Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ANAK DENGAN GANGGUAN AUDITORY AND VISUAL


DISORDER DAN LAMBAN BELAJAR, DIPRAKSIA

Disusun Oleh :

KADEK HENDRA ADI KUSUMA 522.04.0013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIMBINGAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “TUNARUNGU (Gangguan Pendengaran)” ini dengan tepat waktu.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Pengembangan Kurikulum. Semoga Allah Swt,
memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan penulis. Akhir kata
penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Namun,
jika masih ada kekurangan kami bersedia menerima saran perbaikan.

Singaraja , 22 Nopember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

MATERI (RUJUKAN)

A. Definisi Tunarungu (Gangguan Pendengaran) 4


B. Jenis-Jenis Gangguan Pendengaran 5
C. Karakteristik Anak yang Mengalami Gangguan
Pendengaran 7
D. Penyebab Gangguan Pendengaran 8
E. Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Anak
yang Mengalami Gangguan Pendengaran 9

KESIMPULAN 11

DAFTAR PUSTAKA 12
MATERI
(RUJUKAN)

A. Definisi Tunarungu (Gangguan Pendengaran)


Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan, terutama melalui pendengarannya. Batasan pengertian anak
tunarungu telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada
dasarnya mengandung pengertian yang sama. Di bawah ini dikemukakan
beberapa definisi anak tunarungu.
Andreas Dwidjosumarto (1990:1) mengemukakan bahwa seseorang
yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi
lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik
dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Selain itu, Mufti Salim (1984: 8) menyimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan
pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Memperlihatkan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian
(hard of hearing) maupun seluruhnya (deal) yang menyebabkan
pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-
hari. Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar baiksebagian atau seluruhnya yag
diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya
dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya
secara kompleks.

B. Jenis-Jenis Gangguan Pendengaran


Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama
ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan
pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya
gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat
kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang
mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
(Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf
pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan
memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang
spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan
pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang
normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami
kesulitan memahami apa yang didengarnya.
4. Gangguan pendengaran dan proses visual (Auditory and visual
processing disorders) adalah gangguan belajar yang melibatkan gangguan
sensorik. Meskipun anak tersebut mungkin dapat melihat dan / atau
mendengar secara normal, gangguan ini menyulitkan mereka dari apa
yang mereka lihat dan dengar. Mereka akan seringmemiliki kesulitan
dalam pemahaman bahasa, baik tertulis atau auditori (tau keduanya.
5. Visual dan auditori pengolahan adalah proses mengenali dan menafsirkan
informasi diambil melalui indera penglihatan dan pendengaran. Istilah,
“visual dan auditori pengolahan” dan “visual dan persepsi pendengaran”,
sering digunakan secara bergantian. Meskipun ada banyak jenis persepsi,
dua daerah yang paling umum kesulitan terlibat dengan ketidakmampuan
belajar visual dan persepsi pendengaran. Karena begitu banyak informasi
di dalam kelas dan di rumah disajikan secara visual dan / atau lisan, anak
dengan pendengaran atau gangguan persepsi visual dapat berada pada
posisi yang kurang menguntungkan dalam situasi tertentu. Informasi
berikut menjelaskan dua jenis gangguan, implikasi pendidikan mereka,
beberapa intervensi dasar dan apa yang harus dilakukan jika ada masalah
dicurigai.
Istilah lain yang sama dari gangguan termasuk gangguan persepsi visual
atau auditori, defisit pemrosesan visual atau pendengaran, gangguan
pendengaran pusat pengolahan, dan kombinasi serupa lainnya dari
istilah-istilah ini.
6. Gangguan Belajar (Learning Disorder) adalah suatu gangguan neurologis
yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses,
menganalisis atau menyimpan informasi. Anak dengan Gangguan Belajar
mungkin mempunyai tingkat intelegensia yang sama atau bahkan lebih
tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya, tetapi seringberjuang
untuk belajar secepat orang di sekitar mereka. Masalah yang terkait
dengan kesehatan mental dan gangguan belajar yaitu kesulitan dalam
membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta keterampilan
motorik dan masalah dalam matematika.
Pengertian gangguan belajar secara bahasa adalah masalah yang dapat
mempengaruhi kemampuan otak dalam menerima, memproses,
menganalisis dan menyimpan informasi. Sedangkan pengertian yang
diberikan oleh National Joint Committee for Learning Disabilities
(NJCLD) mengenai gangguan belajar adalah suatu kumpulan dengan
bermacam-macam gangguan yang mengakibatkan kesulitan dalam
mendengar, berbicara, menulis, menganalisis, dan memecahkan
persoalan.
Gangguan belajar termasuk klasifikasi beberapa gangguan fungsi di
mana seseorang memiliki kesulitan belajar dengan cara yang khas,
biasanya disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui. Istilah
Ketidakmampuan belajar dan gangguan belajar sering digunakan secara
bergantian, keduanya berbeda. Ketidakmampuan belajar adalah ketika
seseorang memiliki masalah belajar yang signifikan di bidang akademis.
Masalah-masalah ini, bagaimanapun, tidak cukup untuk menjamin
diagnosis resmi. Gangguan belajar, di sisi lain, adalah diagnosis klinis
resmi, dimana individu memenuhi kriteria tertentu, sebagaimana
ditentukan oleh seorang profesional (psikolog, dokter anak, dll)
Perbedaannya adalah dalam tingkat, frekuensi, dan intensitas gejala yang
dilaporkan dan masalah, dan dengan demikian keduanya tidak boleh
bingung.
Faktor yang tidak diketahui adalah gangguan yang mempengaruhi
kemampuan otak untuk menerima dan memproses informasi. Gangguan
ini bisa membuat masalah bagi seseorang untuk belajar dengan cepat atau
dalam cara yang sama seperti seseorang yang tidak terpengaruh oleh
ketidakmampuan belajar. Orang dengan ketidakmampuan belajar
mengalami kesulitan melakukan jenis tertentu keterampilan atau
menyelesaikan tugas jika dibiarkan mencari hal-hal dengan sendirinya
atau jika diajarkan dengan cara konvensional.

7. Visual Processing Disorders adalah Sebuah pemrosesan visual, atau


persepsi, gangguan mengacu pada kemampuan terhalang untuk
memahami informasi yang diambil melalui mata. Hal ini berbeda dari
masalah yang melibatkan penglihatan atau ketajaman penglihatan.
Kesulitan dengan pemrosesan visual mempengaruhi bagaimana informasi
visual ditafsirkan, atau diproses oleh otak.
Hal ini mengacu pada posisi benda-benda di ruang angkasa. Hal ini juga
mengacu pada kemampuan untuk secara akurat memahami benda-benda
di ruang angkasa dengan mengacu pada objek lain.
8. Gangguan Belajar (Learning Disorder) adalah suatu gangguan neurologis
yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses,
menganalisis atau menyimpan informasi. Anak dengan Gangguan Belajar
mungkin mempunyai tingkat intelegensia yang sama atau bahkan lebih
tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya, tetapi seringberjuang
untuk belajar secepat orang di sekitar mereka. Masalah yang terkait
dengan kesehatan mental dan gangguan belajar yaitu kesulitan dalam
membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta keterampilan
motorik dan masalah dalam belajar.

Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan


dari 0dB-91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan pendengaran
mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau bunyi yang
berbeda-beda, sehingga mempengaruhi kemampauan komunikasi anak
tunarungu. Terutama, pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi
yang tepat dan jelas. Semakin tinggi kehilangan pendengarannya, maka
semakin lemah kemampuan artikulasinya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi,
Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam
empat kategori, yaitu:
1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana
orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB
(desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara,
mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di
mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB.
Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan
wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana
gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana
orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka
sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah
pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak
mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4. Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi
di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB
atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya,
sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu,
ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan
kekuatan yang sangat tinggi (superpower).

Sedangkan menurut Bambang Putranto (2015 : 227), tunarungu dapat


dibedakan berdasarkan beberapa tingkat kerusakan dan tempat terjadinya
kerusakan. Apabila dilihat dari tingkat kerusakan maka tunarungu dapat
dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu sangat ringan (27-40 desibel),
ringan (41-55 desibel), sedang (56-70 desibel), berat (71-90 desibel), serta
ekstrem/tuli (91 desibel atau lebih tinggi).
Adapun jika ditinjau berdasarkan tempat terjadinya maka tunarungu
dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kerusakan pada bagian telinga luar
dan tengah sehingga menghambat bunyi/suara yang hendak masuk ke telinga.
Ganggun tersebut disebut juga tuli konduktif. Kedua, kerusakan pada telingan
bagian dalam sehingga mengganggu hubungan ke saraf otak. Hal itu disebut
juga tuli sensoris.

C. Karakteristik Anak yang Mengalami Gangguan Pendengaran


Heri Purwanto (1998 : 58-59) menyatakan karakteristik anak tunarungu
wicara pada umumnya memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa
wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-anak
normal, bahkan anak tunarungu total (tuli) cenderung tidak dapat berbicara
(bisu).
Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak
tunarungu mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa
(mendapatkan bahasa). Bahasa sebagai alat komunikasi dengan orang
lain. Sedangkan, Anak tunarungu mempunyai permasalahan dalam
wicaranya untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena wicara
sebagai alat yang sangat penting dalam komunikasi. Dalam berbicara pun
harus menggunakan artikulasi yang jelas agar pesan mudah diterima oleh
orang lain, maka dari itu anak harus dilatih secara berulang-ulang
sehingga anak terampil mengucapkan kata-kata dengan arti kulasi yang tepat
dan jelas.
Menurut Sardjono, ciri-ciri anak yang mengalami gangguan tunarungu
dapat dikenali melalui beberapa tanda berikut ini.
1. Kemampuan verbal (verbal IQ), anak tunarungu lebih rendah dibanding
pada anak dengan pendengaran normal.
2. Performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.
3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah dibanding anak
mendengar, terutama pada informasi yang bersifat berurutan.
4. Pada informasi serempak, anak tunarungu dan anak dengan
pendengaran normal tidak terdapat perbedaan yang berarti.
5. Hampir tidak terdapat perbedaan dalam hal daya ingat jangka panjang,
sekalipun prestasi akhir anak tunarungu biasanya lebih rendah.

D. Penyebab Gangguan Pendengaran


Ada beberapa faktor penyebab tunarungu pada anak. Berikut beberapa
diantaranya :
1. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (prenatal), meliputi keturunan,
cacar air, campak (rubella, gueman measles), toxaemia (keracunan
darah), penggunaan pil kina atau obat-obatan dalam jumlah yang sangat
besar, kekurangan oksigen (anoxia), serta kelainan organ pendengaran
sejak lahir.
2. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal), yaitu rheus (Rh) ibu da anak
yang sejenis, kelahiran secara premature, kelahiran menggunakan forcep
(alat bantu tang), serta proses bersalinyang terlalu lama.
3. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal), diantaranya infeksi,
meningitis (radang selaput otak), tunarungu perspektif yang bersifat
keturunan, serta otitis media yang kronis.
Namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan
tercadinya tunarungu. Upaya tersebut dapat dilakukan pada saat sebelum
nikah (pranikah), hamil (prenatal), persalinan (natal), dan setelah kelahiran
(post natal), yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Upaya yang dapat dilakukan pada saat sebelum nikah (pranikah)
a. Menghindari pernikahan sedarah atau pernikahan dengan saudara
dekat, terutama pada keluarga yang mempunyai sejarah tunarungu.
b. Melakukan pemeriksaan darah.
c. Melakukan konseling genetika.
2. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil (prenatal)
a. Menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur
kepada dokter kadungan atau bidan.
b. Mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang serta
menghindari makanan yang mengandung bahan berbahaya.
c. Tidak meminum obat sembarangan karena dapat menyebabkan
keracunan pada janin.
d. Melakukan imunisasi anti tetanus.
3. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu melahirkan (natal)
a. Pada saat melahirkan diupayakaan tidak menggunakan alat
penyedot.
b. Apabila ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah
vaginanya, maka kelahiran harus melalui operasi Caesar.
4. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu setelah melahirkan (post natal)
a. Melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubella yang sangat
penting, terutama bagi wanita.
b. Apabila anak mengalami sakit influenza, harus dijaga/ diobati jangan
sampai terlalu lamakarena virusnya dapat masuk kerongga telinga
tengah melalui saluran eustaschius, dan dapat menyebabkan
peradangan (otitis media).
c. Menjaga telinga dari kebisingan, seperti menggunakan pelindung
telinga bagi para pekerja di pabrik.

E. Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Anak yang Mengalami


Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat menyulitkan proses belajar anak. Anak
yang tuli secara lahir atau menderita tuli saat masih anak-anak biasanya
lemah dalam kemampuan berbicara dan bahasanya. Banyak anak yang
memiliki masalah pendengaran mendapatkan pengajaran tambahan diluar
kelas regular. Pendekatan pendidikan untuk membantu anak yang punya
masalah pendengaran terdiri dari dua kategori :
1. Pendekatan oral, pendekatan ini menggunakan metode membaca gerak
bibir, speech reading (menggunakan alat visual untuk mengajar
membaca), dan sejenisnya.
2. Pendekatan manual adalah sistem gerakan tangan yang melambangkan
kata. Bahasa isyarat adalah system gerakan tangan yang melambangkan
kata. Pengejaan jari adalah “mengeja” setiap kata dengan menandai
setiap huruf dari satu kata.

Pendekatan oral dan manual dipakai bersama untuk mengajar murid yang
mengalami gangguan pendengaran (Hallahann & Kauffman, 2000). Beberapa
kemajuan medis dan tekhnologi, seperti yang disebutkan di sini, juga telah
meningkatkan kemampuan belajar anak yang menderita masalah pendengaran
(Boyles & Contadino, 1997) :
1. Pemasangan cochlear (dengan prosedur pembedahan). Ini adalah cara
kontroversial karena banyak komunitas orang tuli menentangnya, sebab
menganggapnya intrusive dan melukai kultur orang tuli. Yang lainnya
beranggapan bahwa pemasangan cochlear ini bisa meningkatkan kualitas
hidup banyak anak yang menderita problem pendengaran (Hallahann &
Kauffman, 2003).
2. Menempatkan semacam alat di telinga (prosedur pembedahan untuk
disfungsi telinga tingkat menengah). Ini bukan prosedur permanen.
3. System hearing aids dan amplifikasi.
4. Perangkat telekomunikasi, teletypewriter – telephone, dan RadioMail
(menggunkan internet).

KESIMPULAN

Tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian


(hard of hearing) maupun seluruhnya (deal) yang menyebabkan pendengarannya
tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. Easterbrooks
(1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut
lokasi ganguannya yakni Conductive loss, Sensorineural loss dan Central auditory
processing disorder. Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat
diklasifikasikan dari 0dB-91 dB ke atas.

Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak


tunarungu mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa
(mendapatkan bahasa). Ada beberapa faktor penyebab tunarungu pada anak yaitu
faktor sebelum anak dilahirkan (prenatal), faktor saat anak dilahirkan (natal), dan
faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal). Namun ada beberapa cara yang dapat
dilakukan sebagai upaya pencegahan tercadinya tunarungu. Upaya tersebut dapat
dilakukan pada saat sebelum nikah (pranikah), hamil (prenatal), persalinan (natal),
dan setelah kelahiran (post natal).

Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran mendapatkan


pengajaran tambahan diluar kelas regular. Pendekatan pendidikan untuk
membantu anak yang punya masalah pendengaran terdiri dari dua kategori yakni
pendekatan oral dan manual.

DAFTAR PUSTAKA

Putranto, Bambang, S.Pd. 2015. Tips Menangani Murid yang Membutuhkan


Perhatian Khusus. Jakarta : Diva Press
Santrock, John W. 2015. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Jakarta : PT. Kencana.
Somantri, Dr. T. Sutjihati, M.Si., psi. 2012. PSIKOLOGI ANAK LUAR BIASA.
Bandung : PT. Refika Aditama.
Thompson,Jenny. 2010. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Erlangga
“What are Learning Disabilities?”. The National Center for Learning Disabilities.
4 March 2009. http://www.ncld.org/ld-basics/ld-explained/basic-
facts/what-are-learning-disabilities. Retrieved 9 July 2012.
Rourke, B. P. (1989). Nonverbal learning disabilities: The syndrome and the
model. New York: Guilford Press.
Gallego, Margaret A., Grace Zamora Durán, and Elba I. Reyes. 2006. “It
Depends: A Sociohistorical Account of the Definition and Methods of
Identification of Learning Disabilities.” Teachers College Record
108(11):2195-2219.
Reid, D. Kim and Jan Weatherly Valle. 2004. “The Discursive Practice of
Learning Disability: Implications for Instruction and Parent-School
Relations.” Journal of Learning Disabilities 37(6):466-481.
Carrier, James. 1986. Learning Disability: Social Class and the Construction of
Inequality in American Education. New York, NY: Greenwood Press.
Dudley-Marling, Curt. 2004. “The Social Construction of Learning Disabilities.”
Journal of Learning Disabilities 37(6):482-489.
Ho, Anita. 2004. “To be Labeled, or Not to be Labeled: That is the Question.”
British Journal of Learning Disabilities 32(2):86-92.
Williams, Val and Pauline Heslop. 2005. “Mental Health Support Needs of People
with a Learning Difficulty: A Medical or a Social Model?” Disability
& Society 20(3):231-245.
Baron, Stephen, Sheila Riddell, and Alastair Wilson. 1999. “The Secret of Eternal
Youth: Identity, Risk and Learning Difficulties.” British Journal of
Sociology of Education 20(4):483-499.
Carrier, James G. 1983. “Explaining Educability: An Investigation of Political
Support for the Children with Learning Disabilities Act of 1969.”
British Journal of Sociology of Education 4(2):125-140.

Anda mungkin juga menyukai