Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
DYSLEXIA
Disusun Oleh:
Mey Cahyani
1710029065
Pembimbing:
dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A
i
LEMBAR PENGESAHAN
TUTORIAL
DYSLEXIA
Oleh:
Mey Cahyani NIM. 1710029065
Pembimbing:
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul “Dyslexia”. Tutorial
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di
bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penulisan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Anrih Roi Manthurio, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan
tugas tutorial ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial klinik ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial klinik ini, semoga ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, November 2018
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya mengenai dyslexia pada anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
3
Prevelensi dyslexia di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 5% sampai
17% pada anak usia sekolah; dan 40% dengan kemampuan membaca sangat
rendah. Prevalensi yang hampir sama didapatkan di daerah Persia, yakni sebesar
5,2%. Kelainan ini terdapat pada sedikitnya 80% dari semua individu yang
teridentifikasi sebagai kesulitan belajar (Igan, & Maharani, 2013).
Beberapa penelitian yang mengikutkan populasi besar menunjukkan
dyslexia terjadi 2-3 kali lebih banyak pada laki-laki. Ketika dibedakan antara
gangguan membaca dengan gangguan mengeja, hasil penelitian menunjukkan
bahwa laki-laki lebih cenderung mengalami gangguan mengeja sedangkan
gangguan membaca pada laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang
sama. (Igan, & Maharani, 2013).
Dyslexia diketahui sebagai sebagai gangguan yang diturunkan dan
familial. Penurunannya terjadi secara autosomal dominan pada beberapa keluarga
dan kemungkinan pembawa sifatnya adalah gen pada kromosom 15. Bukti ini
semakin menunjukkan bahwa dyslexia merupakan kelainan yang diturunkan.
Kemungkinan 50% orangtua dyslexia mempunyai anak dyslexia, 50% saudara
kandung penderia mungkin menderita kelainan yang sama dan 50% penderita
anak-anak mempunyai orangtua yang menderita dyslexia. Sebuah bukti penelitian
menunjukkan bahwa kelainan dyslexia ini melibatkan lokus pada kromosom 2, 3,
6, 15, dan 18 (Igan, & Maharani, 2013).
4
f. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan pembelajaran
bahasa sehingga kurang konsentrasi dan banyak membuat kesalahan
(Sidiarto, 2007 & Loeziana, 2017).
5
2) Kesulitan analisis dan sintesis auditoris, contohnya: kata “ibu” tidak dapat
diuraikan menjadi “i-bu”
3) Kesulitan auditoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat
mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau jika melihat kata tidak
dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kata tersebut
4) Membaca dalam hati lebih baik dari pada membaca dengan lisan
5) Kadang-kadang disertai gangguan urutan auditoris
6) Anak cenderung melakukan aktivitas visual
Dari ciri-ciri di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak dyslexia
dengan tipe auditoris anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan visual.
Dan pada saat belajar anak tersebut lebih suka membaca dalam hati dari pada
dengan lisan (Loeziana, 2017).
b. Tipe Visual
Permasalahan penglihatan yang akut memang sangat berpengaruh
terhadap kemampuan membaca anak. Sebuah teori yang dikemukakan oleh
Drs. Carl Ferrei dan Richard Wainwright dalam buku “Deteksi dini masalah-
masalah psikolohi anak” mereka berpendapat bahwa permasalahan gangguan
dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokan antara Sphenoid dan
tulang rawan pada tengkorak. Ketidaksesuaian ini diduga berpengaruh
terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata,
yang mana kondisi ini berakibat pada terganggunya koordinasi mata. Seorang
psikolog pendidikan dari California, Helen Irlen memperkenalkan sebuah teori
bahwa orang-orang yang terkena dyslexia memiliki gangguan serius pada
indera penglihatan mereka yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan
ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan
tingkat kokontrasan tertentu. Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe visual
adalah sebagai berikut:
1) Terdensi terbalik, misalnya b dibaca d, p dibaca g, u dibaca n, m dibaca w
dan sebagainya
2) Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf-huruf atau kata yang mirip
3) Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi huruf cetak
untuk menyusun kata mengalami kesulitan, misalnya kata “ibu” menjadi
“ubi” atau “iub”
4) Memori visual terganggu
6
5) Kecepatan persepsi lambat
6) Kesulitan analisis dan sintesis visual
7) Hasil tes membaca buruk
8) Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak dyslexia dengan tipe
visual ini anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan auditorial. Dan
dalam belajar anak lebih suka mendengar apa yang diterangkan oleh guru dari
pada belajar sendiri (Loeziana, 2017).
Bakker, et al, (1987) membagi dyslexia menjadi dua tripologi, yaitu sebagai
berikut:
L-type dyslexia (linguistic)
Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti
penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian huruf
(substitution), dan kesalahan multi-kata lainnya.
P-type dyslexia (perspective)
Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti
fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ngulang (repetisi).
Dari dua tripologi di atas dapat disimpulkan bahwa jarang terdapat hanya
satu jenis dyslexia yang murni, kebanyakan gabungan dari berbagai jenis dyslexia,
dimana terdapat gangguan dalam masalah bicara bahasa, membaca, dan bahasa
tulis.
2.4. Patofisiologi
Membaca merupakan proses yang berlangsung didaerah spasio-temporal
yang melibatkan pengkodean berurutan tehadap simbol-simbol visual.
Kemampuan spasio-temporal seperti mendeteksi huruf-huruf mempunyai peranan
yang penting dalam proses membaca (Igan, & Maharani, 2013)
Pemeriksaan neurobiologik pada penderita dylexia menunjukkan adanya
gangguan fungsi membaca pada bagian posterior hemisfer kiri, terutama didaerah
temporo-parieto-oksipitalis. Sebuah teori dyslexia yang bersumber pada defisit
7
proses di temporal yang menggabungkan gejala klinis dengan neuropsikologis
yang mengarah pada defisit fonologis dan gangguan visual. Dalam teori ini
disebutkan bahwa pada anak dyslexia didapatkan kesulitan untuk menyatukan
perubahan stimulus yang berlangsung cepat (khas pada dyslexia). Kesulitan ini
akan mengakibatkan kegagalan persepsi pendengaran pada konsonan, defisit
dalam penilaian perintah temporal dan defisit dalam berbagai tingkat membaca
cepat. Pada anak dengan dyslexia berat biasanya terdapat diskalkulia yang
merupakan hasil dari kegagalan fungsi proses numerik temporal. Koordinasi
motorik halus juga dapat terganggu pada penderita dyslexia yang akan
mengakibatkan disgrafia atau kesulitan dalam menulis dan dispraksia atau
kesulitan dalam koordinasi gerakan motorik (Igan, & Maharani, 2013).
Para ilmuwan telah menggunakan teori membaca untuk membantu
memahami dyslexia. Salah satu teori yang paling banyak diterima adalah teori
jalur ganda. Dalam teori ini terdapat dua mekanisme yang digunakan untuk
membaca sebuah kata, yaitu jalur langsung (ortografi) dan jalur tidak langsung
(fonologis). Jalur langsung adalah melihat kata dan otomatis mengetahui apa yang
dibaca. Untuk orang yang sering melihat kata-kata tersebut telah dikenali
sebelumnya, maka kemungkinan besar jalur inilah yang digunakan. Pembaca
terlatih menggunakan jalur ini untuk sebagian besar yang mereka baca, meskipun
mereka dapat menggunakan jalur lain ketika mereka menemukan kata-kata yang
baru atau kata asing (Igan, & Maharani, 2013).
Jalur tidak langsung menterjemahkan huruf-huruf menjadi suara, dan
mengetahui pengucapan kata-kata dari kombinasi suara yang dihasilkan. Jalur ini
menggunakan proses fonologis dan biasanya digunakan pada awal perkembangan
keterampilan membaca. Pembaca yang menemukan kata-kata baru, maka kata-
kata tersebut dibaca secara hati-hati. Banyak penderita dyslexia yang memiliki
kesulitan menggunakan jalur ini karena keterampilan fonologis mereka kurang
(Igan, & Maharani, 2013).
Pada dasarnya membaca terdiri dari dua proses utama, yaitu pengkodean
dan pemahaman. Pada penderita dyslexia terdapat defisit fonologis sehingga
terjadi kegagalan dalam memisahkan fonem sebagai segmen dasar sebuah kata-
tulis. Membaca membutuhkan kemampuan visual yang efisien termasuk
8
kemampuan untuk memproses lokasi spasi huruf, sementara dalam waktu yang
sama mata juga harus bergerak membaca seluruh teks. Proses ini harus
dikoordinasikan dengan aspek persepsi dan motorik, yang pada gilirannya harus
menggabungkan tingkat pengkodean kata dan proses linguistik. Ketika penderita
dyslexia dibandingkan dengan kontrol pada tugas visual yang membutuhkn
persepsi dan motorik okuar yang sama, tidak ada perbedaan gerakan mata pada
kedua kelompok. Karena itu, perbedaan pola pergerakan mata penderita dyslexia
pada waktu membaca lebih mencerminkan kesulitan dalam proses membaca
daripada gangguan primer pada kontrol motorik okuler (Igan, & Maharani, 2013).
Gejala-gejala dyslexia biasa akan lebih jelas ketika anak mulai belajar
membaca dan menulis di sekolah. Anak akan mengalami beberapa kesulitan yang
meliputi:
a. Kesulitan memproses dan memahami apa yang didengarnya
b. Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad
9
c. Sering salah atau terlalu pelan saat membaca
d. Lamban saat menulis dan tulisan yang tidak rapi
e. Kesulitan mengingat urutan, misalnya urutan abjad atau nama hari
f. Cenderung tidak bisa menemukan persamaan atau perbedaan pada “a”
g. Kesulitan mengeja, misalnya huruf ð´sering tertukar dengan huruf “b”.
Atau angka “6” dengan angka “9”
h. Lamban dalam menulis, misalnya saat didikte atau menyalin tulisan
i. Kesulitan mengucapkan kata yang baru dikenal
j. Memiliki kepekaan fonologi yang rendah. Contohnya, mereka akan
kesulitan menjawab pertanyaan “bagaimana bunyinya apabila huruf “b”
pada “buku” diganti dengan “s” (Hargio, 2012 & Loeziana, 2017).
2.6. Diagnosis
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk menegakkan
diagnosis dyslexia. Diagnosis dyslexia ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita
dari orang tua, observasi dan tes tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak
atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, professional lain seyogyanya juga
terlibat dalam observasi dan penilaian anak dyslexia yaitu dokter saraf anak
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran), opthalmologis
(mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan tentunya
guru sekolah (Tammasse & Jumraini, 2017).
Dasar diagnosis ICD-10 dan DSM- IV adalah gambaran klinis yang
ditandai oleh kegagalan perkembangan proses membaca dan megeja. Namun,
penelitian terkini menunjukkan terdapat 3 kelainan yang terpisah yaitu:
1) Kombinasi gangguan membaca dan mengeja (dyslexia)
2) Gangguan membaca
3) Gangguan mengeja
Sebagian besar gangguan membaca tidak terdiagnosis sampai anak di
kelas 3 atau sekitar umur 6-9 tahun. Tammasse & Jumraini (2017) menyebutkan
bahwa diagnosis dyslexia biasanya dilakukan pada usia 7-8 tahun. Namun,
sebenarnya bila cermat gejala dyslexia bisa dikenali sejak usia 3-4 tahun.. Anak usia
prasekolah mempunyai faktor risiko untuk menderita dyslexia, antara lain kalau
ada riwayat keterlambatan bahasa atau tidak dapat mengeluarkan suara tertentu
(kesulitan dalam permainan kata-kata, kerancuan pada kata-kata dengan bunyi
10
yang sama, kesulitan belajar mengenal huruf), dan ada keluarga lain yang
menderita dyslexia. Pada usia sekolah, anak sering dikeluhkan tidak dapat
mengerjakan tugas-tugas dengan baik. Orang tua dan guru sering kali tidak
menyadari bahwa penyebabnya adanya gangguan membaca (Igan, & Maharani,
2013).
Evaluasi secara menyeluruh diperlukan untuk menentukan diagnosis yang
tepat pada anak dengan gejala kelemahan membaca. Evaluasi ini meliputi semua
penyebab yang dicurigai. Penilaian ini harus melibatkan pengukuran menyeluruh
keterampilan yang meliputi membaca mengeja dan aritmatika. Tes kecerdasan
atau tes IQ sering tidak diperlukan, tetapi pada beberapa literatur dikatakan
bahwa tes kecerdasan harus dilakukan (Igan, & Maharani, 2013).
Untuk menentukan apakah anak berisiko menderita dyslexia, skrining
biasanya dilakukan pada akhir masa taman kanak-kanak atau memasuki sekolah
dasar. Siswa dengan kemampuan membaca di bawah teman seusianya pada
skrining dicurigai berisiko dan diberikan intervensi (Igan, & Maharani, 2013).
11
dilakukan dengan mendengarkan anak membaca dengan keras, berdasarkan
tingkat kemampuan membacanya (Igan, & Maharani, 2013).
2.7. Penatalaksanaan
Dyslexia merupakan suatu kondisi yang menetap. Dyslexia tidak bisa
disembuhkan karena pada dasarnya dyslexia bukan merupakan sebuah penyakit,
namun kondisi kelainan neurobiologis. Ketidakmampuan anak yang tampak
seperti menghilang/berkurang pada kondisi dewasa terjadi karena individu
tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan
oleh dyslexia tersebut, bukan karena dyslexianya telah sembuh (Tammasse &
Jumraini, 2017).
Dyslexia diatasi dengan terapi yang benar dan tepat sesuai metode yang
teruji secara ilmiah. Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada
kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam
perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan
menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa (Tammasse & Jumraini,
2017).
Penatalaksanaan dyslexia terdiri atas menentukan kelainan serta memberi
pengetahuan kepada orang tua dan guru. Anak - anak dengan ketidakmampuan
membaca spesifik ini perlu segera ditangani, karena jika tidak, anak-anak ini akan
segera membentuk sikap negatif terhadap sekolah dan terhadap diri mereka
sendiri (Huttenlocher, 2006). Selanjutnya penatalaksanaan tergantung pada
beratnya dyslexia dan kelainan psikologis lain yang menyertai. Medikamentosa
tidak bermanfaat untuk dyslexia. Apabila dyslexia disertai dengan ADHD,
12
medikamentosa dapat memperbaiki kesulitan belajar yang ditimbulkan (Igan, &
Maharani, 2013).
Intervensi ditujukan untuk memperbaiki kemampuan memanipulasi fonem
pada suku kata dengan cara memfokuskan instruksi pada satu atau dua jenis
fonem, mengajar anak-anak dalam kelompok kecil dan memberikan instruksi
yang eksplisit (daripada insidentil). Keberhasilan terapi mengacu pada
kemampuan membaca secara oral dengan kecepatan, akurasi, dan ekspresi yang
tepat. Metode yang digunakan adalah membangun minat baca dengan panduan,
yaitu anak membaca dengan suara keras berulang kali di hadapan guru, orang
dewasa, atau teman-temannya, dan menerima umpan balik. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa membaca oral dengan panduan memiliki dampak yang jelas
dan positif terhadap pengenalan kata, kelancaran, dan pemahaman membaca.
Metode yang harus dihindari adalah mendorong membaca dalam jumlah besar dan
membaca dalam hati (diam) tanpa umpan balik kepada siswa (Igan, & Maharani,
2013).
Perangkat untuk terapi dyslexia dapat berupa komputer dan perekam suara
penderita dyslexia biasanya mempunyai tulisan tangan yang tidak dapat dibaca.
Komputer akan sangat bermanfaat karena dilengkapi dengan program pemantau
ejaan, sehingga dapat mengoreksi kesalahan ejaan yang sering dilakukan pada
penderita dyslexia. Perekam suara dapat menyimpan gagasan-gagasan penderita
yang susah dituangkan dalam bentuk tulisan (Igan, & Maharani, 2013).
Intervensi keluarga dilakukan pada lingkungan keluarga berisiko yang
berfokus pada phoneme awareness dan pengenalan huruf pada tahun-tahun
sebelum anak diberi pendidikan formal anak yang diberi intervensi keluarga
mempunyai pengenalan huruf yang lebih baik (Igan, & Maharani, 2013).
Besar dan bentuk huruf dapat mempengaruhi kemampuan membaca anak.
didapatkan hubungan yang berbanding lurus antara besar huruf dengan
kemampuan membaca. Penderita dyslexia memerlukan ukuran huruf yang lebih
besar untuk mencapai kecepatan baca maksimum (Igan, & Maharani, 2013).
2.8. Pencegahan
13
Pencegahan dengan cara memasukkan anak pada kelompok bermain atau
PAUD, sangat membantu meningkatkan kemampuan linguistik. Pencegahan
berfokus pada kegiatan permainan bahasa, pengenalan Irama, mengenal suku kata,
dan pengenalan suara. Kegiatan ini telah dibuktikan dengan penelitian jangka
panjang dapat memberikan manfaat untuk perkembangan bahasa tertulis. Perlu
ada tenaga yang terlatih dan memiliki motivasi tinggi sebagai pengajar agar
berhasil dengan efektif. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendukung keterampilan berbahasa. Adanya program membaca bersama-sama
yang dilakukan dengan suara keras pada kelompok dapat mendorong pengetahuan
tentang alphabet. Sebelum anak mulai bersekolah setiap hari selama 15 menit
orang tua dapat memberikan kegiatan pengenalan alphabet. Adanya permainan
yang memperkenalkan Irama dan kreasi, bersajak, mengenal huruf dan kalimat,
bunyi huruf akan sangat membantu dalam program pencegahan dyslexia.
Kegiatan permainan pada kelompok bermain dapat sangat menyenangkan bagi
anak-anak, dan juga mempersiapkan mereka untuk sekolah karena mereka
dihadapkan dengan tugas-tugas tertentu (Igan, & Maharani, 2013).
2.9. Prognosis
Sekitar seperlima individu dyslexia yang mendapatkan intervensi akan
memiliki kemampuan membaca yang cukup pada usia dewasa. Prognosis
tergantung pada tingkat keparahan dyslexia, kekuatan dan kelemahan penderita,
intensitas, serta waktu dan ketepatan terapi. Terapi harus berlangsung intensif dan
dalam waktu yang cukup untuk mendapatkan efek positif. Identifikasi dan
penatalaksanaan yang lebih awal merupakan kunci untuk membantu anak-anak
dyslexia, karena anak-anak 8 tahun atau lebih muda lebih mungkin menunjukkan
perbaikkan (Igan, & Maharani, 2013).
Dyslexia tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa membaik. Penelitian di
Negara maju menunjukkan bahwa deteksi dyslexia sejak dini serta penanganan yang
baik akan memberikan hasil yang baik juga. Sebaliknya, seperti penjelasan diatas,
jika tidak cepat dideteksi maka akan berakibat pada gangguan social dan emosional.
Gangguan social dan emosional ini dapat menumbuhkan sikapnya yang kurang
14
percaya diri, labil, mudah tersinggung, merasa dirinya bodoh dan menjadi korban
bullying teman-temannya (Tammasse & Jumraini, 2017).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dyslexia merupakan gangguan membaca primer, yang dibedakan dari
bentuk sekunder. Dyslexia adalah gangguan kemampuan membaca dan mengeja,
tetapi penderitanya mempunyai intelegensia yang normal, tidak terdapat kecacatan
fisik dan psikologis, dan mendapatkan pendidikan formal yang memadai. Dasar
diagnosis ICD-10 dan DSM-IV adalah gambaran klinis yang ditandai oleh
kegagalan perkembangan proses membaca dan mengeja. Dyslexia diketahui
sebagai sebagai gangguan yang diturunkan dan familial. Penurunannya terjadi
secara autosomal dominan pada beberapa keluarga dan kemungkinan pembawa
sifatnya adalah gen pada kromosom 15. Bukti ini semakin menunjukkan bahwa
15
dyslexia merupakan kelainan yang diturunkan. Kemungkinan 50% orangtua
dyslexia mempunyai anak dyslexia, 50% saudara kandung penderia mungkin
menderita kelainan yang sama dan 50% penderita anak-anak mempunyai orangtua
yang menderita dyslexia. Pada anak dengan dyslexia berat biasanya terdapat
diskalkulia yang merupakan hasil dari kegagalan fungsi proses numerik temporal.
Koordinasi motorik halus juga dapat terganggu pada penderita dyslexia yang akan
mengakibatkan disgrafia atau kesulitan dalam menulis dan dispraksia atau
kesulitan dalam koordinasi gerakan motorik. Penatalaksanaan dyslexia terdiri atas
menentukan kelainan serta memberi pengetahuan kepada orang tua dan guru.
Selanjutnya penatalaksanaan tergantung pada beratnya dyslexia dan kelainan
psikologis lain yang menyertai. Medikamentosa tidak bermanfaat untuk dyslexia
3.2. Saran
Perlu perhatian dan penganan yang tepat pada anak dengan dyslexia guna
meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, serta pentingnya peran serta orang
tua dan juga guru terhadap anak dengan dyslexia.
DAFTAR PUSTAKA
Igan, S. A., & Maharani. (2013). Dislexia. In Soetjiningsih, & IG.N. Gde Ranuh.
Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: EGC.
16
Loeziana, (2017). Urgensi Mengenal Ciri Disleksi. Vol III, No 2, h 42-58.
Sidiarto, Lily Djokosetio. (2007). Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada
Anak. Jakarta: UI Press.
17