Anda di halaman 1dari 20

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DYSLEXIA

Disusun Oleh:
Mey Cahyani
1710029065

Pembimbing:
dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL

DYSLEXIA

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Mey Cahyani NIM. 1710029065

Pembimbing:

dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul “Dyslexia”. Tutorial
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di
bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penulisan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan
tugas tutorial ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial klinik ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial klinik ini, semoga ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, November 2018

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap anak memiliki masa perkembangan, namun terkadang terdapat
beberapa hambatan dalam masa perkembangannya. Kemungkinan penyebab
terjadinya hambatan perkembangan belajar adalah terjadi gangguan
perkembangan pada otaknya (sistem syaraf pusat) pada masa prenatal, perintal,
dan selama satu tahun pertama. Ada berbagai macam hambatan belajar yang
terjadi dalam masa perkembangan. Adapun hambatan perkembangan yang
menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah dyslexia (Loeziana, 2017). Salah satu
kesulitan belajar spesifik yang mendapat perhatian adalah kesulitan membaca atau
dyslexia, karena kemampuan membaca merupakan dasar atau fondasi untuk
memperoleh kepandaian skolastik lainnya (Koestoer & Hadisuprapto, 2001).
Dyslexia merupakan bentuk gangguan belajar yang paling banyak
ditemukan. Di berbagai negara pravalensi dyslexia pada anak-anak bervariasi
antara 5-15%, Diantara negara-negara yang mengalami problem kesulitan belajar
membaca, Indonesia termasuk salah satunya. Dyslexia awalnya diketahui pada
orang dewasa pada akhir pertengahan abad XIX, sedangkan pada anak dilaporkan
pertama kali tahun 1896 (Igan, & Maharani, 2013).
Dyslexia merupakan salah satu jenis kesulitan belajar spesifik yang berasal
dari kelainan neurobiologis. Hal ini ditandai dengan kesulitan pada pengenalan,
mengeja dan mendecode kata. Kesulitan-kesulitan ini biasanya disebabkan oleh
adanya kekurangan dalam komponen fonologis. Penderita dyslexia sulit dikenali
karena dari segi penampilan seperti anak normal pada umumnya serta dengan nilai IQ
normal (rata-rata atau diatas rata-rata ). Pada umumnya, terlihat dari prestasinya yang
kurang, membaca yang tidak fasih, huruf yang sering terbalik-balik, namun tidak
banyak guru yang menyadari bahwa masalah yang melatarbelakangi kesulitannya
tersebut adalah suatu kesulitan belajar spesifik. Oleh karena itu deteksi dyslexia sejak
dini serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya mengenai dyslexia pada anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Dyslexia merupakan gangguan membaca primer, yang dibedakan dari


bentuk sekunder. Kata dyslexia berasal dari bahasa Yunani, “dys” berarti
kesulitan, “lexis”berarti kata-kata. yang berarti kesulitan membaca kata-kata.
Abigail menjelaskan bahwa dyslexia merupakan kesulitan belajar primer
berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis mengeja, dan
pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis
yang kompleks, kelainan struktur dan fungsi otak (Sidiarto, 2007). Dyslexia
sekunder yaitu kesulitan membaca yang disebabkan oleh berbagai kondisi seperti
gangguan visual atau pendengaran, cacat intelektual, kurangnya pembelajaran/
latihan atau sebab lainnya (Igan, & Maharani, 2013).
Terdapat 5 kriteria yang harus terpenuhi intuk mendefinisikan dyslexia, yaitu
1) Anak tidak menderita neurologis mayor misalnya palsi serebral
2) Fungsi sensorik utama harus normal, dan anak tidak buta atau tuli
3) Anak tidak mengalami masalah psikiatri yang berat (karena sering kali
ditemukan masalah rendah diri pada anak dyslexia)
4) Intelegensi anak harus normal
5) Anak tinggal dalam lingkungan sosial dan pendidikan yang kondusif untuk
belajar memabca.

Menurut WHO, dyslexia didefinisikan sebagai gangguan pada kemampuan


membaca yang spesifik dan bermakna, yang tidak dapat dijelaskan atas dasar
berbagai defisit intelegensi umum, kesempatan dalam belajar, kemauan, atau
kemampuan indra.
Menurut DSM IV, dyslexia adalah gangguan kemampuan membaca meskipun
penderita mempunyai intelegensi normal, tidak terdapat kecacatan fisik dan
psikologis dan mendapat pendidikan formal yang memadai.

2.2. Epidemiologi dan Etiologi

3
Prevelensi dyslexia di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 5% sampai
17% pada anak usia sekolah; dan 40% dengan kemampuan membaca sangat
rendah. Prevalensi yang hampir sama didapatkan di daerah Persia, yakni sebesar
5,2%. Kelainan ini terdapat pada sedikitnya 80% dari semua individu yang
teridentifikasi sebagai kesulitan belajar (Igan, & Maharani, 2013).
Beberapa penelitian yang mengikutkan populasi besar menunjukkan
dyslexia terjadi 2-3 kali lebih banyak pada laki-laki. Ketika dibedakan antara
gangguan membaca dengan gangguan mengeja, hasil penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki lebih cenderung mengalami gangguan mengeja sedangkan
gangguan membaca pada laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang
sama. (Igan, & Maharani, 2013).
Dyslexia diketahui sebagai sebagai gangguan yang diturunkan dan
familial. Penurunannya terjadi secara autosomal dominan pada beberapa keluarga
dan kemungkinan pembawa sifatnya adalah gen pada kromosom 15. Bukti ini
semakin menunjukkan bahwa dyslexia merupakan kelainan yang diturunkan.
Kemungkinan 50% orangtua dyslexia mempunyai anak dyslexia, 50% saudara
kandung penderia mungkin menderita kelainan yang sama dan 50% penderita
anak-anak mempunyai orangtua yang menderita dyslexia. Sebuah bukti penelitian
menunjukkan bahwa kelainan dyslexia ini melibatkan lokus pada kromosom 2, 3,
6, 15, dan 18 (Igan, & Maharani, 2013).

Penyebab anak mengalami keterlambatan atau kesulitan perkembangan


membaca adalah:
a. Anak yang lahir premature dengan berat lahir rendah dapat mengalami
kesulitan belajar atau gangguan pemusatan perhatian.
b. Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran atau anak dengan celebral palsy (c.p.) akan mengalami
kesulitan belajar membaca.
c. Anak kurang memahami perintah karena lingkungan yang menggunakan
beberapa bahasa (bi-atau multilingual)
d. Anak yang sering pindah sekolah
e. Anak yang sering absen karena sakit atau ada masalah dalam keluarga.

4
f. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan pembelajaran
bahasa sehingga kurang konsentrasi dan banyak membuat kesalahan
(Sidiarto, 2007 & Loeziana, 2017).

2.3. Pembagian Dyslexia


Ada dua tipe dyslexia, yaitu tipe auditoris (pendengaran) dan tipe visual
(penglihatan), di bawah ini akan dijelaskan mengenai tipe-tipe tersebut:
a. Tipe Auditoris (Auditory Processing Problems)
Kemampuan untuk membedakan antara bunyi-bunyi yang sama dari
kata-kata yang diucapkan, atau untuk membedakan antara bagian-bagian
kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari
dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Seorang ahli fisika Perancis,
Alfred Tomatis, dalam buku “Deteksi dini masalah-masalah psikologi anak”
menegaskan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan belajar tidak
memiliki kemampuan dalam memahami kata-kata atau kalimat-kalimat yang
mereka dengarkan. Sebuah teori serupa juga dirumuskan oleh seorang dokter
di Perancis, Guy Berard, ia menegaskan bahwa beberapa orang mendengar
suara-suara melalui cara-cara yang tidak lazim, baik karena suara-suara
tersebut berubah ataupun karena pendengaran mereka atas suara-suara tersebut
terlalu sensitive (Loeziana, 2017).
Teori lainnya dikemukakan oleh Jean Ayres, dalam buku “Deteksi dini
masalah-masalah psikologi anak” seorang praktisi pengobatan, menegaskan
bahwa dyslexia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular.
Vestibular merupakan bagian dalam telinga yang menjadi alat detector posisi
kepala terhadap gravitasi bumi (apa yang di atas dan apa yang di bawah) dan
mentransmisikan informasi ini ke dalam otak. Anak-anak yang memiliki
permasalahan dengan system vestibular mereka memiliki kesulitan dalam hal
keseimbangan, misalnya ketika mereka belajar menaiki sepeda. Gejala-gejala
yang dimiliki oleh tipe auditoris adalah:
1) Kesulitan dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami
kesulitan dalam analisis fonetik. Contohnya: anak tidak dapat
membedakan kata: katak, kakak, dan bapak.

5
2) Kesulitan analisis dan sintesis auditoris, contohnya: kata “ibu” tidak dapat
diuraikan menjadi “i-bu”
3) Kesulitan auditoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat
mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau jika melihat kata tidak
dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kata tersebut
4) Membaca dalam hati lebih baik dari pada membaca dengan lisan
5) Kadang-kadang disertai gangguan urutan auditoris
6) Anak cenderung melakukan aktivitas visual
Dari ciri-ciri di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak dyslexia
dengan tipe auditoris anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan visual.
Dan pada saat belajar anak tersebut lebih suka membaca dalam hati dari pada
dengan lisan (Loeziana, 2017).

b. Tipe Visual
Permasalahan penglihatan yang akut memang sangat berpengaruh
terhadap kemampuan membaca anak. Sebuah teori yang dikemukakan oleh
Drs. Carl Ferrei dan Richard Wainwright dalam buku “Deteksi dini masalah-
masalah psikolohi anak” mereka berpendapat bahwa permasalahan gangguan
dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokan antara Sphenoid dan
tulang rawan pada tengkorak. Ketidaksesuaian ini diduga berpengaruh
terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata,
yang mana kondisi ini berakibat pada terganggunya koordinasi mata. Seorang
psikolog pendidikan dari California, Helen Irlen memperkenalkan sebuah teori
bahwa orang-orang yang terkena dyslexia memiliki gangguan serius pada
indera penglihatan mereka yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan
ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan
tingkat kokontrasan tertentu. Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe visual
adalah sebagai berikut:
1) Terdensi terbalik, misalnya b dibaca d, p dibaca g, u dibaca n, m dibaca w
dan sebagainya
2) Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf-huruf atau kata yang mirip
3) Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi huruf cetak
untuk menyusun kata mengalami kesulitan, misalnya kata “ibu” menjadi
“ubi” atau “iub”
4) Memori visual terganggu

6
5) Kecepatan persepsi lambat
6) Kesulitan analisis dan sintesis visual
7) Hasil tes membaca buruk
8) Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak dyslexia dengan tipe
visual ini anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan auditorial. Dan
dalam belajar anak lebih suka mendengar apa yang diterangkan oleh guru dari
pada belajar sendiri (Loeziana, 2017).

Bakker, et al, (1987) membagi dyslexia menjadi dua tripologi, yaitu sebagai
berikut:
 L-type dyslexia (linguistic)
Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti
penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian huruf
(substitution), dan kesalahan multi-kata lainnya.
 P-type dyslexia (perspective)
Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti
fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ngulang (repetisi).
Dari dua tripologi di atas dapat disimpulkan bahwa jarang terdapat hanya
satu jenis dyslexia yang murni, kebanyakan gabungan dari berbagai jenis dyslexia,
dimana terdapat gangguan dalam masalah bicara bahasa, membaca, dan bahasa
tulis.

2.4. Patofisiologi
Membaca merupakan proses yang berlangsung didaerah spasio-temporal
yang melibatkan pengkodean berurutan tehadap simbol-simbol visual.
Kemampuan spasio-temporal seperti mendeteksi huruf-huruf mempunyai peranan
yang penting dalam proses membaca (Igan, & Maharani, 2013)
Pemeriksaan neurobiologik pada penderita dylexia menunjukkan adanya
gangguan fungsi membaca pada bagian posterior hemisfer kiri, terutama didaerah
temporo-parieto-oksipitalis. Sebuah teori dyslexia yang bersumber pada defisit

7
proses di temporal yang menggabungkan gejala klinis dengan neuropsikologis
yang mengarah pada defisit fonologis dan gangguan visual. Dalam teori ini
disebutkan bahwa pada anak dyslexia didapatkan kesulitan untuk menyatukan
perubahan stimulus yang berlangsung cepat (khas pada dyslexia). Kesulitan ini
akan mengakibatkan kegagalan persepsi pendengaran pada konsonan, defisit
dalam penilaian perintah temporal dan defisit dalam berbagai tingkat membaca
cepat. Pada anak dengan dyslexia berat biasanya terdapat diskalkulia yang
merupakan hasil dari kegagalan fungsi proses numerik temporal. Koordinasi
motorik halus juga dapat terganggu pada penderita dyslexia yang akan
mengakibatkan disgrafia atau kesulitan dalam menulis dan dispraksia atau
kesulitan dalam koordinasi gerakan motorik (Igan, & Maharani, 2013).
Para ilmuwan telah menggunakan teori membaca untuk membantu
memahami dyslexia. Salah satu teori yang paling banyak diterima adalah teori
jalur ganda. Dalam teori ini terdapat dua mekanisme yang digunakan untuk
membaca sebuah kata, yaitu jalur langsung (ortografi) dan jalur tidak langsung
(fonologis). Jalur langsung adalah melihat kata dan otomatis mengetahui apa yang
dibaca. Untuk orang yang sering melihat kata-kata tersebut telah dikenali
sebelumnya, maka kemungkinan besar jalur inilah yang digunakan. Pembaca
terlatih menggunakan jalur ini untuk sebagian besar yang mereka baca, meskipun
mereka dapat menggunakan jalur lain ketika mereka menemukan kata-kata yang
baru atau kata asing (Igan, & Maharani, 2013).
Jalur tidak langsung menterjemahkan huruf-huruf menjadi suara, dan
mengetahui pengucapan kata-kata dari kombinasi suara yang dihasilkan. Jalur ini
menggunakan proses fonologis dan biasanya digunakan pada awal perkembangan
keterampilan membaca. Pembaca yang menemukan kata-kata baru, maka kata-
kata tersebut dibaca secara hati-hati. Banyak penderita dyslexia yang memiliki
kesulitan menggunakan jalur ini karena keterampilan fonologis mereka kurang
(Igan, & Maharani, 2013).
Pada dasarnya membaca terdiri dari dua proses utama, yaitu pengkodean
dan pemahaman. Pada penderita dyslexia terdapat defisit fonologis sehingga
terjadi kegagalan dalam memisahkan fonem sebagai segmen dasar sebuah kata-
tulis. Membaca membutuhkan kemampuan visual yang efisien termasuk

8
kemampuan untuk memproses lokasi spasi huruf, sementara dalam waktu yang
sama mata juga harus bergerak membaca seluruh teks. Proses ini harus
dikoordinasikan dengan aspek persepsi dan motorik, yang pada gilirannya harus
menggabungkan tingkat pengkodean kata dan proses linguistik. Ketika penderita
dyslexia dibandingkan dengan kontrol pada tugas visual yang membutuhkn
persepsi dan motorik okuar yang sama, tidak ada perbedaan gerakan mata pada
kedua kelompok. Karena itu, perbedaan pola pergerakan mata penderita dyslexia
pada waktu membaca lebih mencerminkan kesulitan dalam proses membaca
daripada gangguan primer pada kontrol motorik okuler (Igan, & Maharani, 2013).

2.5. Gejala-Gejala Dyslexia


Gejala dyslexia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama pada tiap
penderita. Karena itu, gangguan ini biasanya sulit dikenali. Terutama sebelum
sang anak memasuki usia sekolah.
Ada sejumlah gen keturunan yang dianggap dapat memengaruhi perkembangan
otak yang mengendalikan fonologi, yaitu kemampuan dan ketelitian dalam
memahami suara atau bahasa lisan. Misalnya membedakan kata “paku” dengan
kata “palu”.
Pada balita, dyslexia dapat dikenali melalui sejumlah gejala yang berupa:
a. Perkembangan bicara yang lebih lamban dibandingkan anak-anak
seusianya.
b. Membutuhkan waktu lama untuk belajar kata baru, misalnya keliru
menyebut kata “ibu” menjadi kata “ubi”
c. Kesulitan menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan diri, misalnya
kesulitan untuk memilih kata yang tepat atau kesulitan menyusun kata
dengan benar.
d. Kurang memahami kata-kata yang memiliki rima, contohnya “putrid
menari sendiri” (Loeziana, 2017).

Gejala-gejala dyslexia biasa akan lebih jelas ketika anak mulai belajar
membaca dan menulis di sekolah. Anak akan mengalami beberapa kesulitan yang
meliputi:
a. Kesulitan memproses dan memahami apa yang didengarnya
b. Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad

9
c. Sering salah atau terlalu pelan saat membaca
d. Lamban saat menulis dan tulisan yang tidak rapi
e. Kesulitan mengingat urutan, misalnya urutan abjad atau nama hari
f. Cenderung tidak bisa menemukan persamaan atau perbedaan pada “a”
g. Kesulitan mengeja, misalnya huruf ð´sering tertukar dengan huruf “b”.
Atau angka “6” dengan angka “9”
h. Lamban dalam menulis, misalnya saat didikte atau menyalin tulisan
i. Kesulitan mengucapkan kata yang baru dikenal
j. Memiliki kepekaan fonologi yang rendah. Contohnya, mereka akan
kesulitan menjawab pertanyaan “bagaimana bunyinya apabila huruf “b”
pada “buku” diganti dengan “s” (Hargio, 2012 & Loeziana, 2017).

2.6. Diagnosis
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk menegakkan
diagnosis dyslexia. Diagnosis dyslexia ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita
dari orang tua, observasi dan tes tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak
atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, professional lain seyogyanya juga
terlibat dalam observasi dan penilaian anak dyslexia yaitu dokter saraf anak
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran), opthalmologis
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan tentunya
guru sekolah (Tammasse & Jumraini, 2017).
Dasar diagnosis ICD-10 dan DSM- IV adalah gambaran klinis yang
ditandai oleh kegagalan perkembangan proses membaca dan megeja. Namun,
penelitian terkini menunjukkan terdapat 3 kelainan yang terpisah yaitu:
1) Kombinasi gangguan membaca dan mengeja (dyslexia)
2) Gangguan membaca
3) Gangguan mengeja
Sebagian besar gangguan membaca tidak terdiagnosis sampai anak di
kelas 3 atau sekitar umur 6-9 tahun. Tammasse & Jumraini (2017) menyebutkan
bahwa diagnosis dyslexia biasanya dilakukan pada usia 7-8 tahun. Namun,
sebenarnya bila cermat gejala dyslexia bisa dikenali sejak usia 3-4 tahun.. Anak usia
prasekolah mempunyai faktor risiko untuk menderita dyslexia, antara lain kalau
ada riwayat keterlambatan bahasa atau tidak dapat mengeluarkan suara tertentu
(kesulitan dalam permainan kata-kata, kerancuan pada kata-kata dengan bunyi

10
yang sama, kesulitan belajar mengenal huruf), dan ada keluarga lain yang
menderita dyslexia. Pada usia sekolah, anak sering dikeluhkan tidak dapat
mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Orang tua dan guru sering kali tidak
menyadari bahwa penyebabnya adanya gangguan membaca (Igan, & Maharani,
2013).
Evaluasi secara menyeluruh diperlukan untuk menentukan diagnosis yang
tepat pada anak dengan gejala kelemahan membaca. Evaluasi ini meliputi semua
penyebab yang dicurigai. Penilaian ini harus melibatkan pengukuran menyeluruh
keterampilan yang meliputi membaca mengeja dan aritmatika. Tes kecerdasan
atau tes IQ sering tidak diperlukan, tetapi pada beberapa literatur dikatakan
bahwa tes kecerdasan harus dilakukan (Igan, & Maharani, 2013).
Untuk menentukan apakah anak berisiko menderita dyslexia, skrining
biasanya dilakukan pada akhir masa taman kanak-kanak atau memasuki sekolah
dasar. Siswa dengan kemampuan membaca di bawah teman seusianya pada
skrining dicurigai berisiko dan diberikan intervensi (Igan, & Maharani, 2013).

1. Penilaian Kemampuan Membaca


Pada saat ini penilaian kemampuan membaca yang paling diterima adalah
penilaian berdasarkan fonologis. Anak dinilai dengan mengukur pengkodean,
kelancaran, dan pemahaman dalam membaca. Pemeriksaan fonologis pada anak
yang tersedia saat ini adalah Comprehensive Test of Phonological Processing
(CTOPP). Tes ini terdiri atas pengukuran pengetahuan fonologis, pengkodean
fonologis, dan kemampuan mengingat dan memberi nama dengan cepat (Igan, &
Maharani, 2013).
Pada anak usia sekolah, salah satu elemen yang penting untuk dievaluasi
adalah seberapa akurat anak dapat mengkode kata (membaca kata-kata tunggal).
Kelancaran membaca dapat dinilai dengan menggunakan The Gray Oral Reading
Test. Tes ini terdiri atas 13 bagian yang semakin sulit dan masing-masing diikuti
oleh lima pertanyaan pemahaman. Kemampuan membaca kata tunggal dapat
diketahui dengan menggunakan Test of Word Reading Efficiency (TOWRE),
sebuah tes untuk kecepatan membaca kata-kata. Skrining oleh dokter dapat

11
dilakukan dengan mendengarkan anak membaca dengan keras, berdasarkan
tingkat kemampuan membacanya (Igan, & Maharani, 2013).

2. Pemeriksaan Fisik, Neurologis dan Laboratorium


Pemeriksaan fisik secara umum memiliki peran yang sangat kecil untuk
mengevaluasi dyslexia. Gangguan sensorik primer harus disingkirkan terutama
pada anak-anak. Jenis pemeriksaan ditentukan oleh gejala-gejala non-dyslexia
yang menunjukkan kelainan khusus. Hasil pemeriksaan neurologis rutin biasanya
normal. Pemeriksaan lain seperti MRI atau analisis kromosom, hanya dilakukan
jika terdapat indikasi klinis spesifik (Igan, & Maharani, 2013).

2.7. Penatalaksanaan
Dyslexia merupakan suatu kondisi yang menetap. Dyslexia tidak bisa
disembuhkan karena pada dasarnya dyslexia bukan merupakan sebuah penyakit,
namun kondisi kelainan neurobiologis. Ketidakmampuan anak yang tampak
seperti menghilang/berkurang pada kondisi dewasa terjadi karena individu
tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan
oleh dyslexia tersebut, bukan karena dyslexianya telah sembuh (Tammasse &
Jumraini, 2017).
Dyslexia diatasi dengan terapi yang benar dan tepat sesuai metode yang
teruji secara ilmiah. Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada
kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam
perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan
menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa (Tammasse & Jumraini,
2017).
Penatalaksanaan dyslexia terdiri atas menentukan kelainan serta memberi
pengetahuan kepada orang tua dan guru. Anak - anak dengan ketidakmampuan
membaca spesifik ini perlu segera ditangani, karena jika tidak, anak-anak ini akan
segera membentuk sikap negatif terhadap sekolah dan terhadap diri mereka
sendiri (Huttenlocher, 2006). Selanjutnya penatalaksanaan tergantung pada
beratnya dyslexia dan kelainan psikologis lain yang menyertai. Medikamentosa
tidak bermanfaat untuk dyslexia. Apabila dyslexia disertai dengan ADHD,

12
medikamentosa dapat memperbaiki kesulitan belajar yang ditimbulkan (Igan, &
Maharani, 2013).
Intervensi ditujukan untuk memperbaiki kemampuan memanipulasi fonem
pada suku kata dengan cara memfokuskan instruksi pada satu atau dua jenis
fonem, mengajar anak-anak dalam kelompok kecil dan memberikan instruksi
yang eksplisit (daripada insidentil). Keberhasilan terapi mengacu pada
kemampuan membaca secara oral dengan kecepatan, akurasi, dan ekspresi yang
tepat. Metode yang digunakan adalah membangun minat baca dengan panduan,
yaitu anak membaca dengan suara keras berulang kali di hadapan guru, orang
dewasa, atau teman-temannya, dan menerima umpan balik. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa membaca oral dengan panduan memiliki dampak yang jelas
dan positif terhadap pengenalan kata, kelancaran, dan pemahaman membaca.
Metode yang harus dihindari adalah mendorong membaca dalam jumlah besar dan
membaca dalam hati (diam) tanpa umpan balik kepada siswa (Igan, & Maharani,
2013).
Perangkat untuk terapi dyslexia dapat berupa komputer dan perekam suara
penderita dyslexia biasanya mempunyai tulisan tangan yang tidak dapat dibaca.
Komputer akan sangat bermanfaat karena dilengkapi dengan program pemantau
ejaan, sehingga dapat mengoreksi kesalahan ejaan yang sering dilakukan pada
penderita dyslexia. Perekam suara dapat menyimpan gagasan-gagasan penderita
yang susah dituangkan dalam bentuk tulisan (Igan, & Maharani, 2013).
Intervensi keluarga dilakukan pada lingkungan keluarga berisiko yang
berfokus pada phoneme awareness dan pengenalan huruf pada tahun-tahun
sebelum anak diberi pendidikan formal anak yang diberi intervensi keluarga
mempunyai pengenalan huruf yang lebih baik (Igan, & Maharani, 2013).
Besar dan bentuk huruf dapat mempengaruhi kemampuan membaca anak.
didapatkan hubungan yang berbanding lurus antara besar huruf dengan
kemampuan membaca. Penderita dyslexia memerlukan ukuran huruf yang lebih
besar untuk mencapai kecepatan baca maksimum (Igan, & Maharani, 2013).

2.8. Pencegahan

13
Pencegahan dengan cara memasukkan anak pada kelompok bermain atau
PAUD, sangat membantu meningkatkan kemampuan linguistik. Pencegahan
berfokus pada kegiatan permainan bahasa, pengenalan Irama, mengenal suku kata,
dan pengenalan suara. Kegiatan ini telah dibuktikan dengan penelitian jangka
panjang dapat memberikan manfaat untuk perkembangan bahasa tertulis. Perlu
ada tenaga yang terlatih dan memiliki motivasi tinggi sebagai pengajar agar
berhasil dengan efektif. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendukung keterampilan berbahasa. Adanya program membaca bersama-sama
yang dilakukan dengan suara keras pada kelompok dapat mendorong pengetahuan
tentang alphabet. Sebelum anak mulai bersekolah setiap hari selama 15 menit
orang tua dapat memberikan kegiatan pengenalan alphabet. Adanya permainan
yang memperkenalkan Irama dan kreasi, bersajak, mengenal huruf dan kalimat,
bunyi huruf akan sangat membantu dalam program pencegahan dyslexia.
Kegiatan permainan pada kelompok bermain dapat sangat menyenangkan bagi
anak-anak, dan juga mempersiapkan mereka untuk sekolah karena mereka
dihadapkan dengan tugas-tugas tertentu (Igan, & Maharani, 2013).

2.9. Prognosis
Sekitar seperlima individu dyslexia yang mendapatkan intervensi akan
memiliki kemampuan membaca yang cukup pada usia dewasa. Prognosis
tergantung pada tingkat keparahan dyslexia, kekuatan dan kelemahan penderita,
intensitas, serta waktu dan ketepatan terapi. Terapi harus berlangsung intensif dan
dalam waktu yang cukup untuk mendapatkan efek positif. Identifikasi dan
penatalaksanaan yang lebih awal merupakan kunci untuk membantu anak-anak
dyslexia, karena anak-anak 8 tahun atau lebih muda lebih mungkin menunjukkan
perbaikkan (Igan, & Maharani, 2013).
Dyslexia tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa membaik. Penelitian di
Negara maju menunjukkan bahwa deteksi dyslexia sejak dini serta penanganan yang
baik akan memberikan hasil yang baik juga. Sebaliknya, seperti penjelasan diatas,
jika tidak cepat dideteksi maka akan berakibat pada gangguan social dan emosional.
Gangguan social dan emosional ini dapat menumbuhkan sikapnya yang kurang

14
percaya diri, labil, mudah tersinggung, merasa dirinya bodoh dan menjadi korban
bullying teman-temannya (Tammasse & Jumraini, 2017).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dyslexia merupakan gangguan membaca primer, yang dibedakan dari
bentuk sekunder. Dyslexia adalah gangguan kemampuan membaca dan mengeja,
tetapi penderitanya mempunyai intelegensia yang normal, tidak terdapat kecacatan
fisik dan psikologis, dan mendapatkan pendidikan formal yang memadai. Dasar
diagnosis ICD-10 dan DSM-IV adalah gambaran klinis yang ditandai oleh
kegagalan perkembangan proses membaca dan mengeja. Dyslexia diketahui
sebagai sebagai gangguan yang diturunkan dan familial. Penurunannya terjadi
secara autosomal dominan pada beberapa keluarga dan kemungkinan pembawa
sifatnya adalah gen pada kromosom 15. Bukti ini semakin menunjukkan bahwa

15
dyslexia merupakan kelainan yang diturunkan. Kemungkinan 50% orangtua
dyslexia mempunyai anak dyslexia, 50% saudara kandung penderia mungkin
menderita kelainan yang sama dan 50% penderita anak-anak mempunyai orangtua
yang menderita dyslexia. Pada anak dengan dyslexia berat biasanya terdapat
diskalkulia yang merupakan hasil dari kegagalan fungsi proses numerik temporal.
Koordinasi motorik halus juga dapat terganggu pada penderita dyslexia yang akan
mengakibatkan disgrafia atau kesulitan dalam menulis dan dispraksia atau
kesulitan dalam koordinasi gerakan motorik. Penatalaksanaan dyslexia terdiri atas
menentukan kelainan serta memberi pengetahuan kepada orang tua dan guru.
Selanjutnya penatalaksanaan tergantung pada beratnya dyslexia dan kelainan
psikologis lain yang menyertai. Medikamentosa tidak bermanfaat untuk dyslexia

3.2. Saran
Perlu perhatian dan penganan yang tepat pada anak dengan dyslexia guna
meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, serta pentingnya peran serta orang
tua dan juga guru terhadap anak dengan dyslexia.

DAFTAR PUSTAKA

Hargio, S. (2012). Cara Memahami anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Gosyen Publishing

Huttenlocher, J & Huttenlocher, P.R. (2006). Sindrom Gangguan Kogniitif


Spesifik. In Abraham M. Rudolph, Julien I.E.Hoffman,& Colin D.
Rudolph. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3 Edisi 20. Jakarta: EGC.

Igan, S. A., & Maharani. (2013). Dislexia. In Soetjiningsih, & IG.N. Gde Ranuh.
Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: EGC.

Koestoer, P., & Hadisuprapto, A. (2001). Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan


Belajar. Jakarta: Erlangga.

16
Loeziana, (2017). Urgensi Mengenal Ciri Disleksi. Vol III, No 2, h 42-58.

Sidiarto, Lily Djokosetio. (2007). Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada
Anak. Jakarta: UI Press.

Tammasse, & Jumraini, T. (2017). Mengatasi Kesulitan Belajar Dyslexia (Studi


Neuropsikolinguistik). Universitas Hasanuddin. Diunduh pada tanggal 28
Oktober 2018 dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/24989.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai