Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di Kota Surakarta, kota
yang mendapat julukan Kota Bengawan, karena site-nya yang berada di tepi
Bengawan Solo. Wilayahnya merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan
(intermountain plain) Merapi, Merbabu di sebelah barat, dan Lawu di sebelah timur.
Di sebelah selatan terdapat beberapa sesar (fault) yang umumnya berupa sesar
turun dengan pola anthetetic fault block (Bemmelen, 1949 dalam Hendro, 2001 : 56).
Sesar dari arah Gunung Lawu memotong Bengawan Solo hingga jatuh di sebelah
utara kota, maka perencanaan bangunan di wilayah jalur sesar ini memerlukan
pertimbangan tersendiri. Dilihat dari kemampuan lahannya, dengan menggunakan
parameter bentuk lahan, tanah, dan hidrologi kota ini masuk 5 kategori yang
memberikan rekomendasi kesesuaian lahan untuk kompleks bangunan atau gedung,
perumahan, kawasan lindung dan rekreasi. Permukaan medan topografi pada
umumnya menunjukan konfigurasi hampir rata (Partoso Hadi dalam Hendro, 2001 :
57) .
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki kekhasan tata ruang kota
tersendiri yang wujud fisiknya masih dapat dilihat sampai saat ini. Struktur tata ruang
lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga masih ada, bahkan benteng
Baluwarti masih tetap berdiri.
Di Jawa, konsep mengenai raja dan kekuasaan dipengaruhi oleh konsep
spiritual yang berasal dari kultur India yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos yaitu antara jagat raya dan dunia manusia, yang
digambarkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat yang meliputi: Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara, Pasisir
dan Samudra. Kemudian dapat diketahui bahwa Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat menggunakan konsep konsentris (Damayanti 2005).
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu bangunan
yang sangat penting karena dari setiap jengkal tanah, bentuk bangunan, tumbuhan,
toponimi dalam tata ruangnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap
identitas suatu kota. Alih fungsi bangunan yang bertempat pada posisi strategis
terhadap keraton perlu dipertanyakan kembali

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat ?
2. Bagaimana penyimpangan tata ruang dan fungsi bangunan Keraton
Surakarta yang terjadi pada saat ini?

1
1.3. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat.
2. Mengetahui penyimpangan tata ruang dan fungsi bangunan pada saat ini

1.4 MANFAAT PENULISAN

1. Sebagai media penerapan ilmu pengetahuan yang didapat perkuliahan


dalam kenyataan di lapangan.
2. Memberikan sumbangan tulisan baik bagi pembaca maupun bagi
perpustakaan yang ada di UNNES, baik perpustakaan pusat, fakultas
maupun perpustakaan program studi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Arsitektur Tradisional Jawa

2.1.1 Karakteristik dan Konsep Arsitektur Tradisional Jawa

Di Jawa dikenal teori Protagoras yaitu "Manusia adalah ukuran benda


dan alat masing-masing, sedangkan benda dan alat-alat memakai ukuran yang
sesuai dengan badan manusia".

Gambar 1. Penilaian ukuran tradisional (kanisisus,1997)

Patokan Pandangan hidup masyarakat jawa dibagi 3 yaitu: alam dewa-


dewi, alam menengah dan alam barzah atau neraka, hal tersebut dicerminkan
dalam pembagian segmen rumah secara horizontal dan vertical ( tahap
penyucian dalam ukuran).

Dalam satuan ukuran jawa satuan horizontal selalu merupakan panjang


salah satu anggota badan pemilik rumah. Sehingga ukuran pada rumah yang
satu dengan yang lain akan selalu berbeda jika diukur dengan satuan ukuran
yang tidak berpihak pada manusia (meter), satuan yang dipakai dalam
pembangunan tradisional adalah: depo, hasta, kilan, pencak, tumbak, kaki dan
jempoJ. Sedangkan ukuran vertical terdiri dari: sakpegawene (awean),
Sakdedeg (dedeg), cengkang dan tebah.

Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan
orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam
3
bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada
kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari
sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa yaitu suatu
pengertian tentang asal dan tujuan sebagai mahluk (Magnis Suseno,1984).
Sentong tengah yang terletak dibagian Omah merupakan tempat bagi pemilik
rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi sedangkan Pendopo
merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya
(Priyotomo,1984). Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini
mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat
menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad-gede
(macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya.
Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan
gambaran dunia atau imago-mundi (Eliade,1957) dan memenuhi aspek kosmos
dan pusat (Tjahjono,1989).

Gambar 2. Urutan Tingkat Kesakralan dan Cahaya Dalam Ruang (Gunawan


Tjahjono,1981)

2.1.2 Struktur Ruang Tradisional Rumah Tinggal

Rumah tinggal tradisional di Jawa mempunyai orientasi terhadap sumbu


kosmis dari arah utara-selatan tempat tinggal Ratu Kidul, dewi Laut Selatan dan
dewi pelindung Kerajaan Mataram. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah
barat-timur untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur
dipergunakan sebagai unsur dari bagian keraton. Arah timur juga merupakan
tempat tinggal dewa Yamadipati, yang dalam cerita pewayangan mempunyai
tugas mencabut nyawa orang. Urusan kematian adalah di tangan Yamadipati.

Dasar perencanaan rumah tinggal tradisional memperhatikan pedoman


dengan pengertian sumbu kosmis utama seperti terlihat pada gambar:
4
Gambar 3. Pedoman Sumbu Kosmis (Kanisius,1997)

2.1.3 Pembagian Rumah Tradisional Jawa Berdasarkan Struktur Ruang

A. Rumah induk:

1. Pendopo berfungsi sebagai tempat berkumpul orang banyakdan


menerima tamu. Ruang ini bersifat terbuka.
2. Dalem Agung merupakan pusat susunan ruang-ruang
lain.Fungsi utamanya sebagai ruang keluarga yang bersifat
pribadLSuasana di dalamnya tenang dan berwibawa.
3. Sentong merupakan tiga buah kamar yang berjajar. Pada
sentong kiwo dan sentong tengen terdapat pintu berdaun dua.
Kondisi udaranya cukup segar karena ubang penghawaan
cukup.
4. Peringgitan, bentuknya seperti serambi yang terdiri atas tiga
persegi yang menghadap pendopo.
5. Tratag merupakan gang di antara pendopo dan peringgitan

5
B. Rumah tambahan:
1. Gandok adalah rumah-rumah di samping dalem agung. Gandok
kiwo (wetan omah) untuk tidur kaum laki-Iaki dan gandok tengen
(kulon omah) untuk kaum perempuan.
2. Gadri atau ruang makan terletak di belakang sentong dalem
agung.
3. Dapur dan pekiwan sebagai bagian pelayanan terletak paling
belakang.

Gambar 4. Skema Denah Rumah Tinggal Tradiaional Jawa (Kanisius,1997)

2.1.4 Hirarki Bentukan Atap pada Rumah Tradisional Jawa

Kebudayaan Jawa juga mengenal sistem pembedaan kasta seperti yang


terdapat dalam agarna hindu (Brahmin sebagai pendeta, ksatria sebagai
prajurit, vaisya sebagai petani dan sudra sebagai pembantu), namun

6
pengelompokanya tidak sekompleks seperti yang ada pada agama hindu yaitu
dalam 3 garis besar yang pengelompokanya itu secara langsung
mempengaruhi pola bentukan atap yang terjadi, antara lain:

Gambar 5. Tahapan Penyucian Berhubungan Dengan Bentuk Atap dan


Pendudukan Sosial Penghuni (Kanisius,1997)

1. Atap kampung merupakan bentukan rumah yang paling sederhana


baik dalam bentukan maupun strukturalnya, dan atap kampung ini
digunakan bagi rakyat kebanyakan.
2. Atap Limasan merupakan pengembangan dari bentukan atap
kampung sehingga baik bentukan maupun strukturnyapun akan lebih
kompleks dari atap kampung. Dan atap limasan ini digunakan bagi
masyarakat jawa yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi.
3. Atap Joglo merupakan bentukan atap yang paling kompleks dari
ketiga bentukan atap yang dikenal dalam gaya arsitektur tradisional
jawa. Dan atap joglo ini digunakan bagi para bangsawan.

7
4. Atap Tajuk tidak digunakan sebagai atap tempat tinggal. Atap tajuk
digunakan untuk bangunan-bangunan sakral saja, seperti tempat
ibadah.

2.2. Tinjauan Arsitektur Keraton Surakarta

2.2.1 Tata Ruang Keraton

Jika dilihat secara fisik dan diurutkan dari arah utara, bangunan keraton
terdiri dari beberapa kompleks, diantaranya adalah : Kompleks Alun-alun Lor,
Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor, Kompleks
Kamandungan Lor, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks
Magangan, Kompleks Sri Manganti dan Kamandungan Kidul, Kompleks Siti
Hinggil Kidul dan Alun-alun Kidul.

Untuk kompleks Kamandungan Lor hingga Kamandungan Kidul, wilayah


ini dikelilingi dinding pagar pertahanan dengan ukuran lebar sekitar lima ratus
meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Tembok pagar keraton ini dikenal
dengan Baluwarti. Sedangkan kedua kompleks Siti Hinggil dan Alun-alun tidak
dikelilingi tembok pertahanan.

8
Gambar 6. Peta Keraton Kasunanan Surakarta

2.2.1.1 Tata Ruang Makro

A. Kompleks Alun-alun Lor

Kompleks alun-alun lor atau alun-alun utara merupakan sebuah kompleks yang
letaknya berada paling depan Keraton Surakarta. Kompleks ini terdiri dari beberapa
area dan bangunan yakni Kori Gladhag atau yang dikenal dengan Gladak sebagai
pintu gerbang, Kori Pamurakan yang dulunya berfungsi sebagai tempat menyembelih
hewan buruan raja, Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan yang sekarang banyak
digunakan sebagai kios cinedramata, Kori Bathangan yakni pintu gapura yang terletak
di sudut timur laut alun-alun utara Keraton Surakarta.

Alun-alun Lor merupakan lapangan luas yang tengahnya terdapat dua pohon beringin
kurung, Kori Slompretan merupakan pintu gerbang yang berada di depan Pasar
Klewer, dan Mesjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat yang terletak tepat di
sebelah barat alun-alun Keraton Surakarta.

9
Gambar 7. Alun-alun Lor (Heins,2004)

B. Kompleks Sasana Sumewa

Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap
kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom
tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari
bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan di plester.
Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah;
sumewa = menghadap), fungsi Pagelaran Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah
sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom
kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan
pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam
setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya.
Bangsal Pangrawit, adalah sebuah semi-bangunan kecil yang berada di
tengah Pendapa Sasana Sumewa. Di dalamnya terdapat dampar yaitu tempat duduk
raja apabila ingin memberi hadiah dan memutuskan perkara (Depdikbud, 1999:23-24).
Di depan Pagelaran Sasana Sumewa terdapat tiga buah meriam yang masih berfungsi
untuk keperluan seremoni.

Gambar 8. Sasana Sumewa (Dokumentasi Penulis)


10
C. Kompleks Sitihinggil Lor

Ke arah Selatan dari Pagelaran Sasana Sumewa, dengan beberapa tanjakan


naik tangga terdapat Sitihinggil. Pagelaran dan Sitihinggil menjadi satu sebagai
paseban. Paseban adalah tempat untuk seba atau menghadap raja. Sesuai dengan
namanya, Sitihinggil berkedudukan lebih tinggi dari pada Pagelaran. Keduanya
dipisahkan oleh delapan tangga dan sepasang pintu.
Di Sitihinggil ini, pada perayaan Garebeg, Sunan menampakan diri pada
rakyatnya yang berada di Alun-alun Lor untuk menyaksikan rajanya dan kegiatan
perayaan yang sedang berlangsung.
Di seputar Sitihinggil terdapat beberapa bangsal, yaitu : bangsal Sewayana,
Letaknya di tengah- tengah halaman Sitihinggil, fungsinya sebagai tempat bagi para
tamu undangan, para bangsawan, dan kerabat dalem serta abdidalem lebet yang
hendak menghadap raja. Di bagian tengah bangsal Sewayana terdapat bangsal
Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja pada hari besar agama Islam. Sedangkan
untuk keperluan lain, raja duduk di bangsal Pangrawit di Pagelaran. Di belakang
(sebelah Selatan) bangsal Sewayana bangsal Witana, yaitu tempat para abdidalem
pembawa benda-benda upacara pada waktu perayaan Garebeg. Di dalam bangsal
Witana terdapat bangsal Manguneng, tempat menaruh meriam Nyai Setomi. Di sisi
Tenggara bangsal Sewayana terdapat bangsal Ngangunangun, yaitu tempat memukul
gamelan setiap hari-hari besar agama Islam. Di tepi halaman depan dari Sitihinggil
terdapat delapan buah meriam.

Gambar 9. Sitihinggil (Dokumen Penulis)

11
D. Kompleks Kamandungan Lor

Kompleks ini merupakan kawasan keraton bagian tengah yang dikelilingi


beteng tembok tebal dan tinggi untuk memisahkan dengan perkampungan luar. Di
bagian tengah Baluwarti masih terdapat pagar tembok berkeliling. Di dalam tembok
inilah terletak inti keraton yang sering pula disebut Cepuri atau Kedaton.
Wilayah yang disebut Baluwarti terletak di luar tembok Kedaton, berada di
antara kompleks Alun-alun Lor (Utara) dan Alun-alun Kidul (Selatan). Pada masa
pemerintahan Sunan Pakubuwono X, kalangan elit yang mendiami Baluwarti adalah
kelompok putra dan kerabat raja (bangsawan), bupati nayaka dan beberapa bupati
lainnya (priyayi), golongan prajurit, dan para abdi dalem.

Gambar 10. Kori Kemandhungan Lor; pada bagian depan


terlihat Balerata dan pada latar belakang terlihat Panggung Sanggabuwana
(Dokumentasi Penulis)

E. Kompleks Sri Manganti

Halaman Sri Manganti Lor bersama halaman Magangan di bagian Selatan


mengapit halaman Kedaton di bagian Tengah sebagai pusatnya. Halaman Sri
Manganti memiliki dua buah bangsal yang saling berhadapan, yaitu bangsal Marakata
di sebelah Barat dan bangsal Marcukunda di sebelah Timur. Di dekat Kori Sri Manganti
Lor terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung
Sanggabuwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tigapuluhan meter ini sebenarnya

12
terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti Lor dan halaman Kedaton.
Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedaton.

Gambar 11. Panggung Sanggabuwana, dilihat dari halaman Sri


Manganti Lor; di sebelah Kanan gambar adalah Kori Sri
Manganti Lor dan di sebelah Kiri gambar adalah bangsal
Marcukunda (Heins, 2004:160)

F. Kompleks Kedaton

Kompleks Kedhaton ini merupakan kompleks utama Keraton Surakarta


Hadiningrat. Di halamannya terbentang luas pasir hitam dari pantai selatan dan
ditumbuhi oleh berbagai pohon langka. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan
patung-patung bergaya eropa. Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat
tertutup bagi masyarakat umum sehingga tidak banyak yang mengetahui ada apa saja
didalamnya.

13
Gambar 12. Denah Kedaton (PT. PP, L.5)

G. Kompleks Kemagangan

Di sebelah Selatan pelataran Kedaton, melewati Kori Sri Manganti Kidul, kita
menjumpai halaman Kemagangan. Di tengah-tengah halaman terdapat bangsal
terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam barang seperti made
rengga, yaitu peralatan khitan putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk
menyiapkan barisan prajurit yang akan bertugas, untuk menyiapkan segala sesuatu

14
yang berhubungan dengan upacara religious keraton seperti pembuatan gunungan
dan upacara Garebeg, dan tempat magang bagi calon prajurit keraton.

Gambar 13. Bangsal Kemagangan (Heins, 2004:185)

H. Kompleks Kamandungan Kidul

Halaman Kemandhungan Kidul berupa ruang terbuka yang sekarang ini, seperti
pada halaman Kemandhungan Lor, menjadi jalan umum untuk menuju alun-alun Kidul.

Gambar 14. Kori Kemandhungan Kidul (Dokumentasi Penulis)

Gambar 15. Kori Brajanala Kidul (Dokumentasi Penulis)

I. Kompleks Sitihinggil Kidul

Bangunan Sitihinggil Kidul berada di sebelah Selatan dari Kori Brajalana Kidul
yang menbentuk jalan bercabang kearah selatan menuju Sitihinggil Kidul. Kedua jalur
jalan itu kemudian mengarah ke tengah, membelah Alun-alun Kidul menjadi dua
15
bagian Barat dan Timur, menuju ke Kori Gadhing. Kori Gadhing merupakan pintu akhir
kompleks keraton di sebelah Selatan.

Gambar 16. Kori Gadhing (Dokumentasi Penulis)

J. Kompleks Alun-Alun Kidul

Alun-alun Kidul pada umumnya dianggap sebagai halaman belakang keraton.


Hal ini bisa terlihat dari bangunan yang jumlahnya lebih sedikit. Keberadaan Sitihinggil
yang menghadap ke arah Selatan ini merupakan imbangan dari Sitihinggil Lor,
berfungsi sebagai tempat merayakan peristiwa yang bersifat intern bagi keluarga raja.
Bangunan-bangunan di utara keraton yang megah melambangkan nafsu dan
keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di
bagian selatan melambangkan dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah SWT,
manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi.

Gambar 17. Alun-alun Kidul (Dokumentasi Penulis)

16
2.2.1.2 Tata Ruang Mikro

A. Kompleks Alun-Alun Lor atau Alun-Alun Utara


Kompleks ini terdiri dari:
1. Kori Gladhag atau yang dikenal dengan Gladak sebagai pintu gerbang
2. Kori Pamurakan yang dulunya berfungsi sebagai tempat menyembelih
hewan buruan raja
3. Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan
4. Kori Bathangan yakni pintu gapura yang terletak di sudut timur laut alun-
alun utara Keraton Surakarta
5. Alun-alun Lor merupakan lapangan luas yang tengahnya terdapat dua
pohon beringin kurung
6. Kori Slompretan merupakan pintu gerbang yang berada di depan Pasar
Klewer
7. Mesjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat yang terletak tepat di
sebelah barat alun-alun Keraton Surakarta.

17
Judul
No Gambar Sumber Tampak Gambar
Gambar
Gambar 18. Kori Gladhag Dokumen
Pribadi

Gambar 19. Kori Dokumen


Pamurakan Pribadi

Gambar 20. Bale Dokumen


Pekapalan Pribadi

Gambar 21. Kori Dokumen


Bathangan Pribadi

18
Gambar 22. Alun-alun Lor Dokumen
Pribadi

Gambar 23. Kori Dokumen


Slompretan Pribadi

Gambar 24. Masjid Ageng Dokumen


Pribadi

Tabel 1. Gambar Bangunan Pada Kompleks Alun-alun Lor

B. Kompleks Sasana Sumewa


Kompleks ini terdiri dari:
1. Bangunan utama Sasana Sumewa atau yang sering disebut Pagelaran
tempat menghadap raja
2. Bangsal Pangrawit yakni rumah kecil yang diletakkan didalam Sasana
Sumewa
3. Bangsal Pacekotan yang terletak di bagian depan Sasana Sumewa
bagian timur
4. Bangsal Pacikeran yang terletak dibagian depan sisi barat Pagelaran
5. Terdapat meriam Kuno yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan
Agung.

19
No Gambar Judul Gambar Sumber Tampak Gambar
Gambar 25 Sasana Dokumen
Sumewa Pribadi

Gambar 26 Bangsal Dokumen


Pangrawit Pribadi

Gambar 27. Bangsal Dokumen


Pacekotan Pribadi

Gambar 28. Bangsal Dokumen


Pacikeran Pribadi

Gambar 29. Meriam Kuno Dokumen


(Meriam Kiai Pribadi
Poncoworo)

Tabel 2. Gambar Bangunan Pada Kompleks Sasana Sumewa

20
C. Kompleks Sitihinggil
Dalam kompleks ini terdapat:
1. Kori Wijil sebagai pintu masuk
2. Bangsal Singanegara
3. Bangsal Martalulut, tempat abdidalem Martalulut yang bertugas
mengadili perkara.
4. Bangsal Sewayana, digunakan para pembesar dalam menghadiri
upacara kerajaan.
5. Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan
6. Bale Bang
7. Bangsal Angun-angun
8. Bangsal Witana, berfungsi sebagai tempat duduk para abdi dalem putri,
para bedaya (penari), manggung, ketanggung, jaka palara-lara, emban,
inya, ceti, parekan yang membawa syarat-syarat upacara raja disaat
duduk di Singgasana Sitihinggil.
9. Kori Renteng Baturana
10. Kori Mangu
11. Lorong Supit Urang (lorong jalan keluar-masuk keraton)

21
No Gambar Judul Gambar Sumber Tampak Gambar
Gambar 30 Kori Wijil Dokumen
Pribadi

Gambar 31 Bangsal Dokumen


Singanegara Pribadi

Gambar 32 Bangsal Dokumen


Martalulut Pribadi

Gambar 33 Bangsal Dokumen


Sewayana Pribadi

22
Gambar 34. Bangsal Dokumen
Manguntur Pribadi
Tangkil

Gambar 35. Bangsal Dokumen


Angun-angun Pribadi

Gambar 36. Bangsal Dokumen


Witana Pribadi

Gambar 37. Kori Renteng Dokumen


Baturana Pribadi

23
Gambar 38. Kori Mangu Dokumen
Pribadi

Gambar 39. Lorong Supit Dokumen


Urang Pribadi

Tabel 3. Gambar Bangunan Pada Kompleks Sitihinggil

D. Kompleks Kamandungan Lor


Dalam kompleks ini terdapat:
1. Kori Brajanala atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama
dari arah utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks
dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti)
yang menghubungkan jalan supit urang dengan halaman dalam istana.
2. Bangsal Wisomarto, tempat jaga pengawal istana di sisi kanan dan kiri
Kori Brajanala.
3. Kori Kamandungan, pintu gerbang yang sering dijadikan obyek foto di
Keraton Kasunanan

24
Tabel 4. Gambar Bangunan Pada Kompleks Kamandungan Lor

E. Kompleks Sri Manganti


Di tempat ini terdapat dua bangunan utama yaitu:
1. Bangsal Smarakatha yang letaknya disebelah barat. Digunakan untuk
menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati
Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan
pangkat para pejabat senior.
2. Bangsal Marcukundha yang letaknya di sebelah timur. Digunakan untuk
menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan
pejabat junior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi
kerabat raja.

25
F. Kompleks Kedaton
Di kompleks kedaton ini terdapat:
1. Bangsal Maligi
2. Sasana Sewaka, aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa
istana Kartasura.
3. Ndalem Ageng Prabasuyasa, tempat ini merupakan bangunan inti dan
terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah
disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol
kerajaan. Di lokasi ini juga digunakan oleh raja yang bersumpah ketika
mulai bertahta.
4. Sasana Parasdya, sebuah peringgita ini digunakan sebagai tempat
perjamuan makan resmi kerajaan.
5. Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat
meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia
Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki
lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk
menentukan awal suatu bulan.
G. Kompleks Magangan
Kompleks ini terdiri dari:
1. Terdapat sebuah pendapa tengah-tengah halaman yang dulu digunakan
sebagai tempat latihan para calon abdi dalem tersebut.
2. Di tengah-tengah pendapa Kemagangan terdapat bangsal yang
digunakan untuk pisowanan abdi dalem perempuan atau keputren.
H. Kompleks Kamandungan Kidul
Kompleks ini terdiri dari:
1. Kori Brajanala
2. Bangsal Nyutra
3. Bangsal Mangundara
4. Gerbang keluar
5. Supit Urang yang menjadi penghubung antara kompleks Kamandungan
Kidul dengan Siti Hinggil Kidul

I. Kompleks Sitihinggil Kidul


26
Dalam kompleks ini terdapat:
1. Bangunan pendapa terbuka yang dikelilingi oleh barisan pagar besi
pendek.
J. Kompleks Alun-alun Kidul
Dalam kompleks ini terdapat:
1. Gapura Gading, pintu gerbang dibagian selatan alun-alun.
2. Sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk memelihara hewan
pusaka keraton kebo bule (kerbau albino) yang diberi nama Kyai Slamet.

2.2.2 Bentuk Bangunan

Bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk atapnya. Sebagian besar bangunan-
bangunan yang terdapat di dalam kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta
menggunakan atap berbentuk joglo, limasan, kampong dan tajug, dengan berbagai
variasiya. Sebenarnya, bentuk bangunan tradisional Jawa mengenal pula bentuk
panggang pe, namun bangunan yang menggunakan atap tipe ini tidak dijumpai di
dalam kompleks keratin Yogyakarta. Sebagian besar keraton Surakarta bernuansa
warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa. Kompleks keraton
ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar
tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini
melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran
lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton
yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai
Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak
dilingkungi tembok pertahanan ini.

Bentuk joglo merupakan bentuk bangunan tradisional Jawa yang paling


sempurna, bergengsi dan mahal. Oleh karena itu bangunan joglo hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu, yaitu kalangan orang-orang kaya dan kaum bangsawan.
Dikatakan paling sempurna, bangunan joglo memiliki elemen-elemen pembentuknya
paling lengkap diantara bentuk-bentuk bangunan tradisional Jawa lainnya, yaitu
memiliki : (a) molo atau suwunan (wuwungan), dalam konstruksi modern dapat
disamakan dengan nook; (b) ander, dalam konstruksi modern dapat disamakan
dengan makelar; (c) dada peksi, sepotong balok sebagai tumpuan ander; (d) batang-
batang usuk, dudur dan kecer; (e) susunan balok tumpang sari,jumlahnya selalu ganjil;
(f) Balok blandar dan pengeret. Semua elemen tersebut membentuk sebuah brunjung,

27
bagian atap yang kelihatan menjulang tinggidi. Brunjung ini secara konstruksional
didukung secara penuh oleh empat buah tiyang utama bangunan, yaitu sakaguru.

A. Gapura Gladag
Pada awalnya, Gapura Gladag adalah pintu masuk wilayah Karaton
Surakarta dari arah Utara yang didesign dalam bentuk gapura melengkung dan
dibuat dari besi yang dihias berbagai gambar binatang buruan. Dari
perkembangannya hingga saat ini, Gapura Gladag tersebut akhirnya berbentuk
candi bentar dengan ornamen hias yang berjumlah 48 dan jeruji tembok yang
juga berjumlah 48. Hal ini merupakan angka peringatan ulang tahun PB X pada
saat pembangunan gapura ini.
B. Masjid Agung
Pintu masuk Masjid Agung, semula bercorak Gapura bangunan Jawa
beratap Limasan, tetapi kemudian pada zaman PB.X dirubah menjadi corak
Arab Persia, terdiri dari tiga pintu utama, dengan pintu tengah lebih luas dari
dua pintu yang mengapitnya.
Dari pintu tengah, terdapat jalan setapak ke Barat menuju serambi
Masjid. Disekeliling serambi sebelah Utara, Timur dan Selatan, terdapat
penurunan lantai berisi air, hal ini dimaksudkan agar orang yang akan masuk
masjid melewati daerah tersebut kakinya menjadi bersih.
Berdekatan dengan tempat wudhu, terdapat menara adzan tinggi
menjulang. Hal ini mengingatkan pada bentuk palus atau lingga yang
merupakan simbol dari pria, sedangkan kolam yang pada awalnya difungsikan
sebagai tempat wudhu adalah merupakan lambang dari yoni atau wanita.
Perpaduan dari dua simbol tersebut adalah merupakan lambang dari kesuburan
dan asal kejadian.
Komplek masjid agung ini selain memiliki gapura utama, yang berada di
sebelah Timur, juga memiliki dua pintu keluar samping yang berada di sebelah
Utara dan selatan. Sama seperti gapura utama, pintu keluar samping komplek
ini memiliki corak Arab Persia.
Bentuk atap bangunan induk dari Masjid Agung Surakarta ini memiliki
corak yang sama dengan bangunan-bangunan suci Islam lainnya, yaitu bentuk
atap tajug. Di Jawa, bentuk atap tajug adalah merupakan ciri khas bentuk atap
yang digunakan untuk bangunan-bangunan suci, antara lain masjid dan
makam. Keseluruhan atap Masjid Agung Surakarta memiliki empat tingkat. Tiga

28
susunan pertama adalah berupa atap tajug, dan susunan keempat adalah
merupakan puncak atau kepala atap.

C. Pagelaran Sasonosumewo
Merupakan suatu bangunan yang berada disebelah Selatan Waringin
Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap
kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil)
yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-
langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini
ditinggikan dan di plester.

D. Bangsal Pangrawit
Bangsal Pangrawit adalah sebuah bangunan bangsal kecil, yang berada di
tengah Bangsal Pagelaran Sasonosumewo, yang pada jaman dulu mempunyai
citra dua limasan berdampingan dengan atap sirap.

E. Bangsal Witono
Di bagian belakang dari Bangsal Mangunturtangkil, terdapat bangsal besar
terbuka, dengan orientasi ke empat arah mata angin (Keblat Pajupat), dengan
citra arsitektur tajug (seperti Masjid, akan tetapi tidak memakai gulu meled)

F. Panggung Songgo Buwono


Panggung Songgo Buwono berdiri dengan tinggi 30 meter, bertingkat 4 dengan
model atap Tutup Saji bersudut 8.

2.2.3 Struktur
Struktur fisik bangunan keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan tata letaknya tidak
jauh berbeda dengan kompleks keraton Kasultanan Yogyakarta, yang terdiri atas dua
lapangan dan tujuh halaman, yaitu : Alun-alun Lor – halaman Sitihinggil Lor –
Kemandhungan Lor – Sri Manganti – Kedaton – Kemagangan – Kemandhungan Kidul
– Sitihinggil Kidul – dan Alun-alun Kidul. Perbedaannya, pada keraton Kasunan
Surakarta, bangunan dan halaman di antara kedua alun-alun dikelilingi tembok tinggi
(beteng) yang dikenal dengan Baluwarti.

29
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 PENYIMPANGAN FUNGSI BANGUNAN KERATON KASUNANAN


SURAKARTA YANG TERJADI PADA SAAT INI

A. Alun-alun Lor
Dahulu Alun-alun Lor dipenuhi dengan pasir, yang bisa digunakan untuk
‘pencuci kaki’ bagi orang-orang yang ingin sowan kepada raja atau bagi orang-orang
yang melakukan pepe, berjemur diri di bawah terik matahari, ditempat antara dua
pohon beringin kurung dengan berpakaian atau berkerudung putih. Selain untuk pepe,
Alun-alun Lor, juga digunakan sebagai tempat melangsungkan upacara upacara
kenegaraan, seperti Garebeg dan peringatan ulang tahun naik tahta raja, dan tempat
untuk mengumpulkan prajurit, latihan perang prajurit, memberangkatkan prajurit untuk
perang dan tempat hiburan formal rampogan, yaitu perburuan harimau : ratusan orang
bersenjata lembing mengambil tempat di sekeliling Alun-alun dan di tengah-tengah
Alunalun dilepaskan harimau yang akan dibunuh.
Fungsi awal yang masih terpelihara hingga sekarang, adalah perayaan Garebeg dan
peringatan ulang tahun naik tahta raja. Selain itu, alun-alun utara oleh dinas
pemerintah kota Surakarta sekarang dialih fungsi menjadi pasar sementara pasar
klewer. Perubahan fungsi ini terjadi akibat peristiwa kebakaran yang terjadi beberapa
tahun silam.

Gambar 43. Keadaan Alun-alun Lor Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

30
B. Kompleks Sasana Sumewa

Pagelaran Sasana Sumewa pada tahun 2015-2017 digunakan untuk


menampung kios-kios pedagang pasar Klewer yang terbakar pada akhir tahun 2014.

Gambar 44. Keadaan Sasana Sumewa Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

C. Kompleks Sitihinggil Lor


Kompleks Sitihinggil Lor sekarang ditutup dan sudah tidak berfungsi
sebagaimana fungsi aslinya, namun di sekitar sitihinggil beberapa
bangunan sekarang dipakai untuk beberapa orang latihan menari,
contoh nya adalah di bangsal manguntur tangkil.

Gambar 45. Keadaan Sitihinggil Lor Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

D. Kompleks Kamandungan Lor

Kompleks ini merupakan kawasan keraton bagian tengah yang dikelilingi


benteng tembok tebal dan tinggi untuk memisahkan dengan perkampungan luar. Di
sinilah dulu para pangeran dan sebagian besar abdidalem tinggal. Sekarang Baluwarti
cenderung telah berubah menjadi permukiman umum. Kalaupun tidak, penghuninya
sudah merupakan keturunan jauh dari abdi dalem yang kebanyakan tak lagi mengabdi
31
di keraton (Setiadi, 2000:271). Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X,
kalangan elit yang mendiami Baluwarti adalah kelompok putra dan kerabat raja
(bangsawan), bupati nayaka dan beberapa bupati lainnya (priyayi), golongan prajurit,
dan para abdidalem.

Gambar 46. Keadaan Kamandungan Lor Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

E. Kompleks Sri Manganti


Bangunan utama di kompleks ini adalah Kori Kamandungan Lor yang dibangun
pada tahun 1819 (disebut juga Balerata, karena di kanan-kiri bangunan terdapat
garasi mobil dan kereta istana), sebuah gerbang dengan teras terbuka. Di
sebelah kiri dan kanan Balerata terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-
kereta dan mobil-mobil yang akan dipakai oleh Sri Sunan. Sekarang tempat ini
berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton. Sebagian kereta juga tersimpan di
Kompleks Museum Keraton. Sekarang Kompleks Sri Manganti Lor dibuka untuk
umum dan beralih fungsi menjadi salah satu destinasi wisata di Keraton
Surakarta, halaman Sri Manganti Lor pun sekarang digunakan untuk akses
umum

Gambar 47 . Keadaan Sri Manganti Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

32
F. Kompleks Kedaton
Fungsi Kedaton pada masa sekarang ini tidak jauh berbeda
dibandingkan fungsi nya pada masa lalu, kedaton masih dijadikan tempat
tinggal resmi bagi Sri Sunan dan keluarga nya. Setiap bagian-bagian bangunan
pada kompleks keraton masih terjaga dan terawat dengan baik serta masih
tetap menjalankan fungsi awal nya. Namun ada sebagian dari bangunan
tersebut yang terbuka untuk umum dan dapat dikunjungi, seperti bangunan-
bangunan luar pada kompleks kedaton, sedangkan bangunan inti dan dalam
bagian sebelah barat kedaton tertutup untuk umum untuk menjaga kesakralan
nya.
Contoh nya adalah Sasana Handrawina, bangunan ini didirikan pada
masa Sri Susuhunan Pakubuwono V. Awalnya orang menyebut tempat ini
Pendapa Ijo, karena dahulu bercat hijau. Tempat ini digunakan sebagai tempat
perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi
tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Surakarta.

G. Kompleks Kemagangan
Kompleks ini dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di
tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman yang disebut
Bangsal Magangan, yang dipugar pada masa pemerintahan Sri Susuhunan
Pakubuwana XIII. Di sekeliling halaman ini selain terdapat kantor-kantor urusan
istana dan kerajaan, juga ada bangunan-bangunan untuk menempatkan
perlengkapan prajurit seperti keris, pedang, tombak, bedil, pistol, dan pakaian
seragam prajurit untuk upacara hari-hari besar kerajaan.

H. Kompleks Kamandungan Kidul


Halaman Kemandhungan Kidul berupa ruang terbuka yang sekarang ini,
seperti pada halaman Kemandhungan Lor, menjadi jalan umum untuk
menuju Alun-alun Kidul.

Gambar 48 . Keadaan Kamandungan Kidul Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

33
I. Kompleks Sitihinggil Kidul
Bangunan-bangunan di utara keraton yang megah melambangkan nafsu dan
keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di
bagian selatan melambangkan dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah SWT,
manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi. Dalam tahap
spiritual ini manusia harus fokus dan berorientasi kepada Allah SWT. Kini kompleks ini
digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan
kerbau Kangjeng Kyai Slamet (yang hidup pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II).

Gambar 49 . Keadaan Sitihinggil Kidul Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)

J. Kompleks Alun-Alun Kidul


Dahulu, Alun-alun Kidul dipakai untuk latihan perang para abdidalem prajurit yang
dilangsungkan pada setiap hari Selasa dan Minggu pagi dan disaksikan oleh raja yang
duduk di Sitihinggil. Di sebelah Barat Alun-alun Kidul terdapat rumah Patih Jero (Onder
Mayor), serta kandang-kandang gajah dan warak. Pada masa lalu, gajah-gajah itu
dipergunakan untuk keperluan upacara di Alun-alun Lor (Utara). Kini tempat bekas
kandang gajah dan warak telah berubah menjadi permukiman padat yang dikenal
dengan kampung Gajahan.
Namun sekarang alun-alun kidul beralih fungsi menjadi tempat destinasi wisata
dan juga pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan nya. Dapat dilihat disekitar
alun-alun kidul kini banyak ditemukan warung makan maupun pedagang kaki lima
yang menjajakan barang dagangan nya.

Gambar 50 . Keadaan Alun-alun Kidul Pada Masa Sekarang Ini. (Dokumentasi Penulis)
34
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Pada umumnya bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks keraton Jawa
menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian menggunakan konstruksi kayu, yaitu
berbentuk limasan, joglo, kampung dan tajug atau masjid. Pada dasarnya tipe-tipe bentuk bangunan
tradisionalJawa berasal dari satu bentuk saja, yaitu tipe tajug, satu bentuk yang melambangkan
kesakralan. Dari tipe ini kemudian terjadi pemekaran yang didasarkan atas pertambahnya luasan
ruangan, menjadi bentuk joglo dan kemudian limasan.

35

Anda mungkin juga menyukai