Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2


BAB I ............................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 3
1.1 Latar belakang ..................................................................................................................................... 3
1.2 Rumusan masalah ............................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan penelitian ................................................................................................................................ 4
BAB II........................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 5
2.1Pengeritan etika .................................................................................................................................... 5
2.2 Fungsi etika ......................................................................................................................................... 5
2.3 Pengertian profesi ............................................................................................................................... 6
2.4 Etika profesi ........................................................................................................................................ 7
2.5 Profesi hukum ..................................................................................................................................... 7
2.6 Tanggung jawab profesi hukum.......................................................................................................... 7
2.7 Nilai moral profesi hukum .................................................................................................................. 8
2.8 Etika profesi hukum .......................................................................................................................... 10
2.9 Teori hukum dalam hubungannya dengan etika .............................................................................. 11
2.11 Eksistensi etika profesi hukum ....................................................................................................... 13
2.12 Fungsi kode etik profesi hukum ...................................................................................................... 15
2.13 Profesi hukum dan penegakan hukum ............................................................................................ 17
2.14 Profesi hukum dan menejemen hukum ........................................................................................... 20
2.15 Profesi hukum dan unsur-unsur penegakan hukum ........................................................................ 20
2.16 Masalah-masalah profesi hukum .................................................................................................... 22
2.17 Alasan mengabaikan kode etik profesi ........................................................................................... 28
2.18 Upaya untuk mematuhi kode etik profesi ....................................................................................... 30
2.19 Contoh kasus ................................................................................................................................... 31
2.20 Kode etik profesi hukum ................................................................................................................. 33
BAB III ....................................................................................................................................................... 46
PENUTUP .................................................................................................................................................. 46
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 47
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-
Nya dari TuhanYang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai
etika dan tanggung jawab profesi hukum.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya
yang berhubungan dengan etika dan tanggung jawab profesi hukum .

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman


danmenambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis,


maka tulisan inimasih banyak kekurangan.Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat


bermanfaat bagisemua pihak yang membacanya tentang etika dan tanggung jawab
profesi hukum.

Makassar,16 november 2018

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Berbicara mengenai etika dan tanggung jawab profesi hukum adalah berbicara mengenai
bagaimana seorang penegak hukum beretika dan bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya profesi hukum harus mampu
memberikan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum
dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Secara normatif das solen etika dan tanggung jawab profesi hukum saat ini terlihat baik dan
sempurna. Misalnya profesi seorang jaksa yang mempunyai keududukan sebagai wakil negara
dalam bidang peradilan. Tugas wakil negara adalah hal yang penting terutama kaitanya dengan
kewibawaan negara. Akan sangat baik bila profesi seorang jaksa atau profesi hukum yang lain
mempunyai etika dan tanggung jawab yang baik sehingga dapat dipercaya dan diakui oleh
masyrakat.

Dalam kenyataan das sein citra etika profesi hukum tidak sebaik dan seindah tugas dan
kewajibannya yang sangat ideal. Di tengah-tengah masyarakat banyak terjadi penyalahgunaan
profesi hukum tersebut disebebakan adanya faktor kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa
penyalahgunaan profesi hukum atau tidak adanya disiplin diri.

Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain,
pengembalaan hukum yang berada jauh dibawah cita-cita tersebut. Selain itu penyalahgunaan
profesi terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan
tentunya ingin menang. Klien biasanya tidak segan-segan menawarkan bayaran yang
menggiurkan baik kepada penasehat hukum ataupun hakim yang memeriksa perkara.

3
Masyarakat pun mulai menilai bahwa profesi hukum tidak lagi menjadi teladan hukum yang
baik, dan membuat masyarakat tidak percaya kepada aparat penegak hukum. Dengan ini untuk
menjaga profesi hukum yang diteladani perlu adanya etika dan tanggung jawab profesi hukum.

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah, diantaranya:

a. Apa pengertian etika?


b. Apa fungsi etika ?
c. apa pengertian profesi ?
d. Apa pengertian etika profesi ?
e. Apa pengertian profesi hukum?
f. Bagaimana tanggung jawab profesi hukum ?
f. Nilai-nilai moral profesi hukum ?
g. Pengertian etika profesi hukum ?
h. Teori hukum dalam hubungannya dengan etika ?
i. Apa dampak penegakan dan pelanggaran etika ?
j. Eksistensi etika profesi hukum ?
k. Apa fungsi kode etik profesi hukum ?
l. Profesi hukum dan penegakan hukum ?
m. Profesi hukum dan menejemen hukum ?
n. Profesi hukum dan unsur-unsur penegakan hukum ?
o. Masalah-masalah profesi hukum ?
p. Apa alasan mengabaikan kode etik profesi?
q. apa upaya untuk mematuhi kode etik profesi ?
r. Contoh kasus?

1.3 Tujuan penelitian


Tujuan dari penelitian ini yaitu agar kita dapat mengetahui apa itu
etika profesi dan tanggung jawab profesi hukum, mengetahui etika profesi dantanggyng jawab
profesi hukum, dan bisa mempelajari kasus pelanggaran kode etik seorang profesi.
4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1Pengeritan etika
Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang
kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu
tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang berarti kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf pertama yang berbicara tentang etika
secara kritis, reflektif, dan komprehensif. aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika
sebagai cabang filsafat tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup
yang baik dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang
bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. menurut
Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya berarti manusia itu mencapai dirinya
sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang
menjadi tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.
Perilaku menjadi obyek pembahasan etika, karena dalam perilaku manusia menampakkan
berbagai model pilihan atau keputusan yang masuk dalam standar penilaian atau evaluasi,
apakah perilaku itu mengandung kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi
orang lain.

2.2 Fungsi etika


Di era modernisasi dengan segala kecanggihan yang membawa perubahan dan pengaruh
terhadap nilai-nilai moral, adanya berbagai pandangan ideologi yang menawarkan untuk menjadi
penuntun hidup tentang bagaimana harus hidup dan tentunya kita hidup dalam masyarakat yang
semakin pluralistik, juga dalam bidang moral sehingga bingung harus mengikuti moralitas yang
mana, untuk itu sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan Magnis

5
Suseno (1991 : 15), yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan
dengan moralitas yang membingungkan.

2.3 Pengertian profesi


Profesi dalam kamus besar bahasa indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. jenis profesi yang dikenal antara lain :
profesi hukum, profesi bisnis, profesi kedokteran, profesi pendidikan (guru). menurut Budi
Santoso ciri-ciri profesi adalah :

a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan
diperluas;

b. suatu teknis intelektual;


c. penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis ;
d. suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi;
e. beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan;
f. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
g. asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan
kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;
h.pengakuan sebagai profesi;
i. perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan
profesi;
j. hubungan erat dengan profesi lain

6
2.4 Etika profesi
Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang
kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia (Magnis Suseno et.al.,
1991 : 9). untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi
dari pelakunya ( Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :

1. Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
2. Sadar akan kewajibannya, dan
3. Memiliki idealisme yang tinggi.

2.5 Profesi hukum


Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam
suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8). profesi hukum dari aparatur hukum
negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional, memiliki tingkat
ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian yang tinggin karena mereka
bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila
terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan
akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.

2.6 Tanggung jawab profesi hukum


Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa indonesia adalah keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung,memikul tanggung jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya

7
Tanggung jawab dalam pengertian kamus diterjemahkan dengan kata “responsibility: having the
caracter of a free moral agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by

consideration of sanction or consequences”.

Definisi ini memberikan pengertian yang dititikberatkan pada:

a. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan

b. Harus ada kesanggupan untuk memikul risiko dari suatu perbuatan.

Bila pengertian itu dianalisis lebih luas, akan kita dapati bahwa dalam kata having the caracter
itu dituntut sebagai suatu keharusan, akan adanya suatu pertanggungan moral/karakter.

Tanggung jawab profesi hukum itu sendiri diartikan dalam menjalankan tugasnya,
profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya:1

(1) Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya.
(2) Bertindak secara profesional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo).

Tanggung jawab sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja
maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran
akan kewajibannya.

2.7 Nilai moral profesi hukum


Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari
pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz
Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian
profesional hukum.

8
1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi
profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat
dalam kejujuran yaitu :
a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau secara
cuma-cuma
b. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok
kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.

2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang
sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. tidak menyalahgunakan wewenang;
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela;
c. mendahulukan kepentingan klien;
d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;
e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

3.Bertanggung Jawab

Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya :


a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya
b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo);
c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.

4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan
moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian
sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak
terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan
dan agama.

5. Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk
menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

9
2.8 Etika profesi hukum
Dari hasil uraian diatas dapat kita rumuskan tentang pengertian etika profesi hukum sebagai
berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut
dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku
dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini
dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat
hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.

Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun
makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika adalah, pertama, dengan
dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro
diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan
etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat
ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat,
dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan terjadinya free fight
competition dan abus competition dan terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar
tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga
tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.

Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan utama dengan
tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela". Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan
dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan
individu, akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain.
Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan
memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika, kehidupan manusia manjadi jauh lebih
bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.

Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum,
bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial
dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan
pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat
disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal
10
itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika
bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara
keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-
duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada
aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang
seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak
orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak
pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan
oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang
menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.

2.9 Teori hukum dalam hubungannya dengan etika


Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika adalah "teori hukum

sibernetika". Teori ini menurut Winner, hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi

antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang

kekuasaan, yang menurut premis yang mendahuluinya disebut sebagai central organ. Perwujudan

tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu,

penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu sengketa.

Dengan cara demikian, setiap individu diharapakan berperilaku sesuai dengan perintah, dan

keadilan dapat terwujud. Teori ini menunjukan tentang peran strategis pemegang kekuasaan yang

memiliki kewenangan untuk membuat (melahirkan) hukum. dari hukum yang berhasil disusun,

diubah, diperbaharui, atau diamandemen ini, lantas dikosentrasikan orientasinya unyuk

mengendalikan komunikasi antar individu dengan tujuan menegakan keadilan. Melalui

implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapakan perilaku individu

dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa,

11
konflik atau pertikaian, lantas dicarikan landasan pemecahannya dengan mengandalakan

kekuatan hukum yang berlaku.

2.10 Dampak penegakan dan pelanggaran etika

Penyair Syauqi Beg Menyebutkan "sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih

mempunyai ahklak (moral) yang mulia, maka apabila ahklak mulianya telah hilang. maka

hancurlah bangsa itu". Manusia memang sering kali bersikap dan berperilaku yang berlawanan

dengan norma yang sudah dipelajari dan dipahaminya. Norma moral memang sudah banyak

dipahami oleh kalangan komunitas terdidik (aparatur negara) ini, tetapi mereka masih juga

melihat pertimbangan kepentingan lain yang perlu, dan bahkan harus didahulukan dengan cara

mengalahkan berlakunya norma moral (akhlak). contoh-contoh kasus yang merupakan dampak

dari pelanggaran etika banyak di jumpai masyarakat atau dalam perjalanan kehidupan bangsa ini.

perilaku orang kecil (kalangan miskin) yang melanggar norma moral sangat berbeda akibatnya

jika dibandingkan dengan perilaku pejabat atau aparatur negara. Kalau pejabat atau aparatur

negara yang melakukan penyimpangan moral, maka dampaknya bukan hanya sangat terasa bagi

keberlanjutan hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juaga terhadap citra institusi yang

menjadi pengemban tegaknya moral. Masyarakat tanpa akhlak mulia sama seperti masyarakat

rimba dimana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari

komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri. manusia yang mengabaikan etika kehidupan

itulah yang membuat bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau mengalami

kerusakan berat. kerusakan ini tidak lagi membuat bumi menjadi damai, bahkan sebaliknya

menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam pikiran manusia.

Banyaknya kasus yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan lua biasa, maka ini menunjukan
12
bahwa dampak dari pelanggaran etika atau penyimapangan moral tidaklah main-main.

pelanggaran moral telah terbukti mengakibatkan problem serius di hampir seluruh aspek

kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian tidak

berdaya, menjauh dari hak kesejahteraan, hak keadilan, hak pendidikan yang berkualitas, hak

jaminan kesehatan dan keselamatan, adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.

2.11 Eksistensi etika profesi hukum


Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada hukum) sebenarnya
mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Dalam setiap
masyarakat, mulai dari yang paling modern sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat
gejala sosial yang disebut hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda,
tergantung pada tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-
istilah yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang dialami
dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang terjadi dalam
realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat pelaku-pelaku sosial, politik,
budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa saja melahirkan istilah-istilah atau makna
varian sejalan dengan tarik menarik kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang
diadaptasikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli-
ahli bahasa, terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan
jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target globalisasi informasi,
industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi kultural, politik dan ekonomi yang
berlangsung cepat telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan
pergeseran serta pengembangan makna, istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup
gampang diangkat dan dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan
pengambilan keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas
tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
Kata pekerjaan itu sebagai hak (right) secara yuridis juga dapat ditemukan dalam pasal 38
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 sebagai berikut :

13
1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan
yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas
syarat-syarat ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,
setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan kerja yang sepandan dengan
martabat kemanusiaan berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin
kelangsungan kehidupan keluarganya.

Thomas Aquinas menyatakan, bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat tujuan sebagaimana
berikut :
1. Dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang yang menjadi kebutuhan hidup sehari-
harinya.
2. Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Hal ini
juga berarti, dengan tidak adanya pengangguran, maka kemungkinan timbulnya kejahatan
(pelanggaran hukum) dapat dihindari pula.
3. Dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya.
4. Dengan kerja, orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.
Menurut Liliana Tedjosaputro, suatu lapangan kerja itu dapat dikategorikan sebagai profesi
diperlukan :
1. Pengetahuan
2. Penerapan keahlian (competence of application)
3. Tanggung jawab sosial (social responsibility)
4. self control
5. pengakuan oleh masyarakat (social sanction)
Ciri-ciri khas profesi dalam international encyclopedia of education adalah sebagai berikut :
1. Suatu bidang yang terorganisasi dari teori intelektual yang terus menerus berkembang dan
diperluas;
2. Suatu teknik intelektual;
3. Penerapan praktis dan teknik intelektual pada urusan praktis;
4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikatisasi;
5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat diselenggarakan;
14
6. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
7. Asosiasi dari anggota-anggota profesi menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas
komunikasi yang tinggi antar anggota;
8. Pengakuan sebagai profesi;
9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan
profesi;

10. Hubungan yang erat dengan profesi lain.

Profesi hukum memiliki tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan
dengan eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara
hukum (rechstaat). Profesi hukum pun berangkat dari suatu proses, yang kemudian melahirkan
pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap perundang-undangan, hukum yang sedang
berlaku dan diikuti dengan aspek aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum. Tanggung jawab
seorang yang profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab
kepada :
1. Klien dan masyarakat yang dilayaninya;
2. Sesama profesi dan kelompok profesinya;
3. Pemerintah dan negaranya.

2.12 Fungsi kode etik profesi hukum


Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan ekonomi yang terlalu
berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikis yang seharusnya berbanding sama. Usaha
penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia
itu hidup. hakikat manusia adalah mahkluk yang menyadari bahwa yang benar, yang indah dan
yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang
menjadi tujuan hidup manusia. Etika sangat diperlukan karena beberapa pertimbangan (alasan)
berikut :
1. kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita
bingung harus mengikuti moralitas yang mana.

15
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang
akibatnya menantang pandangan-pandangan moral tradisional.

3. Adanya pelbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup yang masing-masing
dengan alasannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.

4. Etika juga diperlukan oleh kaum beragama yang di satu pihak diperlukan untuk menemukan
dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak mau berpastisipasi tanpa takut-
takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang
berubah itu.

Ada dimensi fungsional mengapa etika itu perlu dituangkan dalam kode etik profesi :

1. Menjelaskan atau menetapkan tanggung jawab kepada klien, institusi dan masyarakat. ada
sasaran konvergensi tanggung jawab yang dituju, yakni bagaimana hak-hak istimewa klien,
kelembagaan dan masyarakat dapat ditentukan dan diperjuangkan. pengemban profesi
mendapatkan kejelasan informasi dan "buku pedoman" mengenai kewajiban yang harus
dilaksanakan, sementara klien, lembaga dan masyarakat pun secara terbuka mengetahui hak-
haknya.

2. Membantu tenaga ahli dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat jika menghadapi
problem dalam pekerjaannya. Problem yang dihadapi seperti munculnya kasus-kasus hukum
baru yang penanganannya membutuhkan kehadiran ahli atau diluar kemampuan spesifikasi
adalah membutuhkan pedoman yang jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dan
kekeliruan, sehingga kalau sampai terjadi seorang ahli itu misalnya tidak mampu menyelesaikan
problem yang dihadapinya tidaklah lantas dipersalahkan begitu saja.

3. Diorientasikan untuk mendukung profesi secara bermoral dan melawan perilaku melanggar
hukum dan indispliner dari anggota-anggota tertentu. Pengemban profesi (hukum) mendapatkan
pijakan yang dapat dijadikan acuan untuk mengamati perilaku sesama pengemban profesi yang
dinilai melanggar hukum. Dengan keberadaan kode etik, akan lebih muda ditentukan bentuk,
arah dan kemanfaatan penyelenggaraan profesi hukum.
4. Sebagai rujukan untuk menjaga prestasi dan reputasi, baik secara individu maupun
kelembagaan.

16
Ada beberapa fungsi kode etik :
1. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para
calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama
terhadap prinsip profesional yang telah digariskan.
2. Kode-kode etik profesi mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh
pemerintah atau oleh masyarakat melalui agen atau pelaksanannya.
3. kode etik adalah untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi.

Kode etik ini dasarnya adalah suatu perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan
metode prosedur yang benar pula.
Kode etik profesi dapat dijadikan pedoman untuk memberdayakan, kemahiran, spesifikasi atau
keahlian yang sudah dikuasai oleh pengemban profesi. Dengan kode etik, pengemban profesi
dituntut meningkatkan karier atau prestasi-prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik profesi
hukum, maka pengemban profesi hukum dituntut menyelaraskan tugas-tugasnya secara benar
dan bermoral. Kode etik menjadi terasa lebih penting lagi kehadirannya ketika tantangan yang
menghadang profesi hukum makin berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan
tantangan yang bersumber dari komunitas elit kekuasaan. sikap elit kekuasaan terkadang bukan
hanya tidak menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga mempermainkannya.

2.13 Profesi hukum dan penegakan hukum


Suatu profesi hukum di awali dengan proses pendalaman dan penguasaan spesifikasi keilmuwan
di bidang perundang-undangan (hukum). Orang yang berniat menjadi penyelenggara atau
pengemban profesi hukum haruslah masuk dalam lingkaran atau komunitas proses. Tanpa
melalui jalan ini, sulit dihasilkan seorang figur penyelenggara hukum yang handall (profesional).
Profesionalitas ikut ditentukan oleh peran atau kontribusi yang ditujukan selama berada dalam
komunitas profesi.
Ada tahap seseorang baru boleh dan tepat mempelajari pengertian hukum dan profesi, kemudian
dilanjutkan dengan mempelajari fungsi, orientasi dan manfaat sebuah profesi hukum ditengah
masyarakat. Tahap-tahap yang perlu dilalui ini menjadi pengantar menuju penegakan,
pemberdayaan dan pemuliaan profesi. Implementasi profesi itu, termasuk profesi hukum
sebenarnya tergantung dari pribadi yang bersangkutan karena mereka secara pribadi mempunyai
tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya dan harus secara mandiri mampu
17
memenuhi kebutuhan warga masyarakat atau diabadikan untuk kepentingan umum yang
memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang
berkeilmuan serta dapat dipercaya. Dinamika kualitas pelayanan profesi itu terkait dengan
tingkat dan macam problem yang dihadapi masyarakat. Suatu jenis profesi, termasuk profesi
hukum akan bisa dilihat perkembangan dan prospeknya melalui ragam konflik sosial yang
muncul.
Untuk menjadi penyelenggara profesi hukum yang baik dibutuhkan kehadiran sarjana-sarjana
hukum dan praktisi hukum yang memiliki kualifikasi sikap berikut :
1. Sikap kemanusiaan, agar tidak menaggapi (menyikapi) hukum secara formal belaka, Artinya,
sebagai sarjana hukun dituntut sejak dini untuk gemar melakukan analisis dan interpretasi yuridis
yang sesuai dengan aspirasi dan dinamika masyarakat, sehingga dalam dirinya tidak sampai
kehilangan, apalgi tergusur atau terdegradasi wacana kemanusiaan. Tuntutan memiliki sikap
kemanusiaan (human attitude) itu tidaklah muncul seketika, tetapi melalui proses yang menuntut
konsentrasi dalam hal sinergi dan intelektual. Kalau sikap ini bisa dimiliki, maka seorang sarjana
hukum akan mampu menjadi penyelenggara profesi hukum yang bukan tergolong sebagai
"mulut/corong undang-undang" (la bauche de laloi), tetapi sebagai penyelenggara profesi hukum
yang humanis.
2. Sikap keadilan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketentuan perundang-
undangan yang berhasil dipelajari dan mengantarkannya sebagi pihak yang jadi pusat
ketergantungan masyarakat adalah sudah seharusnya kalu sikap-sikap yang ditujukan itu
mencerminkan dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat. pemenuhan terhadap tuntutan
masyarakat yang memang sebenarnya merupakan hak-haknya akan menentukan apakah dirinya
pantas disebut sebagai penyelenggara profesi hukum yang baik atau tidak. Sikap yang ditujukan
dalam menangani suatu perkara hukum misalnya bukan dilatarbelakangi oleh tuntutan
memperoleh keuntungan pribadi seperti harta dan kemapanan posisi, tetapi adalah memenuhi
panggilan keadilan. Menunjukan sikap yang baik bukanlah hal yang mudah bagi penyelenggara
hukum. Hal-hal yang menuju pada kebaikan kerapkali dihadapkan dengan beragam tantangan
yang bertujuan hendak mematikan cahaya kebaikan itu. Kalau ada pihak yang bersemangat dan
kukuh dalam memegang kode etik, maka di sisi lain biasanya terdapat sejumlah pengganggu
yang menjadi pemerdayanya. Sikap adil yang ditujukan oleh penyelenggara profesi huku dapat
dikategorikan sebagai ekspresi nuraniah yang cukup berani dan mulia, mengingat dengan sikap
itu, penyelenggara profesi hukum berarti tidak sampai kehilangan jati diri dan tetap menjadi

18
pemenang karena mampu mengalahkan beragam tantangan yang berusaha menjinakan sikap
adilnya.
3. Mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai objektif dalam suatu perkara yang ditangani.
Penyelenggara hukum yang dihadapkan dengan kasus seorang klien, yang perlu dan harus
dikedepankan lebih dulu adalah mencermati dan menelaah secara teliti kronologis kasus tersebut.
Ketika klien menyampaikan latar belakang kejadian munculnya kasus (konflik) itu, maka
penyelenggara hukum dituntut bisa mempertanyakan, mendialogkan dan mengongklusiakn kasus
itu sampai muncul dan apa yang diinginkan setelah kasus itu terjadi, termasuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan akhir kasus itu dengan berpijak pada inti persoalan objektif dan
pijakan yuridis yang sudah diketahuinya. Wacana objektifitas itu sangat penting bagi
penyelenggara hukum, mengingat hal ini selain dapat dijadikan bahan untuk membantu
menyelesaikan kasus yang dihadapinya, ia juga akan tetap mampu memepertahankan konsistensi
keintelektualannya dalam mengembangkan disiplin ilmu hukum. Penyelenggara seperti ini akan
mampu menyeimbangkan antara da sollen dan das sein. Disiplin ilmu hukum yang berhasil
diraihnya tetap percaya dan mampu menerangi kepentingan masyarakat, dan bukan senaliknya
tergeser oleh kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi yang melupakan sisi normatif dan
referensi keilmuannya.
4. Sikap kejujuran. Sikap ini boleh dikata menjadi panduan moral tertinggi bagi penyelenggara
profesi hukum. sebagai suatu panduan tertinggi, tentulah akan terjadi resiko dan impact yang
cukup komplikatif bagi kehidupan masyarakat dan kenegaraan kalau sampai sikap itu tidak
dimiliki oleh penyelenggara hukum. Sebagai suatu sikap yang harus ditegakkan dalam
penyelenggaraan profesi, maka tanggung jawab yang terkait dengannya akan ditentukan
karenannya. Kasus-kasus hukum akan bisa diatasi dan tidak akan terhindar dari kemungkinan
mengundang timbulnya persoalan sosial-yuridis yang baru bilamana komitmen kejujuran masih
diberlakukan oleh kalangan penyelenggara profesi hukum. kasus-kasus yang muncul ditengah
masyarakat, baik yang diketegorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum maupun moral tidak
sedikit di antaranya dikarenakan oleh ketidakjujuran yang dilakukan seseorang maupun
kelompok sosial. Sikap jujur ini menjadi pangkal atas terlaksana dan tegaknya stabilitas nasional.
Masyarakat, terlebih rakyat kecil akan dapat menikmati kehidupan sejahtera dan harmonis
bilamana sikap jujur tak sampai terkikis dalam diri kalangan orang-orang besar yang diantaranya
adalah penyelenggara profesi hukum yang salah satu tugasnya menjembatani aspirasi orang-
orang kecil

19
2.14 Profesi hukum dan menejemen hukum
Manajemen hukum punya hubungan yang istimewa dengan profesi hukum. Dengan manajemen
yang baik, citra profesi hukum akan jadi lebih baik. Sebaliknya, dengan manajemen yang buruk,
citra profesi hukum akan menjadi buruk. Manajemen menjadi ukuran kinerja pengemban profesi
hukum".
Profesi adalah sebuah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya mempunyai
pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain, atau bahkan
diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi
nasehat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri. Pelayanan ini sudah masuk
dalam kategori manajemen yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, publik atau klien.
Perlu diketahui lebih dulu, bahwa ada beberapa ciri khusus yang terdapat dalam pandangan
umum tentang profesi, yaitu :
a. Persiapan atau training khusus. Sebuah persiapan adalah tindakan yang di dalamnya termuat
pengetahuan yang tepat mengenai fakta fundamental dimana langkah-langkah profesional
mendasarkan diri, demikian juga dengan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut
dengan cara yang praktis.
b. Merujuk pada keanggotaan yang permanen, tegas dan berbeda dari keanggotaan yang lain.
kebanyakan negara dan masyarakat profesi atau kegiatan profesionalnya, maka setiap orang
dituntut memiliki sertifikat, ijij usaha ataupun ijin praktik.
c. Aseptibilitas sebagai motif pelayanan. Aseptibilitas atau kesediaan menerima, sebagai
kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Cita-cita
sebuah profesi adalah pelayanan umum dan bukan pertama-tama menciptakan uang.

2.15 Profesi hukum dan unsur-unsur penegakan hukum


Pengertian penegakkan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika
terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali.
Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan sebagai berikut;
1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan);
2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);
3. Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu);
20
4. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, podana mati).

Kalau sudah menjadi pengemban profesi hukum, maka statusnya sebagai profesional hukum
wajib bertanggung jawab, artinya :
1. Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa yang termasuk lingkup profesinya.
2. Bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo).
3. Kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.

Seperti disebutkan Frans Magnis Suseno (dkk). bahwa ada tiga ciri kepribadian moral yang
dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur (hukum) ini, yaitu :
1. Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
2. Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
3. Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna "mission statement" masing-masing organisasi
profesionalnya.

Idealisme Negara Hukum


'' Negara adalah perwujudan sifat-sifat manusianya. Negara adalah apa yang menjadi perilaku
manusianya. Karena itu, kita tidak dapat mengharapkan keadaan negara menjadi lebih baik, jika
manusianya tidak lebih baik dari perilakunya (Plato). Keadaan negara hukumpun demikian, ia
(negara hukum) bisa gagal menjadi negara berjatidirikan negara hukum, bilamana pilar-pilar
strategisnya tidak menunjukan perilaku yang sejalan dengan kaidah kebenaran norma hukum.
Akibat yang sulit dihindari akibat banyaknya perilaku manusia yang berseberangan dengan
norma hukum, adalah lahirnya stigma, kalau Indonesia bisa menjadi negara tanpa hukum".
(Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin)

Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep 'rechtstaat' dan 'the rule of law', juga berkaitan
dengan konsep 'nomocracy' yang berasal dari perkataan 'nomos' dan 'cratos'. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan 'demos' dan 'cratos' atau 'kratien' dalam
demokrasi. 'Nomos' berarti norma, sedangkan 'cratos' adalah kekuasaan. Yang dibayangkan
sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu,
istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai

21
kekuasaan tertinggi. dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat
dikaitkan dengan prinsip "the rule of law" yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon
"the rule of law, and not of man". Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin itu adalah
huku itu sendiri, bukan orang.
Secara moral politik setidaknya ada empat alasan utama orang menuntut agar negara
diselenggarakan (dijalankan) berdasarkan atas hukum yaitu : (1) kepastian hukum, (2) tuntutan
perlakuan yang sama, (3) legitimasi demokrasi, dan (4) tuntutan akal budi. Negara hukum tidak
dapat dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa
ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum diangkat, dan
merupakan respons dari aspirasi rakyat. Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat

2.16 Masalah-masalah profesi hukum


Dalam pembahasan profesi hukum, Sumaryono (1995) menyebutkan lima masalah yang
dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu :
(a) Kualitas pengetahuan profesional hukum;
(b) Terjadi penyalahgunaan profesi hukum;
(c) Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
(d) Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
(e) Kontinuasi sistem yang sudah usang.

(A) Kualitas Pengetahuan Profesional Hukum


Setiap profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot
kualitas pelayanan hukum secara profesional. Hal ini sudah menjadi tujuan pendidikan tinggi
bidang hukum. Menurut ketentuan pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang
Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program pendidikan sarjana bidang hukum bertujuan untuk
menghsilkan sarjana hukum yang :
(1) Menguasai hukum Indonesia;
(2) Mampu menganalisa hukum dalam masyarakat;
(3) mampu menggunakan hukm sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan
bijaksana dan tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum;
(4) Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum;
(5) Mengenal dan peka akan masalah keadilan dan maslah sosial;
22
Tujuan tersebut dapat dicapai tidak hanya melalui program pendidikan tinggi hukum, melainkan
juga berdasarkan pengalaman setelah sarjana hukum bekerja menurut masing-masing profesi
bidang hukum dalam masyarakat.

Hukum adalah norma yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Tugas utama
profesional hukm adalah mengartikan undang-undang secara cermat dan tepat. Di samping itu,
profesional hukum juga harus mampu membentuk undang-undang baru sesuai dengan semangat
dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diperlukan adalah kemampuan
teoritis dan teknis yang berakar pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum, dan
membuktikan kemampuan diri menanamkan perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian
dari kebudayaan bangsa.

Profesional hukum yang bertugas di bidang perundang-undangan berusaha agar undang-undang


yang dibuat itu tepat dan berguna. Pada kesempatan ini prinsip-prinsip etika (ketaatan
moral)digunakan sebagai ukuran hukum yang baik. Apabila pembentuk undang-undang tidak
dibekali dengan ketaatan moral, maka undang-undang buatannya itu tidak lebih dari nasihat atau
petunjuk belaka, tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dapatkah ketaatan moral itu dipaksakan
dalam hukum? jawabannya diketahui dari rumusan hukum positif. Ada dua macam rumusan
hukum positif, yaitu :

(1) Hukum Positif Deklaratif


Pernyataan rumusannya menggambarkan ketentuan hukum kodrat, yang hanya memuat larangan.
Ketaatan moralnyaterdapat pada larangan. Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada
pemaksaan, yang mencantumkan sanksi keras jika dilanggar. Contoh adalah larangan
membunuh, jika larangan ini dilanggar, sanksi keras berupa hukuman penjara atau hukuman
mati.

23
(2) Hukum Positif Determinatif
Pernyataan rumusannya menentukan cara berperilaku yang sesuai dengan hukum kodrat.
Ketaatan moral hukum kodrat terdapat pada perintah atau larangan berdasarkan baik buruknya
perbuatan. Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada penting tidaknya maslah dan
kehendak pembentuk undang-undang. Apabila masalah itu penting bagi kesejahteraan umum
(masyarakat), maka pembentuk undang-undang cenderung memaksakan ketaatan secara ketat
dengan ancaman sanksi kepada pelanggarnya. Contohnya adalah cara melangsungkan
perkawinan, cara berlalu lintas, cara membayar pajak. dalam hal ini profesional hukum (pembuat
undang-undang) dituntut kemahirannya menganalisis masalah hukum dalam masyarakat dan
peka terhadap masalah keadilan.

pelayanan hukum secara profesional dan bermutu tinggi bergantung pada jenis profesi hukumnya
dan bobot pengetahuan hukum yang dikuasai oleh profesional hukum yang bersangkutan.
Apabila penguasaan pengetahuan hukum itu kurang memadai, maka pelayanan yang diberikan
akan salah arah atau salah sasaran, sehingga bukan keadilan yang dicapai, melainkan
ketidakadilan, suatu hal yang fatal. Untuk meluruskan kembali kesalahan atau penyimpangan itu,
dewan kehormatan profesi hukum mengevaluasi perbuatan yang telah dilakukan oleh profesional
hukum yang bersangkutan guna menyatakan perbuatan itu sesuai atau melanggar kode etik
profesi hukum yang digelutinya.

(B) Penyalahgunaan Profesi Hukum

Sumaryono menyatakan, penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan individu profesional


hukum, atau karena tidak ada disiplin diri. dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering
berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain
praktek penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Dalam hal ini tidak
seorang profesional hukum pun yang menginginkan perjalan kariernya terhambat karena cita-cita
profesi yang terlalu tinggi dan karenanya memberikan pelayanan yang cenderung mementingkan
diri sendiri. banyak profesional hukum menggunakan status profesinya untuk menciptakan uang
atau untuk maksud-maksud politik.

24
penyalahgunaan profesi hukum dapat juga terjadi karena desakan pihak klien yang
menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunua menang. Klien tidak segan-segan
menawarkan bayaran yang cukup menggiurkan baik kepada penasihat hukum atau pun kepada
hakim yang memeriksa perkara. Dalam hal ini terjadilah pertarungan, siapa yang menbayar
mahal itulah yang bakal menang. penagakan hukum dijadikan ajang bisnis pelecehan hukum
secara brutal. Di satu sisi penegak hukum beralih haluan dari keadilan ke penghasilan, dan di sisi
lain klien menjadi perongrong wibawa hukum dan penegak hukum pokoknya menang.
Bagaimana keadilan bagi yang tidak mampu? wahai pengemban profesi hukum: "kembalilah
kepada etika profesi hukum".

(C) Profesi Hukum Menjadi Kegiatan Bisnis

Yang dimaksud kegiatan bisnis adalah kegiatan yang tujuan utamanya mencari keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Apabila kegiatan itu adalah kegiatan profesi hukum, maka dikatakan
profesi hukum itu kegiatan bisnis. Jadi, ukuran untuk menyatakan profesi hukum itu kegiatan
pelayanan bisnis atau kegiatan pelayanan umum terletak pada tujuan utamanya.

Memang diakui bahwa dari segi tujuannya, profesi hukum dibedakan antara profesi hukum yang
bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan
umum. Profesi hukum pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis
(komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis. Contohnya para
konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Sedangkan profesi
hukum pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum baik dengan
bayaran atau tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayana umum adalah pengadilan, notaris,
LBH, kalaupun ada bayaran, sifatnya biaya pekerjaan atau administrasi.

Sekarang ini boleh dikatakan profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis dengan
tujuan utama: berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus dikerjakan. Hal ini sudah
menggejala merasuk segala jenis profesi hukum bidang pelayanan umum, biaya pembuatan akta
notaris mahal, biaya perkara di pengadilan mahal, karena dibisniskan. Padahal tujuan
diciptakannya undang-undang yang mengatur kepentingan umum itu untuk menyejahterakan

25
masyarakat, bukan menyengsarakan masyarakat. Dengan demikian, jasa pelayanan umum yang
diberikan oleh profesional hukum berubah dari bersifat etis menjadi bersifat bisnis. Mengapa
terjadi demikian?

Dalam kenyataan sekarang. profesi boleh dikatakan terdesak oleh bisnis karena imbalan atas
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan nilai kebutuhan layak dewasa ini. Hal ini menjadi
penyebab mengapa kode etik profesi hanya menjadi pajangan, sulit diamalkan dalam memenuhi
tugas profesi. Di samping itu, keahlian yang berbeda pada setiap profesi mengakibatkan terjadi
perbedaan mencolok antara imbalan yang diterima oleh profesional yang berlainan profesi,
misalnya :

(1) keahlian dosen berbeda dengan keahlian dokter spesialis, akuntan, notaris, pengacara.
(2) keahlian pilot, nakhoda berbeda dengan keahlian pengemudi bus di jalan raya.
(3) keahlian penerjemah, operator komputer berbeda dengan kehlian pengarang buku.

(D) Kurang Kesadaran dan kepedulian Sosial

Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan untuk profesional hukum.
Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih di dahulukan daripada kepentingan pribadi,
pelayanan lebih diutamakan daripada pembayaran, nilai moral lebih ditonjolkan daripada nilai
ekonomi. Namun, gejala yang diamati sekarang sepertinya lain dari apa yang seharusnya
diemban oleh profesional hukum. Gajala tersebut menunjukan mulai pudarnya keyakinan
terhadap wibawa hukum.
Di antara gejala itu adalah para profesional hukum mulai menjual jasa demi penghasilan yang
lebih tinggi. Dalam masyarakat, mereka menyediakan diri bagi kesejahteraan umat manusia,
dalam kegiatan profesional mereka menjadi orang sewaan yang dibayar mahal oleh klien
mereka. Para profesional hukum banyak menghabiskan waktu memberi konsultasi kepada klien
pengusaha secara pribadi melaksanakan hukum dengan cara-cara yang justru melanggar hukum,
misalnya bagaimana cara berkolusi menyelesaikan maslah kredit melalui jalan belakang,
menghindari pajak mahal. Apapun jenis profesi hukumnya, profesional hukum adalah abdi
masyarakat dan abdi hukum yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan
kepentingan pribadi semata-mata.

26
Dalam negara hukum yang sedang membangun seperti Indonesia, profesional hukum yang sadar
dan peduli kepada kepentingan masyarakat sangat dibutuhkan. Mereka dibutuhkan masyarakat
untuk membela memperjuangkan nasib bagaimana berurusan dengan birokrasi yang tidak
berbelit-belit, berperkara dengan biaya wajar, memperoleh ganti kerugian yang memadai akibat
penggusuran hak-hak mereka. Demi tegaknya hukum dan keadilan, profesional hukum yang
berpihak kepada masyarakat golongan sangat dibutuhkan guna memperjuangkan hak-hak mereka
yang tergusur dan tersingkir.

(E) Kontinuasi Sistem Yang Telah Usang

Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan membantu
menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan zaman karena di dalamnya terdapat
banyak ketentuan penegakkan hukum yang tidak sesuai lagi. Padahal profesional hukum
melayani kepentingan masyarakat yang hidup dalam masyarakat yang serba modern. Dahulu
tidak dikenal bermacam ragam alat kontrasepsi yang sekarang justru menjadi kebutuhan
masyarakat pengikut program keluarga berencana, tetapin tidak didukung oleh ketentuan hukum
pidana tentang delik kesusilaan yang sekarang masih berlaku. kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang komputer yang dapat menimbulkan kejahatan model baru, bidang kedokteran
yang menimbulkan obat-obat terlarang seperti ekstasi, pelaku-pelaku kejahatan tersebut belum
dapat dijankau oleh hukum pidana yang berlaku sekarang.

Demikian juga istilah-istilah hukum yang digunakan di kalangan profesional hukum masih
banyak menimbulkan kerancuan, misalnya kolusi, korupsi, zina, kawin, kecelakaan, karena
konotasi dan interpretasinya dapat bermacam-macam.Hal ini dapat terjadi karena perkembangan
masyarakat yang begitu cepat akibat pengaruh globalisasi informasi yang datang dari berbagai
penjuru dunia ini.

Sistem penghukuman juga sudah usang karena tidak dapat menjangkau pelaku kejahatan,
kalaupun dapat di jangkau hukuman tidak sepandan dengan kejahatan yang dilakukannya. Hal
ini mengundang emosi masyarakat yang merasakan hukuman yang tidak adil , tidak sebanding
dengan kejahatan yang dilakukan.

27
2.17 Alasan mengabaikan kode etik profesi
Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena beberapa
alasan yang paling mendasar , baik sebagai individu anggota masyarakat maupun karena
hubungan kerja dalam organisasi profesi, disamping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai
imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Atas dasar faktor-faktor tersebut,
maka dapat diinventarisasi alasan-alasan mendasar mengapa profesional cenderung mengabaikan
dan bahkan melanggar kode etik profesi.

(a) Pengaruh Sifat Kekeluargaan


Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang sama terhadap
anggota keluarga dan ini dipandang adil. Perlakuan terhadap orang bukan keluarga lain lagi. hal
ini berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang
seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien.
Contoh, Amat keluarga notaris minta dibuatkan akta hibah, notaris membebaskannya dari biaya
pembuatan akta dengan alasan tidak enak menarik biaya dari keluarga sendiri. Kemudian datang
Bondan, juga minta dibuatkan akta dengan membayar biaya yang telah ditentukan jumlahnya.
Amat dan Bondan keduanya adalah klien yang seharusnya mendapat perlakuan sama menurut
Kode Etik Notaris, tetapi nyatanya lain. Kode etik profesi diabaikan oleh profesional.

Seharusnya masalah keluarga dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Dalam
contoh kasus tadi, notaris seharusnya menarik bayaran dari mereka berdua karena sama-sama
klien. Setelah pulang dari kantor, notaris tadi datang ke Amat keluarganya, menghadiahkan uang
bayaran akta yang telah diterimanya dari Ahmat. Ini masalah keluarga bukan profesi. Dengan
cara demikian, notaris tidak perlu mengabaikan Kode Etik Notaris.

(b) Pengaruh Jabatan


Salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah
ketentuan undang-undang kepegawaian. Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif.
Seorang hakim memegang dua fungsi sebagai pegawai negeri sipil dan sebagai hakim. menurut
Kode Etik Hakim, hakim memutus perkara dengan adil tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak

28
Perkara yang diperiksa oleh hakim tadi ternyata ada hubungannya dengan seorang pejabat yang
adalah atasannya sendiri. Dalam kasus ini di satu pihak hakim cenderung hormat pada atasan dan
bersedia membela atasan sebab kalau tidak, mungkin hakim tadi akan dipersulit naik pangkat
atau akan dimutasikan. Di pihak lain, pejabat mempunyai pengaruh terhadap bawahan dan
karena itu mengirim ketebelece (nota) kepada hakim, tolong selesaikan perkara tersebut dengan
sebaik-baiknya (konotasinya bela atasanmu), bukan seadil-adilnya. Seharusnya hakim berlaku
adil dan tidak memihak, tetapi nyatanya memihak atasannya. Sekali lagi, kode etik profesi
diabaikan oleh profesional.

Seharusnya masalah jabatan dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Hakim
memeriksa perkara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Kode Etik hakim, dan sesuai pula
dengan saran katebelece atasannya (dengan sebaik-baiknya), sehingga putusannya pun sebaik-
baiknya (versi hakim seadil-adilnya) karena hakim bekerja secara fungsional bukan secara
struktural. Dengan demikian, hakim tidak mengabaikan atasannya dan tidak pula mengabaikan
Kode Etik Hakim.

(c) Pengaruh Konsumerisme


Gencarnya perusahaan-perusahaan mempromosikan produk mereka melalui iklan media massa
akan cukup berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan yang tidak sebanding dengan
penghasilan yang diterima oleh profesional. hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh
penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional, yaitu dengan
mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya.

Contoh, seorang dosen dengan gaji yang diterimanya cukup untuk biaya hidup, tetapi karena
kebutuhan hiburan mendorongnya untuk membeli perabotan yang mewah. Untuk memperoleh
uang dia menawarkan kolusi dengan mahasiswa yang diujinya : kalau ingin dibantu, saya
bersedia membantu supaya lulus mendapat nilai A asalkan ada tanda terima kasihnya
(maksudnya imbalan uang berupa uang yang sudah ditentukan tarifnya) sambil menahan daftar
nilai dan kertas ujian mahasiswa. Ternyata dosen yang bersangkutan mengabaikan kode etik
akademiknya.

29
Seharusnya pemenuhan kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan melakukan kerja ekstra apa saja
yang dapat menjadi sumber penghasilan tambahan, baik berkenaan dengan profesi maupun diluar
profesi, misalnya menjadi dosen luar biasa, pemimpin disuatu PTS, konsultan hukum,
melaksanakan proyek penelitian atau pengabdian kepada masyarakat. Kerja keras adalah kodrat
manusia dan ini menjadi lambang martabat manusia. Semua hal ini merupakan sumber
penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi.

(d) Karena Lemah Iman


Salah satu syarat menjadi profesional itu adalah taqwa kepada TUHAN Yang Maha Esa, yaitu
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-NYA. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia.
Jika manusia mempertebal iman dengan taqwa, maka di dalam diri akan tertanam nilai moral
yang menjadi rem untuk berbuat buruk. Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan
akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan.
Sesungguhnya TUHAN itu Maha Adil. Dengan taqwa kepada TUHAN Yang Maha Es,.
profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan tergiur dengan
bermacam ragam bentuk materi disekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi
secara wajar dan itulah kebahagiaan sejatinya.

2.18 Upaya untuk mematuhi kode etik profesi


Kode etik profesi adalah bagian dari hukum positif, tetapi tidak memiliki upaya pemaksa yang
keras seperti pada hukum positif yang bertaraf undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan
kode etik profesi bagi profesional yang lemah iman. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka
upaya alternatif yang dapat ditempuh ialah melakukan upaya pemaksa yang keras ke dalam kode
etik profesi.

Alternatif tersebut dapat di tempuh dengan dua cara, yaitu memasukan klausula penundukan
pada hukum positif undang-undang di dalam rumusan kode etik profesi, atau legalisasi kode etik
profesi melalui pengadilan negeri setempat. kedua upaya tersebut dapat kita uraikan berikut ini .

30
(a) Klausula Penundukan Pada Undang-Undang
Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada
pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga , tidak ada jalan lain kecuali
taat, jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang
cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi undang-undang ini lalu
diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang
kepada pelanggarnya.

(b) Legalisasi Kode Etik Profesi


Kode etik profesi adalah semacam perjanjian bersama semua anggota bahwa mereka berjanji
untuk mematuhi kode etik yang telah dibuat bersama. Dalam rumusan kode etik tersebut
dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh dewan
kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk memperoleh
legalisasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan pengadilan yang berisi
perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk mematuhi kode etik itu. Jadi kekuatan
berlaku dan mengikat kode etik mirip dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim. Apabila
ada yang melanggar kode etik, maka dengan surat perintah, pengadilan memaksakan pemulihan
itu

2.19 Contoh kasus


Pilih Main Tenis Daripada Sidang, Ketua Pengadilan dan 3 Hakim Dihukum MA.2

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman disiplin kepada 45 hakim se-Indonesia
kurun Januari-Maret 2014. Empat di antaranya dihukum karena lebih memilih main tenis
daripada bersidang.

Hal ini seperti dilansir Badan Pengawas MA di websitenya, Jumat (4/4/2014). Empat di antara
45 nama itu ada 3 hakim dan 1 ketua pengadilan yang diberikan sanksi kode etik berupa teguran

31
lisan."Menjatuhkan hukuman kepada hakim Strm, Ketua Pengadilan Agama (PA) Pl berupa
hukuman disipin sedang berupa dimutasikan ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah,"
putus Kepala Badan Pengawas MA, Sunarto.

Kode etik yang dilanggar yaitu Pasal 12 Kode Etik dan Perilaku Hakim. Yaitu 'Hakim harus
berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini
sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari
keadilan'.

"Namun oleh karena pelanggaran yang dilaporkan Terlapor bukan untuk kepentingan pribadi
tetapi untuk kepentingan PTWP (Pertandingan Tenis Warga Pengadilan) Ketua PA Cup ke IV
maka kami berpendapat lebih tepat terlapor dimutasikan ke pengadilan agama yang kelasnya
sama dengan jabatan yang sama," sambung Sunarto.

Selain menghukum hakim Pl, MA juga menghukum 3 hakim pengadilan negeri di kabupaten
yang sama dengan kasus yang sama yaitu hakim Rml F Tmbln, AFS Dwtr dan R Ys Hrty. Masuk
dalam daftar sanksi tersebut hakim yang diadili di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kurun
waktu Januari-Maret 2014

Dalam kasus di atas dapat dilihat bahwa banyak hakim di Indonesia yang memilih bermain tenis
dari pada melakukan sidang, dan itu jelas melanggar etika yang seharusnya tidak dilakukan oleh
seorang hakim yang sedang menangani kasus.

Juga yang telah dibahas bersama, misal hakim dengan pengacara tidak boleh saling bertemu atau
sekedar minum kopi bersama atau main golf bersama. Di sini diartikan sebagai hakim menjaga
etika, dan apabila hakim melakukan hal-hal tersebut di sini hakim dianggap melanggar etika.
Dalam hal ini hakim di tuntut untuk menjaga etika karena tidak dipungkiri pertemuan antara
pengacara yang hanya sekedar minum kopi atau bermain golf bisa mempengaruhi keputusan
hakim pada sidang yang ditanganinya.

Ada seorang hakim yang memang benar-benar tidak mau atau menolak pemberian hadiah meski
itu bukan orang yang sedang ditangani kasusnya, atau menolak hadiah setelah menghadiri acara
televisi. Di sini hakim mungkin dianggap berlebihan dalam menjaga etikanya. Namun menurut
saya itu boleh saja, karena dia bersikap hati-hati dan tetap menjaga, karena pada suatu saat bisa
saja dia menangani kasus seseorang tersebut dan bisa mempengaruhi keputusannya, juga

32
menjaga image agar orang yang melihat pemberian itu tidak beranggapan hakim mudah
menerima hadiah dari siapapun.

2.20 Kode etik profesi hukum


1. UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris

Lembaga Notaris di Indonesia berasal dari zaman Belanda. Karena peraturan jabatan Notaris
Indonesia berasall dari Notaris Reglement (stbl 1660-3). Bahka tahun sebelumnya yakni tahun
1620, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen mengangkat notarium publicum. Notaris pertama
di Hindia Belanda adalah Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat
wasiat dibawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian
kawin, surat wasiat (testamen)

Notaris sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi yang
sangat strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk dapat diangkat
menjadi notaris, maka harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan
pasal 3 UU no. 30 tahun 2004. Dinyatakan bahwa syarat untuk dapat diangkat sebagai notaries
sebagaimana dimaksud pada pasal 3 adalah.

a.Warga Negara Indonesia

b.Bertakwa kepada Tuhan yang maha esa

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun

d.Sehat jasmani dan rohani

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.

f.Telah menjalani masa magang atau bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua
belas bulan) berturut-turut atas rekomendasi sendiri atau rekomendasi organisasi notaries.

g.Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku
jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.

33
Sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 7 UU no. 30 tahun 2004, maka notaris sebagai
pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya dapat berhenti atau
diberhentikan karena alasan-alasan tertentu, diantaranya:

a.Meninggal dunia

b.Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun

c.Permintaan sendiri

d.Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara
terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau

e.Merangkapa jabatan sebagaimana dimasud pada pasal 3 huruf g

Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh peraturan perundang undangan kewenangan untuk
membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

Notaris selaku pejabat pembuat akta autentik dalam tugasnya melekat pula kewajiban yang harus
dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 16 ayat (1) UU no. 30 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam menjalankan
jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

Sejalan dengan ketentuan dalam pasal 16 ayat (!) huruf b khusus mengatur akta minuta, maka
akta minuta tersebut dapat dibatalkan. Karena notaries membuat akta originali. Adapun akta
originalitersebut adalah akta: pembayaran uang sewa, bungan, dan pensiunan; penawaran
pembayaran tunai; protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; akta
kuasa; keterangan kepemilikan;atau akta lainnya berdasarkan peraturan perundang undangan.

Berkaitan dengan ketentuan pasal 16 UU no. 30 tahun 2004, maka notaris dalam menjalankan
profesinya, selain memiliki kewajiban yang harus dipatuhinya, juga memiliki larangan-larangan
yang harus dihindari dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya yaitu menjalankan jabatan di
luar jabatannya.

Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus mempunyai wilayah kerja sebagai tempat
kedudukan. Tempat kedudukan notaris ini terbatas pada wilayah kabupaten/kota. Dalam

34
kaitannya denga tempat kedudukan notaris, maka keberadaan notaries harus disesuaikan pula
dengan kondisi wilayah yang ada di tempat kedudukannya.. Oleh karena itu, untuk mencukupi
jumlah notaries di suatu tempat, maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada
pada wilayah kabupaten/kota Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 22 UU no.
30 tahun 2004 dinyatakan bahwa formasi jabatan notaris ditetapkan berdasarkan: kegiatan dunia
usaha; jumlah penduduk; dan/atau rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan
notaries setiap bulan.

Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 22, maka untuk mencari suasaa yang lebih baik, UU no.
30 tahun 2004 ini memberikan kesempatan kepada notaris untuk pindah tempat wilayah kerja.

Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik dalam menalankan tugasnya memerlukan waktu
untuk istirahat dari menjalankan tugasnya tersebut. UU no. 30 tahun 2004 memberikan hak cuti
kepada notaris. Ak cuti dapat diambl setelah notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun.
Oleh karena itu, selama menjalankan cuti, notaris wajib menunjuk seorang notaris pengganti Hak
cuti dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun, dan setiap pengambilan cuti
paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya. Dengan demikian selama masa
jabatan notaris, jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik sekaligus bertindak sebagai organisasi profesi
yang secara fungsional medapatkan dana dari pemberian jasa layanan hukum. Oleh karena itu,
notaris selaku organisasi emberi jasa layanan hukum berhak menrima honorarium dari adanya
pemberian jasa tersebut. Sementara itu, khusus untuk honorarium yang bersifat sosiologis
ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari setiap objek setiap akta dengan honorarium yang
diterima paling besar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Tugas atau tanggung jawab notaris adalah membuat akta autentik, baik yang ditentukan
peraturan perundang undangan maupun oleh keinginan orang tertentu dari badan hukum yang
memerlukannya oleh karena itu, akta autentik yang dibuat oleh notaris diatur dalam pasal 38 UU
no. 30 tahun 2004. Notaris sebagai sebuah organisasi profesi dalam menjalan tugas dan tanggung
jawabnya tetap wajib bergabung dalam sebuah wadah induk organisasi notaris tersebut.
Kebutuhan organisasi notaris ini diperuntukkan untuk menjalin hubungan emosional diantara
para anggota notaris tersebut. Selain itu, organisasi ini akan mengeluarka kode etik yang
dijadikan pedoman dalam menjalankan tugasnya

35
Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memeiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan
luas serta tanggung jawab yang berat untuk mlayani kepenetingan umum dan inti tugas notaris
adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang
secara mufakat meinta jasa notaris. Dalam menjalankan tugasnya seorang notaris harus
berpegang teguh pada kode etik jabatan notaris.

2.Advokat

a.Pengertian

Advokat atau Penasehat Hukum adalah seseorang atau mereka yang melakukan pekerjaan jasa
bantuan hukum termasuk konsultan hukum yang menjalankan pekerjaannya baik dilakukan di
luar pengadilan dan atau di dalam pengadilan bagi klien sebagai mata pencahariannya.
Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi
seorang advokat. Sudah sejak dahulu profesi advokat dianggap sebagai profesi mulia atau lebih
di kenal dengan istilah nobile officium. Oleh karena itu seorang advokat dalm bersikap haruslah
menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan seorang advokat sebagai the officer
of the court.

Akan tetapi dalam kenyataannya advokat merupakan profesi yang sangat di benci oleh
masyarakat. Hal ini terjadi karena advokat itu sendiri yang telah membuat profesinya itu menjadi
dibenci oleh masyarakat.

Pada masa sekarang ini tidak bisa dipungkiri lagi profesi advokat hanya lebih mementingkan
materi dari pada kebenaran dan keadialanyang ditegakkan. Dalam suatu penelitiaan
menyimpulkan bahwa semakin besar rasio antara jumlah advokat dan jumlah penduduk maka
semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi. Sejarah telah membuktikan bahawa hukum dan
advokat menjadi unsur terpenting bagi suatu tatanan masyarakat, di belahan dunia manapun
masyarakat tersebut berada. Sudah merupakan suatu keharusan bagi seorang advokat memiliki
kode etik dalam menjalankan tugasnya. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral
bagi seorang advokat dalam bertindak menjalankan tugasnya. Etika bagi seorang advokat
terdapat dalam UU Advokat No.18 tahun 2003 dan juga terdapat dalam Kode Etik Advokat
Indonesia.

36
b.Kepribadian Advokat/Penasehat Hukum

Advokat/Penasehat Hukum adalah warganegara Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral
yang tinggi, luhur dan mulia demi tegaknya hukum, setia kepada falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

1.Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan pekerjaannya wajib untuk selalu menjunjung


tinggi hukum, kebenaran dan keadilan.

2.Advokat/Penasehat Hukum harus bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada setiap
orang yang memerlukannya tanpa membeda-bedakan kepercayaan, agama, suku, jenis kelamin,
keturunan, kedudukan sosial dan keyakinan politiknya.

3.Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan perkerjaannya tidak semata-mata mencari


imbalan materiil, tetapi diutamakan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan
kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.

4.Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan pekerjaannya bekerja dengan bebas dan mendiri
tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh siapapun.

5.Advokat/Penasehat Hukum wajib memperjuangkan serta melindungi hak-hak azasi manusia


dan kelestarian lingkungan hidup dalam Negara Hukum Republik Indonesia.

6.Advokat/Penasehat Hukum wajib memiliki sikap setia kawan dalam memegang teguh rasa
solidaritas antara sesama sejawat.

7.Advokat/Penasehat Hukum wajib memberikan bantuan pembelaan hukum kepada sejawat


Advokat/Penasehat Hukum yang disangka atau didakwa dalam suatu perkara pidana oleh yang
berwajib, secara sukarela baik secara pribadi maupun atas penunjukkan/permintaan organisasi
profesi.

8.Advokat/Penasehat Hukum tidak dibenarkan melakukan perkerjaan lain yang dapat merugikan
kebebasan, derajat dan martabat Advokat/Penasehat Hukum dan harus senantiasa menjunjung
tinggi profesi Advokat/Penasehat Hukum sebagai profesi terhormat (officium nobile).

37
9.Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan tugas pekerjaannya harus bersikap sopan santun
terhadap para pejabat hukum, terhadap sesama sejawat Advokat/ Penasehat Hukum dan terhadap
masyarakat, namun ia wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat/Penasehat Hukum di
mimbar manapun.

10.Advokat/Penasehat Hukum berkewajiban membela kepetingan kliennya tanpa rasa takut akan
menghadapi segala kemungkinan resiko yang tidak diharapkan sebagai konsekwensi profesi baik
resiko atas dirinya atau pun orang lain.

11.Seorang Advokat/Penasehat Hukum yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan
Negara (Eksekutif, Legislatif, Judikatif), tidak dibenarkan untuk tetap
dicantumkan/dipergunakan namanya oleh kantor dimana semulanya ia bekerja.

c.Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan

Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia
melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung
kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk
memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun
(decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan
profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan
para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:

(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa
pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya
mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi
keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan
upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.

(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh
lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat
sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat
harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang.
Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara
mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.

38
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat
ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system”
advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah
keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ harus
bersikap sopan terhadap semua pihak, namu ?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan
menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.

“Contempt of court” di negara-negara Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang


mempergunakan media cetak atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya,
sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah
bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere with a fair
trial and prejudice the due administration of justice – Canon 20 ABA). Dalam Pasal 8 KEAI
alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak membenarkan advokat mempergunakan media
massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda.
Kesimpulan saya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap
pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media
massa (obstruction of justice).

Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku
advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan
“keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang
advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya.
Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada
kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan.
Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4
KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas
adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. KEAI juga harus
menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus
berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.

d.Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi

Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka

39
persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “sikap saling
menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi
dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para
advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula
advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus
dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh
mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries
do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.

Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA
ini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain
(teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from
deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan
KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau
merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang
akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for
the client to decide who shall represent him).

Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat
lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang
perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI
tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru
sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan
perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah
benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi
kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).

Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah
perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat
orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku
untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal
7 KEAI).

40
e.Kewajiban Advokat Kepada Klien

Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan
penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the
lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat
dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas
tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).

Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan


sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia
wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus)
perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan
“duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak
memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak menjamin kepada kliennya bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).

Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus
dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest).
Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum
menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya
perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to
represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan
seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of
fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi
advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat
bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya
(forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).

Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai
kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama
yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting
interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all
concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan,

41
maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of
them)”.

Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “
wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”.
Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan
ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b)
apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien
meninggal dunia?

Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8
di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan?
Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be
necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan
yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi
terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas
“menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.

Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1
KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas
dasar agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline employment” (canon
31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien
adalah terutama “tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9
KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada
saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama.
Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of
the lawyer to undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal
opinion as to the guilt of the accused” (canon 5 ABA).

Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan
“good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non
throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor or self-
resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat
melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila

42
dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk
memilih advokat baru.

Sejauh mana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering
disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat
adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him
to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah
atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia
(advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan,
serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau
pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.

Asas terakhir di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat
seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa
menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.

f.Cara Bertindak Dalam Menangani Perkara

1.Advokat/Penasehat Hukum bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapatnya yang


dikemukakan dalam sidang pengadilan, dalam rangka pembelaan suatu perkara yang menjadi
tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka maupun sidang tertutup, yang diajukan secara
lisan atau tertulis, asalkan pernyataan atau pendapat tersebut dikemukakan secara proporsional
dan tidak berlebihan dengan perkara yang ditanganinya.

2.Advokat/Penasehat Hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara


cuma-cuma (prodeo) bagi orang yang tidak mampu, baik dalam perkara perdata maupun dalam
perkara pidana bagi orang yang disangka/didakwa berbuat pidana baik pada tingkat penyidikan
maupun di muka pengadilan, yang oleh pengadilan diperkenankan beracara secara cuma-cuma.

3.Surat-surat yang dikirim oleh Advokat/Penasehat Hukum kepada teman sejawatnya dalam
suatu perkara, tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim, kecuali dengan izin pihak yang yang
mengirim surat tersebut.

4.Surat-surat yang dibuat dengan dibubuhi catatan “SANS PREJUDICE “, sama sekali tidak
dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim.

43
5.Isi pembicaraan atau korespondensi kearah perdamaian antara Advokat/ Penasehat Hukum
akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai alasan terhadap lawan
dalam perkara di muka pengadilan.

6.Advokat/Penasehat Hukum tidak dibenarkan menghubungi skasi-saksi pihak lawan untuk


didengar keterangan mereka dalam perkara yang bersangkutan.

7.Dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat/Penasehat Hukum hanya dapat
menghubungi Hakim bersama-sama dengan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan.

8.Dalam hal meyampaikan surat hendaknya seketika itu juga dikirim kepada Advokat/Penasehat
Hukum pihak lawan tembusan suratnya.

9.Dalam suatu perkara pidana yang sedang berjalam di pengadilan, Advokat/ Penasehat Hukum
dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum.

10.Advokat/Penasehat Hukum tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di


dalam/di luar sidang meskipun hanya bersifat “informandum”, jika hal itu tidak diberitahukan
terlebih dahulu kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan dengan memberikan waktu yang
layak, sehingga teman sejawat tersebut dapat mempelajari dan menanggapi catatan yang
bersangkutan.

11.Surat-surat dari Advokat/Penasehat Hukum lawan yang diterma untuk dilihat oleh
Advokat/Penasehat Hukum, tanpa seizinnya tidak boleh diberikan surat aslinya/salinannya
kepada kliennya atau kepada pihak ke tiga, walaupun mereka teman sejawat.

12.Jika diketahui seseorang mempunyai Advokat/Penasehat Hukum sebagai kuasa hukum lawan
dalam suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang tersebut mengenai perkara tertentu
tersebut hanya dapat dilakukan melalui Advokat/ Penasehat Hukum yang bersangkutan atau
dengan seizinnya.

13.Jika Advokat/Penasehat Hukum harus berbicara tentang soal lain dengan klien dari sejawat
Advokat/Penasehat Hukum yang sedang dibantu dalam perkara tertentu, maka ia tidak
dibenarkan meyinggung perkara tertentu tersebut.

14.Advokat/Penasehat Hukum menyelesaikan keuangan perkara yang dikerjakannya diselesaikan


melalui perantaraan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan, terutama mengenai pembayaran-
44
pembayaran kepada pihak lawan, terkecuali setelah adanya pemberitahuan dan persetujuan dari
Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tersebut.

15.Advokat/Penasehat Hukum yang menerima pembayaran lansung dari pihak lawan, harus
segera melaporkannya kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tersebut.

45
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Etika adalah akhlak atau kebiasaan yang menurut manusianya itu sendiri masih dalam
koridor atau jalan yang benar. Atau etika adalah yang muncul secara alamiah yang timbul
dari diri sendiri bukan dibuat-buat sebagai nilai dari manusia tersebut yang menentukan
karakter seperti apa yang ia miliki.

2. Tanggung jawab profesi hukum itu sendiri diartikan dalam menjalankan tugasnya,
profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya:

(3) Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya.

(4) Bertindak secara profesional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo).

Tanggung jawab sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang
disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan
kesadaran akan kewajibannya.

3. Oleh karena itu profesi menurut penulis diartikan sebagai pekerjaan dengan keahlian khusus
sebagai mata pencaharian yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus
dan latihan. Sedangkan Profesi hukum sangat bersentuhan langsung denga kepentingan
manusia atau orang yang lazim disebut “klien”. Profesi hukum tersebut adalah segala
pekerjaan yang dikaitkan dengan masalah hukum.

4. Profesi hukum memiliki nilai moral, yang diantaranya

a. Kejujuran

b. Autentik

c. Bertanggung jawab

d. Kemandirian moral

e. Keberanian moral

46
DAFTAR PUSTAKA

Suhrawardi K Lubis, etika Profesi Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002)

https://www.academia.edu/9577229/etika_dan_tanggung_jawab_profesi_hukum

http://pipi-megawati.blogspot.com/2011/09/etika-profesi-hukum.html

47
48

Anda mungkin juga menyukai