Anda di halaman 1dari 10

SATUAN ACARA PENYULUHAN

ACUTE CORONER SYNDROME

TOPIK : Acute coroner syndrome


HARI/TANGGAL : Sabtu, 20 Oktober 2018
WAKTU : 20 Menit
PENYAJI : Devy Ristiya I.R., S.Kep
Novita Febri S., S.Kep
TEMPAT : Ruang Anggrek RSUD Bangil

A. Tujuan
I. Tujuan Penyuluhan Umum
Setelah selesai mengikuti penyuluhan tentang acute coroner syndrome selama
20 menit, klien dan keluarga mampu memahami mengenai acute coroner
syndrome.
II. Tujuan Penyuluhan Khusus
Setelah selesai mengikuti penyuluhan, keluarga mampu:
1. Mengetahui pengertian acute coroner syndrome
2. Mengetahu penyebab acute coroner syndrome
3. Mengetahui tanda dan gejala acute coroner syndrome
4. Mengetahui penanganan acute coroner syndrome
5. Mengetahui pencegahan kekambuhan acute coroner syndrome

B. Materi
Materi penyuluhan yang akan diberikan meliputi :
1. Pengertian Acute coroner syndrome
2. Etiologi Acute coroner syndrome
3. Manifestasi klinik Acute coroner syndrome
4. Penatalaksaan Acute coroner syndrome
5. Pencegahan Acute coroner syndrome

C. Metode
Ceramah dan Tanya Jawab

D. Media
Media yang digunakan untuk penyuluhan, adalah : leaflet
E. Waktu Pelaksanaan
Hari : Selasa
Tanggal : 15 Maret 2016
Jam : 09.00 WIB
Alokasi Waktu : 30 menit

No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta


1. 5 menit Pembukaan :
Salam pembuka
1. Memperkenalkan diri, menjelaskan topik Mendengarkan dan
penyuluhan dan tujuan penyuluhan. memperhatikan.
2. Menggali pengetahuan tentang pengertian, Menjawab pertanyaan
etiologi, dan manifestasi klinik Acute coroner yang diajukan oleh
syndrome, serta cara pencegahannya. penyaji.

2. 15 menit Penyajian :
Menjelaskan materi tentang :
1. Pengertian, etiologi, manifestasi klinik Acute Mendengarkan dan
coroner syndrome memperhatikan.
2. Penatalaksanaan Acute coroner syndrome
3. Pencegahan Acute coroner syndrome Mengajukan pertanyaan
4. Memberi kesempatan untuk bertanya. bila kurang mengerti.
5. Menjawab pertanyaan. Mendengarkan dan
memperhatikan.
3. 10 menit Penutup :
1. Melakukan evaluasi dengan memberikan Menjawab pertanyaan
pertanyaan.
2. Menyimpulkan materi yang telah disampaikan.
3. Memberi kesempatan kepada peserta untuk Mengajukan pertanyaan
bertanya kembali jika kurang jelas.
4. Mengucapkan salam penutup.
F. Tempat Pelaksanaan
1) Tempat
Ruang Anggrek RSUD Bangil
2) Setting Ruangan
a. Moderator : Anang Kurniawan, S.Kep
b. Penyaji : Devy Ristiya I.R., S.Kep
Novita Febri S., S.Kep
c. Observer : Bayu Indra S, S.Kep
d. Fasilitator : Rianja Ikhwan A., S.Kep
Niluh Dede Ayu M., S.Kep
e. Pasien / Keluarga

B B

E E
D E D

G. Evaluasi
Pasien / keluarga yang dapat menyebutkan pengertian, etiologi, manifestasi,
penatalaksanaan dan pencegahan acute coroner syndrome:
 Baik : 100 %
 Sedang : 60 % - 90 %
 Kurang : < 50 %
ISI MATERI

A. Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung
dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat
iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infarct
myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark
miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis
penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi
utama proses aterosklerosis.
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak
digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh
darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang
terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina),
infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun
angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan.
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium.

B. Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya
terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi).
Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
1) Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolesterol tinggi.
2) Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3) Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang
terus menerus.
4) Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut
(SKA) dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
1) Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2) Stress emosi, terkejut
3) Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,
frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.
C. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut
(SKA) menurut Braunwald (1993) adalah:
 Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per
hari.
 Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan
pada waktu istirahat.
 Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
 Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti
anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia
karena gagal napas.
 Kelas B: Primer.
 Kelas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati.
Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis
kalsium ) Antiangina dan nitrogliserin intravena.

D. Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa
keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar
ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas
dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi
kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai
kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
 Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
 Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke
rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat
timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita
yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita
yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya
menjadi lebih berat atau lebih sering.
 Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah
atau keringat dingin.

E. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)


Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien
sindrom koroner akut (SKA) adalah:
 Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
 Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-
mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit
dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip
intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah
sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki
pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan
dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran
kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi
pertanyaan).
 Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous
capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun
dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load
menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis
2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi,
dan depresi pernapasan.
 Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah
menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah
pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi
platelet dan konstriksi arterial.
 Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan
bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The
Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan
kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal
IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan
absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada
stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada
pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau
setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin).
Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan
berulangnya angina pectoris.
 Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini
menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP
(adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian
vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin
untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah
mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner
dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan
pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x
250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan
menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan
menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21.
Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia
(meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada
minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila
dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia
dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin,
meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap
1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan
tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi
dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah
pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian
CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada
ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke)
pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA)
meliputi:
 Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-
preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia)
dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai
efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun
dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan
terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000
ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
 Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada
APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh
lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance;
mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet;
tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand;
kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan
aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak
menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan
dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam
preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis
Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena
bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg
subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
 Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran
bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek
antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian
Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan
Asparin.
 Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan
pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila
diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi
(studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan
Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA,
sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase
kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada
mortalitas 4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet
tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin,
ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab,
Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga
secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner
dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara
invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan
untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah
dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan
Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil
cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya
dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun
ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah
platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek
trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada
Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga
karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang
kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya
trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas
Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara
intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram
untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
 Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang
berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan
yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
 Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu
pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus
APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA)
kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang
diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas
ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama
saja.
 Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik
kateterisasi jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan
memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan
atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu
dipasang alat yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan
dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal.

Anda mungkin juga menyukai