Anda di halaman 1dari 73

ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP

PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:


PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Liberalisasi Sektor


Migas Terhadap Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari Dosen Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Khoerul Imam Fatwani


NIM H14100089
ABSTRAK
KHOERUL IMAM FATWANI. Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap
Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh
DIDIN S. DAMANHURI

Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas memberikan


dampak bagi pengelolaan migas dan perekonomian Indonesia. Selain untuk
efisiensi, alasan dikeluarkan Undang-Undang Migas ini adalah untuk terciptanya
persaingan yang sehat dan transparan. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia,
menganalisis dampak liberalisasi sektor migas terhadap kinerja industri migas,
serta menganalisis aktivitas perburuan rente pada sektor migas. Penelitian ini
menggunakan periode analisis dari tahun 1992 sampai tahun 2012 dengan
menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif serta menggunakan analisis
ekometrika dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square) menggunakan
E-views 6. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor migas terhadap
PDB Indonesia mengalami. Selain itu, hasil regresi menunjukan bahwa Undang-
Undang Migas tersebut tidak mempengaruhi kinerja industri migas secara
signifikan. Untuk aktivitas perburuan rente, selama kurun waktu 2004 sampai
2012, BPK sedikitnya menemukan sedikitnya 23 temuan kejanggalan laporan cost
recovery yang berpotensi merugikan negara senilai US$ 3.3 juta.

Kata kunci : aktifitas perburuan rente, cost recovery, liberalisasi, kinerja industri,
sektor migas, Undang-Undang Migas.

ABSTRACT
KHOERUL IMAM FATWANI. Analysis of the Oil and Gas Sector liberalization
On the Management of Oil and Gas in Indonesia: a Political Economy Perspective.
Supervised by DIDIN S. DAMANHURI

Law numbers 22 of 2001 on Oil and Gas have an impact on the


management of oil and gas and Indonesian economy. In addition to efficiency,
reasons issued oil and gas law is to create healthy competition and transparent.
The purpose of this study is to analyze the contribution of oil and gas sector to the
Indonesian economy, analyze the impact of liberalization on the performance of
the oil and gas sector oil and gas industry, and analyzing rent seeking activity in
the oil and gas sector. This study uses the analysis period from 1992 to 2012 by
using qualitative analysis and quantitative analysis approach econometrics with
OLS (Ordinary Least Square) using E-views 6. The results of research showed
that the oil and gas sector's contribution to Indonesia's GDP has decreased. In
addition, the regression results showed that the oil and gas law does not affect
significantly the performance of the oil and gas industry. For rent seeking activity,
during the period 2004 to 2012, BPK least finding irregularities discovered at
least 23 reported cost recovery that could potentially harm the state valued at $ 3.3
million.

Keywords: cost recovery, industry’s performance, Law no. 22 of 2001 on Oil and
Gas, liberalisation, oil and gas Sector, rent seeking activity.
ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP
PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:
PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur
kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat, cinta dan karunia-Nya
sehingga skripsi ini yang berjudul “Analisis Liberalisasi Sektor Migas terhadap
Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik” berhasil
diselesaikan. Penulis juga sampaikan penghargaan kepada ibunda tercinta Maryati
dan ayahanda Endang Abdul Malik yang telah mendidik dan membesarkan
penulis sehingga penulis bisa sampai pada tahap ini. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih sebanyak-banyaknya untuk tante Kartini dan Pak Dadang Sugandi
yang mendukung penulis selama ini. Kasih sayang juga penulis sampaikan kepada
adik-adik penulis yaitu Teguh Amarullah, Ardhi Galih Pangestu, Hilwa Fauziah
dan Suci Ramadhani.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa
bimbingan, dukungan dan masuka, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri selaku pembimbing skripsi, atas semua


masukan, arahan dan pendidikan yang sangat berharga bagi penulis selama
penyusunan skripsi ini. Penulis merasa sangat beruntung dapat dibimbing oleh
pendidik seperti Prof. Didin yang mengajarkan penulis bagaimana cara
mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan cara berpikir sistematis.
2. Prof. Dr. D.S. Priyarsono selaku dosen pembimbing akademik atas segala
bimbingan selama masa perkuliahan di IPB.
3. Dr. Wiewiek Rindayanti dan Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku dosen
penguji skripsi dan komdik Departemen Ilmu Ekonomi atas segala masukan
terhadap skripsi ini.
4. Beasiswa Bidik Misi yang mengantar penulis untuk dapat berkuliah di IPB.
5. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Erlangga Ryansha, Candri Yuniar
Roisy dan Ikshan. Semua perjuangan kita akan menjadi kenangan tersendiri
untuk penulis.
6. Teman-teman Kaka Foundation yaitu Arya Suryadilaga, Amri Maulana, Ripqi
Waluyo Djati, A.M. Risyad, Muhammad Hamdani, Fachry, Rahmat Hidayat,
Harry lande, Husnul Khatim, Yusuf Zamhuri, Muzakkir, dan Fidzal. Kalian
sudah penulis anggap saudara sendiri.
7. Luqman Azis dan Andri Sukrudin yang membantu penulis dalam proses
penelitian dan wawancara. Semoga pengalaman baik dan buruk menjadi
pembelajaran untuk kita.
8. Keluarga besar HMI Komisariat FEM IPB terutama sdr. Pangrio Nurjaya, Tri
Arifin Darsono, Raditya Anggoro, serta Rifki Maulana yang selalu menjadi
teman bertukar pemikiran dan membantu proses pembentukan berpikir
penulis.
9. Keluarga besar HMI Cabang Bogor dan penghuni Gedung Serbaguna
Mahasiswa Islam. Terkhusus kepada Qiki Qilang Syahbudi, Fadly Sonata
Siregar, Fathurrohman Mangun Yuda, Fuad Habibi Siregar, Arifin, Alex
Yungan Harahap dan Kang Omon atas rasa persaudaraan dan
persahabatannya.
10. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang mewarnai kehidupan penulis selama
kuliah dengan persahabatan, kenangan, dan perjuangan untuk mencapai
tujuan. Sukses untuk kita semua.
11. HIPOTESA FEM IPB yang menjadi wadah bagi penulis untuk dapat
berkembang dan menyalurkan pemikiran.
12. Narasumber-narasumber yang ikut menyumbangkan pemikirannya terutama
untuk Mas Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute, Firdaus Ilyas dari
Indonesia Corruption Watch dan Johan Budi dari Komisi Pemberantasan
Korupsi.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

Khoerul Imam Fatwani


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 8
Ekonomi Politik 9
Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas” 11
Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) 13
Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente) 14
Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor
Migas di Indonesia 16
Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa) 18
Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC 19
Penelitian Terdahulu 20
Kerangka Pemikiran 21
METODOLOGI PENELITIAN 23
Wilayah Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis Data 24
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26
Republik Indonesia 26
Kondisi Geografis dan Kependudukan 26
Kondisi Perekonomian 27
Sektor Migas dan Industri Migas Nasional 29
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan
Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Migas. 35
Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan
Pengelolaan Migas di Indonesia. 39
Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di
Indonesia. 44
SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 55
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
1. Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun
2012 4
2. Ringkasan Generasi PSC di Indonesia 16
3. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993) 35
4. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) 36
5. Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar
Rupiah) 37
6. Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012 38
7. Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak
Tahun 1995-2007 39
8. Hasil Uji Stationeritas 41
9. Output Uji Heteroskedastisitas 42
10. Output Uji Autokorelasi 42
11. Hasil Estimasi Model 43
12. Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil
Sektor Migas tahun 2004-2012 46

DAFTAR GAMBAR

1. Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah) 2


2. Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan
Sektor 2
3. Alur Perhitungan PSC di Indonesia 18
4. Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas 19
5. Kerangka Pemikiran 22
6. PDB Indonesia dari tahun 2000-2012 Atas Dasar Harga Konstan
2000 ( Milyar Rupiah) 27
7. Laju Pertumbuhan Q to Q Indonesia dari tahun 2004-2012 (persen) 28
8. Inflasi Indonesia tahun 2000 sampai 2012 28
9. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia (juta jiwa) dan Gini Ratio
Indonesia tahun 2000 sampai 2012 28
10. Negara-negara Penyumbang Minyak Dunia pada Tahun 2010 29
11. Sektor Minyak dan Gas Indonesia dari tahun 1885-2008 30
12. Cadangan Minyak Indonesia Tahun 2010 (MMSTB= Juta Stock Tank
Barel) 31
13. Cadangan Gas Indonesia Tahun 2012 (TSCF= trillion square cubic
feet) 32
14. Perkembangan Wilayah Kerja di Indonesia dari tahun 2002 sampai
2012 33
15. Produsen Minyak Indonesia pada tahun 2012 33
16. Produsen Gas Indonesia pada tahun 2012 34
17. Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 1993-2001 40
18. Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 2002-2012 40
19. Sebaran Error Model 42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nilai output, input dan jumlah TK Sektor Migas 55
2. Daftar Informan yang Diwawancarai 56
3. Daftar Singkatan 57
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu hal yang membuat Indonesia terkenal di dunia selain kekayaan
budayanya adalah kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Negara yang
terletak di sepanjang garis khatulistiwa yang beriklim tropis ini begitu banyak
keistimewaannya. Mulai dari tanahnya yang subur, lautan yang luas, serta
melimpahnya hasil bumi yang berbentuk mineral dan energi, membuat Indonesia
semakin dikagumi oleh negara lain.
Dalam mengatur kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia mempunyai
landasan kontitusi yang sangat kuat, yaitu adanya pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 ayat (2) dan (3).1 Kedua pasal tersebut mengamanatkan bahwa Negara harus
bisa mengatur kekayaan sumber daya alamnya untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia. Lalu apakah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan (3) itu
amanatnya sudah dilaksanakan adalah pertanyaan besarnya.
Jika dikaji secara cermat, sejauh ini ada beberapa kebijakan yang kurang
sejalan dengan amanat konstitusi mengenai pengelolaan hasil bumi di Indonesia.
Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas,
yang mana dengan ditetapkan undang-undang tersebut menjadikan 70% energi
nasional dikuasai oleh asing, kontrak kerjasama lebih banyak menguntungkan
pihak asing, dan pengelolaan energi nasional dijalankan dengan prinsip
liberalisasi ekonomi, 2 atau ringkasnya sektor Migas di Indonesia telah di
privatisasi oleh asing. Jadi dapat dikatakan bahwa pasal 33 UUD 1945 ayat (2)
dan (3) realisasinya masih jauh dari semestinya.
Indonesia sendiri bukanlah negara yang anti terhadap investasi asing.
Indonesia begitu terbuka terhadap investasi asing yang mana hal itu merupakan
realisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Asing serta dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang
bertugas untuk mempromosikan Indonesia agar para investor melakukan investasi
di Indonesia.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal selama
tahun 2012 di Indonesia didominasi oleh investor asing. Dari total investasi
sebesar Rp. 313.2 triliun, Rp. 221 triliunnya disumbangkan oleh investor asing.
Hal tersebut jauh melebihi target yang ditentukan untuk tahun 2012, yaitu sebesar
Rp. 283.5 triliun untuk total investasi dan Rp. 206.8 triliun untuk PMA. Dari total
investasti asing yang masuk ke Indonesia, 18% nya adalah untuk sektor
pertambangan, 12% masuk ke sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi,
11,5% masuk ke industri kimia dasar dan farmasi, 10% masuk ke sektor industri

1
Pasal 33 UUD 1945: (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi air dan kekayaan yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
2
Makna dikuasi disini adalah dalam hal penguasaan pengelolaan sektor migas. Pendapat tersebut
disampaikan oleh Enny Sri Hartati (Direktur INDEF) dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun
“Integritas Nasional Dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” Rabu (19/12/2012),
Megawati Institute.
2

logam, 7% masuk ke sektor alat angkutan dan transportasi, dan 42% masuk ke
sektor lainnya (lihat Gambar 2).

(Triliun rupiah)
350
300
250
PMDN
200
PMA
150
TOTAL
100
50
0
TW 1 TW II TW III TW IV TOTAL

Gambar 1 Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah)


Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal
http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf
Sektor pertambangan Indonesia memang sangat menarik investasi asing.
Pada sektor minyak dan gas (migas) sendiri, investasi asing yang terus
berdatangan ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola
migas secara mandiri sehingga untuk memanfaatkan potensi sektor migas ini
pemerintah yang diwakilkan oleh Ditjen Migas dan BP Migas harus melakukan
kontrak dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun asing.
Pertambangan (US$. 4,3
M)

18% Transportasi, Gudang, dan


Telekomunikasi (US$ 2.8
M)
Industri Kimia Dasar dan
42%
Farmasi (US$ 2.8 M)
12%
Industri Logam Dasar,
Barang Logam, Mesin, dan
11% Elektronik (US$. 2.5 M)
Industri Alat Angkutan dan
Transportasi (US$ I.8 M)
7% 10%
Lainnya (US$. 10.4 M)

Gambar 2 Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan


Sektor
Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal
http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf
Model pengelolan migas di Indonesia saat ini yang digunakan adalah model
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Istilah kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract) ini ditemukan pada pasal 1 angka 19 Undang-
3

Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi, yang mana pada
pasal tersebut kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua,
yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak-kontrak lainnya.3 Pencetus ide sistem kontrak
bagi hasil ini sebenarnya sudah lama diungkapkan oleh direktur utama Pertamina
yang pertama yaitu Ibnu Sutowo.4
Alasan kenapa Indonesia memakai sistem bagi hasil tersebut adalah industri
minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan
penuh ketidakpastian (resiko). Sehingga Indonesia mengundang investor-investor
luar negeri serta perusahan-perusahan minyak multinasional supaya terjadi
transfer teknologi yang nantinya diharapkan Indonesia dapat mengelola minyak
dan gas buminya secara mandiri. Selain itu, sistem kontrak bagi hasil yang
digagas oleh Ibnu Sutowo tersebut menekankan bahwa pengelolaan migas ada di
tangan Indonesia (yang diwakili pemerintah/BUMN) sendiri, kita mau barter atau
mau dijual sendiri, yang penting kita menjadi tuan di rumah sendiri.
Gagasan Ibnu Sutowo tentang sistem kontrak bagi hasil ini ternyata lebih
berhasil dilaksanakan oleh Malaysia. Terbukti Petronas sekarang menjadi
perusahaan migas multinasional yang besar dan mandiri. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 tentang ranking perusahaan minyak dunia berdasarkan cadangan
minyaknya. Petronas (Malaysia) menduduki peringkat 20 dunia dengan cadangan
minyak sebesar 7.876 juta barel, jauh diatas Pertamina (Indonesia) yang
menempati urutan 44 dengan cadangan minyaknya yang hanya 1.505 juta barel.
Untuk cadangan minyak sendiri, sebenarnya Indonesia memiliki persediaan
minyak yang cukup bahkan berlebih. Untuk sumur blok Cepu saja yang sekarang
dikelola oleh Exxon Mobil (US) mempunyai cadangan minyak sebesar 1-2
milyar barel. 5 Padahal dulu ketika Exxon Mobil berupaya memperpanjang
kontraknya untuk mengelola sumur blok Cepu ini yang jatuh tempo pada tahun
2010, cadangan minyak yang diketahui adalah hanya sekitar 600 juta barel.
Perundingan perpanjangan kontrak tersebut awalnya tidak disetujui oleh Kwik
Kian Gie yang dulu menjabat sebagai Menko Ekoin, tetapi akibat adanya lobi-lobi
dari perusahaan Exxon Mobil yang diwakilkan oleh Dubes Ralph Boyce ditambah
adanya intervensi Presiden Amerika saat itu, George W. Bush akhirnya
penguasaan sumur blok Cepu tersebut jatuh ke tangan Exxon Mobil sampai tahun
2030. 6

3
Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Aspek Hukum Kontrak
Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas
[Laporan Penelitian]. Yayasan Alumni Universitas Dipenogoro, Fakultas Hukum Universtitas
Semarang. Hal 11
Ide ini bermula ketika Permina (sebelum terbentuk Pertamina) sedang membutuhkan modal
4

untuk mengembangkan perusahaan, Ibnu Sutowo yang pada waktu itu menjabat sebagai dirut
Permina melakukan kontrak kerjasama dengan Jepang. Isi perjanjian tersebut adalah terbentuknya
sistem kontrak kerjasama yang mana Permina sebagai perusahaan negara memegang tanggung
jawab pengawasan, pengelolaan dan manajemen secara penuh. Maka lahirlah istilah sistem-
Kontrak Bagi Hasil. Lihat KH Ramadhan. 2008. Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita. National
Press Club of Indonesia: Jakarta. Hal 179-188
5
Sugiaryo. 2011. Globalisasi: Intervensi kekuatan politik dan Ekonomi dalam Pembentukan
Hukum dan Pengusahaan Migas di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi
Oktober 2011. hal 232
6
Loc.cit
4

Tabel 1 Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun 2012

Cadangan
Kepemilikan
Ranking Perusahaan Negara Minyak (juta
Pemerintah (%)
barel)
1 Saudi Aramco Saudi Arabia 100 264.200
2 NIOC Iran 100 138.400
3 INOC Irak 100 115.000
4 KPC Kuwait 100 101.500
5 PDVSA Venezuela 100 99.377
6 ADNOC UEA 100 52.800
7 LNOC Libya 100 30.700
8 CNPC China 100 22.447
9 NNPC Nigeria 100 21.700
10 Rosneft Russia 75 17.513
11 Lukoil Russia 12.527
12 Pemex Mexico 100 12.187
13 Sonatrach Algeria 100 11.400
14 Exxon Mobil US 11.074
15 CP Qatar 100 10.624
16 British Petroleum UK 6.541
17 Petrobras Brazil 56 9.581
18 Gazprom Russia 50 9.195
19 Surgutneftegas Russia 7.929
20 Petronas Malaysia 100 7.876
....
43 CNOOC China 64 1.564
44 Pertamina Indonesia 100 1.505
Sumber: Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 149
Apabila dikaji dari kasus tersebut, Pertamina sebagai perusahaan minyak
nasional bisa saja mendapatkan hak pengelolaan sumur blok Cepu tersebut dan
mengelolanya secara mandiri. Tetapi sejak awal berdirinya republik sampai
dengan sekarang, Indonesia (dalam hal ini Pertamina) belum bisa mengelola
migas secara mandiri. Hal ini diakibatkan banyaknya lobi-lobi dan intervensi
pihak asing dalam menguasai pengelolaan migas di Indonesia.
Selain itu masih banyaknya pandangan-pandangan kaum teknokrat
Indonesia yang menganggap Pertamina dirasa belum pantas mengelola migas di
Indonesia dengan alasan masih minimnya teknologi dan modal yang dimiliki.
Menurut Lubiantara:7
“...rupanya kita (Indonesia) masih terpaku pada sistem paron, yang secara
tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan-jangan
memang tidak pernah terpikirkan kelak suatu saat NOC (National Oil
Company/ Pertamina) sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi
kalau saat ini kontribusi Pertamina masih 25%, tentu bukanlah hal yang
mengherankan”.
Banyaknya intervensi dan lobi-lobi yang datang dari pihak perusahaan
migas multinasional dan intervensi dari pihak keuangan dunia seperti IMF dan
World Bank semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 sangat berpengaruh juga terhadap pengelolaan migas nasional. Kondisi
tersebut diperparah oleh karakter industri migas dalam negeri yang sangat tertutup
7
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 151
5

dan ekslusif, termasuk soal harga dan pengelolaan, serta tidak ada mekanisme
pengawasan yang ketat menjadikan maraknya rent seeking activity 8 (aktifitas
perburuan rente) pada industri migas.9
Aktivitas perburuan rente pada industri migas di Indonesia banyak sekali
macamnya. Salah satu kasus pada sektor migas yang baru-baru saja terungkap
adalah kasus suap yang melibatkan Rudi Rubiandini sebagai Kepala Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau yang lebih dikenal SKK
Migas. Rudi tertangkap basah oleh KPK dengan uang US$ 400 ribu, US$ 90 ribu,
dan Sin$ 127 ribu di rumah dinasnya yang diduga berasal dari Direktur PT Kernel
Oil, Simon Gunawan dan Direktur PT Parna Raya, Artha Meris Simbolon agar
Rudi bersedia memberika rekomendasi penurunan formula harga gas.10 Sebagai
kepala SKK Migas, Rudi seharusnya menjaga agar jatah minyak mentah
pemerintah dari pembagian hasil dengan kontraktor bisa memberikan pemasukan
sebesar-besarnya bagi negara. Tetapi ironisnya, jabatan tersebut disalahgunakan
untuk mengejar keuntungan pribadi.
Selain kasus suap tersebut, masih banyak masalah pada sektor migas. Salah
satunya dari segi manipulasi cost recovery,11 yang mana tingginya cost recovery
pada sektor migas menjadi salah satu penyebab Indonesia pada tahun 2011
diduga menanggung kerugian sebesar Rp. 152.96 triliun.12
Adanya manipulasi pada cost recovery tersebut dapat terjadi karena
kurangnya pengawasan yang menyebabkan assymetric information dan moral
hazard di kalangan birokrat industri migas. Sebesar apapun produksi minyak
Indonesia apabila cost recovery-nya sangat tinggi maka negara tidak dapat
menikmati keuntungan dari produksi tersebut. Keuntungan ini jelas mengalir
kepada pelaku-pelaku pemburu rente baik yang individual, birokrat serta
perusahaan-perusahaan minyak multinasional. Istilah ini biasa disebut dengan
goldplatting, yaitu kecenderungan (oknum) perusahaan/birokrat untuk melakukan

8
Dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang diterima penguasa
melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Lihat
Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313 dan Ahmad
Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit
Erlangga: Jakarta. Hal 107
9
Firdaus Ilyas. 2013. Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus [berita]. Indonesia
Corruption Watch: 20 Agustus 2013. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-migas-kartel-misteri-yang-harus-ditembus
10
Tempo.co. 2013. Skandal SKK Migas, Jero Wacik Dibidik. Diakses pada tanggal 3 Februari
2014 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/26/063507370/Opini-Tempo-Skandal-SKK-Migas-
Jero-Wacik-Dibidik
Cost recovery adalah mekanisme biaya dalam kontrak hulu migas, yang mana
11

perusahaan/kontraktor mengajukan biaya penggantian kepada pemerintah atas semua biaya yang
perusahaan/kontraktor (pada kegiatan industri hulu) terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-
kapital, dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membayar
lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau bisa ditangguhkan pada
tahun berikutnya. Lihat : Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial
Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172
12
Sabir Laluhu. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun [berita].
Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-diduga-rugikan-negara-
rp152-96-t
6

investasi yang sebenarnya tidak diperlukan (Unnecesarry investment). 13 Selain


dari segi cost recovery yang dinilai tidak sesuai dengan fakta, KPK juga
mensinyalir ada kejanggalan dalam pencatatan lifting migas. Hal tersebut
disebabkan karena belum terintegrasinya sistem informasi secara online. 14
Sehingga hal tersebut bisa mengurangi transparansi pelaporan lifting migas
kepada masyrakat.
Sebagai negara yang belum mencapai pada tingkat good governance, dalam
hal ini dicirikan dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang berusaha
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan upaya yang serendah-
rendahnya sehingga melahirkan sebuah kebijakan yang berkecenderungan
korupsi. 15 Kebijakan tersebut tentunya hanya mementingkan kepentingan
individu dan kelompoknya masing-masing dan tidak berpihak pada masyarakat.
Adanya kepentingan-kepentingan sebagian individu/kelompok (oknum) tadi serta
kepemilikan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menyebabkan
Indonesia menjadi sasaran perusahaan-perusahan energi multinasional dan
investor asing agar dapat menguasai energi di Indonesia.

Perumusan Masalah

Minyak dan gas bumi merupakan komoditi strategis dan energi yang tak
terbarukan yang memegang peranan penting dalam pembangunan suatu negara,
termasuk Indonesia. Bahkan pada zaman orde baru (1960-1980) sektor migas
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan dan perekonomian
Indonesia mengingat sektor migas pada waktu itu menjadi sumber devisa utama
Indonesia. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, semenjak adanya penurunan
harga minyak dunia yang terjadi pada tahun 1980-an, atau biasa disebut dengan
“boom minyak”.16
Adanya kasus “boom minyak” secara tidak langsung mengubah kebijakan
pengelolaan migas pada waktu itu yang mana mekanisme PSC generasi pertama
(1964-1975) yang digagas Ibnu Sutowo, harus disesuaikan dengan kondisi migas
dunia dan lahirlah PSC generasi kedua (1976-1988) dan PSC generasi ketiga
(1988-sekarang).
Penyesuaian desain kontrak PSC sebenarnya tidak menjadi masalah, yang
penting selama itu tidak merugikan negara. Yang menjadi masalah adalah ketika
kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan amanat konstitusi, yaitu UUD
1945. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina jelas
menimbulkan pertanyaan besar. Fungsi Pertamina yang awalnya berkedudukan
sebagai manajer dari perusahaan-perusahaan migas (kontraktor) harus digantikan
perannya oleh BP Migas/SKK Migas dan peran Pertamina adalah sebagai

13
Lubiantara, Benny. 2012. Op.cit. hal 173
14
Sabir Laluhu. 2013. Op.cit.
15
Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 107
16
Boom minyak ini terjadi ketika gagalnya mekanisme harga yang ditetapkan oleh OPEC.
Gagalnya mekanisme harga ini disebabkan antara lain maraknya nasionalisasi yang dilakukan oleh
negara-negara timur tengah dan meningkatnya produksi negara-negara non-OPEC sehingga
pasokan minyak bertambah dan harga turun. Lihat Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 205-209
7

kontraktor perwakilan negara yang harus dipaksa bersaing dengan kontraktor-


kontraktor asing (IOC) yang jelas dari segi SDM dan teknologi Pertamina kalah.

Menurut Sri-Edi Swasono:17


“Pertamina sebagai raksasa ekonomi yang tegas mempertahankan prinsip
nasionalistiknya menguasai sumber kekayaan alam strategis menjadi
penghalang bagi kapitalisme-imperialistik global untuk merampok sumber-
sumber kekayaan alam Indonesia, terutama minyak dan gas.”
Apabila dilihat dari pendapat tersebut, pertanyaan besar tentang
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mungkin sedikit
terjawab. Bahwa adanya kepentingan yang menunggangi kebijakan tersebut.
Kepentingan-kepentingan masuk dari lobi-lobi dan intervensi kekuatan global
yang salah satunya dari lembaga keuangan yang semenjak terjadinya krisis
moneter 97/98 menguasai dan mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia, yaitu
IMF. IMF melalui letter of intent-nya memaksa tugas Pertamina dicabut dan
digantikan dengan BP Migas/SKK Migas.18
Sudah lebih dari satu dekade Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini
berlaku. Kritikan-kritikan tentang kebijakan ini banyak dilayangkan, mulai dari
media-media cetak, jurnal ilmiah, bahkan buku. Tetapi belum ada inisiasi dari
lembaga-lembaga pemerintah, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif. Banyak
alasan yang mungkin mendasari hal tersebut, salah satunya adalah proses efisiensi
yang lebih diutamakan dalam pengelolaan migas serta adanya pihak-pihak
birokrat yang merasa diuntungkan dari adanya kebijakan tersebut menjadi alasan
kebijakan liberalisasi ini tetap bertahan.
Adanya Rent seeking behaviour dalam institusi negara menyebabkan para
pejabat publik dalam memutuskan kebijakan yang ditujukan untuk publik
motivasinya adalah mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang
berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek berupa
kerugian penerimaan negara yang diakibatkan dari praktik perburuan rente
maupun jangka panjang berupa semakin menjamurnya praktik perburuan rente
dikalangan birokrat yang memicu ketidakpercayaan masyarakat dan menimbulkan
distorsi pada kebijakan yang dikeluarkan.
Aktivitas perburuan rente yang negatif ini dapat dikatakan sebagai
penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara dan umumnya akan
menajalar ke semua rantai dari aktivitas ekonomi tersebut. Apalagi sudah
melibatkan sebuah institusi negara dan investor asing. Adanya campur tangan
perusahaan-perusahaan minyak multinasional menyebabkan aktivitas perburuan
rente ini menjalar sampai tingkat jaringan internasional. Keuntungan dari
pengelolaan migas ini yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat, ternyata hanya
dinikmati oleh perusahaan-perusahaan minyak multinasional dan segelintir orang
di Indonesia yang tidak mempunyai rasa nasionalisme. Seperti kasus suap kepala
SKK Migas yang baru akhir-akhir ini terungkap oleh KPK. Hal ini bisa menjadi
tolak ukur bahwa sektor migas merupakan “lahan basah” bagi para pemburu rente.
Mereka tidak merasa segan dan tidak tanggung-tanggung dalam “melelang” isi
perut bumi nusantara ini kepada perusahaan-perusahaan minyak asing tanpa
memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
17
Sri-Edi Swasono dalam KH Ramadhan. 2008. Op.cit. hal 510
18
Loc.cit
8

Selain itu, sisi lain dari terungkapnya kasus tersebut harapannya dapat
memberikan celah bagi penegak hukum untuk masuk ke dalam “lingkaran setan”
sektor migas yang mana bisa mengungkap kasus-kasus perburuan rente lainnya
dan mengungkap para birokrat-birokrat serta perusahaan migas yang mencoba
mengambil keuntungan pribadi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan masa
depan sektor dan industri migas nasional.
Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat,
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia
sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
2. Bagaimana dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas
Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.
3. Bagaimana aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan
migas di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibuat, maka tujuan dari


penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia
sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
2. Mengetahui dampak dari liberalisasi sektor migas terhadap Industri
Migas Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.
3. Mengetahui aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada
pengelolaan migas di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:


1. Menjadi bahan rujukan pemerintah dalam mengatur pengelolaan migas
di Indonesia agar digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia.
2. Menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat untuk mengetahui
bagaimana kondisi migas di Indonesia dilihat dari perspektif ekonomi
politik.
3. Diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya
tentang pengelolaan migas di Indonesia dengan perspektif ekonomi
politik.
.

TINJAUAN PUSTAKA

Sektor migas merupakan sektor yang strategis dalam pembangunan di


Indonesia. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, mempunyai potensi
migas yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh masyarakat
Indonesia. Penelitian ini berkonsentrasi terhadap analisis liberalisasi sektor migas
9

terhadap pengelolaan migas di Indonesia. Kebijakan kontrak bagi hasil yang


diterapkan di Indonesia. Selanjutnya dalam pembahasannya akan lebih diperdalam
dengan analisis ekonomi politik mengenai rent seeking (perburuan rente) pada
sektor migas.

Ekonomi Politik

Apabila dilihat dari sejarahnya, pendekatan ilmu ekonomi yang sekarang


berkembang di masyarakat sebagai alat analisis adalah hasil turunan dari ekonomi
politik. Tetapi dengan semakin berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang ilmu
ekonomi ini membuat perbedaan yang cukup mendasar mengenai ilmu ekonomi
murni dengan ilmu ekonomi politik terutama pada konsep kekuasaan yang berlaku
pada masyarakat. Ilmu ekonomi politik menganggap kekuasaan akan
mempengaruhi tingkah laku dari pelaku ekonomi dan faktor kekuasaan ini
dimasukan sebagai salah satu variabel dalam analisis ekonomi. Sedangkan dalam
ilmu ekonomi murni faktor kekuasaan ini dianggap given.19
Ekonomi politik sendiri pada awalnya terbentuk berdasarkan adanya
pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Makna ini menegaskan bahwa
secara konseptual ilmu ekonomi dan ilmu politik ini berbeda dan tidak disatukan
antara keduanya dan bukan berarti keduanya terpisah dan tidak mempunyai
hubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan antara ekonomi dan politik inilah
sebenarnya muncul istilah ekonomi politik. 20 Untuk melihat lebih jauh lagi
hubungan antara ilmu ekonomi dan politik ini maka harus dipahami terlebih
dahulu mengenai konsep-konsep yang terdapat pada ilmu ekonomi dan ilmu
politik. Pada ilmu politik dapat dilakukan pendekatan-pendekatan tentang politik
sebagai pemerintahan, politik sebagai publik dan politik sebagai alokasi nilai.
Pada pendekatan ilmu ekonomi yang digunakan adalah pendekatan ekonomi
kalkulasi, ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan dan ekonomi sebagai
perekonomian.
Pada pendekatan politik sebagai pemerintahan, politik dipandang sebagai
mekanisme formal dari sebuah negara secara keseluruhan yang mana politik
sendiri adalah kegiatan, proses dan struktur pemerintahan. Hal-hal yang diluar
pemerintahan dianggap bukan sebagai politik sehingga pada pendekatan ini
cenderung melihat politik sebagai organisasi atau badan dan aturan.21
Konsep selanjutnya adalah politik sebagai publik. Pada pendekatan ini
melihat adanya urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Tujuan
dari seorang individu dapat dibedakan menjadi dua hal yaiu tujuan yang bersifat
pribadi dan tujuan yang melibatkan orang banyak. 22 Pada pendekatan ini dapat
dikatakan lebih luas dari pendekatan sebelumnya karena pada pendekatan ini tidak
melihat politik sebagai organisasi/struktur semata tetapi melihat kepentingan yang
mendasari seseorang untuk bertindak maupun membuat aturan.

Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
19

Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 98


20
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan
oleh: Suraji. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal 1-2
21
Ibid. hal 4-9
22
Ibid. Hal 11
10

Pendekatan politik selanjutnya adalah politik sebagai alokasi nilai.


Pendekatan ini melihat politik dan ekonomi sebagai suatu alat untuk
mengalokasikan nilai-nilai atau dalam hal ini adalah sumber daya langka.
Perbedaanya adalah pada ekonomi, yang digunakan adalah pertukaran secara
sukarela sedangkan pendekatan politik yang ditekankan adalah cara khusus untuk
membuat keputusan dalam mengalokasikan sumber daya tersebut sehingga
pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan yang pertama, yang mana
politik dipandang sebagai struktur pemerintahan semata.23
Pada pendekatan ilmu ekonomi, pendekatan yang pertama adalah ekonomi
kalkulasi. Ekonomi kalkulasi memandang ekonomi sebagai tindakan individu
untuk memenuhi kebutuhannya dan dalam memenuhi kebutuhannya itu
dihadapkan pada hambatan-hambatan. Pada pendekatan ini masalah efisiensi
menjadi fokus utama dalam ekonomi.24
Selanjutnya pendekatan yang kedua, yaitu ekonomi sebagai pemenuhan
kebutuhan. Berbeda dari pendekatan yang pertama, pendekatan ekonomi sebagai
pemenuhan kebutuhan tidak terlalu melihat efisiensi dalam proses produksi tetapi
melihat keberlanjutan dari proses produksi atau reproduksi ini. Kebutuhan untuk
mempertahankan hidup menjadi hal utama yang mendorong manusia dalam
melakukan produksi guna melakukan pemenuhan kebutuhan. Pendekatan ini lebih
tua usianya dari pendekatan yang pertama dan digunakan oleh Aristoteles sampai
Adam Smith dan Karl Marx. 25 Pendekatan ilmu ekonomi yang terakhir yaitu
ekonomi sebagai perekonomian atau dalam hal ini sebagai sebuah sistem. Dalam
pendekatan ini ekonomi dipandang mempunyai ruang tersendiri dan terpisah
dengan yang lainnya.26
Dengan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan dari ilmu politik dan
ilmu ekonomi maka hal yang wajar apabila ekonomi politik dipandang sebagai
sesuatu yang dipisahkan antara keduanya (ekonomi dan politik) karena dengan
adanya perbedaan pendekatan pada masing-masing ilmu tadi kita tidak dapat
menyatukan keduanya yang nantinya akan membuat definisi dari ekonomi politik
itu menjadi rancu. Maka untuk mendeskripsikan ekonomi politik sendiri dilihat
berdasarkan dari sisi batas-batas pemisahan antara keduanya serta proporsi
dominasi dari keduanya.
Apabila dilakukan pendekatan ekonomi terhadap politik, maka definisi
ekonomi politik menurut Caporaso dan Levine adalah:27
“ilmu yang menelaah hubungan antara wilayah ekonomi dan wilayah
politik, atau antara sub-sistem ekonomi dengan dengan sub-sistem politik.
Dengan kata lain, menurut pendekatan ekonomi terhadap politik, ekonomi
politik bukan lagi sebuah telaah tentang apa yang terjadi ketika wilayah
ekonomi bertemu dengan wilayah politik melainkan ekonomi politik berarti
penerapan penerapan penalaran ekonomi terhadap proses-proses politik.
Dalam perkembangannya, ekonomi politik ini bisa diklasifikasikan menjadi
dua pendekatan. Bagian yang pertama, bahwa ekonomi politik dalam hal ini
menganggap pemerintah adalah individu yang selalu benar dan tidak memiliki

23
Ibid. Hal 22-23
24
Ibid. Hal 37-39
25
Ibid. Hal 44
26
Ibid. Hal 54-55
27
Ibid. Hal 305
11

kepentingan (self interest) sehingga dalam tujuannya pemerintah hanya


beorientasi pada kesejahteraan konvensional. Berbeda dengan pendekatan yang
pertama, pendekatan yang kedua menganggap bahwa pemerintah sebagai institusi
negara memiliki kepentingan sendiri (self interest) dalam
menentukan/mengeluarkan kebijakannya. Pendekatan ini disebut dengan
pendekatan ekonomi politik baru (new political economics). Pada pendekatan ini,
bisa saja pemerintah mengalami kegagalan (government failure) dalam penentuan
kebijakan karena ada kepentingan tersebut. 28 Kepentingan tersebut bisa saja
berupa rasionalitas dari pemerintah itu sendiri untuk memperoleh dukungan dari
pihak lain atau bisa saja memperoleh keuntungan dari pihak lain. Sehingga
muncul teori pihan publik dan perburuan rente.
Pada tulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang kedua.
Yang mana adanya kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah karena adanya
kepentingan untuk mencari keuntungan berupa rente ekonomi (rent seeking).

Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas”

Sebenarnya konsep liberalisasi ini sesuai dengan pendekatan ekonomi


kalkulasi. Yang mana efisiensi menjadi fokus utama dalam kegiatan ekonomi
karena adanya hambatam-hambatan dan alokasi dalam proses produksi. Dan
pendekatan ekonomi kalkulasi ini kebanyakan yang dipakai landasan dan dominan
dalam ilmu ekonomi. Dalam hal ini menurut Caporaso dan Levine ekonomi tidak
lagi dipandang sebagai ilmu ekonomi (economics) tetapi dipandang sebagai
“economizing” (penghematan).29 Karena sifatnya yang sempit inilah, pendekatan
ekonomi kalkulasi tidak memperhitungkan adanya wilayah politis didalamnya.
Inilah yang mendasari bahwa kekuasaan bukan berada pada pemerintah sebagai
institusi negara, tetapi berada pada pasar sebagai pemegang kekuasaan dalam
perekonomian (market mechanism).
Asas efisiensi membuat pasar ini mengurangi peran pemerintah dalam
kontrol terhadap pasar dan bahkan pasar itu sendiri yang mempunyai kontrol dan
memiliki kekuasaan yang tidak terlihat (invisible hand). Tidak terlihatnya faktor
kekuasaan dipandang bukan kebetulan semata, melainkan syarat mutlak yang
menguntungkan bagi para pemegang paham liberalisasi ini yang umumnya
mempunyai modal dan teknologi yang tinggi.30
Hal ini nampaknya sedang terjadi pada pengelolaan migas di Indonesia.
Pada sektor migas, investasi-investasi asing yang masuk ke Indonesia begitu besar,
hal tersebut dikarenakan belum mampunya negara Indonesia (dalam hal ini
Pertamina) untuk mengelola hasil buminya (migas) secara mandiri karena adanya
hambatan berupa modal dan teknologi. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan
potensi migas agar lebih efisien, Indonesia mengundang para investor asing agar
mau berinvestasi pada sektor migas dengan sistem kontrak bagi hasil. Hal ini jelas
tidak dapat dikatakan solusi terbaik, mengingat fokus dari liberalisasi ini adalah

28
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 102
29
Pendapat tersebut didasari pada konsep ekonomi kalkulasi yang menganggap sumber daya
selalu terbatas dan tujuan yang hendak dicapai selalu dapat dipastikan. Sehingga harus adanya
penyesuaian diri dengan kondisi perubahan dan pengembangan. Lihat Caporaso dan Levine. 1992.
Op.cit. Hal 39-40
30
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.cit. Hal 389
12

proses alokasi (sumber daya) secara efisien tanpa memperhatikan proses distribusi.
Selain itu amanat konstitusi (UUD 1945) mengisyaratkan bahwa kekayaan bumi
Indonesia dipegang oleh negara bukan oleh pasar.
Menurut Hafsari: 31
“Dalam kebijakan luar negeri, liberalisme erat kaitannya dengan
pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan
tekanan ekonomi, diplomasi, dan intervensi militer. Pembukaan pasar
merujuk pada perdagangan bebas. Konsep liberalisme secara umum
berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel
pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini
mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik
minimum. Liberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan
intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah
sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan”.
Pada era globalisasi yang akan segera dihadapi oleh dunia, paham
liberalisme akan semakin memperkuat para kapitalis-kapitalis dan perusahaan
multinasional untuk menguasai perekonomian lewat teknologi dan modalnya.
Apabila kita menganggap bahwa modal dan teknologi ini sebagai hambatan, maka
mereka (MNC) melihatnya sebagai suatu keuntungan agar menancapkan sayapnya
secara kuat. Apabila kita memandang pasar sebagai sumber kekuasaan dalam
perekonomian, ketika pasar tersebut dikuasai oleh MNC karena segala kelebihan
yang dipunyainya, maka dapat dikatakan liberalisasi ini secara tidak sadar tengah
membangun organisasi sosial yang tengah menggantikan negara sebagai lembaga
ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia.32
Apabila dilihat dari pengertian liberalisasi sebagai pembukaan jalur modal
dan kapital luar negeri untuk masuk ke sektor migas di Indonesia, hal tersebut
sudah lama terjadi pada saat Pertamina lahir dengan sistem kontrak bagi hasilnya.
Tetapi pada era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas, makna
liberalisasi ini dapat diartikan sebagai pembebasan pengelolaan migas di
Indonesia oleh perusahaan dalam negeri maupun luar negeri dengan tidak harus
melakukan kontrak dengan Pertamina (seperti era Undang-Undang Nomor 8 tahun
1971) tetapi melalui BP Migas (SKK Migas) baik dalam bentuk kontrak bagi hasil
atau kontrak lainnya. Dengan begitu liberalisasi ini memberikan makna bebas
mengelola bukan bebas menguasai. Hal ini sering menjadi perdebatan di berbagai
kalangan.
Makna “bebas mengelola” ini dinilai merupakan permainan kata semata
karena apabila diganti dengan makna “bebas menguasai” maka hal itu akan dinilai
inkonstitusi atau bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3. Peran BP
migas juga dinilai hanya sebagai lembaga “jadi-jadian” agar sektor migas ini tetap
dikuasai oleh negara. Namun karena kedudukannya yang bukan entitas bisnis
melainkan lembaga perwakilan pemerintah, kontrak kerjasama yang pada konsep
awalnya dilakukan antar entitas bisnis (melalui Pertamina) atau B to B menjadi B
to G.33

31
F. H Hafsari. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di Indonesia [skripsi].
FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal 25
32
Puji Rianto. 2004. Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi [jurnal]. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, November 2004 (161-180). Hal 164
33
Hasil wawancara dengan Komaidi Notonegoro (peneliti Reforminer Institute): 16 Juli 2014
13

Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory)

Peter Evans pada tahun 1979 memperkenalkan sebuah teori dependensi


dalam tesis doktoralnya yang mana pada waktu itu Evans berargumen bahwa
perekonomian brazil didominasi oleh persektuan yang melibatkan antara
pemerintah, pemegang modal dalam negeri dan perusahaan multinasional. Evans
melihat bagaimana ketergantungan pembangunan ekonomi brazil terhadap elit
dalam negeri (dalam hal ini pemerintah dan kapitalis pribumi) yang merupakan
ketergantungan internal dan terhadap perusahaan multinasional sebagai
ketergantungan eksternal. Sehingga Evans menamakannya sebagai “dependent
development”.34
Semenjak teori itu diperkenalkan, banyak pengembangan yang telah
dilakukan terhadap teori itu, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh
Robinson pada tahun 1986,35 yang mana Robinson membagi pemeran ekonomi di
Indonesia menjadi empat pemeran utama yaitu:
1. Perusahaan dalam negeri (dibawahi oleh pemerintah atau elit militer).
2. Perusahaan yang dimiliki etnis China.
3. Perusahaan yang dimiliki pribumi.
4. Perusahaan multinasional asing.
Menurut teori ini pemerintah pada dasarnya melakukan persekutuan dengan
pengusaha lokal (borjuis) adalah untuk mengurangi peran perusahaan asing dalam
mendominasi perekonomian. Oleh karena itu pemerintah berusaha memperkuat
posisi kaum borjuis dengan regulasinya dan tetap mengundang perusahaan asing
karena pemerintah masih memerlukan perusahaan asing dalam keperluan modal
dan teknologi.36
Pada sektor migas, teori ini terbukti dengan munculnya Pertamina sebagai
perusahaan milik negara yang pada waktu itu didirikan oleh Ibnu Sutowo dan
mengalami penguatan posisi dengan munculnya regulasi berupa Undang-Undang
Nomor 44 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang
mengakhiri sistem konsesi di sektor migas. Setahun setelah regulasi tersebut
keluar, yaitu pada tahun 1961 PERMINA (sebelum menjadi Pertamina) berubah
status menjadi perusahaan milik negara dengan nama PN PERMINA. Kemudian
setelah melakukan merger dengan PN PERTAMIN, pada tahun 1968 terbentuklah
PN PERTAMINA.37
PN PERTAMINA muncul dengan konsep bagi hasil (PSC) dan untuk
memperkuat posisi dan konsepnya itu pemerintah mengeluarkan regulasi baru
berupa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina sehingga posisi
Pertamina dan konsepnya itu kuat dan legal. Setelah 30 tahun bertahan, regulasi
tersebut berhasil membawa Pertamina menjadi salah satu perusahaan minyak
milik negara terbesar dan menjadi anggota OPEC. Selain itu, sektor migas juga

34
Peter Evans dalam Akira Suehiro. 2008. Catch-Up Industrualization. University of Hawaii
Prses. Hal 161
35
Ibid. Hal 162
36
Muhammad Findi Alexandi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi di Indonesia:
Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri Tepung Terigu Nasional (Periode
1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok. Hal.
37
Profil Badan Usaha Milik Negara dalam KPK. 2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi.
37

Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Hal 8


14

menjadi sektor penyumbang terbesar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia


dan pada masa Orde Baru Indonesia berhasil menikmati “bonanza minyak”.
Ketergantungan antara ketiga komponen tadi (pemerintah, pengusaha
lokal/borjuis, dan perusahaan multinasional) ternyata membawa dampak negatif
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor migas dijadikan sektor primer
dalam membangun perekonomian, padahal sektor migas ini merupakan sektor
ekstraktif dan tidak dapat diperbarui. Eksploitasi secara besar-besaran pada masa
Orde Baru berimbas pada semakin menurunnya kapasitas produksi pada masa
Orde Reformasi sehingga pemerintah dibuat bingung karena semakin tingginya
permintaan domestik terhadap BBM dikala produksi minyak sedang turun.

Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente)

Bagi para ekonom, rente merupakan kependekan dari "rente ekonomi" yang
mana mempunyai makna sebagai jumlah keuntungan yang dibayarkan kepada
seseorang atas apa yang dilakukan untuk mendapatkan alternatif terbaik. 38
Apabila dilihat dari makna tersebut, rente dapat dikatakan sesuatu yang “netral”
karena merupakan sesuatu hal yang biasa dan diterima karena pemahaman
tersebut masih terlalu sempit.
Pada teori neoklasik, setiap individu akan selalu beusaha mencapai tingkat
kepuasan tertinggi dalam memenuhi kebutuhan individu tersebut dengan kendala
adanya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang tersedia sebagai alat pemenuhan
kebutuhan sehingga muncul konsep “pilihan yang dibatasi” (constrained chioce)
dengan begitu individu tersebut harus menentukan pilhan yang tepat untuk
mencapai tingkat kepuasaan tertingginya. Sebagai ilustrasi, apabila ada barang A
memberikan kepuasan sebesar 90, kemudian barang B sebesar 70 dan barang C
sebesar 50, maka individu akan memilih barang A karena memberikan tingkat
kepuasan yang lebih dari barang B dan C. Dengan konsisten juga individu
tersebut akan mengurutkannya sesuai nilai kepuasannya (A>B>C). Konsep ini
disebut dengan pilihan rasional (rational choice).39
Apabila ide tersebut masih dalam tingkat individu, maka Caporaso dan
Levine menjelaskan bahwa dalam tingkatan kelompok, kesejahteraan akan dicapai
ketika dua syarat terpenuhi yaitu: 1) tindakan individu dalam kelompok tersebut
akan mempengaruhi individu lain yang tidak melakukan tindakan yang sama
dalam kelompok tersebut. 2) individu satu menyediakan peluang bagi individu
lain untuk peningkatan kesejahteraan bersama dengan melakukan pertukaran.40
Pada syarat yang pertama hal itu sering disebut dengan konsep eksternalitas.
Yang mana dampak dari tindakan individu tersebut (eksternalitas) ada yang positif
dan negatif. Untuk syarat yang kedua, apabila ditinjau dari konsep pilihan rasional,
para pelaku rasional tersebut bertindak dan memberikan peluang bagi pelaku
rasional lainnya dan keduanya diuntungkan maka disebut dengan keseimbangan
rasional (rational equilibrium). 41 Konsep tersebut bisa diilustrasikan dengan
adanya pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan perusahaan yang mempunyai

38
Paolo Mauro. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues. International Monetary
Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol. 6. Hal 2
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.Cit. hal 184-186
39
40
Ibid. Hal. 189-190
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 104
41
15

fokus mengejar profit. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung


perusahaan tersebut agar terus berekspansi dengan syarat perusahaan tersebut
membiayai proyek kampanye pemerintah tadi agar posisi politiknya aman.
Apabila dilihat dari kacamata neoklasik tadi (pilihan rasional) tentu hal tersebut
tidaklah salah (netral) karena tindakan kedua individu tersebut masing-masing
adalah untuk mencapai kepuasaan tertingginya.
Dalam literatur ekonomi politik, proses individu untuk mendapatkan
keuntungan (rente) yang besar dengan menciptakan peluang (dalam hal ini
kebijakan) disebut dengan konsep “rent seeking” (perburuan rente). Rent seeking
dalam kacamata ekonomi politik cenderung dilihat tindakan yang negatif karena
untuk menciptakan peluang-peluang tersebut, maka individu-individu tadi harus
melakukan beberapa tindakan pintas seperti lobi. Olson dalam Yustika
42
menjelaskan:
“proses lobi tersebut dapat berdampak kolosal karena mengakibatkan
proses pengambilan keputusan (decision making) berjalan sangat lambat
dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespons secara cepat terhadap
perubahan-perubahan dan teknologi baru”
Seperti yang dijelaskan oleh Olson dalam Yustika diatas, adanya lobi dapat
dikatakan dapat menimbulkan distorsi pada pengambilan kebijakan oleh
pemerintah. Distorsi yang dimaksud adalah kemungkinan adanya kegagalan pasar
dan kegagalan pemerintah yang terjadi karena keputusan yang diambil semata-
mata hanya untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Menurut Ma’arif:43
“ dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang
diterima penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan
untuk mengejar kepentingan pribadinya. Sedangkan perilaku aparat
pemerintah yang mengharapkan keuntungan atas kebijakan yang
dikeluarkanya disebut perilaku perburuan rente (rent seeking behaviour)”
Korupsi merupakan salah produk dari perburuan rente yang bersifat
negatif. Secara fakta, negara yang belum mencapai tingkatan good governance
sangat rentan dengan korupsi. Menurut Mauro, 44 ada beberapa hal yang
menyebabkan pemerintahan korup selain dari faktor regulasi, yaitu:
a. Dukungan sumber daya alam yang melimpah. Untuk negara yang
memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah cenderung lebih
korup daripada negara yang miskin dengan sumber daya alam.
b. Faktor sosiologis. Banyaknya suku dan bahasa disinyalir berhubungan
kuat dengan korupsi. Hal tersebut disebabkan pejabat publik lebih
mungkin untuk melakukan bantuan untuk keluarga mereka dalam
masyarakat yang mempunyai ikatan keluarga yang kuat.
Untuk kasus di Indonesia sendiri, dua faktor tersebut sudah terbukti
kebenarannya. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menjamur pada
instansi dan masyarakat umumnya telah membuat aktivitas perburuan rente
semakin marak. Bahkan karena maraknya, hal ini sudah dianggap biasa dan wajar.
Pada sektor migas, perburuan rente ini terjadi dari aktivitas hulu sampai hilir.
Salah satu aktivitas yang marak terjadi adalah aktivitas gold platting. Aktivitas

42
Ibid. Hal 107
43
Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313
44
Paolo Mauro. 1997. Op.cit. hal. 5
16

gold platting ini merupakan salah satu bentuk kecurangan oknum


(pemerintah/perusahaan) yang memanipulasi/ mark up cost recovery sehingga
mengurangi pemasukan (khususnya pemerintah). Hal itu disebabkan oleh sangat
sulitnya mengontrol cost recovery sehingga dijadikan kesempatan bagi oknum-
oknum untuk berbuat curang dan mementingkan kepentingan
45
individu/kelompoknya.
Memberantas korupsi/gold platting di sektor migas adalah perang melawan
kekuatan yang sangat besar sebab semua modus pencurian dan penyelundupan itu
bermuara pada bertemunya kepentingan bisnis swasta dan kepentingan oknum
penguasa yang bersedia menyalahgunakan kekuasaannya. Dibutuhkan konsistensi
dan komitmen yang kuat untuk melawan kejahatan yang satu ini.

Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor


Migas di Indonesia

Pada dasarnya, kontrak kerjasama dibidang pertambangan migas dapat


dibedakan menjadi dua macam, yaitu:46
a. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract)
b. Bentuk kerjasama lainnya.
Semenjak diperkenalkannya PSC pada tahun 1965 yang mana pada waktu
itu Indonesia menjadi negara pertama yang memakai sistem PSC pertama dalam
sejarah industri migas dunia , PSC di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga
tahap/generasi, yaitu: 1) PSC Generasi Pertama (1966-1975), 2) PSC Generasi
Kedua (1976-1988), 3) PSC Generasi Ketiga: Periode I (1988-2000) dan Periode
II (2001-sekarang).47 Adapun perbedaannya dapat dijelaskan oleh tabel 2
Tabel 2 Ringkasan Generasi PSC di Indonesia

Sumber: Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 47-48

45
Yuyus Bahtiar. 2010. Relevansi Model PSC Modifikasi Revenue To Cost Index (R/C) Pada
Kerjasama Migas di Indonesia. [skripsi]. Institut Teknologi Bandung: Bandung. Hal 1
46
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal (1) angka 19.
47
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 43-47
17

Adapun yang membedakan periode I dan II pada PSC generasi ketiga adalah
pada periode I Pertamina masih memegang alih seluruh kegiatan pengelolaan
migas di Indonesia, sedangkan pada periode II (setelah Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001) fungsi kegiatan pengawasan dan pembinaan pada sistem PSC
menjadi tanggung jawab BP Migas (sekarang SKK Migas), 48 sehingga peran
Pertamina menjadi pengelola perwakilan negara (karena 100% masih dikuasai
negara) yang harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan migas multinasional.
Karakteristik dalam kontrak bagi hasil , semua resiko ada di kontraktor.
Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi.
Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk
eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi
milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO)
untuk kontraktor migas.49
Berdasarkan kontrak bagi hasil, diatur bahwa kontraktor migas harus
menjual bagiannya paling banyak 25% ke dalam negeri. 50 Ini bertujuan untuk
menjamin ketersediaan BBM di pasar dalam negeri. Namun berdasarkan hasil uji
materi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), ketentuan tersebut diubah menjadi wajib 25% (dari
paling banyak). Harga yang ditetapkan bisa berdasarkan harga pasar atau harga
tertentu. Ketentuan ini dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO).
Kontraktor akan mendapatkan DMO fee atas hal ini.51
Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor
sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). Namun perhitungan
secara detail diatur dalam perjanjian masing-masing. Untuk biaya cost recovery,
konsep bagi hasil yang dianut oleh Indonesia akan mengganti biaya kontraktor
migas sebesar 100% (termasuk biaya investasi). Tidak ada pembatasan atas
biaya-biaya yang bisa diganti oleh pemerintah. Namun ketentuan ini sudah
berubah. Hasil audit BPK menemukan adanya biaya-biaya yang tidak sepatutnya
jika diganti oleh pemerintah (misal biaya yang terkait dengan kegiatan CSR
perusahaan) ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM no 22 tahun 2008
yang mengatur biaya-biaya yang tidak bisa di ganti oleh pemerintah (non cost
recovery) antara lain pembebanan dana community development pada masa
eksploitasi, technical training untuk ekspatriat, biaya konsultan pajak.52
Secara garis besar perhitungan PSC di Indonesia dapat dijelaskan oleh
Gambar 3.

Ibid. hal 50
48
49
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 14 dan 15
50
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 Tentang Migas pasal 22 angka 1
51
Iswahyudi Sondi,. 2010. Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia [artikel].
Kompasiana: 26 April 2010. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-pengelolaan-migas-di-
indonesia-126745.html
52
Ibid.
18

Gambar 3 Alur Perhitungan PSC di Indonesia


Sumber: Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 78

Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa)

Sistem PSC tentu bukanlah satu-satunya sistem yang ada pada industri dan
pengelolaan migas di dunia. Ada beberapa sistem yang banyak dipakai oleh
negara-negara dalam alokasi produksi migas yang mengatur perjanjian antara
pemerintah dan kontraktor. Ada sistem konsesi dan sistem service contract
(kontrak jasa) yang banyak dipakai oleh negara-negara pengahasil minyak selain
sistem PSC.
Pada sistem konsesi, pemerintah hanya mendapatkan keuntungan hanya dari
pajak dan royalty. Karakteristik sistem konsesi ini adalah semua hasil produksi
dalam wilayah yang digarap oleh perusahaan tersebut menjadi milik perusahaan,
pemerintah tidak dapat mendapatkan dari hasil produksi tersebut, tetapi hanya
menerima penerimaan dari pajak/royalti saja. Oleh karena itu sistem konsesi
sering disebut juga sebagai sstem royalty/tax.53 Sistem ini merupakan sistem yang
paling tua dan masih banyak digunakan pada saat ini. Pada sistem konsesi
tradisional, keterlibatan pemerintah (negara) dibatasi atau bahkan tidak ada
ditambah jangka waktu kontrak yang lama serta luasnya wilayah yang dapat
dimiliki oleh perusahaan/kontraktor tersebut.54
Pada sistem konsesi modern, telah terjadi beberapa perubahan. Diantaranya
adalah meningkatnya bagian pemerintah (negara) dari pajak dan royalti tersebut
ditambah adanya pajak-pajak khusus terhadap keuntungan perusahan yang

53
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 14
Ibid. Hal 6-7
54
19

berkelebihan. Selain itu kontraknya diperpendek dengan luas wilayah yang


dibatasi.55
Untuk sistem kontrak jasa, mengacu pada kontrak antara pemerintah dengan
perusahaan/kontraktor dalam hal kegiatan, eksplorasi dan produksi migas. Pada
sistem ini kontraktor hanya menerima pengembalian dari pemerintah secara tunai
bukan secara natura (hasil dari produksi dan eksplorasi) tetapi bisa saja kontraktor
membuat perjanjian dengan pemerintah dengan metode pembelian kembali natura
tersebut (buy-back).56
Secara umum perbedaan PSC, konsesi dan kontrak jasa dapat dijelaskan
oleh Gambar 4

Gambar 4 Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas


sumber: : Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 14

Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC

Pada sistem PSC cost recovery adalah biaya operasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan/kontraktor yang terdiri atas biaya penyusutan, investasi non-kapital,
dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
membayar lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau
bisa ditangguhkan pada tahun berikutnya. 57 Konsep cost recovery sebenarnya
tidak hanya ada pada sistem PSC, pada sistem konsesi dan kontrak jasa juga
terdapat konsep yang sama dengan cost recovery tetapi pada sistem konsesi

55
Loc.cit
56
Metode buy-back ini digunakan oleh negara Iran dalam menarik perusahaan/kontraktor untuk
berinvestasi di Iran.
57
Benny Lubiantara,. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas.
Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172
20

disebut dengan cost deductions dan pada sistem kontrak jasa adalah
reimbursement.58
Menurut Lubiantara,59 mekanisme cost recovery pada PSC adalah:
“kontraktor akan menerima sejumlah volume hasil produksi yang menjadi
bagiannya (contractor entitlement) yang terdiri dari profit share dan cost
recovery. Sistem PSC di Indonesia memberlakukan FTP, dimana FTP
tersebut dibagi dengan kontraktor, disamping itu ada juga kewajiban
memasok sejumlah volume untuk kebutuhan domestik (Domestic Market
Obligation) dengan harga diskon. Adanya FTP dan DMO ini tentu juga
mempengaruhi besarnya total contractor entitlement tersebut”
Cost recovery merupakan salah satu komponen cost entitlement, sejumlah
volume produksi tertentu akan diklaim oleh kontraktor sebagai pengembalian
biaya operasi. Sebagai ilustrasi, biaya operasi perusahaan A adalah Rp. 1 juta
rupiah, rata-rata harga minyak adalah Rp. 100/barel, maka volume yang
diperlukan untuk mengganti biaya tersebut adalah Rp. 1.000.000/ Rp.100/barel=
10.000 barel.
Adanya mekanisme pembayaran cost recovery ini sering membuat
pandangan bahwa cost recovery dijadikan ladang mark-up baik itu yang dilakukan
oleh pihak birokrat pemerintahan maupun dari pihak perusahaan/kontraktor. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan ketegasan dari pihak yang
berwenang sehingga memungkinkan adanya kesempatan untuk melakukan
kecurangan yang merugikan negara dan perusahaan itu sendiri.

Penelitian Terdahulu

a. Muryati dkk (2013) menganilis prosedur terjadinya kontrak bagi hasil


(Production Sharing Contract) pada pertambangan minyak gas dan bumi
serta mengkaji mekanisme penyelesaian sengketanya.60
b. Bahtiar (2010) mengkaji tentang Relevansi Model PSC Modifikasi
Revenue To Cost Index (R/C) Pada Kerjasama Migas di Indonesia yang
mana pada penelitiannya membuktikan bahwa dengan adanya modifikasi
pada sistem kontrak bagi hasil yang bersifat progressif dapat menimalisir
praktek mark up/ gold platting. 61
c. Ma’arif (2007) dalam tesis nya yang berjudul Ekonomi Politik Kebijakan
Migas tarik ulur perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Migas pasca Orde Baru 1998-2004 menjelaskan perubahan
kebijakan melalui keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi telah mencabut kekuasaan dan hak-hak
istimewa yang dimiliki Pertamina. Kebijakan ini di luar kebiasaan, karena
memberi peluang seluas mungkin bagi semua pelaku bisnis seperti:
BUMN, Badan Usaha Milik Swasta Asing, Badan Usaha Milik Swasta

58
Loc.Cit
59
Ibid. Hal 194
60
Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Op.cit
61
Yuyus Bahtiar. 2010. Op.cit
21

Nasional, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah untuk saling bersaing di


sektor migas. 62
d. Umar (2012) dalam jurnalnya Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia:
Analisis Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998
menjelaskan tentang kebijakan liberalisasi sektor migas yang membuat
harga BBM Indonesia sangat bergantung pada dunia. 63
Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah:
1. Dalam penelitian ini menitikberatkan pada aspek liberalisasi pada
sektor migas yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 yang berdampak pada pengelolaan migas dan
perekonomian di Indonesia.
2. Dalam penelitian ini juga akan menggunakan analisis ekonomi politik
dalam bentuk analisis aktivitas rent seeking dan gold platting pada
pengelolaan migas di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil migas di dunia tentunya


menjadi hal yang menguntungkan bagi Indonesia karena migas merupakan salah
satu komoditi (energi) yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan dibutuhkan oleh
seluruh negara untuk menjalankan aktivitas sehari-hari masyarakatnya, termasuk
di Indonesia sendiri. Sebagai negara berkembang yang mempunyai teknologi dan
kemampuan SDM yang terbatas menjadi sebuah dilema untuk mengelola sektor
migas ini secara mandiri.
Untuk mengatasi masalah itu maka diperkenalkanlah sistem PSC pada tahun
1965 yang sistemnya tidak jauh berbeda dengan sistem paron dalam penggarapan
sawah-sawah di Indonesia. Dimana Indonesia sebagai pemilik sumber daya dan
kontraktor (perusahaan migas multinasional) sebagai penggarap sumber dayanya.
Pada sekitar periode 1965-1980 terbukti Indonesia menjadi negara penghasil
minyak yang cukup berpengaruh di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
pembangunan-pembangunan infrastruktur yang pesat tidak terlepas dari hasil
sektor migas tersebut. Tetapi adanya boom minyak pada periode akhir tahun 80-an
membuat industri migas lesu dan kehilangan investor-investornya.
Sebagai solusi untuk mengatasi kelesuan sektor migas tersebut maka
pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 melakukan
liberalisasi sektor migas, yang mana Pertamina sebagai perusahaan minyak
nasional kehilangan hak-hak istimewa serta diharuskan bersaing dengan
perusahaan migas multinasional. Dengan liberalisasi tersebut, maka secara tidak
langsung penguasaan migas nasional hampir 80% dikuasai oleh asing. Kerugian
tersebut diperparah oleh kembali naiknya harga minyak dunia pada tahun 2004
sampai sekarang yang mana menyebabkan Indonesia kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan minyak domestiknya.

62
Syamsul Ma’arif. 2007. Ekonomi politik kebijakan Migas tarik ulur perubahan Undang-undang
Migas pasca Orde Baru 1998-2004 [tesis] .Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
63
A. R. M Umar. 2012. Ekonomi Poltik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan Liberalisasi
Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 16.
22

Selain itu sistem PSC generasi ke III ini dinilai sangat memanjakan para
kontraktor migas. Dimana adanya aturan cost recovery dan penghindaran atas
pajak menyebabkan negara merugi. Kerugian negara tidak hanya disana, adanya
oknum-oknum pemerintah/perusahaan yang melakukan aktivitas rent seeking dan
gold platting/ Mark up semakin memperparah kerugian pada pengelolaan migas di
Indonesia.
Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5

Analisis kontribusi sektor Analisis dampak


migas terhadap Analisis aktivitas
liberalisasi sektor migas
perekonomian Indonesia perburuan rente dan
terhadap Industri Migas
sebelum dan sesudah dampaknya pada
Nasional dan
ditetapkannya UU no. 22 pengelolaan migas di
pengelolaan migas di
tahun 2001 tentang Indonesia.
Indonesia.
Migas.

Gambar 5 Kerangka Pemikiran


23

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau studi


mengenai sistem atau tata cara untuk melaksanakan penelitian. Hal yang dibahas
adalah metode-metode ilmiah untuk melaksanakan kegiatan penelitian.64 Metode
penelitian adalah bagian terpenting dalam karya ilmiah karena berisi tentang cara-
cara dan tahapan penelitian untuk menjawab permasalahan yang akan dijawab
pada penelitian tersebut. 65 Oleh karena itu dalam melaksanakan penelitiannya,
penliti harus memiliki cara dan tahapan yang jelas, sistematis dan rasional. Selain
itu penelian harus bersifat objektif. Dalam penelitian ini pengambilan informasi
dilakukan dengan wawancara mendalam dengan pengambilan sample tidak acak
(metode purposive sampling dan snowball sampling) dan didukung oleh data
lainnya baik itu dari buku, media cetak, dan lain sebagainya.

Wilayah Penelitian

Penelitian ini mengambil studi wilayah pada tingkatan nasional yaitu


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Waktu pengamatan penelitian ini dimulai
dari 10 tahun sebelum penetapan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
Migas dan 10 tahun sesudahnya yaitu tahun 1991 sampai dengan tahun 2011.
Alasan memilih tahun 2001 sebagai acuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tersebut secara tidak langsung meliberalisasi sektor migas di Indonesia yang
mana hak-hak istimewa yang dimiliki Pertamina sebagai perusahaan minyak
nasional dicabut dan digantikan oleh BP Migas (SKK Migas).

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series.
Untuk data-data mengenai industri migas (output industri, jumlah tenaga kerja
sektor migas, nilai antara) didapat dari data statistik pertambangan minyak bumi
dan gas bumi Badan Pusat Statistik66. Selain itu penulis juga menambahkan data
sekunder lain yang diperoleh secara tidak langsung dari dari buku, literatur,
berita, arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) serta instansi-instansi lain yang bersangkutan. Untuk
memperkuat analisis juga penelitian ini dilengkapi oleh wawancara mendalam
(indepth interview) kepada berbagai narasumber yang dinilai mempunyai
kapabilitas dibidangnya.67

64
Bambang Juanda. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor. Hal.
24
65
Ibid. Hal 197
66
Data Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dipakai terdiri dari dua data
industri yaitu data industri pertambangan minyak bumi dan gas bumi serta industri pengilangan
minyak bumi dan gas bumi Badan Pusat Statistik Indonesia.
67
Daftar informan yang diwawancarai dicantumkan di lembar lampiran
24

Metode Analisis Data

Pada penulisan karya tulis ini metode penulisan yang digunakan adalah
jenis metode analisis ekonometrika dan analisis deskriptif kualitatif. Analisis
ekonometrika yang digunakan adalah analisis dampak liberalisasi sektor migas
terhadap pertumbuhan output industri migas di Indonesia. Metode yang digunakan
adalah regresi berganda dengan metode estimasi OLS (Ordinary least square).
Sedangkan analisis deskriptif kualitatif akan digunakan untuk menganalisis
fenomena-fenomena yang sedang terjadi di masyarakat yang mana hal tersebut
bukan diperoleh dari pengolahan data/angka tetapi dari informasi yang didapat
dari media cetak, media online dan narasumber secara langsung untuk mendukung
penilitian ini.

Analisis Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia


Sebelum dan Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas
Analisis ini digunakan untuk melihat dampak dari penetapan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 terhadap kontribusi sektor migas terhadap
perekonomian indonesia. Untuk mengkaji hal tersebut perlu adanya pengambilan
data-data yang akurat mengenai peran sektor migas terhadap PDB Indonesia,
penerimaan pemerintah serta besaran cost recovery yang dirasa membebani
pengeluaran pemerintah.
Data-data tersebut didapatkan dari Badan Pusat Statistik, Kementrian
Keuangan, Kementrian ESDM, Ditjen Migas, media cetak dan sumber lain yang
akurat dan terpercaya. Setelah data-data terkumpul akan dilakukan analisis
deskriptif untuk menginterprestasikan data-data tersebut sehingga terlihat
bagaimana kontribusi sektor migas sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001.

Analisis Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas


Nasional dan Pengelolaan Migas di Indonesia.
Dalam menganalisis dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri
Migas Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia akan dilakukan analisis
ekonometrika melalui metode regresi berganda dengan estimasi OLS (Ordinary
least square). Pendekatan ini digunakan untuk melihat bagaimana dampak dari
liberalisasi ini terhadap industri migas yang dilihat dari pertumbuhan output
sektor migas sebelum dan sesudah adanya liberalisasi.
Model yang digunakan mengacu pada model pertumbuhan Solow dengan
menambahkan variabel eksogen kemajuan teknologi. Variabel dummy juga
ditambahkan agar dapat dilihat bagaimana pengaruh liberalisasi (Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2001) mempengaruhi pertumbuhan industri migas. Pada Model
Pertumbuhan Solow, pertumbuhan output dilihat dari pengaruh modal (K) dan
banyaknya jumlah pekerja (L) terhadap total output (Y). Dengan begitu fungsinya
adalah:

Y = F(K,L) (1)
25

Untuk melihat bagaimana kemajuan teknologi mempengaruhi output maka


ditambahkan variabel eksogen, dengan begitu fungsinya menjadi:

Y = F(K, L x E) (2)

E adalah variabel baru yang ditambahkan untuk menggambarkan efisiensi


tenaga kerja.68 Efisiensi tenaga kerja tersebut didapatkan dari nilai tambah (value
added) per tenaga kerja atau secara matematis dapat dituliskan:

E= = (3)

Karena variabel L (tenaga kerja) tumbuh pada tingkat n sedangkan variabel E


(kemajuan teknologi) tumbuh pada tingkat g ( yang mana g disebut kemajuan
teknlogi-menambah tenaga kerja) maka L x E tumbuh pada tingkat n + g. Dengan
begitu persamaan (2) dapat dituliskan:

Y = F(K, n + g) (4)

Berdasarkan persamaan (4) diatas maka untuk menganalisis pengaruh


liberlsasi sektor migas terhadap pertumbuhan output digunakan model sebagai
berikut:

Yt = β0 + β1GKt + β2GLt + β3GTt + DLIBt + εt

Keterangan:
Yt : Pertumbuhan output / GO (persen)
β0 : Intercept
1, 2,3, : Konstanta masing-masing variabel bebas
ε : error term
t : Tahun penelitian, yaitu tahun 1993-2012
GK : Pertumbuhan Kapital / biaya input (persen)
GL : Pertumbuhan Tenaga Kerja (persen)
GT : Pertumbuhan Kemajuan Teknologi (persen)
DLIB : Variabel dummy liberalisasi, 0 ≤ 2001, 1> 2001

Perhitungan variabel-variable tersebut diperoleh dengan:


1. Pertumbuhan output / GO =( )
2. Pertumbuhan kapital / GK =( ) %
3. Pertumbuhan Tenaga kerja / GL =( )

Efisiensi tenaga kerja tersebut merefleksikan bagaimana pengetahuan masyarakat dalam


68

menguasai metode produksi dengan asumsi bahwa ketika teknologi tersedia maka akan
meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Lihat N. Gregory Mankiw. 2006. Macroeconomics. Sixth
Edition. Worth Publisher: New York. Hal 217
26

4. Pertumbuhan kemajuan teknologi/GT =( )

Analisis Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan


Migas di Indonesia.
Pada analisis perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan migas
akan digunakan analisis data dari berbagai media cetak dan institusi-institusi
seperti KPK (komisi pemberantas korupsi) serta ICW (Indonesia Corruption
Watch) agar didapatkan hasil yang objektif mengenai fenomena perburuan rente
pada pengelolaan migas dan industri migas di Indonesia. Setelah mengetahui
jenis-jenis perburuan rente dan motif-motif yang melatarbelakanginya,
selanjutnya akan dibahas kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari perburuan
rente tersebut. Untuk mendapatkan data tersebut dapat dilakukan dengan cara
wawancara mendalam dengan para informan dengan menggunakan teknik
purposive sampling dan snowball sampling.
Teknik purposive sampling adalah salah satu cara pengambilan sampel
secara tidak acak (non-probablity sampling) yang mana seseorang atau sesuatu
diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu
tersebut memiliki informasi yang diperlukan dan menunjang bagi penelitiannya.69
Apabila penelita mengira informasi yang ada belum terwakilkan secara baik,
maka akan dilakukan teknik snowball sampling. Teknik ini adalah teknik
pengambilan sampel secara berantai dengan cara peneliti meminta kepada sampel
pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel.70

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Republik Indonesia

Kondisi Geografis dan Kependudukan

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan


17.508 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan luas sekitar
±5,250,053 km², yang mana terbagi atas luas daratan 1.922.570 km² dan luas
perairan 3.257.483 km². Letak geografis Indonesia yang strategis, yaitu tepat
berada di garis khatulistiwa dengan posisi 6º LU-11º LS dan 95º BT-141º BT dan
dilalui oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta berada diantara dua benua
yaitu Benua Asia dan Australia menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya
hayati.
Selain memiliki wilayah yang luas, Indonesia juga memiliki jumlah
populasi yang padat. BPS mencatat menurut sensus penduduk terakhir yaitu tahun
2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237,641,326 jiwa yang tersebar di 33

69
Hasan Mustafa. 2000. Teknik Sampling. Hal 9. Diakses pada tanggal 20 Januari 2014 pada
alamat http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc.
70
Loc.cit
27

provinsi dengan laju pertumbuhan sebesar 1.49 dari tahun 2000-2010.71 Hal ini
menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang bagus untuk dikembangkan.

Kondisi Perekonomian

Apabila ditinjau dengan beberapa indikator ekonomi yang sering


digunakan, maka akan terlihat bagaimana kondisi perekonomian saat ini. Indikator
pertama yang sering digunakan adalah indikator pertumbuhan ekonomi dengan
melihat laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mana dapat dilihat
dari gambar 6.
Dari gambar 6 tersebut, PDB Indonesia mengalami pertumbuhan yang
positif tiap tahunnya. Sedangkan apabila dilihat dari laju pertumbuhannya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berfluktuatif dengan rata-rata laju
pertumbuhannya diatas 5%, meskipun pada tahun 2009 sempat mengalami
penurunan ke angka 4.63% (Gambar 7). hal tersebut dapat disebabkan beberapa
faktor, diantaranya adalah adanya imbas dari krisis Amerika pada tahun 2008.

Gambar 6 PDB Indonesia dari tahun 2000-2012 Atas Dasar Harga


Konstan 2000 ( Milyar Rupiah)
Sumber: Diunduh dan diolah dari data situs resmi Bank Indonesia
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/riil

Untuk indikator moneter, inflasi Indonesia selama satu dekade terakhir


mempunyai kecenderungan menurun meskipun sempat melonjak tinggi pada
tahun 2005 sebesar 17.11. Meskipun begitu tahun berikutnya yaitu tahun 2006
inflasi kembali menurun dan mencapai angka terendah pada tahun 2009 dan pada
tahun 2012 inflasi sebesar 4.3. Untuk indikator kesejahteraan, tingkat
pengangguran terbuka diklaim turun menjadi 6,14% tetapi sektor informal masih
sangat dominan, yaitu sebesar 62,17%. Selain itu elastisitas pertumbuhan terhadap
pengurangan kemiskinan masih sangat rendah. Penduduk miskin hanya mampu

71
Badan Pusat Statistik.2014. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan Laju Pertumbuhan
penduduk Indonesia Menurut Provinsi. Diakses dari web resmi Badan Pusat Statistik Indonesia
http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=12 pada tanggal 3 Mei 2014
28

berkurang 0.89 juta jiwa dari 30.02 menjadi 29.13 juta jiwa. Bahkan ketimpangan
pendapatan (Gini ratio) meningkat sampai mencapai angka 0.41.

Gambar 7 Laju Pertumbuhan Q to Q Indonesia dari tahun 2004-2012


(persen)
Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 8 Inflasi Indonesia tahun 2000 sampai 2012


Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 9 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia (juta jiwa) dan Gini Ratio
Indonesia tahun 2000 sampai 2012
Sumber: Katalog BPS: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosio-Ekonomi
Indonesia Tahun 2012 (diolah)
29

Sektor Migas dan Industri Migas Nasional

Sektor migas di Indonesia sudah berkembang sekitar 125 tahun sejak


mulai ditemukannya minyak di Sumatra Utara pada tahun 1885 hingga sekarang
menjadi salah satu negara yang ikut berpatisipasi di dunia migas Internasional.
Pada tahun 2010, Indonesia berada di urutan 21 negara produsen minyak di dunia
dengan cadangan migas sekitar 4 juta barel dan menyumbang 1,2% dari produksi
minyak dunia. 72
Berkurangnya laju produksi minyak dan meningkatnya konsumsi minyak
di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor minyak (net oil
importer) semenjak tahun 2004. Hal ini juga difaktori oleh tingginya harga
minyak dunia pada tahun 2004 dan terus mengalami kenaikan harga sampai tahun
2012 yang membuat pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM pada tahun 2008
dan keluar dari organisasi minyak dunia OPEC.73 Keputusan pemerintah ini tidak
jarang menuai kontroversi karena pemerintah dianggap lebih mengutamakan
keuntungan dari selisih ekspor semata daripada memenuhi kebutuhan nasional.

Gambar 10 Negara-negara Penyumbang Minyak Dunia pada Tahun 2010


Sumber: PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation Guide 2012.
PwC Indonesia. Hal 6

72
PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation Guide 2012. PwC Indonesia. Hal
5
73
Ibid. Hal 6
30

Gambar 11 Sektor Minyak dan Gas Indonesia dari tahun 1885-2008


Sumber: PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation Guide 2012.
PwC Indonesia. Hal 5

Untuk sektor gas sendiri, Indonesia merupakan negara produsen gas ke


delapan di dunia. Dengan cadangan sebesar 108 triliun kubik persegi pada tahun
2010. Cadangan tersebut menjadikan Indonesia negara dengan cadangan gas
terbesar ke 11 didunia dan paling terbesar se-Asia Pasifik. Dengan potensi
tersebut Indonesia bertanformasi menjadi negara pengekspor gas alam
cair/liquefied natural gas (LNG) kedua terbesar di dunia pada tahun 2010 dengan
memasok 11% permintaan dunia. 74

Regulasi
Pada sektor migas, regulasi yang mengatur tentang eskploitasi, eskplorasi
sampai perdagangan pasca produksi telah mengalami beberapa perubahan.
Dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi yang mengakhiri sistem konsesi di sektor
migas dengan munculnya sistem kontrak karya. Setelah itu beberapa tahun setelah
muculnya sistem PSC yang dikenalkan oleh Ibnu Soetowo pada tahun 1966,
lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. Ketika Undang-
Undang tersebut dikeluarkan, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur
syarat-syarat kerjasama hingga pada tahun 1994 dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah Nomor 35 tentang syarat syarat dan pedoman kerjasama kontrak bagi
hasil minyak dan gas bumi.75
Setelah 30 tahun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 ini bertahan dan
berhasil membawa Pertamina sebagai salah satu perusahaan minyak (milik
pemerintah) terbesar di dunia, munculah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
yang tidak jarang menimbulkan perdebatan pada waktu itu. Tujuan pembentukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 seperti yang tercantum pada pasal 3
adalah:
1. Menjamin eksplorasi dan eksploitasi yang efektif, efisien, berdaya saing
dan berkelanjutan
2. Menjamin proses akuntabel, transportasi, penyimpanan dan usaha
komersial melalui persaingan usaha yang sehat dan transparan.
3. Menjamin pasokan minyak dan gas bumi yang efisien dan efektif dalam
pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

74
Ibid. Hal 7
75
Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. hal 41-44
31

4. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih


mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional
5. Meningkatkan pendapatan nasional.
6. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara adil serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Selain itu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 menetapkan bahwa
Pertamina bukan lagi pemegang kendali atas PSC melainkan digantikan perannya
oleh BP Migas dan BPH Migas. Kegiatan hulu dikendalikan melalui Kontrak
Kerja Sama (yang sebagian besar adalah PSC) antara badan usaha / bentuk usaha
tetap dan badan pelaksana (BP migas) (Pasal 6) dan kegiatan hilir dikendalikan
oleh izin usaha yang dikeluarkan oleh badan pengawas (BPH Migas) (pasal 7).
Tugas BP migas dan BPH migas antara lain untuk memastikan:
1. Konservasi sumber daya dan cadangan. pengelolaan data migas.
2. Penerapan norma-norma teknis yang baik.
3. Menjamin kualitas produk olahan.
4. Menjamin keselamatan kerja dan keamanan.
5. Menjamin pengelolaan lingkungan seperti mencegah polusi dan
memulihkan kerusakan lingkungan.
6. Memprioritaskan tenaga kerja lokal, barang dan jasa dan kapasitas
rekayasa dalam negeri.
7. Pengembangan masyarakat setempat.
8. Pengembangan dan penerapan teknologi minyak dan gas.

Sektor Hulu (Upstream Sector)

Gambar 12 Cadangan Minyak Indonesia Tahun 2010 (MMSTB= Juta


Stock Tank Barel)
Sumber: Statistik Minyak Bumi Ditjen Migas
32

Gambar 13 Cadangan Gas Indonesia Tahun 2012 (TSCF= trillion square


cubic feet)
Sumber: Statistik Gas Bumi Ditjen Migas
Berdasarkan peta cadangan minyak bumi dan gas di Indonesia diatas
(gambar 12 dan 13) cadangan minyak bumi Indonesia adalah 7,408.24 MMSTB
(juta stock tank barel) yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia dengan
daerah Sumatera Tengah yang masih menyimpan banyak cadangan minyak bumi
yaitu sebesar 3,685.95 MMSTB. Total cadangan tersebut masih cukup untuk
produksi selama ±24 tahun, dengan asumsi tingkat produksi sebesar 313 juta barel
per tahun.76
Sedangkan untuk gas bumi total cadangan Indonesia adalah 150,70 TSCF
(trillion square cubic feet) dengan Kepulauan Natuna sebagai daerah penyimpan
cadangan terbesar yaitu 90.27 TSCF. Total cadangan tersebut masih cukup untuk
produksi selama ±51 tahun dengan asumsi tingkat produksi sebesar 3 TSCF per
tahun.77
Untuk perkembangan wilayah kerja, 78 dari tahun 2002 wilayah kerja
Indonesia selalu mengalami peningkatan. Dari awalnya ada 107 wilayah kerja
pada tahun 2002 sampai pada tahun 2012 mencapai 309 wilayah kerja yang
terbagi atas 75 wilayah kerja produksi, 180 wilayah kerja eksplorasi dan 54
wilayah kerja gas metana batubara (gambar 14). Ini menandakan bahwa semakin
banyak kontraktor migas yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia.

76
Angka 313 juta barel per tahun diambil dari perhitungan produksi minyak bumi (lifting) per hari
pada tahun 2012, yaitu sebesar 859 ribu barel per hari dikalikan 365 (1 tahun)
77
Angka 3 TSCF per tahun diambil dari perhitungan produksi gas per hari Indonesia pada tahun
2012 yaitu sebesar 8,1 juta SCF per hari dikalikan 365 (1 tahun)
78
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi (pasal 1 ayat 16 UU no. 22 tahun 2001) ;Misal di
daerah Kepulauan Natuna di bagi dalam beberapa wilayah kerja dengan beberapa kontraktor PSC
yang mengolahnya.
33

Gambar 14 Perkembangan Wilayah Kerja di Indonesia dari tahun 2002


sampai 2012
Sumber: Web resmi Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) www.skkmigas.go.id
Meskipun cadangan migas di Indonesia cukup banyak dan perkembangan
wilayah kerja di Indonesia meningkat setiap tahunnya, tetapi wilayah kerja
tersebut masih di dominasi perusahaan asing. Untuk produksi minyak di Indonesia,
Pertamina hanya menguasai 13% produksi nasional, berada di peringkat 4,
dibawah ConocoPhillips (Gresik) Ltd. sebesar 15%, British Petroelum (BP) Berau
sebesar 17% dan Total E&P Indonesie sebesar 34% dan sisanya terbagi atas
perusahaan-perusahaan minyak asing lain seperti PetroChina, Vico Ind, dan yang
lainnya (gambar 15).
Sedangkan untuk produksi gas, Pertamina menjadi produsen gas terbesar
kedua dengan menguasai 17% produksi nasional dibawah Chevron Pacific
Indonesia sebesar 47%. Sedangkan sisanya masih terbagi atas perusahaan-
perusahaan asing lainnya (gambar 16)

Gambar 15 Produsen Minyak Indonesia pada tahun 2012


Sumber: BP Migas dalam PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation
Guide 2012. PwC Indonesia. Hal 10
34

Gambar 16 Produsen Gas Indonesia pada tahun 2012


Sumber: BP Migas dalam PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation
Guide 2012. PwC Indonesia. Hal 11

Sektor Hilir (Downstream Sector)


Meskipun sektor hilir secara resmi diliberalisasi dengan adanya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001, Pertamina yang mewakili perusahaan migas
negara masih mendominasi sektor hilir sampai dengan tahun 2004 yang mana
pada waktu itu lisensi penjualan produk BBM tidak lagi dipegang oleh Pertamina
tetapi diberikan juga kepada perusahaan asing yaitu Shell dan Petronas dan juga
menandakan bahwa monopoli Pertamina di sektor hilir migas telah berakhir.
Tetapi untuk penjualan BBM bersubsidi masih dipegang oleh Pertamina.

Perusahaan Migas Nasional (National Oil and Gas Company)


Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki
Pemerintah Indonesia (National Oil Company), yang berdiri sejak tanggal 10
Desember 1957 dengan nama PT PERMINA. Pada tahun 1961 perusahaan ini
berganti nama menjadi PN PERMINA dan setelah merger dengan PN
PERTAMIN di tahun 1968 namanya berubah menjadi PN PERTAMINA. Dengan
bergulirnya Undang Undang No. 8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi
PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status
hukumnya menjadi PT Pertamina (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 pada
tanggal 23 November 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.79
Pendirian Perusahaan ini dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero),
dan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 12 tahun 1998 dan peralihannya berdasarkan PP No.31 Tahun
2003 tentang pengalihan bentuk perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi

79
Profil Badan Usaha Milik Negara dalam KPK. 2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Hal 8
35

negara (Pertamina) menjadi perusahaan perseroan (Persero). Sesuai dengan


ketentuan dalam Undang-Undang Migas baru, Pertamina tidak lagi menjadi satu-
satunya perusahaan yang memonopoli industri migas. Kegiatan usaha minyak dan
gas bumi saat ini diserahkan kepada mekanisme pasar.80
Untuk saat ini Pertamina sudah berkembang dengan mempunyai 20 anak
perusahaan yang bergerak di bidang hulu dan hilir sektor migas. Selain itu
Pertamina menjadi perusahaan yang masih memegang distribusi domestik terbesar
di Indonesia dengan melayani lebih dari 4784 Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum (SPBU), di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke setiap hari baik
BBM bersubsidi atau Public Sevice Obligation(PSO)(Minyak Tanah/Kerosin,
Solar, Permium) dan BBM Non PSO ( Pertamax, Pertamax Plus, Pertamina Dex,
Pertamax Racing). Pertamina saat ini juga melayani 56 Depot Pengisian Pesawat
Udara (DPPU) di seluruh Indonesia dan Timor Leste.81

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan


Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Migas.

Sektor minyak dan gas di Indonesia merupakan salah satu sektor vital dan
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal itu dapat terlihat
selama kurun waktu tahun 1992 sampai tahun 1999, kontribusi sektor migas pada
Produk Domestik Bruto Indonesia selalu berada diatas angka 8% (tabel 3)
Tabel 3 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993)

PDB migas PDB migas terhadap


Tahun
(Miliar Rp) PDB nasional (%)

1992 8,395.2 10.54


1993 8,382.9 9.68
1994 8,566.1 9.52
1995 8,371.7 8.49
1996 9,008.5 8.29
1997 8,809.9 8.02
1998 8,680.3 9.66
1999 8,668.7 9.16
Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)
Sementara itu, pada periode tahun 2000 sampai tahun 2012 kontribusi
sektor migas terhadap PDB Indonesia mempunyai kecenderungan menurun.
80
Loc.cit
81
Diakses dari situs resmi Pertamina http://www.pertamina.com/company-profile/jaringan pada
tanggal 15 Mei 2014.
36

Penurunan kontribusi ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor migas pada
tahun 2000 yaitu 14.2% menjadi 5.29% pada tahun 2012 (tabel 4). Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah penurunan alami cadangan
minyak bumi karena proses eksploitasi yang berlebihan, semenjak tahun 2004
Indonesia menjadi negara Net Oil Importer karena ketidakmampuan produksi
domestik untuk memenuhi konsumsi BBM yang semakin meningkat serta
realisasi pengeboran eksplorasi di blok-blok baru sejak keberadaan Undang-
Undang Migas terus anjlok.
Menurut Kurtubi:82
“Penemuan cadangan/lapangan baru menjadi langka. Lifting minyak terus
turun karena hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua.
Sasaran lifting dalam APBN setiap tahun, pasca- Undang-Undang Migas,
nyaris tidak pernah tercapai. Indonesia berubah dari negara pengekspor
minyak yang tergabung dalam OPEC jadi negara pengimpor minyak netto.
Indonesia harus keluar dari OPEC.”
Tabel 4 PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000)

PDB migas
PDB migas
Tahun terhadap PDB
(Miliar Rp)
nasional (%)

2000 43,736 14.2


2001 41,312 13.10
2002 40,086 12.00
2003 38,968 11.10
2004 37,540 9.90
2005 36,455 9.00
2006 36,468 8.50
2007 35,723 7.80
2008 35,660 7.40
2009 36,094 7.04
2010 35,626 6.48
2011 35,626 6.05
2012 33,243 5.29
Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Penurunan produksi dan ketergantungan produk impor pada sektor migas


ini sepertinya tidak terlalu menjadi fokus utama pemeritah Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh masih tingginya penerimaan/pendapatan negara yang dihasilkan
oleh sektor migas. Penerimaan sektor migas ini berkontribusi ±30% pada total
penerimaan pemerintah dan nilainya terus meningkat setiap tahunnya. (tabel 5)
Hal yang menyebabkan masih tingginya dan meningkatnya penerimaan
pemerintah dikala produksi sektor migas ini menurun adalah harga migas di pasar
cenderung mengalami peningkatan. Untuk minyak bumi saja, pada tahun 1992
harganya masih dikisaran Rp. 43,934/barel pada tahun 2012 harganya meningkat
82
Kurtubi. 2012. Migas Untuk Kemakmuran Rakyat. KOMPAS Kamis, 20-09-2012. Halaman: 6
37

ke kisaran Rp. 984,276/barel. Sedangkan untuk gas bumi, pada tahun 1992
harganya berada pada kisaran Rp. 8,724/scf dan pada tahun 2012 harganya
melonjak ke kisaran Rp. 170,239/scf (tabel 6). Hal tersebut disebabkan banyak hal
diantaranya semakin menurunnya produksi dunia dan permintaan semakin
meningkat, selain itu dipengaruhi oleh iklim ekonomi dunia yang berdampak pada
pembentukan harga komoditi migas ini.
Tabel 5 Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar
Rupiah)
PPh Penerimaan Minyak Gas
Tahun Migas Migas Bumi Alam Total
1992 - 15,331 12,092 3,239 30,662
1993 - 12,503 9,447 3,056 25,006
1994 - 13,537 10,004 3,533 27,074
1995 - 16,055 11,964 4,091 32,110
1996 - 20,137 14,783 5,354 40,274
1997 - 31,208 22,913 8,295 62,416
1998 - 41,368 25,957 15,411 82,736
1999 - 28,603 15,070 13,533 57,206
2000 18,652 66,661 50,953 15,708 151,974
2001 23,102 81,041 58,950 22,091 185,184
2002 17,469 60,011 47,686 12,325 137,491
2003 18,963 61,502 42,969 18,533 141,967
2004 22,947 85,259 63,060 22,199 193,465
2005 35,143 103,762 72,822 30,940 242,667
2006 43,188 158,086 125,145 32,941 359,360
2007 44,001 124,784 93,605 31,179 293,569
2008 77,019 211,617 169,022 42,595 500,253
2009 50,044 125,752 90,056 35,696 301,548
2010 58,873 152,733 111,815 40,918 364,339
2011 73,096 193,491 141,304 52,187 460,078
2012* 60,671 157,325 114,392 42,934 375,322
Sumber: Kementrian Keuangan (diolah)
*angka sementara
Peningkatan penerimaan pemerintah ini juga diikuti oleh peningkatan biaya
cost recovery. Secara teknis, harusnya ketika terjadi penurunan produksi, biaya
yang dikeluarkan juga semestinya turun karena cost recovery merupakan biaya
yang dikeluarkan pemerintah untuk mengganti biaya operasional/biaya produksi
yang dikeluarkan oleh kontraktor. Hal tersebut disebabkan oleh masih tingginya
ketergantungan kontraktor terhadap sumur-sumur tua sehingga biaya produksi
semakin tinggi dan biaya pemeliharaan yang juga tinggi.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur tua adalah
dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR).83 Meskipun biaya untuk proyek
EOR ini tinggi, tetapi resiko kontraktor tidak sebesar untuk melakukan kegiatan

83
Fauzia Seftyandra. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) Sektor Migas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hal 42
38

eksplorasi, karena untuk kegiatan eksplorasi apabila kontraktor gagal menemukan


cadangan migas maka segala biaya dan kerugian ditanggung oleh kontraktor dan
tidak mendapatkan cost recovery.
Tabel 6 Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012

Produksi Harga Cost


Minyak Bumi Minyak Bumi Gas Alam Recovery
Tahun
& Kondensat Gas Alam & Kondensat (rupiah/S (Juta
(ribu barel) (MSCF) (rupiah/barel) CF) Rupiah)
1992 550660 1788848.2 43 934.70 8 724.24 -
1993 547430 2755280.1 35 419.87 6 773.10 -
1994 551140 2941622 35 086.33 7 106.00 -
1995 546980 2966781.4 38 668.74 7 992.83 -
1996 548648.3 3164016.2 47 634.34 9 122.97 -
1997 543752.6 3166034.9 52 395.61 10 496.43 -
1998 534892 2978851.9 149 270.60 30 024.40 -
1999 494643 3068349.1 83 100.18 16 547.94 -
2000 484393.3 2845532.9 94 922.13 19 022.92 -
2001 480116.1 3765828.5 109 097.64 21 865.09 -
2002 397308.5 2289373.9 234 114.20 41 343.99 16 426.32
2003 383700 2142605 248 121.13 42 785.87 16 416.94
2004 404992.9 3026069.3 338 121.48 52 714.46 21 348.98
2005 387653.5 2985341 519 751.40 68 468.08 26 541.89
2006 357477.4 2948021.6 588 703.37 73 738.66 26 359.90
2007 348348 2805540.3 651 017.44 76 940.15 26 801.95
2008 358718.7 2790988 919 625.36 111 117.46 39 859.91
2009 346313 2887892.2 633 056.87 77 078.85 26 693.41
2010 344888 3407592.3 717 860.31 85 234.12 29 396.22
2011 329249.3 3256378.9 912 288.53 136 436.57 44 921.65
2012 314665.9 2982753.5 984 276.63 170 239.27 53 568.49
*data produksi migas didapat dari Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Badan Pusat Statistik (BPS)
**harga minyak bumi dan gas bumi didapat dari World Bank dalam situs
www.indexmundi.com yang sudah di konversi ke rupiah
***data cost recovery didapat dari BP Migas dan sudah di konversi ke rupiah
Masih tergantungnya kontraktor terhadap sumur-sumur tua juga dapat
terlihat dari besaran investasi pada sektor migas. Selama periode tahun 1995-2007
saja proporsi eksplorasi terhadap total investasi yang dikeluarkan
investor/kontraktor masih kecil yaitu dikisaran angka 4%-13% saja. Kecilnya
rasio di sektor eksplorasi itu diikuti juga oleh penemuan minyak yang semakin
turun (tabel 7)
Menurut Kurtubi: 84
“Secara teoretis, mestinya penemuan cadangan minyak di Indonesia akan
sangat tinggi. Sebab, berdasarkan penelitian, elastisitas penemuan
cadangan minyak di Indonesia lebih bersifat price elastic. Artinya, laju

84
Kurtubi. 2012. Migas Untuk Kemakmuran Rakyat. Loc.Cit
39

penemuan cadangan di Indonesia sangat dipengaruhi perkembangan harga


minyak dunia, di mana laju penemuan cadangan akan lebih tinggi dari laju
kenaikan harga. Namun, nyatanya, penemuan cadangan baru pasca-UU
Migas nyaris tak ada meski harga minyak dunia terus naik. Satu-satunya
penemuan baru yang signifikan, bisa tambah lifting 165.000 bbls per hari,
adalah Blok Cepu. Itu pun ditemukan sebelum UU Migas.”
Tabel 7 Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak
Tahun 1995-2007

Proporsi Eksplorasi
Penemuan Minyak
Tahun Terhadap Total
(MMBL)
Investasi
1995 9% 41
1996 8% 55
1997 11% 98
1998 13% 66
1999 6% 76
2000 5% 15
2001 5% 6
2002 4% 26
2003 5% 19
2004 5% 20
2005 7% 31
2006 6% 14
2007 5% 15
Sumber: BP Migas dalam ReforMiner’s Policy Review Edisi: #1, Juli 2012. Hal 2

Pernyataan tersebut sesuai dengan data pada tabel 7 yang mana penemuan
minyak semakin menurun tetapi harga minyak (pada tabel 6) menunjukan
kenaikan yang sangat drastis. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, selain
faktor kualitas data geologi, koordinasi yang buruk, dan tumpang tindih lahan,
faktor masih tingginya angka korupsi Indonesia serta tata kelola yang buruk
menjadi penyebab utamanya. Tata kelola sistem perminyakan di Indonesia
menempatkan Indonesia sebagai negara ke-114 dari 135 negara yang di survei
oleh Fraser Institute Canada dalam laporannya, "Global Petroleum Survey 2011".
Di kawasan Asia-Oceania, sistem tata kelola migas di Indonesia paling buruk,
lebih buruk daripada semua negara tetangga, termasuk Timor Leste.85

Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan


Pengelolaan Migas di Indonesia.

Analisis Deskriptif
Indikator kinerja migas dilihat dari variabel-variabel yang digunakan pada
model yang telah disebutkan di bab metodologi penelitian yang mana variabel-
varaibel tersebut adalah variabel pertumbuhan output (GO) yang merupakan

85
Loc.cit
40

variabel dependen (Y) sedangkan variabel independennya adalah variabel


pertumbuhan modal (GK), variabel pertumbuhan tenaga kerja (GL) dan variabel
pertumbuhan kemajuan teknologi (GT). Laju pertumbuhan indikator-indikator
tersebut dapat dilihat dari Gambar 17 dan Gambar 18.

Gambar 17 Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 1993-2001


Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)

Gambar 18 Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 2002-2012


Sumber: BPS RI, 2013 (diolah)
Gambar 17 menunjukan laju pertumbuhan indikator kinerja sektor migas
sebelum liberalisasi (Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001) dan Gambar 18
menunjukan indikator kinerja sektor migas setelah liberalisasi tahun 2001. Pada
Gambar 17 dapat terlihat laju semua variabel tumbuh relatif stabil pada rentang
angka -50 sampai 50 kecuali pada tahun 1998 variabel pertumbuhan modal (GK)
meningkat tajam. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh krisis moneter
yang dialami Indonesia sehingga meningkatkan biaya input yang dikeluarkan oleh
perusahaan-perusahaan. Peningkatan biaya input (modal) tersebut tidak diikuti
41

oleh peningkatan ouput secara signifikan. Meskipun begitu selama kurun waktu
tahun 1993-2001, laju pertumbuhan output (GO) tidak pernah bernilai negatif.
Pada Gambar 18 variabel-variabel indikator kinerja sektor migas cenderung
mengalami penurunan. Variabel pertumbuhan output (GO) sempat mengalami
kenaikan sampai pada tahun 2004, setelah itu mengalami penurunan. Salah satu
penyebabnya adalah pada tahun 2004 Indonesia menjadi negara Net Oil Importer
karena tingginya permintaan domestik terhadap BBM yang menyebabkan
produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Variabel
pertumbuhan modal (GK) mengalami kenaikan pada tahun 2003. Hal itu diduga
disebabkan oleh transformasi Pertamina menjadi Perseroan Terbatas (PT) dan
sektor hilir migas diliberalisasi yang menyebabkan banyaknya perusahaan asing
yang mulai masuk dan berinvestasi pada sektor hulu dan hilir migas. Tetapi
kenaikan tersebut tidak berlangsung lama karena setahun setelahnya (tahun 2004)
laju pertumbuhan modal turun drastis.
Variabel kemajuan teknologi (GT) juga mengalami hal serupa pada tahun
2004 meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami kenaikan.
Penurunan kemajuan teknologi ini diduga disebabkan oleh kontraktor-kontraktor
bagi hasil yang hanya berproduksi pada sumur tua sehingga efektifitas tenaga
kerja menjadi berkurang. Variabel pertumbuhan tenaga kerja sempat mengalami
kenaikan pada tahun 2004 tetapi pada tahun-tahun berikutnya tidak ada kenaikan
pertumbuhan tenaga kerja yang signifikan bahkan setelah tahun 2007
pertumbuhannya terus negatif.

Tahap Evaluasi Pemilihan Model


Dengan menggunakan metode regresi dengan peubah dummy maka nanti
akan terlihat bagaimana pengaruh liberalisasi tahun 2001 terhadap kinerja sektor
migas yang di proksikan dengan variabel pertumbuhan output (GO) sebagai
variabel dependen (Y) serta variabel GK, GL, dan GT yang masing-masing
sebagai variabel indipendennya. Setelah dilakukan analisis menggunakan
Augmented Dickey Fuller Test, maka model yang terbaik adalah dengan
menggunakan Ordinary Least Square (OLS) karena semua variabel stasioner pada
level.
Tabel 10 Hasil Uji Stationeritas
Variabel Level First Difference Second Difference
Y (GO) Stationer - -
X1 (GK) Stationer - -
X2 (GL) Stationer - -
X3 (GT) Stationer - -

Pengujian Asumsi Klasik


A. Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Breusch-Pagan-
Godfrey. Dari hasil output yang didapatkan, maka tidak ada masalah
heteroskedastisitas pada model tersebut karena nilai Prob. Chi-Square (4) lebih
besar dari taraf nyata 10% yaitu sebesar 0.2649
42

Tabel 8 Output Uji Heteroskedastisitas


Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 4.641806 Prob. F(4,15) 0.0122


Obs*R-squared 11.06271 Prob. Chi-Square(4) 0.0259
Scaled explained SS 5.225799 Prob. Chi-Square(4) 0.2649

B. Autokorelasi
Pada uji autokorelasi, setelah diuji menggunakan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test didapatkan nilai yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen,
yaitu sebesar 0.2452 sehingga dapat disimpulkan model ini bebas dari masalah
autokorelasi.
Tabel 9 Output Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.063069 Prob. F(2,13) 0.3736


Obs*R-squared 2.811212 Prob. Chi-Square(2) 0.2452

C. Uji Normalitas
Dari histogram pada gambar 19 nilai Jarque-Bera (JB) model ini sebesar
0,545668 dan lebih besar pada taraf nyata 10%. Dari histogram juga terlihat
bahwa eror menyebar normal .
5
Series: Residuals
Sample 1993 2012
4 Observations 20

Mean 2.89e-15
3 Median -1.385280
Maximum 11.48435
Minimum -10.65671
2 Std. Dev. 5.916163
Skewness 0.371526
Kurtosis 2.679572
1
Jarque-Bera 0.545668
Probability 0.761219
0
-10 -5 0 5 10

Gambar 19 Sebaran Error Model


43

Hasil Estimasi
Setelah dilakukan regresi berganda dengan metode estimasi OLS didapatkan
hasil output seperti yang tertera pada Tabel 10. Model tersebut mempunyai nilai
R-Squared sebesar 0.896787 yang artinya bahwa sebesar 89.67 persen persamaan
tersebut dapat dijelaskan oleh variabel-variabel di dalam model dan sisanya yaitu
sebesar 10.33 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistic
sebesar 0.00000 dan lebih kecil dari taraf nyata manapun (baik 10%, 5%, dan 1%)
yang berarti model ini signifikan.
Dari keempat variabel independen tersebut, variable yang secara signifikan
mempengaruhi pertumbuhan output adalah variabel pertumbuhan tenaga kerja
(GL) dan variabel kemajuan teknologi (GT), sedangkan variabel pertumbuhan
kapital (GK) dan variabel dummy tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan
output pada taraf nyata manapun.
Nilai koefisien variabel GK sebesar 0.046237 dengan nilai koefisien yang
positif berarti ketika laju pertumbuhan modal naik sebesar 1 persen maka akan
meningkatkan laju pertumbuhan ouput sebesar 4.62 persen dengan asumsi cateris
paribus dan variabel tersebut signifikan. Kecilnya pengaruh variabel
pertumbuhan modal ini diduga disebabkan oleh investasi yang masuk menjadi
modal tidak terlalu meningkatkan output karena kecilnya investasi pada sektor
eksplorasi yang menyebabkan kegiatan produksi hanya fokus terhadap sumur-
sumur tua yang menghabiskan biaya yang besar dengan hasil yang tidak terlalu
besar.
Tabel 10 Hasil Estimasi Model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

GK 0.046237 0.034457 1.341858 0.1996


GL 1.156602 0.144925 7.980692 0.0000
GT 0.871201 0.099993 8.712600 0.0000
Dummy 5.083365 3.059802 1.661338 0.1174
C -3.871214 2.907764 -1.331337 0.2030

R-squared 0.896787 Mean dependent var 15.89000


Adjusted R-squared 0.869264 S.D. dependent var 18.41508
S.E. of regression 6.658422 Akaike info criterion 6.841960
Sum squared resid 665.0188 Schwarz criterion 7.090893
Log likelihood -63.41960 Hannan-Quinn criter. 6.890554
F-statistic 32.58275 Durbin-Watson stat 2.421649
Prob(F-statistic) 0.000000

Variabel pertumbuhan tenaga kerja (GL) signifikan mempengaruhi


pertumbuhan output pada taraf nyata manapun dan menunjukan nilai koefisien
positif sebesar 1.156602 yang berarti bahwa ketika laju pertumbuhan tenaga kerja
naik sebesar 1 persen akan meningkatkan laju pertumbuhan output sebesar 115.66
persen dengan asumsi cateris paribus. Variabel pertumbuhan teknologi juga
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan output. Nilai
koefisien sebesar 0.871201 dan bertanda positif menunjukkan bahwa ketika
44

terjadi pertumbuhan kemajuan teknologi (GT) sebesar 1 persen maka akan


meningkatkan pertumbuhan output sebesar 87.12 persen dengan asumsi cateris
paribus. Variabel GT yang signifikan menunjukan bahwa teknologi sangat
berperan pada efisiensi sektor migas dalam meningkatkan ouput.
Variabel terakhir yang menjadi indikator adanya pengaruh liberalisasi tahun
2001 yaitu variabel dummy, tidak signifikan pada taraf nyata manapun. Hal
tersebut menunjukan bahwa regulasi atau Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan output sektor
migas meskipun koefisiennya bernilai positif dengan nilai 5.083365.

Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di


Indonesia.

Sebagai salah satu sektor penyumbang terbesar di Indonesia, tentu sektor


migas merupakan sektor strategis yang mana pemerintah berhak untuk turut
campur dalam pemanfaatannya karena menyangkut kebutuhan pokok bagi rakyat
dan pembangunan nasional. Tetapi dalam pelaksanaanya, sektor migas ini tidak
jarang menimbulkan celah-celah yang dimanfaatkan oleh individu/oknum tertentu
agar dapat memperoleh keuntungan atau biasa disebut aktivitas perburuan rente
(rent seeking activity).
Hal yang menjadi penyebab terjadinya rent seeking activity menurut
Buchanan dalam Yustika86 adalah adanya hambatan masuk ke pasar (barrier to
entry) dan persaingan pasar yang tidak sempurna (imperfect competition). Artinya
ketika adanya kedua hambatan tersebut, para pelaku ekonomi lain akan berusaha
sekuat tenaga dan melakukan lobi-lobi kepada pemerintah agar mereka dapat
masuk pasar atau mendapatkan lisensinya. Hal tersebut sesuai dengan kondisi
sektor migas pada waktu sebelum liberalisasi (sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001) yang mana Pertamina merupakan perusahaan milik
negara yang mempunyai peran penuh dalam kegiatan di sektor migas, atau dengan
kata lain merupakan perusahaan yang diberi hak monopoli oleh pemerintah untuk
mengelola migas di Indonesia.
Dengan adanya hak monopoli tersebut, pesaing asing (dalam hal ini
perusahaan minyak asing) tidak dapat masuk ke Indonesia selain harus
bekerjasama dengan Pertamina melalui sistem Production Sharing Contract
(PSC). Hal itu mendorong perusahaan asing untuk melakukan motif-motif lobi
kepada pemerintah Indonesia agar bisa masuk dan mengelola migas di Indonesia
dengan adanya tuntutan untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001.
Beberapa ahli menyatakan bahwa ada beberapa lembaga internasional yang
ikut campur dalam perancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini.
Diantaranya:
“...Bahwa sesuai dokumen yang ahli miliki sangat jelas dibuktikan bahwa
yang merancang Undang-Undang Migas adalah US Departement Energy
(USAID). Dalam dokumen ini bahkan dibuktikan jika masyarakat marah
karena kenaikan energi, suap secara politik. Oleh karena itu, USAID
bekerja sama dengan Eddy Bidden dari Bank Dunia, termasuk dengan

86
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 110
45

sejumlah lembaga multilateral, bagaimana merealisasikan Undang-Undang


ini.” –Ichsanudin Noorsy87
“...Konspirasi jahat telah melumpuhkan “Pertaminanya” Ibnu Sutowo.
Pelumpuhan ini makin nyata di kemudian hari sebagai skenario jahat
melalui hegemoni legislasi yang melahirkan UU no. 22 tahun 2001 yang
terkenal dengan nama UU Migas 2001, yang menggantikan UU no. 8 tahun
1971 tentang Pertamina. UU migas no. 22 tahun 2001 lahir dari Letter of
Intent yang dipaksakan IMF.” –Sri Edi Swasono88
“... RUU ini terlalu terkonsentrasi untuk "mengambil alih" peran dan tugas
Perusahaan Minyak Negara seperti yang diatur dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 44 Tahun 1960, UU No 15/ 1962, dan UU No 8/1971.
Perebutan lahan inilah yang menjadi tema sentral dari RUU ini, sehingga
melupakan masalah utama yang dihadapi oleh bangsa ini.” –Kurtubi89
“...Pemerintah AS lewat USAID mengucurkan dana jutaan dolar agar
program deregulasi, pencabutan/pengurangan subsidi (penaikan harga) dan
reformasi bidang energi di Indonesia dapat terlaksana. Untuk itu melalui
kerjasama antara USAID dengan pejabat Indonesia dengan melibatkan
ormas/LSM, media, dan Universitas telah berhasil menyelesaikan draft UU
Migas tahun 2000. Selanjutnya pada tahun 2001 USAID mengucurkan dana
lagi ke LSM-LSM dan Universitas-Universitas untuk berkampanye masalah
penghapusan subsidi energi.” –Sugiaryo90
Dari pernyataan beberapa ahli tersebut terlihat bahwa perusahaan minyak
multinasional (MNOC) menggunakan lembaga-lembaga internasional untuk
mendesak pemerintah Indonesia agar sektor migas diliberalisasi dan mereka bisa
masuk ke industri minyak Indonesia.
Tetapi apabila berdasarkan proposisi Buchanan diatas, maka ketika
hambatan masuk ditiadakan dan adanya peningkatan persaingan di pasar
seharusnya aktivitas perburuan rente akan menghilang secara sendirinya. Hal
tersebut tidak sesuai dengan kasus yang ada di Indonesia, meski sektor migas
telah diliberalisasi pada tahun 2001, kasus-kasus rent seeking activity semakin
banyak terungkap setelahnya.
Menurut data dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (BPK-RI) setidaknya ada 23 temuan yang teraudit BPK-RI dari tahun
2004-2012. Temuan-temuan tersebut sebagian besar merupakan temuan-temuan
BPK-RI mengenai kejanggalan laporan cost recovery dan bagi hasil kontraktor
(perusahaan) migas di Indonesia yang apabila dijumlahkan sampai tahun 2012
potensi kerugian negara adalah sebesar US$ 3,317,208,033 atau apabila memakai
kurs rupiah terhadap dollar sebesar 10.000, maka hasilnya sebesar ±33 triliun
rupiah dan apabila dirata-ratakan, maka kerugian negara setiap tahunnya adalah
3,67 triliun/tahun dari kejanggalan laporan cost recovery dan bagi hasil tersebut.

87
Pendapat tersebut dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 halaman 35
yang mana posisi Ichsanuddin Noorsy sebagai Ahli dalam persidangan Mahkamah.
88
Sri-Edi Swasono dalam KH Ramadhan. 2008. Op.cit. hal 514
89
Kurtubi. 2001. HINDARI KEHANCURAN SISTEM PERMINYAKAN NASIONAL.
KOMPAS, Senin, 02-07-2001. Halaman: 32
90
Sugiaryo. 2011. Op.Cit. hal 227
46

Tabel 16 Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil Sektor
Migas tahun 2004-2012
Jumlah
Tahun Temuan Potensi Kerugian Negara (US Dollar)
2004 1 1 635 513 163
2005 0 0
2006 0 0
2007 2 1 318 577 701
2008 0 0
2009 4 56 637 864
2010 5 181 149 411
2011 3 50 917 828
2012 8 74 412 066
Total 23 3 317 208 033
Sumber: Laporan Audit BPK-RI tahun 2004-2012 (diolah)
Dari data tabel 16 diatas dapat terlihat meskipun sektor migas telah
diliberalisasi tetapi rent seeking activity di sektor migas masih tetap ada dan
semakin banyak yang terungkap. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yang
pertama apabila dianalisis dari lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
itu sendiri yang mana regulasi tersebut merupakan hasil lobi para pemburu rente
(MNOC dan lembaga internasional lainnya) kepada pemerintah sehingga regulasi
tersebut banyak menimbulkan distorsi. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan
Krueger dalam Yustika yang mana dia menjelaskan bahwa ketika adanya lobi-lobi
pemburu rente untuk mendapatkan lisensi dari pemerintah (atau dalam hal ini lobi
MNOC untuk perancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) maka hal itu
akan mendistorsi alokasi sumber daya alam sehingga tidak efisien.91
Dalam kasus sektor migas disini, distorsi tersebut adalah ketika regulasi itu
memaksakan sektor migas agar diliberalisasi tetapi disisi lain hal itu bersebrangan
dengan ideologi ekonomi negara Indonesia khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3 dan
tetap dipaksakan sehingga menghasilkan liberalisasi yang semu. Maksud
liberalisasi semu disini adalah liberalisasi yang diterapkan tidak sepenuhnya
diserahkan melalui market mechanism karena masih adanya peran pemerintah
atau dalam hal ini adalah BP Migas/SKK Migas.
Peran BP Migas/SKK migas juga jelas akan menimbulkan banyaknya rent
seeking activity. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah peran BP
Migas/SKK Migas yang bukan entitas bisnis, melainkan BHMN (Badan Hukum
Miliki Negara) yang tidak dilengkapi oleh Majelis Wali Amanah/Dewan
Komisaris yang melakukan kontrol. Dengan kedudukannya yang bukan entitas
bisnis maka BP Migas/SKK Migas tidak dapat melakukan penjualan migas
sehingga harus menunjuk pihak ketiga. Menurut Kurtubi:92
“BP Migas, SKSP Migas, dan SKK Migas pada hakikatnya "makhluk" yang
sama. Ketiganya sama-sama lembaga pemerintah non-bisnis yang tidak
bisa menjual sendiri migas milik negara, tetapi harus melalui pihak ketiga,
sehingga terbuka peluang bagi para pemburu rente (trader/calo) untuk
91
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 109
92
Kurtubi. 2013. Membenahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Jumat, 08-02-2013. Halaman: 6
47

menyedot uang negara meski lewat mekanisme "tender". Ketiga lembaga


pemerintah ini sama-sama tak bisa mengoperasikan lapangan/blok produksi
yang sudah selesai kontrak sehingga terbuka ruang rekayasa untuk
memperpanjang kontrak atau dioper ke kontraktor/pemburu rente yang
lain.”
Selain dari masalah penjualan, masalah dalam pemberian ijin pengelolaan
sebuah wilayah kerja untuk kontraktor juga dapat menimbulkan celah bagi para
pemburu rente. Terkadang untuk dapat masuk dan mendapatkan ijin mengelola
sebuah wilayah kerja, para calon kontraktor berusaha me-lobi pemerintah
meskipun sistem yang digunakan untuk mendapatkan lisensi kontrak tersebut
adalah sistem lelang. Mekanisme pemberian lisensi inilah yang dikritik oleh
Krueger yang pada waktu itu mengkritisi sistem kebijakan lisensi impor. Menurut
Krueger (dalam Dasguta, 1998:28) dalam Yustika:93
“Bila kebijakan lisensi impor yang digunakan, maka proses pembuatan
kebijakan tersebut akan mudah dimasuki oleh pemburu rente sehingga
hanya individu yang memiliki akses terhadap pembuat kebijakan yang akan
mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, seperti izin lisensi impor”
Selain penyebab-penyebab diatas yang mendasari kenapa aktivitas
perburuan rente masih marak meskipun sudah diliberalisasi, menurut pendapat
Firdaus Ilyas,94 setidaknya ada beberapa penyebab kenapa sektor migas ini sering
menimbulkan celah bagi para pemburu rente dalam mengambil keuntungannya.
Penyebab itu antara lain:
a. Pengelolaan sektor migas yang cenderung tertutup dan bersifat sangat
teknis. Pengelolaan sektor migas yang tertutup jelas tidak dapat dikatakan
baik. Karena semakin tertutup sebuah entitas bisnis, maka akan semakin
besar potensi untuk melakukan tindakan penyimpangan.
b. Rantai pengelolaan migas yang panjang. Pengelolaan migas yang terjadi
dari sektor hulu sampai hilir melibatkan banyak pihak dan melalui proses
yang panjang. Dimulai pada sektor hulu yang mana diadakannya lelang
untuk suatu wilayah kerja, kemudian suatu perusahaan mulai berproduksi
dan hasilnya diolah menjadi produk siap jual lalu diserahkan pada
perusahaan di sektor hilir. Panjangnya rantai pengelolaan migas ini sering
dimanfaatkan oleh oknum-oknum di level tertentu untuk melakukan
tindakan penyimpangan.
c. Kelembagaan pengelolaan yang masih belum bersih dari korupsi baik itu
dari kementriannya, badan pelaksananya (BP dan BPH Migas) serta pada
perusahaan/kontraktornya.
d. Instrumen pengawasan yang kurang tegas. Hal ini menyebabkan kasus-
kasus seperti kejanggalan dalam pencatatan lifting migas, ketidakwajaran
biaya cost recovery dan bagi hasil sering terulang.
Pengelolaan sektor migas yang tertutup masih menjadi persoalan yang
klasik. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas pasal 3
ada ayat 2 menerangkan bahwa tujuan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 itu adalah menjamin proses akuntabel, transportasi, penyimpanan dan usaha
komersial melalui persaingan usaha yang sehat dan transparan. Tetapi pada
kenyataannya ketransparanan sektor migas masih belum maksimal, apalagi
93
Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 109
94
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)
48

sekarang di era digital ketransparanan sektor migas harus bisa diakses publik agar
publik lebih dapat mengawasi situasi dan perkembangan sektor migas. Selain itu
menurut Johan Budi, 95 transparansi kebijakan SKK Migas dalam tender
pengadaan minyak masih belum transparan.
Rantai pengelolaan migas yang panjang juga merupakan persoalan
dilematis. Di satu sisi memberikan nilai tambah bagi pengusahaan sektor migas,
tetapi pada sisi lain menimbulkan banyak celah bagi para pemburu rente untuk
mengambil keuntungan pribadi. Apalagi dengan adanya peraturan bahwa
pemerintah tidak bisa menjual minyak hasil bagi hasilnya sendiri melainkan harus
menunjuk pihak ke-tiga (calo/trader). Hal ini menyebabkan hilangnya kedaulatan
negara untuk pengusahaan migas. Permainan lisensi ini baik lisensi untuk
produksi dan lisensi untuk penjualan hasil minyak oleh pihak ketiga sangat tidak
efisien seperti yang dikemukakan oleh Krueger diatas.
Selanjutnya ada studi dari Transparency International (TI) Indonesia, 96
mengenai transparansi ekonomi ekstraktif di Indonesia yang menerangkan
sedikitnya ada 14 celah peluang korupsi di Indonesia (dalam hal ini pembebanan
biaya cost recovery). Hal tersebut adalah:
1. Peluang korupsi terdapat pada pengadaan peralatan karena terdapat
pilihan membeli atau menyewa. Kontraktor pada umumnya lebih senang
menyewa. Padahal, kalau membeli peralatan, barang itu akan jadi milik
negara.
2. Dalam setiap kontrak kontraktor Production Sharing (KPS), biaya yang
terjadi di luar masa eksplorasi dan eksploitasi, termasuk biaya
pemasaran, tidak boleh dibebankan dalam biaya yang diganti dari hasil
minyak milik pemerintah. Tetapi, terkadang KPS meminta penggantian
di luar biaya yang dapat diganti.
3. KPS juga melakukan pembebanan biaya produksi gas ke beban
produksi minyak sehingga mengurangi bagian pemerintah dari bagi hasil
karena kontraktor akan mendapatkan bagian yang lebih besar dalam
produksi gas daripada produksi minyak. Hal itu dilakukan KPS karena
biaya produksi minyak sebesar 85 persen untuk pemerintah dan 15
persen pengusaha, sementara dalam produksi gas hanya 65 persen untuk
pemerintah dan 35 persen untuk kontraktor.
4. Biaya kantor pusat di luar negeri juga sering dimasukkan dalam biaya
operasi KPS di Indonesia. Dengan demikian, menambah biaya yang
diganti pemerintah dari migas yang dihasilkan.
5. Beberapa KPS di Indonesia juga berada di bawah operator atau
perusahaan induk yang sama dan banyak kontrak KPS yang telah
berproduksi maupun belum. Padahal, biaya yang diganti adalah dari
KPS yang berproduksi.
6. Peluang korupsi juga terdapat dalam jual beli kepemilikan saham
perusahaan pada suatu daerah kontrak antar-investor. Pasalnya, biaya
tersebut dengan mudah disisipkan ke dalam biaya yang diganti.
Sebenarnya, perpindahan hak pengusahaan yang dilakukan di luar

95
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
96
Transparency International (TI) Indonesia dalam Kompas.2005. Minyak dan Gas 14 “celah”
Buka Peluang Korupsi. KOMPAS Kamis, 14-07-2005. Halaman: 18
49

wilayah Indonesia tak boleh dimasukkan ke dalam komponen biaya


yang harus diganti karena merupakan bagian dari biaya akuisisi.
7. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa KPS mempercepat
pembebanan biaya ke biaya operasi yang berjalan sehingga mengurangi
bagian pemerintah dalam tahun berjalan.
8. Korupsi juga terjadi dalam biaya pelatihan tenaga kerja KPS karena
terbuka peluang untuk dibebankan ke dalam biaya yang harus diganti
pemerintah, padahal tak termasuk biaya eksplorasi dan eksploitasi.
9. Jumlah minyak yang dipompa (lifting) sering tidak diaudit pengawas
dan hanya mempercayai dokumen yang ada.
10. Ada pemberian kredit investasi yang melebihi atau melanggar ketentuan
kontrak.
11. Seharusnya, barang stok hanya dibebankan kalau sudah sampai di
Indonesia, namun diduga ada banyak pembebanan stok sebelum masuk
ke Indonesia.
12. Pembebanan dari kantor pusat banyak yang melebihi 2 persen.
13. Sangat sulit untuk memisahkan dan menentukan mana biaya operasional
yang benar-benar untuk mendukung biaya operasi di Indonesia dan
mana yang bukan. Terutama untuk perusahaan-perusahaan
multinasional. Pos ini kemungkinan besar telah melebihi ketentuan.
14. Biaya eksplorasi dan eksploitasi yang diganti merupakan kunci
meningkatkan pendapatan negara. Bahkan, tanpa "celah" korupsi pun,
biaya yang harus diganti pasti naik terus karena tak ada insentif bagi
kontraktor untuk menekan biaya
Selain itu dalam hal lembaga pengelola (dalam hal ini SKK Migas) masih
jauh dari kata good governance. Terungkapnya kasus Rudi Rubiandini akhir-akhir
kemarin seolah menjadi titik terang bagi pengungkapan mafia migas di Indonesia.
Dari sisi lembaga pengelolanya saja, banyak petinggi-petinggi SKK Migas yang
korup. Rudi terbukti menerima uang dari sejumlah pejabat SKK Migas. Pertama
dari Wakil Kepala SKK Migas Yohanes Widjonarko sekitar US$ 600 ribu. Kedua,
dari Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas, Gerhard Rumesser,
sebesar US$ 150 ribu dan US$ 200 ribu. Uang sebesar US$ 150 ribu lalu
diberikan kepada Waryono Karno, Sekretaris Jenderal ESDM.97
Apabila lembaga pengelolanya korup sudah dapat dipastikan hasil
kebijakan/instrumen kebijakannya juga tidak baik. Termasuk Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 yang terus dipertahankan oleh para kaum teknokrat dan
birokrat yang merasa diuntungkan dengan adanya regulasi tersebut. Hal itu terlihat
dari pernyataan Rudi Rubiandini yang secara tegas mempertahankan Undang-
Undang tersebut. Rudi menilai peningkatan pendapatan negara tidak perlu dengan
mengubah undang-undangnya, tetapi jenis kontrak lebih terbuka dan bervariasi,
termasuk besaran share sesuai kondisi wilayah kerja. Menurut Rudi:98

97
Singgih Soares. 2014. Ini Seluruh Aliran Uang ke Rudi dalam Vonis. Tempo.co: Selasa, 29
April 2014 http://www.tempo.co/read/news/2014/04/29/063574239/Ini-Seluruh-Aliran-Uang-ke-
Rudi-dalam-Vonis
98
Kompas. 2010. MINYAK DAN GAS BUMI: Benahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Kamis, 22-
07-2010. Halaman: 19
50

"Sistem pengelolaan migas juga harus diperbaiki sehingga


penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan dengan meminimalkan
proses persetujuan,"
Pernyataan tersebut bak seperti “menelan ludah sendiri”, ditambah
pernyataan sebelumnya mengenai “jenis kontrak lebih terbuka dan bervariasi”
mungkin dapat menimbulkan multitafsir, apakah harus ada liberalisasi secara
menyeluruh sehingga peran pemerintah dan perusahaan minyak negara
(Pertamina) tidak dibutuhkan lagi atau memang mau menghidupkan lagi kontrak-
kontrak lain seperti Kontrak Karya yang sudah lama ditinggalkan oleh Indonesia
dan negara lain karena tidak menguntungkan negara.
Menurut Kurtubi:99
“Upaya memberlakukan sistem neo-KK (Kontrak Karya) yang dibarengi
dengan upaya untuk membubarkan Pertamina sebagai perusahaan minyak
negara, patut dicurigai mengandung hidden agenda (agenda tersembunyi)
dalam rangka melanggengkan penguasaan/dominasi perusahaan minyak
multinasional atas sumber daya alam migas. Kalau Perusahaan Negara
sudah bubar dan PT penggantinya disiapkan untuk diswastakan, maka
nantinya sudah tidak ada lagi peluang bagi negara untuk mengusahakan
dan menguasai tambang minyak yang saat ini ditangani oleh kontraktor
asing lewat PSC apabila kontraknya sudah selesai.”
Pernyataan Kurtubi pada tahun 2001 itu terbukti pada saat ini, yang mana
hidden agenda itu semakin lama semakin nampak dengan ditolaknya permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang dinilai inkonstitusi dan
salah satu ahli yang menolak permohonan tersebut adalah Rudi Rubiandini.100 Ini
jelas bukanlah sesuatu yang terjadi atas kebetulan semata, tetapi memang skenario
para pemburu rente yang tetap ingin mengeruk keuntungan sendiri tanpa
memikirkan kepentingan rakyat banyak.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Melihat dari perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, serta hasil
dan pembahasan yang telah diperoleh, maka dari penelitian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Apabila dilihat dari sisi kontribusinya terhadap perekonomian, sektor
migas di Indonesia dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi yang
disebabkan menurunnya kontribusi sektor migas terhadap PDB di
Indonesia setiap tahunnya. Hal itu disebabkan semakin menurunnya laju
produksi sektor migas yang disebabkan pihak kontraktor masih
tergantung terhadap sumur-sumur tua. Namun disisi lain pemerintah

99
Kurtubi. 2001. Op.Cit
100
Pada permohonan tersebut ada beberapa pasal yang dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 yaitu
Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Lihat PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
X/2012
51

tidak terlalu merasakan penurunan laju produksi tersebut karena semakin


tingginya harga minyak dan gas di pasar dunia.
2. Tidak ada pengaruh yang berarti dari adanya kebijakan liberalisasi
(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001) terhadap pertumbuhan output
sektor migas. Hal itu dapat dilihat dari hasil analisis ekometrika, yang
mana variabel dummy Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001tidak
signifikan di model Y1 maupun Y2.
3. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 menimbulkan banyak
distorsi. Distorsi tersebut menimbulkan liberalisasi semu yang mana
ketika regulasi itu memaksakan sektor migas agar diliberalisasi tetapi
disisi lain hal itu bersebrangan dengan ideologi ekonomi negara
Indonesia (khususnya pasal 33 ayat 2 dan 3) dan tetap dipaksakan
sehingga meskipun sektor migas telah diliberalisasi tetapi rent seeking
activity di sektor migas masih tetap ada dan semakin banyak yang
terungkap.
4. Tata kelola migas yang buruk, rantai pengelolaan yang panjang, serta
ada kecenderungan bad governance dari lembaga pengelola migas
menjadi penyebab lain rent seeking behaviour di sektor migas.

Saran

Berdasarkan bab pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka


beberapa saran yang direkomendasikan, yaitu:
1. Harus ada peninjauan menyeluruh mengenai lahirnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001, jangan sampai terus dipertahankan oleh pihak-
pihak/oknum pemburu rente karena ingin melanggengkan aktivitas
perburuan rente pada sektor migas.
2. Posisi SKK Migas dalam rantai pengelolaan migas menjadikan
pengelolaan migas menjadi semakin tidak efisien. Pemisahan regulator
dan operator migas tersebut terbukti bukan menjadi opsi terbaik dalam
menggantikan peran Pertamina sebelum lahirnya Undamg-Undang
Nomor 22 tahun 2001, sehingga sebaiknya bentuk pengelolaan migas
dikembalikan seperti pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 8
tahun 1971.
3. Perlu adanya transparansi kebijakan dan transparansi informasi dari
lembaga pengelola migas (SKK Migas) baik itu kepada perusahaan-
perusahaan (dalam hal tender pengadaan minyak) dan kepada publik
mengenai informasi dan perkembangan sektor migas secara lugas dan
menyeluruh agar publik dapat ikut berpartisipasi dalam mengawasi
perkembangan sektor migas.
4. Pemerintah harus segera memikirkan komitmen terhadap industri migas
nasional. Komitmen tersebut dapat dikategorikan komitmen jangka
pendek, menengah dan panjang. Pada komitmen jangka pendek,
pemerintah harus merubah sistem tata kelola migas sehingga menjadi
lebih efisien dengan mengembalikan kembali hak-hak Pertamina yang
sudah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. Pada
komitmen jangka menengah, pemerintah harus mulai mempersiapkan
modal dan teknologi dalam mengelola sektor migas dengan metode non-
52

konvensional yang ramah lingkungan serta meningkatkan investasi pada


sektor eksplorasi migas. Pada komitmen jangka panjang, pemerintah
harus memikirkan alternatif energi/alih energi untuk mengurangi defisit
anggaran karena permintaan terhadap BBM yang semakin melonjak
dengan cara menggantinya dengan bio-energi yang bersifat lebih
renewable dan tidak menimbulkan degradasi lingkungan.
5. Pada penelitian ini fokus terhadap tata kelola sektor migas dan
hubungannya terhadap industri migas, perekonomian Indonesia dan rent
seeking activity. Pada tingkatan tata niaga migas baik di Indonesia
maupun di kancah international masih perlu diadakan penelitian lanjutan
karena dalam tata niaga migas tidak jarang banyak intrik-intrik yang
menarik apabila dikaji dengan perspektif ekonomi politik.

DAFTAR PUSTAKA

Alexandi, Muhammad Findi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi
di Indonesia: Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri
Tepung Terigu Nasional (Periode 1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok
Badan Pusat Statistik. 1992. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1992. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1993. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1993. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1994. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1994. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1995. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1995. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1996. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1996. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1997. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1997. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1998. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1998. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 1999. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 1999. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2000. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2000. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2006. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2001-2006. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2008. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2004-2008. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
. 2012. Statistik Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Tahun 2008-2012. Badan Pusat Statistik Pusat: Jakarta.
53

Bahtiar, Yuyus. 2010. Relevansi Model PSC Modifikasi Revenue To Cost Index
(R/C) Pada Kerjasama Migas di Indonesia. [skripsi]. Institut Teknologi
Bandung: Bandung.
Caporaso, James A dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik.
Diterjemahkan oleh: Suraji. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hafsari, F. H. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di
Indonesia [skripsi]. FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta.
Hartati, Sri Enny. 2012. Diskusi Refleksi Akhir Tahun “Integritas Nasional
Dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” Rabu (19/12/2012),
Megawati Institute.
Ibrahim, Prasiwi Westining Dyah. 2009. Pengaruh Liberalisasi Perdagangan
Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil di
Indonesia: 1991-2005. Skripsi. Univeritas Indonesia.
Ilyas, Firdaus. 2013. Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus [berita].
Indonesia Corruption Watch: 20 Agustus 2013. Diakses pada tanggal 10
Oktober 2013 http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-migas-kartel-
misteri-yang-harus-ditembus
Kompas. 2005. Minyak dan Gas 14 “celah” Buka Peluang Korupsi. KOMPAS
Kamis, 14-07-2005. Halaman: 18
Kompas. 2010. MINYAK DAN GAS BUMI: Benahi Tata Kelola Migas.
KOMPAS Kamis, 22-07-2010. Halaman: 19
KPK.2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi. Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK. Hal 8
Kurtubi. 2001. HINDARI KEHANCURAN SISTEM PERMINYAKAN NASIONAL.
KOMPAS, Senin, 02-07-2001. Halaman: 32
. 2012. Migas Untuk Kemakmuran Rakyat. KOMPAS Kamis, 20-09-2012.
Halaman: 6
. 2013. Membenahi Tata Kelola Migas. KOMPAS Jumat, 08-02-2013.
Halaman: 6
Laluhu, Sabir. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun
[berita]. Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober
2013 http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-
diduga-rugikan-negara-rp152-96-t
Lubiantara, Benny. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta
Ma’arif, Syamsul. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah.
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-
Desember 2011
Ma’arif, Syamsul dan Mas' oed, M. 2007. Ekonomi politik kebijakan Migas tarik
ulur perubahan Undang-undang Migas pasca Orde Baru 1998-2004
[tesis] .Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Mauro, Paolo. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues.
International Monetary Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol.
6.
Muryati, Dewi Tuti dkk. 2013. Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas
54

[Laporan Penelitian]. Yayasan Alumni Universitas Dipenogoro, Fakultas


Hukum Universtitas Semarang
Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling. Hal 9. Diakses pada tanggal 20 Januari
2014 pada alamat http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc.
PwC. 2012. Oil and Gas in Indonesia-Investment and Taxation Guide 2012. PwC
Indonesia.
Ramadhan KH. 2008. Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita. National Press Club
of Indonesia: Jakarta.
Rianto, Puji. 2004. Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi
[jurnal]. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, November
2004 (161-180)
Sadono Sukirno. 2003. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Seftyandra, Fauzia. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Migas. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor: Bogor.
Soares, Singgih. 2014. Ini Seluruh Aliran Uang ke Rudi dalam Vonis. Tempo.co:
Selasa, 29 April 2014
http://www.tempo.co/read/news/2014/04/29/063574239/Ini-Seluruh-Aliran-
Uang-ke-Rudi-dalam-Vonis
Sondi, Iswahyudi. 2010. Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia
[artikel]. Kompasiana: 26 April 2010. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-
pengelolaan-migas-di-indonesia-126745.html
Suehiro, Akira. 2008. Catch-Up Industrualization. University of Hawaii Press.
Tambunan, Tulus. 2007. Prospek Koperasi Pengusaha dan Petani di Indonesia
dalam Tekanan Globalisasi Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Dunia
[artikel ilmiah].. Kadin Indonesia/Pusat Studi Industri dan UKM Universitas
Trisakti.
Tempo.co. 2013. Skandal SKK Migas, Jero Wacik Dibidik. Diakses pada tanggal
3 Februari 2014 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/26/063507370
/Opini-Tempo-Skandal-SKK-Migas-Jero-Wacik-Dibidik
Umar, A. R. M. 2012. Ekonomi Poltik Perminyakan Indonesia: Analisis
Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998. Jurnal Ilmu
Sosial dan Politik.
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan
Kebijakan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
55

Lampiran 1 Nilai output, input dan jumlah TK Sektor Migas*

Tahun Nilai output (juta Biaya input (juta Jumlah TK total


rupiah) rupiah)
1992 32251251 2312305 52415
1993 28328879 3386515 52004
1994 32849402 4039518 50177
1995 34096205 3261266 30475
1996 36749240 1634250 40858
1997 47636870 2096550 32832
1998 72560627 6560523 32430
1999 91919947 7634985 27208
2000 108323446 10429136 29974
2001 114117220 13041873 34852
2002 115368754 14922067 35449
2003 193802497 29189470 32393
2004 267033258 40544604 39156
2005 303604133 37792838 38527
2006 294793968 48978803 38413
2007 391198047 43794148 39601
2008 452281824 42751443 35924
2009 468923739 43323164 35190
2010 495835162 48152452 32861
2011 504773097 48372112 31535
2012 551891525 48725102 30449
Sumber: BPS RI (Diolah)

*data tersebut merupakan data hasil penjumlahan antara data industri


pertambangan migas dan data industri pengilangan migas dari Data Statistik
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi BPS.
56

Lampiran 2 Daftar Informan yang Diwawancarai

No. Nama Jabatan Tanggal Keterangan


wawancara

1 Johan Budi Juru Bicara KPK 20 Maret Peran KPK dalam


2014 memberantas korupsi di
sektor migas dan
perkembangan kasus
Rudi Rubiandini

2 Firdaus Ilyas Peneliti ICW 7 April Aktivitas Perburuan


2014 Rente dan korupsi
sebelum dan sesudah di
liberalisasi

3 Komaidi Peneliti 16 Juli Dampak liberalisasi


Notonegoro Reforminer 2014 terhadap perusahaan
Institute minyak nasional
57

Lampiran 3 Daftar Singkatan

No. Singkatan Keterangan

1. B to B Bussiness to Bussiness

2. B to G Bussiness to Government

3. BBM Bahan Bakar Minyak

4. BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal

BP Migas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas


5.
Bumi

BPH Migas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas
6.
Bumi

7. BPK Badan Pemeriksa Keuangan

8. BPS Badan Pusat Statistik

9. BUMN Badan Usaha Milik Negara

10. Ditjen Migas Direktorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas Bumi

11. DMO Domestic Market Obligation

12. EOR Enhanced Oil Recovery

13. FTP First Tranche Petroleum

14. GK Growth Kapital (pertumbuhan kapital/modal)

15. GL Growth Labour (pertumbuhan tenaga kerja)

16. GO Growth Output (Pertumbuhan output)

17. GT Growth of Technology (Pertumbuhan teknologi)

IMF International Monetary Fund (dana moneter


18.
internasional)

IOC International Oil Company (perusahaan minyak


19.
internasional

20. KK Kontrak Karya

21. KPK Komisi Pemberantas Korupsi


58

22. KPS Kontraktor Production Sharing

23. MNC Multinational Company (perusahaan multinasional)

24. OPEC Organization of the Petroleum Exporting Countries

25. PDB Produk Domestik Bruto

26. PMA Penanaman Modal Asing

27. PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri

28. PSC Production Sharing Contract (kontran Bagi Hasil)

29. SKK Migas Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
59

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Khoerul Imam Fatwani. Lahir pada tanggal 20


April 1992 di Desa Pananjung, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di MI Al-Hikmah pada tahun 2004. Setelah
lulus, penulis melanjutkan sekolah di SMP 2 Garut dan pada tahun 2007 penulis
masuk di SMA 1 Garut. Setelah lulus dari jenjang SMA pada tahun 2010, penulis
mendapatkan beasiswa Bidik Misi dan lulus masuk IPB melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) di jurusan Ilmu Ekonomi.
Selama di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi (Intrakampus dan
Ekstrakampus) maupun kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti
penulis adalah: HIMAGA IPB (Himpunan Mahasiswa Garut), unit kegiatan
mahasiswa MAX!!, Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan IPB (menjadi ketua divisi INTEL), HMI komisariat FEM IPB, dan
HMI Cabang Bogor (Wakil Sekretaris Umum periode 2013/2014).
Selain aktif di kegiatan organisasi dan kepanitiaan, penulis juga aktif
mengikuti kegiatan Pekan Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2011 (finalis
PIMNAS XXV bidang PKM-Kewirausahaan), tahun 2012 (PKM-Penelitian
didanai DIKTI) serta mengikuti lomba karya tulis seperti Young Economist Icon
2013 HIPOTEX-R (Juara Harapan I) dan Trisakti Economics and Bussiness Fair
2013 (Finalis 10 Besar). Selain itu penulis aktif mengikuti kegiatan diskusi baik
yang dilaksanakan di dalam kampus maupun di luar kampus.

Anda mungkin juga menyukai