Anda di halaman 1dari 6

Inisiasi Ketujuh

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Topik bahasan minggu ini adalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam Buku Materi
Pokok (BMP) Manajemen SDM, topik tersebut dibahas dalam Modul 8. Setelah mengikuti
kegiatan tutorial ini Anda diharapkan dapat menjelaskan tentang keselamatan kerja dan
kesehatan kerja. Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahas satu-persatu topik bahasan tersebut.

Keselamatan Kerja
Keselamatan merujuk kepada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang. Tujuan
utama program keselamatan kerja yang efektif di organisasi adalah mencegah kecelakaan
dan cedera yang terkait dengan tempat kerja. Tempat kerja menurut Husni (2001), adalah
setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur, yaitu:
1. Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat ekonomis maupun usaha sosial.
2. Adanya sumber bahaya.
3. Adanya tenaga kerja yang berkerja di dalamnya, baik secara terus menerus maupun
sewaktu-waktu.

Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05 Tahun 1996 tentang sistem manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1970 tentang keselamatan kerja, dinyatakan bahwa sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja (Sistem Manajemen K3) adalah bagian dari manajemen secara keseluruhan
yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Sistem ini
digunakan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja demi
tercapainya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Sedangkan tempat kerja menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga
kerja untuk keperluan suatu usaha, dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya
baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, di udara yang berada di dalam
wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Di Indonesia, pengaturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja telah dimulai semenjak
Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu dengan dikeluarkannya Ordonantie Nomor 647 Tahun
1925 tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada waktu malam hari dan Ordonantie
Nomor 87 Tahun 1926 tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal. Selain itu
Pemerintah Hindia Belanda juga meratifikasi beberapa konvensi organisasi buruh
internasional (ILO), yaitu:
1. Konvensi Nomor 4 tentang pekerjaan wanita pada malam hari;
2. Konvensi Nomor 5 tentang usia terendah bagi anak untuk dapat bekerja di perusahan
perindustrian;
3. Konvensi Nomor 7 tentang usia terendah bagi anak untuk bekerja di kapal; dan
4. Konvensi Nomor 15 tentang usia terendah bagi orang muda untuk dapat bekerja
sebagai tukang api atau tukang batu bara.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja tersebut bersifat tidak menyeluruh, karena hanya berlaku di
beberapa tempat dan golongan, sehingga menimbulkan pluralisme hukum.

Setelah kemerdekaan RI, pada pemerintahan Republik Indonesia Serikat, pemerintah


mengeluarkan UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang kerja yang berlaku hanya di ibukota RIS,
yaitu Yogyakarta. Dan setelah Indonesia kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan, UU
tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia (RI) sebagai Undang
Undang Pokok yang memuat aturan dasar tentang pekerjaan anak; pekerjan orang muda;
pekerjaan wanita; waktu kerja; istirahat dan tempat kerja serta perumahan bagi buruh.

Selanjutnya, pada Tahun 1970, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No 1 Tahun 1970


tentang Keselamatan Kerja. Dan untuk melaksanakan UU No 1 Tahun 1970 tersebut
pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja No
05 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau disingkat
Sistem Manajemen K3. Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu
sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang melibatkan unsur manajemen,
tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan selalu terciptanya tempat kerja yang
aman, efisien dan produktif.

Program manajemen keselamatan kerja yang efektif terdiri atas:


1. Tanggung jawab dan komitmen perusahaan.
2. Kebijakan dan disiplin keselamatan kerja.
3. Komunikasi dan pelatihan keselamatan kerja.
4. Komite keselamatan kerja.
5. Inspeksi, penyelidikan kecelakaan kerja, dan riset.
6. Evaluasi terhadap usaha-usaha keselamatan kerja.

Cara Mengukur Keselamatan Kerja


Ada dua metode pengukuran keselamatan organisasi yang telah diterima secara meluas dan
telah digunakan dalam rangka pengkajian kasus kecelakaan di tempat kerja di Indonesia.
Pertama, tingkat kekerapan (Frequency Rate). Tingkat kekerapan digunakan untuk
menunjukkan seberapa sering kejadian yang menyebabkan karyawan luka atau cacat . Luka
atau cacat karyawan tersebut menyebabkan seseorang tidak dapat masuk kerja satu hari atau
lebih setelah terjadinya kecelakaan kerja. Kedua, tingkat keparahan menunjukkan seberapa
parah suatu peristiwa kecelakaan kerja, yaitu dengan menghitung lamanya waktu karyawan
menderita luka-luka sehingga tidak dapat masuk bekerja. Rumus untuk menghitung tingkat
kekerapan dan tingkat keparahan adalah sebagai berikut.

Tingkat kekerapan = Jumlah kecelakaan kerja x 1.000.000


Jumlah jam kerja pekerja setahun

Tingkat keparahan = Jumlah hari hilang x 1.000.000


Jumlah jam kerja pekerja setahun

Tinggi tingkat kekerapan ataupun keparahan tersebut baru bermakna jika dibandingkan
dengan hal yang sama yang terjadi pada departemen atau divisi lain dalam suatu organisasi
untuk tahun sebelumnya, atau dibandingkan dengan organisasi yang berbeda. Melalui
pembandingan tersebut, maka prestasi keselamatan kerja suatu departemen atau organisasi
dapat dievaluasi dengan baik.

Saudara mahasiswa yang budiman. Inti dari suatu program keselamatan kerja organisasional
adalah pencegahan terhadap kecelakaan kerja. Jadi, sebagian besar program keselamatan
kerja dirancang untuk mempertahankan suatu sikap keselamatan kerja dan menghindari
kecelakaan kerja agar tetap berada dalam benak setiap karyawan. Di samping itu, program
lain dapat juga digunakan terutama untuk membuat karyawan lebih sadar terhadap
pentingnya keselamatan kerja. Menurut Byars dan Rue (1997), saat ini ada empat elemen
dasar yang paling sukses dalam program keselamatan kerja, yaitu:
1. Program harus mendapat dukungan yang tulus baik dari manajemen puncak maupun
manajemen menengah.
2. Harus dinyatakan secara jelas bahwa keselamatan kerja menjadi tanggung jawab manajer
operasi. Seluruh manajer operasi harus menganggap bahwa keselamatan kerja menjadi
bagian integral dalam tugas mereka.
3. Sikap positif terhadap keselamatan kerja harus ada dan terpelihara. Semua karyawan
harus percaya bahwa program keselamatan kerja adalah bermanfaat dan membuahkan
hasil.
4. Setiap orang atau departemen harus menguasai program keselamatan kerja dan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya.

Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja dapat didefinisikan sebagai bebas dari penyakit. Lingkungan kerja seringkali
dapat menyebabkan penyakit. Adanya risiko kesehatan seperti risiko fisik maupun biologis,
racun, bahan kimia, dan debu yang menyebabkan kanker dan kondisi kerja yang penuh stres
menempatkan karyawan pada risiko kesehatan di tempat kerja.

Definisi lain kesehatan kerja adalah kondisi fisik, mental dan sosial yang sejahtera
(Ivancevich, 1992). Titik berat dari definisi ini adalah pada hubungan antara badan, pikiran
dan pola sosial. Contoh, karyawan yang kompeten, tetapi selalu merasa tertekan (stres) dan
memiliki kepercayaan diri yang rendah, sama saja kondisinya dengan kondisi orang yang
terluka atau sakit, sehingga tidak produktif. Oleh karena itu, manajer harus menyadari bahwa
mereka perlu menaruh perhatian pada kesehatan umum karyawan termasuk kesehatan
jiwanya. Mereka harus menyelenggarakan program-program yang dapat membantu
meningkatkan kesehatan karyawan, baik kesehatan badan maupun jiwa. Ada dua program
yang dapat diselenggarakan oleh suatu organisasi, yaitu program kesehatan preventif dan
manajemen stres.

Program perawatan kesehatan preventif mancakup pengeluaran untuk membangun fasilitas


yang mambantu perawatan mandiri karyawan secara lebih baik (Ivancevich, 1992). Program
preventif atau pendekatan sehat (wellness approach), memberikan dorongan kepada
karyawan untuk membuat perubahan gaya hidup pada saat itu juga melalui pemberian gizi
yang lebih baik, program olahraga secara teratur, tidak merokok dan minum alkohol,
bimbingan stres dan pemeriksaan fisik secara teratur setahun sekali.
Enam langkah perubahan perilaku, yaitu kesadaran, pendidikan, insentif, program, tindakan
secara mandiri dan tindak lanjut serta dukungan. Setiap pekerja dibuat sadar melalui
perkiraan biaya kesehatan, yaitu merupakan evaluasi secara statistik mengenai risiko
kesehatan karyawan secara individual. Program penyadaran karyawan tersebut termasuk
berbagai saran untuk mengurangi risiko dan perubahan perilaku agar dapat hidup lebih lama
dan lebih sehat.

Pendekatan preventif tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan, terutama jika
pendekatan tersebut diadopsi tanpa benar-benar memahami adanya tuntutan terhadap
komitmen manajer dan komunikasi antara pekerja dan manajer. Hal yang perlu diperhatikan
adalah bahwa program preventif bukanlah program yang secara instan akan memberikan
keuntungan bagi perusahaan, tetapi program tersebut akan memberikan manfaat perusahaan
dalam jangka panjang.

Saudara mahasiswa yang budiman. Bahwa kesehatan karyawan adalah meliputi kesehatan
fisik, mental dan sosial. Menurut Miner dan Crane (1995), kesehatan emosional atau
psikologis adalah stres, yaitu kondisi internal individu yang mempersepsikan adanya
ancaman terhadap kesejahteraan jasmani dan rohaninya. Pengertian stres tersebut
menekankan suatu persepsi dan evaluasi seseorang tentang stimuli berbahaya yang potensial,
dan menganggap persepsi ancaman tersebut akan muncul dari suatu perbandingan antara
tuntutan yang dibebankan atas individu dan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan
tersebut.

Program manajemen stres mepunyai hubungan yang erat dengan program kesehatan fisik
karyawan. Menurut Miner dan Crane (1995), program tersebut dapat direncanakan dan
ditawarkan di rumah dengan ditangani oleh seorang konsultan. Termasuk dalam program ini
adalah prosedur pengendoran otot melalui berbagai macam cara seperti, meditasi, belajar
bagaimana merekayasa lingkungan seseorang untuk mengurangi stres melalui pendekatan
seperti manajemen waktu, dan mejadi lebih tegas dalam berpendirian, belajar keahlian dalam
meminimalkan stres dalam suatu kondisi, atau mengurangi kecenderungan seseorang
membesar-besarkan hal-hal yang dapat menyebabkan stres.
Banyak perusahaan pada saat ini menyediakan program manajemen stres yang berfokus pada
teknik relaksasi. Inovasi yang paling akhir adalah mengenalkan komputerisasi program
manajemen stres yang memungkinkan karyawan melakukan sendiri program tersebut.
Program ini relatif mahal, di samping program manajemen stres, perusahaan dapat
menawarkan apa yang disebut dengan dukungan sosial.

Dukungan sosial dari atasan, teman sekerja, keluarga dan teman dapat menolong tingkat stres
seseorang, karena karyawan yang bersangkutan merasa bahwa orang lain siap membantunya,
sehingga dia tidak merasa sendirian sepanjang waktu. Intinya, seseorang merasa lebih baik
dan kuat karena tantangan dapat dihadapi bersama-sama. Dukungan emosional merupakan
bagian dari suatu proses dukungan sosial dimana pekerja dapat menyandarkan diri
kepadanya, pekerja merasa mendapatkan dorongan, dan pekerja merasa ada seseorang yang
mau mendengarkan keluh kesahnya atau kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Dukungan
bersifat informasi juga dapat diberikan. Pihak lain dapat memberikan pengetahuan tertentu
untuk menanggulangi stres dan untuk menghadapi ketidakpastian. Meskipun secara formal
perusahaan jarang menggunakan dukungan sosial sebagai program untuk mengurangi stres,
secara informal supervisor dan teman sekerja harus melakukannya setiap hari.

Daftar Pustaka:
Byars, L. L dan Rue, L. W.1997. Human Resource Mana-gement. Fifth Edition. Chicago: IRWIN.
Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michael T.Mattesson. 2008. Organizational Behavior and
Management. New York: McGraw-Hill.
Miner, J.B. dan Crane, D.P. 1995. Human Resource Management: The Strategic Perspective. New York:
HarperCollins College Publisher.

Anda mungkin juga menyukai