Anda di halaman 1dari 12

Rumah Tradisional Suku Makassar;

Konsep dan Kekiniannya dalam Ruang Kota Makassar


Nur Ihsan D – iccank.arc@gmail.com

I Prawacana

Salah satu suku di Indonesia yang memiliki konsep rumah tradisional adalah suku
Makassar. Rumah tradisional suku Makassar, karena memiliki kemiripan morfologis
dengan rumah tradisional suku Bugis seringkali disatukan dibawah istilah rumah
tradisional Bugis-Makassar. Rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan prototipe
rumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu yang atapnya berlereng dua,
da kera gka ya er e tuk huruf H terdiri dari tia g da alok ya g dirakit ta pa
pasak atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanya
diikat pada tiang luar (Schefold dalam Pelras, 2006: 265-267).
Rumah, bentuk, dan konstruksinya, muncul dalam tradisi manuskrip Sulawesi-
Selatan (Paeni dan Robynson, 2005: 277) pada abad ke-17 hingga kini (Pelras, 2006:
267). Merujuk pada data tersebut, kita bisa berkesimpulan bahwa tradisi
membangun rumah di Sulawesi Selatan adalah sebuah tradisi yang telah
berlangsung lama dan telah mengakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
Dalam rentang waktu yang panjang tersebut tentunya menarik untuk melihat
bagaimana kekinian dari konsep rumah tradisional suku Makassar. Ketertarikan
tersebut coba dirumuskan dalam sebuah penelitian kecil dengan terlebih dahulu
menguraikan konsep dasar rumah tradisional suku Makassar. Berangkat dari konsep
tersebut, akan dilakukan peninjauan terhadap kondisi terkini dari konsep rumah
tradisional suku Makassar. Atas berbagai keterbatasan metodologis, peninjauan
terhadap kondisi terkini rumah tradisional suku Makassar akan dibatasi dalam ruang
Kota Makassar. Membandingkan konsep dengan kondisi terkini dari rumah
tradisional suku Makassar diharapkan bisa mengantarkan kita pada pemahaman
sekilas tentang perubahan dan kelanjutan (continuity and change) yang terjadi
dalam konsep rumah tradisional suku Makassar. Bagian mana dari konsep tersebut
yang mengalami perubahan dalam wujud rumah tradisional suku Makassar dan apa
yang tetap berlanjut dari konsep rumah tradisional suku Makassar.

II Konsep Rumah Tradisional Suku Makassar

Pada dasarnya, Suku Makassar merupakan komunitas yang berpandangan bahwa


kehidupan mesti dijalankan dengan mengedepankan keselarasan hidup antara
makrokosmos dan mikrokosmos (periksa Wunas dkk., 2005: 12). Keselarasan

1|Hal
tersebut misalnya nampak dalam tiang rumah, denah, serta areal yang ditempati
oleh rumah Suku Makassar semuanya berbentuk persegi empat. Persegi Empat
merupakan konsepsi makrokosmos suku Makassar yang berpandangan bahwa alam
semesta secara horizontal bersegi empat (Sulapak Appak) (periksa Radja, 2000: 20).

Gambar 1
Kesinambungan Makrokosmos dalam Konstruksi Dasar Rumah Tradisional Suku Makassar
Sumber : Wunas dkk., 2005

Lebih lanjut, nilai religi yang tercermin dalam konstruksi rumah Suku Makassar
adalah pandangan bahwa dunia terdiri dari tiga bagian, yakni dunia atas, tengah,
dan bawah. Pandangan tersebut tergambarkan bentuk rumah suku Makassar yang
secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yakni bagian atas rumah atau loteng
(pammakkang), bagian tengah rumah yang merupakan badan rumah (kale balla’)
dan pada bagian bawah rumah yang disebut kolong rumah (siring) (Radja, 2000: 21;
Wunas dkk. 2005: 13).

Gambar 2
Kesinambungan Bagian Rumah dengan Konsep Kosmologis Suku Makassar
Sumber : Wunas dkk., 2005

2|Hal
Pammakkang merupakan bagian atap rumah yang dimanfaatkan penghuninya
sebagai tempat menyimpan hasil panen. Pammakkang dalam Bahasa Makassar
erarti e dia ka atau ya g e ye a gka kare a pammakkang merupakan
tempat menyimpan hasil kebun yang notabene merupakan sesuatu yang
menyenangkan atau menenangkan hati. Selain itu, pammakkang juga difungsikan
sebagai tempat penyimpanan peralatan-peralatan lain seperti tikar, alat-alat tenun,
dan benda-benda keramat (periksa Radja, 2000: 24). Untuk yang disebutkan
terakhir, pammakkang menjadi sebuah ruang yang bermakna ideologis karena
mengandung nilai spiritual dan sakral.
Kale Balla ialah agia te gah ru ah ya g dala Bahasa Makassar erarti tu uh
ru ah atau i ti ru ah . Bagia i i erupaka te pat pere a aa da
penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Kale Balla dapat dibagi menjadi beberapa
petak yang didasarkan pada deret tiang rumah dari sisi kiri ke kanan. Untuk
masyarakat menengah, jumlah petak rumah dibatasi hingga tiga. Ketiga bagian yang
diselaraskan dengan bagian tubuh manusia, yakni ruang depan (paddaserang ri
dallekang) yang dianggap sebagai kepala, ruang tengah (paddaserang ri tangnga)
yang dianggap sebagai bawah kepala manusia hingga pusar/perut manusia, dan
ruang belakang (paddaserang ri boko) yang dianggap sebagai bagian pusar hingga ke
kaki manusia (Radja, 2000: 20-21; Wunas dkk. 2005: 12).

Gambar 3
Analogi Bagian Rumah secara Horizontal dengan Bagian Tubuh Manusia
(Sumber : Wunas dkk., 2005)

Paddaserang ri Dallekang merupakan ruang tempat pemilik rumah menerima tamu


secara formal. Paddaserang ri Tangnga adalah ruang semi privat dalam rumah,
artinya ruang ini hanya bisa dijangkau oleh kerabat dekat pemilik. Pada beberapa
kasus, Paddaserang ri Dallekang dan Paddaserang ri Tangga biasanya dibatasi oleh
balok kayu yang melintang setinggi 10 - 20 cm dari permukaan lantai. Paddaserang ri
Dallekang dan Paddaserang ri Tangnga sering digunakan anak laki-laki dan orang

3|Hal
tua untuk tidur. Sedangkan bagian belakang rumah disebut Paddaserang ri Boko
yang merupakan wilayah privat dalam rumah digunakan oleh anak perempuan.
Bagian ini tidak boleh dimasuki oleh orang lain meskipun kerabat dekat kecuali atas
seizin pemilik rumah. Dibagian ini juga difungsikan sebagai dapur rumah. Antara
Paddaserang ri Tangnga dan Paddaserang ri Boko terdapat semacam sekat
pembatas yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya yang berfungsi
untuk menegaskan batas wilayah publik dan wilayah privat rumah.
Siring atau kolong rumah dianalogikan sebagai bagian bawah tubuh manusia yang
dimulai dari pusar hingga kaki. Sebagaimana analogi tersebut, bagian ini dipandang
sebagai tempat yang kotor dan hina. Siring adalah bagian rumah yang difungsikan
sebagai tempat menyimpan ternak, dan alat-alat betani atau melaut. Kolong rumah
adalah tempat yang dianggap tidak pantas untuk ditempati oleh manusia. Pada
rumah kalangan bangsawan, siring merupakan tempat menahan budak atau
tahanan karajaan.
Kelengkapan lain dari rumah tradisional Suku Makassar ialah Paladang, Jambang,
dan Tamping. Ketiga bagian tersebut tidak mutlak ada namun biasanya ditemui
disebagian besar rumah tradisional Suku Makassar. Paladang merupakan serambi
yang terletak dibagian depan rumah yang digunakan sebagai tempat sandar tangga.
Paladang difungsikan sebagai tempat bersantai pemilik rumah dan untuk menerima
tamu secara informal. Jambang merupakan bagian tambahan rumah yang terletak
pada samping rumah dan memanjang menurut badan rumah. Fungsi jambang ialah
sebagai jalur sirkulasi keluar masuk rumah yang juga dipergunakan sebagai tempat
memandikan mayat penghuni rumah yang meninggal dunia. Tamping merupakan
bagian tambahan yang terletak dibagian belakang rumah yang berfungsi sebagai
ruang makan, dapur, atau ruang tidur alternatif. Pada ruang-dalam rumah
tradisional suku Makassar, tidak terdapat dinding atau sekat yang membatasi ruang.
Kamar adalah sesuatu yang asing dalam konsep rumah tradisional suku Makassar.
Hal lain yang menarik dari konstruksi rumah suku Makassar adalah bahwa stratifikasi
sosial dalam masyarakat suku Makassar berpengaruh pada perwujudan fisik rumah
tradisional Makassar (Radja, 2000; 2). Pole (1998; 26 dalam Radja 2000: 1)
mengemukakan bahwa Suku Makassar memiliki stratifikasi sosial yang dibagi
kedalam tiga strata, yaitu:
- Golongan Karaeng (bangsawan)

 Tu baji’ (orang baik-baik)


- Golongan tu maradeka (orang merdeka)

 Tu sa ara’ (orang kebanyakan)


- Golongan Ata (hamba sahaya)

4|Hal
Perbedaan fisik rumah yang paling menonjol antara strata yang satu dengan yang
lain ditandai dengan perbedaan jumlah timba sila/sambulayang. Susunan timba sila
sebagai berikut:
1. Ti ba sila la ta’ li a (susun 5), khusus bagi istana raja.
2. Ti ba sila la ta’ appa (susun 4), khusus bagi golongan bangsawan yang
memegang jabatan tinggi di kerajaan seperti Karaeng Pabbicara Butta,
Karaeng Tumailalang Toa. Selain itu, seorang bangsawan yang turun tahta
sebagai raja berhak menempati rumah dengan timba laja lanta appa.
3. Ti ba sila la ta’ tallu (susun 3), rumah yang ditempati khusus keturunan
karaeng.
4. Ti ba sila la ta’ rua (susun 2), diperuntukkan bagi golongan tu maradeka.
5. Ti ba sila la ta’ se’re (susun 1), diperuntukkan bagi golongan masyarakat
ata dan tu barani.

Gambar 4
Susunan Timba Sila yang merefleksikan strata sosial dalam masyarakat suku makassar
(Sumber : diolah dari Radja, 2000: 23)

Konsep yang telah diutarakan diatas hanyalah sebahagian kecil dari keseluruhan
konsep rumah tradisional suku Makassar. Menyederhanakan cakupan tulisan ini,
penyajian konsep sengaja dibatasi pada konsep konstruksi rumah secara horizontal,
vertikal, dan elemen atap.

5|Hal
III Kekiniannya

Pertanyaan pertama yang timbul ketika berkeliling kota Makassar adalah kemana
larinya tradisi berumah yang telah mengakar selama berabad-abad lamanya. Pada
berbagai kawasan pemukiman yang ada di pusat kota Makassar, yang nampak
adalah bangunan baru dengan gaya arsitektur modern yang sama sekali tidak
memiliki akar kultural di Sulawesi Selatan. Jawaban atas pertanyaan diatas akan
terjawab jika kita mengarahkan perhatian kita pada kawasan punggiran kota
Makassar, kawasan sub-urban yang acap kali dilabeli sebagai kawasan kumuh.
Kecamatan Tallo Kota Makassar merupakan salah satu wilayah sub-urban kota
Makassar yang didalamnya masih banyak dijumpai jejeran bangunan rumah
tradisional Suku Makassar. Untuk alasan tersebut, perbicangan tentang kekinian dari
konsep rumah tradisional suku Makassar akan dipusatkan di kecamatan tersebut.
Selayang pandang, penulis telah melakukan observasi terhadap beberapa rumah
dengan konsep tradisional yang ada di kecamatan tersebut. Guna menyistematiskan
dan menyelaraskan dengan konsep yang telah diutarakan pada bagian sebelumnya,
observasi akan dititikberatkan pada konstruksi rumah secara horizontal, vertikal dan
susunan timba sila yang digunakan pada atap.

Foto 1 Salah satu sisi Kecamatan Tallo dimana masih banyak ditemukan bangunan rumah
dengan konsep rumah tradisional

6|Hal
Secara horizontal, petak depan rumah (paddaserang ri dallekang) masih berfungsi
sebagai ruang publik tempat menerima tamu. Hal baru yang nampak pada bagian
paddaserang ri dallekang adalah penempatan kursi tamu atau sofa. Petak tengah
rumah (paddaserang ri tangnga) masih berfungsi sebagai ruang semi privat yang
hanya boleh diakses oleh keluarga dekat pemilik rumah. Adapun petak belakang
rumah masih difungsikan sebagai dapur dan ruang makan. Perbedaan dengan
konsep rumah tradisional ialah adanya kamar-kamar yang terdapat dalam denah
ruang-dalam rumah. Terdapat kamar tidur dengan ranjang dan lemari yang
diperuntukkan bagi anggota keluarga. Untuk rumah yang relatif berukuran besar
dengan jumlah anggota keluarga yang hanya terdiri dari keluarga inti dengan 2-3
orang anak, dapat dikatakan bahwa setiap mereka memiliki kamar tidur masing-
masing. Komposisi kamar yang ditemukan adalah kamar untuk orang tua, kamar
untuk anak laki-laki, dan kamar untuk anak perempuan. Setiap kamar anak pada
umumnya diisi oleh maksimal dua orang anak.

Foto 2 Ruang dalam salah satu rumah tradisional Makassar di Kecamatan Tallo
yang telah memiliki kamar dan perabot modern lainnya.

Pengamatan terhadap konstruksi rumah secara vertikal menunjukkan kontras yang


amat jelas dengan konsep rumah tradisional suku Makassar. Hal yang paling
mencolok ialah penggunaan bagian kolong rumah (siring) sebagai tempat tinggal.
Pada beberapa rumah, bagian kolong dimanfaatkan oleh anak pemilik rumah yang
telah menikah (extended family) sebagai tempat tinggal. Kolong rumah kemudian

7|Hal
dilengkapi dengan ruang tamu, kamar tidur, dan dapur serta sarana MCK. Bagian
tengah (kale balla) utamanya digunakan oleh keluarga inti sebagai tempat tinggal.
Ruang di bawah atap rumah (pammakkang) yang secara konsepsional merupakan
ruang ideologis tempat menyimpan gabah/beras atau benda-benda yang disakralkan
oleh keluarga tersebut sudah tidak difungsikan. Bagian-bagian rumah lainnya seperti
jambang dan paladang kadang dijumpai pada beberapa rumah dan pada beberapa
rumah lain sudah tidak dijumpai.
Bagian timba sila, atau bagian depan atap yang merupakan identitas strata sosial
pemilik rumah sudah tidak bisa ditemukan. Ditengah-tengah warga kecamatan Tallo,
kadang terdengan suara-suara sumbang tentang pemakaian timba sila yang tidak
konsisten dengan strata sosialnya.

Foto 3 Nampak bagian kolong rumah telah difungsikan sebagai tempat tinggal manusia.

Berdasarkan hasil pengamatan diatas, secara umum konstruksi rumah tradisional


suku makassar di kota Makassar masih menunjukkan beberapa kontinuitas dengan
konsep rumah tradisional suku Makassar. Meskipun terjadi pengenalan material
bangunan yang baru seperti seng sebagai atap dan multipleks sebagai dinding yang
menggantikan papan atau anyaman bambu, konstruksi rumah panggung masih
menampilkan profil rumah tradisional. Perubahan nampak pada pengabaian pakem-
pakem yang ada dalam konsep rumah tradisional suku Makassar seperti,
pemanfaatan ruang di bawah atap sebagai ruang ideologis dan pemanfaatan kolong
rumah sebagai tempat tinggal.

8|Hal
IV Terjepit, Tersingkir, Terlupakan.

Makassar adalah sebuah kota metropolis. Kota yang tidak hanya menjadi pusat
pemerintahan, niaga dan jasa, tetapi juga menjadi arena bagi bertemunya orang-
orang dengan latar kepentingan dan kebudayaan yang beragam. Pertemuan
kepentingan dan kebudayaan yang beragam itu selain melahirkan corak kehidupan
yang juga amat beragam, mewujudkan pula karakter kebudayaan yang akulturatif.
Semangat tradisional hadir secara tindih-menindih dengan semangat modernitas.
Namun, perjalanan waktu menunjukkan kehadiran semangat tradisional dalam
ruang kota Makassar kemudian terinjak oleh hasrat untuk menjadi modern.
Hal tersebut nampak jelas misalnya pada Gedung DPRD Sulawesi Selatan yang
berlokasi di Jl. Urip “u iharjo, Makassar. Ba gu a ya g erdiri pada tahu 97 a
dibagun dengan keinginan untuk mengakomodasi salah satu konsep bangunan
tradisional Bugis-Makassar dengan menggunakan atap limas dan timpa laja susun
lima sebagai perlambang strata sosial tertinggi. Namun, gedung baru yang berdiri
sejak tahun 2008 menunjukkan kontras yang amat tegas. Dibangun dengan gaya
arsitektur modern yang minimalis, gedung baru tersebut menegaskan pemutusan
semangat akomodasi lokalitas dalam gaya bangunan.

Foto 4 Gedung DPDR Prop. Sulawesi Selatan yang berdiri pada tahun 1970'an (kiri) dan Gedung baru
yang berdiri sejak tahun 2008 (kanan)

9|Hal
Ditengah kota, mungkin masih bisa kita temukan bangunan rumah tradisional suku
Makassar yang coba berdiri kukuh melawan ganasnya arus kapitalisasi ruang. Ketika
ruang kota menjadi arena pertarungan modal, tradisi acapkali tergilas. Sebuah
rumah tradisional yang berdiri di jalan pengayoman mencoba menunjukkan
kegigihannya dalam melawan arus modernisasi. Kawasan di jalan Pengayoman
dulunya merupakan salah satu kawasan pemukiman yang berdiri diatas daerah
berawa. Hingga pemangku kebijakan kota menetapkan kawasan tersebut sebagai
kawasan niaga dan pemukiman elit, rumah tersebut mencoba berdiri anggun
ditengah himpitan bangunan ruko.

Foto 5 Rumah Tradisional Makassar di Jalan Pengayoman Makassar yang dihimpit ruko.

Terjepit, tergusur, untuk kemudian terlupakan mungkin tepat untuk mewakili


kekinian rumah tradisional suku Makassar. Tersisa dikawasan pinggiran kota yang
kumuh, rumah tradisional suku Makassar di kawasan pinggiran hanya menampilkan
konsistensi dalam hal konstruksi kayu dengan rangka huruf H . Selebihnya, berbagai
modifikasi dan pengabaian terhadap pakem-pakem bangunan yang merupakan
implemetasi dari pandangan kosmologi suku makassar terjadi. Dalam konteks yang
lebih luas, pihak pemangku kebijakan kota nampaknya tidak lagi memperhatikan
kelestarian nilai tradisi lokal. Realitas diatas bisa jadi tidak hanya terjadi di Kota
Makassar, namun mungkin telah menjadi gejala umum yang berlangsung di
beberapa kota lain di Indonesia.

10 | H a l
Glosarium

Aklantak : Bersusun, lantai yang bersusun


Ata : Hamba Sahaya, strata sosial paling rendah dalam Suku
Makassar
Dego-dego : Teras sepanjang lebar rumah, terdapat didaerah pesisir
pantai
Jambang : Jalur sirkulasi yang terdapat pada badan rumah
Kale balla : Badan rumah
Karaeng : Golongan strata dibawah keturunan raja, sama dengan
golongan bangsawan
Paddaserang ri boko : Lantai bagian belakang rumah
Paddaserang ri tangnga : Lantai bagian tengah rumah
Paddaserang ri dallekang : Lantai bagian depan rumah
Paladang : Teras rumah di kiri atau kanan rumah
Pallu : Tempat memasak, dapur, bagian rumah yang berfungsi
sebagai dapur
Sambulayang : Timba sila
Simbang tangnga : Pembatas antara ruang depan dan ruang tengah,
disimbolkan dengan balok yang menonjol pada lantai
atau berupa dinding yang melintang ditengah rumah
Siring : bagian rumah yang berada dibawah lantai rumah,
kolong rumah
Sulapak appak : Persegi empat, pandangan kosmologis Suku Makassar
Tamping : Bagian tambahan rumah yang berada dibelakang
Tu Bajik : Orang baik-baik, termasuk dalam golongan tu
maradeka
Tu Barani : Pemberani
Tu Maradeka : Orang merdeka, strata sosial dibawah karaeng
Tu Samarak : Orang kebanyakan

11 | H a l
Bahan Bacaan

Pelras, Christian.
2006 Manusia Bugis. Makassar: Ininnawa
Radja, Abdul Mufti.
2000 Keragaman Rumah Tradisional Makassar; Studi Kasus Rumah
Tradisional Makassar di Buluttana, Gowa, Sanrobone, dan
Tamassaju, Takalar. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada.
Robynson, Kathryn
2005 Tradisi Membangun Rumah di Sulawesi Selatan dalam
Kathryn Robinson dan Mukhlis Paeni. Tapak Tapak Waktu;
Kebudayaan Sejarah dan Kehidupan Sosial di Sulawesi
Selatan, hal 271-315. Makassar: Ininnawa.
Robinson, Kathryn., dan Mukhlis Paeni.
2005 Tapak-tapak Waktu; Kebudayaan, Sejarah dan Kehidupan
Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.
Wunas, Shirly dkk.
2005 Morfologi Rumah Tradisional Makassar di Pesisir Pantai
Galesong Kabupaten Takalar. Makassar; Jurusan Asitektur
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

12 | H a l

Anda mungkin juga menyukai