Anda di halaman 1dari 14

LUTHFIANISA AZHARI

14711057/14712072

TUGAS UJIAN OSLER STASE SARAF


1. Nilai hubungan faktor resiko dengan kejadian stroke!

A. UMUR

Tabel 1 didapatkan bahwa ada 54 klien (69,2%) yang berumur > 45 tahun pernah menderita
stroke. Hasil uji statistic diperoleh p value 0,040 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya ada hubungan yang signifikan antara faktor resiko umur dengan kejadian stroke. Dari
hasil analisis juga diperoleh nilai OR 2,700, artinya klien yang berumur > 45 tahun memiliki
resiko 2,700 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang berumur < 45 tahun.

B. JENIS KELAMIN
Tabel 2 didapatkan bahwa ada 50 klien (62,5%) berjenis kelamin laki-laki yang menderita
stroke. Hasil uji statistic diperoleh p value 0,532 lebih besar dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya tidak ada hubungan antara faktor resiko jenis kelamin dengan kejadian menderita
stroke. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR 1,400, artinya klien yang berjenis kelamin
laki-laki memiliki resiko 1,400 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang berjenis
kelamin wanita.

C. GENETIK

Tabel 3 didapatkan bahwa (66,7%) memiliki riwayat stroke keluarga yang menderita stroke
Hasil uji statistik diperoleh p value 0,468 lebih besar dari nilai α = 0,05 (p value < α), artinya
tidak ada hubungan antara faktor resiko memiliki riwayat stroke keluarga dengan dengan
kejadian menderita stroke. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR 1,364, artinya klien yang
memiliki riwayat stroke keluarga memiliki resiko 1,364 kali untuk menderita stroke dari pada
klien yang tidak memiliki riwayat stroke keluarga.

D. HIPERTENSI
Tabel 4. didapatkan bahwa ada 57 klien (72,2%) memiliki hipertensi yang menderita stroke.
Hasil uji statistik diperoleh p value 0,001 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α), artinya
ada hubungan antara faktor resiko hipertensi dengan kejadian menderita stroke. Dari hasil
analisis juga diperoleh nilai OR 5,182, artinya klien yang hipertensi memiliki resiko 5,182 kali
untuk menderita stroke dari pada klien yang tidak hipertensi.

E. MEROKOK

Tabel 5 dijelaskan bahwa (70,3%) merokok yang menderita stroke. Hasil uji statistik diperoleh
p value 0,028 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α), artinya ada hubungan antara faktor
resiko merokok dengan kejadian menderita stroke. hasil analisis juga diperoleh nilai OR 2,758,
artinya klien yang merokok memiliki resiko 2,758 kali untuk menderita stroke dari pada klien
yang tidak merokok.

F. PENYAKIT JANTUNG

Tabel 6 didapatkan bahwa ada 35 klien (70%) memiliki sakit jantung yang menderita
stroke.Hasil uji statistik diperoleh p value 0,211 lebih besar dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya tidak ada hubungan antara faktor resiko sakit jantung dengan kejadian menderita stroke.
hasil analisis juga diperoleh nilai OR 1,690, artinya klien yang memiliki sakit jantung memiliki
resiko 1,690 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang tidak memiliki sakit jantung.

G. ALKOHOL

Tabel 7 didapatkan bahwa ada 41 klien (64,1%) tidak mengkonsumsi alkohol yang menderita
stroke. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,986 lebih besar dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya tidak ada hubungan antara faktor resiko mengkonsumsi alkohol dengan kejadian
menderita stroke. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR 0,992, artinya klien yang
mengkonsumsi alkohol memiliki resiko 0,992 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang
tidak mengkonsumsi alkohol.

H. HIPERKOLESTEROLEMIA

Tabel 8 didapatkan bahwa ada 46 klien (73%) memiliki hiperkolesterolemia yang menderita
stroke. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,014 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya ada hubungan antara faktor resiko hiperkolesterolemia dengan kejadian menderita
stroke. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR 2,856, artinya klien yang hiperkolesterolemia
memiliki resiko 2,856 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang tidak
hiperkolesterolemia.

I. DIABETES MELLITUS

Tabel 9 didapatkan bahwa ada 38 klien (76%) mengalami diabetes melitus yang menderita
stroke. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,012 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α),
artinya ada hubungan antara faktor resiko diabetes melitus dengan kejadian menderita stroke.
Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR 2,923, artinya klien yang diabetes melitus memiliki
resiko 2,923 kali untuk menderita stroke dari pada klien yang tidak diabetes melitus.

J. STRES

Tabel 10 didapatkan bahwa ada 44 klien (74,6%) mengalami stress yang menderita stroke.
Hasil uji statistik diperoleh p value 0,008 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p value < α), artinya
ada hubungan antara faktor resiko stress dengan kejadian menderita stroke. Dari hasil analisis
juga diperoleh nilai OR 3,080, artinya klien yang stress memiliki resiko 3,080 kali untuk
menderita stroke dari pada klien yang tidak stress.
2. Golden periode SH dan SNH!
Golden hours period pada serangan stroke hanya 3 sampai 4,5 jam saja. Golden
period penanganan stroke adalah waktu yang tepat dan cepat dalam menangani
stroke yang menyerang secara tiba -tiba. Jika penderita ditangani secara tepat
dan cepat dalam masa golden hours, maka penderita stroke masih bisa
terhindar kecacatan atau stroke yang lebih berat .
Thrombolysis merupakan terapi yang akan dilakukan pada golden period
stroke itu. Tindakan thrombolysis ini berguna untuk melepaskan sumbatan
yang ada di pembuluh darah otak. Terapi ini hanya bisa dilakukan saat golden
period, atau 3 hingga 4,5 setelah serangan pertama stroke.

3. Posisi tempat tidur pasien dan indikasinya!

POSISI FOWLER

Pengertian
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian kepala tempat
tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan
memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.

Tujuan

1. Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi.


2. Meningkatkan rasa nyaman
3. Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya ekspansi dada dan
ventilasi paru
4. Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap

Indikasi

1. Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan


2. Pada pasien yang mengalami imobilisasi
POSISI SIM’S
Pengertian

posisi sims
Posisi sim adalah posisi miring kekanan atau miring kekiri. Posisi ini dilakukan untuk memberi
kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria). Berat badan terletak pada tulang
illium, humerus dan klavikula.

Tujuan

1. Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi


2. Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter mayor otot pinggang
3. Memasukkan obat supositoria
4. Mencegah dekubitus

Indikasi

1. Pasien dengan pemeriksaan dan pengobatan daerah perineal


2. Pasien yang tidak sadarkan diri
3. Pasien paralisis
4. Pasien yang akan dienema
5. Untuk tidur pada wanita hamil.

POSISI TRENDELENBERG
Pengertian

posisi trendeleberg

Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.

Tujuan
1. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut.
2. Pasien shock.
3. pasien hipotensi.

Indikasi

1. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut


2. Pasien shock
3. Pasien hipotensi

POSISI DORSAL RECUMBEN


Pengertian

dorsal recumben

Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan memeriksa serta
pada proses persalinan.

Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien, terutama dengan ketegangan punggung belakang.

Indikasi

1. Pasien dengan pemeriksaan pada bagian pelvic, vagina dan anus


2. Pasien dengan ketegangan punggung belakang.

POSISI LITHOTOMI
Pengertian
lithotomi

Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya
ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia pada proses persalinan,
dan memasang alat kontrasepsi.

Tujuan

1. Memudahkan pemeriksaan daerah rongga panggul, misal vagina,taucher, pemeriksaan


rektum, dan sistoscopy
2. Memudahkan pelaksanaan proses persalinan, operasi ambeien, pemasangan alat intra
uterine devices (IUD), dan lain-lain.

Indikasi

1. Pada pemeriksaan genekologis


2. Untuk menegakkan diagnosa atau memberikan pengobatan terhadap penyakit pada
uretra, rektum, vagina dan kandung kemih.

POSISI GENU PECTROCAL


Pengertian

genu pectoral

Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki di tekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum dan
sigmoid.

Tujuan
Memudahkan pemeriksaan daerah rektum, sigmoid, dan vagina.

Indikasi

1. Pasien hemorrhoid
2. Pemeriksaan dan pengobatan daerah rectum, sigmoid dan vagina.
POSISI ORTHOPENEIC
Pengertian
Posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada penampang yang sejajar dada, seperti
pada meja.
Tujuan
Memudahkan ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas yang ekstrim dan tidak
bisa tidur terlentang atau posisi kepala hanya bisa pada elevasi sedang.
Indikasi
Pasien dengan sesak berat dan tidak bisa tidur terlentang.

SUPINASI
Pengertian

suspinasi

Posisi telentang dengan pasien menyandarkan punggungnya agar dasar tubuh sama dengan
kesejajaran berdiri yang baik.

Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien dan memfasilitasi penyembuhan terutama pada pasien
pembedahan atau dalam proses anestesi tertentu.

Indikasi

1. Pasien dengan tindakan post anestesi atau penbedahan tertentu


2. Pasien dengan kondisi sangat lemah atau koma.

POSISI PRONASI
Pengertian
Pasien tidur dalam posisi telungkup Berbaring dengan wajah menghadap ke bantal.
pronasi

Tujuan

1. Memberikan ekstensi maksimal pada sendi lutut dan pinggang


2. Mencegah fleksi dan kontraktur pada pinggang dan lutut.

Indikasi

1. Pasien yang menjalani bedah mulut dan kerongkongan


2. Pasien dengan pemeriksaan pada daerah bokong atau punggung.

POSISI LATERAL

lateral

Pengertian
Posisi miring dimana pasien bersandar kesamping dengan sebagian besar berat tubuh berada
pada pinggul dan bahu.

Tujuan

1. Mempertahankan body aligement


2. Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
3. Meningkankan rasa nyaman
4. Mengurangi kemungkinan tekanan yang menetap pada tubuh akibat posisi yang
menetap.

Indikasi

1. Pasien yang ingin beristirahat


2. Pasien yang ingin tidur
3. Pasien yang posisi fowler atau dorsal recumbent dalam posisi lama
4. Penderita yang mengalami kelemahan dan pasca operasi.

4. Batasan kapan pasien boleh duduk pada SH dan SNH!

a. Stroke infark : “very early mobilization” (VEM), pasien boleh duduk segera

b. Stroke hemoragik : setelah 2 minggu sejak onset

5. Persentase oksigen yang masuk dengan nasal kanul!

6. Macam-macam bentuk LPB!

a. LBP viserogenik
Disebabkan oleh adanya proses patologik di ginjal atau visera didaerah pelvis, serta tumor
retroperitoneal. Nyeri yang dirasakan tidak bertambah berat dengan aktivitas tubuh, juga
tidak berkurang dengan istirahat. Penderita LBP viserogenik yang mengalami nyeri hebat
akan selalu menggeliat untuk mengurangi nyeri, sedang penderita LBP spondilogenik akan
lebih memilih berbaring diam dalam posisi tertentu untuk menghilangkan nyerinya.

b. LBP vaskulogenik
Aneurisma atau penyakit vaskuler perifer dapat menimbulkan nyeri punggung atau nyeri
menyerupai iskialgia. Insufisiensi arteria glutealis superior dapat menimbulkan nyeri di
daerah bokong, yang makin memberat saat jalan dan mereda saat berdiri. Nyeri dapat
menjalar ke bawah sehingga sangat mirip dengan iskialgia, tetapi rasa nyeri ini tidak
terpengaruh oleh presipitasi tertentu misalnya: membungkuk, mengangkat benda berat
yang mana dapat menimbulkan tekanan sepanjang columna vertebralis. Klaudikatio
intermitten nyerinya menyerupai iskialgia yang disebabkan oleh iritasi radiks.

c. LBP neurogenik
keadaan neurogenik pada saraf yang dapat menyebabkan nyeri punggung bawah pada:
1. Neoplasma:
Rasa nyeri timbul lebih awal dibanding gangguan motorik, sensibilitas dan vegetatif.
Rasa nyeri sering timbul pada waktu sedang tidur sehingga membangunkan penderita.
Rasa nyeri berkurang bila penderita berjalan.
2. Araknoiditis:
Pada keadaan ini terjadi perlengketan – perlengketan. Nyeri timbul bila terjadi
penjepitan terhadap radiks oleh perlengketan tersebut
3. Stenosis canalis spinalis:
Penyempitan canalis spinalis disebabkan oleh proses degenerasi discus intervertebralis
dan biasanya disertai ligamentum flavum. Gejala klinis timbulnya gejala claudicatio
intermitten disertai rasa kesemutan dan nyeri tetap ada walaupun penderita istirahat.

d. LBP spondilogenik
Nyeri yang disebabkan oleh berbagai proses patologik di columna vertebralis yang terdiri
dari osteogenik, diskogenik, miogenik dan proses patologik di artikulatio sacro iliaka.
1. LBP osteogenik
Sering disebabkan Radang atau infeksi misalnya osteomielitis vertebral dan spondilitis
tuberculosa. Trauma yang dapat mengakibatkan fraktur maupun spondilolistesis.
Keganasan, kongenital misalnya scoliosis lumbal, nyeri yang timbul disebabkan oleh
iritasi dan peradangan selaput artikulasi posterior satu sisi. Metabolik misalnya
osteoporosis, osteofibrosis, alkaptonuria, hipofosfatemia familial.
2. LBP diskogenik, disebabkan oleh :
Spondilosis, disebabkan oleh proses degenerasi yang progresif pada discus
intervertebralis, sehingga jarak antar vertebra menyempit, menyebabkan timbulnya
osteofit, penyempitan canalis spinalis dan foramen intervertebrale dan iritasi
persendian posterior. Rasa nyeri disebabkan oleh terjadinya osteoarthritis dan
tertekannya radiks oleh kantong duramater yang mengakibatkan iskemi dan radang.
Gejala neurologik timbul karena gangguan pada radiks yaitu: gangguan sensibilitas
dan motorik (paresis, fasikulasi dan atrofi otot). Nyeri akan bertambah apabila tekanan
LCS dinaikkan dengan cara penderita disuruh mengejan (percobaan valsava) atau
dengan menekan kedua vena jugularis (percobaan Naffziger).

Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah keadaan dimana nucleus pulposus keluar
menonjol untuk kemudian menekan kearah canalis spinalis melalui annulus fibrosus
yang robek. Dasar terjadinya HNP yaitu degenerasi discus intervertebralis. Pada
umumnya HNP didahului oleh aktivitas yang berlebihan misalnya mengangkat benda
berat, mendorong barang berat. HNP lebih banyak dialami oleh laki – laki dibanding
wanita. Gejala pertama yang timbul yaitu rasa nyeri di punggung bawah disertai nyeri
di otot – otot sekitar lesi dan nyeri tekan ditempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh
spasme otot – otot tersebut dan spasme ini menyebabkan berkurangnya lordosis lumbal
dan terjadi scoliosis. HNP sentral menimbulkan paraparesis flaksid, parestesia dan
retensi urin.
HNP lateral kebanyakan terjadi pada Lumbal 5 – Sakral 1 dan Lumbal 4 – Lumbal 5
pada HNP lateral Lumbal 5 – Sakral 1 rasa nyeri terdapat dipunggung bawah, ditengah
– tengah antara kedua bokong dan betis, belakang tumit dan telapak kaki. Kekuatan
ekstensi jari V kaki juga berkurang dan reaksi achilles negative. Pada HNP lateral
Lumbal 4 – Lumbal 5 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung bawah,
bagian lateral bokong, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan
ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patella negative. Sensibilitas pada
dermatom yang sesuai dengan radiks yang terkena, menurun. Pada tes lasegue akan
dirasakan nyeri di sepanjang bagian belakang. Percobaan valsava dan naffziger akan
memberikan hasil positif.

Spondilitis ankilosa, proses ini mulai dari sendi sakroiliaka yang kemudian menjalar
keatas, ke daerah leher. Gejala permulaan berupa rasa kaku dipunggung bawah waktu
bangun tidur dan hilang setelah mengadakan gerakan. Pada foto roentgen terlihat
gambaran yang mirip dengan ruas – ruas bamboo sehingga disebut bamboo spine.

e. LBP psikogenik
Biasanya disebabkan oleh ketegangan jiwa atau kecemasan dan depresi atau campuran
keduanya. Pada anamnesis akan terungkap bahwa penderita mudah tersinggung, sulit tidur
atau mudah terbangun di malam hari tetapi akan sulit untuk tidur kembali, kurang tenang
atau mudah terburu – buru tanpa alasan yang jelas, mudah terkejut dengan suara yang
cukup lirih, selalu merasa cemas atau khawatir, dan sebagainya. Untuk dapat melakukan
anamnesis ke arah psikogenik ini, di perlukan kesebaran dan ketekunan, serta sikap serius
diseling sedikit bercanda, dengan tujuan agar penderita secara tidak disadari akan mau
mengungkapkan segala permasalahan yang sedang dihadapi.

f. LBP miogenik dikarenakan oleh :


1. Ketegangan otot:
Sikap tegang yang berulang – ulang pada posisi yang sama akan memendekkan otot
yang akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul karena iskemia ringan
pada jaringan otot, regangan yang berlebihan pada perlekatan miofasial terhadap
tulang, serta regangan pada kapsula.
2. Spasme otot atau kejang otot:
Disebabkan oleh gerakan yang tiba – tiba dimana jaringan otot sebelumnya dalam
kondisi yang tegang atau kaku atau kurang pemanasan. Gejalanya yaitu adanya
kontraksi otot yang disertai dengan nyeri yang hebat. Setiap gerakan akan
memperberat rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi.
3. Defisiensi otot,
yang dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat dari mekanisasi yang
berlebihan, tirah baring yang terlalu lama maupun karena imobilisasi.
4. Otot yang hipersensitif
dapat menciptakan suatu daerah yang apabila dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri
dan menjalar ke daerah tertentu.

Anda mungkin juga menyukai