Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH MEDICAL SCIENCE

PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SISTEM KARDIOVASKULER

PENYAKIT DARAH TINGGI (HIPERTENSI) PADA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

Disusun oleh Kelompok III :

1. Umi Wakhidah
2. Yulianty
3. Retno Hapsari
4. Umi Yati
5. Nurul Rachmadianti
6. Rahayu Dwi Astutik
7. Adventy Eka Paseru
8. Marlindawati

Dosen Pengajar :
Siti Raihanah, M.Tr.Keb

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI ALIH JENJANG SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
KELAS BULUNGAN
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan
upayakesehatan ibu. AKI adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas
yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena
sebab-sebab lain seperti kecelakaan atau insidental di setiap 100.000 kelahiran hidup. Selain untuk
menilai program kesehatan ibu, indikator ini juga mampu menilai derajat kesehatan masyarakat,
karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun
kualitas. Secara umum terjadi penurunan kematian ibu selama periode 1991- 2015 dari 390 menjadi
305 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu,
namun tidak berhasil mencapai target MDGs yang harus dicapai yaitu sebesar 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Hasil supas tahun 2015 memperlihatkan angka kematian ibu tiga
kali lipat dibandingkan target MDGs.
Jumlah kematian ibu menurut provinsi tahun 2018-2019 terdapat penurunan dari 4.226 menjadi
4.221 kematian ibu di Indonesia berdasarkan laporan. Pada tahun 2019 penyebab kematian ibu
terbanyak adalah perdarahan (1.280 kasus), hipertensi dalam kehamilan (1.066 kasus), infeksi (207
kasus). (Kemenkes RI, 2020)
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyulit kehamilan dan merupakan salah satu
dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan
morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi
yang tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan
sistem rujukan yang belum sempurna. Di negara maju, 16% kematian ibu disebabkan oleh penyakit
hipertensi. Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan.(Krisnadi, 2005)
BAB II
PENYAKIT TEKANAN DARAH TINGGI (HIPERTENSI)
PADA KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

I. PEMERIKSAAN TEKANAN DARAH


Sebelum menegakkan diagnosa hipertensi, bidan harus mampu melakukan pemeriksaan darah
dengan tepat. Tekanan darah diukur secara noninvasif dengan menggunakan stetoskop pada auskultasi
arteri brakialis untuk mendeteksi munculnya dan menghilangnya bunyi Korotkoff, yang masing-masing
mewakili Tekanan Darah Sistolik dan Tekanan Darah Diastolik
Beberapa hal yang harus diperhatikan pemeriksa dalam melakukan pengukuran tekanan darah
adalah:
1. Penglihatan: Pemeriksa harus dapat melihat manometer setinggi mata dan membaca
sphygmomanometer dengan jarak tidak lebih dari 1 meter.
2. Pendengaran: Pemeriksa harus dapat mendengar suara Korotkoff.
3. Koordinasi mata / tangan / telinga: Pemeriksa harus mampu melakukan deflasi manset,
mendengarkan suara Korotkoff, dan membaca sphygmomanometer secara bersamaan.
4. Langkah Pemeriksaan Tekanan Darah
Langkah 1: Persiapkan pasien dengan benar
1. Pasien diminta untuk rileks, duduk di kursi dengan kaki rata di lantai dan punggung ditopang.
Pasien harus duduk selama 3–5 menit tanpa berbicara atau bergerak sebelum melakukan
pengukuran TD pertama.
2. Pasien harus menghindari konsumsi kafein, olahraga, dan merokok setidaknya selama 30 menit
sebelum pengukuran.
3. Pastikan pasien telah mengosongkan kandung kemihnya.
4. Baik pasien maupun pemeriksa tidak boleh berbicara selama waktu istirahat atau selama
pengukuran.
5. Lepaskan pakaian yang menutupi lokasi penempatan manset.

Langkah 2: Gunakan teknik yang tepat untuk pengukuran TD


1. Gunakan alat pengukuran TD yang telah divalidasi, dan pastikan alat tersebut dikalibrasi secara
berkala.
2. Sangga lengan pasien (misalnya Bertumpu pada meja). Pasien tidak boleh memegang lengannya
karena akan mempengaruhi tingkat tekanan darah.
3. Posisikan bagian tengah manset pada lengan atas pasien setinggi atrium kanan (titik tengah
sternum).
4. Gunakan ukuran manset yang benar sehingga manset mengelilingi 75% –100% lengan.
5. Pemeriksa pertama-tama harus meraba arteri brakialis di fossa antekubital dan menempatkan
pusat manset (biasanya ditandai pada manset oleh pabrikan) sehingga berada di atas pulsasi arteri
lengan atas pasien.
6. Ujung bawah manset harus 2 sampai 3 cm di atas fossa antekubiti, sehingga terdapat ruang untuk
penempatan stetoskop.
7. Saat melakukan pengukuran auskultasi, manset awalnya harus dipompa hingga setidaknya 30
mmHg di atas titik di mana denyut radial menghilang.
8. Deflasi manset harus dilakukan secara perlaha dengan kecepatan 2 mm Hg per detik lambat
untuk mendapatkan perkiraan TD yang akurat.
9. Gunakan diafragma stetoskop untuk melakukan auskultasi.
10. Saat tekanan dalam cuff turun di bawah tekanan sistolik, akan terdengar bunyi berdetak :
a. Korotkoff 1 : Bunyi pertama yang terdengar, nilai tekanan yang ditunjukkan merupakan
tekanan sistolik
b. Korotkoff 5 : Titik saat seluruh bunyi hilang, nilai tekanan yang ditunjukkan merupakan
tekanan diastolik
Langkah 3: Lakukan pengukuran yang tepat yang diperlukan untuk diagnosis
1. Pada kunjungan pertama, catat TD di kedua lengan. (Gunakan lengan yang menunjukkan hasil
yang lebih tinggi untuk pembacaan berikutnya.)
2. Lakukan pengukuran ulang setelah 1–2 menit.

Langkah 4: Dokumentasikan dengan benar pembacaan TD yang akurat


1. Catat TD Sistolik dan Diastolik.
2. Catat TD Sistolik dan Diastolik. ke bilangan genap terdekat.
3. Catat waktu penggunaan obat hipertensi terakhir diambil sebelum pengukuran.

Langkah 5: Rata-rata pembacaan


Gunakan rata-rata 2 pembacaan yang diperoleh pada 2 kesempatan untuk menetukan tekanan darah
pasien.

Contoh Pengukuran Tekanan Darah


Pengukuran 1 Pengukuran 2
Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Lengan Kanan 124 mmHg 84 mmHg 120 mmHg 78 mmHg
Lengan Kiri 120 mmHg 80 mmHg 130 mmHg 80 mmHg
124/84 mmHg 130/80 mmHg
Kesimpulan Tekanan Darah Pasien pada
Kunjungan 1 128/82

(Kemenkes RI, 2020)

II. DEFINISI

A. Tinjauan Pustaka

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.1
Hipertensi didefinisikan bila keadaan sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau tekanan
diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai tekanan
diastol. 2
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. 2Sedangkan yang dimaksud dengan eklampsia
adalah kelainan akut pada preeklampsia dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai
dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Ada pula istilah eclampsia sine eclampsia adalah eklampsia yang ditandai oleh penurunan kesadaran
tanpa kejang.2
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan
atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu
pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklampsia atau eklampsia adalah preeklampsia
atau eklampsia yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.2
Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita
yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang
dalam waktu < 12 minggu pascasalin.2

B. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan setiap bentuk hipertensi
yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan
akibat antara kehamilan dan hipertensi – preeklampsia dan eklampsia. 1
Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi secara umum
dengan hipertensi dalam kehamilan (Tabel 2.1). NHBPEP (National High Blood Pressure Education
Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy) memilih klasifikasi tersendiri karena
pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi tekanan darah.
Tabel 1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan TidakHamil
Klasifikasi JNC 7 (TidakHamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)

Normal: Normal/acceptable pada kehamilan


TDS ≤ 120 mmHg TDS ≤ 140 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD ≤ 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg

Hipertensi Stage 1: HipertensiRingan:


TDS ≤ 120 mmHg TDS 140 -150 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD 90 - 109 mmHg

Hipertensi Stage 2 HipertensiBerat


TDS 160 - 179 mmHg TDS ≥ 160 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg TDD ≥ 110 mmHg

Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg

Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi
kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-induced hypertension), dan
pre-eklampsia. Menurut The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy
(ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :

1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil
yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklampsia)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria
sebelum kehamilan 20 minggu)
- Hipertensi kronis (without proteinuria)
- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.3
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi
menjadi 5 tipe, yaitu :
1. HipertensiGestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
5. Hipertensikronik (preexisting hypertention)

Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :


1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun. 1,5
2. Faktor risiko medikal maternal :
- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisolisme,
hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Riwayat migraine
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor> trimester I.1,5
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.1,5

III. ETIOLOGI
Hipertensi dalam kehamilan tidak berdiri sebagai satu penyakit, melainkan terbentuk sebagai
kumpulan dari beberapa faktor yang melibatkan faktor maternal, plasenta, dan janin. Berikut
beberapa etiologi dari hipertensi dalam kehamilan. 1,10

A. Invasi trofoblas yang abnormal

Pada proses implantasi normal, arteria spiralis mengalami proses remodeling akibat terinvasi
oleh trofoblas. Invasi trofoblas ini menyebabkan jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis
akan menurunkan tekanan darah, menurunkan resistensi vaskular, dan meningkatkan aliran darah
uteroplasenta. Dengan begitu, aliran darah ke janin menjadi adekuat dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga pertumbuhan janin terjamin dengan baik.
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras, tidak
memungkinkan mengalami distensi serta vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi, mengalami kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia plasenta. Hal ini memicu pengeluaran
debris plasenta yang merupakan pencetus terjadinya respon inflamasi sistemik.

Gambar 1. InvasiTrofoblas pada Arteri Spiralis Normal dan Preeklampsia

B. Intoleransi imunologik antara janin dan ibu

Beberapa studi menghasilkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa faktor imunologik turut
berperan terhadap hipertensi dalam kehamilan. Risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan pada
primigravida lebih besar dibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang menikah lagi juga
mempunyai risiko lebih besar terkena hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami
yang sebelumnya.
Pada wanita yang hamil normal, terdapat human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang
berperan penting dalam modulasi respons imun sehingga tidak terjadi penolakan hasil konsepsi
(plasenta). HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer
(NK) ibu. HLA-G juga akanmempermudahinvasiseltrofoblaskedalamjaringandesiduaibu. Pada
hipertensi dalam kehamilan, plasenta mengalami penurunan ekspresi HLA-G, sehingga menghambat
invasi trofoblas ke dalam desidua.
Selain itu, pada kehamilan normal, sel limfosit T-helper (Th) diproduksi dengan perbandingan
aktivitas Th2 lebih tinggi dibanding Th1. Namun pada hipertensi dalam kehamilan, di awal trimester
kedua, terjadi perubahan perbandingan antara aktivitas Th 1 dan Th2, di mana Th1 menjadi lebih tinggi
dari Th2.

C. Aktivasi sel endotel

Akibat iskemia pada plasenta karena kegagalan invasi trofoblas, maka plasenta akan
menghasilkan oksidan. Oksidan adalah penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan. Salah satu contohnya adalah radikal hidroksil yang bersifat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran
sel, mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak yang merusak membran sel,
nukleus, dan protein selendotel. Kerusakan sel endotel akan mengakibatkan disfungsi sel endotel
sehingga terjadi: (1) gangguan metabolisme prostaglandin yaitu menurunnya produksi prostasiklin,
suatu vasodilator kuat; (2) agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan
sehingga memproduksi tromboksan, suatu vasokonstrik terkuat yang memicu terjadinya kenaikan
tekanandarah; (3) perubahan pada sel endotel kapiler glomerulus; (4) peningkatan permeabilitas
kapiler; (5) peningkatan produksi bahan vaspresor yaitu endotelin yang merupakan vasokonstriktor;
dan (6) peningkatan faktor koagulasi.
D. Faktorgenetik

Hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu penyakit multifaktorial dan bersifat poligenik.
Suatu studi menyatakan bahwa risiko penurunan preeklampsia dari ibu yang mengalami
preeklampsia kepada anak perempuannya yaitu sebesar 20-40%, dan 22-47% antara saudara kembar.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial, jika
dibandingkan dengan genotipe janin.

E. Faktornutrisi

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut,
dapat mengurangi risiko preeklampsia karena mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang
dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah. Defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil juga akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan

IV. DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Tabel 2. Diagnosis Penyakit hipertensi sebagai Penyulit Kehamilan.

Hipertensi Gestasional
 Tekanan darahsistolik ≥ 140 atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg ditemukan pertama
kali sewaktu hamil.
 Tidak ada proteinuria
 Tekanan darah kembali ke normal sebelum 12 minggu pasca partum
 Diagnosis akhir hamya dapat dibuat pasca partum
 Mungkin memiliki gejala atau tanda lain preeklampsia, misalnya dispepsia atau
trombositopenia
Preeklampsia
Keriteria minimum :
 Tekanan darah sistolik ≥ 140 atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi setelah
kehamilan 20 minggu.
 Proteinuria ≥ 300mg/24 jam atau ≥ 1+ pada pemeriksaan carik celup.
Kemungkinan preeklampsia berat :
 Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
 Proteinuria 2,0g/24 jam atau ≥ 2+ pada pemeriksaan carik celup (dipstik)
 Kreatinin serum > 1,2 mg/dL, kecuali memang sebelumnya diketahui meningkat
 Trombosit < 100.000 µL
 Hemolisis mikroangiopatik – peningkatan HDL
 Peningkatan kadar serum transaminase – ALT atau AST
 Nyeri kepala yang presisten atau gangguan serebral atau visual lainnya.
 Nyeri epigastrik yang presisten.
Eklampsia
 Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan preeklampsia
Hipertensi superimposed preeklampsi
 Proteinuria baru ≥ 300mg/24 jam pada perempuan hipertensi, tetapi tidak ditemukan
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
 Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100.000
µL.
Hipertensi kronis
 TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis kehamilan 20 minggu, tidak
disebabkan penyakit trofoblastik gestasional.
 Hipertensi pertama didiagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap selama 12
minggu pasca persalinan.

Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi
ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklampsia sukar dicegah, tetapi berat dan terjadinya
eklampsia biasanya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan
penanganan secara sempurna.4
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya
penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu
pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil
dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.1,5,6
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau lebih
besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu,
telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg
digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90
mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita
tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan.
Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan
diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg.
Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada
wanita hamil yang normotensi.Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan,
muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklampsia maupun
eklampsia.1,5,6,7

A. Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg
atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria.
Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan
tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup
tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun
proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985), 10% eklampsia
berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila
tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu
tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan
terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin. 8,1
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu : 
- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
- Tidak ada proteinuria.
- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau
trombositopenia.1

B. Preeklampsia

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥1+ pada dipstik. Sedangkan eklampsia adalah preeklampsia yang
disertai dengan kejang.
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara
tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam
urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL
(1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap
periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.8,1
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklampsia adalah hipertensi dengan
proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar,
dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara
terus menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan
kepastian tersebut.1
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular,
iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan
peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.1
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklampsia yang memburuk, dan hal tersebut
mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang
disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya
hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat.1
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem
pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.1
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari : 
Kriteria minimal, yaitu : 
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya Preeklampsia Berat :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3. 
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.1

Beratnya preeklampsia dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada
Tabel 2. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan
karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat. 1
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan
darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya,
pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85
mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak
mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya
didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual. 1
Tabel 3. Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5

Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg

Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+

Proteinuria Tidak ada Ada

Sakit kepala Tidak ada Ada

Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada

Oliguria Tidak ada Ada

Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada

Serum Kreatinin Normal Meningkat

Trombositopeni Tidak ada Ada

Peningkatan enzim hati Minimal Nyata

Hambatan pertumbuhan Tidak ada Nyata


janin
Oedem paru Tidak ada Ada

C. Eklampsia

Serangan konvulsi pada wanita dengan pre-eklampsia yang tidak dapat dihubungkan dengan
sebab lainnya disebut eklampsi. Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama,
atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah
baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Chames dan
kawan-kawan, 2002).1

D. Superimposed Preeclampsia

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :


- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum kehamilan
20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit <100.000/mm 3 pada
wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. 1,5,6,7

E. Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :


- Hipertensi (≥140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
- Hipertensi (≥140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit
trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.1

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak mengetahui
tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum
kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. 6
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama kehamilan
dicatat pada Tabel 4 Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90%
wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita,
hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari. 1
Tabel 4. Penyebab yang mendasari hipertensi kronis1
Hipertensiesensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindromcushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidak cukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut

Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel 5. 9
Tabel 5. Klasifikasi Hipertensi Kronis 9
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 90-99
Hipertensi Stadium II ≥160 ≥100

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat sampai tingkat
abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklampsia yang
mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklampsia yang mendasari hipertensi kronis ini sering
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklampsia murni, dan hal ini cenderung akan
menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang
beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2 dan digunakan juga untuk menggolongkan
preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut. 1

V. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan :
1. Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian untuk janin. Dasar
terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah janin dapat hidup tanpa
komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun dalam perawatan rumah sakit.
2. Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi yang buruk
merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau dengan
menurunkan tekanan darah dapat menimbulkan perubahan patofisiologis.
3. Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis timbul. Penemuan
ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum
diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk
memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi matur. 15

A. Penanganan Pra-kehamilan

Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan darahnya.
Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target
organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang
merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum. 13
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester untuk
menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg)
akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil
dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi
kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan. 13
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui mengenai
penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti
metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya
konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi. 13
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama apabila
terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara
sistematis meliputi :
1. Pemeriksaan detail diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit kepala,
pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan tengah
malam dengan pagi hari.
5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi pemeriksaan
tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan menggunakan
ultrasonografi.1,5,6
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang berlebihan. Tirah
baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein
dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan. 1

B. Penatalaksanaan Hipertensi Kronis Selama Kehamilan

Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial. Peningkatan


morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer berhubungan dengan
terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap
penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam
kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi
superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah >
160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau
autoimun.10
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi.
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan
urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit.
Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi
antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine. 16
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi kardiovaskular
selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa
terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya
menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa
medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang
menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia
dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese.
Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake
garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan. 1,5
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan kemudian
setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus
dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan
dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam
urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi
memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat >
6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.16
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi pada
beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika
menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini
menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah
meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat anti
hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung
antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk
Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan
lamanya terapi.1,5,16
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang lebih dulu
memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti
hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus
dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik
untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan
tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan
darah mencapai  180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat
pada trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian
maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan
dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai
faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada
awal kehamilan.1,5,16
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat
yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan
labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat
pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan
diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan
perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi
diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda
pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis
tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan
potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa.
Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau
labetalol dapat digunakan.1,5,16
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan (test) klinikspesialistik :
- ECG
- Echocardiografi
- Ophtalmologi
- USG ginjal
b. Pemeriksaan (test) laboratorium
- Fungsiginjal : - kreatinin serum, BUN serum, asamurat, proteinuria 24 jam
- Fungsihepar
- Hematologik :Hb, hematokrit, trombosit
PemeriksaanKesejahteraanJanin
a. Ultrasonografi :
b. Hipertensi kronik dalam kehamilan dengan penyulit kardiovaskuler atau penyakit ginjal perlu
mendapat perhatian khusus.
Pengobatan Medika mentosa
Indikasi pemberian antihipertensi adalah :
a. Risiko rendah hipertensi :
- Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ≥ 100 mmHg
- Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ≥ 90 mmHg
b. Obat antihipertensi :
- Pilihan pertama : Methyldopa : 0,5 – 3,0 g/hari, dibagidalam 2-3 dosis.
- Pilihan kedua : Nifedipine : 30 – 120 g/hari, dalam slow-release tablet (Nifedipine harus
diberikan per oral)
Pengelolaan terhadap Kehamilannya
a. Sikap terhadap kehamilannya pada hipertensi kronik ringan : konservatif yaitu dilahirkan
sedapat mungkin pervaginam pada kehamilan aterm
b. Sikap terhadap kehamilan pada hipertensi kronik berat : Aktif, yaitu segera kehamilan diakhiri
(diterminasi)
c. Anestesi : regional anestesi.

Pilihan Obat Anti Hipertensi


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko
maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I
yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah
uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan
anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan. 1
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar
25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita
hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada
preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium,
pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi
perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan
terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi
sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100
mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi
penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang
dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan
waktu.1
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan
masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-
tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis,
peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan
sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan
stress akibat operasi.5,11
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan
rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam
kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral
dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi,
pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan
untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105
mmHg.1,16
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder
yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat
meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar. 5,15
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg
atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg
setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol
turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak
tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness,
palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan
serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi. 1,16
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik post
sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena. 16
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan
digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang
membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan
darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-
rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun
dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg
atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan
durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran
darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode
pengobatan.16
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk
transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi
coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer.
Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila
perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie
dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat
sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien
dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial,
obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan. 1,16
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat
menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat
digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh
Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang
baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin.
Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan
saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama
kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di
ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non
parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin
adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang
tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang. 1,16
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah
terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total
perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan
tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang
merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi
cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3
kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh
wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat
ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-
12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.1,16
5. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan
darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada
sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera
meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan
untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan
menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum
dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin. 15,16
Tabel 2.5 Panduan Obat Anti Hipertensi 16

OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan darah
sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam). Dosis
maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal, beri
40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan mdosis
maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada wanita dengan
asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam terapi
hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon terhadap
nitroprussid obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25 µg/kg/menit
sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida terjadi jika
digunakan lebih dari 4 jam.

C. Efek Samping Obat

Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :


1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang
mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan
hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang
tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin
terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada
kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat
telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini
adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat. 15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia,
hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga
dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
1. Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan
untuk mensupresi laktasi.
2. Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah
ditemukan pada janin.
3. Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada
plasma ibu.
4. Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor. 15

VI. PATOFISIOLOGI1,10

A. Volume Plasma
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (hipervolemia), untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi volume plasma terjadi pada usia
kehamilan 32-34 minggu. Namun pada hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan volume plasma
antara 30-40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah.

B. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting dalam penegakkan diagnosis hipertensi dalam
kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik
menggambarkan besaran curah jantung. Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung,
volume plasma, resistensiperifer, dan viskositasdarah. Hipertensi dapat terjadi akibat vaso spasme
menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg selang 6 jam.

C. Fungsi Ginjal
Perubahan fungsi ginjal terjadi akibat menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia,
sehingga terjadi oliguria, bahkan anuria; kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria; terjadi
pembengkakan disertai deposit fibril sehingga menyebabkan adanya endoteliosis kapiler glomerulus
gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus ginjal; serta adanya kerusakan intrinsik jaringan ginjal
akibat vasospasme pembuluh darah.
Gambar 2. EndoteliosisKapiler pada Preeklampsia

D. Elektrolit

Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada hipertensi dalam kehamilan,
elektrolit total samaseperti hamil normal, kecuali bila diberi diuretikum banyak, restriksi konsumsi
garam, atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preeklampsia berat yang
mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Kejang pada eklampsia
menyebabkan kadar bikarbonat menurun akibat adanya asidosis laktat dan kompensasi hilangnya
karbondioksida.

E. TekananOsmotikKoloid Plasma/TekananOnkotik

Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada usia kehamilan 8 minggu. Pada
preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran protein dan peningkatan
permeabilitas vaskular.

F. Koagulasi dan Fibrinolisis

Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia yang pada umumnya bersifat
ringan namun sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan Fibrin Degradation Products
(FDP), penurunanan titrombin III, dan peningkatan fibronektin.

G. Viskositas Darah
Komponen yang menentukan viskositas daraha dalah volume plasma, molekul makro: fibrinogen
dan hematokrit. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi peningkatan viskositas darah yang
meningkatkan resistensi perifer serta menurunkan aliran darah ke organ.

H. Hematokrit
Pada kehamilan fisiologis, terjadi penurunan hematokrit karena hipervolemia, kemudian
meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada hipertensi dalam kehamilan,
terjadi peningkatan hematokrit karena hipovolemia.

I. Edema
Edema sering kali dijumpai pada kehamilan, 40% edema terjadi pada hamil normal, 60% pada
kehamilan dengan hipertensi, dan 80% pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema
terjadi akibat hipo albuminemia atau kerusakan sel endotelkapiler. Edema yang bersifat patologik
adalah edema yang nonedependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan disertai
dengan kenaikan berat badan yang cepat.

J. Hematologik
Perubahan hematologik terjadi oleh karena adanya hipovolemia akibat vasospasme, hipo
albuminemia, hemolisis mikroangiopatik akibat spasmearteriol dan hemolisis akibat kerusakan
endotel. Hal ini akan menyebabkan peningkatan hematokrit. Terkadang pada hipertensi
kehamilan dapat terjadi penurunan trombosit<100.000 sel/ml yang disebut dengan
trombositopenia, yang dapat mengarah kepada hemolisis dan destruksieritrosit.
K. Hepar
Hepar mengalami perubahan akibat adanya vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Perdarahan
pada periportal lobus periferakan menyebabkan nekrosissel hepar dan peningkatan enzim hepar.
Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar (subkapsular hematoma) yang
menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menyebabkan ruptur hepar, sehingga
perlu dilakukan pembedahan.

L. Neurologik
Perubahan neurologik yang terjadi pada hipertensi dalam kehamilan yaitu nyeri kepalaakibat
edema vasogenik oleh karena hiperperfusiotak; gangguan visus karena spasme arteri retina dan
edema retina; hiper refleksia; kejang eklamptik; dan perdarahan intrakranial yang dapat terjadi
pada preeklampsia berat dan eklampsia.

M.Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan afterload akibat hipertensi dan penurunan
preload akibat hipovolemia.

N. Paru
Penderita preeklampsia berat berisiko mengalami edema paru akibat payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.

O. Janin
Preeklampsia dan eklampsia umumnya menyebabkan penurunan perfusi utero plasenta,
hipovolemia, vasospasme dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Oleh sebab itu sering
kali dijumpai janin mengalami intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion,
kelahiran prematur, yang berarti meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin.
BAB III

PENUTUP

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi
5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi, eklamsi, preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis,
dan hipertensi kronis.

Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu faktor risiko maternal, faktor
risiko medikal maternal, dan faktor risiko plasental atau fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi trofoblastik abnormal
pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi
maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan
pengaruh genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama pemberian obat
anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, HypertensiveDisorders in


Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGrawHill, 2005 : 761-808

2. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis dan terapi
Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 :
60-70

3. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics & Gynaecology,


edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234

4. Mose J, Gestosis, dalamObstetriPatologi :Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2, Sastrawinata S,


Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC, 2003 : 68-82

5. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 24 Oktober 2009,
dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435

6. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran Fetomaternal


POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia, edisi ke-2, Angsar M,
penyunting, 2005: 1-27

7. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku Gangguan Hipertensi
dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1, Koesoema H, penyunting, Jakarta :
Widya Medika, 2002: 202-213

8. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 8 Juni 2017, dari http
: //www.uptodate.com/patients/content/topic

9. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National Committee, NIH
publication, 2004 : 49-52

10. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3, Wiknjosastro
H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2005: 281-301

11. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 8 Juni
2017, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full

12. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology Principles for
Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
13. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National Committee, NIH
publication, 2004 : 49-52

14. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 8 Juni 2017, dari
http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115

15. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplan’s Clinical
hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2002:
404-433

16. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current Obstetrics and
Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGraw-Hill, 2003: 338-353

17. Saiffudin AB, Gulardi HW, Biran A, et al. 2014. Buku Panduan PraktisPelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo.

18. World Health Organization. 2013. BukuSakuPelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. 1st ed. Jakarta: WHO Indonesia.

19. Kementrian Kesehatan Indonesia. 2020. Profil Kesehatan Indoseia 2019. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai