenuhnya
diserahkan melalui market mechanism karena masih adanya peran pemerintah
atau dalam hal ini adalah BP Migas/SKK Migas.
Peran BP Migas/SKK migas juga jelas akan menimbulkan banyaknya rent
seeking activity. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah peran BP
Migas/SKK Migas yang bukan entitas bisnis, melainkan BHMN (Badan Hukum
Miliki Negara) yang tidak dilengkapi oleh Majelis Wali Amanah/Dewan
Komisaris yang melakukan kontrol. Dengan kedudukannya yang bukan entitas
bisnis maka BP Migas/SKK Migas tidak dapat melakukan penjualan migas
sehingga harus menunjuk pihak ketiga. Menurut Kurtubi:92
“BP Migas, SKSP Migas, dan SKK Migas pada hakikatnya "makhluk" yang
sama. Ketiganya sama-sama lembaga pemerintah non-bisnis yang tidak
bisa menjual sendiri migas milik negara, tetapi harus melalui pihak ketiga,
sehingga terbuka peluang bagi para pemburu rente (trader/calo) untuk
91
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 109
92
Kurtubi. 2013. Membenahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Jumat, 08-02-2013. Halaman: 6
47
sekarang di era digital ketransparanan sektor migas harus bisa diakses publik agar
publik lebih dapat mengawasi situasi dan perkembangan sektor migas. Selain itu
menurut Johan Budi, 95 transparansi kebijakan SKK Migas dalam tender
pengadaan minyak masih belum transparan.
Rantai pengelolaan migas yang panjang juga merupakan persoalan
dilematis. Di satu sisi memberikan nilai tambah bagi pengusahaan sektor migas,
tetapi pada sisi lain menimbulkan banyak celah bagi para pemburu rente untuk
mengambil keuntungan pribadi. Apalagi dengan adanya peraturan bahwa
pemerintah tidak bisa menjual minyak hasil bagi hasilnya sendiri melainkan harus
menunjuk pihak ke-tiga (calo/trader). Hal ini menyebabkan hilangnya kedaulatan
negara untuk pengusahaan migas. Permainan lisensi ini baik lisensi untuk
produksi dan lisensi untuk penjualan hasil minyak oleh pihak ketiga sangat tidak
efisien seperti yang dikemukakan oleh Krueger diatas.
Selanjutnya ada studi dari Transparency International (TI) Indonesia, 96
mengenai transparansi ekonomi ekstraktif di Indonesia yang menerangkan
sedikitnya ada 14 celah peluang korupsi di Indonesia (dalam hal ini pembebanan
biaya cost recovery). Hal tersebut adalah:
1. Peluang korupsi terdapat pada pengadaan peralatan karena terdapat
pilihan membeli atau menyewa. Kontraktor pada umumnya lebih senang
menyewa. Padahal, kalau membeli peralatan, barang itu akan jadi milik
negara.
2. Dalam setiap kontrak kontraktor Production Sharing (KPS), biaya yang
terjadi di luar masa eksplorasi dan eksploitasi, termasuk biaya
pemasaran, tidak boleh dibebankan dalam biaya yang diganti dari hasil
minyak milik pemerintah. Tetapi, terkadang KPS meminta penggantian
di luar biaya yang dapat diganti.
3. KPS juga melakukan pembebanan biaya produksi gas ke beban
produksi minyak sehingga mengurangi bagian pemerintah dari bagi hasil
karena kontraktor akan mendapatkan bagian yang lebih besar dalam
produksi gas daripada produksi minyak. Hal itu dilakukan KPS karena
biaya produksi minyak sebesar 85 persen untuk pemerintah dan 15
persen pengusaha, sementara dalam produksi gas hanya 65 persen untuk
pemerintah dan 35 persen untuk kontraktor.
4. Biaya kantor pusat di luar negeri juga sering dimasukkan dalam biaya
operasi KPS di Indonesia. Dengan demikian, menambah biaya yang
diganti pemerintah dari migas yang dihasilkan.
5. Beberapa KPS di Indonesia juga berada di bawah operator atau
perusahaan induk yang sama dan banyak kontrak KPS yang telah
berproduksi maupun belum. Padahal, biaya yang diganti adalah dari
KPS yang berproduksi.
6. Peluang korupsi juga terdapat dalam jual beli kepemilikan saham
perusahaan pada suatu daerah kontrak antar-investor. Pasalnya, biaya
tersebut dengan mudah disisipkan ke dalam biaya yang diganti.
Sebenarnya, perpindahan hak pengusahaan yang dilakukan di luar
95
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
96
Transparency International (TI) Indonesia dalam Kompas.2005. Minyak dan Gas 14 “celah”
Buka Peluang Korupsi. KOMPAS Kamis, 14-07-2005. Halaman: 18
49
97
Singgih Soares. 2014. Ini Seluruh Aliran Uang ke Rudi dalam Vonis. Tempo.co: Selasa, 29
April 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/04/29/063574239/Ini-Seluruh-Aliran-Uang-ke-
Rudi-dalam-Vonis
98
Kompas. 2010. MINYAK DAN GAS BUMI: Benahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Kamis, 22-
07-2010. Halaman: 19
50
Simpulan
Melihat dari perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, serta hasil
dan pembahasan yang telah diperoleh, maka dari penelitian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Apabila dilihat dari sisi kontribusinya terhadap perekonomian, sektor
migas di Indonesia dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi yang
disebabkan menurunnya kontribusi sektor migas terhadap PDB di
Indonesia setiap tahunnya. Hal itu disebabkan semakin menurunnya laju
produksi sektor migas yang disebabkan pihak kontraktor masih
tergantung terhadap sumur-sumur tua. Namun disisi lain pemerintah
99
Kurtubi. 2001. Op.Cit
100
Pada permohonan tersebut ada beberapa pasal yang dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 yaitu
Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Lihat PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
X/2012
51
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alexandi, Muhammad Findi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi
di Indonesia: Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri
Tepung Terigu Nasional (Periode 1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok
Badan Pusat Statistik. 1992. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1992. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1993. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1993. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1994. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1994. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1995. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1995. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1996. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1996. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1997. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1997. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1998. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1998. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1999. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1999. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2000. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2000. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2006. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2001-2006. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2008. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2004-2008. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2012. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2008-2012. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
53
Bahtiar, Yuyus. 2010. Relevansi Model PSC Modifikasi Revenue To Cost Index
(R/C) Pada Kerjasama Migas di Indonesia. [skripsi]. Institut Teknologi
Bandung: Bandung.
Caporaso, James A dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik.
Diterjemahkan oleh: Suraji. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hafsari, F. H. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di
Indonesia [skripsi]. FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta.
Hartati, Sri Enny. 2012. Diskusi Refleksi Akhir Tahun “Integritas Nasional
Dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” Rabu (19/12/2012),
Megawati Institute.
Ibrahim, Prasiwi Westining Dyah. 2009. Pengaruh Liberalisasi Perdagangan
Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil di
Indonesia: 1991-2005. Skripsi. Univeritas Indonesia.
Ilyas, Firdaus. 2013. Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus [berita].
Indonesia Corruption Watch: 20 Agustus 2013. Diakses pada tanggal 10
Oktober 2013 http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-migas-kartel-
misteri-yang-harus-ditembus
Kompas. 2005. Minyak dan Gas 14 “celah” Buka Peluang Korupsi. KOMPAS
Kamis, 14-07-2005. Halaman: 18
Kompas. 2010. MINYAK DAN GAS BUMI: Benahi Tata Kelola Migas.
KOMPAS Kamis, 22-07-2010. Halaman: 19
KPK.2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi. Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK. Hal 8
Kurtubi. 2001. HINDARI KEHANCURAN SISTEM PERMINYAKAN NASIONAL.
KOMPAS, Senin, 02-07-2001. Halaman: 32
. 2012. Migas Untuk Kemakmuran Rakyat. KOMPAS Kamis, 20-09-2012.
Halaman: 6
. 2013. Membenahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Jumat, 08-02-2013.
Halaman: 6
Laluhu, Sabir. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun
[berita]. Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober
2013 http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-
diduga-rugikan-negara-rp152-96-t
Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta
Ma’arif, Syamsul. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah.
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-
Desember 2011
Ma’arif, Syamsul dan Mas' oed, M. 2007. Ekonomi politik kebijakan Migas tarik
ulur perubahan Undang-undang Migas pasca Orde Baru 1998-2004
[tesis] .Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Mauro, Paolo. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues.
International Monetary Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol.
6.
Muryati, Dewi Tuti dkk. 2013. Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas
54
1. B to B Bussiness to Bussiness
2. B to G Bussiness to Government
BPH Migas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas
6.
Bumi
10. Ditjen Migas Direktorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas Bumi
29. SKK Migas Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
59
RIWAYAT HIDUP