Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS CKS (Cedera

Kepala Berat) DI RUANG ZAL DALAM RSUD SUMBAWA

DISUSUN OLEH :
VANI ROSALINA

AKADEMI KEPERAWATAN SAMAWA


SUMBAWA BESAR
2018
1. Konsep Dasar Teori
1.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma
yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak, dan cedera
kepala paling sering dan penyakit
neurologik yang serius diantara
penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
(Brunner & Suddarth, 2002)
Cedera kepala sedang adalah
cedera kepala dengan GCS
(Galsgow Coma Scale) antara 9 sampai 13 (Mansjoer, Arif. 2000).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma
Glssgow (SKG) antara 9-12 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat mengalami
fraktur tengkorak (Hudak dan Gallo, 1997)
1.2 Etiologi
Penyebab dari cedera kepala sedang antara lain:
a. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
b. Jatuh, benturan dengan benda keras
c. Karena pukulan dengan benda tajam, tumpul dan perkelahian
d. Cerdera karena olah raga
Berbagai macam penyebab dari cedera kepala diantaranya karena
adanya percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan
atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur
objek yang tidak bergrak. Kerusakan otak bias terjadi pada titik
benturan pada sisi yang berlawanan
1.3 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri
dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi
deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
kearah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik
bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan
titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah
benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup).
Menurut Tarwoto dkk, adanya cedera kepala dapat mengakibatkan
kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan
pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala
primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara
langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan
otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer,
misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom
adalah berkumpulnya darah di dalam jaringan serebral.
Kematian pada cedera kepala disebabkan karena hipotensi karena
gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak,

1.4 Tanda dan Gejala


Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada
jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat,
bisanya menunjukkan adanya fraktur.
a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur,
dan atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan
tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
b. Fraktur dasar tengkorak
Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau
lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat
menimbulkan tanda seperti :
1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di
bawah konjungtiva
2) Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle
sign)
c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
d. Penurunan kesadaran
e. Sakit kepala
f. Mual, muntah
g. Pingsan
1.5 Pathway

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya Terputusnya
Jaringan otak rusak
kontinuitas kontinuitas
jaringan otot jaringan tulang
dan vaskuler

Kerusakan - Perubahan
sel otak ↑ autoregulasi
Kerusakan - Odema
Gangguan suplai
jaringan tulang ↑ sereberal
darah ke jaringan
Stress

Kejang
Iskemia Mengenai sel saraf

↑ katekolamin

Hipoksia Spasme otot


Penurunan kesadaran
pernafasan
↑ sekresi asam
lambung
Gg. Perfusi
Kerusakan
Jaringan Gg. Pola Nafas
mobilitas fisik
tidak Efektif
Mual dan muntah

perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh

Sumber : modifikasi http://worldhealth-bokepzz.blogspot.com


1.6 Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan
hematom intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial
karena ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak
diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak
melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan
iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
c. Defisit neurologik dan psikologik
d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis, abses otak)
f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang
berat badan)

1.7 Penatalaksanaan

1. Pedoman Resusitasi dan penilaian awal

a. Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan


muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal
segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal,
pasang guedel bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial
mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.

b. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan


atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen
Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi,jika tersedia,
dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika
jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau
memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan
PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah
maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.

c. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.


Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau
dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang
alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit,
glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam
salin ) menimbulkan eksaserbasi edema otak pascacedera
kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia
memperburuk cedera kepala.

d. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera


kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg
intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali
bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

2. Pedoman Penatalaksanaan

a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,


lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi antero-
posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7
normal.

b. Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat,


lakukan prosedur berikut :
1. Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal
( NaCl 0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada
cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah
edema serebri.
2. Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer
lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan
kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin
parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila
perlu.
c. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada
tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini
lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera
kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi adanya:

1. Hematoma epidural
2. Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak
4. Edema serebri
5. Obliterasi sisterna perimesensefalik
6. Pergeseran garis tengah
7. Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan
pneumosefalus
d. Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan
tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:

1. Elevasi kepala 30 derajat


2. Hiperventilasi: intubasi dan berikan venlilasi
mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20
kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.Atur
tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat
( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari sebab dapat
menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri
3. Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30
meni. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian
yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam pertama
4. Pasang kateter Foley
5. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
(hematoma epidural yang besar, hematoma, cedera
kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe )
e. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah
pelaksanaan operasi trepanasi.
Trepanasi/kraniotomi adalah
suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan untuk
mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti
adanya SDH (subdural
hematoma) atau EDH (epidural
hematoma) dan kondisi lain pada
kepala yang memerlukan
tindakan kraniotomi). Epidural
Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang
dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang
terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea.
Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1) Penurunan
kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai
faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik
yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa
dilakukan. Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi
adalah memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest
total, pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat
kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak,
mencegah komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan
ke fungsi normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga,
pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.

2. Konsep Dasar Askep


2.1 Pengkajian
a. Biodata
Biodata meliputi nama, alamat, umur, pekerjaan, agama, suku, No.
RM, tanggal MRS dan dx. medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Biasanya klien datang ke RS karena terjadinya penurunan
kesadaran akibat trauma pada kepala.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien datang ke RS karena mendapat trauma pada
kepala baik oleh benda tumpul ataupun tajam dengan keluhan
pusing atau sampai terjadi penurunan kesadaran.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada RPD dikaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami
cedera kepala, riwayat hipertensi, riwayat DM dan apakah klien
mempunyai alergi obat.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah ada keluarga yang pernah mengalami kejadian
yang sama dan adakah keluarga yang menderita hipertensi dan
DM
5) Riwayat Bio-Psiko-Sosial Spiritual (modifikasi Virginia dan
Gordon)
a) Pola Nutrisi
Biasanya terjadi mual, muntah serta penurunan nafsu makan
b) Pola Eliminasi
Terjadi inkontinensia urin dan gangguan saat BAB
c) Pola Personal Hygiene
Akan terjadi defisit perawatan diri akibat dari rasa pusing,
lemah atau penurunan kesadaran
d) Pola Istirahat dan Tidur
Gangguan pola tidur dapat berupa kesulitan tidur akibat rasa
pusing atau terjadi penurunan kesadaran
e) Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman
Klien mengalami kegelisahan, rasa pusing atau sakit kepala
pada lokasi trauma dengan skala yang berbeda pada setiap
individu
f) Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dapat meningkat atau menurun akibat syok
yang dialami klien
g) Pola Respirasi
perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif.
h) Pola Neurologis
Terjadi penurunan kesadaran, pusing, vertigo, hilang
keseimbanagn.
i) Kebutuhan Spiritual
Akan terjadi keterbatasan dalam beribadah karena cedera
yang dialami terutama saat terjadi penurunan kesadaran.
j) Pola Aktivitas dan Latihan
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan sampai
terjadi penuruna kesadaran
6) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala
Terdapat memar atau luka robekan pada kulit kepala, ada
benjolan pada kepala, ada nyeri tekan pada kepala
b) Wajah
Mengkaji apakah terdapat memar di wajah, kelainan pada
mata, hidung, telinga dan mulut. Apakah terdapat massa, lesi
dan nyeri tekan
c) Leher dan Dada
Mengkaji kesimetrisan leher dan dada, apakah tarikan
didnding dada simetris atau tidak, adakah benjolan atau luka
pada leher dan dada, serta adakah nyeri tekan.
d) Abdomen
Apakah ada kelainan pada abdomen sepertin adanya
benjolan, lesi atau luka dan nyeri tekan
e) Ekstremitas
Mengkaji apakah ada fraktur, keutuhan kulit, ada lesi,
meraba akral
7) Pemeriksaan Penunjang
a) CT Scan Kepala
Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.Pemeriksaan
berulang mungkin diperlukan karena pada iskemik/ infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.
b) MRI
Sama dengan skan CT dengan/ tanpa menggunakan kontras.
c) EEG
Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya
gelombang patologis
d) Pungsi Lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subaraknoid

2.2 Diagnosa Keperawatan


Pre Operasi
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral,
edema serebral
2. Resti pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif,
obstruksi trakeobronkial
Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
(trauma jaringan, kulit tidak utuh)
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
2.3 Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral.
Tujuan : perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD, nadi,
RR, dan suhu tubuh), pupil isokor, klien tidak
gelisah, GCS 15, tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
1. Kaji status status neurologis 1. mengkaji adanya
yang berhubungan dengan kecenderungan pada tingkat
tanda-tanda TIK; terutama kesadaran dan potensial
GCS. peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
2. Monitor tanda-tanda vital 2. normalnya autoregulasi
secara rutin sampai keadaan mempertahankan aliran darah
klien stabil otak yang konstan pada saat
ada fluktuasi tekanan darah
sistemik.
3. Naikkan kepala dengan sudut 3. meningkatkan aliran balik vena
15o-45o tanpa bantal dan dari kepala, sehingga akan
posisi netral. mengurangi kongesti dan
edema.
4. Monitor asupan setiap 4. pembatasan cairan mungkin
delapan jam sekali. diperlukan untuk menurunkan
edema serebral.
5. Kolaborasi dengan tim medis 5. dapat digunakan pada fase akut
dalam pemberian obat- untuk menurunkan air dari sel
obatananti edema seperti otak, menurunkan edema otak
manitol, gliserol dan lasix. dan TIK.
6. Berikan oksigen sesuai 6. menurunkan hipoksemia yang
program terapy. dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah
serebral yang meningkatkan
TIK.

b. Resti pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan
persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial
Tujuan : pola nafas tetap efektif.
Kriteria hasil : pola napas dalam batas normal frekuensi 16 – 24
x/menit dan iramanya teratur, tidak ada suara nafas
tambahan, gerakan dada simetris tidak

Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. perubahan dapat
frekuensi, irama dan bunyi menandakan awitan
napas. komplikasi pulmonal atau
menandakan luasnya
keterlibatan otak.
2. Atur posisi klien dengan 2. untuk memudahkan
posisi semi fowler (15o – 45o). ekspansi paru dan
menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan
napas.
3. Kaji reflek menelan dan batuk 3. Pada klien yang mengalami
klien penurunan reflek menelan
dan batuk dapat
meningkatkan resiko
gangguan pernafasan
4. Anjurkan klien latihan napas 4. Mencegah / menurunkan
dalam apabila sudah sadar. atelektasis
5. Lakukan kolaborasi dengan 5. untuk mencegah terjadinya
tim medis dalam komplikasi
pemberian terapi.

c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi


atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan;
missal tirah baring, imobilisasi.
Tujuan: mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi
dekubitus dan kontraksi sendi.

Kriteria hasil : klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut
dan gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada
tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan mobilisasi. 1. dapat mengidentifikasi tingkat
ketergantungan klien.
2. Kaji derajat ketergantungan 2. Untuk mengetahui derajat
klien dengan menggunakan ketergantungan klien :
skala ketergantungan. (0) : Klien mandiri
(1) : Klien memerlukan
bantuan minimal
(2) :Klien memerlukan
bantuan sedang,
pengawasan dan
pengarahan
(3) : Memerlukan bantuan
terus menerus dan
memerlukan alat Bantu
(4) : Memerlukan bantuan
total
3. Atur posisi klien dan ubahlah 3. perubahan posisi secara
secara teratur tiap dua jam teratur dapat meningkatkan
sekali bila tidak ada kejang. dan mencegah adanya
penekanan pada organ yang
menonjol.
4. Bantu klien dalam gerakan- 4. mempertahankan fungsi sendi
gerakan kecil secara pasif dan mencegah penurunan
apabila kesadaran menurun tonus otak.
dan secara aktif bila klien
kooperatif.
5. Berikan motivasi dan latihan 5. meminimalkan atrofi otot,
pada klien dalam memenuhi meningkatkan sirkulasi,
kebutuhan sesuai kebutuhan. membantu mencegah
kontraktur.
6. Lakukan kolaborasi dengan 6. program yang khusus dapat
tim kesehatan lain dikembangkan untuk
(fisioterapy). menemukan kebutuhan yang
berarti/menjaga kekurangan
tersebut dalam keseimbangan,
koordinasi dan kekuatan.

d. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk
mengunyah, menelan, status hipermetabolik
Tujuan : kekurangan nutrisi tidak terjadi.
Kreteria hasil : BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada,
nafsu makan tatap ada, Hb tidak kurang dari 10
gr%.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan 1. kelemahan otot dan refleks
mengunyah, menelan, reflek yang hipoaktif/ hiperaktif
batuk dan pengeluaran sekret. dapat mengidentifikasikan
kebutuhan akan metode
makan alternatif.
2. Auskultasi bising usus dan 2. kelemahan otot dan hilangnya
catat bila terjadi penurunan peristaltik usus merupakan
bising usus. tanda bahwa fungsi defekasi
hilang yang kemudian
berhubungan dengan
kehilangan persyarafan
parasimpatik usus besar
dengan tiba-tiba.
3. Berikan makanan dalam porsi 3. dapat diberikan jika klien
sedikit tapi sering baik tidak mampu untuk menelan.
melalui NGT maupun oral.
4. Timbang berat badan. 4. mengkaji keefektifan aturan
diet.
5. Tinggikan kepala klien ketika 5. latihan sedang membantu
makan dan buat posisi miring dalam mempertahankan tonus
dan netral setelah makan. otot /berat badan dan melawan
depresi.
6. Lakukan kolaborasi dengan 6. pengobatan masalah dasar
tim kesehatan untuk tidak terjadi tanpa perbaikan
pemeriksaan HB, Albumin, status nutrisi.
protein total dan globulin.

2.4 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan
kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama
melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien

2.5 Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik
dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam
melaksanakan rencana kegiatan klien secara optimal dan mengukur
hasil dari proses keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Aplikasi Asuhan Keperawatan Bedasarkan NANDA & NIC-NOC Edisi Revisi.


(2012). Yogyakarta: Media Hardy

Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono,
Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Doengos Merlyn E. 2009 .Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC. Jakarta


Hudak & Gallo, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Edisi VI Volume
2, EGC, Jakarta.

Mansjoer, A, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.

Tarwoto, et. al. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai